Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI INKONTINENSIA URIN PADA


LANSIA

OLEH :
KELOMPOK 5
KELAS : A12-A

NAMA KELOMPOK :

1. Ni Luh Putu Mas Ari Puspa Dewi (18.321.2841)


2. Ni Made Maria Sari (18.321.2848)
3. Ni Nyoman Budi Rahayu (18.321.2850)
4. Ni Putu Ary Manilawati (18.321.2853)
5. Ni Wayan Eka Subpremagni (18.321.2859)
6. Putu Ayu Dyah Noviana Dewi (18.321.2861)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI

1
2021

2
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Asuhan Keperawatan Teori
Ikontinensia Urine Pada Lansia ” ini tepat pada waktunya. Adapun makalah ini
merupakan salah satu tugas dari Keperawatan Bencana.

Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami mendapat banyak


bantuan dari berbagai pihak dan sumber. Karena itu kami sangat menghargai
bantuan dari semua pihak yang telah memberi kami bantuan dukungan juga
semangat, buku-buku dan beberapa sumber lainnya sehingga tugas ini bias
terwujud. Oleh karena itu, melalui media ini kami sampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan


jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan
yang kami miliki. Maka itu kami dari pihak penyusun sangat mengharapkan saran
dan kritik yang dapat memotivasi kami agar dapat lebih baik lagi dimasa yang
akan datang.

Om Santih, Santih, Santih Om                                                

         
Denpasar, 15 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i


DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................2
1.3 Tujuan ..............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian..........................................................................................................3
2.2 Klasifikasi.........................................................................................................3
2.3 Etiologi .............................................................................................................4
2.4 Tanda dan Gejala ..............................................................................................4
2.5 Patofisiologi......................................................................................................5
2.6 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................6
2.7 Penatalaksanaan ...............................................................................................7
2.8 Asuhan Keperawatan .......................................................................................9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................17
3.2 Saran ...............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada
yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot
dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita
desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang
dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia
urine yang baik. Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan
dan diobati. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa
mengalami gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia.
Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnya umur dan paritas.
Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedangkan pada usia 35-
65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia
lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan
anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.

Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 – 30% usia


lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka
kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian
bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami
inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan
bagian normal proses menua.

Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres,


artinya keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan
lain dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan
keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga

1
sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis
inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih.
Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai
penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering
didapati inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan ikontinensia urine ?


2. Bagaimana klasifikasi ikontinensia urine
3. Apa saja etiologi dari ikontinensia urine?
4. Apa saja tanda dan gejala dari ikontinensia urine?
5. Bagaimana patofisiologi ikontinensia urine?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari ikontinensia urine?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari ikontinensia urine ?
8. Bagaimana ASKEP ikontinensia urine?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Asuhan Keperawatan pasien
dengan inkontinensia urin.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ikontinensia urine ?
2. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi ikontinensia urine
3. Untuk mengetahui apa saja etiologi dari ikontinensia urine?
4. Untuk mengetahui apa saja tanda dan gejala dari ikontinensia urine?
5. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi ikontinensia urine?
6. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang dari ikontinensia
urine?
7. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari ikontinensia urine ?
8. Untuk mengetahui bagaimana ASKEP ikontinensia urine?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali
pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya (FKUI,
2006).

Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah


kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif
dan menimbulkan gangguan hygiene dan social.

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)

a. Inkontinensia Dorongan

Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang


mengalami pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat untuk berkemih.

b. Inkontinensia Total

Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami


pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.

c. Inkontinensia Stres

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin


kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.

3
d. Inkontinensia refleks

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin yang


tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume
kandung kemih mencapai jumlah tertentu.

e. Inkontinensia fungsional

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin


tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.

2.3 Etiologi
Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono,
2001) :

a. Poliuria, nokturia

b. Gagal jantung

c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.

d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini
disebabkan oleh :

1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan


uretra dan efek akibat melahirkan dapat mgengakibatkan
penurunan otot-otot dasar panggul.

2) Perokok, Minum alkohol.

3) Obesitas

4) Infeksi saluran kemih (ISK)

2.4 Tanda dan Gejala


a. Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)

1) Inkontinensia Dorongan

4
a) Sering miksi

b) Spasme kandung kemih

2) Inkontinensia total

a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.

b) Tidak ada distensi kandung kemih.

c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.

3) Inkontinensia stres

a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.

b) Adanya dorongan berkemih.

c) Sering miksi.

d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.

4) Inkontinensia refleks

a) Tidak dorongan untuk berkemih.

b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.

c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada


interval.

5) Inkontinensia fungsional

a) Adanya dorongan berkemih.

b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

2.5 Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:

1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika


Urinaria (Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal
sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara
150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak keinginan

5
berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada
otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter ekternal
relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir
semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua
urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap
adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi
urine. Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya
kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi
penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan
efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar
(Stanley M & Beare G Patricia, 2006).

2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi


kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran
kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas
berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung
kemih bocor bila batuk atau bersin.

2.6 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut
(Soeparman&Waspadji S, 2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa
menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan
pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan
ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan
penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika
kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk
batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya
urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat
pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih
tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.

6
a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Tes
laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen,
creatinin, kalsium glukosasitol.
b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan
ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami
inkontinensia urine dan tidak inkontinensia urine, dan gejala berkaitan
denga inkontinensia urine. Pencatatan pola berkemih tersebut
dilakukan selam 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk
memantau respons terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi
terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor pemicu.

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut


misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar
secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat
pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.

b. Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya


inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang
interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan
untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih
pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya

7
diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari
lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan
petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada
lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot
dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang.

Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut


adalah dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka,
kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke
belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita
buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar
panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.

c. Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah


antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis,
yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada
sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan
terapi diberikan secara singkat.

d. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan


urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).

8
e. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang


menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter.

f. Pemantauan Asupan Cairan

Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari


dengan rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari
dengan asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen
dapat membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk mencegah
kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan cairan
sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari,
tetapi cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga
total asupan cairan setiap harinya tetap sama.

2.8 ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA URINE

1. Pengkajian
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan
keperawatan klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :

1) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status


perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa
medis.

2) Keluhan Utama

Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah


nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.

9
3) Riwayat Penyakit Sekarang

Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan,


usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran


Kemih) yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.

5) Riwayat Penyakit keluarga

Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga
yang menderita DM, Hipertensi.

6) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :

a) B1 (breathing)

Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis


karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.

b) B2 (blood)

Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan


gelisah

c) B3 (brain)

Kesadaran biasanya sadar penuh

d) B4 (bladder)

Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau


menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada
lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada
meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih

10
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah
supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu
kencing / dapat juga di luar waktu kencing.

e) B5 (bowel)

Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri


tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.

f) B6 (bone)

Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan


ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.

9. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi
untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat
kontraksi kandung kemih

2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu


yang lama.

3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi


konstan oleh urine.

4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake


yang tidak adekuat

10. Intervensi
1) Diagnosa 1

Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi


untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi
kandung kemih.

11
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa
melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia Kriteria Hasil :

Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional


penatalaksanaan.

Intervensi :

1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.

R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi


kandung kemih

2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari

R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis

3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan

R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung


volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.

4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien
berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.

R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.

5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan


2000 ml, kecuali harus dibatasi.

R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.

6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan


kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.

12
2) Diagnosa 2

Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam


waktu yang lama.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat


berkemih dengan nyaman.

Kriteria Hasil :

• Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan


tidak adanya bakteri.

Intervensi :

1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika


pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.

R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.

2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x


sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu
akan tidur) dan setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki
kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.

3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah


kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan
cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan
perianal, pengosongan kantung drainase urine, penampungan
spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan
kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.

R: Untuk mencegah kontaminasi silang.

4. Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan


anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.

R: Untuk mencegah stasis urine.

13
5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.

• Tingkatkan masukan sari buah berri.

• Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.

R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah


sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara
keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat
berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.

3) Diagnosa 3

Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan


oleh urine Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
keruskan integritas kulit teratasi.

Kriteria Hasil :

• Jumlah bakteri <100.000/ml.

• Kulit periostomal tetap utuh.

• Suhu 37° C.

• Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intervensi :

1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam.

R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil


yang diharapkan.
2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru.
Potong lubang wafer kirakira setengah inci lebih besar dar diameter
stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar
menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.

14
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit
dan peningkatan resiko infeksi.

4) Diagnosa 4

Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang


tidak adekuat

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan


seimbang

Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg

Intervensi

1. Awasi TTV

R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular,


khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.

2. Catat pemasukan dan pengeluaran

R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan


penurunan resiko kelebihan cairan

3. Awasi berat jenis urine

R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine

4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam

R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan


yang terbatas dan menurunkan rasa haus

5. Timbang BB setiap hari

R: Untuk mengawasi status cairan

15
11. Evaluasi
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari
adanya kemampuan dalam :

a) Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai


dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan
obat, kompresi pada kandung kemih atau kateter

b) Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal


kering tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.

c) Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria,


tidak ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi
senang.

d) Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya


frekuensi inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine merupakan masalah kesehatan cukup sering dijumpai
pada lansia. Pada wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki, terutama pada
wanita yang sudah tua, banyak anak, pernah mengalami operasi di daerah
panggul. yang menderita penyakit kencing manis atau penyakit saraf.
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.
Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan dari pada
yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan
otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah
menderita desensus dinding depan Vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi
kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina
dengan kontinensia urine yang baik.

3.2 Saran
Dengan adanya penjabaran tentang askep ikontinensia diharapkan agar kita
dapat lebih mengatahui seluk beluk beluk keadaan kegawatdaruratan  ini sehingga
kita sebagai perawat dapat menangani pasien kontusio pulmonal dengan baik

17
DAFTAR PUSTAKA

Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1.


Jakarta:
EGC.
Hidayah, a. Aziz Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan (Edisi 2).
Jakarta: Salemba Medika.

Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Stanley, Mickey dan Patricia G. Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik
Edisi 2. Jakarta: EGC

Syaifuddin. 2003. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:


EGC.

18

Anda mungkin juga menyukai