Anda di halaman 1dari 13

UPAYA PEMERINTAH DAN PERAN SERTA PENEGAK

HUKUM DALAM MELAKSANAKAN ASSET RECOVERY


YANG ADA DI LUAR NEGERI TERHADAP HARTA HASIL
MONEY LAUNDRY

OLEH:

NAMA: JARMIATI

NPM: 2022011031

PEMBIMBING:

Dr. Rudy Natamiharja, S.H., DEA

Bayu Sudjatmiko, S.H., M.H., Ph.D

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2021
ABSTRAK

ii
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kejahatan money laudry di Indonesia sangat erat hubunganya dengan
tindak pidana korupsi. Karakteristik dari kejahatan money laundry
menjadikanya sebagai kejahatan ganda, hal ini karena munculnya
kejahatan money laundry selalu didahului dengan kejahatan lainya,
salah satunya adalah tindak pidana korupsi. Indonesia juga masuk ke
dalam daftar 15 negara yang tidak kooperatif dalam memberantas
praktik pencucian uang atau money laundy baik di dalam maupun di
luar negeri.1

Money Loundry atau pencucian uang adalah serangkaian proses yang


digunakan untuk menyamarkan atau menyembunyikan sumber dana
yang dihasilkan oleh tindak pidana yang dilakukan oleh individu atau
organisasi sehingga seolah-olah bukan merupakan hasil tindak pidana.
Kegiatan pencucian uang ini merupakan tindakan kriminal atau tindak
pidana. Dari kegiatan pencucian uang ini, para pelaku kejahatan
akhirnya dapat dengan bebas menikmati dan menggunakan hasil
kejahatannya seolah-olah merupakan hasil dari kegiatan yang legal.
Pencucian uang merupakan tindak pidana yang muncul karena dipicu
oleh suatu tindak pidana lainya yang merangsang munculnya tindak
pidana pencucian uang yang dalam bahasa asing disebut predicate
crime atau kejahatan asal. 2

Tindak kejahatan money laundry di Indonesia sering dihubungkan


dengan Tindak Pidana Korupsi dikarenakan seringkali modus
pencucian uang ini digunakan oleh koruptor sebagai upaya
mengamankan aset yang diperoleh dari kejahatan korupsi yang mereka
lakukan. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kasus di Indonesia di
mana koruptor mengalihkan hasil korupsinya dalam berbagai bentuk
aset, investasi, serta kegiatan usaha. Sebagai contoh, kasus korupsi
simulator SIM yang melibatkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo,
mantan Kakor Lantas POLRI divonis atas korupsi dan TPPU. Adapun
aset-aset yang dia putar tersebut diduga kuat berkaitan dengan korupsi
penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya pada saat menjabat
sebagai pejabat Kakor Lantas POLRI. Menurut beberapa penelitian
menunjukkan bahwa dari kasus putusan tindak pidana pencucian uang,
1
Joni Emirzon, Bentuk, Praktik, dan Modus Tindak Pidana Pencucian Uang, makalah dalam
Seminar KPK, di Palembang, Oktober 2017
2
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ERNA DEWI Dosen Fakultas Hukum Universitas
Lampung . PRANATA HUKUM Volume 8 Nomor 1 Januari 2013 hal 52

1
hampir 29.2% putusan merupakan perkara dengan Tindak Pidana
Korupsi sebagai predicate crime. 3

Tidak jarang para pelaku money laundry atau pencucian uang


melakukan Tindakan untuk mengamankan asset hasil korupsinya di
luar negeri. aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para
koruptor banyak yang dilarikan serta disembunyikan di luar negeri.
Hasil korupsi disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui
mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam melacak serta
mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik
pencucian uang ini disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan
bahkan bankir yang disewa oleh koruptor. 4 Bahkan upaya
pengembalian aset negara yang dicuri (stolen asset recovery) melalui
tindak pidana korupsi cenderung tidak mudah untuk dilakukan, karena
para pelaku tipikor memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit
dijangkau dalam menyembunyian maupun melakukan pencucian uang
atau money laundery hasil tindak pidana korupsinya. 5

Negara-negara di dunia termasuk Indonesia sudah sering melakukan


upaya asset recovery yang ada di luar negeri, dan berbagai upaya
kerjasama internasional juga telah dilakukan untuk melancarkan proses
pengembalian aset ini. Tetapi dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
hambatan seperti sistem hukum yang berbeda, sistem perbankan dan
finansial yang ketat dari negara di mana aset berada, praktek dalam
menjalankan hukum, dan perlawanan dari pihak yang hendak diambil
asetnya oleh pemerintah. 6

2. Rumusan malasah
3
20 Budi Saiful Haris, Penguatan Alat Bukti Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Integritas, Volume 02 Nomor 1 Tahun 2016. hal. 95
4
(UPAYA PENGEMBALIAN ASET KORUPSI YANG BERADA DI LUAR NEGERI (ASSET RECOVERY)
DALAM PENEGAKAN HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Ridwan Arifin1 Indah Sri
Utari, Herry Subondo2 1Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Indonesian Journal
of Criminal Law Studies I (1) (2016) hal 107).
5
(Saldi, Isra. 2008. “Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional”.
Makalah disampaikan dalam Lokakarya tentang Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan
Korupsi, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Kanwil
Depkumham Prov. Jawa Tengah, tanggal 22 Mei 2008, di Semarang. Hlm 1)
6
( 4 Paku, Utama. 2008. Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama
Internasional. Artikel Online tersedia: http://hukumonline.com/berita/baca/hol19356/tero
bosan-unac-dalam-pengembalian-aset-korupsimelalui-kerjasama-internasional [diakses 10 Mei
2012].

2
1) Bagaimana Indonesia mengatur tentang asset recovery?
2) Bagaimana upaya asset recovery yang ada di luar negeri
terhadap harta kekayaan hasil money laundry di Indonesia?
3) Bagaimana peran penegak hukum dalam melakukan asset
recovery hasil money laundry yang ada di luar negeri?

3. Tujuan penelitian
1) Mengetahui bagaima kebijakan pemerintah Indonesia mengatur
tentang asset recovery.
2) Mengetahui upaya asset recovery yang ada di luar negeri
terhadap harta kekayaan hasil money laundry di Indonesia?
3) Mengetahui peran penegak hukum dalam melakukan asset
recovery hasil money laundry yang ada di luar negeri

3
B. PEMBAHASAN
1. Bagaimana Indonesia Mengatur Tentang Asset Recovery?

Pencucian uang adalah suatu cara dimana pelaku tindak pidana seperti
korupsi menyembunyikan atau menghilangkan sumber uang yang
diperoleh dari hasil tindak pidana melalui mekanisme sistem keuangan
untuk menyembunyikan kekayaan hasil tindak pidananya. Pencucian
uang semacam ini bertujuan untuk menyembunyikan sumber dana
yang diperoleh sehingga aparat penegak hukum tidak dapat
mengetahui dan melacaknya. Setelah proses pencucian uang selesai,
uang tersebut secara formil yuridis merupakan dana yang legal dan
dari sumber yang legal. 7

Upaya pemulihan aset hasil skorupsi atau asset recovery terhadap kekayaan
yang disimpan di luar negeri menjadi salahsatu focus utama pemerintah
dan para penegak hukum terutama dalam strategi pemberantasan dan
mencegah korupsi di Indonesia. Banyaknya hasil korupsi yang dikirim ke luar
negeri menjadi fokus khusus beberapa lembaga nasional untuk berupaya
dapat mendapatkannya Kembali. Langkah ini dianggap sebagai salah satu
langkah yang sangat penting karena strategi Pemberantasan korupsi juga
meliputi upaya pengembalian aset yang dihasilkan kepada negara dan bukan
hanya sekedar mempidanakan pelaku saja. Ridwan Arifin, dkk / Indonesian
Journal of Criminal Law Studies I (1) (2016) hal 109) UPAYA PENGEMBALIAN
ASET KORUPSI YANG BERADA DI LUAR NEGERI (ASSET RECOVERY) DALAM
PENEGAKAN HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Perkembangan pengaturan pengembalian aset dimulai dengan adanya


pengaturan tentang upaya perampasan aset yang ada dalam sejarah
peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu dalam Peraturan
Penguasa Perang Pusat No. PRT/PEPERPU/013/1958 tentang tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan
Pemilikan Harta Benda. Ketentuan ini mengacu pada harta benda
selain hasil tindak pidana korupsi yang dapat disita, yaitu harta benda
orang pribadi atau badan yang sengaja tidak dijelaskan oleh orang atau
pengurusnya; harta benda yang tidak diketahui pemiliknya; dan
kekayaannya tidak sebanding dengan pendapatannya. 8 Bahder Johan
Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2008, hal. 104

7
Paku, Utama. 2008(Marwan Efendy, “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan pada
Lokakarya Antikorupsi bagi Jurnalis (Surabaya, 2007), hlm. 44.)
8
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2008, hal. 104

4
Sejauh menyangkut tindak pidana pencucian uang yang disebabkan
oleh korupsi, negara adalah pihak yang paling sering dirugikan. dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, telah ditetapkan bahwa kerugian keuangan negara
harus dipulihkan atau diganti oleh pelaku korupsi atau yang kita sebut
dengan asset recovery. Terkait dengan pengawasan terhadap
pengembalian aset tersebut, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
berbagai peraturan yang dapat dijadikan landasan bagi upaya
pemerintah untuk memulihkan kerugian keuangan negara yang
diakibatkan oleh korupsi dan tindak pidana pencucian uang,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undnag-Undang No.
25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU)
dan beberapa peraturan lainnya.

a. Upaya Asset Recovery Dari Sudut Pandang Undang-Undang Tindak


Pidana Korupsi
Upaya Asset recovery dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi
dapat dilakukan melalui jalur pidana maupun jalur perdata. Dalam
Pendekatan Melalui Jalur Pidana, UU PTPK mengatur tentang proses
pengembalian aset melalui jalur pidana, seperti misalnya penjatuhan pidana
denda yang diatur dalam setiap pasal delik pidana korupsi. Beberapa pasal
yang diketahui mengatur mengenai pengembalian aset (asset recovery)
melalui jalur pidana yaitu Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (5) UU PTPK.
Namun penegakan asset recovery melalui jalur pidana memiliki beberapa
kelemahan seperti prosesnya yang rumit, biayanya yang diperlukan relatif
mahal, serta membutuhkan waktu yang lama karena harus menunggu putusan
pengadilan berkekuatan tetap terhadap terdakwa. Banyak terdakwa yang
sering lolos dari hukuman karena tingginya standar pembuktian yang berlaku
dalam perkara pidana karena perlu pembuktian secara materiil. Hambatan
yang juga sering terjadi adalah saat proses pemidanaan, terdakwa mengalami
gangguan kesehatan (sakit), menghilang, menghilang, melarikan diri ke luar
negeri, sehingga memperlambat proses peradilan. 9

b. Upaya Asset Recovery Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Ratifikasi


UNCAC 2003
Sejak 18 Desember 2003, Indonesia menjadi negara ke-57 yang
menandatangani UNCAC ((United Nation Convention on Anti-
Corruption) dalam kapasitas sebagai state party. Selanjutnya Indonesia

9
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti
Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hlm. 249.)

5
telah meratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi. UNCAC 2003 telah
diadopsi oleh sidang Majelis Umum PBB dalam resolusinya Nomor 58/4
tangal 31 Oktober 2003, dan terbuka untuk ditandatangani di Meksiko dari
tanggal 9 - 11 Desember 2003. Sampai dengan Desember 2005, UNCAC
2003 telah ditandatangani oleh 140 negara, dan 92 negara telah
meratifikasinya. Yang menarik dari UNCAC 2003 ini adalah adanya
perubahan paradigma dalam melihat multi aspek serta fenomena korupsi.
StAR atau Stolen Asset Recovery merupakan program bersama yang
diluncurkan oleh Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa khususnya
UNODC (United Nations Office on Drugs and Crimes) untuk meningkatkan
kerja sama internasional dalam mengimplementasikan upaya pengembalian
aset hasil korupsi, sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional
yang menetapkan landasan mengenai pengembalian aset hasil kejahatan
(terutama korupsi) di negara-negara sedang berkembang. ASSET RECOVERY
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI INSTRUMEN UNDANG-UNDANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Malto S. Datuan Bismar Nasution,
Mahmud Mulyadi, Mahmul Siregar USU Law Journal, Vol.5.No.2 (April 2017)

c. Asset Recovery dalam Tindak Pidana Korupsi Melalui Civil Forfeiture.


Pengaturan akan asset recovery tindak pidana pencucian uang yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sudah
mengatur upaya perampasan aset tanpa pemidanaan atau dikenal dengan
Non Conviction based (NCB) Asset Forfeiture. Mekanisme NCB Asset
Forfeiture menjadikan aset yang merupakan hasil atau sarana tindak pidana
diposisikan sebagai subjek hukum/pihak, sehingga para pihaknya terdiri dari
negara yang diwakili oleh penyidik tindak pidana pencucian uang sebagai
pemohon/penuntut melawan aset yang diduga hasil atau sarana tindak
pidana sebagai termohon. Sistem ini memungkinkan dilakukannya
perampasan aset tanpa harus menunggu adanya putusan pidana bagi pelaku
tindak pidana.14 Muhammad Yunus, Merampas Aset Koruptor Solusi
Pemberantasan Korupsi Di Indoesia, Kompas, Jakarta, 2013, hal. 167

Civil forfeiture atau civil recovery digunakan apabila proceeding pidana yang
kemudian diikuti dengan pengambilalihan aset (confiscation) tidak dapat
dilakukan, yang bisa diakibatkan karena lima hal, yaitu pemilik aset telah
meninggal dunia, berakhirnya proses pidana karena terdakwa bebas,
penuntutan pidana terjadi dan berhasil tetapi pengambilalihan aset tidak
berhasil, terdakwa tidak berada dalam batas yurisdiksi, nama pemilik aset
tidak diketahui, tidak ada bukti yang cukup untuk mengawali gugatan
pidana.16 Anthony Kennedy, “An Evaluation of the Recovery of Criminal
Proceeds in the United Kingdom”, 10(1) Journal of Money Laundering
Control, 2007, hlm. 37..

6
Secara umum rezim civil forfeiture bisa lebih efektif dalam mengambil aset
yang dicuri oleh para koruptor dibandingkan melalui rezim pidana. Rezim
civil forfeiture mempunyai kelebihan yang mempermudah pengambilan aset
dalam proses pembuktian di persidangan. Hal ini dikarenakan civil forfeiture
menggunakan rezim hukum perdata yang standar pembuktiannya lebih
rendah dari pada standar pembuktian dalam hukum pidana.17 17 Ibid., hlm.
139 Selain itu dalam implementasinya, civil forfeiture menggunakan sistem
pembuktian terbalik di mana pemerintah cukup mempunyai bukti awal
bahwa aset yang diambil adalah hasil tindak pidana korupsi.18 18 Anthony
Kennedy, “Designing a Civil Forfeiture System : An Issues List For
Policymakers and Legislators”, 13(2) Journal of Financial Crime, 2006, hlm.
140

d. Asset Recovery Dalam Tindak Pidana Korupsi Melalui Bantuan Hukum


Timbal Balik (Mutual Legal Assistance)
MLA dianggap sebagai suatu nafas dan suatu instrumen hukum yang sangat
berguna dari upaya pengembalian aset-aset yang dicuri oleh para koruptor
oleh karena MLA merupakan permintaan bantuan masalah hukum pidana
berkenan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara
diminta.20 (22 20 Bismar Nasution, Rezim Anti Money Loundering Di
Indonesia, (Bandung : Books Terrace & Library, 2008), hlm. 122. )

Namun demikian UU MLA tidak akan berfungsi dengan sempurna jika tidak
diikuti oleh langkah nyata dari pemerintah untuk menggunakan instrumen ini.
Sedikitnya perjanjian bilateral yang dilakukan Indonesia menunjukkan bahwa
Pemerintah Indonesia belum menggunakan instrumen ini secara maksimal.
Bandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Filipina, atau
Thailand yang telah membuat kurang lebih 50 perjanjian MLA. 21 Yunus
Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, (Bandung : Books Terrace &
Library, 2007), hlm. 358 5.

e. Asset Recovery Dalam Tindak Pidana Korupsi Melalui Instrumen Undang-


Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ada beberapa tahapan dalam pelaksanaan asset recovery melalui instrument
UUTPPU, yang pertama adalah Pemeriksaan dan Penghentian Sementara
Transaksi oleh PPATK. Pemeriksaan atas transaksi keuangan yang
mencurigakan ini dilakukan oleh PPATK sehubungan dengan adanya
indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain. Dalam hal
hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh PPATK, ditemukan adanya indikasi
tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana lain, mengingat PPATK
bukan merupakan lembaga penegak hukum yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan penyidikan sendiri, maka hasil pemeriksaan tersebut
diserahkan kepada Penyidik untuk dilakukan penyidikan. Pengaturan terkait
dengan pemeriksaan terhadap transaksi keuangan mencurigakan terkait
dengan adanya indikasi tindak pidana ini diatur dalam Pasal 64 UU TPPU.

7
Penghentian Sementara Transaksi PPATK dapat meminta penyedia jasa
keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi
dalam hal diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 yang formulasinya sebagai berikut :
Pasal 65 (1) PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk
menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf i. (2) Dalam hal penyedia jasa
keuangan memenuhi permintaan PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pelaksanaan penghentian sementara dicatat dalam berita acara
penghentian sementara transaksi.

Langkah kedua adalah Penetapan Harta Kekayaan Sebagai Aset Negara oleh
Pengadilan. Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak
ditemukan oleh Penyidik dalam waktu tiga puluh hari, maka Penyidik dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk memutuskan harta
kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak
(Pasal 67 ayat (2)). Pengaturan tentang pengajuan permohonan oleh Penyidik
kepada Pengadilan Negeri untuk mengeluarkan putusan tentang harta
kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak dalam hal tidak
ditemukan pelaku tindak pidana, benar-benar merupakan langkah maju,
karena terhadap aset tersebut tidak perlu dibuktikan tindak pidananya melalui
proses persidangan, tetapi cukup diajukan oleh Penyidik kepada Pengadilan
Negeri untuk diputuskan status harta kekayaan tersebut.24

Langkah ketiga adalah Perampasan Aset Melalui Peradilan In Absentia


Pemeriksaan secara in absentia dalam UU TPPU diatur dalam Pasal 79, yang
berbunyi : Pasal 79 ayat (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran
terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada pengumuman pengadilan,
kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. Pasal 79 ayat
(4) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan
terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan
tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum
memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita. Pasal 79 ayat (5)
Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat
dimohonkan upaya hukum. Pasal 79 ayat (6) Pembinaan Hukum Nasional,
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I., 2012, hlm. 168). 23
Stefan D. Cassela, “The Case for Civil Forfeiture: Why In Rem Proceddings
are an Essential Tool for Recovering the Proceeds of Crime”, disampaikan di
25th Cambrige International Symposium on Economic Crime, 7 September
2007, hlm. 2-5. 24 Yudi Kristiana, op. cit., hlm. 152. USU Law Journal,
Vol.5.No.2 (April 2017) 95-102 101 Setiap orang yang berkepentingan dapat
mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Tujuan
diadakannya ketentuan tersebut yaitu untuk menyelamatkan keuangan atau

8
kerugian negara dengan merampas harta kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana. Berdasarkan putusan peradilan in absentia itu, seluruh harta kekayaan
terpidana yang telah disita, dirampas untuk negara. Adapun kendala dalam
peradilan in absentia adalah pada tingkat pelaksanaan putusan peradilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam upaya penangkapan dan
penahanan terhadap terhukum in absentia yang diketahui tempat tinggalnya
di luar negeri di mana negara tersebut tidak memiliki perjanjian ekstradisi
dengan Indonesia, serta penyitaan barang bukti hasil kejahatannya.

2. Bagaimana Upaya Asset Recovery Yang Ada Di Luar Negeri


Terhadap Harta Kekayaan Hasil Money Laundry?

Berdasarkan UNCAC Tahun 2003, bahwa paling tidak ada 3 (tiga) bentuk
tahapan utama dalam upaya pengembalian aset ini atau asset recovery yaitu
pertama tahap penelusuran dan identifikasi, kedua tahap proses penetapan
hukum yang berlaku, dan ketiga adalah tahap pengembalian atau perampasan
aset. Jalur yang bisa dilakukan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi yang berada di luar negeri dapat dilakukan secara formal melaui
perjanjian bilateral dan melalui MLA (bantuan hukum timbal balik), maupun
dengan jalur informal melalui hubungan diplomatik dan hubungan baik
antara Indonesia dengan negara-negara lain. Pada tahap identifikasi dan
penelusuran, informasi perihal aset bisa diperoleh melalui sistem perbankan
(financial systems) maupun non-perbankan (non-financial systems) dimana
tugas penyidik untuk menggali secara lengkap dan menyeluruh mengenai
besarnya aset dan letak aset tersebut. Pada tahap perampasan atau
pengembalian aset yang sebelumnnya dimulai dengan pembekuaan aset,
didasarkan dari putusan hakim di Indonesia yang secara jelas dan terperinci
menyebutkan besaran aset dan letaknya.( UPAYA PENGEMBALIAN ASET
KORUPSI YANG BERADA DI LUAR NEGERI (ASSET RECOVERY)
DALAM PENEGAKAN HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI DI
INDONESIA Ridwan Arifin, dkk / Indonesian Journal of Criminal Law
Studies I (1) (2016) hal 135

Selain ketentuan perundang-undangan upaya asset recovery juga dilakukan


dengan hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Stolen Asset
Recovery Initiatives (StAR).Terbentuknya StAR atas hasil kerjasama Bank
Dunia (World Bank) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan
kerjasama internasional dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana
khususnya di negara-negara berkembang. StAR berupaya untuk memberikan
bantuan konkrit guna membantu Indonesia dalam menyelamatkan aset-aset
hasil tindak pidana. Adapun bentuk kegiatan StAR khususnya di Indonesia
adalah sebagai berikut : 1. Asset Recovery Capacity Building StAR Initiative
membantu dalam peningkatan kualitas sumber daya 15 Pasal 67 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang manusia yang dimiliki oleh

9
institusiinstitusi terkait dengan pengembalian aset di Indonesia. 2. Legal
Framework StAR membantu pihak hukum Indonesia dalam revisi Rancangan
Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dan Revisi Undang-Undang Anti
Pencucian Uang. 3. Technical Assistance StAR memberikan bantuan teknis,
seperti mengadakan forum-forum pertemuan antar negara. Dalam forum
tersebut perwakilan tiap negara dapat membangun kerja sama terkait
dengan pengembalian aset atau pengajuan MLA terkait. StAR juga memiliki
global networking Friends of StAR yang terdiri dari menteri keuangan dan
gubernurgubernur bank sentral mancanegara. PERAN JAKSA TERHADAP
ASSET RECOVERY DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG1 Oleh :
Maggie Regina Imbar2 Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015 Hal 91

3. Bagaimana Peran Penegak Hukum Dalam Melakukan Asset


Recovery Hasil Money Laundry Yang Ada Di Luar Negeri?

Beberapa lembaga negara dan aparat penegak hukum memiliki kewenangan


untuk mengembalikan aset sebagaimana diamanatkan baik oleh UU Tindak
Pidana Korupsi, UU Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana,
maupun UU khusus lainnya. Lembaga-lembaga tersebut antara lain: 1.
Kejaksaan Agung, 2. Komisi Pemberantasan Korupsi, 3. Otoritas Pusat
Kementerian Hukum dan HAM (Central Authority), 4. National Central
Bureau (NCB) Interpol Indonesia, dan 5. Kementerian Luar Negeri,
khususnya Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional,
Direktorat Politik, Keamanan, dan Kewilayahan (Polkamwil). Lembaga-
lembaga tersebut di atas memiliki tugas, pokok, dan fungsinya (Tupoksi)
dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, khususnya aset
yang berada di luar negeri. Melalui lembaga-lembaga tersebut, beberapa aset
hasil korupsi yang berada di luar negeri sudah dapat dikembalikan ke dalam
negeri baik melalui proses prosedural undangundang yang berlaku (formal)
maupun melalui proses diplomasi (informal). Kelima lembaga tersebut di
atas, tergabung dalam Tim Terpadu yang diketuai oleh Kejaksaan Agung
berdasarkan Keputusan Menko Polhukam Nomor:
Kep54/Menko/Polhukam/12/ 2004 tanggal 17 Desember 2004 tentang
pembentukan tim terpadu pencari terpidana perkara tindak pidana korupsi,
kemudian diperbaharui dengan Keputusan Menko Polhukam Nomor: Kep-
21/Menko/Polhukam/4/2005 tanggal 18 April 2005 tentang tim terpadu
pencari terpidana dan tersangka perkara tindak pidana korupsi, dan
diperbaharui lagi dengan Keputusan Menko Polhukam Nomor: Kep-
23/Menko/Polhukam/02/2006 tanggal 28 Februari 2006 tentang tim terpadu
pencari terpidana dan tersangka perkara tindak pidana korupsi. (UPAYA
PENGEMBALIAN ASET KORUPSI YANG BERADA DI LUAR NEGERI
(ASSET RECOVERY) DALAM PENEGAKAN HUKUM
PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA.Ridwan Arifin, dkk /
Indonesian Journal of Criminal Law Studies I (1) (2016), hal 110)

10
Lembaga-lembaga negara dan aparat penegak hukum tersebut secara
bersamasama sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing
memainkan peranannya dalam menyukseskan upaya asset recovery
tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait. Peran
pemerintah dan lembagalembaga ini akan menunjukkan sejauh mana upaya
yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengembalian aset
tersebut.

C. KESIMPULAN
Tahap proses hukum dalam upaya pengembalian aset tergantung bagaimana
yurisdiksi hukum nasional negara yang bersangkutan maupun konvensi-konvensi
Internasional ataupun perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara
tersebut. Bisa saja, dalam hal tersebut digunakan jalur-jalur baik formal melalui
MLA maupun jalur informal melalui hubungan diplomatik antara Indonesia
dengan negara yang bersangkutan.
Baik jalur formal maupun informal keduanya memiliki titik tekan dan fokusnya
masing-masing. Keduanya juga memliki kelemahan dan kelebihannya jika dilihat
dari sudut upaya asset recovery, tapi baik jalur formal ataupun informal kedua-
duanya selalu diupayakan oleh pemerintah.
D. DAFTAR PUSTAKA

11

Anda mungkin juga menyukai