REUMATHOID ARTHRITIS
Oleh:
Hafsa Ahdiyatunnisa
214120071
CIMAHI
2021
A. Konsep Penyakit Reumatoid Arthtritis
1. Definisi Reumatoid Arthritis
Rhematoid Arthritis merupakan penyakit autoimun, dimana target dari sistem
imun adalah jaringan yang melapisi sendi sehingga mengakibatkan pembengkakan,
peradangan dan kerusakan pada sendi (The Arthritis Society, 2015)
Menurut Suarjana (2009), Rhematoid Arthritis adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan terdapatnya sinovitas erosif simetrik yang terutama mengenai
jaringan persendian, sering kali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Pasien dengan
gejala penyakit kronik apabila tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan
persendian dan deformitas sendi yang progresif disabilitas bahkan kematian.
Rhematoid Arthritis menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak
mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan
ekonomi yang besar. Diagnosa dini sering menghadapi kendala karena pada masa dini
sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan
dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang
adekuat (Febriana, 2015)
Menurut pengertian dari ketiga diatas, Rhematoid Arthritis merupakan penyakit
autoimun yang mengenai jaringan persendian, banyak mengenasi penduduk pada usia
produktif. Penyakit Rhematoid Arthritis apabila tidak diobati dapat menyebabkan
kematian. [CITATION Hus17 \l 1057 ]
2. Etiologi
Beberapa analisis genomik menunjukkan bahwa etiologi rheumatoid arthritis
dipengaruhi faktor regulasi imun yang menjadi predisposisi penyakit ini, seperti
seleksi sel T, presentasi antigen, atau perubahan dalam afinitas peptida, yang
secara autoreaktif memicu respon imun adaptif. Salah satu faktor imunologi yang
telah lama diketahui adalah adanya human leukocyte antigen (HLA)-DRB1 yang
ditemukan pada pasien dengan temuan faktor rheumatoid atau ACPA positif.
Terdapat beberapa faktor risiko yang telah diketahui berhubungan dengan etiologi
rheumatoid arthritis, seperti:
1. Genetik
Kerentanan terhadap rheumatoid arthritis berkaitan dengan hipervariabilitas alel
DRβ1, yang dikenal sebagai kerentanan epitope. Selain itu, 70% pasien memiliki
korelasi genetika pada HLADR4 dibandingkan kelompok kontrol dengan
peningkatan risiko rheumatoid arthritis sebesar 4 hingga 5 kali lipat. Gen lain
yang terlibat dalam perjalanan penyakit ini adalah protein tyrosine phosphatase
22 (PTPN 22) lokus TRAF1/C5, 6q23, 4q27, CD40, dan CCL21 pada populasi
Kaukasia, serta peptidyl arginasedeiminase (PADI-4), FCRL3,
dan SLC22A4 yang meningkatkan risiko timbulnya rheumatoid arthritis dua kali
lipat terutama pada populasi Asia.
2. Infeksi
Agen infeksius seperti virus Epstein-Barr, sitomegalovirus, Proteus sp.,
dan Escherichia coliberkaitan dengan risiko timbulnya rheumatoid arthritis secara
langsung serta melalui produknya seperti heat-shock proteins. Salah satu
mekanisme yang diduga terlibat adalah terjadinya induksi faktor rheumatoid, yang
merupakan autoantibodi berafinitas tinggi yang melawan Fc pada
imunoglobulin.Secara khusus, rheumatoid arthritis berhubungan dengan penyakit
periodontal melalui ekspresi PADI-4 oleh Porphyromonas gingivalis yang dapat
memicu sitrulinisasi protein.
3. Usia dan Jenis kelamin
Risiko rheumatoid arthritis lebih besar dua hingga tiga kali lipat pada wanita
dibandingkan pria serta ditemukan pada usia lanjut dengan rata-rata usia awal 43
tahun. Keadaan ini berhubungan dengan kondisi hormonal seperti titer
dehidroepoandrosteron, estradiol, dan testosteron.
4. Lingkungan
Merokok menimbulkan interaksi gen-lingkungan dengan HLA-DR pada
rheumatoid arthritis dengan faktor rheumatoid dan anti-sitrulinasi positif (salah
satunya dengan cara meningkatkan protein sitrulin modifikasi pada paru). Paparan
terhadap rokok, dan beberapa faktor lingkungan lainnya, dapat memicu
mekanisme yang mempercepat deaminisasi arginin menjadi sitrulin pada
autoantigen yang terdapat dalam paru melalui up-
regulation aktivitas peptidylarginine–deiminase makrofag yang diaktifkan saat
apoptosis.
Pada reumatoid artritis dengan ACPA negatif, obesitas meningkatkan risiko
insiden melalui pengaruh adipokin sebagai agen pro-inflamasi. Sebagai contoh,
visfatin mengaktivasi leukosit dan melindunginya dari apoptosis. Obesitas juga
meningkatkan kerusakan struktural sendi pada pasien dengan rheumatoid arthritis
serta menurunkan respon terapi dengan agen anti-TNF.
3. Tanda dan Gejala
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat
peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika
jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara
spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau
tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya
merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali (Reeves,
Roux & Lockhart, 2001).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi,
kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan.
Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga
manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan
stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan
gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis
(Smeltzer & Bare, 2002). Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah
capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia (Long, 1996).
Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai pada persendian
kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai persendian, lutut,
bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan
temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat
teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.
Deformitas tangan dan kaki adalah hal yang umum. Jika ditinjau dari stadium
penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial
yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun
istirahat, bengkak dan kekakuan.
2. Destruksi Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi
juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3. Deformitas Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.
Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini
sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut pada
sendi-sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak mudah
digerakkan dan pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan
imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kontraktur
sehingga terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh
ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang tergeser terhadap lainnya
dan menghilangkan rongga sendi (Smeltzer & Bare, 2002).
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada
lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula
sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga
pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa
hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat
menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.
Proses penyakit
Pannus Nodul Deformitas sendi
Kurang pengetahuan
Gg. Body image
Infiltrasi ke dalam
Os. Subcondria
Kartilago nekrosis
Kerusanakan
kartilago dan tulang
Erosi kartilago
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan
penelitan-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
menekan faktor risiko:
6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
a) Darah lengkap
b) Kimia klinik
c) urinalisis
2. Pemeriksaan Radiologi
3. LED : Umumnya meningkat pesat (80-100mm/h). Mungkin kembali normal
sewaktu gejala-gejala meningkat.
4. Protein C-kreaktif : Positif selama masa eksaserbasi
5. SDP : Meningkat pada waktu timbul proses imflamasi
6. JDL : Umumnya menunjukan anemia sedang
7. Ig (IgM dan IgD) : Peningkatan besar menunjukan proses autoimun sebagai
penyebab AR
8. Sinar X dari sendi yang sakit : Menunjukan pembekakan pada jaringan lunak,
erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan (perubahan awal)
berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan
subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
9. Scan radionuklida : Identifikasi peradangan sinovium
10. Artoskopi langsung : Visualisasi dari area yang menunjukan
iregularis/degenerasi tulang pada sendi.
11. Aspirasi cairan sinovial : Mungkin menunjukan volume yang lebih besar dari
normal, buram, berkabut, munvulnya warna kuning (respon imflamasi,
perdarahan, produk-produk pembuangan degeneratif), elevasi SDF dan
leukosit, penurunan viskositas dan komplemen (C3 dab C4).
12. Biopsi membran sinovial : Menunjukan perubahan imflamasi dan
perkembangan panas.
B. Konsep Dasar Keluarga
1. Definisi
Perawatan kesehatan keluarga (Family Health Nursing) adalah tingkat perawatan
masyarakat dan ditujukan atau dipusatkan pada keluarga sebagai unit atau satu
kesatuan yang dirawat dengan sehat sebagai tujuannya dan melalui perawatan sebagai
sarananya (Salvicio G. Bailon dan Araceli S. Maglaya, 1989 : 2)
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena
hubungan darah. Hubungan perkawainan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam
satu rumah tangga berinteraksi satu sama lain di dalam perannnya masing-masing
menciptakan dan mempertahankan suatu kebudayaan.
(Salvicion G. Bailon dan Aracelli S. Maglaya. 1989 : 2)
Keluarga resiko tinggi adalah keluarga yang rentan terhadap kemungkinan
timbulnya masalah kesehatan dan keluarga yang mempunyai individu bermasalah
(Dinkes Daerah TK I Jawa Barat, 1993 : 4)
- Sebagian 0
- Rendah
1
- Sebagian 2
- Rendah
1
Sumber : Perawatan kesehatan keluarga, S.G. Bailon dan Aracelli Magalaya. Depkes RI,
1989 : S1
Tentukan skor untuk setiap kriteria dibagi dengan angka tertinggi dan dikalikan dengan bobot:
Jumlah skor untuk semua kriteria adalah 5 sama dengan jumlah seluruh bobot.
4. Rencana Keperawatan
a. Perencanaan
Rencana perawatan keluarga adalah kumpulan tindakan yang di tentukan oleh
perawat untuk dilaksanakan untuk memecahkan masalah kesehatan dan masalah
perawatan yang telah diidentifikasikan (Bailon dan Maglaya, 1989 : 72)
Proses dalam pengembangan rencana perawatan keluarga menyangkut metode
pemecahan masalah. Pada umumnya metode ini terdiri dari beberapa bagian
1) Penentuan masalah
2) Sasaran dan tujuan perawatan
3) Rencana tindakan
4) Rencana untuk mengevaluasi perawatan
5. Intervensi atau pelaksanaan
Merupakan realisasi dari rencana tindakan keperawatan yang telah ditetapkan
bersama keluarga untuk memecahkan masalah sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. (Bailon dan Maglaya; 1989: 75).
6. Implementasi
Merupakan realisasi rencana tindakan keperawatan yang telah ditetapkan bersama
dengan kelompok (Nasrul Effendy, 1998 : 87)
a. Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan terhadap
keluarga: