Anda di halaman 1dari 17

Gambang kromong 

(atau ditulis gambang keromong) adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan


alat-alat musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan, dan kongahyan [1]. Sebutan gambang kromong diambil dari
nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Awal mula terbentuknya orkes gambang kromong
tidak lepas dari seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat Belanda (kapitan Cina) bernama Nie
Hoe Kong (masa jabatan 1736-1740)
Gambang Kromong Pada masyarakat Betawi ada sebuah kesenian melalui media bunyi sebagai ungkapan
ekspresi yang dinamakan sebagai gambang kromong. Kesenian ini populer sekitar tahun 1930-an di kalangan
masyarakat Tionghoa Peranakan yang sekarang dikenal dengan nama Cina Benteng (jakarta.go.id). Masih
menurut jakarta.go.id, gambang kromong pertama kali muncul hanya bernama gambang. Namun sejak awal
abad ke-20 menjadi gambang kromong karena ada penambahan instrumen berupa kromong. Adapun orang yang
memprakarsainya adalah Nie Hoe Kong.
Oleh masyarakat Betawi gambang kromong difungsikan sebagai sarana penyemarak upacara adat dalam rangka
lingkaran hidup seseorang (perkawinan, nazar, dan sunatan). Dalam pementasannya, kesenian yang lahir
sebagai bentuk dari pemuasan kebutuhan manusia akan rasa keindahan ini digunakan sebagai pengiring teater
lenong, tari cokek, dan hiburan khas Betawi lainnya.
Tanjidor adalah sebuah kesenian Betawi yang berbentuk orkes. Kesenian ini sudah dimulai dari abad ke-19.
Alat-alat musik yang dimaenin biasanye terdiri dari gabungan alat-alat musik tiup, alat-alat musik gesek dan
alat-alat musik perkusi. Biasanye kesenian ini dimaenin untuk nganter penganten atau dalam acara pawai
daerah. Tapi pade umumnye kesenian ini diadakan di suatu tempat yang akan dihadiri oleh masyarakat Betawi
secara luas kayak sebuah orkes.
Musik tanjidor diduga berasal dari bangse Portugis yang dateng ke Betawi pada abad ke 14 sampe 16. Menurut
sejarawan, dalam bahase Portugis ade kata tanger. Kata tanger sendiri artinye maenin alat musik. Maenin alat
musik ini dilakuin pada pawai militer atau upacare keagamaan. Kata tanger itu kemudian diucapin ama orang
Betawi jadi tanjidor.
Kate ahli musik dari Belanda yang namanye Ernst Heinz, tanjidor asalnye dari para budak yang ditugasin maen
musik untuk tuannye.
Sejarawan Belanda bernama Dr. F. De Haan juga berpendapat kalo orkes tanjidor berasal dari orkes budak pade
mase kompeni dulu. Pada abad ke 18 kote Batavia dikelilingi benteng tinggi, kaga banyak tanah lapang. Para
pejabat tinggi kompeni ngebangun villa di luar kote Batavia. Villa-villa itu terletak di Cililitan Besar, Pondok
Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis.
Di villa-villa inilah terdapat budak. Budak-budak itu ternyate punye keahlian. Di antaranye ade yang bise
maenin alat musik. Alat musik yang mereka maenin antara lain : klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet,
bas drum, tambur, simbal, dan laen-laen. Para budak pemaen musik bertugas menghibur tuannye saat pesta dan
jamuan makan.
Nah pas perbudakan dihapusin tahun 1860, pemaen musik yang dulunye budak jadi orang yang merdeka.
Karena keahlian bekas budak itu bermaen musik, mereka ngebentuk perkumpulan musik. Lahirlah perkumpulan
musik yang dinamain tanjidor.
Tarling adalah salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat,
terutama wilayah Indramayu dan Cirebon. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen itar (gitar) dan
suling (seruling) serta istilah Yen wis mlatar gage eling (Andai banyak berdosa segera bertaubat). Asal usul
tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu. Saat itu, ada
seorang komisaris Belanda yang meminta tolong kepada warga setempat yang bernama Mang Sakim, untuk
memperbaiki gitar miliknya. Mang Sakim waktu itu dikenal sebagai ahli gamelan. Usai diperbaiki, sang
komisaris Belanda itu ternyata tak jua mengambil kembali gitarnya. Kesempatan itu akhirnya dipergunakan
Mang Sakim untuk mempelajari nada-nada gitar, dan membandingkannya dengan nada-nada pentatonis
gamelan.
Hal itupun dilakukan oleh anak Mang Sakim yang bernama Sugra. Bahkan, Sugra kemudian membuat
eksperimen dengan memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke dawai-dawai gitar yang bernada diatonis.
Karenanya, tembang-tembang (kiser) Dermayonan dan Cerbonan yang biasanya diiringi gamelan, bisa menjadi
lebih indah dengan iringan petikan gitar. Keindahan itupun semakin lengkap setelah petikan dawai gitar diiringi
dengan suling bambu yang mendayu-dayu. Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan musik
Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di
berbagai pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup. Trend yang disukai
dan populer, di jondol atau ranggonanak muda suka memainkannya,seni musik ini mulai digandrungi. Pada
1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi
sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan
ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.
Sugra dan teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta hajatan, meski tanpa honor.
Biasanya, panggung itu pun hanya berupa tikar yang diterangi lampu petromaks (saat malam hari). Tak berhenti
sampai di situ, Sugra pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pergelaran drama.
Namun yang pasti, nama tarling saat itu belum digunakan sebagai jenis aliran musik. Saat itu nama yang
digunakan untuk menyebut jenis musik ini adalah Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota
Udang untuk wilayah Cirebon. Dan nama tarling baru diresmikan saat RRI sering menyiarkan jenis musik ini
dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD) pada tanggal 17 Agustus 1962 meresmikan nama Tarling
sebagai nama resmi jenis musiknya.
Gondang sunda adalah kakawihan yang dipirig oleh tutunggulan. Seni Gondang ini merupakan seni tradisi
yang mempertunjukkan proses mengolah padi menjadi beras dengan menggunakan sarana alu dan lesung. Alat
yang digunakan dalam ngagondang adalah lisung (lesung) dan halu (alu). Lesung adalah wadah menumbuk padi
yang bentuknya mirip perahu, panjangnya kira-kira 2 meter dan lebar kurang lebih 0,5 meter.
Kesenian ini berkaitan dengan nutu (menumbuk) padi hasil panen masyarakat setempat dengan lesung dan alu.
Sebelum adanya teknologi heler (menumbuk padi dengan mesin), kebiasaan ini selalu dilakukan dan melibatkan
laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang banyak. Kegiatan ini selalu dipimpin oleh perempuan yang
dituakan atau istri sesepuh adat. Pemimpin tersebut terkenal dengan sebutan ambu atau ema yang dianggap
orang yang paling dihormati di mata adat. Kegiatan nutu dilakukan di Saung Lisung yang tidak jauh dari
lumbung padi. Berbagai sesaji telah disiapkan, terutama rurujakan dan telur yang harus disimpan pada badan
lesung atau sarukna.
Acara dimulai dengan doa yang dipimpin oleh ambu sambil membakar kemenyan. Ambu mulai melantunkan
lagu yang berjudul Kaleon sebagai pengundang Dewa Anta untuk hadir dan menyaksikan ritual nutu, dan yang
paling utama memohon restu untuk mengundang kembali Dewi Sri. Lesung mulai ditumbuk -tumbuk dengan
alu oleh ibu-ibu, sehingga terdengar bunyi gemuruh tapi dalam irama lagu yang berjudul Ungkut-ungkut.
Gemuruh suara tutunggulan terdengar semakin pelan dan akan berhenti. Setelah bunyi musik tutunggulan
berhenti, Ambu melantunkan tembang Sulanjana. Tembang ini dilantunkan sebagai rasa terima kasih kepada
Dewa Anta yang hadir pada upacara nutu yang dilaksanakan. Usai melantunkan Sulanjana, tutunggulan
dibunyikan kembali dengan irama yang lebih menarik dan meriah (ngabendrong) dalam lagu yang berjudul
Rampes. Lagu ini menggambarkan rasa gembira masyarakat pelaku upacara atas kedatangan Dewa Anta.
Setelah itu, Ambu melantunkan lagu yang berjudul Taraje Emas.
Selesai menembangkan Taraje Emas, tutunggulan dibunyikan kembali dalam irama lagu angin-angin. Lagu
angin-angin ini memiliki tempo yang pelan. Hentakan alu pada lesung yang keras dan penuh semangat
membuat lesung bergoyang. Akibatnya, sesaji yang berupa rujak dan kelapa muda yang ada pada badan lesung
tumpah. Hal ini adalah pertanda Dewi Sri telah hadir di tengah-tengah acara. Ambu menyambut kedatangannya
dengan lagu Lutung Luncat. Selanjutnya, sebagai perhormatan kepada Dewi Sri dibawakan lagu yang berjudul
Kukupu Diadu yang secara instrumental melalui bunyi musik tutunggulan. Lamanya lagu ini dimainkan
tergantung keluarnya keringat dari para peserta upacara. Apabila sudah berkeringat, pertanda bahwa
penghormatan yang dilakukan kepada Dewi Sri telah sampai dan diterima
Gondang Batak sudah ada sejak 500 tahun lalu di Mandailing daerah Batak. Biasanya, alat musik ini
dimainkan bersamaan dengan tari tor-tor. Pada suku Mandailing, gondang dan tari tor-tor digelar untuk
perayaan, hajatan dan penyambutan tamu yang dihormati. Pada masa kolonial, kesenian ini menjadi hiburan
para raja dan sebagai bentuk perlawanan terhadap serdadu Belanda. Ketika gondang dibunyikan, masyarakat
diminta mengungsi. Suku Mandailing pun berbeda-beda dalam menyebut alat musik gondang. Mandailing yang
bermukim di wilayah Angkola, Sidimpuan, Tapanuli Selatan, mengenal dengan sebutan gondang 2.
Sebelumnya disebut gondang 7 di tiga wilayah itu. Hanya di Mandailing Natal yang sebutannya tetap sampai
sekarang, gondang 9. Adanya perubahan sebutan gondang 7 menjadi gondang 2 karena kesenian budaya ini
sempat dilarang pada masa penjajahan. Gondang juga berat untuk dibawa bila mengungsi.
Ada pun jenis-jenis alat musik instrumental gondang, di antaranya yaitu taganing, gordang, sarune,
ogung aloan, ogung ihutan atau ogung pangalusi, ogung panggora atau ogung panonggahi, ogung doal, hesek,
hasapi, sulim, garantung, tulila dll. Sama seperti alat musik pada umumnya, masing-masing instrumen gondang
memiliki peran berbeda-beda dalam menciptakan sebuah komposisi musik. Komposisi yang ditemukan dalam
jenis musik tersebut misalnya komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo dsb dan alat musik
“kendang”. Gondang Sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat tiup obo), taganing (perlengkapan terdiri
dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune tersebut), gordang (sebuah kendang besar
yang menonjolkan irama ritme),empat gong yang disebut agung dan hesek sebuah alat perkusi (biasanya sebuah
botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama.
Tarawangsa, Alat musik gesek ini awalnya dimainkan berkaitan dengan upacara padi, yakni menjelang dan
setelah panen. Tarawangsa dibunyikan selain untuk menghibur petani juga sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Kini tarawangsa dipentaskan dalam berbagai perayaan, seperti
khitanan, syukuran rumah, hingga perayaan besar nasional. Bentuk tarawangsa mirip rebab. Namun, usia alat
musik ini diduga lebih tua karena sudah disebut dalam naskah Sewaka Darma (sebelum abad ke-15). Adapun
rebab muncul di Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15-16, adaptasi dari alat gesek Timur Tengah yang
dibawa penyebar Islam dari Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa disebut rebab jangkung
karena ukurannya lebih tinggi ketimbang rebab. Alat musik ini biasanya terbuat dari kayu kenanga, jengkol,
dadap, atau kemiri. Tarawangsa memiliki dua dawai dari kawat baja atau besi, dimainkan dengan cara digesek.
Namun, yang digesek hanya satu dawai yang paling dekat kepada pemain, sedangkan dawai yang satunya lagi
dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Penggunaan dua dawai itu mengandung filosofi
kehidupan manusia yang berpasangan, ada lelaki-perempuan, ada baik-buruk, ada umur pendek-umur panjang.
Semua itu adalah kekuasaan Tuhan. Sebagai salah satu musik tradisional Sunda, tarawangsa dimainkan dalam
ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan jentreng, alat petik tujuh dawai yang menyerupai
kecapi. Tarawangsa biasanya berfungsi sebagai alat musik melodi, sedangkan jentreng sebagai pengiring lagu.
Pemain tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu seorang pemain tarawangsa dan seorang pemain jentreng.
Semua pemain tarawangsa adalah laki-laki, dengan usia rata-rata 50-60 tahun dan bekerja sebagai petani.
Pertunjukan tarawangsa biasanya melibatkan penari laki-laki dan perempuan. Mula-mula laki-laki menari
disusul penari perempuan. Mereka bertugas "ngalungsurkeun" (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur.
Kemudian penonton di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan
pokok kecuali gerakan khusus yang dilakukan penari sebagi simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari
dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya gerak fisik semata, melainkan juga berkaitan dengan hal-hal
metafisik. Tidak heran, penari sering tidak sadarkan diri. Kesenian tarawangsa hanya dapat ditemukan di
beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yakni di Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya
selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Di Cibalong dan Cipatujah, tarawangsa
dilengkapi dua perangkat calung rantay, suling, dan nyanyian. Namun, tarawangsa kini terancam punah akibat
masalah regenerasi. Pemain tarawangsa yang masih bertahan telah berusia lanjut, sedangkan generasi muda
tidak tertarik dengan seni tersebut
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) nang sacara tradisiunal barkambang dalam bubuhan
Sunda matan Pulau Jawa di sabalah barat. Alat musik ngini di ulah matan paring, dibunyiakan lawan cara
diguyangakan (babunyi lantaran ulih gantaran awak pipa paring) sahingga mahasilakan bunyi nang bagantar
dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam satiap ukuran, baik nang ganal atawa nang halus. Dictionary of
the Sunda Language ulahan Jonathan Rigg, nang diterbitakan pada tahun 1862 di Batavia, manulisakan bahwa
angklung adalah alat musik nang diulah matan pipa-pipa paring, nang di tatak di buncunya, menyarupai pipa-
pipa dalam suatu organ, lawan diikat baimbaian dalam suatu bingkai, digantarakan sagan mahasilakan bunyi.
kadada patunjuk wayah pabila angklung digunaakan, tatapi diduga bentuk primitifnya suah digunaakan dalam
kultur Neolitikum nang barkambang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sahingga angklung
marupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kabudayaan Nusantara.
Catatan manganai angklung hanyar cungul marujuk pada masa Karajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-
16). Asal usul taulah musik paring, saparti angklung bardasarkan pandangan hidup bubuhan Sunda nang agraris
lawan sumber kahidupan dari banih (pare) sabagai pamakan pukuknya. Hal ngini meranakakan mitus
kaparcayaan tarhadap Nyai Sri Pohaci sabagai lambang Dewi Banih nang mambari kahidupan (hirup-hurip).
Bubuhan Baduy, nang dianggap sabagai sisa-sisa bubuhan Sunda nang bujuran, manarapakan angklung sabagai
bagian dari ritual mamulai batanam banih. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu
nang masih hidup sajak labih matan 400 tahun lampau. Kamunculannya bamula dari ritus banih. Angklung
diulahakan lawan dimainakan gasan mamikat Dewi Sri tajun ka bumi cagar tanaman banih rakyat tumbuh
subur.
Janis paring nang rancak diguna'akan sabagai alat musik tarsebut adalah paring hirang (awi wulung) dan paring
ater (awi temen), nang bila karing bawarna kuning kaputihan. Tiap nada (laras) dihasilakan dari bunyi tabung
paringnya nang tabantuk bilah (wilahan) satiap suang paring dari nang ukuranya halus sampai ukurannya ganal.
Dikenal oleh masyarakat Sunda sejak masa karajaan Sunda, di antaranya sabagai penggugah semangat dalam
pertempuran. Fungsi angklung sabagai pamumpa sumangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa
penjajahan, itu sababnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat manggunaakan angklung,
pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainakan ulih kanakan pada waktu
ngitu.
Kolintang adalah salah satu alat musik tradisional masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara. Alat musik ini
terbuat dari kayu khusus yang disusun dan dimainkan dengan cara dipukul. Sekilas Kolintang ini hampir sama
dengan alat musik Gambang dari Jawa, namun yang membedakan adalah nada yang dihasilkan lebih lengkap
dan cara memainkannya sedikit berbeda. Kolintang merupakan salah satu alat musik tradisional yang cukup
terkenal di masyarakat Minahasa, dan sering digunakan untuk mengiringi upacara adat, pertunjukan tari,
pengiring nyanyian, bahkan pertunjukan musik.
Sejarah Dan Perkembangan Kolintang
Dahulu kala, tersebutlah sebuah desa yang indah bernama To Un Rano yang sekarang dikenal dengan nama
Tondano. Di desa yang terletak di daerah Minahasa ini, ada seorang gadis yang kecantikannya sudah tersohor
ke seluruh pelosok desa. Maka banyaklah pemuda yang jatuh hati. Sang gadis bernama Lintang, pandai
menyanyi, dan suaranya pun nyaring serta merdu.
Pada suatu waktu, sebuah pesta muda-mudi diselenggarakan di desa To Un Rano. Saat itu muncullah seorang
pemuda gagah dan tampan yang kemudian berkenalan dengan Lintang. Namanya Makasiga, memiliki keahlian
di bidang ukir-ukiran. Makasiga kemudian meminang Lintang, yang diterima dengan satu syarat, yaitu:
Makasiga harus mencari alat musik yang bunyinya lebih merdu dari seruling emas.
Lalu, Makasiga berkelana keluar-masuk hutan untuk mencari alat musik yang diinginkan Lintang. Untuk
menghangatkan badan di malam hari, Makasiga membelah-belah kayu untuk kemudian dijemurnya. Setelah
kering, belahan-belahan kayu itu lalu diambil satu persatu dan dilemparkannya ke tempat lain. Saat belahan-
belahan kayu jatuh membentur tanah, terdengar bunyi-bunyian yang amat nyaring dan merdu. Makasiga senang
bukan kepalang. Sementara di tempat lain, dua orang pemburu juga mendengar bunyi-bunyian itu sehingga
mencari sumbernya.
Singkat cerita, Makasiga jatuh sakit dan kurus kering karena terlalu fokus mencari alat musik untuk Lintang,
sehingga ia lupa makan dan minum. Dua orang pemburu tadi menemukannya dan membawanya kembali ke
desanya. Namun karena sakitnya semakin parah, Makasiga pun meninggal dunia. Mendengar Makasiga
meninggal, Lintang pun sakit parah dan menyusulnya ke alam baka.
Cerita di atas merupakan cerita rakyat Minahasa mengenai asal usul alat musik kolintang, yang merupakan alat
musik tradisional khas Minahasa. Berbahan dasar kayu, namun jika dipukul akan menghasilkan bunyi-bunyi
yang nyaring dan merdu. Bunyi yang dihasilkan dapat mencapai nada-nada tinggi maupun rendah. Jenis kayu
yang digunakan untuk membuat kolintang adalah kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau jenis kayu lain
yang ringan tetapi bertekstur padat dan serat kayunya tersusun rapi membentuk garis-garis horizontal.
Kata “kolintang” berasal dari bunyi “tong” untuk nada rendah, “ting” untuk nada tinggi, dan “tang” untuk nada
tengah. Dahulu, orang Minahasa biasanya mengajak bermain kolintang dengan mengatakan “Mari kita ber Tong
Ting Tang” atau dalam bahasa daerah Minahasa “Maimo Kumolintang”. Dari kebiasaan itulah muncul istilah
“kolintang”.
Alat musik kolintang pada awalnya hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer di atas
kedua kaki pemainnya yang duduk di tanah, dengan posisi kedua kaki lurus ke depan. Dari waktu ke waktu,
penggunaan kaki pemain diganti dengan dua batang pisang. Sementara peti resonator baru mulai digunakan
sejak kedatangan Pangeran Diponegoro di Minahasa pada tahun 1830.
Dahulu, kolintang hanya terdiri dari satu melodi yang terdiri dari susunan nada diatonis, dengan jarak nada dua
oktaf. Sebagai pengiring, digunakan alat-alat musik bersenar seperti gitar, ukulele dan bas. Namun pada tahun
1954, kolintang sudah memiliki jarak nada dua setengah oktaf dan masih tetap memiliki susunan nada diatonis.
Pada tahun 1960, berkembang lagi hingga mencapai tiga setengah oktaf dengan nada 1 kres, naturel, dan 1 mol.
Dasar nadanya masih terbatas pada tiga kunci (naturel, 1 mol, dan 1 kruis), jarak nadanya berkembang lagi
menjadi empat setengah oktaf dari F sampai dengan C.
Perkembangan alat musik kolintang masih tetap berlangsung, baik dari segi kualitas alat, perluasan jarak nada,
maupun bentuk peti resonator
Talempong (atau dikenal sebagai Cak Lempong di Malaysia) adalah sebuah alat musik pukul tradisional khas
suku Minangkabau. Bentuknya hampir sama dengan instrumen bonang dalam perangkat gamelan. Talempong
dapat terbuat dari kuningan, tetapi ada pula yang terbuat dari kayu dan batu. Saat ini talempong dari jenis
kuningan lebih banyak digunakan.
Pada akhir kekuasaan Adhityawarman (1347) di Minangkabau, alat musik yang meliputi gong dan talempong
merupakan simbol, prestise, dan kebesaran raja. Pada 1550-an, musik perunggu yang menggunakan kettle
drums, yaitu alat musik idiofon terbuat dari metal, merupakan musik dari tradisi kerajaan Minangkabau.
Diyakini alat musik tersebut adalah talempong.
Alat musik ini konon biasa dipergunakan untuk menyertai keberangkatan raja bersama rombongan tatkala
menemui orang-orang Portugis di Pantai Tiku yang terletak di Kabupaten Agam.
Saat ini, Kabupaten Agam, khususnya Sungai Puar, dikenal sebagai salah satu sentra pembuatan talempong.
Dulu, alat musik ini terbuat dari batu dan kayu. Kini, alat musik pukul itu terbuat dari kuningan.
Meski bentuk talempong mirip dengan bonang pada gamelan Jawa, kedua alat musik tersebut dibuat dengan
teknik yang berbeda. Talempong menggunakan teknik pembuatan a cire purdue, sementara bonang dibuat
dengan metode tempaan. Teknik a cire purdue adalah cara pembuatan alat berbahan logam dengan lebih dulu
membuat cetakannya.
Cetakan tersebut dibuat dari lilin, kemudian dibalut tanah liat, dikeringkan dengan cara dijemur, lalu dibakar.
Setelah pembakaran, cairan lilin dikeluarkan sehingga memunculkan rongga yang lantas diisi cairan logam.
Setelah cairan logam membeku, baru dilakukan proses penggerindaan, pemolesan, dan penyeteman nada.
Dulu, pembuatan alat musik itu hanya dikuasai oleh para ahli yang disebut tuo talempong. Merekalah yang
menguasai rahasia pembuatan talempong, termasuk nada-nada yang ”disematkan” pada alat musik itu dengan
hanya berdasarkan naluri pendengaran saja.
Nada aslinya yang pentatonik terdiri atas lima atau enam nada. Apabila dibandingkan dengan nada diatonik,
akan terdengar tidak pas atau seolah meleset di telinga.
Talempong dengan nada pentatonik biasa dipesan pemain talempong pacik dengan teknik tradisional. Jenis
tersebut ini dimainkan dengan teknik interlocking atau saling meningkahi sehingga menimbulkan pola irama
tertentu.
Saat ini, pesanan talempong semakin beragam, tidak hanya dalam nada pentatonik, tetapi juga dalam nada-nada
diatonik. Nada yang bisa dimainkan juga tidak hanya satu oktaf, tapi bisa lebih dari itu, termasuk nada-nada
seperti kres dan mol.
Hal ini bisa terjadi seiring dengan makin maraknya talempong kreasi. Dengan menggabungkan talempong
bersama alat musik modern, instrumen musik tradisional tersebut bisa digunakan untuk mengiringi lagu yang
lebih kompleks ketimbang sekadar menghasilkan pola irama tertentu.
Perkembangan talempong kreasi terjadi kira-kira pada kurun waktu tahun 1970-an. Salah satu pelopornya
adalah Yusaf Rahman, seorang komponis besar asal Minang.
Yusaf pertama kali mengolah tangga nada talempong pentatonik yang terbatas (hanya lima not). Ia kemudian
menciptakan pola tangga nada diatonik. Dengan demikian, alat musik tradisional Minang itu bisa
dikolaborasikan dengan alat-alat musik lainnya.
Yusaf yang mengawasi pembuatan talempong bernada diatonik tersebut yang dikerjakan oleh tuo-tuo
talempong di Sungai Puar. Dia juga yang mengatur jumlahnya dalam satu meja, menyetem ketepatan nada-
nadanya, serta mengatur kualitas suaranya agar sesuai konsep diatonik.
Yusaf membagi talempong dalam tiga meja. Meja pertama disebut gareteh atau melodi berisi 16 talempong
dalam dua oktaf nada diatonik yang bisa dimainkan dalam 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Meja kedua disebut
tingkah atau akord, terdiri atas delapan talempong.
Meja ketiga disebut saua, juga terdiri atas delapan talempong. Pengaturan nada talempong ini sama dengan
pengaturan nada diatonik pada piano.
Inovasi yang dilakukan Yusaf ini sempat menimbulkan pro-kontra. Namun, keinginannya untuk menghasilkan
talempong tak membosankan sehingga lebih bisa dinikmati membuatnya kukuh.
Sejak itu, talempong bernada diatonik makin marak di Minangkabau. Belakangan, penyeteman nada talempong
tak lagi hanya menggunakan feeling, tetapi menggunakan aplikasi di telepon genggam. Upacara manyadahi
yang dulu umum dilakukan para tuo talempong pun sudah tidak pernah lagi dilakukan.
Sebagaimana sejarahnya yang memiliki kaitan dengan istana atau kerajaan, dalam perkembangannya,
penggunaan talempong dalam masyarakat Minangkabau hampir selalu dikaitkan dengan upacara adat, seperti
upacara pengangkatan penghulu dan upacara perkawinan. Meski demikian, talempong juga menjadi bagian tak
terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Fungsinya yang sakral pun terus bertransformasi menjadi makin lentur seiring perkembangan masyarakat. Alat
musik tersebut kini tak hanya mengiringi upacara adat, tetapi juga menjadi sebuah produk hiburan. Ini
dimungkinkan dengan perkembangan talempong kreasi yang membuat alat musik tradisional tersebut tampil
dengan luwes bersama alat-alat musik modern.
Tak hanya menjadi pengiring berbagai jenis tarian Minang atau digunakan untuk menyuguhkan lagu khas
Minang dan lagu Melayu, lagu-lagu Indonesia populer atau modern serta lagu Barat pun mampu dimainkan
menggunakan talempong. Dalam lima tahun terakhir juga marak talempong goyang yang menyuguhkan
talempong dalam lagu-lagu campursari atau bahkan dangdut, dengan memasukkan unsur-unsur gendang sunda.
Sape Kalimantan Barat adalah alat musik kesenian tradisional masyarakat Suku Dayak Kayaan di wilayah
sungai Kapuas Hulu yang digunakan sebagai salah satu sarana hiburan bagi masyarakat Dayak.[1] Sape
merupakan Alat musik petik yang mana bentuknya berbadan lebar, bertangkai kecil, panjangnya sekitar satu
meter, memiliki dua senar/tali dari bahan plastik. Sape jenis ini memiliki empat tangga nada
Musik sape yang dimiliki oleh Dayak Kayaan terdiri atas dua jenis. Pertama, berbadan lebar, bertangkai kecil,
panjangnya sekitar satu meter, memiliki dua senar/tali dari bahan plastik. Sape jenis ini memiliki empat tangga
nada. “Orang kerap menyebutnya sebagai sape Kayaan, karena ditemui oleh orang Kayaan,” kata Alloy.[2]
Kedua, berbadan kecil memanjang. Pada bagian ujungnya berbentuk kecil dengan panjangnya sekitar 1,5 meter.
Orang menyebutnya dengan sape’ Kenyah, karena ditemui oleh orang Kenyah. Sape’ ini memiliki tangga nada
11-12. Talinya dari senar gitar atau dawai yang halus lainnya, tiga sampai lima untai.[2]
Selain itu Sape juga digunakan sebagai sarana pengiring tarian serta pendukung dari upacara ritual adat Suku
Dayak lainnya. Sape artinya tiga sesuai dengan jumlah dawai yakni hanya tiga buah. Terdapat dua jenis Sape
yaitu Sape Kayaan dan Sape Kenyah. Secara umum kedua jenis sape tersebut tidak mempunyai perbedaan.
Penamaan tersebut hanya berasal dari suku mana Sape tersebut berasal. Alat musik Sape merupakan alat musik
petik dimana proses pembuatannya sesuai dengan tradisi dan kebudayaan yang memiliki nilai – nilai artistik
dari Suku Dayak. Nilai – nilai tersebut dapat dilihat dari bentuk Sape yang menyerupai perahu dan diukir
dengan motif khas Suku Dayak. Awalnya dawai yang digunakan untuk memainkan sape terbuat dari rotan atau
ijuk pohon raruk (pohon aren). Seiring perkembangan zaman dawai sape telah diganti menggunakan kawat rem
sepeda atau senar gitar. Bagian dasar Sape terbuat dari rotan yang menggunakan sarang kelulut (sarang lebah
kecil) sebagai penempel grid sape
Tifa totobuang adalah musik asli yang sama sekali tidak dipengaruhi budaya luar. Musik ini merupakan musik
khas warga yang tinggal di wilayah mayoritas Kristen. Dalam beberapa pertunjukan musik ini biasanya
disandingkan dengan musik sawat, yang sebaliknya hanya dapat dimainkan oleh orang-orang yang tinggal di
wilayah mayoritas Muslim.
Masing-masing alat musik dari Tifa totobuang memiliki fungsi yang berbeda-beda dan saling mendukung satu
sama lain hingga melahirkan warna musik yang khas. Namun musik ini didominasi oleh alat musik tifa. Terdiri
dari tifa jekir, tifa dasar, tifa potong, tifa jekir potong dan tifa bas ditambah dengan gong berukuran besar dan
totobuang, yang merupakan serangkaian gong-gong kecil yang ditaruh pada sebuah meja, dengan beberapa
lubang sebagai penyanggahnya.
Sayangnya musik nan indah ini, sekarang sangat jarang kita nikmati. Bahkan dapat dikatakan langkah. Musik
ini hanya dapat dipertunjukan pada event-event tertentu. Misalnya acara penyambutan tamu khusus,
pertunjukan kesenian daerah Maluku di luar daerah atau di luar negeri serta pada acara-acara adat. Pemainnya
pun umumnya merupakan pemain yang diajarkan secara turun-temurun oleh orang tua mereka
Leko Boko biasa disebut Bijol. Leko Boko terbuat dari labu hutan sebagai resonator, kayu sebagai tangkai, dan
usus kuskus untuk dawainya. Leko boko dimainkan dengan cara digesek seperti halnya cara memainkan alat
musik Heo.

Leko Boko mempunyai 4 buah layaknya Heo dan dipakai dengan cara dipetik. Bijol dibuat dari labu hutan,
kayu dan usus kuskus untuk bahannya. Labu hutan untuk wadah resonansi, kayu untuk tempat perentang dawai
dan usu kuskus untuk dawainya
Selain dimainkan untuk hiburan pribadi, Bijol juga kerap dipakai sebagai musik pengiring pada acara-acara
adat-budaya. Bijol sering dimainkan bersama dengan Heo untuk membentuk bunyi yang harmoni. Bijol
digunakan untuk menjadi musik pengiring dan Heo digunakan sebagai melodi utama
Sasando adalah sebuah alat musik dawai yang dimainkan dengan dipetik. Instrumen musik ini berasal dari
pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote,
sasandu, yang berasal dari kata Sandu atau Sanu yang artinya bergetar atau meronta. Suara sasando memiliki
kemiripan dengan alat musik dawai lainnya seperti gitar, biola, kecapi, dan harpa. Sasando menurut Organologi
tergolong dalam Sitar tabung Bambu.

Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah,
melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di
tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap
petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun
lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando. Perkembangan Sasando
berjalan seiring perubahan waktu. Modifikasi dan peningkatan kualitas bunyi mulai dilakukan. Agar mendapat
bunyi yang lebih keras dan bisa disesuai dalam wadah pertunjukkan musik apapun maka Sasando akustik
beralih perlahan lahan ke Sasando elektrik. Bentuk Sasandopun dimodifikasi dan dibuat lebih modern dan
elegan. Pada tahun 2018 bahkan mulai diciptakan oleh seorang pemain Sasando profesional Natalino Mella
Sasando yang diberi nama Sasando Bariton. Sasando bariton mempunyai bunyi yg berbeda dengan sasando
pada umumnya. Sasando ini menggunakan jenis senar yang berbeda dalam ketebalannya dan mempunyai bunyi
yang lebih bulat dan lebih terasa bassnya. Dilengkapi dengan 32 senar berwarna dan bridge yang bisa
dipindahkan serta bisa dimainkan dengan teknik 10 jari yang membuat sasando ini akan lebih kaya untuk
dipelajari
Pa`pompang atau Pa`bas adalah alat musik bambu yang berasal dari tanah Toraja Sulawesi Selatan. Alat
musik bambu pa’ pompang ini dibunyikan dengan cara ditiup. Penduduk setempat menyebutnya dengan
Pa`pompang atau Pa`bas karena suara bas yang lebih dominan terdengar. Berbeda dengan angklung, musik
bambu Toraja merupakan jenis alat musik yang ditiup untuk mengeluarkan bunyi yang memiliki jangkauan
nada dua setengah oktaf tangga nada. Meski termasuk alat musik tradisional, tetapi alat musik bambu ini bisa
juga dikolaborasikan dengan alat musik modern lain seperti terompet, saksofon, organ, atau piano saat
mengiringi lagu

Anda mungkin juga menyukai