Anda di halaman 1dari 6

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


Jalan SK. Lerik Kelapa Lima P.O. Box 132  (0380) 832517 / Fax : (0380) 833102
Telex 35972 Dephutla KUPANG

KERANGKA ACUAN
KOORDINASI DAN SINKRONISASI PENERAPAN SANKSI ADMINITRASI,
PENYELESAIAN SENGKETA DAN/ATAU PENYELIDIKAN LH DI LUAR PENGADILAN
ATAU MELALUI PENGADILAN (Penyelidikan, Penyidikan, Pemantauan dan Pengawasan
Usaha dan/atau Kegiatan yang Izin Lingkungan dan Izin PPLH dari Provinsi dan Penyelesaian
Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

A. Latar Belakang
Rusaknya lingkungan hidup sebagai akibat dari kegiatan perusakan lingkungan hidup yang
dilakukan dalam upaya ekploitasi sumber daya alam dalam pelaksanaan proses pembangunan
yang tidak terkendali menyebabkan menurunya kualitas lingkungan seiring dengan berkurangnya
cadangan sumber daya alam yang pada akhirnya menyisakan persoalan-persoalan lingkungan
yang tak habis untuk dibincangkan dalam mencari solusi untuk mengatasi persoalan lingkungan
yang ditimbulkan tersebut. Agar daya tampung dan daya dukung tetap terjaga keseimbanganya
maka diperlukanya upaya pengendalian pelestarian lingkungan hidup sehingga persoalan
pertumbuhan penduduk dan aktifasnya yang ada dipermukaan bumi tetap terkendali agar
kerusakan lingkungan dapat diminimalisir dalam upaya pengelolaan fungsi lingkungan hidup itu
sendiri.
Hukum lingkungan merupakan salah satu instrumen yuridis yang memuat tentang kaidah-
kaidah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Adapun makna yang dapat terkandung
dan diamanatkan dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (UUPPLH) adalah upaya penegakan hukum
yang terdiri dari:
1. Penegakan hukum secara administrasi
2. Penegakan hukum secara perdata
3. Penegakan hukum secara pidana
Pada pasal 14 UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH telah menjelaskan bahwa Amdal, UKL-UPL
dan perizinan merupakan salah satu instrumen pencegahan terhadap pencemaran lingkungan
hidup dari 13 instrumen yang ada di UU 32 Tahun 2009 (UUPPLH) dalam upaya pencegahan
pencemaran dan kerusakan lingkungan, dan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 36 UU
PPLH, telah menetapkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL
atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.
Akan tetapi persoalan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup AMDAL/UKL-UPL
dan perizinan bukanlah merupakan alat serbaguna yang dapat menyelesaikan segala persoalan
lingkungan hidup. Efektivitas AMDAL dan UKL UPL sangat ditentukan oleh pengembangan
berbagai instrument lingkungan hidup lainnya dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
atau instansi pemberi izin.
Adapun ke-13 (tiga belas) instrumen pencegahan pencemaran lingkungan hidup yang antara lain
adalah:
1. KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis)
2. Tata ruang
3. Baku mutu LH
4. Kriteria baku mutu kerusakan LH
5. AMDAL
6. UKL-UPL
7. Perizinan
8. Instrumen ekonomi LH
9. Peraturan perundang-undangan LH
10. Anggaran berbasis LH
11. Analisis resiko LH
12. Audit LH
13. Instrumen lain sesuai kebutuhan
Pengertian perizinan sendiri adalah merupakan salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan
dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun
2012 tentang izin lingkungan yang mulai diberlakukan sejak tanggal 23 februari 2012 disebutkan
bahwa izin lingkungan diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sebagai syarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan
Pasal 40 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH menyatakan bahwa izin lingkungan
merupakan persyaratan mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan. Dalam hal perizinan, yang
berwenang mengeluarkan izin adalah pejabat pemerintah sesuai dengan kewenangannya untuk
memberi pelayanan umum kepada masyarakat/pelaku usaha yang membutuhkannya. Adapun
fungsi dari perizinan itu sendiri adalah selain dijadikan alat control bagi pemerintah/instansi
pemberi izin, juga  dapat dijadikan dasar pemerintah dalam melakukan pengawasan dalam
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana yang tercantum dalam dokumen
lingkungan (AMDAL/UKL-UPL) yang telah disepakati, ketaatan terhadap ketentuan yang
tercantum dalam perizinan dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap terlampaunya baku
mutu lingkungan hidup dan baku mutu kerusakan lingkungan hidup.
Dengan mencermati ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perizinan dalam Undang-
Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
dimaksud adalah izin lingkungan sebagai syarat utama dalam mendapatkan izin usaha dan/atau
kegiatan (Izin Operasional, dll) yang bersifat sektoral. Adanya keterkaitan yang erat antara izin
lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan, kedudukan dokumen lingkungan hidup seperti
AMDAL atau UKL-UPL merupakan syarat utama yang diwajibkan dalam memperoleh izin
lingkungan dan izin usaha dan/atau kegiatan merupakan satu kesatuan sistem perizinan dalam UU
Nomor 32 tentang PPLH. Kewajiban pemegang izin lingkungan sesuai dengan UU Nomor 32
Tahun 2009 tentang PPLH pasal 53 sangat jelas apa yang mejadi kewajiban bagi pemegang izin
lingkungan yang mana dalam izin lingkungan tersebut terdapat izin perlindungan dan
pengelolaan lingungan hidup yang biasa di sebut dengan izin PPLH yang antara lain:
1. Izin pembuangan Air Limbah
2. Izin pemanfaatan Air Limbah
3. Izin penyimpanan sementara L-B3
4. Izin pemanfaatan L-B3
5. Izin pengolahan L-B3
6. Izin penimbunan L-B3
7. Izin Pembuangan Air Limbah ke laut
8. Izin dumping ke media lingkungan
9. Izin pembuangan air limbah dengan cara reinjeksi
10. Izin emisi
11. Venting
Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Izin PPLH) diterbitkan oleh Menteri,
Gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenagannya berdasarkan keputusan kelayakan
lingkungan hidup dan rekomendasi UKL-UPL.
Pelanggaran terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (izin PPLH)
dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap izin lingkungan, berdasarkan pasal 76 UU
32/2009 tentang PPLH dimana Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota dapat menerapkan sangsi
administrasi kepada pelaku usaha sesuai dengan kewenangan jika didalam pelaksanaan
pengawasan ditemukannya suatu pelanggaran terhadap izin-izin perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dimana sangsi administrasi yang dapat diterapkan adalah:
1. Teguran tertulis
2. Paksaan pemerintah
3. Pembekuan izin lingkungan
4. Pencabutan izin lingkungan
Sebagaimana konsekuensi izin lingkungan menjadi syarat memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan maka secara otomatis izin lingkungan dihentikan/dicabut maka izin operasioanal/izin
usaha dan/atau kegiatan akan tercabut dan jika izin lingkungan dibekukan maka izin usaha
dan/atau kegiatan akan dibekukan juga.
Berdasarkan pasal 77 UU Tahun 32 tahun 2009, disampaikan bahwa dalam penerapan sanksi
administrasi Menteri dapat mengambil alih dalam menerapkan sanksi administratif terhadap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah (pusat/kementerian) menganggap
pemerintah daerah secara sengaja tidak melakukan/menerapkan sanksi administratif terhadap
pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang telah
dilakukan oleh usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pelanggaran. Pasal 78 UU 32
Tahun 2009 dimana penerapan Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak
serta merta membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab
pemulihan dan pidana sebagai konsekuensi pencemaran yang telah dilakukannya.
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan dan pencabutan izin lingkungan
berdasarkan pasal 79 UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH dapat dilakukan manakala pelaku usaha
tidak melaksanakan perintah paksaan pemerintah, dimana paksaan pemerintah itu dimaksudkan
untuk mencegah dan/atau mengakhiri terjadinya pelanggaran dalam upaya penyelamatan,
penanggulangan serta pemulihan lingkungan hidup sebagai akibat dari pencemaran dan dampak
dari kegiatan usaha dan/atau kegiatan.
Penerapan sanksi administrasi dalam penegakan hukum lingkungan mengenai paksaaan
pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 80 ayat (2) UU Nomor 32 tahun 2009 dapat
dijatuhkan terlebih dahulu tanpa didahului dengan teguran jika dipandang pelanggaran yang
terjadi dapat menimbulkan 1) ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup. 2)
dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau
perusakan. 3) kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya. Penegakan hukum administrasi dalam sebuah sistem hukum
dan pemerintahan minimal mempunyai 5 (lima)  prasyarat awal dari efektivitas penegakannya,
yaitu, izin yang didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian, persyaratan
dalam izin dengan merujuk pada AMDAL, standar baku mutu lingkungan, peraturan perundang-
undangan, mekanisme pengawasan penataan, keberadaan pejabat pengawas (inspektur) dengan
kuantitas dan kualitas yang memadai, dan sanksi administrasi.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara konsisten sesuai dengan
kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangka menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, penegakan sanksi administrasi
merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum lingkungan (primium remedium).  Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
menyebutkan bahwa pengawasan merupakan bagian dari mekanisme penegakan hukum. Tujuan
utama pengawasan adalah memantau, mengevaluasi dan menetapkan status ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup (“PPLH”), perizinan lingkungan, serta kewajiban pengelolaan
dan pemantauan lingkungan dalam dokumen lingkungan hidup

B. Dasar Hukum
1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 167);
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
3. UU nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau
Perusakan Laut;
5. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999, tentang Pengendalian Pencemaran Udara
(Lembaran Negara RI tahun 1999 Nomor 86; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3853);
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;
7. Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor: 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan;
9. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan.
10. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor:P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendali Kebakaran Hutan dan
Lahan;
11. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 4 Tahun 2016 Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
C. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari kegiatan ini adalah:
Maksud:
1. Untuk memantauan tingkat kepatuhan dari usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki
izin lingkungan dan izin PPLH;
2. Untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus lingkungan hidup
dan kehutanan yang terjadi di Provinsi NTT guna menyelesaikannya.
Tujuan:
1. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang telah
memiliki izin lingkungan dan izin PPLH dari provinsi;
2. Untuk menyelesaikan kasus-kasus lingkungan dan Kehuatnan yang terjadi di Provinsi
NTT
D. Lokasi Kegiatan
 Pemantauan dan pengawasan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin
lingkungan dan izin PPLH dari Provinsi dilaksanakan di 6 (enam) Kabupaten yaitu
Kabupaten Manggarai Barat, Lembata, Ngada, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur
dan Kabupaten Alor;
 Koordinasi penyelesaian kasus lingkungan dan kehutanan dilakukan di 10 (sepuluh)
Kabupaten yaitu Kabupaten Manggarai Barat, Lembata, Sikka, Flores Timur, Sumba
Barat Daya, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Sumba Timur dan Rote
Ndao.
 Penyelidikan dan penyidikan kasus dilaksanakan di lokasi-lokasi yang terindikasi
terjadinya kasus tersebar di 22 kab/kota.
E. Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan ini akan dilaksanakan pada Tahun Anggaran 2021
F. Penutup
Demikian kerangka acuan kerja ini dibuat untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan
kegiatan Restorasi Ekologis Mangrove.

Kupang, Juli 2020


KEPALA BIDANG PENGENDALIAN DAN PERLINDUNGAN

Drs. YOHAN BUNMO LOBAN, M.Si


Pembina Tk I
NIP. 19710511 199009 1 001
KERANGKA ACUAN
KEGIATAN
PENYELESAIAN PENGADUAN MASYARAKAT DI BIDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI

SUB KEGIATAN
KOORDINASI DAN SINKRONISASI PENERAPAN SANKSI ADMINITRASI,
PENYELESAIAN SENGKETA DAN/ATAU PENYELIDIKAN LH DI LUAR
PENGADILAN ATAU MELALUI PENGADILAN (Penyelidikan, Penyidikan, Pemantauan
dan Pengawasan Usaha dan/atau Kegiatan yang Izin Lingkungan dan Izin PPLH dari
Provinsi dan Penyelesaian Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
TAHUN ANGGARAN 2021

BIDANG PENGENDALIAN DAN PERLINDUNGAN

Anda mungkin juga menyukai