Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN COVID-19

A. KONSEP COVID 19
1. Pengertian COVID 19
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul
dan tidak bersegmen yang termasuk dalam ordo Nidovirales, keluarga
Coronaviridae. Coronaviridae dibagi dalam dua subkeluarga yang
dibedakan berdasarkan serotipe dan karakteristik genom. Terdapat empat
genus yaitu alpha coronavirus, betacoronavirus, deltacoronavirus dan
gamma coronavirus (Burhan, dkk 2020). Struktur coronavirus seperti
kubus dengan protein S yang berlokasi di permukaan virus. Coronavirus
bersifat sensitif terhadap panas dan secara efektif dapat diinaktifkan oleh
desinfektan yang mengandung klorin, pelarut lipid dengan suhu 56 oC
selama 30 menit, eter, alkohol, asam perioksiasetat, detergen non-ionik,
formalin, oxidizing agent dan kloroform. Sedangkan penggunaan
klorheksidin tidak efektif dalam menonaktifkan virus (Wang, dalam
Yuliana 2020).
Infeksi virus corona yang disebut COVID-19 pertama kali ditemukan
di kota Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019. Virus ini menular
dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara,
termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan. COVID 19
merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus bernama SARS-
CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan
manusia). Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui
menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti
Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS- CoV). SARS CoV2 adalah virus jenis
baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia dan
menyebabkan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) adalah infeksi saluran
pernapasan yang disebabkan oleh coronavirus. Pengurutan genetika virus
ini mengindikasikan bahwa virus ini berjenis betacoronavirus yang terkait
erat dengan virus SARS (WHO, 2020).
2. Etiologi
Secara umum, virus corona memiliki sampul yang melingkupi materi
genetik, yang terdapat berbagai protein dengan berbagai fungsi, salah
satunya berikatan dengan reseptor membran sel. Hal inilah yang membuat
virus dapat mudah masuk ke dalam sel tubuh. Struktur virus menyerupai
mahkota atau crown sehingga dinamai virus corona atau coronanvirus.
Coronavirus adalah kelompok besar virus yang dapat menyebabkan
penyakit pada hewan dan manusia. Beberapa penyakit-penyakit pada
manusia yang ditimbulkan virus dari keluarga coronavirus adalah
selesma, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS), dan penyakit yang dinyatakan pandemi
tertanggal 11 Maret 2020 oleh WHO, Coronavirus Disease 19 (COVID-
19).
Pada tanggal 31 Desember 2019, WHO menyebutkan ditemukannya
kasus kategori pneumonia yang belum diketahui penyebabnya di Wuhan,
China. Hari ke hari jumlah kasus meningkat hingga akhirnya WHO
menetapkan kasus ini sebagai Public Health Emergency of International
Concern/ Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia
(PHEIC/KKMMD). Di tanggal 12 Februari 2020, nama COVID-19 resmi
digunakan untuk penyakit baru ini dengan virus penyebabnya disebut
SARS-CoV-2.
Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus
betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini
masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang
menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada
2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International
Committee on Taxonomy of Viruses mengajukan nama SARS-CoV-2.
3. Manifestasi Klinis COVID-19
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas,
mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia,
pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus
tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak
6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis.
Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu ≥ 38 oC) yang
lebih dari 40% demam pasien memiliki suhu puncak antara 38,1-39 oC dan
34% suhu pasien lebih dari 39oC, batuk dan kesulitan bernapas. Selain itu
dapat disertai dengan sesak memberat, fatigue, mialgia, gejala
gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran napas lain. Setengah dari
pasien timbul sesak dalam satu minggu. Pada kasus berat perburukan
secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok septik, asidosis metabolik
yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi dalam
beberapa hari. Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik, dengan
sebagian kecil dalam kondisi kritis bahkan meninggal (Yuliana dalam
PDPI, 2020).
Berdasarkan kondisi pasien, gejala yang muncul dapat dikategorikan
sebagai berikut, gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi
akut saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam,
fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri
tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan
suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan
diare dan muntah. Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai
dengan demam, ditambah salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan
>30x/menit (2) distres pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93%
tanpa bantuan oksigen. Pada pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala
yang atipikal.
Perjalanan penyakit dimulai den gan masa inkubasi yang lamanya
sekitar 3-14 hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit
masih normal atau sedikit menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase
berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui aliran darah, diduga
terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-paru,
saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan.
Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala
awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru
memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan
mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi
makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS,
sepsis, dan komplikasi lainnya (Susilo dkk, 2020).
4. Cara Penularan
Virus corona ditularkan antara manusia dan hewan (zoonis) karena
mengalami spillover. Spillover ini dapat terjadi karena berbagai faktor,
misalnya mutasi atau peningkatan kontak antara manusia dengan hewan
yang memiliki virus corona. Pada mulanya SARS ditularkan kucing
luwak dan MERS ditularkan unta. Saat ini, kelelawar diduga sebagai
hewan yang berperan menjadi sumber penularan dan trenggiling menjadi
reservoir sementara SARS-CoV-2. Pada beberapa minggu pertama,
wabah COVID- 19 diketahui berasosiasi dengan pasar makanan laut yang
menjual hewan hidup di Wuhan karena semua pasien saat itu memiliki
riwayat bekerja atau mengunjungi pasar tersebut.
Selain zoonis, penyakit ini juga menular antar manusia. Penyebaran
SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber transmisi utama
sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. COVID-19 menular melalui
droplet (yang keluar ketika batuk, bersin, atau menghembuskan napas)
dan kontak erat, berbeda dengan tuberkulosis yang menular melalui udara
atau airbone.
Virus yang keluar bersama droplet menempel di permukaan benda.
Orang lain dapat tertular COVID-19 bila menyentuh mata, hidung, atau
mulut dengan tangan yang telah berkontak benda dengan droplet yang
mengandung virus. Virus dapat bertahan di lingkungan sekitar tiga jam
hingga beberapa hari (pada tembaga hingga 4 hari, hingga 24 jam pada
papan kardus, serta hingga 2-3 hari pada plastik dan stainless steel.
Droplet yang dikeluarkan ketika batuk atau bersin dapat menempel pada
benda berjarak satu meter. Oleh karena itu, penting untuk menjaga jarak
satu meter satu sama lain.
Penulisan lain menemukan bahwa virus ini ditemukan pula pada feses
sehingga diduga berpotensi sebagai salah satu rute transmisi. Selain itu,
pada biopsi sel epitel rektum, duodenum, dan gaster ditemukan bukti
infeksi SARS-CoV-2. Lebih lanjut, ditemukan 23% pasien yang virusnya
masih terdeteksi dari sampel feses padahal sudah tidak terdeteksi pada
sampel saluran napas.
5. Patofisiologi
Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan
kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada hewan seperti babi,
sapi, kuda, kucing dan ayam. Coronavirus disebut dengan virus zoonatik
yaitu virus yang ditransmisikan dari hewan ke manusia. Banyak hewan
liar yang dapat membawa patogen dan bertindak sebagai vektor untuk
penyakit menular tertentu. Kelelawar, tikus bambu, unta dan musang
merupakan host yang biasa ditemukan untuk coronavirus. Coronavirus
pada kelelawar merupakan sumber utama untuk kejadian severe acute
respiratorysyndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome
(MERS) (Yuliana, dalam PDPI, 2020).
Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya.
Virus tidak bisa hidup tanpa sel host. Berikut siklus dari coronavirus
setelah menemukan sel host sesuai tropismenya. Pertama, penempelan
dan masuk virus ke sel host diperantarai oleh Protein S yang ada
dipermukaan virus. Protein S penentu utama dalam menginfeksi spesies
host-nya serta penentu tropisnya (Yuliana, dalam Wang 2020). Pada studi
SARS-CoV protein S berikatan dengan reseptor di sel host yaitu enzim
ACE-2. ACE-2 dapat ditemukan pada mukosa oral dan nasal, nasofaring,
paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus, sumsum tulang, limpa,
hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel eritrosit usus halus, sel
endotel arteri vena, dan sel otot polos. Setelah berhasil masuk selnajutnya
translasi replikasi gen dari RNA denom virus. Selanjutnya replikasi dan
transkripsi dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari
kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis
virus (Yuliana, Fehr 2015).
Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian
bereplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya).
Setelah itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi
peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat berlanjut meluruh
beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa
inkubasi virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7 hari (Yuliana, PDPI
2020).
Periode inkubasi adalah waktu antara pertama kali terkena virus
hingga pertama kali gejala muncul. Periode inkubasi COVID-19
berlangsung 1-14 hari, biasanya sekitar lima hari. Gejala yang muncul
dapat berupa demam,
batuk nonproduktif, sesak, mialgia, dan lemas. Pada pemeriksaan
penunjang dapat ditemukan jumlah leukosit normal atau leukopenia daan
bukti radiologis yang mengarah ke pneumonia (Findyartini dkk, 2020).

Gambar 1. Skema perjalanan penyakit COVID-19, diadaptasi dari berbagai sumber (Susilo dkk, 2020)

Gambar 2. Perjalanan penyakit pada COVID-19 berat (Susilo dkk, 2020)

6. Klasifikasi Pasien COVID-19


Menurut tim penulis kedokteran FK UI, 2020 klasifikasi pasien COVID-
19 yang terdiri dari :
a. Orang Tanpa Gejala
Orang yang terinfeksi COVID-19, namun tidak menunjukkan gejala.
Meskipun tidak menunjukkan keluhan sakit, OTG dapat menularkan
COVID-19 ke orang lain, dan ada kontak erat dengan pasien COVID-
19.
b. Orang Dalam Pemantauan
1) Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA):
demam (≥38oC) atau riwayat demam disertai salah satu
gejala/tanda penyakit pernapasan seperti: batuk/sakit
tenggorokan/pilek dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul
gejala, memenuhi salah satu kriteria berikut :
a) Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang
melaporkan transmisi lokal
b) Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi
lokal di Indonesia
2) Seseorang dengan gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit
tenggorokan/batuk dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul
gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau
probabel COVID-19.
c. Pasien Dalam Pengawasan
1) Seseorang yang mengalami demam (≥38oC) atau riwayat gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit
tenggorokan/batuk/sesak napas/pneumonia ringan hingga berat
dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah
satu kriteria berikut :
a) Memiliki perjalanan atau tinggal di luar negeri yang
melaporkan transmisi lokal
b) Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi
lokal di Indonesia
2) Seseorang yang mengalami demam (≥38oC) atau riwayat demam
atau gejala gangguan sistem pernapasan dan pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi atau probabel COVID-19.
3) Seseorang yang mengalami ISPA berat/pneumonia berat yang
memerlukan perawatan di rumah sakit dan tidak ada penyebab
lain yang memungkinkan berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan.
d. Kasus Probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk COVID-19 tetapi
inkonklusif atau tidak dapat disimpulkan atau seseorang dengan hasil
konfirmasi positif pan-coronavirus atau betacoronavirus.
e. Kasus terkonfirmasi
Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi COVID-19.
7. Faktor Resiko
Penyakit komorbid hipertensu dan diabetes melitus, jenis kelamin
laki- laki, dan perokok aktif merupakan faktor resiko dari infeksi Sars-
CoV-2. Tingginya kejadian pada jenis kelamin laki-laki diduga terkait
dengan prevalensi perokok aktif yang lebih tinggi. Pada perokok,
hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi reseptor
ACE2. Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap
infeksi SARS-CoV-
2. Kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang
berlebihan, supresi induksi agen proinflamasi, dan gangguan maturasi sel
dendritik. Pasien dengan sirosi atau penyakit hati kronik juga mengalami
penurunan respon imun, sehinggalebih mudah terjangkit COVID-19, dan
dapat mengalami luaran yang lebih buruk.
Menurut Susilo (2020), infeksi saluran napas akut yang menyerang
pasien HIV umunya memiliki risiko mortalitas yang lebih besar
dibandingkan pasien yang tidak HIV. Menurut studi meta-analisis yang
dilakukan oleh Yang, dkk menunjukkan bahwa pasien pasien COVID-19
dengan riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung memiliki
manifestasi klinis yang lebih parah.
Berdasarkan ketetapan dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah
dengan pasien COVID-19 dan memiliki riwayat perjalanan ke area
terjangkit. Tenaga medis merupakan salah satu populasi yang beresiko
tinggi tertular (Susilo dkk, 2020).
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung
jenis, fungsi ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat,
dan prokalsitonin dapat dikerjakan sesuai dengan indikasi.
Trombositopenia juga kadang dijumpai, sehingga kadang diduga
sebagai pasien dengue (Susilo, dkk dalam Yan, dkk).
b. Pencitraan
Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto
toraks, dan CT-scan toraks. Pada foto toraks dapat ditemukan
gambaran seperti opasifikasi ground-glass, infiltrat, penebalan
peribronkial,
konsolidasi fokal, efusi pleura, dan atelectasis. Foto thoraks kurang
sensitif dibandingkan CT scan, karena sekitar 40% kasus tidak
menemukan kelainan pada foto thoraks.

Gambar 3. Gambaran foto toraks pada COVID-19. (Susilo dkk, 2020)

Studi dengan USG toraks menunjukkan pola B yang difus


sebagai temuan utama. Konsolidasi subpleural posterior juga
ditemukan walaupun jarang.
Pada gambaran CT scan dipengaruhi oleh perjalanan klinis:
1) Pasien asimtomatis: cenderung unilateral, multifokal, predominan
gambaran ground-glass. Penebalan septum interlobularis, efusi
pleura, dan limfadenopati jarang ditemukan.
2) Satu minggu sejak onset gejala: lesi bilateral dan difus,
predominan gambaran ground-glass. Efusi pleura 5%,
limfadenopati 10%.
3) Dua minggu sejak onset gejala: masih predomina gambaran
ground-glass, namun mulai terdeteksi konsolidasi
4) Tiga minggu sejak onset gejala: predominan gambaran ground-
glass dan pola retikular. Dapat ditemukan bronkiektasis,
penebalan pleura, efusi pleura, dan limfadenopati.

c. Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dan bawah


1) Saluran napas atas dengan swab tenggorok (nasofaring dan
orofaring)
2) Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila
menggunakan endotrakeal tube dapat berupa aspirat endotrakeal)
d. Pemeriksaan antigen-antibodi
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan oleh HO sebagai dasar
diagnosis utama, dikarekan perlunya observasi lanjutan bagi pasien
yang dinyatakan negatif serologi dan pemeriksaan ulang bila dianggap
ada faktor resiko tertular.
Perlu dipertimbangkan pula onset paparan dan durasi gejala sebelum
memutuskan pemeriksaan serologi. Dilaporkan pemeriksaan IgM dan
IgA terdeteksi mulai hari ke 3-6 setelah onset gejala.
e. Pemeriksaan virologi
Who merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien
yang termasuk dalam kategori suspek. Pada individu yang tidak
memenuhi kriteria suspek atau asimtomatis juga boleh dilakukan
pemeriksaan dengan mempertimbangkan aspek epidemiologi,
protokol skrining setempat, dan ketersediaan alat. Pengerjaan
pemeriksaan molekuler membutuhkan fasilitas dengan biosafety level
2 (BSL-2).
Sampel dikatakan positif COVID-19 bila rRT-PCR positif minimal
dua target genom (N, E, S, atau RdRP) yang spesifik SARS-CoV-2
atau rRT-PCR betacoronavirus, ditunjang dengan hasil sequencing
sebagian atau seluruh genom virus yang sesuai dengan SARS-CoV-2.
Hasil negatif palsu pada tes virologi dapat tejadi bila kualitas
pengambilan atau manajemen spesimen buruk, spesimen diambil saat
infeksi masih sangat dini, atau gangguan teknis di laboratorium. Oleh
karena itu, hasil negatif tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi
SARS-CoV-2, terutama pada pasien dengan indeks kecurigaan yang
tinggi.
f. Bronkoskopi
Bronkoskopi untuk mendapatkan sampel BAL merupakan metode
pengambilan sampel dengan tingkat deteksi paling baik. Induksi
sputum mampu meningkatkan deteksi virus pada pasien yang negatif
SARS-CoV-2 melalui swab nasofaring/orofaring. Namun, tindakan
ini tidak direkomendasikan rutin karena risiko aerosolisasi virus.
g. Pungsi pleura sesuai kondisi
h. Pemeriksaan sampel darah, feses dan urin untuk pemeriksaan virologi
belum merekomendasikan rutin dilakukan karena dianggap belum
bermanfaat dalam praktek di lapangan. Pada pemeriksaan virus hanya
terdeteksi sekitar <10% pada sampel darah, jauh lebih rendah
dibandingkan dengan swab.
Begitupun pada pemeriksaan urin, sampai saat ini belum ada yang
berhasil mendeteksi virus di urin.
9. Penatalaksanaan COVID 19
Sampai saat ini belum tersedia rekomendasi tata laksana khusus
pasien COVID-19, termasuk antivirus atau vaksin. Tata laksana yang
dapat dilakukan adalah terapi simtomatik dan oksigen. Pada pasien gagal
napas dapat dilakukan ventilasi mekanik. Menurut National Health
Commisission (NHC) China telah meneliti beberapa obat yang berpotensi
mengatasi infeksi SARS-CoV-2, antara lain interferon alfa (IFN-𝛼),
lopinavir/ritonavir (LPV/r). Ribavirin (RBV), klorokuin fosfat (CLQ/CQ),
remdesvir dan umifenovir (arbidol). Selain itu, juga terdapat beberapa
obat antivirus lainnya yang sedang dalam masa uji coba di tempat lain.
a. Terapi Etiologi/ Definitif
Meskipun belum ada obat yang terbukti meyakinkan efektif melalui
uji klinis, China telah membuat rekomendasi obat untuk penangan
COVID-19 dan pemberian tidak lebih dari 10 hari. Rincian dosis dan
administrasi sebagai berikut :
1) IFN-alfa, 5 juta unit atau dosis ekuivalen, 2 kali/hari secara inhalasi
2) LPV/r, 200 mg/50 mg/kapsul, 2 kali 2 kapsul/hari per oral
3) RBV 500 mg, 2-3 kali 500 mg/hari intravena dan dikombinasikan
dengan IFN-alfa atau LPV/r
4) Klorokuin fosfat 500 mg (300 mg jika klorokuin), 2 kali/hari per
oral
5) Arbidol (umifenovir), 200 mg setiap minum, 3 kali/hari per oral.
b. Manajemen Simtomatik dan Suportif
1) Oksigen
Pastikan patensi jalan napas sebelum memberikan oksigen.
Indikasi oksigen adalah distress pernapasan atau syok dengan
desaturase, target kadar saturasi oksigen >94%. Oksigen dimulai
dari 5 liter per menit dan dapat ditingkatkan secara perlahan
sampai mencapai target. Pada kondisi kritis, boleh langsung
digunakan nonrebreathing mask.
2) Antibiotik
Pemberian antibiotik hanya dibenarkan pada pasien yang dicurigai
infeksi bakteri dan bersifat sedini mungkin. Pada kondisi sepsis,
antibiotik harus diberikan dalam waktu 1 jam. Antibiotik yang
dipilih adalah antibiotik empirik berdasarkan dengan profil
mikroba lokal.
3) Kortikosteroid
Shang, dkk dalam Susilo (2020) merekomendasikan pemberian
kortiksteroid. Landasannya adalah studi Chen, dkk. pada 401
penderita SARS yang diberikan kortiksteroid, 152 di antaranya
termasuk kategori kritis. Hasil studi menunjukkan kortikosteroid
menurunkan mortalitas dan waktu perawatan pada SARS kritis.
Dosis yang diberikan adalah dosis rendah-sedang (≤0.5-1
mg/kgBB metilprednisolon atau ekuivalen) selama kurang dari
tujuh hari. Dosis ini berdasarkan konsensus ahli di China.
Russel CD, dkk. justru merekomendasikan untuk menghindari
pemberian kortikosteroid bagi pasien COVID-19 karena bukti
yang belum kuat dan penyebab syok pada COVID-19 adalah
sekuens non-vasogenik. Hal ini didukung studi telaah sistematik
Stockman, dkk. yang menyatakan bahwa belum dapat disimpulkan
apakah terapi ini memberi manfaat atau justru membahayakan.
4) Vitamin C
Vitamin C diketahui memiliki fungsi fisiologis pleiotropik yang
luas. Kadar vitamin C suboptimal umum ditemukan pada pasien
kritis yang berkorelasi dengan gagal organ dan luaran buruk.
Penurunan kadar vitamin C disebabkan oleh sitokin inflamasi
yang mendeplesi absorbsi vitamin C. Kondisi ini diperburuk
dengan peningkatan konsumsi vitamin C pada sel somatik. Oleh
karena itu,
dipikirkan pemberian dosis tinggi vitamin C untuk mengatasi
sekuens dari kadar yang suboptimal pada pasien kritis.
5) Ibuprofen dan tiazolidindion
6) Profilaksis tromboemboli vena
Profilaksis menggunakan antikoagulan low molecular-weight
heparin (LMWH) subkutan dua kali sehari lebih dipilih
dibandingkan heparin. Bila ada kontraindikasi, WHO
menyarankan profilaksis mekanik, misalnya dengan compression
stocking.
7) Plasma konvalesen
Plasma dari pasien yang telah sembuh COVID-19 diduga
memiliki efek terapeutik karena memiliki antibodi terhadap
SARS-CoV-2. Shen C, dkk. melaporkan lima serial kasus pasien
COVID-19 kritis yang mendapatkan terapi plasma ini. Seluruh
pasien mengalami perbaikan klinis, tiga diantaranya telah
dipulangkan.117 Biarpun studi masih skala kecil dan tanpa
control. plasma konvalesen telah disetujui FDA untuk terapi
COVID-19 yang kritis. Donor plasma harus sudah bebas gejala
selama 14 hari, negatif pada tes deteksi SARS-CoV-2, dan tidak
ada kontraindikasi donor darah.
8) Imunoterapi
Wang C, dkk dalam Susilo, dkk (2020) melakukan identifikasi
antibodi yang berpotensial sebagai vaksin dan antibodi
monoklonal. Mereka menggunakan ELISA untuk menemukan
antibodi yang sesuai, sampel berasal dari tikus percobaan. Hasil
akhir menemukan bahwa antibodi 47D11 memiliki potensi untuk
menetralisir SARS-CoV-2 dengan berikatan pada protein S.
c. Isolasi pada semua kasus, sesuai dengan gejala klinis yang muncul,
baik ringan maupun sedang.
d. Implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI)
e. Serial foto toraks untuk menilai perkembangan penyakit
f. Kenali kegagalan napas hipoksemia berat
g. Observasi ketat dan pahami komorbid pasien
10. Komplikasi
Menurut dr. Reni (2020), komplikasi yang bisa terjadi pada pasien
COVID- 19 diantaranya :
a. Pneumonia (infeksi paru-paru)
Pneumonia akan menyebabkan kantung udara yang ada di paru-paru
meradang dan membuat Anda sulit bernapas. Pada sebuah riset pada
pasien positif Covid-19 yang kondisinya parah, terlihat bahwa paru-
parunya terisi oleh cairan, nanah, dan sisa-sisa atau kotoran sel. Hal
ini menghambat oksigen yang seharusnya diantarkan ke seluruh
tubuh. Padahal, oksigen sangat dibutuhkan agar berbagai organ di
tubuh bisa menjalankan fungsinya. Jika tidak ada oksigen, maka organ
tersebut akan rusak.
b. Gagal napas
Saat mengalami gagal napas, tubuh tidak bisa menerima cukup
oksigen dan tidak dapat membuang cukup banyak karbon dioksida.
Kondisi gagal napas akut terjadi pada kurang lebih 8% pasien yang
positif Covid-19 dan merupakan penyebab utama kematian pada
penderita infeksi virus corona.
c. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
ARDS adalah salah satu komplikasi corona yang cukup umum terjadi.
Menurut beberapa penulisan yang dilakukan di Tiongkok, sekitar 15%
- 33% pasien mengalaminya. ARDS akan membuat paru-paru rusak
parah karena penyakit ini membuat paru-paru terisi oleh cairan.
Akibatnya, oksigen akan susah masuk, sehingga menyebabkan
penderitanya kesulitan bernapas hingga perlu bantuan ventilator atau
alat bantu napas.
d. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Penyakit ini akan membuat proses pembekuan darah terganggu.
Sehingga, tubuh akan membentuk gumpalan-gumpalan darah yang
tidak pada tempatnya. Hal ini bisa menyebabkan perdarahan pada
organ dalam atau gagal organ vital (gagal ginjal, gagal hati, gagal
jantung, dan lainnya). Di Tiongkok, penyakit ini umum dialami oleh
pasien yang meninggal akibat infeksi Covid-19.
e. Syok Septik
Syok septik terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi malah salah
sasaran. Jadi, bukannya menghancurkan virus penyebab penyakit, zat-
zat kimia yang dibuat tubuh justru menghancurkan organ yang sehat.
Jika proses ini tidak segera berhenti, tekanan darah akan turun drastis
hingga pada tahap yang berbahaya dan menyebabkan kematian.
f. Kematian
11. Pencegahan COVID 19
a. Tinggal di rumah
Hindari kumpul-kumpul, meskipun hanya di depan rumah. Anak-anak
dihimbau untuk tinggal di dalam rumah, jangan bermain di luar
rumah.
b. Jaga jarak 2 meter
Jika terpaksa harus keluar rumah, jangan berdekatan dengan orang
lain. Hindari tempat padat orang, seperti pasar dan acara kondangan.
c. Gunakan masker ketika berpergian
Selalu pakai masker ketika berpergian sehat maupun sakit. Dianjurkan
menggunakan masker kain yang diganti 4 jam sekali.
d. Cuci tangan selalu
e. Cuci tangan sesering mungkin. Virus akan mati ketika kita cuci
tangan dengan sabun, minimal selama 20 detik. Terutama setelah
kontak langsung dengan pasien dan lingkungannya
f. Hindari menyentuh wajah
Hindari menyentuh area wajah, terutama ketika belum cuci tangan.
Kita tidak tahu, apakah tangan kita baru saja menyentuh permukaan
benda dengan virus corona atau tidak.
g. Rutin mandi, terutama setelah berpergian
Mandi dapat membunuh virus corona yang ada di permukaan tubuh.
Setelah berpergian dianjurkan untuk langsung mandi.
h. Tetap beraktifitas fisik dan olahraga serta istirahat yang cukup
i. Tidak merokok dan minuman alkohol
j. Konsumsi makanan bergizi seimbang
k. Konsumsi suplemen daya tahan tubuh dan multivitamin
l. Kontrol ke dokter dan minum obat rutin jika memiliki penyakit kronis
m. Hindari kontak langsung dengan penderita infeksi saluran pernapasan
akut
B. ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN PERTUKARAN
GAS
1. Pengkajian
a. Anamnesis
Pneumonia Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah
peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS CoV-2). Sindrom gejala
yang muncul beragam, dari ringan sampai syok septik (berat) (PDPI,
2020).
Pada anamnesis gejala dapat ditemukan tiga gejala utama,
diantaranya demam, batuk kering (sebagian batuk berdahak) dan sulit
bernapas atau sesak. Tetapi perlu diingat bahwa pada beberapa
kondisi, terutama pada geriatri atau mereka dengan imunokompromis
biasanya tidak mengalami demam. Gejala tambahan lainnya yaitu
nyeri kepala, nyeri otot, lemas, diare dan batuk berdahak. Pada
beberapa kondisi dengan perburukan dapat muncul tanda dan gejala
infeksi saluran napas akut berat (Severe Acute Respiratory Infection-
SARI). SARI adalah infeksi saluran napas akut dengan riwayat
demam (suhu≥38oC) dan batuk dengan onset 10 hari terakhir serta
perlu perawatan di rumah sakit (PDPI, 2020).
b. Wawancara
Mengenai riwayat perjalanan pasien ataupun riwayat kontak
dengan pasien terkonfirmasi COVID-19.
c. Pemeriksaan fisik
Menurut PDPI (2020), pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
beberapa manifestasi klinis tergantung dengan ringan atau beratnya
kondisi pasien. Fokus pemeriksaan pada pemeriksaan fisik
diantaranya:
1) Tingkat kesadaran : kompos mentis atau penurunan kesadaran
2) Tanda vital : frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas
meningkat, tekanan darah normal atau menurun, suhu tubuh
meningkat, saturasi oksigen dapat normal atau menurun.
3) Dapat disertai retraksi otot pernapasan
4) Pemeriksaan fisis paru didapatkan inspeksi dapat tidak simetris
statis dan dinamis, fremitus raba mengeras, redup pada daerah
konsolidasi, suara napas bronkovesikuler atau bronkial dan ronki
kasar
d. Pemeriksaan penunjang
Menurut PDPI (2020), pemeriksaan penunjang yang dilakukan
guna memperkuat diagnosa yang ditetapkan diantaranya :
1) Pemeriksaan radiologi: foto toraks, CT-Scan, USG toraks
2) Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dan bawah
a) Saluran napas atas dengan swab tenggorokan (nasofaring dan
orofaring)
b) Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila
menggunakan endotrakeal tube dapat berupa aspirat
endotrakeal) (WHO dalam PDPI, 2020)
3) Bronkoskopi
4) Pungsi plura sesuai kondisi
5) Pemeriksaan kimia darah
6) Biakan mikroorganisme
7) Pemeriksaan feses dan urin
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Adam, 2020 Diagnosa keperawatan pada pasien dalam
pengawasan COVID 19 terbagi menjadi dua klasifikasi, diantaranya :
a. Gejala ringan- sedang
1) Bersihan jalan napas tidak efektif b/d hipersekresi jalan napas,
proses infeksi
2) Gangguan pertukaran gas b/d perubahan membran alveolus-kapiler
3) Ansietas b/d krisis situasional, ancaman terhadap kematian
b. Gejala berat-kritis
1) Gangguan ventilasi spontan b/d gangguan metabolisme,
kelemahan/keletihan otot pernapasan
2) Risiko syok d/d hipoksia, sepsis, sindrom respons inflamasi
sistemik
3) Gangguan sirkulasi spontan b/d penurunan fungsi ventrikel

Berdasarkan SDKI, 2016 pada diagnosa gangguan pertukaran gas terdapat


tanda dan gejala yang menunjang ditegakkannya diagnosa ini, diantaranya:

a. Data subjektif
1) Dispnea
2) Pusing
3) Penglihatan kabur
b. Data Objektif
1) PCO2 meningkat/menurun
2) PO2 menurun
3) Takikardia
4) pH arteri meningkat/menurun
5) Bunyi napas tambahan
6) Sianosis
7) Diaforesis
8) Gelisah
9) Napas cuping hidung
10) Pola napas abnormal (cepat/lambat, reguler/ireguler,
dalam/dangkal)
11) Warna kulit abnormal (mis. Pucat, kebiruan)
12) Kesadaran menurun
3. Perencanaan
Rencana Keperawatan dengan gangguan pertukaran gas (SIKI, 2018):
a. Monitor bunyi napas
Rasional : untuk menilai adanya wheezing akibat inflamasi dan
penyempitan jalan napas, dan/atau ronki basah akibat adanya
penumpukan cairan di interstisial atau alveolus paru
b. Monitor kecepatan aliran oksigen
Rasional : untuk memastikan ketetapan dosis pemberian oksigen
c. Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen
Rasional: untuk mengidentifikasi terjadinya iritasi mukosa akibat
aliran oksigen
d. Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. Oksimetri, AGD)
Rasional : karena SpO2ꜜ, PO2ꜜ, & PCO2ꜛ, dapat terjadi akibat
peningkatan sekresi paru dan keletihan respirasi
e. Monitor rontgen dada
Rasional : untuk melihat adanya peningkatan densitas pada area paru
yang menunjukkan terjadinya pneumonia
f. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
Rasional : mengetahui adekuat oksigen yang ada dalam tubuh pasien
g. Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
h. Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea, jika perlu
Rasional : untuk menghilangkan obstruksi pada jalan napas dan
meningkatkan ventilasi
i. Berikan oksigen
Rasional : untuk mempertahankan oksigenasi adekuat. Dimulai 5
L/menit dengan target SpO2 ≥90% pada pasien tidak hamil, dan ≥92-
95% pada pasien hamil
j. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai
Rasional : seperti high flow casal canulla (HFNC) atau noninvasive
mechanical ventilation (NIV) pada pasien ARDS atau efusi paru luas
k. Jelaskan tujuan dan prosedur pemberian oksigen
Rasional : kekooperation pasien terhadap terapi
oksigen
l. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
Rasional : untuk memperjelas pemberian terapi oksigen sesuai kondisi
dan kebutuhan pasien
4. Evaluasi
Luaran keperawatan COVID-19, (SLKI, 2019) :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif
Dalam 24 jam, bersihan jalan napas meningkat dengan kriteria : batuk
efektif meningkat, sputum menurun, wheezing menurun.
b. Gangguan pertukaran gas
Dalam 2-4 jam, pertukaran gas meningkat dengan kriteria : RR 12-20
kali/menit, SpO2 ≥90%, PaO2 >80mmHg, PaCO2 35-45 mmHg, pH
7.35-7.45, ronki menurun
c. Ansietas
Dalam 24 jam, tingkat ansietas menurun dengan kriteria : perasaan
bingung menurun, perasaan kuatir menurun, gelisah menurun, tegang
menurun
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Muhammad. 2020. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan COVID 19. Di
akses 6 April 2020, pukul 15.00.
Andarmoyo, Sulistyo. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia (Oksigenasi) : Konsep,
Proses dan Praktik Keperawatan. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Burhan, Erlianan dkk. 2020. Corona Virus Disease 2019. https://jurnalrespirologi.org.
Diakses pada 7 April 2020 pukul 13.00.
Center for Tropical Medicine. 2020. Buku Saku Desa Tangguh COVID 19.
Universitas Gajah Mada.
Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes. 2016. Modul Pembelajaran : Pemenuhan Kebutuhan
Oksigen. ISBN: 978-602-743125-6-0. https://ners.unair.ac.id. diakses pada 6
April 2020 pukul 16.00.
Findyartini, Ardi dkk. 2020. BRP Tanggap Pandemi COVID 19. Medical Education
Unit FKUI.
KKN RRC. 2020. Panduan Menghadapi Penyakit Virus Corona 2019 Model RRC.
https://www.persi.or.id/images/2020/data/panduan_covid19_modelrrc.pdf.
Diakses 9 April 2020, pukul 13.00.
PDPI. 2020. Pneumonia COVID 19 (Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia).
PDPI.
Puspitasari, Dewi dkk. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia Jilid 1. Pilar Utama
Mandiri: Jakarta.
Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M, Herikurniawan, dkk.
Coronavirus disease 2019: Review of current literatures. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia. 2020;7(1):45–67.

Wang. 2020 dalam Yuliana. 2020. Corona Virus Diasese (COVID 19); Sebuah
Tinjauan Literatur. https://wellness.journalpress.id. diakses pada 6 April
2020 pukul 15.30.
WHO. 2020. Tatalaksana Klinis Infeksi Saluran Pernapasan Akut (SARI) Suspek
Penyakit COVID 19. https://www.who.int/docs/default-
source/searo/indonesia/covid19 /tatalaksana-klinis-suspek-penyakit-covid-
1935867f18 642845f1a1b8fa0a0081e fcb.pdf?sfv rsn=abae3a22_2. Di akses 7
April 2020, pukul 15.45.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnosis. DPP PPNI : Jakarta.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. DPP PPNI : Jakarta.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. DPP PPNI : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai