Anda di halaman 1dari 14

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN AGUS PURNOMO SEI., M.SI


MIKRO SYARIAH

SASARAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO:

KEBERLANJUTAN DAN JANGKAUAN

Oleh:

Mona 190105020013

Roby Hafizhi 19010502153

Firda Hayati 190105020019

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PERBANKAN SYARIAH

BANJARMASIN

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur bagi Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya kita masih diberi kesehatan
hingga detik ini sehingga penulis dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Sholawat serta salam tak
lupa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SWT, yang telah membawa kita dari
zaman kebodohan hingga zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Penulis sangat berterima kasih kepada Agus Purnomo, SEI., M.SI selaku dosen pengampu
Mata Kuliah Manajemen Lembaga Keuangan Mikro Syariah dan semua pihak yang turut membantu
demi terselesaikannya tugas makalah ini.

Penulis sangat menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kata sempurna, masih
banyak kesalahan, hal ini murni karena kesalahan penulis. Dengan ini penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan
pada tugas-tugas selanjutnya.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih, semoga Allah SWT senantiasa meridhoi
segala urusan dan aktivitas kita sehari-hari. Aamiin.

Banjarmasin, 21 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG................................................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................................ 1
1.3 TUJUAN PENULISAN .............................................................................................. 1
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
2.1 HUBUNGAN KEBERLANJUTAN (SUSTAINABILITAS) DAN JANGKAUAN
(OUTREACH) ....................................................................................................................... 3
2.2 CARA MENCAPAI KERLANGSUNGAN (SUSTAINABILITAS) ........................ 4
2.3 CARA MEMILIH NASABAH ................................................................................... 5
2.4 DILEMA KEUANGAN .............................................................................................. 6
2.5 KEBIJAKAN UNTUK MENINGKATKAN KEBERLANJUTAN........................... 7
BAB III .................................................................................................................................... 10
PENUTUP................................................................................................................................ 10
3.1 KESIMPULAN ......................................................................................................... 10
3.2 SARAN ..................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Strategi percepatan penanggulangan kemiskinan seperti yang diatur dalam


Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 15 tahun 2010 tentang Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya
adalah melalui peningkatan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin serta
pengembangan dan jaminan keberlanjutan usaha mikro dan kecil. Salah satu
kelembagaan keuangan yang dapat dimanfaatkan dan didorong untuk membiayai kegiatan
perekonomian yang mayoritas usaha penduduknya masuk dalam segmen mikro adalah
Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Lembaga ini sebenarnya telah banyak tumbuh dan
mengakar dalam masyarakat , tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.

Beberapa studi tentang LKM difokuskan pada penilaian kinerja dan


sustainabilitas LKM dengan mengevaluasi indikator-indikator keuangan yang secara
langsung mempengaruhi tingkat kemandirian, jangkauan dan mekanisme pemberian
kredit. Teori sustainabilitas LKM yang dikembangkan selama ini menyatakan bahwa
sustainabilitas LKM adalah kemampuan LKM dalam menjalankan sistem yang telah
dibangun agar dapat beroperasi secara berkelanjutan. Begitupun LKM yang
memilikikemampuan sebagai penyedia keuangan mikro untuk menutupi semua biaya
dalam mencapai financial sustainability.

Sampai saat ini penelitian yang menganalisa tentang keberlanjutan LKM cukup
langka padahal isu keberlanjutan adalah salah satu isu yang penting untuk dibahas
karena berkaitan dengan kemampuan LKM dalam bertahan menghadapi tantangan
internal (kurangnya dana, kualitas tenga kerja yang masih rendah dll) serta eksternal
(tingkat inflasi dll).

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Hubungan keberlanjutan (sustainability) dan jangkauan (outreach).


2. Cara mencapai keberlanjutan.
3. Cara memilih nasabah (jangkauan)
4. Dilema keuangan
5. Kebijakan untuk meningkatkan keberlanjutan.

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Bentuk penyelesaian tugas dari mata kuliah Manajemen Lembaga Keuangan Mikro
Syariah.
2. Mengetahui hubungan keberlanjutan dan jangkauan.

1
3. Mengetahui bagaimana cara mencapai berkelanjutan.
4. Mengetahui bagaimana cara memilih nasabah.
5. Mengetahui dilema keuangan dalam LKM
6. Mengetahui bagaimana kebijakan untuk meningkatkan keberlanjutan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 HUBUNGAN KEBERLANJUTAN (SUSTAINABILITAS) DAN


JANGKAUAN (OUTREACH)

Analisis terkait keberlanjutan keuangan (financial sustainability) Lembaga


Keuangan Mikro (LKM) tidak dapat dilepaskan dari tingkat jangkauan (outreach).
Keduanya merupakan dua indikator dasar (double bottom line) yang digunakan untuk
mengukur kinerja LKM. Dalam beberapa penelitian, keduanya memperlihatkan hubungan
terbalik (trade-off) (Conning, 1999; Olivares-Polanco, 2006; Kumar K, 2014). Ketika
LKM memperluas ataupun memperdalam jangkauan, pemberian pinjaman pada
masyarakat miskin, maka akan meningkatkan risiko kredit macet yang berujung pada
rendahnya tingkat keberlanjutan keuangannya. Keterbatasan masyarakat miskin yang tidak
mempunyai aset sebagai agunan serta tidak adanya pekerjaan tetap untuk menopang
kestabilan pendapatan.

Fenomena terjadinya hubungan terbalik (trade-off) antara jangkauan dan


keberlanjutan keuangan telah ditemukan dalam beberapa penelitian, yang pada umumnya
dilakukan di LKM konvensional yang berbasis tingkat bunga. Ketika LKM memperluas
jangkauan layanan keuangannya pada masyarakat miskin, maka sejalan dengan itu akan
meningkatkan risiko pinjaman bermasalah dan berujung pada rendahnya tingkat
keberlanjutan keuangannya. Namun, hasil tersebut masih menjadi perdebatan, karena ada
juga penelitian yang menolak kesimpulan terjadinya trade-off di antara keduanya.
Beberapa penelitian yang memperlihatkan hasil terjadinya trade-off antara jangkauan dan
keberlanjutan keuangan LKM adalah laporan World Bank (2006). LKM yang
berkomitmen untuk tujuan sosial akan mempunyai kedalaman jangkauan yang lebih baik
dibandingkan dengan LKM nirlaba yang bergantung pada subsidi. Artinya, bahwa
dukungan donor dan subsidi dari pihak lain tidak bisa menopang industri keuangan mikro.
Sebaliknya, ketika LKM lebih mengutamakan keberlanjutan keuangannya maka
kedalaman jangkauan nya akan berkurang sebagai implikasi dari terjadinya trade-off
diantara keduanya.

Agar mampu menjadi LKM yang berhasil, mereka diharapkan bisa memberikan
manfaat bagi masyarakat (impact), mampu menjaga keberlanjutan operasionalnya
(sustainability) dan mampu menjangkau masyarakat luas terutama masyarakat miskin
(outreach). Tiga aspek inilah yang diungkap dalam teori Triangle of Microfinance oleh
Zeller dan Meyer (2003). LKM diharapkan mampu menjaga keberlanjutan usaha, mampu
menjadi lembaga yang tidak tergantung pada subsidi serta mampu menutup biaya
operational secara mandiri (Parveen, 2009).

3
2.2 CARA MENCAPAI KERLANGSUNGAN (SUSTAINABILITAS)

Terdapat beragam definisi dan pemahaman terkait dengan keberlanjutan LKM.


Secara umum, keberlanjutan didefinisikan sebagai kemampuan institusi untuk menutupi
semua biaya yang termasuk biaya operasional dan keuangan. Terminologi keberlanjutan
berarti keberadaan institusi dalam jangka panjang untuk mencapai tujuannya.

Sustainabilitas LKM merupakan kemampuan LKM untuk bertahan, secara


terus menerus dalam menutupi biaya operasional dengan menggunakan pendapatan
usaha yang dihasilkan dari aktifitas bisnis (Woller et. al,. 1991). Keberlanjutan LKM
mempunyai dua bentuk yaitu keberlanjutan institusi dan keberlanjutan keuangan yang
saling berkaitan (Rao & Fitamo, 2015). Terkait dengan ini, keberlanjutan LKM
menunjukkan kemampuan LKM untuk memberikan layanan keuangan kepada kelompok
nasabah yang luas secara terus-menerus.

Adapun beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencapai keberlangsungan LKM
antara lain:

1. Mengembangkan kapasitas Sumber Daya Manusia


Untuk mempersiapkan SDM pengelola LKM yang berkualitas.
Menurut Krisnamurti (2005) dalam Ashari (2006), pengembangan kapasitas
kelembagaan dapat dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi,
lembaga pendamping, dunia usaha, lembaga internasional, kerjasama antar
LKM dan instansi pemerintah. Kerjasama dapat dilakukan terutama dalam
peningkatan kemampuan SDM, sistem dan prosedur operasi, teknologi,
jaringan usaha dan aksesibilitas terhadap berbagai dukungan dalam
meningkatkan jangkauan pelayanan kepada masyarakat.
2. Memberikan kepastian hukum
Hal ini perlu dilakukan dengan tujuan memberikan status hukum yang
jelas kepada berbagai LKM sehingga memungkinkan bank dan lembaga keuangan
lainnya untuk melakukan hubungan bisnis yang wajar dengan LKM serta
mengizinkan LKM untuk menghimpun simpanan masyarakat dalam wilayah dan
jumlah tertentu.
3. Penciptaan sistem pengaturan dan pengawasan yang efisien
Mendelegasikan pengaturan dan pengawasan kepada lembaga yang sesuai
di daerah (provinsi/kabupaten), memastikan memadainya pendanaan, SDM
pengawas, melakukan pendataan LKM di tingkat provinsi, serta melakukan
penilaian kinerja LKM. Semua hal di atas dilakukan dalam rangka pembinaan dan
pendampingan kelembagaan LKM. Alasan utama perlunya regulasi dan
pengawasan terhadap LKM adalah informasi yang assimetris diantara faktor
yang terlibat dalam operasional LKM. Regulasi dan pengawasan diperlukan
untuk memastikan bahwa operasional dapat berjalan baik sehingga akan akan
menguntungkan bagi lembaga keuangan maupun nasabah. Regulasi dengan
prinsip kehati-hatian diperlukan untuk melindungi sistem keuangan dari
kemungkinan terjadinya resiko sistematik.

4
4. Meningkatkan infrastruktur kelembagaan yang kuat sebagai penunjang
pemberdayaan
Dengan dukungan infrastruktur kelembagaan yang memadai terhadap
aktivitas keuangan mikro terbukti mampu menumbuhkan industri tersebut
secara sehat.Sumber daya manusia ini harus mampu mengelola secara
transparan dan akuntabel dengan suatu sistem manajemen operasional yang
baik.
5. Mengatur majament operasional yang baik
Tata kelola atau manajemen operasi diukur dengan suatu indikator
penerapan standar operasional dan prosedur (SOP) dan standar operasional
manajemen (SOM). Dengan penerapan SOP dan SOM maka operasionalisasi
lembaga akan berdasarkan suatu sistem yang baku, sehingga terjamin adanya
transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya.

2.3 CARA MEMILIH NASABAH

Keputusan nasabah dalam memilih perbankan syariah dapat dipengaruhi secara


eksternal maupun internal. Secara eksternal product, price, promotion, place, people,
physical evidence, process. Hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan keputusan
memilih dapat digambarkan sebagai berikut: Apabila seseorang membutuhkan suatu
produk, maka terbayang lebih dahulu ialah manfaat produk, setelah itu baru
mempertimbangkan faktor-faktor lain diluar manfaat. Faktor-faktor itulah yang membuat
konsumen mengambil keputusan membeli atau tidak (Alma, 2007:140). Berpijak pada
pemikran tersebut maka dalam penelitian ini Hipotesis 1 (H1): Diduga variabel Produk
berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih Perbankan Syariah. Salah satu bauran
pemasaran yang dapat merangsang keputusan pembelian adalah harga. Penetapan harga ini
sangat kompleks, karena unit biaya dibutuhkan untuk menghitung harga yang mungkin
sulit untuk ditentukan dan diamana pelanggan sering menggunakan harga sebagai acuan
kualitas (Sulistyorini, 2006:35).

Berdasarkan hal tersebut dibangun Hipotesis 2 (H2): Diduga variabel Harga


berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih Perbankan Syariah. Suatu kegiatan
promosi jika dilaksanakan dengan baik dapat mempengaruhi konsumen mengenai dimana
dan bagaimana konsumen membelanjakan pendapatannya (Alma, 2007:181). Dari
pemikiran tersebut diangun Hipotesis 3 (H3): Diduga variabel Promosi berpengaruh
signifikan terhadap Keputusan Memilih Perbankan Syariah. Tempat ini sangat penting
karena dalam segala hal mereka berhubungan dengan konsumen. Distribusi/ tempat dapat
menjadi agen pembelian yang baik bagi para konsumen (Alma, 2007:209-210). Oleh

5
katena itu hipotesis berikut yang diajukan Hipotesis 4 (H4): Diduga variabel Tempat
berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih Perbankan Syariah. Salah satu
rangsangan dari bauran pemasaran terhadap nasabah bank untuk mencapai kepuasan
nasabah adalah bauran elemen People. Untuk bauran elemen People sangat perlu dijaga
yang menyangkut semua personil/ karyawan bank tentang sikap dan keramahan, sopan
santun, ramah, senyum, ada perhatian, kesabaran, memiliki pengetahuan yang cukup, ahli,
ketepatan, penampilan fisik, rapih, pakaian seragam, asesoris, cepat tanggap, pada
kebutuhan nasabah, penuh kepedulian, dan sebagainya (Alma, 2007:338). Berpegang pada
betapa pentingnya People dalam konteks tersebut maka dibangun hipotesis 5 (H5): Diduga
variabel People berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih Perbankan Syariah.

Selanjutnya dari bauran pemasaran yang berpengaruh terhadap nasabah bank


untuk mencapai kepuasan nasabah adalah bauran elemen Physical Evidence. Menyangkut
Physical Evidence terhadap bank meliputi fasilitas, jenis kualitas peralatan kantor,
ketersediaan formulir, papan informasi, dan sebagainya (Alma, 2007:338). Dari pendapat
tersebut dalam penelitian ini dibangun hipotesis .Diduga variabel Physical Evidence
berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih Perbankan Syariah. Bauran
pemasaran berupa Process perlu diperhatikan sehingga tercapai kepuasan nasabah dan juga
nasabah tidak tertarik dengan produk pesaing dan akan muncul penciptaan prospek oleh
langganan (Alma, 2007:338). Oleh karena itu Hipotesi 7 dalam penelitian ini (H7): Diduga
variabel Process berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Memilih Perbankan Syariah.

2.4 DILEMA KEUANGAN

Biasanya, nilai suatu bisnis diukur berdasarkan aset yang berwujud atau tangible,
yaitu bentuk fisik yang bisa disentuh dan dilihat, misalnya uang tunai, inventaris kantor,
mesin, dan gedung.Tapi kini hal itu sudah berubah. Nilai bisnis juga diukur dari aset yang
tidak berwujud atau intangible, yang tidak berbentuk tapi sangat bernilai, misalnya properti
intelektual perusahaan, merknya, atau sumber daya manusianya.Aset tidak berwujud ini
mempengaruhi beberapa IPO terbesar dan valuasi yang terjadi beberapa tahun belakangan
ini.Aset-aset tidak berwujudlah yang menjadikan dua perusahaan ini bernilai tinggi, yaitu
aset seperti data pelanggan, algoritma, akses ke data, intelligence, penggunaan data, dan
merk perusahaan.
Pergeseran yang fundamental mengenai bagaimana nilai bisnis diukur memberikan
tantangan baru bagi bagian keuangan. Bagian keuangan harus mengerti dan
mendemonstrasikan nilai bisnis mereka sesungguhnya, harus bisa menganalisa dan
mengukur secara akurat, dan melaporkan aset tidak berwujud yang berisi data terstruktur
dan tidak terstruktur di dalam sistem mereka. Proses ini membutuhkan pemahaman
mengenai apa saja aset mereka, menciptakan KPI, dan mengukur kinerja aset-aset baru ini.
Data ini harus dilaporkan secara transparan dan jelas kepada para investor, pemegang
saham, pelanggan, dan pemegang kepentingan lainnya. Seperti yang kita lihat sekarang,

6
semakin banyak intelligence dan nilai yang ditarik dari data tidak terstruktur dan
terstruktur secara bersamaan.
Jika bagian keuangan bisa memahami nilai bisnis secara akurat, maka manajemen
data menjadi sangat krusial. Bagian keuangan harus bisa menarik informasi dari semua lini
bisnis dan operasional, dan membawa data ini ke dalam satu sumber. Selain itu, agar
bagian keuangan bisa menciptakan naratif yang menarik mengenai data ini, mereka harus
bekerja sama dengan para manajer di semua lini bisnis untuk memahami implikasi dari
data tersebut. Dengan cara seperti ini, bagian keuangan menjadi sistem pemandu untuk
bisnis, menghubungkan berbagai lini bisnis dan pemegang kepentingan untuk mencari,
memahami, dan melaporkan nilai bisnis. Untuk mewujudkan visi ini, bagian keuangan
harus mentransformasi cara mereka beroperasi. Pelaporan dengan dokumen manual sudah
ketinggalan zaman. Jika nilai aset harus diukur secara akurat, korespondensi antara bagian
keuangan dan manajer bisnis sebaiknya dilakukan seminimum mungkin, karena itu hanya
akan membuang waktu dan memberikan celah untuk kesalahan.
Bagian keuangan membutuhkan sistem yang bisa menyediakan alur kerja yang
efisien dan keamanan tinggi (untuk memastikan mereka yang punya akses ke data sensitif
bisa melihatnya), selagi menjamin bahwa data itu disimpan dengan benar secara otomatis.
Selain itu, bagian keuangan tidak bisa bergantung pada sistem ERP saja, tapi mereka harus
memperluas jaringannya ke sistem lini bisnis lain dan ke sistem prediktif yang rumit yang
berada di kolam data besar, atau big data.
Sistem enterprise performance management (EPM) perusahaan yang modern dan
berbasis cloud cocok untuk kebutuhan ini. Sistem EPM ini dapat secara sistematis
mengkategorikan aset tak berwujud seperti “intelligence”, “pengetahuan”, dan “analitik”,
kemudian menyatukannya ke dalam satu laporan. Hasilnya, bagian keuangan bisa
mengukur nilai bisnis secara lebih akurat dan melaporkannya secara transparan kepada
para pemegang kepentingan.

2.5 KEBIJAKAN UNTUK MENINGKATKAN KEBERLANJUTAN

Penjelasan umum UU No. 1 tahun 2013 menjelaskan bahwa keuangan merupakan


salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam mendorong peningkatan
perekonomian masyarakat. Perkembangan dan kemajuan sektor keuangan, baik bank
maupun lembaga keuangan bukan bank perlu dipertahankan. Lembaga keuangan bukan
bank masih memerlukan peningkatan dan perbaikan dalam aspek kelembagaan, organisasi,
regulasi (kebijakan), dan Sumber Daya Manusia (SDM).

Dengan pelatihan-pelatihan diadakan untuk memperbaiki kinerja para pengelola


LKM Syari’ah maupun Konvensional. Untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia
dari pengurus atau pengelola UMKM, Dinas koperasi melalui UPTD balai latihan koperasi
telah menyelenggarakan pelatihan bagi 1.150 pengurus atau pengelola UMKM melalui
pelatihan akuntansi, pelatihan manejemen usaha kecil, pelatihan kewirausahaan, pelatihan
ketrampilan usaha produktif, dan pelatihan achievement motivation training (AMT).
Penyediaan landasan hukum bagi operasional lembaga LKM syariah maupun
Konvensional.

UU No.1 tahun 2013 pasal 3 tentang lembaga keuangan mikro bertujuan: a)


Meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat b) Membantu peningkatan
pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat c) Membantu peningkatan

7
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin atau berpenghasilan
rendah.

UU No. 1 tahun 2013 tentang lembaga keuangan mikro (LKM). Secara eksplisit,
UU No.1 tahun 2013 tentang LKM menyebutkan BMT sebagai lembaga keuangan mikro
yang akan diatur dan diawasi oleh OJK. Oleh sebab itu, tentu sepenuhnya isi UU LKM
ditujukan bagi BMT. Poin penting yang menjadi perhatian dari UU LKM ini terkait BMT
adalah pengaturan cakupan wilayah usaha BMT yang dibatasi pada wilayah kabupaten/
kota saja (pasal 16). Apabila BMT sebagai LKM melakukan kegiatan usaha melebihi satu
wilayah kabupaten/kota tempat kedudukannya, maka BMT tersebut harus berubah menjadi
bank (pasal 27).

UU No.1 tahun 2013 tentang lembaga keuangan mikro mengatur bahwa LKM
bukan bank, yang merupakan salah satu jenis lembaga keuangan mikro harus memiliki izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 9 tentang perizinan LKM dalam UU tersebut
menyebutkan bahwa beberapa persyaratan pemberian izin usaha LKM meliputi adanya
susunan organisasi dan kepengurusan, permodalan, kepemilikan, dan kelayakan rencana
kerja.

Pasal 12 (2) UU No. 1 tahun 2013 tersebut juga menjabarkan bahwa pelaksanaan
kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip syari’ah (LKM bukan bank informal, contoh
BMT) wajib dilaksanakan sesuai dengan fatwa syari’ah yang dikeluarkan oleh Dewan
Syari’ah Nasional, Majelis Ulama Indonesia. Pasal selanjutnya menyatakan bahwa LKM
bukan bank informal tersebut juga wajib membentuk dewan pengawas syari’ah untuk
kelancaran operasional. Dewan Pengawas Syari’ah bertugas memberikan nasihat dan saran
kepada direksi atau pengurus serta mengawasi LKM agar sesuai dengan prinsip syari’ah.
Selanjutnya pada pasal 28, pembinaan, pengaturan dan pengawasan LKM dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pasal 28 (2 hingga 4) menuliskan bahwa OJK melakukan koordinasi dengan


kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri
dalam melakukan pembinaan. Pembinaan dan pengawasan didelegasikan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. Pihak OJK dapat mendelegasikan pembinaan dan
pengawasan kepada pihak yang ditunjuk jika Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum
siap. LKM bukan bank yang disebutkan dalam Ketentuan Peralihan Pasal 39 UU No. 1
tahun 2013 yang meliputi badan kredit kecamatan (BKK) dan Baitul Maal Wat Tamwil
(BMT) wajib memperoleh izin usaha dari OJK paling lama satu tahun terhitung sejak UU
tersebut berlaku (UU tersebut diundangkan pada tanggal 8 Januari 2013, dan pada pasal
42, menyebutkan bahwa UU No.1 tahun 2013 mulai berlaku setelah dua tahun terhitung
sejak diundangkan, yaitu tanggal 8 Januari 2015).

Analisis terhadap BMT dan UU no. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) juga dilakukan. UU no. 21 tahun 2011 mengatur tentang keberadaan dan ruang
lingkup wewenang OJK. Pasal ketentuan peralihan UU no. 1 tahun 2013 tentang LKM
menyebutkan secara eksplisit bahwa BMT akan berada dalam pengawasan OJK.Maka

8
sepatutnya BMT memahami pula kelembagaan, wewenang, dan ruang lingkup
pengawasan OJK secara keseluruhan. Di dalam UU OJK memang tidak disebutkan secara
eksplisit lembaga keuangan mikro termasuk BMT, namun bukan berarti UU ini tidak perlu
diperhatikan oleh komunitas BMT. Meski UU ini tidak terkait langsung dan memiliki
konsekuensi langsung, namun tetap saja keberadaan UU ini akan menjadi batasan bagi
BMT pada tingkat interaksi tertentu. Seberapa jauh cakupan batasannya tentu perlu
ditelaah lebih dalam.

Analisis UU perkoperasian dan UU LKM, akan ada beberapa penafsiran yang


berpotensi muncul berdasarkan kepentingan tertentu. Penafsiran-penafsiran tersebut
diantaranya adalah terdapat opsi bagi koperasi atau LKM yang berbentuk koperasi untuk
beroperasi dibawah UU perkoperasian atau UU LKM. Konsekuensi yang timbul jika
memilih beroperasi bersandar pada UU perkoperasian, maka yang akan menjadi
regulatornya adalah Kementerian Koperasi dan UMKM dengan pengawasan dilakukan
oleh Lembaga Pengawas Koperasi Simpan-Pinjam (pasal 100). Sementara jika memilih
beroperasi berdasarkan UU LKM, maka yang akan menjadi regulatornya adalah OJK.
Penafsiran ini tentu asumsinya peraturan pemerintah sebagai ketentuan teknis disusun
tanpa melakukan referensi pada UU terkait, misalnya peraturan pemerintah mengenai
koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syari’ah (termasuk BMT) tidak merujuk pada UU
LKM.

Penafsiran yang kedua adalah bahwa UU perkoperasian dan UU LKM


harus dikompromikan, khususnya pada pengaturan koperasi yang melakukan kegiatan
keuangan mikro yang berbadan hukum koperasi. Hal ini mengingat pada beberapa pasal
dalam UU LKM yang mengindikasikan akan dilakukan koordinasi pengaturan koperasi
yang menjalankan kegiatan keuangan mikro, baik yang beroperasi secara konvensional
maupun syari’ah. Indikasi ini terlihat secara jelas dalam tafsiran pertama yang tidak akan
menjadi kesimpulan bila beberapa pasal di UU LKM dikaitkan dengan UU perkoperasian.
Berdasarkan beberapa pasal dalam UU LKM irisan UU perkoperasian begitu signifikan
dengan UU LKM. Artinya, kedua UU ini perlu dikompromikan dalam pengaturan koperasi
yang melakukan kegiatan keuangan mikro atau lembaga keuangan mikro yang berbadan
hukum koperasi. (Lasmiatun, 2017).

9
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Analisis terkait keberlanjutan keuangan (financial sustainability) Lembaga


Keuangan Mikro (LKM) tidak dapat dilepaskan dari tingkat jangkauan (outreach).
Keduanya merupakan dua indikator dasar (double bottom line) yang digunakan untuk
mengukur kinerja LKM. Dalam beberapa penelitian, keduanya memperlihatkan hubungan
terbalik (trade-off) (Conning, 1999; Olivares-Polanco, 2006; Kumar K, 2014). Ketika
LKM memperluas ataupun memperdalam jangkauan, pemberian pinjaman pada
masyarakat miskin, maka akan meningkatkan risiko kredit macet yang berujung pada
rendahnya tingkat keberlanjutan keuangannya. Keterbatasan masyarakat miskin yang tidak
mempunyai aset sebagai agunan serta tidak adanya pekerjaan tetap untuk menopang
kestabilan pendapatan mereka.

3.2 SARAN

Kami selaku penulis, memohon maaf apabila terdapat beberapa kesalahan dalam
penulisan ini, karena kami kurang memahami materi ini.

Saran untuk para penulis selanjutnya, sebelum menulis suatu karya ilmiah,
diharapkan untuk memahami materi yang akan diangkat, untuk memudahkan dalam
penulisan dan agar tidak adanya kekeliruan dalam penulisan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Lasmiatun, November 2017. “Peran dan Kebijakan Pemerintah Melalui LKM/ LKMS untuk
Menciptakan Kesejahteraan dan Keadilan Distributif”, DIMENSI, VOL. 10, NO. 2.
https://journal.trunojoyo.ac.id

Conning, Jonathan. 1999. “Outhreach,Sustanibility and Leverage in Monitored and Peer-Monitore


Lending”.Visual Post: Jounrnal of Development Economics 60(1), 51-77.

Zeller dan Meyer, (2003). Triangle of Microfinance

Alma, Buchari. 2007. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung: Afabeta

Jasbir Singh, 2007, Dilema Keuangan Modern, Jakarta

11

Anda mungkin juga menyukai