Anda di halaman 1dari 43

FARMAKOTERAPI

GASTROINTESTINAL, INFEKSI DAN ARTHRITIS

APOTEKER. YEDY P SUKMAWAN., S.FARM.,M.SI

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK-FARMAKOLOGI


STIKES BTH TASIKMALAYA
FARMAKOTERAPI
GASTROINTESTINAL, INFEKSI DAN
ARTHRITIS
KATA PENGANTAR

Perkembangan ilmu mengenai kefarmasian telah membuat suatu perubahan besar dalam paradigma
dan peraturan perundang-undangan kefarmasian di Indonesia. Perubahan paradigma dari drugs
oriented menjadi patients oriented yang kemudian dengan dibuatnya peraturan-peraturan untuk
menunjang perubahan tersebut seperti Undang-undang no 36 tahun 2014 tentang tenaga
kesehatan, Peraturan Pemerintah no 51 tahun 2009, Peraturan Menteri Kesehatan no 72 tahun 2016
tentang standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan no 73 tahun
2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek, Peraturan Menteri Kesehatan no 74 tahun
2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas. Dalam peraturan tersebut menyebutkan
pelayanan kefarmasian dibagi menjadi dua yaitu pelayanan kefarmasian non klinik dan pelayanan
farmasi klinik. Pelayanan farmasi klinik berorientasi pada keamanan dan efektifitas pengobatan
untuk menunjang pengobatan yang rasional. Berdasarkan hal tersebut, maka jelas peran tenaga
kefarmasian sebagai tenaga kesehatan sangat dibutuhkan untuk mencapai peningkatan derajat
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, buku panduan ini dibuat untuk menunjang tercapainya
kompetensi farmasi dalam bidang pelayanan farmasi klinik pada penyakit Ulkus Peptik,
Gastoesophageal Reflux Disease, Diare, Konstipasi, Pneumonia dan Osteoarthritis.
FARMAKOTERAPI

GASTROINTESTINAL, INFEKSI DAN ARTHRITIS

PENULIS

YEDY P SUKMAWAN .,APT.,M.SI


AHLI FARMASI KLINIS
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK-FARMAKOLOGI
STIKES BTH TASIKMALAYA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAKTI TUNAS HUSADA


TASIKMALAYA, JAWA BARAT, INDONESIA
DAFTAR ISI

ULKUS PEPTIK

Konsep Klinis

1. Epidemiologi....................................................................................................................1
2. Patofisiologi.....................................................................................................................1
3. Diagnosis..........................................................................................................................2
4. Manifestasi Klinis............................................................................................................2
5. Penatalaksanaan.............................................................................................................3
6. Daftar Pustaka

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE

Konsep Klinis

1. Epidemiologi....................................................................................................................6
2. Etiologi..............................................................................................................................7
3. Patofisiologi.....................................................................................................................7
4. Manifestasi Klinis............................................................................................................7
5. Diagnosis..........................................................................................................................8
6. Tujuan Terapi...................................................................................................................8
7. Penatalaksaan.................................................................................................................8
8. Daftar Pustaka

DIARE

Konsep Klinis

1. Epidemiologi....................................................................................................................12
2. Patofisiologi.....................................................................................................................12
3. Manifestasi Klinik............................................................................................................13
4. Diagnosis..........................................................................................................................13
5. Pentalaksanaan...............................................................................................................13
6. Daftar Pustaka

KONSTIPASI

Konsep klinis

1. Epidemiologi....................................................................................................................19
2. Patofisiologi.....................................................................................................................19
3. Diagnosis..........................................................................................................................19
4. Manifestasi Klinik............................................................................................................20
5. Penatalaksanaan.............................................................................................................20
6. Daftar Pustaka
FARINGITIS

Konsep Klinis

1. Epidemiologi 23
2. Patofisiologi 23
3. Manifestasi Klinik 24
4. Diagnosis 24
5. Penatalaksanaan 25
6. Daftar Pustaka

PNEUMONIA

Konsep Klinis

1. Epidemiologi 30
2. Patofisiologi 30
3. Diagnosis 30
4. Manifestasi Klinik 31
5. Penatalaksanaan 31
6. Daftar Pustaka

OSTEOARTHRITIS

Konsep Klinis

1. Epidemiologi 35
2. Patofisiologi 35
3. Diagnosis 36
4. Manifestasi Klinik 36
5. Penatalaksanaan 36
6. Daftar Pustaka
ULKUS PEPTIK

KONSEP KLINIS

 Helicobacter pylori, Non Steroid Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs), dan Stress ulcer
adalah penyebab umum dari ulkus peptik
 Pengujian menggunakan Carbon 13- Urea Breath, antigen pada feses, atau uji
laboratorium serologi pada wilayah masing-masing yang telah divalidasi menjadi alat
utama untuk pengujian Helicobacter pylori.
 Kombinasi antibiotika dengan proton pump inhibitor dan atau bismuth menjadi pilihan
dalam penatalaksanaan eradikasi Helicobacter pylori pada pasien yang terindikasi positif
infeksi H pylori.
 Penghentian penggunaan NSAIDs direkomendasikan untuk pasien ulkus peptik yang
diakibatkan penggunaan NSAIDs.
 Proton pump inhibitor menjadi pilihan utama dalam pencegahan dan penatalaksanaan
ulkus peptik yang diakibatkan oleh penggunaan NSAIDs
 Kepatuhan dalam pengobatan menjadi faktor penting untuk ketercapaian terapi ulkus
peptik.
 Apoteker berperan penting dalam mencegah terjadinya Drugs Related Problem dan
ketidakpatuhan pasien.

1. Epidemiologi

Frekuensi terjadinya ulkus peptik di berbagai negara sangat bervariasi. Hal ini utamanya
disebabkan oleh hubungannya dengan penyebab utama ulkus peptik yaitu infeksi H. Pylori dan
Non Steroid Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) (Anand, 2018). Berdasarkan pada data WHO yang
dipublikasikan menyatakan sebanyak 256 ribu orang atau sekitar 15 orang dari 100.000 populasi
di Indonesia meninggal akibat ulkus peptik pada tahun 2016 dari yang hanya 9.9 orang dari
100.000 populasi pada tahun 2010 (WHO, 2018).

2. Patofisiologi

Ulkus peptik diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif. Ulkus
yang terjadi sampai pada lapisan muskularis mukosa pada lambung maupun usus. Faktor agresif
meliputi pepsin, asam lambung, cairan empedu, alkohol, obat Non Steroid Inflammatory Drugs
(NSAIDs), dan Helicobacter pylori. Faktor defensif meliputi mukus, bikarbonat, aliran darah
terhadap mukosa dan kecepatan pembaharuan sel epitel (Anand, 2018). Faktor defensif lebih
penting dibandingkan faktor agresif seperti pepsin dan asam lambung (Brooks, 1985).

NSAIDs dan Helicobacter pylori merupakan penyebab umum terjadinya ulkus peptik. NSAIDs dan
Helicobacter pylori mengakibatkan efek yang sinergis dalam pembentukan ulkus peptik (Sostres

1
dkk,2013). NSAIDs mengakibatkan kerusakan terhadap gastroduodenal mukosa melalui beberapa
mekanisme yaitu efek iritasi lokalnya terhadap sel epitel, merusak fungsi tahanan mukosa, menekan
pembentukan prostaglandin, dan menurunkan aliran darah pada mukosa (Wallace JL, 2000).
Helicobacter pylori merupakan bakteri yang dapat mengakibatkan ulkus peptik dan bakteri pertama
secara formal yang dikenal dapat mengakibatkan karsinogenik (Kuster dkk, 2006). Faktor virulensi
yang dihasilkan bakteri ini meliputi urease, catalase, cytotoxin, dan lipopolisakarida. Urease
mengakibatkan H pylori mampu hidup pada lingkungan asam. Urease dapat merubah urea menjadi
amonium dan karbon dioksida yang berdampak terbentuknya alkalinasi pada lingkungannya. Infeksi
kronik H pylori mengakibatkan inflamasi yang terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan ulkus
peptik dan meningkatkan keparahannya. Selain itu, keberadaan bakteri ini dapat meningkatkan
konsentrasi pepsin, gastrin, menghambat sekresi bikarbonat dan menurunkan konsentrasi
somatostatin (Anand, 2018; Kuster dkk, 2006).

3. Diagnosis

Ulkus peptik ditegakkan melalui pemeriksaan endoskopik dan radiologi. Bila ulkus peptik
terkonfirmasi maka pengujian bakteri H pylori, pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan fungsi
liver, Pada pemeriksaan hematologi dapat dapat membantu mendeteksi anemia dan kehilangan
darah yang terjadi. Pengujian H pylori menggunakan Carbon 13- Urea Breath, antigen pada
feses, atau uji laboratorium serologi pada wilayah masing-masing yang telah divalidasi (NICE,
2014; Anand, 2018). Berdasarkan panduan American College of Gastroenterology (2017) pasien-
pasien pada kondisi dibawah ini direkomendasikan untuk dilakukan pengujian H pylori

a. Seluruh pasien dengan sejarah Ulkus peptik, kecuali telah terdokumentasi sembuh.
b. Pasien dengan dispepsia yang akan menjalani endoskopi.
c. Pasien pada pemakaian jangka panjang aspirin.
d. Pasien yang menggunakan NSAIDs jangka lama
e. Pasien dengan anemia yang tidak jelas penyebabnya.
f. Orang dewasa dengan trombositopenik pupura idiopatik (Chey dkk, 2017).

4. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik yang umumnya terjadi pada penderita ulkus peptik adalah sebagai berikut.

a. Dispepsia (intoleransi terhadap makanan berlemak, distensi, kembung dan bersendawa.


b. Panas pada ulu hati.
c. Ketidaknyamanan pada dada.
d. Muntah darah atau melena.
e. Anemia.

Tanda Alarm pada penderita ulkus peptik yaitu sebagai berikut.

a. Pendarahan atau anemia.


b. Mudah kenyang
c. Kehilangan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya

2
d. Dysphagia atau sulit untuk menelan
e. Muntah
f. Sejarah keluarga dengan kanker pencernaan (Chey, 2007; Anand, 2018)

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ulkus peptik dibagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan non farmakologi dan
penatalaksanaan farmakologi. Penatalaksanaan yang dilakukan berdasarkan pada etiologinya
(Helicobacter pylori infections dan atau NSAIDs). Tujuan pengobatan ulkus peptik menghilangkan
nyeri ulkus, menyembuhkan ulkus, mencegah terjadinya kembali ulkus dan mencegah komplikasi.

a. Non-Farmakologi

Penatalaksanaan terapi non-farmakologi untuk penderita ulkus peptik yaitu menurunkan tingkat
stres, menghentikan merokok, menghentikan penggunaan alkohol, dan menghindari makanan
yang dapat mengakibatkan dispepsia atau mengakibatkan timbulnya gejala ulkus. Selain itu, bila
ulkus yang terjadi diakibatkan penggunaan NSAIDs, maka direkomendasikan untuk
menghentikan penggunaan NSAIDs.

b. Farmakologi

Ulkus peptik yang diakibatkan H pilori

Tabel 1. Penatalaksanaan ulkus peptik yang diakibatkan H. pylori

Panduan
No Penatalaksanaan
ACG (2017) NICE (2014)

PPI (dosis standar, sehari dua kali) + Amoxicillin


PPI (dosis standar) + Amoxicillin (1 g) +
(1 g sehari dua kali) + Chlarytromycin (500 mg
Chlarytromycin (500 mg) atau Metronidazole
sehari dua kali) atau Metronidazole (500 mg sehari
1 Lini petama (500 mg) selama 7 hari sehari dua kali (Tanpa
3-4 kali) selama 14 hari sehari dua kali (Tanpa
sejarah eksposure terhadap golongan makrolida
sejarah eksposure terhadap golongan makrolida
sebelumnya dan metronidazole)
sebelumnya)

Alergi terhadap PPI (dosis standar, sehari 2 kali) + Bismuth PPI (standard dose) + chlarythromycin (500
penisilin dan subsalisilat (300mg sehari 4 kali)+ Tetrasiklin mg)
2 sejarah eksposure (500 mg sehari 4 kali) + Nitroimidazole (500 mg + Metronidazole (500 mg) sehari dua kali selama 7
terhadap makrolida sehari 2-3 kali) selama 10-14 hari hari ATAU PPI+ Bismuth+ metronidazole +
sebelumnya Tetrasiklin sehari dua kali selama 7 hari

3
PPI (dosis standar, sehari 2 kali) + Bismuth subsalisilat (300mg PPI (dosis standar) + Amoxicillin (1 g) +
sehari 4 kali)+ Tetrasiklin (500 mg sehari 4 kali) + Nitroimidazole (500 Chlarytromycin (500 mg) ATAU Metronidazole
mg sehari 2-3 kali) selama 14 hari ATAU PPI (dosis standar)+ (500 mg) selama 7 hari sehari dua kali (Bila
Levofloxacin (500mg sehari 1 kali)+ Amoxicillin (1 Kegagalan terhadap sebelumnya tidak digunakan sebagai lini
gram sehari 2 kali) selama 14 hari ATAU PPI (dosis pertama) ATAU PPI + Amoxiciliin +
Quinolone atau tetrasiklin selama 7 hari sehari 2
lini pertama standar sehari 2 kali) + chlarythromycin (500 mg kali ATAU PPI + Metronidazole +
sehari 2 kali)+ Amoxicillin (1 gram sehari dua kali) + Levofloxacin (Bila Alergi terhadap penisilin)
Nitroimidazole (500 mg sehari 2-3 kali) selama selama 7 hari sehari dua kali ATAU PPI +
10- Bismuth + Metronidazole + Tetrasiklin ( Bila
14 hari ATAU PPI (dosis standar atau dosis ganda Alergi terhadap penisilin dan sejarah eksposur
sehari 3-4 kali) + Amoxicillin (1gram sehari tiga sebelumnya terhadap quinolone)
kali
atau 750 mg sehari 4 kali)

Keterangan : ACG – American College of Gastroenterology, NICE – National Institute for Health
and Care Excellence, PPI – Proton Pump Inhibitor.

Ulkus peptik yang diakibatkan NSAIDs

Berdasarkan panduan yang NICE (2014) tentang penatalaksanaan ulkus peptik yang diakibatkan
penggunaan NSAIDs berbeda dengan penatalaksanaan yang diakibatkan H. pylori. Pasien yang
telah didiagnosa ulkus peptik akibat penggunaan NSAIDs, maka :

a. Menghentikan penggunaan NSAIDs (bila memungkinkan).


b. Berikan PPI atau H2- Receptor Antagonist (H2RA) selama 8 minggu
c. Lakukan endoskopi pada minggu ke 6 atau 8 setelah pengobatan awal.
d. Berikan PPI atau H2RA selama 4-8 minggu pada pasien ulkus peptik yang negatif H pylori
dan tidak menggunakan NSAIDs
e. Bila pasien tidak dapat menghentikan penggunaan NSAIDs atau melanjutkan
penggunaannya maka setelah ulkus peptik sembuh, maka pertimbangkan manfaat dan
resikonya (lakukan telaah kembali setiap 6 bulan). Pertimbangkan penurunan dosis,
penggantian dengan paracetamol atau menggunakan alternatif NSAIDs yaitu ibuprofen.
f. Pada pasien resiko tinggi terjadi ulkus dan harus melanjutkan penggunaan NSAIDs,
pertimbangkan penggunaan COX-2 selective atau penggunaan NSAIDs yang dibarengi
dengan PPI.
g. Bila gejala kembali kambuh pertimbangkan penggunaan PPI pada dosis awal yang rendah
dan pertimbangkan penggunaan bila perlu untuk mengendalikan gejala yang timbul.

Farmasis memiliki fungsi vital dalam setiap pengobatan pasien termasuk ulkus peptik. Farmasis
berperan dalam memastikan obat yang digunakan aman, efektif dan farmakoekonomik
(terjangkau oleh masyarakat). Untuk mencapai tujuan tersebut maka seorang farmasis harus

4
melakukan visite, pemantauan terapi obat, monitoring efek samping dan penelaahan Drugs
Related Problems.

Daftar Pustaka

Anand BS. Peptic Ulcer Disease. 2018. Tersedia di


https://emedicine.medscape.com/article/181753-overview#a7. Diakses pada tanggal 1 Februari
2018.

Brooks FP. The pathophysiology of peptic ulcer disease. Dig Dis Sci. 1985; 30(11):15S-29S.

Chey WD and Wong BC. American College of Gastroenterology guideline on the management of
Helicobacter pylori infection. Am J Gastroenterol. 2007; 102(8):1808-25.

Chey WD; Leontiadis GI; Howden CW; Moss SF. ACG Clinical Guideline: Treatment of
Helicobacter pylori infection. Am J Gastroenterol. 2017; 112(2):212-239

Kusters JG, van Vliet AH, Kuipers EJ. Pathogenesis of Helicobacter pylori infection. Clin Microbiol
Rev. 2006;19(3):449-90.

National Institute for Health and Care Excellence. Gastro-oesophageal reflflux disease and
dyspepsia in adults: investigation and management. 2014. Tersedia di
nice.org.uk/guidance/cg184. Diakses tanggal 31 januari 2014.
Sostres C, Gargallo CJ, Lanas A. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs and upper and lower
gastrointestinal mucosal damage. Arthritis Res Ther. 2013;15 Suppl 3(Suppl 3):S3.

Wallace JL. How do NSAIDs cause ulcer disease. Baillieres Best Pract Res Clin Gastroenterol.
2000 Feb;14(1):147-59.

World Health Organization. Global Health Estimates 2016: Deaths by Cause, Age, Sex, by Country
and by Region, 2000-2016. Geneva. Tersedia di
https://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/estimates/en/. Diakses pada tanggal 1
Februari 2019.

5
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE

KONSEP KLINIS

 Dilakukan penyelidikan pada gejala seperti heart burn, regurgitasi serta tanda dan gejala
tejadinya komplikasi (dysphagia) yang memerlukan pertolongan medis segera.
 Evaluasi pasien terduga gastroesophageal reflux disease (GERD) melalui endoskopi,
manometri dan monitoring ambulatory 24 jam.
 Tujuan terapi GERD adalah untuk menghilangkan gejala atau mengendalikan gejala,
menyembuhkan esophagitis, mencegah terjadinya kembali esophagitis dan gejala
komplikasi lainnya.
 Terapi GERD terdiri menjadi dua pendekatan yaitu non farmakologi dan farmakologi.
Non Farmakologi meliputi perubahan gaya hidup dan intervensi (pembedahan
antirefluks). Sedangkan farmakologi menggunakan obat-obatan seperti antasid,
penghambat reseptor H-2, penghambat pompa proton dan prokinetik.
 Pasien dengan gejala tipikal GERD dilakukan penatalaksanaan melalui perubahan
modifikasi gaya hidup dan terapi obat penekan asam lambung. Pasien yang tidak
memberikan respon terhadap penatalaksanaan tersebut atau adanya tanda dan gejala
alarm dianjurkan melakukan endoskopi.
 Obat penekan asam lambung masih menjadi terapi utama pada GERD. Penghambat
reseptor H-2 digunakan untuk GERD pada level ringan sampai moderat. Sedangkan
Penghambat pompa proton digunakan unttuk GERD pada level moderate sampai parah.
Penghambat pompa proton ini memiliki kekuatan yang sangat kuat dalam menekan
asam lambung serta kecepatan penyembuhan dan menghilangkan gejala GERD.
 Banyak pasien mengalami kekambuhan saat pengobatan dihentikan. Oleh karena itu,
pengobatan jangka panjang diperlukan.
 Profil pengobatan pasien harus direview untuk mengetahui kemungkinan obat yang
dapat memicu GERD. Pasien juga perlu dilakukan monitoring untuk efek samping
pengobatan dan potensi interaksi obat.

1. Epidemiologi

GERD terjadi pada semua orang dengan semua umur, akan tetapi sering terjadi pada orang
dengan usia lebih dari 40 tahun. Meskipun kematian yang dihubungkan oleh GERD jatang
terjadi, akan tetapi GERD terbukti dapat menurunkan kulaitas hidup seseorang (Dipiro dkk,
2008). Data epidemiologi penderita GERD di Asia Tenggara sekitar 6,3%-18,3% lebih tinggi
dibanding Asia Timur dan Prevalensi pasien GERD dengan baret Esophagitis sekitar 0,06%-0,84%
(Jung, 2011). Penyakit GERD ini diproyeksikan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan
terjadinya perubahan gaya hidup yang mengikuti barat, tidak terkecuali Indonesia.

6
2. Etiologi

Gerakan yang terlalu berlebihan dari sekresi asam lambung dan cairan empedu yang berasal dari
lambung dan usus (duodenum) ke esophagus adalah etiologi dari GERD (Patti dkk, 2016).

Abnormalitas dari fungsi lower esophageal sphyncte (LES) (frequent transient LES relaxation and
hypotensive LES) adalah penyebab utama dari GERD. Transient relaxation dari LES bisa
diakibatkan banyak faktor seperti makanan (kopi, makanan pedas, coklat, makanan berlemak),
obat-obatan (NSAIDs, beta agonist, nitrat, penghambat kanal kalsium, antikolinergika,
progesteron), dan nikotin (Patti dkk, 2016; Tutuian, 2010).

3. Patofisiologi

Esophagus, Lower Esophageal Sphincter (LES) dan lambung merupakan salah satu bagian
kesatuan dari sistem pencernaan (Stein dan DeMeester, 1992). Esophagus bisa dianggap sebagai
pipa, LES sebagai katup dan lambung sebagai reservoir. GERD bisa berasal akibat abnormalitas
ketiga bagian komponen tersebut atau kombinasinya. Berkurangnya daya peristaltik dari
esophagus dapat mengakibatkan kurangnya bersihan esophagus dari zat asam. Disfungsi LES
mengakibatkan berlebihnya jumlah jus asam lambung yang refluks ke esophagus. Diperlamanya
waktu pengosongan lambung mengakibatkan volume dan tekanan lambung meningkat yang
mengakibatkan kerusakan pada LES (Stein dan DeMeester, 1992; Kahrillas dkk, 1998; Buttar dan
Falk, 2001).

Selain ketiga faktor diatas, Hianatal hernia dan obesitas juga dianggap menjadi faktor
predisposisi GERD. Hianatal hernia dianggap sebagai faktor pencetus GERD dikarenakan GERD
sering ditemui pada pasien yang menderita Hernia. Akan tetapi tidak semua pasien hernia
memiliki gejala refluks. Sedangkan untuk obesitas, beberapa studi menyatakan adanya
prevalensi yang tinggi antara orang obesitas dengan GERD (Buttar dan Falk, 2001; Hampell dkk,
2005; Herbella dkk, 2007; Merrouche dkk, 2010).

4. Manifestasi Klinik

Tanda dan gejala pada GERD terbagi menjadi dua yaitu tipikal, atipikal dan alarm.

Tipikal sering terjadi tanda dan gejala seperti heartburn (rasa terbakar di dada/ rasa panas di
dada), regurgitasi dan hipersalivasi (air liur yang berlebihan).

Atipikal sering terjadi tanda dan gejala seperti batuk, wheezing, hoarseness, sakit tenggorokan,
Otitis media, sakit dada yang tidak dihubungkan dengan penyakit kardiovaskular, dan erosi
enamel pada gigi.

Sedangkan pada alarm sering terjadi tanda dan gejala seperti sakit pada esophageal yang terus
menerus, dysphagia (sulit atau ketidaknyamanan saat menelan), odynophagia (sakit saat
menelan), dan kehilangan berat badan tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya (Dipiro dkk, 2008;
Patti dkk, 2017).

7
5. Diagnosis

Endoskopi, manometri dan pemeriksaan 24 jam pH merupakan cara yang rutin digunakan. Studi
pengosongan lambung menggunakan nuclear medicine digunakan bila benar-benar
diindikasikan. Selain itu, untuk saat ini CT scan, MRI dan USG belum digunakan secara rutin
dalam evaluasi pasien GERD (Patti dkk, 2017).

Endoskopi digunakan untuk melakukan pemeriksaan mukosa untuk esophagitis, barret’s


esophagus dan mendiagnosa komplikasi lainnya (De Vault dan Castell, 2005). Pemeriksaan 24
jam pH digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan kelebihan eksposur asam lambung
pada esophageal serta dapat membantu memastikan gejala tipikal dan atipikal yang terjadi
berhubungan dengan kelebihan dari asam lambung (Postma, 2000). Menariknya, pasien
mungkin dapat mengalami gejala yang sangat parah tetapi hasil pemeriksaan 24 jam pH
menunjukkan keasaman yang normal (Postma,2000) 12. Sedangkan pada manometri berguna
menentukan tempat yang tepat untuk menyelidiki pH esophageal, dan untuk melakukan
evaluasi gerakan peristaltik dan motilitas sebagai rujukan dalam pembedahan (Dipiro dkk, 2008;
Patti dkk, 2017; Postma, 2000).

Penggunaan imaging dalam evaluasi GERD berguna dalam menentukan anatomi dasar, status
pulmonal dan adanya hiatal hernia (Dipiro dkk, 2008; Patti dkk, 2017).

6. Tujuan Terapi

Tujuan dalam penatalaksanaan GERD adalah sebagai berikut.

1. Mengurangi atau menghilangkan gejala.


2. Mengurangi durasi terjadinya GERD
3. Mengurangi terjadinya kembali GERD
4. Meningkatkan kecepatan penyembuhan dari mukosa.
5. Mencegah terjadinya atau berkembangnya komplikasi (Dipiro dkk, 2008; Patti dkk, 2017).

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan terapi pada GERD meliputi dua yaitu penalataksanaan secara non farmakologi
meliputi perubahan gaya hidup, pembedahan, metode intervensi lainnya dan secara
farmakologi menggunakan obat-obatan penekan sekresi asam lambung meliputi antasida,
penghambat reseptor H-2, penghambat pompa proton dan obat prokinetik yaitu metoklopramid
dan domperidon (Gianni dkk, 2008; Katz, 2007; Fast dan Sifrim, 2009).

Non Farmakologi

8
Penatalaksanaan secara non farmakologi yaitu melalui modifikasi gaya hidup meliputi sebagai
berikut.

a. Menurunkan berat badan (bila overweight)


b. Menghindari konsumsi alkohol, cokelat, jus jeruk, dan produk-[roduk yang berasal dari
tomat.
c. Menghindari produk yang mengandung peppermint, kopi dan kelompok bawang-
bawangan.
d. Direkomendasikan makan dengan porsi sedikit tetapi sering dibanding makan dengan
porsi besar
e. Menunggu 3 jam setelah makan sebelum melakukan rebahan (tidur-tiduran).
f. Menahan diri atau menghindari melakukan aktivitas makan dalam 3 jam saat mau
istirahat tidur.
g. Meningkatkan kepala setinggi 8 inch.
h. Hindari posisi membungkuk (Dipiro dkk, 2008; Patti dkk, 2017; De Vault dan Cestell, 2005).

Farmakologi

Penatalaksanaan secara farmakologi yaitu meliputi penggunaan obat-obatan seperti antasida,


penghambat reseptor H-2, penghambat pompa proton dan obat prokinetik. Penatalaksanaan secara
farmakologi diharuskan dikombinasikan dengan penatalaksanaan secara non farmakologi.

Penatalaksanaan Heartburn intermittent dan ringan

Penatalaksanaan pada kondisi ini meliputi kombinasi modifikasi gaya hidup dengan antasida
(bila diperlukan atau sebelum tidur) dan atau penghambat reseptor H2 (ranitidine, famotidine,
cimetidine digunakan sehari dua kali) atau menggunakan penghambat pompa proton
(omeprazole satu kali sehari). Penggunaan obat-obatan tersebut atau kombinasinya digunakan
selama 2 minggu1. Hati-hati dalam penggunaan jangka panjang cimetidine pada laki-laki dapat
mengakibatkan gynaecomastia (Spence dan Celestin, 2017 16.

Penatalaksanaan untuk meredakan gejala GERD

Penatalaksanaan pada kondisi ini meliputi kombinasi modifikasi gaya hidup dan penghambat
reseptor H-2 (cimetidine, ranitidine, famotidine sehari dua kali selama 6-12 minggu) atau
menggunakan penghambat pompa proton (omeprazole, lansoprazole, pantoprazole,
esomperazole dan rabeprazole sehari satu kali selama 4-8 minggu).

Untuk GERD yang ringan penggunaan penghambat reseptor H-2 efektif dalam mengurangi atau
menghilangkan gejala GERD, sedangkan untuk GERD yang moderat sampai parah
direkomendasikan penggunaan penghambat pompa proton dibanding penghambat reseptor H-2
(Dipiro, 2008; Patti dkk, 2017). Penelitian Agency for Healthcare Research and Quality
memberikan kesimpulan bahwa penghambat pompa proton superior dibanding penghambat
reseptor H-2 untuk meredakan gejala GERD selama 4 minggu dan menyembuhkan esophagitis
selama 8 minggu (Agency for Healthcare Research and Quality , 2017).

9
Penatalaksanaan penyembuhan erosive esophagitis

Penatalaksanaan pada kondisi ini meliputi kombinasi penatalaksanaan modifikasi gaya hidup
dan penggunaan penghambat pompa proton (esomperazole, omeprazole, lansoprazole,
pantoprazole, rabeprazole sehari dua kali selama 4-16 minggu) atau dosis tinggi penghambat
reseptor H-2 (ranitidine 150 mg sehari empat kali, cimetidine 400 mg sehari empat kali,
famotidine 40 mg sehari dua kali) (Dipiro dkk, 2008).

Penggunaan jangka panjang penghambat pompa proton dapat mengakibatkan hipokalsemia dan
hipomagnesemia dan dapat mengakibatkan seizure. Pemantauan secara dekat elektrolit dan
efek samping dari PPI harus dilakukan (Yedy P Sukmawan, 2017).

Evaluasi Hasil Terapi

Evaluasi kesuksesan hasil terapi GERD dapat ditentukan dengan 3 hal sebagai berikut.

1. Berkurang atau menghilangnya gejala GERD


2. Kesembuhan mukosa
3. Mencegah atau tidak terjadinya komplikasi (Dipiro dkk, 2008; Patti dkk, 2017).

Daftar Pustaka

Agency for Healthcare Research and Quality. Comparative of effectiveness of management


strategies for Gastroesophageal Reflux Disease- Executive Summary. AHRQ pub no. 06-
EHC003-1. Available at http://effectivehealthcare.ahrq.gov/healthInfo.cfm?
infotype=rr&ProcessID=1&DocID=42. (Accessed on 2017, 10 jan ).

Buttar NS dan Falk GW., Pathogenesis of Gastroesophageal Reflux and Barrett Esophagus.
Mayo Clin Proc. 2001 Feb. 76(2):226-34.

DeVault KR dan Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and treatment of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol 2005;100:190–200.

Dipiro J.T.; Talbert R.L.; Yee G.C.; Matzke G.R.; Wells B.G.; Posey L.M. Pharmacotherapy “ A
Patophysiologic Approach”. Mc Graw Hill: New York.2008.

Fass R dan Sifrim D., Management of heartburn not responding to proton pump inhibitor. Gut.
2009 Feb. 58(2):295-309.

Giannini EG, Zentilin P, Dulbecco P, Vigneri S, Scarlata P, Savarino V., Management Strategy
for Patient with Gastroesophageal Reflux Disease : a Comparison between empirical
treatment with esomeprazole and endoscopy oriented treatment. AM J Gastroenterol. 2008
Feb. 103(2):267-75.

Hampel H, Abraham NS, El Serag HB., Meta Analysis : obesity and the risk for
gastroesophageal reflux disease and it’s complications. Ann Intern Med. 2005 Aug 2.
143(3):199-211.

10
Herbella FA, Sweet MP, Tedesco P, Nipomnick I, Patti MG., Gastroesophageal reflux disease
and obesity. Patophysiology and implication for treatment. J Gastrointest Surg. 2007
Mar.11(3):286-90.

Jung HK. Epidemiology of Gastroesophageal Reflux Disease in Asia: A Systematic Review. J


Neurogastroenterol Motil. 2011 Jan; 17(1): 14–27.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3042214/ (Accessed on 2017, 9 january).

Kahrilas PJ, Dodds WJ, Hogan WJ, Kern M, Arndorfer RC, Reece A., Esophageal perystaltic
dysfunction in peptic esophagitis. Gastroenterology. 1998 Oct. 91(4): 897-904.

Katz PO., Medical Therapy for Gastroesophageal Reflux Disease in 2007. Rev Gastroenterol
Disord. 2007 Fall. 7(4):193-203.

Merrouche M, Sabate JM, Jouet P, Harnois F, Scaringi S, Coffin B et al., Gastroesophageal


reflux and esophageal motility disorder in morbidly obese patient before and after bariatric
surgery. Obes Surg. 2007 Jul. 17(7):894-900.

Patti MG, Katz J, Fisichella PM. Gastroesophageal Reflux Disease. 2016.


http://emedicine.medscape.com/article/176595-overview#a3 (Accessed on 2017, 9 january).

Postma GN. Ambulatory pH monitoring methodology. Ann Otol Rhinol Laryngol Suppl
2000;184:10–14.

Spence RW dan Celestin LR., Gynaecomastia associated with cimetidine. Gut. 1979 Feb;
20(2): 154–157. Tersedia di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1419438/.
Diakses pada tanggal 10 januari 2017.

Stein HJ dan DeMeester TR. Outpatient physiologic testing and surgical management foregut
motility disorder. Curr Prob Surg.1992 Jul. 29(7):413-555.6.

Tutuian R., Adverse Effect on Drugs on The Esophagus. Best Prac Res Clin Gastroenterol.
2010 ;24(2):91-7.

Yedy P Sukmawan. Proton pump inhibitor and seizure issue : A Review. 2017. Prosiding
International Seminar of Health Research. Hotel Santika. STIKEs Bakti Tunas Husada.

11
DIARE

KONSEP KLINIS

 Diare merupakan masalah global yang mengakibatkan tingginya angka mortalitas dan
morbiditas pada anak
 Sanitasi dan air minum menjadi faktor penting tingginya angka kejadian diare
 Virus, bakteri dan parasit berperan dalam terjadinya diare pada anak
 Dehidrasi merupakan masalah utama
 Oral rehydration therapy menjadi terapi utama dalam penatalaksanaan diare
 Pemberian antibiotika direkomendasikan bila bakteri menjadi etiologinya
 Monitoring efektifitas dan keamanan oleh farmasis wajib dilakukan
 Kondisi klinik, frekuensi, konsistensi feses dan elektrolit adalah beberapa parameter
yang harus diperhatikan.

1. Epidemiologi

Diare menjadi suatu masalah global yang mengakibatkan kematian 2.195 anak setiap hari dan
melebihi total kematian kombinasi AIDS, malarian serta measles. (Liu dkk, 2012). Penderita diare
di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 6.897.463 penderita. (Kemenkes RI, 2017). Tingginya
angka kejadian diare di Indonesia diakibatkan oleh kondisi sanitasi dan air minum yang belum
baik (Komarulzaman dkk, 2017).

2. Patofisiologi

Absorpsi dan sekresi air dan elektrolit dalam sistem pencernaan merupakan proses yang dinamis
dan seimbang. Bila terjadi gangguan pada proses ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan
yang menghasilkan diare (usia 0-12 tahun > 10 ml/ kg/hari dan usia> 12 tahun >200 gram/hari)
(Whyte and Jenkins, 2012; Guandalini, 2018).

Diare dibagi menjadi dua yaitu diare osmotik dan diare sekretori. Diare osmotik terjadi senyawa/
partikel aktif berada di Iumen yang menghasilkan banyak pergerakan cairan secara pasif menuju
lumen usus. Diare sekretori terjadi ketika mukosa usus mensekresikan jumlah cairan yang
berlebih kedalam lumen usus yang diakibatkan oleh toksin atau abnormalitas pergerakan usus
(Whyte and Jenkins, 2018).

Virus, bakteri dan parasit merupakan penyebab terjadinya diare. Virus penyebab diare meliputi
rotavirus, norovirus, dan adenovirus. Bakteri penyebab diare meliputi shigella, salmonella,
campylobacter, aeromonas, V. cholera dan C. difficile. Sedangkan parasit penyebab diare
meliputi giardia, E histolytica, dan cryptosporidium (Walker dkk, 2010).

12
3. Manifestasi klinik

Diare berdampak pada peningkatan frekuensi defekasi dan penurunan konsistensi. Mengenal
manifestasi klinik seperti konsistensi, warna, volume dan frekuensi pada penderita diare dapat
digunakan untuk mengetahui sumber penyebab diare (berasal dari usus besar atau usus kecil).
Flatulensi yang dihubungkan dengan bau yang khas dari feses diduga diakibatkan infeksi Giardia
Lamblia.

Tabel 1. Karakteristik pasien dan Penentu Penyebab (Guandalini, 2018)

Karakteristik
Feses Usus Kecil Organisme Penyebab Usus Besar Organisme Penyebab
Tampilan Berair Mukoid/berdarah
Volume Besar Kecil
Bakteri : E.coli, Shigella spp,
Viral : Rotavirus, Adenovirus, Sangat
Salmonella spp,
Frekuensi Meningkat Calicivirus, Astrovirus, Meningkat
Campylobacter spp,
Norovirus; Bakteri : E. Coli,
Mungkin klebsiella, Clostridiium Umumnya Yersinia spp,Aeromonas
Darah Positif perfringens, Cholera spp, Banyak spp, Plesiomonas spp,
pH <5.5 Vibrio spp; Parasites : Giardia, >5.5 Clostridium difficile;
Parasites :Entamoeba
Cryptosporidium
Sel Darah Putih <5 Umumnya >10 Organism
Serum Sel Darah Dapat Terjadi
Putih Normal Leukositosis

4. Diagnosis

Pemeriksaan laboratorium pada feses pasien meliputi :

a. Pemeriksaan ova dan parasit


b. Hitung Jumlah Leukosit
c. pH level : pH level< 5.5 atau ditemukannya reducing substances mengindikasikan
intoleransi terhadap karbohidrat yang umumnya virus adalah penyebab sekundernya.
d. Pemeriksaan eksudat untuk keberadaan leukosit
e. Kultur bakteri
f. Enzyme Immunoassay untuk rotavirus dan adenovirus antigen
g. Serum albumin level : Salmonella spp dan E.coli
h. Anion gap untuk menentukan jenis diare (osmolar atau sekretori)
i. Intestinal biopsy (diare kronik) untuk mengetahui penyebabnya (C/ AIDS atau Neoplasma)

13
5. Penatalaksanaan

CDC, IDSA, ESPGHAN dan WHO merekomendasikan Oral rehydration therapy menjadi terapi
utama pada penderita diare ringan dan moderat. Terapi rehidrasi IV diberikan untuk pasien
diare parah. Penentuan klasifikasi diare adalah hal utama sebagai penentu penatalaksanaan
yang akan diberikan.

ESPGHAN menentukan klasifikasi diare berdasarkan pada CDS score sebagai berikut.

Tabel 2. CDS Score

Karakteristik 0 1 2
Keadaan Haus, lemah tetapi lemah, megantuk, dingin,
umum Normal merespon ketika disentuh berkeringat,koma
Mata Normal Sedikit sunken Sunken
Membran
Mukosa Lembab Lengket Kering
Terdapat Air
Air Mata Mata Air mata menurun Tidak terdapat air mata

Klasifikasi diatas dibagi menjadi yaitu : tidak terdapat dehidrasi (skor = 0), sedikit dehidrasi (skor
= 1-4), dehidrasi moderat/parah (skor= 5-8). Pada klasifikasi CDC menyertakan kehilangan berat
badan (<3% minimal/tidak terdapat dehidrasi; 3-9% dehidrasi ringan-moderat; >9% dehidrasi
parah).

Penatalaksanaan pada penderita diare didasarkan pada klasifikasi diare.

Tabel 3. Rehidrasi Terapi (King dkk, 2003; Shane dkk, 2017)

IDSA, 2017 CDC, 2003


Panduan Dehidrasi Ringan- Dehidrasi Ringan-
Moderat Dehidrasi Parah Moderat Dehidrasi Parah

Infants dan Anak- 10 mL/kg BB Pemberian RL atau


anak : Oral sampai pulse, Normal Saline
rehydration perfusi dan mental Oral rehydration sebnayak 20 mL/kg
Terapi therapy 50-100
therapy 50-100 status kembali BB sampai pulse,
Rehidrasi mL/ Kg BB selama
mL/ Kg BB selama normal; Remaja perfusi dan mental
3-4 jam
3-4 jam; Remaja dan Dewasa : Bolus status kembali
dan Dewasa : Oral IV larutan kristaloid normal, kemudian

14
rehydration 10 mL/kg BB dilanjutkan
therapy 2-4 L sampai pulse, pemberian ORS 100
perfusi dan mental ml/kg BB selama 4
status kembali jam
normal
Infants dan Anak-
anak :< 10 kg BB,
Infants dan Anak-
60-120 mL ORS
anak :< 10 kg BB, 60-
Infants dan Anak- setiap diare atau
120 mL ORS setiap
anak :< 10 kg BB, muntah sampai
60-120 mL ORS 500 mL/hari, > 10 Infants dan Anak- diare atau muntah
setiap diare atau kg BB 120-24 mL anak :< 10 kg BB, sampai 500 mL/hari,
> 10 kg BB 120-24 mL
muntah sampai ORS setiap diare 60-120 mL ORS ORS setiap diare atau
500 mL/hari, > 10 atau muntah setiap diare atau muntah sampai 1
Pemeliharaan kg BB 120-140 mL sampai 1 L/hari; muntah sampai L/hari; Remaja dan
ORS setiap diare Remaja dan 500 mL/hari, > 10 Dewasa : Ad Libitum
atau muntah Dewasa : Ad kg BB 120-140 mL sampai 2 L/hari; Bila
sampai 1 L/hari; Libitum sampai 2 ORS setiap diare tidak bisa melalui
Remaja dan L/hari; Bila tidak atau muntah oral maka diberikan
Dewasa : Ad bisa melalui oral sampai 1 L/hari; melalui intravena
Libitum sampai 2 maka diberikan
(5% dekstrosa, 0,25
L/hari melalui intravena
normal saline dengan
(5% dekstrosa, 0,25
20mEq KCl)
normal saline
dengan 20mEq KCl)

Pengobatan empirik menggunakan antibiotika direkomendasikan pada kondisi sebagai berikut.

a. Infants dengan umur < 3 bulan yang diduga bakteri sebagai etiologinya.
b. Pasien imunokompeten yang terdokumentasi menderita demam pada layanan
kesehatan, sakit abdominal, terdapat darah pada feses, dan diduga akibat Shigella spp.
c. Pasien yang baru saja melaksanakan perjalanan dan menderita demam ≥38.5 OC
dan/atau terdapat tanda tanda sepsis (Lemah).

Terapi empirik untuk infants < 3 bulan menggunakan sefalosporin generasi ke 3 atau azitromisin,
bergantung pada pola lokal bakteri atau daerah perjalanan yang dikunjungi sebelumnya. Setelah
hasil kultur bakteri diketahui maka switching terhadap antibakteri yang lebih sempit
direkomendasikan seperti yang tertera pada tabel 3 (Shane dkk, 2017).

15
Tabel 4. Rekomendasi Antibiotika Berdasarkan Patogen

IDSA (2017) ESPGHAN (2014)


Patogen
Lini Pertama Alternatif Lini Pertama Alternatif
Azitromisin,
Shigella seftriakson Ampisilin, TMP-SMX Azitromisin Sefiksim, TMP-SMX
Salmonella Azitromisin, TMP/SMX, Azitromisin, TMP-
(Tifoid) Seftriakson Ampisilin Seftriakson SMX
Campylobacter Azitromisin Siprofloksasin Azitromisin Doksisiklin
E.Coli Tidak disebutkan Tidak disebutkan Azitromisin Sefiksim, TMP-SMX
Doksisiklin, TMP-
V.Cholera Doksisiklin Azitromisin, seftriakson Azitromisin SMX
C.Difficile Vancomycin Fidaksomisin Metronidazole Vancomycin

Keterangan : IDSA (Infectious Disease Society of America); ESPGHAN (European Society of


Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition)

Antibiotika golongan beta laktam, makrolida, glikopeptida, florokuinolon, doksisiklin, TMP-SMX


dan metronidazole menjadi pilihan dalam. Azitromisin, sefiksim, dan seftriakson digunakan
sebagai antibiotika empirik. Azitromisin termasuk pada golongan makrolida dengan mekanisme
kerja menghambat sintesa protein melalui ikatan revesibel terhadap domain V dari 23 S
ribosomal RNA yang merupakan bagian dari 50 S subunit ribosom (Zuckerman dkk,2011).
Sedangkan sefiksim dan seftriakson termasuk pada golongan beta laktam dengan mekanisme
kerja menghambat pembentukan dinding sel bakteri melalui hambatan pada penicilline binding
protein yang merupakan enzim yang terlibat dalam tahap akhir cross linking peptidoglikan pada
bakteri gram positif dan negatif dikarenakan struktur yang menyerupai D-Ala-D-Ala dipeptida
(Bush dan Bradford, 2016). Penggunaan siprofloksasin sebagai golongan florokuionolon pada
anak-anak masih menjadi perdebatan. Penggunaan florokuinolon < 18 tahun di Amerika (FDA
Licensed) hanya diperbolehkan pada penderita infeksi saluran kemih dengan komplikasi dan
antraks. Sedangkan di Korea tidak pernah disetujui penggunaan florokuinolon sistemik pada usia
<18 tahun diakibatkan efek artropati (muskuloskeletal adverse effect) yang bisa terjadi. Oleh
karena itu, penggunaan florokuinolon hanya diperbolehkan bila antibiotik lain yang lebih aman
dan efektif tidak tersedia (Choi dkk,2013). Vankomisin merupakan antibiotika golongan
glikopeptida yang memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan dinding sel dan
meningkatkan permeabilitas sel melalui ikatan terhadap NAG dan NAM yang akhirnya
menghambat pembentukan ikatan glikosida dan cross linked peptida (Watanakunakorn, 1984).
Sedangkan doksisikliin dan TMP-SMX merupakan bakteriostatika yang memiliki mekanisme kerja
menghambat pembentukan protein dan asam folat (Hitching, 1973; Chopra dan Roberts, 2016).

Farmasis berperan dalam memastikan rasionalitas (tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat
waktu, dan tepat rute) obat yang akan berdampak pada efektifitas, optimalitas dan keamanan.
Efektifitas obat dapat dilihat dari perkembangan pasien seperti keadaan umum, frekuensi buang

16
air besar, konsistensi feses dan perbaikan pada gejala lain yang meyertai. Aspek keamanan
dapat dilihat dari kondisi klinik pasien atau parameter laboratorium, Kondisi kemungkinan obat
berperan dalam efek samping yang dihasilkan dapat dilakukan assesment menggunakan naranjo
scale dan WHO UMC. Selain itu, faktor farmakoekonomi pasien juga sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA

Bush K dan Bradford PA. β-Lactams and β-Lactamase Inhibitors: An Overview. Cold Spring Harb
Perspect Med. 2016 Aug 1;6(8). pii: a025247.

Choi SH, Kim EY, dan Kim YJ. Systemic Use of Fluoroquinolone in Childrens. Korean J Pediatr.
2013; 56(5): 196-201.

*
Christa L. Fischer Walker, David Sack, and Robert E. Black. Etiology of Diarrhea in Older Children,
Adolescents and Adults: A Systematic Review. PLoS Negl Trop Dis. 2010 Aug; 4(8): e768.

Guandalini S, Diarrhea. 2018. Tersedia di https://emedicine.medscape.com/article/928598-


overview. Diakses pada 6 Agustus 2018.

Hitching GH. Mechanism of Action of Trimethoprim- sulfamethoxazole. The Journal of Infectious


Diseases, Volume 128, Issue Supplement_3, 1 November 1973, Pages S433–S436.

Ian Chopra1 and Marilyn Roberts2,*. etracycline Antibiotics: Mode of Action, Applications,
Molecular Biology, and Epidemiology of Bacterial Resistance. Microbiol Mol Biol Rev. 2001 Jun;
65(2): 232–260.

King CK, Glass R, Bresee JS, dan Duggan C. Managing Acute Gastroenteritis Among Children :
Oral Rehydration, Maintenance and Nutritional Therapy. MMWR Recomm Rep. 2003. 52. 1-16.

Komarulzaman A, Smits J, and De Jong E. Clean water, sanitation and diarrhoea in Indonesia:
Effects of household and community factors. An International Journal for Research, Policy and
Practice. Volume 12, 2017 - Issue 9 . Pages 1141-1155.

L.A.Whyte Dan H.R.Jenkins. Pathophysiology Of Diarrhea. Paediatrics And Child Health. Volume
22, Issue 10, October 2012, Pages 443-447.

Liu L, Johnson HL, Cousens S, Perin J, Scott S, Lawn JE, Rudan I, Campbell H, Cibulskis R, Li M,
Mathers C, Black RE; Child Health Epidemiology Reference Group of WHO and UNICEF. Global,
regional, and national causes of child mortality: an updated systematic analysis for 2010 with
time trends since 2000. 2012;379(9832):2151-61.

Shane AL, Mody RK, Crump JA, Tarr PI, Steiner TS, Kotloff K dkk. 2017 Infectious Diseases Society
of America Clinical Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Infectious
Diarrhea. CID. 2017;65(12):e45–e80.

17
Zuckerman JM1, Qamar F, Bono BR. Review of macrolides (azithromycin, clarithromycin),
ketolids (telithromycin) and glycylcyclines (tigecycline). Med Clin North Am. 2001, 95(4),761-791.

18
KONSTIPASI

KONSEP KLINIS

 Konstipasi secara luas didefinisikan sebagai ketidakpuasan defekasi yang dikarakterisasi


sulit defekasi, jarang defekasi atau akibat dua-duanya.
 Kriteria Diagnosis konstipasi berdasarkan kriteria ROM III
 Penatalaksanaan konstipasi menggunakan pendekatan non farmakologi meliputi
penghentian obat-obatan yang dapat mengakibatkan konstipasi, melakukan bowel
training, mengubah cara hidup atau diet dan meningkatkan asupan cairan
 Polyetilen glikol adalah pilihan utama dalam penatalaksanaan farmakologi
 Kombinasi dengan bisakodil bila masih belum efektif.
 Linaclotide dan lubiprotone digunakan bila kombinasi diatas masih belum efektif.

1. Epidemiologi

Prevalensi konstipasi secara global di Seluruh dunia bervariasi mulai dari 8% sampai dengan
32,8%. Sedangkan pada negara-negara Asia prevalensinya mulai dari 8,2% sampai 16,8%
(Tamura dkk, 2016). Di Indonesia prevalensi konstipasi mencapai 12.9% (Wald dkk, 2010).
Konstipasi sering terjadi pada orang lanjut usia, wanita, orang kulit hitam, orang dengan
keadaan sosioekonomik yang lemah, dan pada rural area (Hsieh C, 2005).

2. Patofisiologi

Konstipasi secara luas didefinisikan sebagai ketidakpuasan defekasi yang dikarakterisasi sulit
defekasi, jarang defekasi atau akibat dua-duanya (Andrew and Storr, 2011). Penyebab konstipasi
dibagi menjadi dua yaitu konstipasi primer dan konstipasi sekuder. Konstipasi primer diakibatkan
oleh usus dan anorektal (ketegangan, neoplasma, penyempitan, prolapse rektum), sedangkan
konstipasi sekunder diakibatkan oleh penyakit organik, sistemik atau obat-obatan (penurunan waktu
motilitas, penyalahgunaan obat laksatif, spinal cord injury, multiple sclerosis, Diabetes Mellitus,
parkinson, hipokalemia, hiperkalsemia dan hiperparatiroid) (Andrew and Storr, 2011; Bason MD,
2017). Faktor lain yang berdampak terhadap terjadinya konstipasi adalah kebiasaan makan yang
kurang asupan fiber dan cairan atau terlalu banyak mengkonsumsi kopi dan alkohol

3. Diagnosis

Kriteria Diagnosis konstipasi berdasarkan kriteria ROM III untuk konstipasi fungsional.
Berdasarkan kriteria ini minimal bila terdapat minimal 2 atau lebih dari poin-poin berikut yaitu

a. Ketegangan*;
b. feses yang keras atau kental*;
c. sensasi atau perasaan defekasi yang tidak komplit*;
d. sensasi atau perasaan adanya hambatan pada anorektal;*

19
e. tindakan manual untuk memfasilitasi defekasi;*
f. defekasi kurang dari 3 kali per minggu;*
*Terasa dalam 25% total defekasi
Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya 6 bulan
sebelum diagnosis.

Bila dalam 3-6 bulan penatalaksaan menggunakan obat-obatan terjadi kegagalan, maka
pemeriksaan lanjutan harus dilakukan yaitu.

a. pemeriksaan ulangan rektal dan perineal


b. imaging
c. endoskopi pencernaan bawah,
d. studi waktu transit kolon
e. anorectal manometry
f. surface anal electrmyography
g. kolonoskopi, sygmoidoskopi dan barium enema perlu dipertimbangkan untuk penapisan
kanker kolorektal pada pasien usia lebih dari 50 tahun (Basson MD, 2017).

4. Manifestasi Klinik

Gejala yang dirasakan oleh pasien yang mengalami konstipasi yaitu sebagai berikut.

a. Kembung abdomen,
b. Rasa nyeri bila defekasi
c. Pendarahan pada rektal
d. Nyeri tulang belakang
e. Perasaan tidak komplit saat defekasi

Selai itu, berikut adalah gejala yang harus menjadi perhatian serius bila terjadi yaitu sebagai
berikut.

a. Pendarahan pada rektal


b. Nyeri abdomen (mungkin salah satu penanda Irritable bowel disease)
c. Kesulitan dalam flatus
d. Muntah
e. Bekurangnya berat badan tanpa diketahui penyebabnya (Basson MD, 2017)

5. Penatalaksanaan

Tujuan utama dari pengobatan konstipasi adalah tercapainya perbaikan gejala yang diinginkan,
sedangkan tujuan keduanya adalah mempermudah feses untuk melewati anus dengan
membuatnya menjadi lebih lembut dengan jumlah defekasi minimal 3 kali per minggu.

Non Farmakologi

20
Penatalaksanaan secara non farmakologi meliputi

a. Menghentikan seluruh obat-obatan yang dapat mengakibatkan konstipasi


b. Melakukan bowel training seperti mendorong pasien untuk berusaha melakukan bowel
training (duduk di toilet) setiap pagi hari saat bangun tidur.
c. Meningkatkan ambilan diet fiber 25-30 gram per hari
d. Mendorong untuk meningkatkan asupan cairan 1,5-2 Liter per hari

Farmakologi

Penggunaan farmakologi dilakukan bila upaya non farmakologi gagal untuk memperbaiki
keadaan konstipasi yang terjadi. Berdasarkan American gastroenterological Association (2013)
dan Management of Constipation in older Adults (2015) menyatakan sebagai berikut.

1. Polietilen glikol (17 gram per hari) lebih dianjurkan dibandingkan laktulosa (15-30 mL
per hari) untuk konstipasi dikarenakan lebih efektif dengan efek samping minimal.
2. Bila respon yang diberikan masih kurang baik maka direkomendasikan kombinasi
dengan laksatif (bisakodil 5-15 mg/hari).
3. Bila respon masih kurang baik, maka direkomendasikan lubiprostone (24 mcg sehari dua
kali) atau linaclotide (145 mcg per hari) atau methylnatrexone (dosis didasarkan pada
berat badan) untuk konstipasi karena penggunaan opioid.

Farmasis memiliki fungsi vital dalam setiap pengobatan pasien termasuk ulkus peptik. Farmasis
berperan dalam memastikan obat yang digunakan aman, efektif dan farmakoekonomik
(terjangkau oleh masyarakat). Untuk mencapai tujuan tersebut maka seorang farmasis harus
melakukan visite, pemantauan terapi obat, monitoring efek samping dan penelaahan Drugs
Related Problems.

Daftar Pustaka

Akio Tamura, Toshihiko Tomita, Tadayuki Oshima, Fumihiko Toyoshima, Takahisa Yamasaki,
Takuya Okugawa, Takashi Kondo, Tomoaki Kono, Katsuyuki Tozawa, Hisatomo Ikehara, Yoshio
Ohda, Hirokazu Fukui, Jiro Watari, and Hiroto Miwa. Prevalence and Self-recognition of Chronic
Constipation: Results of an Internet Survey. J Neurogastroenterol Motil. 2016 Oct; 22(4): 677–
685.

Andrews CN1, Storr M. The pathophysiology of chronic constipation. Can J Gastroenterol. 2011
Oct;25 Suppl B:16B-21B.
Bason MD. Constipation. 2017. Tersedia di https://emedicine.medscape.com/article/184704-
overview#a1. Diakses pada tanggal 7 februari 2019.

Bharucha AE, Dorn SD, Lembo A and Pressman A. American Gastroenterological Association
Medical Position Statement on Constipation. GASTROENTEROLOGY 2013;144:211–217

21
Hsieh C. Treatment of Constipation in Older Adults. Am Fam Physician. 2005; 72 (11): 2277-84.

Mounsey A, Raleigh M, and Wilson A. Management of Constipation in Older Adults. Am Fam


Physician. 2015; 92(6): 500-4.

Rome III. Diagnostic Croteria for Functional Gastrointestina Disorders. Tersedia di


https://www.theromefoundation.org/assets/pdf/19_RomeIII_apA_885-898.pdf. Diakses pada
tanggal 7 Februari 2019.

Wald A , Mueller-Lissner S , Kamm MA , et al. Survey of laxative use by adults with self-defi ned
constipation in South America and Asia: a comparison of six countries . Aliment Pharmacol Ther .
2010 ; 31 : 274-284 .

22
FARINGITIS

KONSEP KLINIS

 Faringitis merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan atas dengan
prevalensi terbanyak.
 Virus dan bakteri merupakan penyebab terbanyak faringitis
 Group A streptococcal adalah bakteri umum penyebab faringitis
 RADT dan throat culture digunakan dalam diagnosa
 Amoksisilin merupakan terapi lini pertama bila tidak ada kontrindikasi
 Sefadroksil, sefaleksin, klaritromisin, azitromisin dan klindamisin merupakan lini kedua
bila terdapat kontraindikasi pada lini pertama
 Skrining pengobatan/obat, konseling atau home care oleh Apoteker penting untuk
mencapai pengobatan yang optimal, efektif dan aman pada pasien faringitis.

1. Epidemiologi

Faringitis termasuk pada Infeksi Saluran Pernapasan Atas dan ditandai dengan iritasi pada faring
atau tonsil (Acerra,2018). Infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) merupakan penyakit infeksi
yang menduduki peringkat pertama di beberapa puskesmas di Tasikmalaya dengan prevalensi
mencapai 25% di Indonesia (Riskesdas, 2013). Virus (Rhinovirus, coronavirus, Adenovirus dan
coxsackieviruses) dan bakteri (Streptococcus pyogenes, Neisseria gonorrheae, Corynobacterium
dyptheriae, Mycoplasma pneumoniae, Staphylococcus aureus dan Bordetella pertussis)
merupakan penyebab umum penyakit ini, meskipun jamur juga dapat terlibat (Candida)
(Donowitz JR, 2018; Meneghetti A, 2018; Yoon YK, 2017).

Group a Streptococcal (Streptococcus pyogenes) merupakan bakteri yang paling sering


mengakibatkan faringitis mencapai 616 juta di seluruh dunia (WHO, 2005). Bakteri ini
menyebabkan 10-30% kasus faringitis pada anak-anak dengan usia 5-15 tahun dan paling sering
mengakibatkan komplikasi seperti rheumatic heart disease, endocarditis dan glomerulonephritis
(Pham dkk,2017; WHO,2005)

2. Patofisiologi

Virus dan bakteria merupakan penyebab umum faringitis. Faringitis yang diakibatkan bakteri
(Group A Streptococcal) disebarkan melalui droplet (Musher DM, 2003). Mekanisme secara pasti
bagaimana Group A Streptococcal mengakibatkan faringitis belum diketahui secara pasti, akan
tetapi beberapa hal telah diketahui. Group A Streptococcal memiliki eksotoksin, adhesin, kapsul
hyaluronic acid dan M protein. Eksotoksin dan Adhesin digunakan bakteri untuk evade dari
sistem imunitas melalui evade dari sistem faringeal dan menempel pada faring, sedangkan
hyaluronic acid dan M protein memiliki fungsi dalam virulensi dan kesamaan dengan myosin
jantung manusia sehingga menimbulkan reaksi silang yang mengakibatkan penyakit rematik
jantung (Marquez MAC, 2016).

23
3. Manifestasi Klinik

Sangat sulit untuk membedakan penyebab faringitis (virus atau bakteri) hanya berdasarkan
manifestasi klinik/ tanda dan gejala yang dirasakan pasien. Akan tetapi skoring menggunakan
kriteria Centor dapat digunakan untuk memprediksi faringitis yang diakibatkan infeksi bakteri
Group A Streptococcal (Mc Isaac dkk,2004). Gejala umum yang sering dirasakan seperti sakit
tenggorokan, demam, sakit kepala, sakit otot, peteki pada palatin dan eksudat pada tonsil
(Choby BA,2009)

4. Diagnosis

Gambar 1. Diagram Centor Score (Mc Isaac, 2004)

Centor Score digunakan untuk mengetahui probabilitas faringitis yang diakibatkan oleh Group A
Streptococcus. Rapid Antigen Detection Testing (RADT) dan Throat Culture adalah uji
laboratorium untuk memastikan etiologi faringitis. Rapid Antigen Detection Testing merupakan
pemeriksaan awal.

24
Berdasarkan centor score diatas bila skor 0 dan 1 maka antibiotika dan pengujian lanjutan tidak
diindikasikan. Skor 2 dan 3 diindikasikan RADT atau kultur, bila hasil positif maka antibiotika
diindikasikan. Sedangkan bila skor ≥ 4 maka antibiotika diindikasikan.

5. Penatalaksanaan

Antibiotika
No Panduan (Guideline) Alergi Penisilin
Lini Pertama
Tipe 4 Tipe 1

Antibiotics Guideline for


Generasi
Children with Acute Hanya non-beta
1 Upper Respiratory Amoksisilin oral Pertama laktam
Infection-Korea (2016) Sefalosporin

Infectious Disease
2 Society of America
(2012)

Penisilin V oral, Penisilin Generasi Klindamisin,


3 Americal College of G (IM), Amoksisilin oral Pertama Klaritromisin,
Physician Sefalosporin Azitromisin
(2001)

American Academy of
4
Pediatrics (2003)

National Institute of
5 Health and Care Tidak Spesifik Tidak Spesifik
Excellence (2008)

Berdasarkan beberapa panduan diatas amoksisilin oral tetap menjadi lini pertama dalam pengobatan
faringitis yang diakibatkan oleh Group A Streptococcus (GAS). Dosis amoksisilin yang digunakan
adalah 50 mg/kg BB ( maksimal 1000 mg) sehari satu kali selama 10 hari. Penisilin V dan Penisilin G
bisa juga digunakan sebagai pilihan pertama meskipun rasa dan cara pemberian tidak terlalu
menyenangkan. Dosis penisilin V dan penisilin G yang digunakan adalah 50 mg/kg BB dalam 4 dosis
terbagi selama 10 hari dan 600.000 U (< 27 kg)/ 1.200.000 U (>27 kg) sebagai single dose. Bila pasien
terdapat alergi penisilin maka sefalosporin generasi pertama menjadi pilihan

25
(alergi tipe 4) atau klindamisin, klaritromisin dan azitromisin (alergi tipe 1). Sefaleksin dan
sefadroksil adalah sefalosporin generasi pertama. Dosis sefaleksin dan sefadroksil yang
digunakan adalah 20 mg/kg BB per dosis sehari dua kali (maksimal 500 mg per dosis) dan 30
mg/kg BB sehari satu kali (maksimal 1000mg) selama 10 hari. Dosis Klindamisin, klaritromisin
dan azitromisin yang digunakan adalah 7 mg/kg BB sehari tiga kali (maksimal 300 mg per dosis),
7.5 mg/kg BB sehari dua kali (maksimal 250 mg per dosis) dan 12 mg/kg BB sehari satu kali
(maksimal 500 mg) (Shulman dkk, 2012; KCDC, 2016; Snow dkk, 2001; Shulman dan Gerber,
2004; Choby, 2009; Tan dkk, 2008; Yoon dkk,2017)

Obat-Obatan

Penisilin V, Penisilin G, Amoksisilin, Sefadroksil dan Sefaleksin merupakan antibiotika golongan


beta laktam yang bekerja sebagai bakterisid dengan mekanisme kerja menghambat dinding sel
bakteri melalui ikatannya dengan penicilline binding protein yang merupakan enzim yang terlibat
dalam tahap akhir cross linking peptidoglikan pada bakteri gram positif dan negatif dikarenakan
struktur yang menyerupai D-Ala-D-Ala dipeptida (Bush dan Bradford, 2016). Sefadroksil dan
sefaleksin merupakan antibiotika alternatif bila terjadi hipersensitifitas tipe 4. Penelitian curtin
dkk (2003) menyatakan bahwa sefaleksin dan sefadroksil memiliki efektifitas yang sama
(bakteriologi dan kesembuhan klinik).

Azitromisin dan klaritromisin merupakan antibiotika golongan makrolida yang bekerja sebagai
bakteriostatik. Makrolida berikatan secara revesibel terhadap domain V dari 23 S ribosomal RNA
yang merupakan bagian dari 50 S subunit ribosom sehingga menghambat protein sintesis yang
bergantung-RNA (Zuckerman dkk,2011). Penelitian Kaplan dkk (2001) menyatakan 10 hari terapi
klaritromisin lebih efektif dari 5 hari terapi azitromisin (91% [176/194] vs. 82% [162/198]; P =
.012). Akan tetapi dalam penelitian Muller (1993) menyatakan azitromisin memberikan
efektifitas yang sama dengan klaritromisin (96% vs 97% clinical success rate).

Klindamisin merupakan kelompok antibiotika tersendiri dengan mekanisme kerja yang


menyerupai seperti kelompok makrolida yaitu menghambat pembentukan protein melalui
hambatan pada ribosom 50 S subunit (Morar dkk, 2009). Klindamisin memberikan efektifitas
yang sama terhadap Group A Streptococcus dengan Penisilin V (Stillerman,1974).

Monitoring Obat dan Konseling

Peran Farmasi dalam penatalaksanaan faringitis adalah untuk memastikan terapi yang optimal
(efektif) dan aman. Skrining awal potensi terjadinya masalah-masalah terkait obat (Drugs
Related Problems) menjadi sangat penting. Home care menjadi metode monitoring terhadap
pasien faringitis dengan melihat gejala pasien seperti demam, kecepatan nadi, dan kecepatan
nafas. Selain itu, parameter laboratorium seperti jumlah leukosit dan eradikasi bakteri menjadi
faktor penting dalam monitoring terapi obat. Kerjasama tim adalah salah satu faktor penentu
dalam ketercepaian terapi.

26
Daftar Pustaka

Aceraa JR. Pharyngitis. 2018. Tersedia di https://emedicine.medscape.com/article/764304-


overview#a8. (Diakses tanggal 23 juli 2018).

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan.
2013.

Bush K dan Bradford PA. β-Lactams and β-Lactamase Inhibitors: An Overview. Cold Spring Harb
Perspect Med. 2016 Aug 1;6(8). pii: a025247.

Choby BA. Diagnosis and treatment of streptococcal pharyngitis. Am Fam Physician. 2009, 79,
383–390.

Curtin CD, Casey JR, Murray PC, Cleary CT, Hoeger WJ, Marsocci SM, Murphy ML, Francis AB,
Pichichero ME. Efficacy of cephalexin two vs. three times daily vs. cefadroxil once daily for
streptococcal tonsillopharyngitis. Clin Pediatr (Phila). 2003 Jul-Aug, 42(6), 519-526.

Donowitz JR. Acute Pharyngitis. Tersedia di https://bestpractice.bmj.com/topics/en-us/5.


(Diakses tanggal 23 juli 2018).

Edward L. Kaplan W. Manfred Gooch, III Gerard F. Notario J. Carl Craft. Macrolide Therapy of
Group A Streptococcal Pharyngitis: 10 Days of Macrolide Therapy (Clarithromycin) Is More
Effective in Streptococcal Eradication than 5 Days (Azithromycin). Clinical Infectious Diseases,
2001, 32 (12), 1798–1802.

Korea Centers for Disease Prevention and Control (KCDC) Guideline for antibiotic use in children
with acute upper respiratory infection, 2016. [Diakses 1 Agustus, 2018]. Tersedia di
http://www.cdc.go.kr/CDC/together/CdcKrTogether0302.jsp?menuIds=HOME001-MNU1154-
MNU0005-MNU0088&fid=51&q_type=&q_value=&cid=71756&pageNum=1.

Luu-LyPham, RafikBourayou, ValérieMaghraoui-Slim, IsabelleKoné-Paut. Laryngitis, Epiglotitis


dan Pharyngitis. Infectious Disease (Fouth Edition). 2017. 1, 229-235 e1.

Marquez MAC. Bacterial Pharyngitis. 2016. Tersedia di


https://emedicine.medscape.com/article/225243-overview#a5. (Diakses tanggal 24 juli 2018).

McIsaac WJ, Kellner JD, Aufricht P, et al. Empirical validation of guidelines for the management
of pharyngitis in children and adults. JAMA 2004;291(13):1587–1595.

27
Meneghetti A, 2018. Upper Respiratory Tract Infection. Tersedia di
https://emedicine.medscape.com/article/302460-overview#a4. (Diakses tanggal 12 Juli 2018).

Morar M, Bhullar K, Hughes DW, Junnop M, Wright GD. Structure and Mechanism of the
Lincosamide Antibiotic Adenylyltransferase LinB. Structure. 2009.17(12), 1649-1659.
Muller O. Comparison of azithromycin versus clarithromycin in the treatment of patients with
upper respiratory tract infections. J Antimicrob Chemother. 1993 ,31 Suppl E, 137-46.
Musher DM. How Contagious Are Common Respiratory Infections?. N England J Med. 2003.
348(13). 1256-1266.

Shulman ST, Bisno AL, Clegg HW, Gerber MA, Kaplan EL, Lee G, Martin JM, Van Beneden C. Clinical
practice guideline for the diagnosis and management of group A streptococcal pharyngitis: 2012
update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2012, 55, 1279–1282.

Shulman ST, Gerber MA. So what's wrong with penicillin for strep throat? Pediatrics. 2004, 113,
1816–1819

Snow V, Mottur-Pilson C, Cooper RJ, Hoffman JR, American Academy of Family Physicians
American College of Physicians-American Society of Internal Medicine; Centers for Disease
Control. Principles of appropriate antibiotic use for acute pharyngitis in adults. Ann Intern Med.
2001, 134, 506–508.

Stillerman M, Isenberg HD, Facklam RR. Streptococcal Pharyngitis Therapy: Comparison of


Clindamycin Palmitate and Potassium Phenoxymethyl Penicillin. Antimicrob Agents Chemother.
1974, 5(2), 202.

Tan T, Little P, dan Stokes T, Guideline Development Group Antibiotic prescribing for self limiting
respiratory tract infections in primary care: summary of NICE guidance. BMJ. 2008, 337-a437.

World Health Organizations.The Current Evidence for The Burden of Group A Streptococcal
Disease. 2005. Department of Child and Adolescent Healt and Development World Health
Organizations.

28
Yoon YK, Park CS, Kim JW, Hwang K, Lee SY, Kim TH, Park DY, Kim HJ, Kim DY, Lee HJ, Shin HY,
You YK, Park DA, and Kim SW. Guidelines for the Antibiotic Use in Adults with Acute Upper
Respiratory Tract Infections. Infect Chemother. 2017, 49(4), 326–352.

Zuckerman JM1, Qamar F, Bono BR. Review of macrolides (azithromycin, clarithromycin),


ketolids (telithromycin) and glycylcyclines (tigecycline). Med Clin North Am. 2001, 95(4),761-791.

29
PNEUMONIA

KONSEP KLINIS

 Virus, bakteri dan jamur merupakan penyebab pneumonia


 Chest radiograph digunakan untuk menegakkan diagnosis pneumonia
 Pengobatan pneumonia didasakan pada pasien rawat jalan, pasien rawat inap (non-ICU)
dan pasien rawat inap (ICU)
 Makrolida, beta laktam, fluoroquinolone, aztreonam dan vancomycin adalah antibiotika
yang digunakan. Penggunaannya berdasarkan pada jenis pneumonia dan keparahannya.
 Pengobatan umumnya digunakan selama 5 hari
 Penghentian pengobatan dilakukan bila telah tercapai kestabilan klinis

1. Epidemiologi

Pneumonia merupakan suatu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah. Infeksi saluran
pernapasan bawah merupakan peringkat ke 4 penyebab kematian di Indonesia dan stroke
mejadi peringkat pertama penyebab kematian di Indonesia (WHO,2012). Pneumonia banyak
menjangkiti anak- anak dan orang lanjut usia. Pneumonia merupakan penyebab 16% kematian
anak-anak dibawah lima tahun di dunia (WHO, 2016).

2. Patofisiologi

Bakteri, virus dan jamur merupakan penyebab pneumonia. Streptococcus pneumonia,


pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, enterococcus, Actynomices israelii,
pneumocystis jiroveci Haemophilus influenza, Influenza virus, respiratory synctial virus,
parainfluenza virus, adenovirus dan rhinovirus merupakan beberapa contoh mikroba penyebab
pneumonia (WHO, 2016; Gamache J, 2018). Pneumocystis jiroveci merupakan penyebab
seperempat kematian bayi dengan pneumonia yang juga terinfeksi HIV (WHO, 2016). Dalam
kasus pandemik influenza yang terjadi pada tahun 1918 menyatakan bahwa kematian yang
dihubungkan dengan kasus tersebut diakibatkan oleh ko-infeksi bakteri (secondary bacterial
infection (Morens dkk, 2008). Virulensi bakteri, virus dan pertahanan tubuh host menjadi faktor
utama dalam keparahan penumonia. Neutropenia, kekurangan pada sistem komplemen,
kekurangan pada imunoglobulin dan kekurangan pada sistem imunnitas lainnya adalah
beberapa bentuk masalah dalam pertahanan host (Gamache, 2018).

3. Diagnosis

Chest radiograph yang menunjukkan infiltrat diperlukan untuk diagnosis. Selain itu, pemeriksaan
lanjutan seperti sputum dan pemeriksaan laboratorium mungkin diperlukan (Mandell dkk, 2007).
Pneumonia severity index sering digunakan untuk mengetahui tingkat keparahan pneumonia.

30
4. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik pneumonia adalah sebagai berikut.

a. Produktif sputum
Warna karat : S. Pneumoniae
Warna Hijau : Pseudomonas, Haemophilus dan Pneumococcal spesies.
Warnah merah jeli : Klebsiella
Sputum berbau : Infeksi Anaerobic.
b. Hipertermia (>380C) atau Hipotermia (<350C).
c. Takipnea (>18 kali per menit untuk dewasa), (>60 kali per menit untuk usia < 2 bulan), (> 50
kali per menit untuk usia 2-11 bulan), (>40 kali per menit untuk usia 12-59 bulan).
d. Penggunaan otot aksesori saat bernafas
e. Sianosis
f. Perubahan mental status (Gamache, 2018).

5. Penatalaksanaan

Non Farmakologi

Penularan pneumonia dapat melalui droplet, udara dan darah. Selain itu, faktor resiko seperti polusi
udara, asap rokok dan hidup didaerah yang padat akan meningkatkan resiko terkena pneumonia
(WHO, 2016). Oleh karena itu, menghindari penularan dengan penderita pneumonia, berperilaku
hidup sehat dan mempertahankan imunitas tubuh adalah cara yang terbaik.

Selain penggunaan obat-obatan penatalaksanaan secara non farmakologi saat telah terjadi
pneumonia yaitu melalui supporting pernafasan dan resusitasi cairan. Supporting pernafasan
yaitu dengan menggunakan oksigen bila terjadi sesak nafas. Ventilatori diguunakan bila pasien
tidak dapat mempertahankan pernafasannya. Resusitasi cairan menggunakan kristaloid yaitu
bila pasien menderita dehidrasi, hipotensi dan atau takikardia.

Farmakologi

Penatalaksanaan secara farmakologi bergantung pada jenis penyebab pneumonia dan tingkat
keparahannya. Jenis penyebab pneumonia yaitu Hospital acquired pneumonia (HAP),
Ventilatory acquired pneumonia (VAP) dan Community acquired pneumonia (CAP).
Penatalaksanaan pneumonia ini berdasarkan pada Panduan Infectious Disease Society of
America (2007).

Community acquired pneumonia (CAP)

Rekomendasi terapi empirik antibiotik untuk Community acquired pneumonia (CAP) adalah
sebagai berikut.

a. Penatalaksanaan pada rawat jalan

31
 Sebelumnya dalam keadaan sehat dan tidak pernah menggunakan antibiotika 3
bulan sebelumnya, maka makrolida adalah pilihan utamanya. Sedangkan
doxycycline menjadi pilihan kedua.
 Terdapat penyakit penyerta seperti gagal jantung, paru-parau, liver dan
penyakit ginjal, diabetes mellitus, alkoholisme, malignansi, imunodefisiensi atau
dalam terapi obat imunosupresif, atau penggunaan antibiotika 3 bulan
sebelumnya. Maka antibiotika pilihannya adalah fluoroquinolone pernafasan
seperti Moxifloxacin, gemifloxacin atau levofloxacin (750mg) atau Kombinasi
beta laktam plus makrolida.
 Pada daerah dimana Streptococcus pneumonia memberikan resistensi tinggi
terhadap makrolida (>25%; MIC >16 mcg/mL), maka pertimbangkan
penatalaksanaan antibiotika seperti Moxifloxacin, gemifloxacin atau levofloxacin
(750mg) atau Kombinasi beta laktam plus makrolida
b. Penatalaksanaan rawat inap (Non-ICU)
 Antibiotika pilihannya adalah fluoroquinolone pernafasan seperti Moxifloxacin,
gemifloxacin atau levofloxacin (750mg) atau Kombinasi beta laktam plus
makrolida.
c. Penatalaksanaan rawat inap (ICU)
 Antibiotika pilihannya adalah kombinasi beta laktam (cefotaxime, ceftriaxone,
ampicillin-sulbactam) plus azithromycin. Bila alergi terhadap penisilin maka
kombinasi fluoroquinolone pernafasan (Moxifloxacin, gemifloxacin atau
levofloxacin (750mg)) plus aztreonam adalah pilihannya.
d. Pada kondisi tertentu
 Bila pseudomonas menjadi penyebabnya maka kombinasi antipseudomonal b-
lactam (piperacillintazobactam, cefepime, imipenem, atau meropenem) plus
levofloxacin (750 mg) adalah pilihannya atau kombinasi b-laktam,
aminoglikosida dan azithromycin atau b-laktam, aminoglikosida dan
fluoroquinolone atau bila alergi terhada b-laktam maka digunakan kombinasi
fluoroquinolone, aminoglikosida dan aztreonam.
 Pada MRSA maka ditambahkan kembali satu antibiotika yaitu vancomycin atau
linezolid.
e. Pasien dengan CAP harus diberikan antibiotika minimal 5 hari. Dalam waktu 48-72 jam
pasien harus afebrile dan harus menunjukkan stabilitas secara klinik seperti temperature
<37.80C, nadi < 100 kali per menit, kecepatan pernafasan < 24 kali per menit (dewasa),
Tekanan darah sitolik > 90 mmHg, Saturation of oxygen > 90%, mampu untuk makan
secara oral, dan status mental normal.

32
Hospital acquired pneumonia (HAP), Ventilatory acquired pneumonia (VAP)

Tabel 1. Antibiotika untuk patogen spesifik (Mandel dkk, 2007)

33
Daftar Pustaka

WHO. Country Health Profile 2012: Indonesia. Tersedia di


https://www.cdc.gov/globalhealth/countries/Indonesia/. Diakses tanggal 8 Februari 2019.

WHO. Pneumonia. 2016. Tersedia di https://www.who.int/news-room/fact-


sheets/detail/pneumonia. Diakses tanggal 8 februari 2019.

Gamache J. Bacterial Pneumonia. 2018. Tersedia di


https://emedicine.medscape.com/article/300157. Diakses pada tanggal 8 februari 2019.

Morens DM, Taubenberger, Fauci As. Predominant role of bacterial pneumonia as a cause of
death in pandemic influenza: implication for pandemic influenza preparedness. J infect Dis.
2008;198(7): 962-70.

Mandel LA, Wunderink RG, Anzueto A, Barlett JG, Campbell GD, Dean NC, et al. Infectious Diseases
Society of America/American Thoracic Society Consensus Guidelines on the Management of
Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clinical Infectious Disease, 2007; 44: S27-72.

34
OSTEOARTHRITIS

KONSEP KLINIS

 Prevalensi Osteoarthritis (OA) semakin meningkat


 Kerusakan kartilago, inflamasi dan pembentukan kondrosit merupakan patologis dari OA
 Imaging dan pemeriksaan fisik digunakan untuk diagnosis
 Penatalaksanaan didasarkan pada jenis OA yang dirasakan (OA tangan, OA, lutut dan OA
pinggul)
 NSAIDs topikal, NSAIDs (Seletif dan non-selektif) oral, Acetaminophen, Tramadol,
intraarticular corticosteroid injection merupakan obat-obatan yang digunakan untuk
mengatasi OA.

1. Epidemiologi

Prevalensi penderita Osteoarthtritis (OA) di Indonesia mencapai 30% pada usia40-60 tahun dan
mencapai 65% pada usia >60 tahun. Sedangkan penderita OA di dunia terbagi-bagi menurut
sendi yang terkenanya. Prevalensi penderita OA panggul mencapai 19,6%, OA lutut mencapai
25,4%, dan OA yang melibatkan multiple sendi mencapai 3,8% (Allen dan Golightly, 2015).

2. Patofisiologi

Banyak faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya OA. Umur, obesitas, trauma, genetik,
penurunan level hormon seks, kelemahan otot, penggunaan yang terus menerus, infeksi,
deposisi kristal, pembedahan dan penyakit (Diabetes mellitus, congenital hip dislocation,
thallasemia) (Lozada CJ, 2018).

Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengubah cara pandang patofisiologi OA. Dahulu OA diklasifikasikan dalan gangguan
non-inflammatory arthritis dan hanya melibatkan kartilago artikular. Saat ini diketahui bahwa dalam proses terjadinya OA
terlibat berbagai macam protein pro-inflamasi (IL-17, prostaglandin E2, IL-1, 15‐hydroxyeicosatetraenoic acid) dan terlibat
pula cairan sinovial, kapsul sendi dan jaringan-jaringan sendi lainnya (Van Baarsen dkk, 2014).

Pada awal terjadinya OA umumnya ditandai dengan pembengkakan kartilago yang diakibatkan oleh
pembentukan proteoglikan yang meningkat sebagai upaya dalam perbaikan kartilago yang
mengalami kerusakan. OA yang berlangsung kronis mengakibatkan pembentukan proteoglikan
menjadi menurun yang mengakibatkan kelembutan dan elastisitas pada sendi menjadi terganggu
yang pada akhirnya mengakibatkan hilangnya space pada sendi. Hilangnya space mengakibatkan
pembentukan tulang baru (tebal dan rapat) untuk menggantikan hilangnya kartilago yang dibarengi
dengan pembentukan sitokin (IL-1, TNF-alfa) dan aktivasi enzim metalloproteinase sehingga OA
patologi terus terjadi (Lozada CJ, 2018; Ianone dan Lapdula, 2003).

35
3. Diagnosis

OA diagnosis ditegakkan melalui hasil pemeriksaan fisik dan bukti radiografi. Tidak terdapat hasil
laboratorium yang spesifik untuk OA. Metode imaging yang digunakan seperti Radiografi, CT
Scan, Magnetic Resonance Imaging, Ultrasonography dan Bone Scanning.

4. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang terjadi pada penderita OA yaitu sebagai berikut.
a. Rasa nyeri bila sendi digunakan terus menerus.
b. Penurunan kualitas gerak
c. Krepitus
d. Kekakuan setelah diistirahatkan.

5. Penatalaksanaan

Non Farmakologi

Pendekatan non-farmakologi untuk penderita OA adalah menginstruksikan penggunaan teknik untuk


perlindungan sendi, thermal terapi bisa digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri, bila pasien
kelebihan berat badan maka direkomendasikan untuk menurunkan berat badan dan lakukan evaluasi
kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Hochberg dkk, 2012).

Farmakologi

Osteoarthritis Tangan

Berdasarkan rekomendasi farmakologi untuk OA tangan oleh American College of


Rheumatology (ACR) menyatakan bisa menggunakan topikal capsaicin, topikal NSAIDs, Oral
NSAIDs, COX-2 Selective inhibitor, dan Tramadol. Tidak direkomendasikan penggunaan
intraarticular corticosteroids, dan analgesik opioid. Pada usia >75 tahun direkomendasikan
penggunaan topical dibanding NSAIDs oral.

Osteoarthritis Lutut

Berdasarkan rekomendasi farmakologi untuk OA tangan oleh American College of


Rheumatology (ACR) menyatakan bisa menggunakan Acetaminophen, oral NSAIDs, topikal
NSAIDs, COX-2 Selective inhibitor, Tramadol, intraarticular corticosteroid injections. Tidak
direkomendasikan penggunaan chondroitin, glucosamine dan penggunaan hyaluronate injeksi,
duloxetine dan analgetik opioid,

Osteoarthritis pinggul

Berdasarkan rekomendasi farmakologi untuk OA tangan oleh American College of


Rheumatology (ACR) menyatakan bisa menggunakan Acetaminophen, oral NSAIDs, topikal
NSAIDs, COX-2 Selective inhibitor, Tramadol, intraarticular corticosteroid injections. Tidak
direkomendasikan

36
penggunaan chondroitin, glucosamine dan penggunaan hyaluronate injeksi, duloxetine dan
analgetik opioid.

Daftar Pustaka

Allen Kd Dan Golightly Ym. Epidemiology Of Osteoarthritis: State Of The Evidence. Curr Opin
Rheumatol. 2015 May; 27(3): 276–283.

Ianone F Dan Lapadula G. The Pathophysiology Of Osteoarhtritis. Aging Clin Exp Res. 2003 ;
15(5):364-72.

Lozada Cj. Osteoarthritis. 2018. Tersedia Di Https://Emedicine.Medscape.Com/Article/330487.


Diakses Pada Tanggal 8 Februari 2019.

Hochberg MC, Altman RD, April KT, Benkhalti M, Guyatt G, Mcgowan J, Towheed T, Welch V,
Wells G, Tugwell P. American College Of Rheumatology 2012 Recommendations For The Use Of
Nonpharmacologic And Pharmacologic Therapies In Osteoarthritis Of The Hand, Hip, And Knee.
Arthritis Care & Research Vol. 64, No. 4, April 2012, Pp 465– 474

Van Baarsen Lg, Lebre Mc, Van Der Coelen D, Aarrass S, Heterogeneous Expression Pattern Of
Interleukin 17a (Il-17a), Il-17f And Their Receptors In Synovium Of Rheumatoid Arthritis,
Psoriatic Arthritis And Osteoarthritis: Possible Explanation For Nonresponse To Anti-Il-17
Therapy?. Arthritis Res Ther.2014; 16(4): 426.

37

Anda mungkin juga menyukai