Anda di halaman 1dari 10

Ibn 'Arabi Sang Muhyiddin dari Murcia Header Kronik

Ramadan Ibn Arabi Oleh: Muhammad Iqbal - 4 Juni


2018 Dibaca Normal 3 menit Ibn ‘Arabi dikenal sebagai
penulis produktif dengan tingkat kompleksitas karya
sangat tinggi. tirto.id - Muhammad ibn ‘Ali ibn
Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abdillah al-Hatimi at-Ta’i,
atau yang sering dikenal dengan sebutan Asy-Syaykh
al-Akbar Muhyiddin Ibn al-‘Arabi ra. lahir di Murcia,
Andalusia (Spanyol kini) pada malam Senin, tanggal 17
Ramadan 560 Hijriah/1165 Masehi. Ibn ‘Arabi adalah
keturunan Hatim at-Ta’i (w. 578 M.), seorang penyair
dari Bani Tayy yang tersohor karena kedermawanan
dan kekesatriannya. Menurut Muhammad Yunus
Masrukhin dalam karyanya, Biografi Ibn ‘Arabi (2015),
bani Tayy adalah suku asli Yaman yang bermigrasi ke
pegunungan Arab sebelah utara, lalu berkembang
menjadi salah satu suku terbesar di jazirah Arab.
Kemudian pada awal penaklukan Islam, sebagian dari
mereka bermigrasi ke Andalusia. Ayah Ibn ‘Arabi
adalah seorang pegawai pemerintah yang membantu
Muhammad bin Sa’d bin Mardanisy, penguasa Murcia
kala itu. Keluarga Ibn ‘Arabi memiliki kedudukan sosial
yang tinggi, karena paman dari pihak ibunya adalah
seorang penguasa di Tlemcen, Algeria, dan Ibn ‘Arabi
memiliki hubungan baik dengan beberapa raja
setempat hingga akhir hayatnya. Tatkala dinasti
Almohad menguasai Murcia (567/1173), keluarga Ibn
‘Arabi pindah ke Sevilla, tempat ayahnya kembali
menjadi pembantu pemerintah. Ibn ‘Arabi sempat
diangkat sebagai sekretaris oleh seorang gubernur
(Masrukhin, 2015: 9). Pada 590/1193, pada usia tiga
puluh tahun, Ibn ‘Arabi meninggalkan Andalusia untuk
pertama kalinya dan pergi ke Tunisia. Tujuh tahun
setelahnya, sebuah visi menginstruksikan untuk pergi
ke timur. Dia pergi haji ke Mekkah pada 599/1202, dan
dari sana mengadakan perjalanan ke daerah-daerah
pusat Islam. Ia menetap beberapa waktu lamanya di
Mesir, Irak, Suriah, dan Rum (Turki saat ini), tetapi
tidak pernah pergi ke Iran. Tahun 620/1223, dia
menetap di Damaskus beserta beberapa orang
muridnya hingga akhir hayatnya pada 638/1240
(Masrukhin, 2015: 10). Dalam tradisi kesufian, Ibn
‘Arabi masyhur dengan julukan Muhyiddin (orang yang
menghidupkan–ajaran agama) dan asy-Syaikh al-Akbar
(Mahaguru). Terlepas dari kontroversi yang muncul di
kalangan intelektual eksoteris, seperti ahli fikih
maupun hadis yang sering kali mengaburkan
kejernihan pandangan sufistiknya, dua julukan itu
menegaskan warisannya di kancah sufisme yang
mencerminkan figur tertinggi dalam puncak
spiritualitas manusia. Legasi semacam ini tentu tidak
serta merta hadir begitu saja, melainkan punya dimensi
historis dan memiliki fase-fase (maqamat) tersendiri
yang telah dilalui dalam kehidupan spiritual Ibn ‘Arabi.
Karya dan Ajarannya Syaikh Ibn ‘Arabi menghabiskan
masa hidupnya dengan belajar, menulis, dan mengajar.
Di saat yang sama, dia juga bertungkus lumus dalam
kehidupan sosial dan politik di masyarakat. Ibn ‘Arabi
memiliki hubungan baik dengan sekurang-kurangnya
tiga raja setempat, yang salah satu di antaranya
menguasai dengan baik karya-karyanya. Dalam sebuah
dokumen bertarikh 632/1234, ijazah li al-Malik al-
Muzaffar, Ibn ‘Arabi memberi izin kepada Ayyubbid
Muzaffaruddin Musa, yang berkuasa di Damaskus
antara 627/1229-30 hingga 635/1238, untuk
mengajarkan seluruh karyanya yang menurut Ibn ‘Arabi
sendiri berjumlah 290 karya. Dalam dokumen yang
sama, sang syeikh menyebutkan nama 90 orang guru
ilmu-ilmu agama yang dia pernah belajar kepada
mereka. Baca juga: Krisis Politik yang Menyebabkan
Terbunuhnya Ali bin Abu Thalib Debar dan Getar Jiwa
Nabi Muhammad Kala Menerima Wahyu Pertama
Aisyah binti Abu Bakar dan Perpecahan Sunni-Syiah
Figur Ibn ‘Arabi dikenal sangat produktif dengan
tingkat kompleksitas karya sangat tinggi, yang turut
menegaskannya sebagai salah satu penulis Muslim
paling rumit dan sulit dipahami. Tidak terdapat
keterangan tegas berapa jumlah karya-karyanya secara
pasti. Namun pelbagai karyanya, mulai dari teks
berjilid-jilid seperti al-Futuhat al-Makiyyah, hingga
risalah-risalah kecil, turut mewarnai lokus intelektual
peradaban dan kebudayaan Islam. Karya-karya itu
ditulis oleh Ibn ‘Arabi selama pengembaraan
spiritualnya ke berbagai belahan dunia, dari Barat
hingga Timur. Salah satu kekhasan tulisan-tulisan Ibn
‘Arabi adalah tema-tema yang senantiasa bertautan
dengan tasawuf atau ilmu esoteris (‘ulum al-asrar).
Tanpa menanggalkan kerangka normatif-doktrinalnya
sebagai sebagai muslim saleh, pelbagai disiplin
keilmuan Islam, seperti tafsir, fikih, hingga Hadis, selalu
dipahami dan diinterpretasikan dalam perspektif
esoterisme tasawuf. Menurut Fahmy Farid Purnama
dalam bukunya, Ontosofi Ibn ‘Arabi (2018), banyak
peneliti menganggap Fusus al-Hikam dan al-Futuhat al-
Makiyyah sebagai karya terpenting Ibn ‘Arabi. Kedua
karya itu memuat banyak detail ajaran tasawuf Ibn
‘Arabi. Kitab al-Futuhat al-Makkiyah merupakan karya
paling ensiklopedik Ibn ‘Arabi. Pelbagai detail
ajaran‘Arabi, baik terkait ketuhanan, kenabian,
metafisika, dan pelbagai detail lainnya, diuraikan
secara rinci. Sedangkan Fusus al-Hikam yang banyak
diasumsikan ditulis di bawah yudikasi langsung Nabi
Muhammad SAW, merepresentasikan intisari dan
puncak kematangan sufisme Ibn ‘Arabi yang diuraikan
secara lebih padat dan ringkas. Baca juga: Perang
Badar: Kemenangan Pertama Umat Islam Revolusi Bani
Abbasiyah Menggusur Kuasa Bani Umayyah Ketika
Umar bin Khathab Menaklukkan Yerusalem Karya-
karya Ibn ‘Arabi telah menjadi sumber inspirasi
kesadaran spiritualitas banyak tokoh sufi, baik dari
kalangan Arab, Persia, Asia, bahkan Eropa. Tokoh-
tokoh sufistik yang terpengaruh ajaran Ibn ‘Arabi
adalah Jalaluddin ar-Rumi, al-‘Iraqi, al-Jami’, al-Jili,
Shabastari, dan al-Qasyani. Tidak hanya mempengaruhi
tradisi mistisisme Islam, Ibn ‘Arabi juga banyak
menginspirasi filsuf Kristen dan mistikus Eropa Abad
Pertengahan, seperti tercerap dalam pemikiran
perenial Raymond Lully dan novel Divine Comedy karya
Dante Alighieri (Purnama, 2018: 136-7). Kehadiran Ibn
‘Arabi–seolah–menjadi ‘provokasi’ di ruang sawala
wacana keislaman eksoteris normatif, khususnya DI
kalangan fuqaha’ ortodoks. Sering kali uraiannya
terkait dengan al-Haqq yang dipadatkan oleh banyak
penafsirnya ke dalam istilah Wahdat al-Wujud, memicu
polemik tersendiri. Tak jarang Wahdat al-Wujud
banyak diasosiasikan secara sempit dengan ajaran
ittahad, hulul, panteisme, monisme eksistensial,
panenteisme, ataupun istilah filsafat murni lainnya,
yang justru malah mengaburkan spirit monoteistik
(tauhid) Islam yang sangat kental dalam pelbagai karya
Ibn ‘Arabi. Tak ayal, ketidaksepahaman terhadap
ajaran Ibn ‘Arabi itu sering menjurus pada tuduhan-
tuduhan zindik dan kafir. Ibn ‘Arabi wafat pada 22 Rabi’
as-Sani 638 H di Damaskus. Menurut Claude Addas
dalam biografinya, Mencari Belerang Merah: Kisah
Hidup Ibn ‘Arabi (2004), tidak ada penjelasan yang
jernih mengenai peristiwa yang terjadi pada hari
kematiannya. Terdapat sebuah legenda yang
berkembang secara turun-temurun di Damaskus,
bahwa syahdan Ibn ‘Arabi meninggal dunia karena
dibunuh oleh fuqaha’ ortodoks yang sangat menentang
ajaran-ajarannya. Akan tetapi, tidak satu pun pencatat
biografi Ibn ‘Arabi membenarkan legenda ini (Addas,
2004: 287). Legenda lainnya menyebutkan bahwa di
hari Ibn ‘Arabi wafat, seluruh kota Damaskus, mulai
dari sultan, wazir, pangeran, bahkan kalangan fuqaha’,
mengikuti prosesi pemakaman, serta tidak melakukan
kegiatan ekonomi selama tiga hari sebagai simbol
berkabung. Hanya saja, legenda ini juga tidak bisa
dibenarkan, mengingat Abu Syamah, salah satu
pencatat biografi Ibn ‘Arabi paling tepercaya yang
menghadiri langsung prosesi pemakamannya, tidak
menyinggung peristiwa ini sama sekali. Dia hanya
menulis bahwa Ibn ‘Arabi dikebumikan dengan prosesi
pemakaman yang laik dan baik-baik (Addas, 2004:
288). ================ Sepanjang Ramadan, redaksi
menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam
sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci
kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan
dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami,
Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN
Palangka Raya, mengampu rubrik ini selama satu bulan
penuh. Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan
menarik lainnya Muhammad Iqbal (tirto.id -
Humaniora) Penulis: Muhammad Iqbal Editor: Nuran
Wibisono

Anda mungkin juga menyukai