Anda di halaman 1dari 12

A.

Problem Solving dan Investigasi dalam Pendidikan


Mengingat bahwa sebagian besar dari matematika adalah bermula dari
Problem Solving manusia dan pemecahannya, maka matematika adalah suatu
kegiatan yang dapat diakses oleh semua orang, sehingga konsekuensinya
harus diterapkan dalam pendidikan. Konsekuensinya juga tergambar pada
nilai-nilai dan prinsip-prinsip, meliputi:
1. Semua matematika Sekolah harus terpusat pada keterkaitan dengan
problem posing dan solving manusia
2. Inquiry dan investigasi harus dimuat dalam kurikulum matematika sekolah
3. Fakta bahwa matematika adalah konstruksi manusia yang bisa berubah
dan keliru harus diakui secara tegas dan diwujudkan dalam kurikulum
matematika sekolah.
4. Pengajaran yang digunakan harus terfokus pada proses dan inquiry.

Salah satu hasil dari prinsip-prinsip ini adalah menjadikan matematika dari
semua untuk semua (Volmink, 1990). Berikut ini pembahasan mengenai
problem solving dan investigasi.

1. Beberapa Perbedaan Problem Solving dan Investigasi


Pembelajaran matematika dengan pemecahan Problem Solving dan
investigasi telah dikenal luas dalam dunia pendidikan matematika Inggris
sejak Cockcroft (1982). Di belahan dunia lain, pemecahan Problem
Solving dapat ditelusuri lebih jauh ke masa lalu, setidaknya untuk
Brownell (1942) dan Polya (1945), dan mungkin tokoh-tokoh sebelumnya.
Pada tahun 1980, dalam tinjauan selektif penelitian dalam pemecahan
Problem Solving matematika, Lester (1980) mengutip 106 referensi
penelitian, mewakili hanya sebagian kecil dari apa yang telah diterbitkan
pada saat itu. Dalam pendidikan matematika Inggris, pemecahan Problem
Solving dan investigasi mungkin pertama kali muncul di tempat kejadian
pada tahun 1960-an, dalam Asosiasi Guru Matematika (1966) dan Asosiasi
Guru di Sekolah Tinggi dan Departemen Pendidikan (1967).

1
Salah satu kesulitan dalam membahas pembelajaran Problem
Solving dan pembelajaran investigasi adalah bahwa konsep-konsep ini
tidak jelas dan dipahami secara berbeda oleh penulis yang berbeda.
Namun, ada kesepakatan bahwa dua hal tersebut berhubungan dengan
matematika inkuiri (penemuan). Karenanya, pembahasan selanjutnya
melangkah pada matematika berbasis inkuiri, mulai dari objek atau fokus
penyelidikan, proses penyelidikan, dan pedagogi berbasis inkuiri.
a) Objek Penyelidikan/Investigasi
Objek atau fokus penyelidikan adalah Problem Solving itu
sendiri atau titik awal dari penyelidikan. Salah satu definisi Problem
Solving adalah situasi di mana seorang individu atau kelompok
dipanggil untuk melakukan tugas yang tidak dapat diakses dengan
mudah algoritma yang menentukan sepenuhnya metode solusi.
Itu harus ditambahkan bahwa definisi ini mengasumsikan
keinginan dari individu atau kelompok untuk melakukan tugas (Lester,
1980). Definisi ini menunjukkan Problem Solving sebagai suatu “tugas
tidak biasa” yang membutuhkan kreativitas untuk diselesaikan.
Penyelesaian Problem Solving ini akan memunculkan relativitas dari
masing-masing orang. Maksudnya adalah tiap-tiap orang akan
memunculkan ide-ide berbeda dalam usahanya memecahkan Problem
Solving tersebut. Ini akan berefek pula pada penyusunan kurikulum
matematika, dimana penyusunan kurikulum pasti akan membawa
siswa menuju satu definisi, algoritma, atau bahasa sederhananya rumus
tertentu.
Penyusunan kurikulum juga akan terkait dengan posisi siswa
dalam belajar. Penyusunan kurikulum matematika akan terkait dengan
posisi siswa sebagai individu dan kelompok. Siswa bukanlah suatu
wadah kosong yang bias langsung diisi dengan aturan kurikulum
tertentu. Siswa memiliki keunikan masing-masing sebagai individu,
dan juga keunikan yang diakibatkan dari adat dan kebiasaan
masyarakat di sekitarnya. Secara lebih spesifik, bahwasanya tujuan
pendidikan matematika bagi seorang guru dan siswa-siswanya adalah

2
kompleks, sehingga sangat naïf jika dilakukan simplifikasi
(penyederhanaan) dalam menyusun kurikulum. (Leont'ev, 1978;
Cristiansen and Walther, 1986). 
Selain itu, konsep investigasi dipermasalahkan karena dua
alasan. Pertama, meskipun 'investigasi' adalah kata benda, namun
sebenarnya kata investigasi memiliki makna yang berujung pada
penemuan (inkuiri). Sebuah kamus mendefinisikan investigasi sebagai
proses investigasi, pencarian, penemuan, pengujian sistematik,
penelitian yang hati-hati (Bawang, 1944).
Namun, dalam pendidikan matematika terjadi pergeseran makna,
yang mengidentifikasi investigasi adalah sebuah penyelidikan
matematika dengan pijakan awalnya adalah pertanyaan matematika
atau situasi tertentu (Jakobsen, 1956). Pengertian ini menjadikan guru
sebagai pusat pembelajaran yang bertugas sebagai merekayasa
investigasi, yang tentunya bertolak belakang dengan pandangan siswa
yaitu sebagai pusat pembelajaran.
Permasalahan kedua adalah ketika investigasi (penyelidikan)
dimaknai sebagai kegiatan yang dimulai dengan munculnya pertanyaan
tertentu, lalu bergeser pada pengajuan perProblem Solvingan baru,
pemunculan situasi baru, dan eksplorasi situasi tersebut. Di sinilah
obyek penyelidikan bergeser, berubah, dan didefinisikan ulang oleh
peserta didik (inquirer). Sifat eksplorasi yang nampak liberal ini akan
menyulitkan pendefinisian investigasi sebagai aktivitas yang terkait
dengan situasi pada titik awal investigasi itu sendiri.
b) Proses Penyelidikan/Investigasi
Jika Problem Solving diidentifikasi sebagai pertanyaan, proses
pemecahan Problem Solving matematika adalah kegiatan mencari jalan
untuk jawabannya. Namun proses ini tidak dapat mensyaratkan
jawaban yang didapat akan tunggal dan unik, untuk napaspertanyaan
mungkin akan memiliki beberapa solusi, atau tidak sama sekali.
Semakin kompleks solusi yang didapat, berarti tingkat permasalahan
yang diajukan semakin tinggi. Dalam bahasa lain, pengertian Problem

3
Solving adalah menemukan jalan menuju solusi, atau menemukan rute
menuju tujuan yang diinginkan (metafora geografis) .
Terkait dengan metafora geografis ini, Polya menjelaskan bahwa
memecahkan Problem Solving adalah untuk menemukan cara di mana
tidak ada cara yang dikenal, untuk mencari jalan keluar dari kesulitan,
untuk menemukan jalan keluar dari halangan, untuk mencapai tujuan
yang diinginkan yang tidak segera dicapai, dengan cara yang tepat
(Krulik dan Reys, 1980).
Selain itu, sejak era Nilsson (1971) telah muncul dasar bagi
beberapa penelitian tentang pemecahan Problem Solving dalam
matematika, yang memanfaatkan gagasan tentang ruang solusi
(solution space) atau ruang dari keadaan (state-space) sebagai
representasi dari Problem Solving. Metafora geografis di atas
diwujudkan dalam bentuk ilustrasi yang berbentuk diagram himpunan
semua ruang yang dapat diperoleh dari keadaan awal. Keadaan awal
suatu Problem Solving sendiri adalah himpunan semua ekspresi yang
telah diperoleh dari pernyataan awal Problem Solving sampai saat
tertentu (Lester, 1980, halaman 293).
Kekuatan dari gagasan metafora geografis ini adalah semua
proses dapat semua langkah dalam proses dapat disajikan dalam
sebuah diagram, dan jalan alternatif yang disebut sebagai proses tadi
akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan langkah-langkah
yang disajikan. Kelemahannya adalah semua kemungkinan yang
muncul dari kondisi awal, bahkan kondisi-kondisi yang belum muncul,
belum terpikir, atau bahkan yang tidak mungkin muncul tetap
depandang sebagai sesuatu yang belum muncul dan membutuhkan
penemuan agar bisa muncul. Perlu dipahami bahwa gagasan
investigasi dalam pengertian metafora geografis dengan cara pandang
terhadap matematika ini cenderung cocok untuk penganut absolutis
daripada platonis.
Metafora geografis juga diterapkan pada proses penyelidikan
matematika. Penekanannya adalah pada mengeksplorasi bagian

4
matematika ke segala arah. proses perjalanannya bukan tujuannya
(Pirie, 1987). Di sini penekanannya adalah pada eksplorasi wilayah
yang tidak diketahui, daripada perjalanan menuju ke tujuan tertentu.
Jadi yang dimaksud adalah ketika proses pemecahan Problem Solving
matematika digambarkan sebagai konvergen, investigasi matematika
adalah hal yang berbeda (HMI, 1985).
Selain itu, Bell dkk (1983) mengusulkan suatu model dari proses
investigasi, dengan empat langkah yaitu merumuskan Problem
Solving, pemecahan Problem Solving, verifikasi, dan integrasi.
Menurut Bell dkk (1983), penyelidikan matematika adalah bentuk
khusus, dengan komponen karakteristiknya sendiri yaitu abstraksi,
representasi, pemodelan, generalisasi, pembuktian, dan simbolisasi.
Pendekatan ini memiliki ciri berupa penentuan sejumlah proses mental
yang terlibat dalam investigasi matematika dan pemecahan Problem
Solving.
Sementara penulis lain, seperti Polya (1945) berpendapat bahwa
investigasi mencakup banyak komponen dari model sebagai proses
pemecahan Problem Solving. Perbedaan utama antara Polya dan Bell
adalah masuknya perumusan atau pengajuan (problem posing), yang
mendahului Problem Solving. Namun, meskipun model yang
diusulkan oleh Polya dan Bell memiliki dasar empiris, tidak ada alasan
dan justifikasi rasional yang dapat dijadikan acuan untuk memilih
salah satu model.
c) Pedagogi Berbasis Inkuiri
Ernest membuat sebuah tabel untuk membedakan pendekatan
penemuan terbimbing, pemecahan Problem Solving, dan pendekatan
investigasi, dipandang dari hal-hal yang dilakukan guru dan murid
ketika menggunakan salah satu metode.

5
Dibawah ini terdapat Tabel 2.1 yang disajikan sebagai berikut :

Hal Yang Dilakukan Hal Yang Dilakukan


Metode
Guru Siswa

1) Mengajukan Problem Mengikuti petunjuk yang


Solving, atau memilih diberikan guru
situasi dengan tujuan
Penemuan
yang sudah
Terbimbing
dibayangkan
2) Membimbing siswa
menuju solusi atau
tujuan tadi
1) Mengajukan Problem Mencari jalan sendiri
Pemecahan Solving untuk memecahkan
Problem 2) Meninggalkan metode Problem Solving
Solving pencarian solusi
terbuka untuk dicari
sendiri oleh siswa
Memilih situasi awal 1) Mendefinisikan
untuk mengarahkan siswa Problem Solving
Pendekatan dengan situasi yang
Investigasi ada
2) Melakukan
pemecahan dengan
cara mereka sendiri
Tabel 2.1 Perbedaan Pendekatan Penemuan Terbimbing, Pemecahan
Problem Solving, Dan Pendekatan Investigasi

Tabel di atas menggambarkan perubahan pembelajaran dari


penemuan terbimbing, pemecahan Problem Solving, dan pendekatan
investigasi tidak hanya terkait dengan proses matematika. Perubahan
juga terjadi dalam ranah kontrol guru dalam hal jawaban, metode yang
dipakai peserta didik, sampai pada konten materi pelajaran. Peserta
didik lebih bisa menentukan solusi mana menerapkan metode dan
solusi yang akan mereka pakai, bahkan bisa memilih konten pelajaran
yang ingin mereka pelajari. Perubahan ke pendekatan yang lebih
berorientasi penyelidikan melibatkan peningkatan otonomi pelajar dan
aturan pembelajaran yang bebas ditentukan sendiri.
Problem Solving dan investigasi matematika sebagai pendekatan
pengajaran memerlukan pertimbangan konteks sosial kelas, dan
membutuhkan satu hubungan yang kuat antara guru dan siswa.

6
Problem Solving memungkinkan pelajar untuk berkreasi dalam
pembelajaran dan dalam situasi yang baru, dengan guru masih
mempertahankan kendali atas konten dan instruksi. Jika pendekatan
investigasi diterapkan sampai tahap memungkinkan siswa untuk
mengajukan masalah dan pertanyaan untuk selanjutnya diselidiki
dengan cara yang relatif bebas, akan terjadi pembelajaran berbasis
kesumberdayaan (empowering) dan pelibatan siswa (emansipatoris).
Namun, hal lain yang perlu diperhatikan adalah adalah komunikasi
dalam pengalaman kelas dengan berbasis pada pandangan bahwa
matematika itu progresif dan fallible. Ini akan berakibat pada keunikan
dan relatifitas dari masing-masing jawaban dan metode yang diajukan
siswa, bukan berpusat pada manusia yang aktif sebagai pembuat
pengetahuan.

2. Perbedaan Persepsi dari Problem Solving dan Investigasi


Beberapa perbedaan yang sudah disebutkan dalam sub bab
sebelumnya menyebabkan perbedaan-perbedaan yang muncul dalam
memahami suatu Problem Solving dan investigasi dan penggunaannya
dalam pembelajaran matematika. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain
:
a) Penolakan terhadap Pendekatan Pemecahan Problem Solving dan
Investigasi
Respon paling negatif untuk Problem Solving dan investigasi
muncul dari akibat pandangan bahwa pendekatan ini tidak cocok
digunakan untuk matematika sekolah. Hal ini didasarkan pada persepsi
bahwa matematika sekolah adalah konten yang berorientasi, dan
bahwa fungsi utamanya adalah untuk menanamkan keterampilan
matematika dasar. Pendekatan ini dipandang sebagai sesuatu yang
sembarangan, membuang waktu, dan sebuah kerja keras yang tidak ada
gunanya.
Ini adalah respon dari kelompok yang memandang pendidikan
sebagai lahan penyuplai kebutuhan industri. Kelompok ini secara

7
sempit melihat isi matematika dengan epistemologi dualistiknya. Bagi
mereka, pembelajaran adalah model transmisi otoriter, dan setiap
usaha meningkatkan otonomi siswa dalam pembelajaran sangat
ditentang.
b) Penggabungan Pendekatan Pemecahan Problem Solving dan
Investigasi Sebagai Konten
Kelompok kedua menganggap pendekatan ini perlu untuk
dimasukkan sebagai konten atau isi dari kurikulum matematika.
Kelompok ini memandang bahwa pendekatan ini dapat memperkaya
konten atau isi matematika. Namun aliran absolut yang mereka ikuti
membuat mereka mengabaikan penyelidikan sebagai salah satu unsur
penting dalam pendekatan ini.
Burghes (1984), yang mewakili perspektif ini, merumuskan
investigasi dalam (1) penyelidikan eureka (teka-teki), (2) investigasi
eskalator (proses atau Problem Solving kombinatorial), (3) keputusan
terhadap Problem Solving dan (4) Problem Solving nyata. Secara
keseluruhan pendekatan pemecahan Problem Solving dan investigasi
diidentifikasi sebagai objek penyelidikan, dan diperlakukan sebagai
tambahan untuk konten atau isi kurikulum, ini terjadi jika pemodelan
matematika tidak dipahami sebagai suatu proses.
c) Pemecahan Problem Solving dan Investigasi Sebagai Pedagogi
Kelompok ketiga melihat pemecahan Problem Solving dan
investigasi sebagai pendekatan pedagogis dengan keseluruhan
kurikulum (bukan hanya sebuah tambahan). Pandangan ini menyadari
peran manusia dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dan karenanya
mendukung proses pemecahan Problem Solving dan investigasi masuk
dalam konten atau isi kurikulum matematika. Penggabungan penuh
proses ini ke dalam kurikulum, termasuk problem posing, mengarah ke
pedagogi pemecahan Problem Solving dan pedagogi investigatif.
Perspektif kelompok ini terfokus pada bagaimana memberikan
fasilitas bagi pengembangan kreativitas individual peserta didik, dan
pemecahan Problem Solving dan investigasi dianggap mampu

8
meewujudkannya. Jadi pemecahan Problem Solving dan investigasi
dipahami dari segi proses yang dialami siswa dan juga segi pendekatan
pedagogis yang diadopsi di dalam kelas. Lingkungan belajar, situasi
belajar, dan hal-hal lain terkait pembelajaran disusun dengan hati-hati
terstruktur dan didesain agar memungkinkan terjadi eksplorasi
matematika di dalamnya, serta memungkinkan siswa untuk
merumuskan dan mengejar penyelidikan mereka sendiri. Peran guru
dipahami sebagai manajer lingkungan dan sumber belajar, serta
sebagai fasilitator pembelajaran. Materi dibatasi situasi matematika
murni, dengan topik tematik yang aman dari isu-isu politik.
Penekanannya pada individu dan minat peserta didik, bukan pada
konteks sosial struktural tempat mereka akan hidup, akan belajar, dan
akan mencari nafkah.
Inilah yang membedakan kelompok ketiga dengan kelompok
industrialis. Kelompok ini tidak memandang pembelajaran matematika
sebagai sebuah pembekalan dari keahlian-keahlian yang mereka
butuhkan ketika nanti mereka bekerja, namun lebih memandang
pembelajaran matematika sebagai pembelajaran yang memperhatikan
minat siswa.
Dalam kelompok ini, ada pula yang menambahkan dimensi
sosial-politik dalam pertimbangan penyusunan kurikulum
pembelajaran. Pedagogi yang diadopsi oleh pendekatan ini akan
melibatkan sejumlah fitur menuju ke arah investigasi, seperti tugas
kooperatif berkelompok, diskusi, dan kemandirian siswa. Semua ini
dapat dipergunakan bersama dengan perspektif pendidik progresif.
Selain itu, yang diperhatikan dalam pendekatan semacam ini
adalah penggunaan Problem Solving-Problem Solvingn sosial yang
relevan, dengan menggunakan berbagai bahan otentik seperti koran,
statistik resmi, dan Problem Solving sosial lain. Untuk pendidik
masyarakat atau penyuluh, pedagogi ini bisa menjadi sarana untuk
mengembangkan keterampilan kewarganegaraan dan keterlibatan
sosial masyarakat.

9
3. Hubungan Antara Epistemologi dan Pedagogi
Sejumlah laporan resmi dan otoritatif yang dipublikasikan
merekomendasikan penggabungan Problem Solving dalam pengajaran
matematika sekolah. Contoh di Inggris adalah laporan Cockcroft (1982)
dan Inspektorat Kerajaan (1985), kemudian di Amerika Serikat adalah
laporan dari NCTM (1980, 1989).
Namun, salah satu hambatan bagi reformasi kurikulum tersebut
adalah penafsiran yang berbeda terhadap berbagai publikasi ilmiah
tersebut. Konsep pemecahan Problem Solving dan investigasi tentu akan
berasimilasi dengan perspektif penafsir, dan dipahami dengan caranya
masing-masing.
Selain itu, performa guru dalam menggunakan pendekatan
tergantung pada bagaimana guru memandang matematika. Bukti empiris
menunjukkan bahwa guru dapat memberi penafsiran secara sempit pada
pendekatan pemecahan Problem Solving dan investigasi.
Salah satu contohnya yaitu Lerman (1989) menjelaskan bagaimana
pendekatan investigasional dalam matematika sekolah ditumbangkan oleh
pandangan bahwa hanya ada hasil tunggal yang benar dan unik
(diakibatkan oleh filosofi matematika absolute yang masih dianut).
Kendala kedua adalah implementasi. Kendala ini melibatkan
hubungan antara teori-teori pengajaran dan pembelajaran, yang mendasari
praktek pembelajaran di kelas. Pada skala besar, ini adalah perbedaan
antara rencana dan kurikulum yang diajarkan. Pada skala kecil, kendala ini
berupa perbedaan antar teori-teori yang dianut oleh masing-masing guru
dalam melaksanakan pembelajaran. Beberapa studi telah mengungkapkan
guru yang menganut pemecahan Problem Solving sebagai pendekatan
pengajaran matematika pada prakteknya hanyalah semacam espositori
dengan ditambah penambahan Problem Solving (Cooney, 1983; 1985,
Thompson, 1984; Brown, 1986). Penyebabnya adalah karena konteks
sosial guru yang bersangkutan ikut andil dalam proses pembelajaran yang

10
berlangsung. Salah satu contohnya adalah sulit bagi guru untuk merubah
pembelajaran paten yang sudah ada dalam suatu sekolah tertentu.
Ernest menyebutkan bahwa dalam sekolah yang sama, guru-guru
yang diteliti cenderung menggunakan praktek kelas yang sama, dan tidak
mempertimbangkan bagaimana pandangan sang guru terhadap
matematika. Maksudnya adalah keyakinan guru terhadap ideologi
matematika tertentu masih kalah pengaruhnya dengan kondisi sosial
tempat guru mengajar.
Dibawah ini terdapat Gambar 2.2 menunjukkan hubungan yang
terlibat dalam keputusan praktik kelas yang diambil:

Gambar 2.2 Hubungan Yang Terlibat Dalam Keputusan Praktik Kelas Yang
Diambil

Gambar 2.2 tersebut menunjukkan bahwa salah satu komponen


ideologi guru adalah pandangan filosofisnya terhadap matematika
mendasari dua komponen sekunder yaitu teori mengajar dan belajar
matematika. Dua komponen sekunder tersebut akan menjadi dasar
diambilnya suatu model belajar, sumber daya pembelajaran yang dipilih,
dan teks matematika. Penting diketahui bahwa teks yang dipakai guru
ketika melakukan pembelajaran menunjukkan alur pandangan

11
epistemologinya, bagaimana melihat teks sebagai penentu penting sifat
dari kurikulum yang diimplementasikan.
Selain itu, panah ke bawah pada gambar menunjukkan arah
pengaruh utama. Isi dari komponen kepercayaan yang lebih tinggi
tercermin dalam sifat komponen yang lebih rendah karena model berlaku
saling terkait, seperti teori yang dianut belajar dan mengajar, maka garis
horisontal ditarik antara mereka. Sebenarnya faktor yang dapat
dimunculkan untuk menjelaskan berbagai Problem Solving yang
disebutkan di atas adalah konteks sosial dari pembelajaran itu sendiri.
Konteks sosial memiliki pengaruh yang sangat besar. Konteks sosial
yang dibicarakan di sini mencakup hal yang sangat luas, seperti
karakteristik siswa itu sendiri, harapan apa saja yang didapat dalam
pembelajaran, kurikulum yang dilembagakan, sistem penilaian dan sistem
persekolahan nasional. Konteks sosial yang mengarahkan guru dalam
menyusun pembelajaran di kelas. Sehingga, model yang diilustrasikan
dalam Gambar 2.2 masih sangat sederhana, karena sejatinya hubungan
antar komponen pembelajaran jauh lebih kompleks dan jauh lebih
mekanistik daripada yang ada dalam gambar.

12

Anda mungkin juga menyukai