Oleh :
Viviyana Eka Nur Qulist (202114148)
Pengertian Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari
satu atau lebih ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Menurut
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) gangguan mobilitas fisik atau
immobilisasi merupakan suatu kedaaan dimana individu yang mengalami atau berisiko
mengalami keterbatasan gerakan fisik (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010)
Ada lagi yang menyebutkan bahwa gangguan mobilitas fisik merupakan suatu
kondisi yang relatif dimana individu tidak hanya mengalami penurunan aktivitas dari
kebiasaan normalnya kehilangan tetapi juga kemampuan geraknya secara total (Ernawati,
2012). Kemudian, Widuri (2010) juga menyebutkan bahwa gangguan mobilitas fisik atau
imobilitas merupakan keadaan dimana kondisi yang mengganggu pergerakannya, seperti
trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas dan
sebagainya. Tidak hanya itu, imobilitas atau gangguan mobilitas adalah keterbatasan
fisik tubuh baik satu maupun lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif A.H
& Kusuma H, 2015).
2. Jenis- jenis mobilisasi
Jenis Mobilitas Menurut Hidayat (2009), ada 2 jenis mobilitas yaitu :
a. Mobilitas Penuh Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan
bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari – hari.
Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk
dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan
jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf
motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera
atau patah tulang dengan pemasangan traksi. Pasien para plegi dapat mengalami
mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik dan
sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1) Mobilitas sebagian temporer
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya
sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem
muskuloskletal, contohnya adalah adanya sendi dan tulang.
2) Mobilitas sebagian permanen
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang
sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang
reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera
tulang belakang, poliomielitis karena terganggunya sistem saraf motorik dan
sensorik.
3. Factor-faktor yang mempengaruhi mobilitas
Menurut Hidayat (2009), mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya :
a. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilitas seseorang
karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari – hari. Hal ini
terjadi karena adanya perubahan gaya hidup terutama orang muda perkotaan
modern, seperti mengkonsumsi makanan siap saji (fast food) yang mengandung
kadar lemak tinggi, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kerja berlebihan,
kurang berolahraga dan stres (Junaidi, 2011).
b. Proses penyakit / cedera Proses
penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat memengaruhi
fungsi sistem tubuh.
c. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai
contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan
mobilitas yang kuat, sebaliknya ada orang yang mengalami gangguan mobilitas
(sakit) karena adat dan budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas.
d. Tingkat energi
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat
melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
e. Usia dan Status Perkembangan Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada
tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan
fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.
4. Tahap-tahapan mobisasi
Menurut Atoilah, 2013, secara umum ada beberapa macam keadaan imobilitas antara
lain
a. Imobilitas fisik, yaitu suatu keadaan dimana seseorang mengalami pembatasan fisik
yang disebabkan oleh faktor lingkungan maupun oleh keadaan orang tersebut. B
b. Imobilitas intelektual, disebabkan kurang pengetahuan untuk dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Ini terjadi misalnya pada kerusakan otak karena proses penyakit
atau kecelakaan serta pada pasien tradisi mental.
c. Imobilitas emosional, yang dapat terjadi akibat pembedahan atau kehilangan
seseorang yang dicintai.
5. Masalah gangguan yang akan timbul
Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilitas Dampak dari imobilitas dalam tubuh
dapat memengaruhi sistem tubuh, seperti perubahan pada metabolisme tubuh,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi, gangguan
fungsi gastrointestinal, perubahan sistem pernapasan, perubahan kardiovaskuler,
perubahan sistem muskuloskletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air besar
dan kecil), perubahan perilaku (Hidayat, 2009).
a. Perubahan Metabolisme
Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme secara normal,
mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme dalam
tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada menurunnya basal metabolism rate (BMR)
yang menyebabkan berkurangnya energi untuk perbaikan sel – sel tubuh, sehingga
dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan metabolisme imobilitas
dapat mengakibatkan proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat.
Keadaan ini dapat beresiko meningkatkan gangguan metabolisme. Proses imobilitas
dapat juga menyebabkan penurunan eksresi urine dan peningkatan nitrogen. Hal
tersebut dapat ditemukan pada pasien yang mengalami imobilitas pada hari kelima
atau keenam. Beberapa dampak perubahan metabolisme, diantaranya adalah
pengurangan jumlah metabolisme, atropi kelenjer dan katabolisme protein,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, demineralisasi tulang, gangguan dalam
mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal.
b. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari
imobilitas akan mengakibatkan persendian protein menurun dan konsentrasi protein
serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Disamping itu,
berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskuler ke interstisial dapat menyebabkan
edema sehingga terjadi ketidakseimbngan cairan dan elektrolit. Imobilitas juga dapat
menyebabkan demineralisasi tulang akibat menurunnya aktivitas otot, sedangkan
meningkatnya demineralisasi tulang dapat mengakibatkan reabsorbsi kalium.
c. Gangguan Pengubahan Zat Gizi
Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh menurunnya pemasukan
protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat – zat makanan pada tingkat sel
menurun, dimana sel tidak lagi menerima glukosa, asam amino, lemak, dan oksigen
dalam jumlah yang cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme.
d. Gangguan Fungsi Gastrointestinal
Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal ini
disebabkan karena imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna, sehingga
penurunan jumlah masukan yang cukup dapat menyebabkan gangguan proses
eliminasi.
e. Perubahan Sistem Pernapasan
Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernapasan. Akibat
imobilitas, kadar haemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah
otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu. Terjadinya penurunan
kadar haemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke
jaringan, sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan ekspansi paru dapat terjadi
karena tekanan yang meningkat oleh permukaan paru.
f. Perubahan kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas antara lain dapat berupa
hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya pembentukan trombus.
Terjadinya hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh menurunnya kemampuan saraf
otonom. Pada posisi yang tetap dan lama, refleks neurovaskular akan menurun dan
menyebabkan vasokonstriksi, kemudian darah terkumpul pada vena bagian bawah
sehingga aliran darah ke sistem sirkulasi pusat terhambat. Meningktanya kerja jantung
dapat disebabkan karena imobilitas dengan posisi horizontal. Dalam keadaan normal,
darah yang terkumpul pada ekstremitas bawah bergerak dan meningkatkan aliran vena
kembali kejantung dan akhirnya jantung akan meningkatkan kerjanya. Terjadinya
trombus juga disebabkan oleh meningktanya vena statis yang merupakan hasil penurunan
kontraksi muskular sehingga meningkatkan arus balik vena.
g. Perubahan Sistem Muskuloskletal
Perubahan yang terjadi dalam sistem muskuloskletal sebagai dampak dari imobilitas
adalah sebagai berikut :
1) Gangguan muskular. Menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas dapat
menyebabkan turunnya kekuatan otot secara lansung. Menurunnya fungsi kapasitas
otot ditandai dengan menurunnya stabilitas. Kondisi berkurangnya massa otot dapat
menyebabkan atropi pada otot. Sebagai conoh, otot betis seseorang yang telah dirawat
lebih dari enam minggu ukurannya akan lebih kecil selain menunjukkan tanda lemah
atau lesu.
2) Gangguan skletal. Adanya imobilitas juga dapat menyebabkan gangguan skletal,
misalnya akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis. Kontraktur
merupakan kondisi yang abnormal dengan kriteria adanya fleksi dan fiksasi yang
disebabkan atropi dan memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan
sendi dalam kedudukan yang tidak berfungsi. Osteoporosis terjadi karena reabsobsi
tulang semakin besar, sehingga yang menyebabkan jumlah kalsium kedalam darah
menurun dan jumlah kalsium yang dikeluarkan melalui urine semakin besar.
6. Patafiosologi
Neuromuskular berupa sistem otot, skeletal, sendi, ligamen, tendon, kartilago,
dan saraf sangat mempengaruhi mobilisasi. Gerakan tulang diatur otot skeletal karena
adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagi sistem
pengungkit. Tipe kontraksi otot ada dua, yaitu isotonik dan isometrik. Peningkatan
tekanan otot menyebabkan otot memendek pada kontraksi isotonik. Selanjutnya, pada
kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak
terjadi pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya menganjurkan pasien untuk
latihan kuadrisep. Gerakan volunter merupakan gerakan kombinasi antara kontraksi
isotonik dan kontraksi isometrik. Perawat harus memperhatikan adanya peningkatan
energi, seperti peningkatan kecepatan pernapasan, fluktuasi irama jantung, dan tekanan
darah yang dikarenakan pada latihan isometrik pemakaian energi meningkat. Hal ini
menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki penyakit seperti infark miokard atau
penyakit obstruksi paru kronik. Kepribadian dan suasana hati seseorang digambarkan
melalui postur dan gerakan otot yang tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan
otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan kelompok otot tergantung tonus otot dan
aktivitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus
otot sendiri merupakan suatu keadaan tegangan otot yang seimbang. Kontraksi dan
relaksasi yang bergantian melalui kerja otot dapat mempertahankan ketegangan.
Immobilisasi menyebabkan aktivitas dan tonus otot menjadi berkurang. Rangka
pendukung tubuh yang terdiri dari 12 empat tipe tulang, seperti panjang, pendek, pipih,
dan irreguler disebut skeletal. Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi
organ vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan
sel darah merah (Potter dan Perry, 2012).
Pengaruh imobilisasi yang cukup lama akan terjadi respon fisiologis pada sistem
otot rangka. Respon fisiologis tersebut berupa gangguan mobilisasi permanen yang
menjadikan keterbatasan mobilisasi. Keterbatasan mobilisasi akan mempengaruhi daya
tahan otot sebagai akibat dari penurunan masa otot, atrofi dan stabilitas. Pengaruh otot
akibat pemecahan protein akan mengalami kehilangan masa tubuh yang terbentuk oleh
sebagian otot. Oleh karena itu, penurunan masa otot tidak mampu mempertahankan
aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Selain itu, juga terjadi gangguan pada
metabolisme kalsium dan mobilisasi sendi. Jika kondisi otot tidak dipergunakan atau
karena pembebanan yang kurang, maka akan terjadi atrofi otot. Otot yang tidak
mendapatkan pembebanan akan meningkatkan produksi Cu, Zn. Superoksida Dismutase
yang menyebabkan kerusakan, ditambah lagi dengan menurunya catalase,
glutathioneperoksidase, dan mungkin Mn, superoksida dismutase, yaitu sistem yang akan
memetabolisme kelebihan ROS. ROS menyebabkan peningkatan kerusakan protein,
menurunnya ekspresi myosin, dan peningkatan espresi komponen jalur ubiquitine
proteolitik proteosome. Jika otot tidak digunakan selama beberapa hari atau minggu,
maka kecepatan penghancuran protein kontraktil otot (aktin dan myosin) lebih tinggi
dibandingkan pembentukkannya, sehingga terjadi penurunan protein kontraktil otot dan
terjadi atrofi otot. Terjadinya atrofi otot 14 dikarenakan serabut-serabut otot tidak
berkontraksi dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan akan mengecil dimana
terjadi perubahan antara serabut otot dan jaringan fibrosa. Tahapan terjadinya atrofi otot
dimulai dengan berkurangnya tonus otot. Hal ini myostatin menyebabkan atrofi otot
melalui penghambatan pada proses translasi protein sehingga menurunkan kecepatan
sintesis protein. NF-κB menginduksi atrofi dengan aktivasi transkripsi dan ubiquinasi
protein. Jika otot tidak digunakan menyebabkan peningkatan aktivitas transkripsi dari
NF-κB. Reactive Oxygen Species (ROS) pada otot yang mengalami atrofi. Atrofi pada
otot ditandai dengan berkurangnya protein pada sel otot, diameter serabut, produksi
kekuatan, dan ketahanan terhadap kelelahan. Jika suplai saraf pada otot tidak ada, sinyal
untuk kontraksi menghilang selama 2 bulan atau lebih, akan terjadi perubahan
degeneratif pada otot yang disebut dengan atrofi degeneratif. Pada akhir tahap atrofi
degeneratif terjadi penghancuran serabut otot dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan
lemak. Bagian serabut otot yang tersisa adalah membran sel dan nukleus tanpa disertai
dengan protein kontraktil. Kemampuan untuk meregenerasi myofibril akan menurun.
Jaringan fibrosa yang terjadi akibat atrofi degeneratif juga memiliki kecenderungan
untuk memendek yang disebut dengan kontraktur (Kandarian (dalam Rohman, 2019).
7. Patway
Nama : Ny. M
Umur : 61 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Wonogiri
Nomer registrasi :1360xxxxx
Dx Medis : stroke
Tanggal masuk Rs : 28 Oktober 2021
Tanggal pengkajian : 31 Oktober 2021
c. Keluhan Utama
Kekuarga pasein mengatakan anggota gerak kaki kanan lemah, tidak bisa bicara
d. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengatakan satu hari sebelum masuk RS saat bermain dengan cucunya pada
malam hari pasien tiba-tiba badan sakit, merasakan lemas anggota gerak kiri lemah,
perut mual dan tidak nafsu makan Oleh keluarga pasien dibawa ke Rumah Sakit
Medika Mulya untuk mendapatakan pengobatan. Saat di IGD pasien mendapatkan
terapi infus Asering 500 cc, inj citicolin 500 gram, mitamizole 1 gram dan didapatkan
hasil TD : 157/100 mmHg, RR : 21X/mnt, N: 100 X/mnt, S : 36 C. pasien dianjurkan
dokter untuk rawat inap, pasien dirawat di bangsal srikandi saat di lakukan pengkajian
didapatkan data pasien mengatakan Pasein mengatakan anggota gerak kanan lemah,
asering 500 cc, ondansetron 3x8 mg, mecobalamin 500 m/g, furosemid 1x40 mg,
manitol 500 cc, condesarton 16 mg, amlodipin 1x10 mg. dan didapatkan hasil TD :
156/90 mmHg, RR : 22X/mnt, N: 100X/mnt, S : 36 C.
e. Riwat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan sudah pernah dirawat di rumah saki 5 tahun yang lalu
dengan keluhan stroke, pasien dirawat di rumah sakit amal sehat sologoimo.
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien mengatakan mempunyai penyakit kelaurga yaitu bapaknya dengan
hipertensi. Keluarga pasien mengatakan tidak mempunyai penyakit seperti TBC,
hepatitis, HIV dll.
Genogram :
Keterangan :
: Laki-laki : Meninggal
: Perempuan : Tinggal Satu Rumah
: Pasien
i. Pemeriksaan Fisik
1) Kulit
Tidak ada kemerahan dan benjeloan, tidak ada nyeri tekan dan gatal-gatal, kulit
tidak eelastis, warna sawo matang,tidak ada perubahan rambut dan kuku
2) Kepala
Penyebaran rambut mereta, tekstur lembut,wana hitam, tidak ada benjolan atau
lesi, mesochepal, muka/wajah simetris, tidak ada kelainan, ekspersi wajah
meringis kesakitan menahan nyeri
3) Mata
Posisi mata kanan dan kiri sejajar, kelopak mata sejajar, kelopak mata sama
dengan kulit sejajar, apparatud akrimalis tidak berlebihan, skelers dan
konjungtiva anemis, pupil simetris reaksi terhadap cahaya apabila terkena cahaya
pupil akan melebar.
4) Telinga
Bentuk simetris antara kanan dan kiri, ukuran sedang, tidak ada penumpukan
serum, tidak ada nyeri tekan, tidak ada brnjolan, fungsi pendengaran baik
5) Hidung
Inspeksi : bentuk hidung simetris, mukosa hidung merah muda, tidak ada
pembengkakan, tidak ada polip.
Perkusi : tidak nyeri tekan pada sinus
6) Mulut dan tenggorokan
Bibir : warna merah parut, mukosa bibir lembab
Rongga mulut :jumlah gigi 32 buah, tidak ada karies gigi, tidak ada peradangan
gusi
Lidah : lidah bersih, warna merah muda, fingsi pengecapan bagus pasien bisa
merasakan makanan dan minuman
7) Leher
I/P : Posisi trakea terdapat berada di tengah, tidak ada pembesaran keleenjar
typoid.
8) Paru
Inpeksi : bentuk dada simetris, RR : 22 x/mnt, irama nafas teratur, upaya nafas
maksimal, tidak terdapat deformitas, gerekan penafasan normal, tidak terdapat
luka maupun benjolan, pasien bernafas tidak dengan otot bantu, pasien tidak
terpasang O2, perkembangan paru kanan dan kiri sama, tidak terdapat retraksi
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, ekspenasi dada kanan dan kiri simetris, taktil
fremitus kanan dan kiri sama saat pasien diminta mengucap sembilan-sembilan
dada kanan kiri bergetar sama
9) Payudara
Inspeksi :ukuran sedang, warna kulit sama dengan kulit sekitar, tidak ada lesi,
payudara kanan kiri simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan dan benjolan
10) Jantung
I : terlihat pulsasi jantung pada ics 5 dan 6
P : Tidak ada nyeri tekan pada pulsasi jantung ics 5 dan 6
P : Pekak
A : suara jantung 1 dan 2 lup dup
11) Abdomen
I : kulit abdomen bersih , bentuk abdomen simetris, tidak terdapat
pembengkakakan, tidak ada bekas luka post op
A : bising usus 10x/mnt
P : bunyi abdomen tympani
P : Ada nyeri tekan di abdomen kanan
12) Genatalia
Pasien berjenis kelamin perempuan
13) Ekstremitas
2 5
2 5
Keterangan :
0 : Paralisis Sempurna
1. :Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi atau dilihat
2. : Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan topangan
3. : Gerakan normal melawan topangan
4. : Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal
5. : Kekuatan normal gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan tahanan
penuh
j. Pemerikasaan penumjang
Pemeriksaan Hasil
Hemoglobin 12,2mg/dl
Hematokrit 33,9 %
Leukosit 14.600/ul
Trombosit 183000
Basofil 0
Batang 1
Segmen 88
limfosit 7
Monosit 3
GDS 133
Warna urin Kuning keruh
PH 6,0
Eritrosit 200-250
Kratein 2-3 mg/dl
k. Analisa Data
No Tgl/jam Data fokus Etiologi Problem
1. 31-10-2021 Ds : Penurunan Hambatan
Jam 15.30 Keluarga Pasien kekuatan otot mobilitas
mengatakan anggota fisik
gerak kanan sulit
digerakkan dan terasa
berat
Do :
- Pasien tampak lemah
- Pasien terbaring di
tempat tidur
- aktivitas dibantu
No Tgl/jam Data fokus Etiologi Problem
keluaraga
l. Diagnosa Keperawatan
1) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan ketahanan tubuh
2) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan mobilitas fisik
m. Rencana Keperawatan
Tujuan dan
No Tgl/jam Diagnosa Intervensi Rasional TTD
Kriteria Hasil
1. 31-10- Hambatan Setelah 1. Kaji 1. Untuk Vivi
2010 dilakukan keadsaan menetahui
mobilitas
Jam Tindakan 3x24 umum keadaan
16.00 fisik jam diharapkan pasien pasien
pasien dengan 2. Kaji 2. Untuk
berhubun
kriteria hasil : kemampua mengetahui
gan 1. Pasien n pasien sejauh
mampu saat mana
dengan
menggerakk beraktivitas keadaan
penurunan an anggota 3. Ajarkan pasien
badan tentang 3. Pasien
ketahanan
2. Aktivitas mobilisasi dapat
tubuh tidak 4. Bantu berlatih
dibantu aktivitas bergerak
keluarga pasien 4. Melatih
seperti anggota
duduk dan gerak
berdiri pasien agar
5. Latih bisa pulih
pasien kembali
dalam 5. Pasien
mobilisasi dapat
Tujuan dan
No Tgl/jam Diagnosa Intervensi Rasional TTD
Kriteria Hasil
sesuai melukan
kemampua aktivitas
n lagi
6. Kolaborasi 6. Pasien
dengan dapat
fisioterapi meggeraka
n semua
anggota
tubuhnya
2. 31-10- Resiko Setelah dilakukan 1. Monitor VIVI
2021 tindakan kondisi kulit 1. Kulit pasien
kerusakan
Jam keperawatab pasien tidak terjadi
16.00 integritas selama 3x24 2. Anjurkan kerukasn
diharapkan pasien untuk 2. Agar kulit
kulit
terhadap menggunaka pasien
berhubun kebutuhan nutrisi n pakaian lembab
terpenuhi dengan yang longgar 3. Kulit pasien
gan
kriteria hasil : 3. Jaga tidak ada
dengan 1. Integritas kebersihan lesi
kulit yang kulit agar 4. Itegritas
mobilitas
baik tetap bersih pasien baik
fisik 2. Tidak ada dan kering 5. Kulit pasein
luka/lesi pada 4. ubah posisi agar
kulit pasien) lembab
3. Perfusi 5. Oleskan 6. Agar tidak
jaringan baik lotion atau terjadinya
minyak/babo integritas
oil pada kulit
daerah yang
tertekan
6. Memandikan
pasien
dengan
sabun dan
air hangat
P : Intervensi dilajutkan
1. Kaji keadsaan umum pasien
2. Kaji kemampuan pasien saat
beraktivitas
3. Ajarkan tentang mobilisasi
4. Bantu aktivitas pasien seperti
duduk dan berdiri
5. Latih pasien dalam mobilisasi
sesuai kemampuan
P : Intrvensi Dilanjutkan
1. Monitor kondisi kulit pasien
2. Anjurkan pasien untuk
menggunakan pakaian yang
longgar
3. Jaga kebersihan kulit agar
tetap bersih dan kering
4. ubah posisi pasien)
5. Oleskan lotion atau
minyak/babooil pada daerah
yang tertekan
6. Memandikan pasien dengan
Tanggal Diagnos
No Evaluasi TTD
/jam a
sabun dan air hangat
P : Intervensi dilajutkan
1. Kaji keadsaan umum pasien
2. Kaji kemampuan pasien saat
beraktivitas
3. Ajarkan tentang mobilisasi
4. Bantu aktivitas pasien seperti
duduk dan berdir
5. Latih pasien dalam mobilisasi
sesuai kemampuan
P : Intrvensi Dilanjutkan
1. Monitor kondisi kulit pasien
2. Anjurkan pasien untuk
menggunakan pakaian yang
longgar
3. Jaga kebersihan kulit agar
tetap bersih dan kering
4. ubah posisi pasien)
5. Oleskan lotion atau
minyak/babooil pada daerah
yang tertekan
6. Memandikan pasien dengan
sabun dan air hangat
O:
- Pasien tampak membaik
P : Intervensi dilanjutkan
P : Intrvensi Dilanjutkan
1. Monitor kondisi kulit pasien
2. Anjurkan pasien untuk
menggunakan pakaian yang
longgar
3. Jaga kebersihan kulit agar
tetap bersih dan kering
4. ubah posisi pasien)
5. Oleskan lotion atau
minyak/babooil pada daerah
yang tertekan
6. Memandikan pasien dengan
sabun dan air hangat
Lampiran
DAFTAR PUSTAKA