Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TEKNIK-TEKNIK BEHAVIORALDIDASARKAN PENDEKATAN

BELAJAR SOSIAL dan POSITIVE REINFORCEMENT

Disusun guna memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah Konsep-Konsep Intervensi Psikologi

Dosen Pengampu : Nadiya A., S.Psi, M.Psi dan Bernardus Liat W., S.Psi, M.Psi

Disusun Oleh :

Fatma Dwi A /1901010001

Istikhomah / 1901010036

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS WISNUWARDHANA MALANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari kondisi kejiawaan (kesadaran) manusia


dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya, baik aktivitas motorik, fisik maupun
emosionalnya. Seperti yang telah dijelaskan mengenai pengertian psikologi
merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa itu sendiri tidak nampak, maka
yang dapat dilihat dan diobservasi ialah perilaku atau akivitas-aktivitas yang
merupakan manifestasi atau penjelmaan kehidupan jiwa. Penggunaan prinsip-
prinsip psikologi untuk menolong orang mengalami masalah-masalah dan memiliki
keinginan mengembangkan kehidupannya berdasarkan etika profesional. Adanya
komunikasi antara klien dengan psikolog tentang kebutuhan pribadi atau distress
emosional tertentu, dan sebagian merasakan perubahan cara pandang terhadap
dirinya dan disekitarnya juga tindakannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana memahami dan menyusun prinsip dasar teknik-teknik dasarbelajar
sosial modeling ?
2. Bagaimana memahami dan menyusun prinsip dasar teknik-teknik dasarbelajar
sosial Behavior Rehearsal ?
3. Bagaimana memahami dan menyusun prinsip dasar teknik-teknik dasar belajar
sosial Role Play?
4. Bagaimana prinsip pendekatan behavioral yang menggunakan positive
reinforcement Premack Principle?
5. Bagaimana prinsip pendekatan behavioral yang menggunakan positive
reinforcement Behavior Chart?
6. Bagaimana prinsip pendekatan behavioral yang menggunakan positive
reinforcement Behavioral Contract?

C. Tujuan
1. Dapat memahami dan menyusun prinsip dasar teknik-teknik dasar belajar sosial
modeling
2. Dapat memahami dan menyusun prinsip dasar teknik-teknik dasar belajar sosial
Behavior Rehearsal
3. Dapat memahami dan menyusun prinsip dasar teknik-teknik dasar belajar sosial
Role Play
4. Dapat memahami prinsip pendekatan behavioral yang menggunakan positive
reinforcement Premack Principle
5. Dapat memahami prinsip pendekatan behavioral yang menggunakan positive
reinforcement Behavior Chart dan Behavioral Contract
BAB II

PEMBAHASAN

A. Memahami dan Menyusun Prinsip Dasar Teknik-teknik Belajar Sosial

Teori belajar sosial dari Albert Bandura (2006) mengatakan bahwa banyak
pembelajaran manusia terjadi tanpa contingencies yang diasosiasikan dengan
reinforcement (penguatan) dan hukuman.Teori pembelajaran sosial merupakan
perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Bandura
melepaskan diri dari terapi perilaku tradisional yang didasarkan pada operant
conditioning karena ia melihatnya simplistik dan tidak memiliki komponen kognitif.
Bandura melihat bahwa manusia sering melakukan banyak pengawatan,
praperencanaan, dan berpikir sebelum terlibat dalam perilaku, dan behaviorisme
mengabaikan semua komponen esensial ini. Bandura melihat bahwa interaksi timbal-
balik antara orang, perilaku, dan lingkungan merupakan inti dari kebanyakan perilaku.

Implusi Multikultural Teknik – Teknik Yang Didasarkan Pada Pendekatan Belajar


Sosial.

Teknik-teknik yang didasarkan pada belajar sosial memiliki aplikasi luas di berbagai
budaya karena memungkinkan klien dan konselor untuk mempertimbangkan berbagai
pertukaran esensial dalam dimensi budaya dan sosial klien. Pendekatan belajar sosial
memungkinkan klien untuk mengonseptualisasikan kesulitan-kesulitan sosial dalam
konteks kultural, menetapkan tujuan-tujuan tertentu, merencanakan kondisi terapi
untuk memaksimalkan keberhasilan, dan menggunakan interaksi sosial antara klien
dan konselor dan individu-individu lain untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Klien
dari beberapa budaya (misalnya, pria Latin, Arab Amerika, Asia-Amerika) lebih
menyukai strategi instruksi berorientasi-tindakan yang berasal dari sasaran dan tujuan
kongkret, dan menghindari ekspresi emosional dan katarsis (Hays & Erford, 2014).

1. Modeling
Asal Muasal Teknik Modeling

Modeling adalah proses bagaimana individu belajar dari mengamati orang lain. la
adalah salah satu komponen teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Albert
Bandura (Bandura, 2006) dan telah menjadi salah satu intervensi pelatihan berbasis-
psikologi yang paling luas digunakan, paling banyak diteliti, dan sangat dihormati
(Taylor, Russ-Eft, & Chan, 2005). Modeling juga disebut sebagai imitasi, identifikasi,
belajar observasional, dan vicarious learning. Penelitian awal tentang modeling
dilaksanakan oleh Miller dan Dollard (1941), yang menemukan bahwa, melalui
reinforcement (penguatan, partisipan dapat belajar untuk meniru sebuah model, belajar
untuk tidak meniru model yang lain, belajar untuk membedakan antara kedua model,
dan menggeneralisasikan diskriminasi meniru atau tidak meniru perilaku pada orang-
orang lain yang serupa. sendiri sebagai contoh melibatkan merekam klien yang sedang
melakukan perilaku target. Klien kemudian dapat menngamati rekamanya secara
langsung atau menggunakan self-imagery positif untuk mengingat dirinya melakukan
keterampilan itu dengan sukses, Covert modeling mengharuskan klien untuk
membayangkan perilaku target yang dilakukan dengan sukses, baik oleh dirinya atau
orang lain.

Modeling dapat menghasilkan tiga macam respons berbeda (Bandura, 2006). Klien
mungkin mendapatkan pola perilaku baru dengan mengamati orang Iain, yang
diistilahkan observation learning effect (efek belajar observasi). Modeling dapat
memperkuat atau melemahkan hambatan atas perilaku Yang sudah dipeelajari klien,
yang disebut inhibitory effects (jika hambatan diperkuat) atau disinhibitory effects (jika
hambatan dilemahkan). Perilaku yang dicontohkan dapat berfungsi sebagai isyarat
sosial untuk memberi isyarat kepada klien untuk melakukan respons tertentu yang
sudah diketahui, yang disebut responsefacilitation effect (efek fasilitasi respons).

Agar klien dapat mempelajari perilaku yang dicontohkan dengan sukses, empat sub-
proses Yang kait-mengait harus ada.

1. klien harus mampu memperhatikan demonstrasi modeling (atensi).


2. klien harus mampu mempertahankan/menyimpan pengamatan atas peristiwa
yang dicontohkan (retensi). Fase atensi dan retensi perlu untuk mendapatkan
perilaku yang dimaksud.
3. klien perlu mampu secara motorik untuk mereproduksi perilaku yang
dicontohkan (reproduksi).
4. klien harus termotivasi, secara internal (motivasi intrinsik) atau melalui
penguatan eksternal, untuk melakukan perilaku target (motivasi).

Bagaimana Mengimplementasikan Teknik Modeling

Sebelum modeling dapat dimulai, klien dan konselor profesional harus memilih sebuah
perilaku alternatif yang akan diajarkan untuk menggantikan perilaku yang tidak
diinginkan. Konselor profesional seharusnya memberikan alasan kepada klien untuk
penggunaan modeling (Hackney & Cormier, 2012). Skenario modeling seharusnya
meminimakan stres yang mungkin dialami klien dan seharusnya juga menguraikan
perilaku kompleks menjadi langkah-langkah kecil sederhana. Selama perilaku target
dilakukan, model atau konselor profesional seharusnya mendeskripsikan
langkahlangkah untuk melaksanakan perilaku yang dicontohkan. Setelah perilaku
target didemonstrasikan, konselor profesional seharusnya membawa klien ke dalam
diskusi tentang perilaku yang dimaksud. Selama diskusi ini, konselor profesional dapat
memberikan penguatan secara verbal kepada klien.

Klien seharusnya diberi banyak kesempatan untuk mempraktikkan perilaku target


setelah modeling terjadi. Sesi-sesi pendek dan sering lebih efektif daripada sesi-sesi
panjang. Konselor profesional juga dapat memberikan pekerjaan rumah kepada klien
untuk mempraktikkan perilaku ketika ia sedang berada dalam sesi (Hackney & Cormier,
2012). Praktik yang dipandu sendiri dapat membantu klien menerapkan perilaku yang
dlcontohkan pada situasi-situasi kehidupan nyata. Akan tetapi, konselor profesional
seharusnya berhati-hati untuk tidak berharap terlalu dan terrlalu cepat; mengajarkan
perilaku baru sering kali menciptakan resistensi, khususnya jika klien tidak memahami
alasan di balik perilaku target.

Variasi-variasi Teknik Modeling

Modeling kognitif dikembangkan untuk membantu klien menghindari pikiran-pikiran


dan perilaku-perilaku self-defeating dengan cara menggantinya dengan pemyataan
positif (James & Gillilandi 2003), Modeling kognitif melibatkan lima langkah.

1. konselor profesional mencontohkan perilaku seakan-akan konselor adalah


klien.

2. klien melaksanakan tugas itu, sementara itil, konselor profesional menjelaskan


setiap langkahnya kepada klien.

3. klien melaksanakan tugas itü lagi, kali ini dengan memberikan instruksi kepada
dirinya dengan suara keras.

4. klien melaksanakan tugas tersebut untuk ketiga kalinya sambil membisikkan


instruksi kepada dirinya.

5. klien melaksanakan tugas sambil memberikan instruksi kepada dirinya secara


diam-diam (melalui imagery atau subvokalisasi).

Latihan keterampilan adalah sebuah intervensi konseling yang terdiri atas banyak
teknik yang berbeda, termasuk modeling (Hackney & Cormier, 2012). Dalam latihan
keterampilan, konselor profesional dan klien menentukan keterampilan-keterampilan
yag akan dipelajari. Setelah itu keterampilan-keterampilan diurutkan mulai dari yang
paling tidak sulit sampai yang paling sulit. Latihan berjalan melalui mencontohkan
keterampilan, memerintahkan klien untuk meniru keterampilan itü seperti yang
dicontohkan, memberikan umpan-balik kepada klien, dan mengulangi sekuensi/urut-
urutannya sampai keterampilan itü dikuasai betul oleh klien.

Kegunaan dan Evaluasi Teknik Modeling

Modeling dapat digunakan untuk mengajarkan banyak macam keterampilan kepada klien. Secara
umum live modeling tampaknya lebih efektif dala mengajarkan keterampilan personal dan sosial,
sementara itu, symbolic modeling membantu untuk masalah-masalah yang kognitif. Video modeling
dan video self-modeling telah digunakan dengan sukses dengan individuindividu yang memiliki
disabilitas perkembangan dan masalah-masalah externalizing (mengarah ke luar diri), seperti
perilaku disruptif atau agresif (Green et al., 2013). Prosedur-prosedur diri-sendiri-sebagai-model
efektif untuk masalah-masalah penerimaan-diri, pengembangan keterampilan interpersonal, dan
pengembangan keterampilan mengajar atau konseling. Hasilhasil positif dari video self-modeling
telah tercatat pada anak-anak dengan gangguan spektrum autisme yang memperlihatkan perilaku
bermasalah (Buggey, 2005).

Modeling juga dapat digunakan untuk membantu remaja mengatasi tekanan sebaya, membantu
anggota keluarga mempelajari pola-pola komunikasi baru, atau dalam situasi apa pun di mana klien
tidak memiliki respons alternatif yang tepat (Hackney & Cormier, 2012). Modeling telah digunakan
untuk mengajari anak-anak autistik bicara; mengajarkan keterampilan coping kepada pasien rumah
sakit, perilaku baru pada anak-anak yang tercoping secara sosial, keetrampilan interpersonal kepada
pecandu Obat dan keterampilan mempertahankan hidup pada individu-individu yang retardasi
mental; dan untuk menangani fobia (Corey, 2015). telah diterapkan dalam mengembangkan
program-program pelaModeling untuk keterampilan pengawasan, komunikasi, penjualan, dan
pelayankonsumen, dan telah diperluas ke aplikasi-aplikasi yang Iebih beragam, berbagai
keterampilan lintas-budaya (Taylor, Russ-Eft, & Chan, 2005).

2. Behavior Rehearsal

Asal Muasal Teknik Behavior Rehearsal

Behavioral rehearsal (latihan/gladi perilaku) adalah salah satu di antara banyak teknik yang berasal
dari terapi perilaku (Thorpe & Olson, 1997), tetapi teknik ini telah diadaptasi oleh berbagai konselor
yang mengakan pendekatan belajar sosial, Teknik ini, yang awalnya disebut behavioristic
psychodrama (psikodrama behavioristik), adalah campuran "terapi conditioned reflex (refleks
terkondisi) dari Salter, teknik psikodrama dari Moreno, dan fixed role therapy (terapi peran tetap)
dari Kelly" (hlm. 44), Konselor profesional biasanya menggunakan behavior rehearsal dengan klien
yang perlu menjadi sadar sepenuhnya akan dirinya. Teknik ini adalah suatu bentukbermain-peran dí
mana klien mempelajari suatu tipe perilaku baru di luar situasi konseling. Behavioral rehearsal
memasukkan beberapa komponen kunci: menirukan perilaku, menerima umpan-balik dari konselor,
dan sering mempraktikkan/melatih perilaku yang diinginkan.

Bagaimana Mengimplementasikan Teknik Behavior Rehearsal

Ketika mengimplementasikan behavioral rehearsal, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam


kehidupan sehari-hari dimain-perankan oleh klien dan konselor profesional sebagai upaya untuk
mengurangi kecemasan apa pun yang dialami klien ketika mengekspresikan dirinya (Thorpe & Olson,
1997). Klien bertindak sebagai dirinya, dan konselor profesional memainkan peran orang dengan
siapa klien memitiki kecemasan. Konselor profesional menginstruksikan klien untuk
mengomunikasikan perasaannya tentang orang atau keadaan yang mengakibatkan kecemasan. Klien
perlu meng_ gunakan suara yang kuat dan mengulang-ulang sebuah pernyataan tentang perasaan
atau perilaku yang tepat-guna, sementara itu, konselor profesional memberikan umpan-balik kepada
klien. Klien terus berlatih sampai konselor profesional mengatakan bahwa pernyataan atau perilaku
dimaksud telah dikomunikasikan secara efektif (Wolpe, 1990). Naugle dan Maher (2008)
menyarankan bahwa konselor profesional dan klien seharusnya mengupayakan dan menguasai
keterampilan-keterampilan sederhana terlebih dahulu, baru kemudian pindah ke keterampilan-
keterampilan yang lebih kompleks. Naugle dan Maher memberikan langkah-langkah berikut untuk
digunakan konselor profesional dalam mengimplementasikan teknik behavioral rehearsal:

(1) Praktikkan perilaku yang dicontohkan (behavior rehearsal: lihat Bab 30);
(2) bangun motivasi klien melalui strategi-strategi reinforcement (penguatan) positif (lihat Bagian 8);

(3) beri klien banyak umpan-balik konkret terfokus untuk membantu klien menguasai keterampilan
dimaksud;

(4) berbicara sebagai orang pertama, dengan menggunakan kata saya secara reguler;

(5) menyetujui pujian konselor; dan

(6) berimprovisasi, hidup untuk saat ini" (hlm. 105),

Variasi-variasi Teknik Behavior Rehearsal

Naugle dan Maher (2008) mengklaim bahwa in behavioral rehearsal membuat penanganan bahkan
lebih efektif lagi dengan membantu klien terlibat dalam perilaku yang diinginkan dalam sebuah
ranah alamiah. Mereka memperingatkan bahwa konselor profesional harus memberikan komentar
dan umpan-balik yang spesifik untuk perilaku yang diinginkan dari klien. Setelah keberhasilan awal,
tugas-tugas perilaku yang diberikan oleh konselor profesional dibuat semakin sulit secara progresif
dan dipraktikkan di luar sesi konseling.

Seligman dan Reichenberg (2013) menyarankan agar konselor profesional memerintahkan klien
untuk mempraktikkan behavioral rehearsal tidak hanya dalam sesi-sesi konse]ing tetapi juga di luar
ranah konseling. Klien dapat mempraktikkan tugasnya dengan teman-teman dalam kehidupan
sehari-hari mereka, Seligman dan Reichenberg juga menyarankan bahwa konselor profesional
merekam klien yang sedang terlibat dalam behavioral rehearsal atau mendorong klien melatihnya di
depam cermin, sehingga memungkinkan klien untuk memantau dirinya dan memberikan umpan-

Smokowski (2003) memasukkan teknologi ke dalam sesi-sesi behavioral rehearsal bersama klien
dengan membuat rekaman video dan dengan menggunakan simulasi kompüter. Dalam variasi ini,
Smokowski menggunakan kamera video dalam sebuah sesi kelompok. la menyarankan untuk
menjadikan kamera sebagai representasi orang yang sedang melatih perilaku yang diinginkan dan
memerintahkan para anggota kelompok untuk memain-perankan situasi-situasi atau orang-orang
yang terlibat dalam behavioral rehearsal. Pada titik dalam bermain-peran ketika sebuah respons
dibutuhkan dari kamera, perekaman dihentikan dan anggota yang bersangkutan merespons. Oleh
karena bagian awal latihan direkam, anggota dapat mempraktikkan beberapa respons yang berbeda.
Smokowski juga menyarankan untuk memerintahkan seorang anggota untuk memainkan peran
kepada siapa ia mengalami kesulitan untuk merespons. Dengan memainkan peran antagonis,
anggota dapat berlatih membangun asertivitasnya sendiri.

Kegunaan dan Evaluasi Teknik Behavior Rehearsal

Walsh (2002) menemukan behavioral rehearsal berguna ketika menangani orang-orang yang
mengalami kecemasan sosial. Klien mula-mula mempelajari cara berfikir atau perilaku baru dan
mempraktikkan respon baru tersebut dalam situasi konseling. Setelah itü klien mempraktikkan
perilaku baru itü dalam sebuah ranah alamiah. Dengan mula-mula mempraktikkannya dalam sebuah
lingkungan yang aman, klien mampu mengembangkan rasa percaya diri yang lebih beşar sebelum
harus bertindak di dalam seting kehidupan nyata. Harapannya adalah klien akan menguasai cara
berpikir dan perilaku yang sudah diubah ini dan akhirnya kecenderungan malu-malu atau perilaku
tidak semestinya lainnya pun ikut terhapus. Turner et al. (1992) menemukan teknik behavioral
rhearsal berguna dalam menangani para laki-laki heteroseksual yang memiliki kecemasan di sepu tar
berkencan, yang hasilnya adalah berkurangnya kecemasan dan meningkatnya asertivitas dan jumlah
yang dijadwalkan selama periode tindak-lanjut. Behavioral rehearsal a digunakan dengan orang-
orang yang telah diberi tahu apa tidak dilakukan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Konselor
dapat menghentikan perilaku yang tidak tepat dan membuat klien menggantinya dengan perilaku
prososial yang tepat. Dengan menggunakan ini, orang memahami bahwa kesalahan wajar dilakukan
dan bahwa semua dapat belajar darinya dan memperbaiki perilaku yang tidak semestinya (Alvord &
Grados, 2005).

3.Role Play

Asal Muasal Teknik Role Play

Role Play (bermain peran) adalah sebuah teknik yang digunakan konselor dari beragam orientasi
teoretis untuk klien-klien perlu mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentanYang
melakukan perubahan dalanı, dirinya sendiri (James & Gilliland 2003). Dalanı sebuah role play, klien
dapat melakukan perilaku yang telah diputuskan di lingkungan yang aman dan bebas-risiko. Role
Play adalah campuran antara "terapi conditioııed reflex (refleks terkondisi) dari salter teknik
psikodrama dari Moreno, danfixcd role therapy (terapi peran tetap) dari Kelly” (Hackney & Coımier,
2012, ilim. 211). Proses psikodrama dari Moreno melibatkan fase:

(1) up (pemanasan),

(2) memainkan peran dan

(3) reenactment

Hackney dan Cormier mendeskripsikan empat aspek yang lazim ditemukan pada role plays. Pada
kebanyakan Play, seseorang memainkan perannya sendiri, peran orang lain, sejumlah keadaan di
seputar sebuah siftıasi, reaksi-reaksinya sendiri. orang itü kemudian menerima umpan-balik dari
konselor profesional atau dari para anggota kelompok jika role Play dilakukan dalam konteks kerja-
keıompok. Role Play terjadi di saat ini, bukan di masa lalü atau masa mendatang; teknik ini lazim
dimuıai dengan adegan-adegan yang lebih mudah untuk diperankan dan secara progresif
ditingkatkan ke adegan-adegan yang lebih kompleks.

Bagaimana Mengimplementasikan Teknik Role Play

M.E. Young (2013) menyediakan proses tujuh-langkah untuk diikuti konselor profesional ketika
mengimplementasikan teknik role play dengan seorang klien:

1. Warm-up: Konselor profesional menjelaskan tekniknya kepada klien dan klien memberikan
deskripsi terperinci tentang perilaku, sikap atau performa yang ingin diubah. Klien
seharusnya didorong untuk mendiskusikan keengganan apa pun yang dipunyainya tentang
teknik role play.
2. Scene setting: Konselor profesional membantu klien dalam menata panggungnya. Bila perlu,
perabotan bisa ditata-ulang.
3. Selecting roles: Klien menyebutkan dan mendeskripsikan orang-orang signifikan yang terlibat
di dalam adegan.
4. Enactment: Klien memerankan perilaku target, dan jika ia mengalami kesulitan untak itu,
konselor profesional dapat mencontohkan perilakunya. Klien seharusnya mulai dengan
adegan-adegan yang paling tidak sulit dan sedikit demi sedikit beranjak ke adegan-adegan
yang lebih sulit. Selama langkah ini, konselor profesional dapat menyela klien untuk
menunjukkan kepada klien bahwa apa yang dilakukannya memberikan kontribusi pada
gangguan yang dialaminya.
5. Sharing andfeedback: Konselor memberikan umpan-balik yang spesifik, sederhana, dapat
dilihat, dan dapat dipahami kepada klien.
6. Reenactment: Klien berulang-ulang mempraktikkan perilaku yang ditargetkan dalam dan di
luar sesi-sesi konseling sampai ia dan konselor profesional yakin bahwa tujuannya telah
tercapai.
7. Follow-up: Klien memberi tahu konselor profesional tentang hasil-hasil dan kemajuan
latihannya.

Variasi-variasi Teknik Role Play

ME. Young (2013) mendeskripsikan variasi lain role Play: mirror technique (teknik cermin) dalam
terapi kelompok. Dalam versi ini, anggota yang sedang memerankan adegan mengambil tempat
düdük tepat ketika perilaku kritis terjadi. Anggota kelompok lain mengambil tempat anggota
pertama dan, kadang-kadang secara berlebih-lebihan, memerankan perilaku atau respons penampil
aslinya. Penampil aslinya bisa melihat dan mengevaluasi responsnya. Sebuah respons baru dapat
didiskusikan, dan penampil asli kemudian dapat mempraktikkannya.

Dalam salah satu variasi yang lazim digunakan oleh para terapis Gestalt, dua kursi digunakan di
tempat orang-orang yang terlibat dalam adegan. Kursi-kursi tersebut dapat menyimbolkan berbagai
macam hal, termasuk klien dan orang lain dengan siapa klien mengalami masalah, dua bagian dalam
diri orang yang sama (misalnya, logika dan keinginan)p emosi-emosi yang saling bertentangan, dan
sebagainya (Seligman & Reichenberg, 2013). Klien dudu di masing-masing kursi dan perlu berbicara
tentang sudut pandang masing-masing kursi. Perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran yang jujur,
tetapi sampai saat itü tidak terucap, sering kali terungkap.

Variasi lain teknik ini berguna ketika bekeıja dengan anak-anak. Bilamana mungkin, anak dapat
mengenakan kostum-kostum yang berbeda ketika berpindah peran. Hal ini dapat membantu anak
memahami bahwa ia bukan hanya sedang memerankan dirinya (Vemon & Clemente, 2004).

Shepard (1992) mendeskripsikan variasi lain teknik role Play yang digunakannya ketika melatih
konselor-konselor pemula. Sering kali, kon selor-koselor yang masih dalam pelatihan diminta untuk
bermain peran dengan sesamanya untuk mendapatkan pengalaman dengan menggunakan
bermacam-macam teknik yang mereka pelajari. Shepard mengajari para mahasiswa untuk bermain-
peran dengan menggunakan teknik screenwriting (menulis naskah film), dan pada umumnya
hasilnya adalah role play yang lebih realistis. Langkah pertama untuk kelas adalah menciptakan
seorang tokoh. Para anggota kelas perlu mendeskripsikan ciri-ciri umum tokoh itu, termasuk nama,
umur, emisitas, profesi, status hubungan, dan keluarga. Back story (kejadian-kejadian yang terjadi
sebelumnya, yang membantu mewujudkan kejadian yang digambarkan dalam film/cerita), yang
memasukkan riwayat pribadi dan pengaruh-pengaruh kunci pada kehidupan seorang tokoh, juga
perlu diciptakan. Impian, khayalan, tujuan, krisis, keinginan sadar dan tak sadar, serta pengaruh
masyarakat pada tokoh tersebut juga perlu dipertimbangkan. Bagian penting lain dari back story
adalah memutuskan seperti apa kehidupan keluarga sang tokoh selama masa pertumbuhannya dulu.
Tekanan-tekanan profesional dan personal yang dihadapi oleh klien seharusnya diputuskan,
demikian pula peristiwa yang memotivasi tokoh tersebut untuk mencari konseling. Presenting
problem (masalah yang membuat klien mencari konseling) perlu realistis dan paling sedikit memiliki
salah satu manifestasi berikut: afektif, kognitif, somatik, atau perilaku. Setelah contoh dibuat di
kelas, para mahasiswa menciptakan tokohnya sendiri dengan menggunakan model ini. Sepanjang
semester, Shepard menciptakan berbagai perubahan plot (kejadian-kejadian penting) dalam
kehidupan tokoh-tokoh yang diciptakan oleh para mahasiswa.

Kegunaan dan Evaluasi Teknik Role Play

Bermain peran adalah sebuah teknik yang juga berguna ketika menangani remaja di sekolah. Siswa
dapat belajar lebih banyak tentang keyakinan dan nilai-nilai yang mereka anut dan dapat mencapai
pemahaman lebih jauh tentang keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh orang lain (Kottman,
1999). Menunıt Papadopulou (2012), bermain peran memiliki banyak keuntungan untuk
perkembangan kognitif, emosi, sosial, dan bahasa. Role Play (bermainperan) memungkinkan orang
untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang penting bagi keberhasilan penyesuaian
kultural mereka. Bermain peran menjadi metode ekspresi pemahaman, ketakutan eksistensial, dan
kekhawatiran evolusioner anak-anak. Bermain peran dapat membantu memperkuat keterapmpilan
sosial anak, mendorong tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menghasilkan keterampilan
mendengarkan dan asertivitas yang lebih baik (Thompson & Bundy, 1996). Bermain peran sangat
berguna untuk menangani remaja karena teknik itü mengharuskan siswa untuk ikut berpartisipasi.

Teknik ini juga dapat digunakan untuk mengajarkan empati kepada anak-anak sekolah dasar. Dengan
mengintroduksikan berbagai dilema moral kepada anak, siswa dapat mulai memahami perspektif
Yang berbeda dengan erspektifnya sendiri. Upright (2002) mendeskripsikan bagaimana seorang
dapat melaksanakan bermain-peran di kelas.

B. Prinsip Pendekatan Behavioral yang Menggunakan Posititive


Reinforcement

Prinsip utama teori operant conditioning adalah pembelajaran sejati bergantung pada
perilaku mana yang disertai dengan reinforcement (penguatan). Perilaku yang diberi
reward meningkat frekuensinya, dan perilaku yang dihukum secara aktiv biasanya juga
menurun frekuensinya. Operant conditioning mengusulkan tiga istilah kunci yang
berasal dari teori: reinforcement positif, reinforcement negatif, dan hukuman. Penting
awal dua poin esensial menerapkan reinforcement positif. Pertama, perilaku target
harus dibingkai dengan cara yang menunjukkan bahwa suatu perilaku yang diinginkan
akan ditingkatkan. Kedua, berkaitan dengan reinforcement positif adalah reward hanya
diberikan setelah perilaku. Jika klien mendapatkan reward sebelum memperlihatkan
perilaku atau tidak melakukan perilaku yang diharuskan pada tingkat yang disepakati,
maka contingency yang mengaitkan perilaku dan reward tidak akan terjad. Reward
berfungsi sebagai motivator perilaku yang dihharapkan, dan reward harus mengikuti
terjadinya perilaku agar pembelajaran awal terjadi dan memperkuat hubungan yang
sebelumnya telah dipelajari agar terus berlanjut.

1. Premack Prinsiple

Asal Muasa Teknik Prinsip Premack

Premack principle (prinsip Premack) didasarkan pada konsep reinforcement positif dari
teori operant conditioning, bahwa perilaku dengan probabilitas lebih tinggi dapat
bertindak sebagai reinforcer bagi perilaku dengan probabilitas lebih rendah (Brown,
Spencer, & swift, 2002). Individu akan termotivasi dengan untuk melaksanakan tugas
yang tidak diinginkan jika tugas itu diikuti oleh tugas yang diinginkan. Prinsip premack
sering digunakan dalam sehari-hari.

Prinsip Premack dinamai berdasarkan David premack dan digunakan pertama kali
dengan binatang laboratorium, lalu diterapkan pada situasi manusia. Prinsip premack
bertentangan dengan teori-teori tradisonal pada masa itu. Pada prinsip premack
menyatakan bahwa trikotomi positif-netral-negatif tidak relevan dengan reinforcement.
Untuk mevalidasi teorinya, Premack (1962) merancang suatu eksperimen laboratoris
dengan tikus bukan hanya utnuk menujukkan bahwa lari dapat diperkuat oleh minum,
tetapi juga bahwa jika sebuah situasi diciptakan dimana lari lebih disukai daripada
minum, maka minum dapat diperkuat oleh lari.

Untuk mengukur probabilitas dua perilaku atau lebih, perilaku-perilaku tersebut


dibandingkan dalam sebuah basal operant berpasangan, dimana kedua perilaku
disediakan simultan dan bebas kepada klien. Akan tetapi kadang sulit diukur, ukuran-
ukuran lain yang lebih mudah didapat sering digunakan untuk menggantikan
probabilitas. Preferensi cukup kompatibel dengan ukuran probabilitas awal premack.
Dilain pihak, pengunaan frekuensi sedikit problematis karena ia sering kali
meyandarkan diri pada respon-respon yang dipertahankan secara ekstrinsik dan bukan
memberikan kebebasan untuk memilih kegiatan kepada partisipan. Serupa dengan hal
itu, imminent performance, atau kemungkinan bahwa kegiatan tersebut setelah itu akan
dilakukan, cenderung lebih mengukur probabilitas empiris yang dimaksud Premack.
Aturan praktis yang baik untuk diikuti ketika berusaha mengukur probablitias adalah
memastikan bahwa preferensi atau nilai relatiflah yang dukur, bukan frekuensi atau
imminent performance.

Bagaimana Cara Mengimplentasikan Teknik Prinsip Premack

Untuk menggunakan prinsip premack, orang pertama-tama harus mengases kegiatan


yang lebih disukai klien (Brown et al., 2002). Kegiatan dipilih untuk memperkuat
perilaku target. Klien seharusnya diberi tahu tentang parameter-parameter kondisi
Premack. Untuk melakukan kegiatan yang lebih disukai, klien pertama-tama harus
menyelesaikan perilaku target. Setelah perilaku target diselesaikan, klien dapat
memulai kegiatan yang lebih disukai. Jika perilaku target tidak deselesaikan
sepenuhnya, maka kegiatan yang lebih disukai tidak boleh dilakukan.

Variasi-variasi Teknik Prinsip Premack

Prinsip Premack dapat dengan mudah disertai oleh token ekonomi. Token dapat
diberikan setelah diselesaikannya kegiatan yang kurang disukai dan setelah itu
ditukarkan dengan kesempatan untuk melakukan kegiatan yang lebih disukai. Sebuah
menu reinformance , atau daftar kegiatan yang sangat disukai, dapat disediakan untuk
dipilih oleh klien.

Kegunaan dan Evaluasi Teknik Prinsip Premack

Prinsip Premack telah diterapkan untuk meredakan penolakan makanan kronis.


Seiverling, Kokitus, dan Williams (2012) menggunakan kombinasi Premack dan
extincion dalam sebuah penanganan makanan selektif penderita autism 3 tahun. Brown
et al. (2002) menggunakan prinsip Premack dengan seorang bocah laki-laki yang sering
menolak untuk mencoba makanan baru. Ia diharuskan untuk makan makanan-makanan
baru dalam sejumlah kecil sebelum diijinkan makan makanan yang lebih disukainya.
Ketika interverensinya dimulai, anak itu segara makan makanan-makanan yang
disajikan kepadanya dengan kuantitas dan variasi rasa yang semakin besar agar
diijinkan untuk memakan makanan yang lebih disukainya.

Menanggani anak yang lebih tua dengan gangguan pemusatan perhatian-hiperaktivitas


(ADHD), Azrin, Vinas, dan Ehle (2007) menggunakan kegiatan bermain diluar ruangan
sebagai contigency Premack untuk bersikap tenang dalam waktu cukup lama dan
untuk dapat mengontrol perhatiannya dalam kegiatan-kegiatan kelas terstruktur. Hal
ini cukup menjanjikan untuk digenerelasikan pada para siswa penyandang ADHD dari
semua umur.

Akan tetapi, ada beberapa keterbatasan dalam prinsip Premack. Data yang sudah ada
menunjukkan bahwa perilaku dengan probabilitas lebih rendah kadang-kadang dapat
bertindak sebagai reinforcer utnuk dengan probabilitas lebih tinggi. Contohnya,
Konarski, Johnson, Crowell, dan Whitman (1981) melaporkan bahwa, dalam suatu
penelitian terdahulu, mereka menemukan bahwa, dalam kondisi tertentu, anak-anak
akan semakin banyak mewarnai untuk mengakses matematika, yang dianggap sebgai
perilaku dengan probabilitas lebih rendah. Eksperimen-eksperiman yang menggunakan
prinsip Premack tidak selalu mengontrol secara ade kuat efek-efek suatu skedul. Oleh
sebab itu, sulit untuk menentukan apakah reinformence adalah hasil dari slisih
probabilitas antara respon-respon aktual atau hanya sekedar karena tidak adanya
respon penguat utnuk beberapa periode waktu akibat skedul respons. Dengan kata lain,
klien mungkin meningkatkan perilakau instrumentalnya karena itu adalah satu-satunya
respon yang tersedia., bukan karena respon itu memungkinkannya untuk melakukan
respon contigent atau respon yang memberikan reinformancement.
2.Behaviour Chart

Asal Muasal Teknik Behavior Chart

Behavior Chart (bagan perilaku) menarget perilaku-perilaku tertentu yang kemudian


dievaluasi pada titik-titik yang telah ditetapkan sepanjang hari (Henington & Doggett,
2010). Setelah itu diberi reinforcement pada semacam skedul tertentu. Behavior chart
lahir dari teori-teori perilaku yang mengatakan bahwa perilaku dibentuk oleh
reinforcement dan hukuman. Komponen penting Behavior Chart seperti menetapkan
perilaku-perilaku yang akan dipantau, merating perilaku pada skedul yang telah
ditetapkan, berbagi informasi dengan orang-orang selain rater, dan menggunakan
bagan untuk memantau sebuah intervensi atau sebagai penanganan itu sendiri
(Chafouleas, Rile-Tilman, & Mc Dougal, 2002). Akan tetapi, behavior chart dapat
bervariasi tergantung perilaku yang dirating, tipe sistem ratingnya, frekuensi rating,
rater, konsekuensi-konsekuensi yang digunakan ( reinforcer versus hukuman), dan
ranah serta skedul pemberian konsekuensi. Behavior chart berguna karena merupakan
cara yang sederhana dan fleksibel untuk memberikan umpan balik kepada individu
yang dipantau maupun orang-orang lain yang terlibat dengan orang ini (Chafouleas et
al., 2002), dan behavior chart dapat dimodifikasi dengan mudah untuk memenuhi
kebutuhan spesifik seseorang. Disamping itu, Behavior chart efisien-waktu, hanya
membutuhkan waktu 10 detik sampai 1 menit untuk dilakukan setiap hari.

Bagaimana Mengimplementasikan Teknik Behavior Chart

1. Definisikan perilaku target secara positif dan spesifik sehingga suatu pendekatan
reinforcement positif dapat digunakan (misalnya, Leroy akan mengikuti
petunjuk orang tuanya langsung pada saat petunjuk diberikan).
2. Tentukan frekuensi dan sistem rating yang digunakan.
3. Rancang bagan perilakunya, yang menyebutkan dengan jelas perilaku yang
diinginkan dan kapan perilaku itu akan dipantau (Henington & doggett, 2010).
4. Putuskan bagaimana individu akan mendapat kan konsekuensi (positif atau
negatif) dan apa konsekuensinya.

Kegunaan dan Evaluasi Teknik Behavior Chart

Behavior chart dapat digunakan untuk bermacam intervensi yang melibatkan


membentuk perilaku-perilaku tertentu. Perilasku target dapat termasuk mengikuti
petunjuk,menyimpan tangan untuk diri snedir, atau menggunakan bahasa yang pantas
(Henington & Doggett, 2010). Behavior chart telah ditemukan efektif di sejumlah
penelitian empiris. Dalam suatu penelitian, bahavior chart yang memantau kebutuhan
siswa pada aturan kelas menghasilkan penurunan signifikan pada perilaku buruk dan
meningkatkan banyaknya pekerjaan yang diselesaikan siswa ( Chafouleas et al, 2002).

Behavior chart tidak selalu efektif, terutama karena klien tidak selalu termotivasi untuk
memasuki sistem itu. Dalam kasus seperti itu konselor seharunya meninjau kembali
sistem reward-nya untuk menemukan hal yang lebih memotivasi usaha klien untuk
mendapatkannya. Kadang-kadang klien tidak memahami sistem bagannya, atau klien
atau orang dewasa yang bertanggung jawab untuk mengawasi sistem tidak
menindaklanjutinya dengan tanggung jawab. Kesulitan-kesulitan ini lazim dalam teripai
perilaku, dan konselor perlu membuat penyesuian besar dan kecil untuk semua sistem
perilaku untuk memaksimalkan keberhasilan.

3.Behavioral Contract

Asal Muasal Behavioral Contract

Behavioral contract (kontrak perilaku), contigency contract , didasarkan pada prinsip


operant conditioning, reinforcement positif, dan dapat digunakan sebagai salah satu
variasi prinsip Premack. Kontrak perilaku adalah kesepakatan tertulis antara dua orang
individu atau lebih dimana salah satu atau kedua orang sepakat untuk terlibat dalam
sebuah perilaku target (Miltenberger, 2007). Kotnrak perilaku melibatkan
pengadministrasian konsekuensi positif (atau mungkin kadang-kadang negatif) yang
contigen dengan terjadinya tau tidak terjadinya perilaku target. Kontrak perilaku
menetapkan seluruh detail perilaku target, yang terlibat dalam kontrak harus
menegosiasikan syarat-syaratnya sehingga kontrak dapat diterima oleh setiap orang.

Istilah contigency contract digunakan untuk pertama kalinya oleh L.P. Homme pada
1996. Meskipun mereka dipopulerkan oleh para terpis perilaku dan realitas, kontrak
perilaku sekarang diintegrasikan kedalam banyak pendekatan teoritik yang berbeda
(Hackney & Cormier, 2012), termasuk motivational interviewing (Enea & Dafinoiu,
2009).

Kekuatan utama kontrak perilaku menuntut orang-orang untuk konsisten. Kontrak


perilaku menetapkan tingkat timbal balik di antara ornag-orang yan terlibat. Kontrak
dapat diubah atau dinegosiasikan dari wkatu ke waktu dan pada akhirnya berakhir
begitu perilaku targetnya menjadi rutin.

Bagaimana Cara Mengimplementasikan Teknik Behavioral Contract

Kontrak perilaku seharusnya digunakan ketika teknik-teknik yang lebih sederhana dan
kurang intrusif seperti pujian dan reinforcement, telah gagal dan dibutuhkan prosedur
yang lebih kuat.

Sebelum menulis sebuah kontrak perilaku, perilaku targetnya seharusnya diidentifikasi.


Perilaku target bisa bisa termasuk agar perilaku yang tidak diinginkan menurun atau
perilaku target seharusnya dirumuskan secara positif. Perumusan positif tujuan
memungkinkan diterapkannya sebuah strategi yang didasarkan pada reinforcement
positif dan memperoleh reward utnuk kepatuhan perilaku yang baik.
Kontrak perilaku memiliki sejumlah komponen esensial. Begitu perilaku target
diidentifikasi, tiga langkah lagi harus diselesaikan sebelum menulis kontrak
perilakunya,

1. Putuskan bagaimana perilaku itu akan diukur (Miltenberger, 2007). Perilaku


secara langsung atau diukur berdasarkan hasilnya.
2. Pilih dimana kontrak akan digunakan dan siapa yang akan terlibat dalam
mengukur perilaku target.Menggunakan data basal frekuensi perilaku,
identifikasi ekspetasi dan tujuan perilaku yang spesifik. Tetapkan berapa sering
perilaku target harus dilakukan agar dianggap sukses. Kontrak seharusnya
fleksibel dan memungkinkan aprokmasi suksesif ke arah tujuan; artinya,
ekspektasi seharusnya dinaikkan perlahan-lahan untuk memungkinkan
kemajuan kearah frekuensi target (James & Gilliland, 2003). Penting bahwa klien
mengalami kesuksesan di minggu pertama.
3. Setelah tujuan perilaku ditetapkan, identifikasi reinforcement dan/atau
hukuman yang akan digunakan sehubungan dengan kesuksesannya.

Bilamana mungkin, biarkan klien membantu membuat menu reinforcement, khusunya


ketika bekerja dengan anak-anak, tetapi ingat untuk menjaga reinformcement-nya tetap
kecil dan manageable. Putuskan konsekuensi negatif akan digunakan untuk kegagalan
mencapai tujuan. Putuskan siapa yang akan mengimplementasikan rencana contigency
dan tentukan skedul reinforcement apa yang akan mengikuti. Skedul dengan rasio tetap
atau interval tetap sering kali adalah yang terbaik di awal, tetapi kemudian pindah
skedul rasio-variabel atau interval variabel begitu perilaku target telah dikuasi dan
dapat membantu mempertahankan perilaku ini. Sebuah klausa bonus juga dapat
dimasukkan untuk me-Reward klien untuk kemajuan terus-menerus atau luar biasa.

Setelah menyolidkan detail-detail rencana perilaku, kontrak dapat ditulis. Pastikan


memasukkan tanggal mulai, perilaku target, kriteria, dan tanggal waktu penyelesaian
tugas, reinforcement yang akan digunakan. Kontrak harus jelas bagi setiap orang yang
terlibat, dan tujuan tujuan perilakunya harus psesifik (James & Gilliand, 2003). Setiap
orang yang terlibat seharusnya mendatangani kontrak dan menerima salinannya.
Terakhir pertemuan evauasi setelah stau atau dua minggu untuk memantau kemajuan
kontrak.

Ketika memantau kemajuan, setiap aspek kontrak seharusnya diperiksa. Pastikan


bahwa perilaku targetnya tepat, dapat dicapai, dan dipahami oleh klien. evaluasi
reinforcemen-reinforcement-nya: Apakah cocok, efektif, dan diberikan secara secara
tepat waktu? Di samping itu, putuskan apakah ekspetasi-ekspetasi kontraknya realitis,
jelas dan dinyatakan sebagai aprokmasi-aprokmasi kecil ke arah tujuan yang diinginkan
(James & Gilliand, 2003).
Variasi-variasi Teknik Behavioral Contract

Ada beberapa tipe kontrak perilaku. Dalam kontrak satu pihak, yang juga disebut
sebagai kontrak unilateral, seorang individu ingin mengubah sebuah perilaku target
(Miltenberger, 2007). Ia membuat berbagai pegaturan untuk seorang manager kontrak
untuk mengimplementasikan kontingensi-kontingensi reinforcement atau hukuman,
digunakan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan. Kontrak dua-pihak, atau
bilateral, memungkinkan kedua belah pihak untuk mengidentifikasi perilaku-perilaku
target dan kontingensi-kontingensi yang akan diimplementasikan. Biasanya ditulis di
anatara orang-orang yang memiliki hubungan signifikan satu dengan yang lain. Kontrak
quid pro quo melibatkan hubungan dianatara dua perilaku target; yang satu akan
diberikan sebgai balasan untuk yang lain. Akan tetapi, kontrak paralel ini
memungkinkan masing-masing individu untuk menangani perilaku targetnya sendiri
tanpa menyandarkan diri pada kinerja yang lain.

Tipe kontrak perilaku lain, self-contract, dapat dirancang untuk membantu seorang
individu memenuhi tujuan ( Hackney & Cormier, 2012). Self-contract identik dengan
kontrak-kontrak perilaku lain, kecuali reward-nya diadministrasikan sendiri oleh klien.
Kontrak-kontrak ini bisa sangat membantu ketika bekerja dengan anak atau remaja.
Sering kali kontrak perilaku tradisional dapat dialihkan menjadi self-contract ketika
klien menjadi lebih sukse dalam melakukan perilaku target. Manajer kontrak secara
perlahan-lahan melapskan kontrol atas kontrak yang dimulai dengan reinforcement-
nya, setlah itu identifikasi tugas, dan terakhir waktu dan frekuensiya.

Kegunaan dan Evaluasi Teknik Behavioral Contract

Kontrak perilaku dapt digunakan untuk mengajarkan perilaku baru, mengurangi


perilaku yang tidak diinginkan, atau meningkatkan perilaku yang diharapkan
(Downing, 1990). Dengan berbagai keterampilan akademis sosial, dantelah berhasil
dengan siswa-siswa di kelas reguler maupun khusus.

Disamping lingkungan sekolah, kontrak telah digunakan dipenjara, rumah sakit jiwa,
dan halfway house (Milukas, 1978). Kontrak perilaku adalah salah sebuah cara untuk
menyediakan struktur yang diperlukan agar para penghuni mau bekerja sama dengan
perawatan mereka (Hartz et al, 2010). Kontrak juga sering digunakan dalam terapi
perkawinan atau terapi pasangan (Miltenberger, 2007) dan dalam motivational
interviewing (Enea &Dafinoiu, 2009). Kontrak perilaku juga telah digunakan untuk
pengelolaan berat badan, penanganan obat dan alkohol, mengurangi merokok, dan
memantau kebugaran fisik (James & Gilliland, 2003).
BAB III

KESIMPULAN

1. Belajar sosial adalah suatu proses tingkah laku, dimana seseorang mengamati
bahkan meniru suatu pola tingkah laku seseorang (masyarakat) yang awalnya
tidak tau menjadi tau. Sebagai guru maupun pengajar, hendaknya perlu
memastikan dan berusaha menyediakan lingkungan sosial yang kondusif, dan
menyenangkan agar teknik modeling, behavior rehearsal maupun role play
dapat dilakukan dengan baik dan dapat berlaku dan selain itu, pengajaran
seorang guru maupun pengajar seharusnya tersusun dan dapat menarik minat
dan perhatian siswanya dan dijadikan model untuk diikuti oleh murid muridnya.
2. Proses belajar mengajar di sekolah adalah keaktifan diri yang
menghubungkanpikiran dan tindakan. Faktor kecakapan, keyakinan, dan nilai
memprosespenekanan pada penciptaan pemahaman yang menuntut aktivitas
yang kreatifdan produktif dalam konteks yang nyata. Kepribadian peserta didik
berkembangmelalui proses pengamatan, di mana peserta didik belajar melalui
observasi ataupengamatan terhadap perilaku orang lain terutama pengajar atau
orang yangdianggap mempunyai nilai lebih dari orang lainnya.
3. Pembelajaran sejati bergantung pada perilaku mana yang disertai dengan
reinforcement (penguatan). Perilaku yang diberi reward meningkat frekuensinya,
dan perilaku yang dihukum secara aktiv biasanya juga menurun frekuensinya.
Dengan reinforcement positif melalui beberapa teknik pendekatan didasarkan
reinforcement positif teknik-teknik tersebut dapat diimplementasikan untuk
mengubah perilaku yang diharapkan.

Anda mungkin juga menyukai