Anda di halaman 1dari 4

Kasus Mata Kuliah Manajemen Resiko

Kelompok 4

Kasus Allianz Life: Syarat Klaim Berbelit Bikin Nasabah Meringis Perusahaan
Asuransi Berlindung di... Hati-Hati Agen Asuransi Nakal!

Klaim asuransi dibuat berbelit-belit agar perusahaan tetap mengeruk untung dari biaya
premi nasabah tiap bulan. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo Oleh: Aulia Adam - 20 November
2017 Dibaca Normal 5 menit Ingat, yang boleh diminta perusahaan asuransi kesehatan adalah
resume medis, bukan rekam medis. tirto.id - Ifranius Algadri masih ingat ketika ia kena tifus
sekitar September tahun lalu. Sesudah dirawat tujuh hari, ia merasa sudah cukup dan harus
segera pulang. Ia mengkhawatirkan urusan-urusan bisnisnya. Tapi dokter bilang ia mesti
dirawat sekitar 10 hari lagi. Frans, panggilan sehari-harinya, menolak saran dokter. Akhirnya
ia pulang, “Saya bilang enggaklah, saya mau pulang, karena saya banyak kerjaan.”
Belakangan Frans mengklaim biaya perawatan itu ke PT Allianz Life, perusahaan asuransi
yang baru dipakainya. Total klaim itu Rp12 juta, dan Alianz langsung membayarnya tanpa
ada masalah. Frans mengisi formulir klaim dan hanya dimintai kuitansi legalisir, hasil
pemeriksaan dari laboratorium, dan resume medis. Yang disebut terakhir adalah catatan
dokter memuat ringkasan kondisi kesehatan pasien.

Pada November, Frans kembali sakit. Ia baru melawat dari Singapura dan pingsan di
bandara. Kali ini perutnya bermasalah. “Saya makan sembarangan, makan duren, (ternyata)
keracunan.” Ia dibawa dibawa ke Rumah Sakit Omni demi kepraktisan karena dekat dari
bandara. Kemudian ia pulang. Pada Januari, masalah perut itu kembali lagi. Ia mengunyah
makanan laut di salah satu acara bisnis. “Tapi kayaknya saya sensitif deh makan seafood.
Waktu itu perut rasanya terkuras parah.” Frans dibawa ke Rumah Sakit Mayapada di bilangan
Cilandak, Jakarta Selatan. Sama seperti sakit tifus, dokter memintanya lebih lama dirawat,
tetapi ia ngotot pulang karena tak bisa meninggalkan urusan bisnis kelewat lama. Klaim biaya
kedua perawatan itu diajukan oleh Frans. Namun, berbeda dari klaim pertama, Allianz
mengulur-ulur waktu. Frans akhirnya menelepon layanan konsumen Allianz, yang diingatnya
dijawab oleh pegawai bernama Dian, dengan niat menanyakan kabar klaim bulan November
yang belum dicairkan sampai Januari 2017. Pihak asuransi menjawab bahwa klaim itu “masih
dalam investigasi.” “Saya memang orang awam, tapi saya baca lagi polis. Di situ jelas,
selambat-lambatnya klaim harus dikirim 30 hari setelah pasien keluar dari rumah sakit.
Bilamana tidak dikirim, klaim ditolak. Nah, saya tanya, batas investigasi kalian berapa
lama?” ujar Frans, merespons. “Kalau itu enggak ada batas, Pak. Maklum, Pak, asuransi bisa
investigasi sebulan ... dua bulan,” jawab pegawai CS Allianz, ditirukan Frans. Meski tak puas
atas jawaban itu, Frans menunggu kabar, dan pada Maret kemudian ia mendatangi kembali
kantor Allianz. Ia bertemu seorang pelayan konsumen lagi: “Kok klaim saya digantung?
Kalau mau ditolak, ya dibuatlah suratnya. Saya sudah tidak masalah lagi dengan nilai klaim
sekarang. Yang saya masalahkan iktikad kalian.” Namun, sang CS berdalih bahwa surat
pemberitahuan sudah diberikan kepada seseorang bernama Hariyadi, yang mengaku sebagai
sekuriti Frans. Frans kaget karena tak mengenal seseorang bernama Hariyadi. “Bapak saya,
ibu saya, adik-kakak saya, enggak ada yang namanya Hariyadi.” Dari sana ia minta salinan
surat tersebut. Isi surat itu meminta Frans untuk melengkapi syarat rekam medis dalam waktu
14 hari; dan jika tidak, klaim akan ditolak. Tentu saja masa tenggang itu sudah dilewati
Frans. Kesal, Frans menyuruh CS di depannya untuk minta sendiri rekam medis. “Saya kasih
surat kuasa deh sama kalian,” kata Frans. Sang CS justru bilang tak bisa sebab pihaknya juga
sudah mencoba minta rekam medis tapi pihak rumah sakit menolak memberikannya. “Lah,
kalian tahu itu, kenapa suruh saya?” Frans makin kesal. “Itu, kan, di luar nalar!” Akhirnya,
Frans dibawa ke bagian komplain, yang ia ingat dilayani pegawai bernama Wayan, dan ia
menceritakan hal sama. Tapi Wayan juga menjawab hal serupa bahwa rekam medis memang
tak bisa diminta. Frans akhirnya mengancam bakal menempuh jalur hukum. Ia memberi
waktu sampai pukul enam sore hari itu agar Allianz menyelesaikan urusan klaimnya.

Namun, salah satu CS menjawab tak keberatan bila Frans melaporkan kasus klaim itu ke
polisi. “Di situ bukan masalah klaim lagi. Klaimnya cuma 16 juta lima ratus. Kalau saya sewa
lawyer, itu berapa? Belum biaya operasional, belum biaya makan, lebih enggak 16 juta?
Karena ada harga diri, saya buktiin, saya laporin,” Frans menceritakan pengalamannya,
menggebu-gebu. Kasus itu akhirnya memang berlabuh di Polda Metro Jaya. Ia menyeret
mantan presiden direktur Allianz Life Joachim Wessling dan mantan manajer klaim Yuliana
Firmansyah, dengan pasal 62 UU 8/1999 tentang perlindungan konsumen. Kedua petinggi
Allianz itu sempat dicari-cari karena tak datang setelah dipanggil polisi, terutama Wessling
yang diduga berada di luar negeri. Baca juga: Mengapa Kasus Allianz Life Bisa Berujung
Pidana? Rekam medis yang diminta Allianz kepada Frans dianggap sebagai cara perusahaan
asuransi mempersulit proses klaim biaya pengobatan. Hal ini dianggap melanggar hak
konsumen. Belakangan, Frans mencabut laporannya pada 3 November 2017. Tetapi kasus ini
berlanjut dengan upaya balik Allianz Life yang menuduh ada “sekelompok orang” mencari
keuntungan dari upaya pengajuan klaim ke ranah pidana tersebut. Dalam rilis klarifikasi atas
nama humas korporatnya, Adrian DW, Allianz Life mengajukan laporan balik ke kepolisian
pada 17 Oktober. Ia juga memperkarakan perdata Alvin Lim, kuasa hukum Frans, karena
telah menyebabkan pemberitaan “negatif dan tendensius”. Alvin Lim tak gentar menghadapi
langkah serangan balik tersebut. “Mau digugat, silakan saja. Saya akan hadapi. Gitu aja kok
repot,” kata Alvin. Baca juga: Di Balik Pencabutan Kuasa Hukum Alvin Lim oleh Nasabah
Allianz Terlepas dari kasus itu, permintaan rekam medis oleh Allianz Life masih perlu
disorot. Permintaan rekam medis lengkap adalah melanggar hukum karena dalam Permenkes
No 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis, hak pasien hanyalah resume medis,
berupa ringkasan catatan medis yang umumnya hanya 1-2 halaman. Berdasarkan pasal 12,
berkas rekam medis memang dimiliki oleh sarana pelayanan kesehatan, dalam hal ini rumah
sakit. Namun, isi rekam medis yang boleh dicatat, disalin, dan diberikan kepada pasien
adalah dalam bentuk ringkasan rekam medis. Hal ini dibenarkan dokter Daeng Mohammad
Faqih, ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dokter yang punya latar
pendidikan master di jurusan hukum ini berkata bahwa kasus permintaan rekam medis oleh
asuransi baru kali itu terjadi. “Biasanya yang diminta itu resume medis—ringkasannya saja,”
ungkapnya, ketika ditemui di Kantor IDI, Oktober lalu.
Rekam medis, menurut Faqih, adalah berkas pribadi pasien yang sirkulasinya tidak bisa
diberikan sembarangan. Ia hanya bisa diminta oleh pihak pengadilan atau penyidik dalam
kasus peradilan. Hal ini juga diatur dalam Permenkes tersebut. Namun, menurut Alvin Lim,
Allianz pernah meminta syarat yang sama kepada kliennya yang lain, bernama Indah Goena
Nanda. Dalam kasus itu nilai klaim hanya Rp9 juta. Goena juga mengalami kesulitan klaim
saat kali kedua. (Klaim pertama Goena cenderung lancar seperti yang dialami Frans.) Meski
kedua laporan ini sudah dicabut, Alvin menerima klien baru atas nama Mario Sastra Wijaya,
yang sudah melaporkan Allianz kepada Polda Metro Jaya untuk kasus sama. Wijaya juga
mengeluhkan syarat rekam medis yang disyaratkan Allianz. Menurut Alvin, sudah ada
belasan laporan serupa yang mengeluhkan rekam medis, tapi masih mengumpulkan bukti
awal. “Makanya, pasti akan masuk kena pidana lagi dan jadi tersangka lagi, karena sama
persis (delik) pidananya,” ujar Alvin, 8 November lalu. Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi
Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menilai permintaan syarat asuransi adalah hal biasa
jika nasabah sudah mengklaim lebih dari sekali. “Biasanya perusahaan asuransi, kalau ada
klaim yang sama, dua atau tiga kali, pasti (curiga). Itu normal. Proses yang normal,” katanya
di Balai Kartini, Jakarta, akhir September lalu. Allianz Life menolak memberikan keterangan
lebih lanjut dengan alasan menghormati proses hukum yang berjalan. Hal ini disampaikan
dalam rilis resminya serta lewat kepala humas korporat Adrian DW. Ketika dihubungi lagi
untuk dimintai komentar lebih lanjut, Adrian masih tidak menjawab.

Permintaan Resume Medis yang Wajar & Tak Wajar Faqih dari IDI memang mengakui
asuransi kesehatan umumnya wajar meminta resume medis. Dalam praktiknya, permintaan
itu sering terjadi. Namun, menurutnya, verifikator asuransi yang baik tak perlu meminta
syarat tambahan berupa resume medis tersebut. “Secara manajemen, setiap kali mau klaim
diminta (resume medis) itu, berarti lemah verifikatornya,” ujarnya. Mestinya surat keterangan
diagnosis dokter dan lampiran lain yang diperoleh dari rumah sakit sudah cukup untuk
seorang pasien mengajukan klaim. “Lalu, apakah permintaan resume medis itu adalah upaya
wajar dari asuransi untuk memperumit proses klaim?” tanya saya. “Saya tidak menuduh ke
situ. Kalau permintaan ringkasan (resume) medis itu ada indikasi untuk mempersulit, silakan
diselidiki saja. Tapi bicara normatifnya, harusnya tidak semua kasus dimintai ringkasan
medis. Harusnya kasus-kasus yang dicurigai pihak asuransi saja. Apa iya semua kasus itu
mesti dicurigai?” jawab Faqih. Saya menemui salah seorang analis klaim, yang
perusahaannya bekerja sebagai verifikator medis untuk sebuah perusahaan asuransi besar di
Indonesia. Sebut saja namanya Melinda, sebab ia enggan menyebutkan nama asli. Melinda
sendiri membenarkan perkataan Faqih tentang seringnya pihak asuransi meminta resume
medis sebagai syarat tambahan klaim. “Ya, dari situ kadang kita jadi tahu si artis ini sakit
apa, si artis itu ternyata penyakitnya anu,” ungkapnya kepada saya. Menurut Melinda, sudah
jadi pengetahuan awam bahwa para analis klaim punya cara-cara untuk menolak klaim
nasabah. Bahkan di perusahaannya bekerja, mereka punya daftar hitam nama-nama nasabah
yang klaimnya harus diperhatikan agar tidak gampang dicairkan, dan ada daftar nasabah yang
klaimnya mudah dicairkan. Tak jarang ia punya pengalaman yang membuat perang batin.
Sebagai analis klaim, Melinda harus berusaha membuat perusahaan asuransi yang menyewa
perusahaannya tidak mengeluarkan klaim sepeser pun.
Namun, tak jarang pula, ada kasus yang membuatnya resah karena tak menyetujui
permohonan klaim tertentu. (Ia sebenarnya menceritakan beberapa kasus spesifik, yang tak
bisa diungkap di artikel ini karena dapat membuka identitasnya.) Sepanjang kariernya di
dunia asuransi, Melinda tak pernah tahu kalau ada perusahaan asuransi yang pernah minta
rekam medis seperti dalam kasus Frans. Sebab, dokter-dokter yang bekerja sebagai medis
analis di perusahaannya atau perusahaan asuransi lain pasti tahu kalau rekam medis memang
tak bisa diminta sembarangan ke rumah sakit. Menanggapi kasus ini, Melinda punya pesan
penting: menurutnya, perusahaan asuransi yang minta beragam syarat ketika seorang nasabah
mengajukan klaim adalah hal wajar. Pendapatan perusahaan asuransi adalah dari biaya premi
nasabah, dan klaim yang dicairkan akan mengurangi pendapatan itu. Tapi, pihak asuransi tak
bisa menampik kalau alasan seseorang membeli asuransi adalah karena perasaan ingin aman.
“Yang paling perlu diperhatikan adalah polis, sebenarnya. Ini yang biasanya terlewat oleh
konsumen, dan jadi celah bagi agen-agen atau asuransi nakal,” kata Melinda. Baca juga
artikel terkait KASUS ALLIANZ LIFE atau tulisan menarik lainnya Aulia Adam (tirto.id -
Indepth) Reporter: Aulia Adam Penulis: Aulia Adam Editor: Fahri Salam

Baca selengkapnya di artikel "Kasus Allianz Life: Syarat Klaim Berbelit Bikin Nasabah
Meringis", https://tirto.id/cAjn

Anda mungkin juga menyukai