Anda di halaman 1dari 10

Paternalisme 

adalah tindakan yang membatasi kebebasan seseorang


atau kelompok demi kebaikan mereka sendiri.[1] Paternalisme juga dapat
berarti bahwa seseorang melakukan perilaku yang bertentangan dengan
kehendak dirinya sendiri, atau juga berarti bahwa perilakunya
mengungkapkan sikap superioritas, Paternalisme, paternalistik dan
paternalis umumnya digunakan dengan maksud peyoratif atau
merendahkan orang lain

Contoh paternalisme adalah penjajahan yang dilakukan oleh Belanda terhadap


bangsa Indonesia. Belanda sebagai kelompok pendatang menguasai dan
mengeksploitasi rakyat Indonesia sebagai kelompok pribumi.
Pada Maret 1602, para saudagar Belanda membentuk Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC/Kompeni). Tiga tahun berikutnya, Kompeni menyerang benteng
Victoria milik Portugis di Ambon. Sementara itu, Kesultanan Ternate mengalami
kesulitan untuk membendung armada Spanyol yang terus menggempur dari
Filipina. Kendala ini tetap tidak teratasi, meski Ternate telah bersekutu dengan
Kerajaan Mindanao.
Sejak mula kedatangannya, Kompeni bersikap netral agama. Para pedagang
Belanda hanya meneruskan tradisi Protestan yang menganggap penting
perniagaan selayaknya etika kehidupan.
Namun, mereka juga bersikap antipati terhadap Spanyol yang beragama Katolik.
Di samping itu, sentimen anti-Islam juga menguat sehingga kerja sama dengan
raja-raja lokal utamanya untuk memperluas pengaruh militer dan ekonomi.
Pada 26 Juni 1607, sultan Ternate meminta dukungan militer dari Kompeni untuk
melawan Spanyol. Sebagai imbalannya, Kompeni boleh melakukan monopoli atas
perdagangan rempah-rempah. Orang-orang Belanda juga diizinkan mendirikan
benteng di wilayah Ternate. Menjelang tahun 1610, Ambon telah menjadi basis
pertahanan utama bagi Belanda di Maluku.
Kesepakatan tersebut cenderung merugikan bagi Uli Siwa yang dipimpin
Kesultanan Tidore. Bahkan, banyak wilayahnya dicaplok begitu saja oleh Belanda.
Bagaimanapun, tidak semua elite Ternate satu suara. Mereka merasa sedang
diadu domba oleh bangsa Eropa.
Banyak bangsawan lokal diam-diam menjual hasil bumi kepada orang-orang Jawa
atau Bugis. Di luar istana, rakyat juga kian benci terhadap Belanda.

Pada 1619, VOC mengukuhkan Batavia (dulu Jayakarta) sebagai pusat


pemerintahan di Nusantara. Di saat yang sama, Kompeni dapat memojokkan
armada Inggris hingga di Pulau Run, Maluku. Tiga tahun berikutnya, gubernur
jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen membawa armada militer dalam jumlah besar
dari Batavia ke Banda. Dia ingin Belanda menjadi satu-satunya dominasi Eropa di
Maluku.
Pada 1674, Inggris bersedia menukar Pulau Run dengan koloni Belanda di Benua
Amerika, Nieuw Amsterdam. Sekarang, wilayah tersebut lebih dikenal sebagai
Manhattan, New York, di Amerika Serikat.
Kekuasaan Belanda kian menjadi di Maluku. Pada 1635, Kompeni melangsungkan
sistem pelayaran Hongi (hongitochten). Dengan cara itu, para birokrat Kompeni
dapat menginspeksi satu per satu pulau-pulau di Maluku.
Di beberapa titik, mereka sengaja memusnahkan ladang untuk menjaga pasokan
rempah-rempah. Alasannya bila terjadi surplus, harga jual komoditas tersebut
bisa jatuh drastis.
Mereka juga menumpang perahu kora-kora yang sering dikawal kapal perang
VOC. Tujuan sebenarnya untuk meringkus para penyelundup rempah-rempah
atau kapal-kapal musuh. Namun, senyatanya hal ini hanya membuat takut rakyat
biasa.
Sepanjang abad ke-17, orang-orang Ternate bangkit mengadakan perlawanan.
Mereka dipimpin para bangsawan yang tidak terima campur tangan Belanda di
istana. Namun, hegemoni Belanda masih terlampau kuat karena melancarkan
politik adu domba. Tokoh-tokoh yang dekat dengan Belanda dimuluskan jalannya
untuk menduduki kekuasaan, sedangkan di luar mereka dicap sebagai
pemberontak.
Empat perlawanan besar terhadap Belanda harus berakhir dengan kekalahan.
Tidak sedikit sultan yang anti-Belanda kemudian dijatuhi hukuman mati atau
diasingkan ke Pulau Jawa. Demikianlah zaman Kompeni menancapkan kuku
kekuasaannya di Maluku.
Pada 1799, keadaan berubah sekejap. Lembaga ini dinyatakan bangkrut antara
lain karena dililit utang serta skandal korupsi yang menjerat para pegawainya.
Kerajaan Belanda lalu mengambil alih seluruh wilayah taklukan VOC di Asia,
termasuk Maluku.
Sejak awal abad ke-19, Hindia Belanda terbentuk sebagai suatu negeri jajahan.
Dua perang global selanjutnya mengubah wajah kolonialisme di sini untuk
selamanya.
Republik Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 atau menjelang akhir Perang
Dunia II. Bagaimanapun, eksistensi Ternate dan Tidore masih berlanjut sebagai
entitas yang berkuasa secara simbolis-budaya.
Sekarang, tampuk tertinggi Kerajaan Ternate dipegang penerus Sultan Mudaffar
Sjah (wafat 2015). Adapun sultan Kerajaan Tidore saat ini bernama Husain Sjah
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok
manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu
kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan
kelompok itu sendiri.[1] Contoh dari akulturasi sendiri dapat ditemukan pada
tradisi nyadran dan kenduri pada masyarakat jawa yang merupakan bentuk
akulturasi budaya pra-islam dengan kebudayaan islam
Pluralisme dapat berarti kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas),
artinya, untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku,
gologan, agama,adat, hingga pandangan hidup. Pluralisme mengimplikasikan
pada tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan
berpikir, atau kebebasan mencari informasi, sehingga untuk mencapai pluralisme
diperlukan adanya kematangan dari kepribadian seseorang dan/atau sekelompok
orang.
Integrasi sosial adalah proses penyesuaian unsur-unsur yang saling berbeda
dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat
yang memiliki keserasian fungsi. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses
penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan
masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki
keserasian fungsi.
Contoh-contoh integrasi sosial adalah:
1. Pelajar-pelajar disuatu sekolah yang memiliki seragam yang sama dengan
simbol yang sama, warna yang sama mencerminkan contoh dari integrasi
sosial.
2. Sikap tanpa membedakan teman yang satu dengan teman yang lain.
3. Kesamaan derajat antara satu anak dengan anak yang lainnya disuatu
keluarga tidak dibedakan. Dimana, orang tua menanamkan sifat integrasi
sosial yang berupa tanpa membedakan anak pertama, kedua, ketiga dan
lainnya. Semuanya memiliki yang namanya kesamaan derajat.
4. Tidak ada perbedaan antara anak kaya dan anak miskin disuatu sekolah.
Setiap siswa maupun siswi disekolah mempunyai hak dan kewajiban untuk
belajar disekolah.
5. Kegiatan gotong royong tanpa yang mana kaya dan yang mana miskin.
Kegiatan gotong royong cuma mempunyai satu tujuan yaitu untuk menjaga
keamanan di wilayah dan setiap masyarakat saling membantu tanpa
membedakan mana kaya dan mana miskin.
6. Setiap wilayah yang ikut menjalankan sistem demokrasi.

Anda mungkin juga menyukai