Anda di halaman 1dari 2

Nama : Mahessa Gusti Putra 16

Kelas : XI IPS 2
Mapel : Sejarah Indonesia

Pelaksanaan Tanam Paksa

Pada tahun 1830, pemerintah Belanda mengangkat Johannes van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal.
Tugas yang diberikan kepadanya adalah meningkatkan penerimaan negara untuk mengatasi keuangan
Negeri Belanda waktu itu yang parah karena dibebani hutang besar akibat perang-perang yang dilakukan.

Sebagai Gubernur Jenderal, van den Bosch memberlakukan sistem tanam atau Cultuurstelsel yang
kemudian berubah menjadi tanam paksa (awang cultuur).

Ciri Utama Sistem Tanam Paksa


Ciri utama sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk hasil
pertanian (innatura), khususnya kopi, tebu dan nila. van den Bosch mengharapkan dari pungutan-pungutan
pajak tersebut akan diperoleh barang ekspor dalam jumlah besar, yang kemudian dikirimkan ke Negeri
Belanda untuk dijual kepada pembeli-pembeli dari Amerika dan Eropa.

Isi Ketentuan pokok tanam paksa


Ketentuan-ketentuan pokok peraturan tanam (Cultuurstelsel) adalah sebagai berikut:

1. Penduduk diharuskan menyediakan sebagian dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang dapat
dijual di pasaran Eropa.
2. Tanah pertanian yang disediakan oleh penduduk tidak boleh melebihi seperlima dari tanah
pertanian yang dimiliki oleh penduduk desa.
3. Waktu yang diperlukan untuk memelihara tanaman tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan
untuk memelihara tanaman padi.
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari
pembayaran pajak.
5. Apabila nilai hasil tanaman dagangan itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih
positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Jika panen gagal dan kegagalan itu tidak disebabkan oleh kesalahan petani, segala kerugian
dibebankan pada pemerintah.
7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah mereka di bawah pengawasan kepala desa atau bupati,
sedangkan pegawai Eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan pembajakan tanah, panen
dan pengangkutan tanaman.
8. Penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik pabrik milik
pemerintah selama 65 hari dalam 1 tahun.

Menurut apa yang ditulis di atas, tampaknya tidak terlalu memberatkan rakyat. Bahkan pada
prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan-keberatan apabila memang tidak dapat
melaksanakan sesuai dengan ketentuan. Ini artinya ketentuan tanam paksa masih memperhatikan
martabat dan batas-batas kewajaran nilai-nilai kemanusiaan.

Pelaksanaan Tanam Paksa


Menurut Van den Bosch pelaksanaan tanam paksa harus menggunakan organisasi desa. Oleh karena itu
diperlukan factor penggerak, yakni lembaga organisasi tradisi desa yang dipimpin oleh kepala desa.

Penggerakan tenaga kerja dilakukan dengan cara melalui kegiatan sambatan, gotong royong, maupun
gugur gunung. Dalam hal ini kepala desa tidak hanya sebagai penggerak tetapi juga sebagai penghubung
dengan atasan dan pejabat pemerintah. Oleh karena itu kepala desa tetap berada di bawah pengawasan
pamong praja.

Pelaksanaan tanam paksa tidak sesuai dengan peraturan tertulis. Hal ini telah medorong terjadinya tindak
korupsi dari para pegawai dan pejabat yang terkait dengan pelaksanaan tanam paksa. Tanam paksa telah
membawa penderitaan bagi rakyat, banyak rakyat yang jatuh sakit. Mereka dipaksa focus bekerja untuk
tanam paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus. Bahkan timbul bahatya kelaparan
dan kematian di berbagai daerah. Sementara seperti itu, pemerintah Belanda telah mendapatkan
keuntungan yang besar dengan deberlakukannya tanam paksa. Belanda menikmati keuntungan di atas
pendertiaan rakyat. Sistem cuulture procenten inilah kemdian mendorong terjadinya berbagai
penyelewengan dalam pelaksanaan tanam paksa.
Beberapa penyelewengan itu diantaranya dicontohkan sebagi berikut:

1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan suka rela, tetapi dalam pelaksanaannya
dilakukan dengan cara-cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan para bupati dan kepala-
kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka.
2. Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Seringkali tanah
tersebut sepertiga, bahkan semua tanah desa digunakan untuk tanam paksa. Hal itu dimaksudkan
antara lain untuk memudahkan pengerjaan, pengairan, dan pengawasan, pembagian luas tanah
untuk tanam paksa dalam tahun 1883.
3. Pengerjaan tanaman ekspor seringkali jauh melebihi pengerjaan tanaman padi, misalnya
penanaman nila di daerah Parahyangan, penduduk di daerah Simpur, misalnya dikerahkan untuk
menggarap perkebunan yang letaknya jauh dari desa mereka. Pengerahan tenaga tersebut
dilakukan selama tujuh bulan dan mereka tidak terurus, sedangkan pertanian mereka sendiri
terbengkelai.
4. Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa
5. Kelebihan hasil panen setelah diperhitungkan dengan pajak tidak dikembalikan kepada petani.
6. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
7. Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah dijadikan tenaga paksaan, seperti yang terjadi di
Rembang, Jawa Tengah. Sebanyak 34.000 keluarga selama 8 bulan setiap tahun diharuskan
mengerjakan tanaman dagang dengan upah yang sangat kecil. Selain itu, rakyat harus
menyerahkan balok, bambu, dan kayu untuk pembuatan bangunan yang akan digunakan untuk
tanaman tembakau.

Guna menjamin agar para bupati dan kepala desa menunaikan tugasnya dengan baik, pemerintah kolonil
memberikan perangsang yang disebut CultuurProcenten disamping penghasilan tetap. Cultuur Procenten
adalah bonus dalam prosentase tertentu yang diberikan kepada para pegawai Belanda, para Bupati, dan
kepala desa apabila hasil produksi di suatu wilayah mencapai atau melampaui target yang dibebankan.

Cara-cara itu menimbulkan banyak penyelewengan, baik dalam merekrut jumlah tenaga kerja maupun
dalam memaksa penduduk untuk menanami tanah yang luasnya melampaui ketentuan. Dalam hal ini
pemerintah kolonial bersikap tutup mata selama hal itu menguntungkan kas negara, akan tetapi
penyelewengan tersebut membuat rakyat jelata menjadi sengsara.

Akan tetapi selama dua puluh tahun pertama dari pelaksanaan sistem Tanam Paksa, yaitu tahun 1830-1850
beban berat yang harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa. Pemerintah kolonial mengerahkan
tenaga rakyat untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum, antara lain jalan raya, jembatan, dan
waduk. Di samping itu, rakyat juga dikerahkan antara lain dalam pembangunan dan pemeliharaan rumah-
rumah pegawai kolonial, mengantar surat dan barang serta menjaga gudang. Akan tetapi, yang paling
berat bagi rakyat adalah pembangunan.

Dampak dan pengaruh yang disebabkan tanam paksa


Pembagian tanaman yang wajib ditanam oleh para petani Indonesia, yaitu tanaman musiman dan tanaman
tahunan. Tanaman musiman meliputi gula, nila, dan tembakau, sedangkan tanaman tahunan meliputi lada,
kopi, teh, dan karet. Pembagian dilakukan karena tanaman musiman dapat berseling dengan tanaman padi
untuk kehidupan rakyat, sedangkan untuk tanaman tahunan tidak dapat berotasi dengan tanaman padi
sehingga para petani bisa dibilang rugi.

Bahwa tanaman wajib ditanam oleh petani adalah gula dan kopi, dari kedua tanaman ini salah satunya
merupakan jenis tanaman tahunan yang mana tidak dapat diselingi dengan tanaman padi sehingga
merugikan petani. Selain itu jika dilihat dari tanah yang digunakan untuk penanaman tebu memerlukan
tanah yang diirgasi sama dengan padi, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasannya petani diharuskan
merelakan sawah mereka untuk penanaman tebu. Selain itu masyarakat juga memiliki pekerjaan wajib,
yaitu menanam, memanen, dan menyerahkan hasil pertanian mereka kepada Belanda.

Anda mungkin juga menyukai