1. Pendahuluan
Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Definisi bencana menurut UU
No. 24 tahun 2007). Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana,
kerentanan, dan kemampuan yang di picu oleh suatu kejadian.
Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa
yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul
bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim
kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis
akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.
Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah
kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang
ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses sehingga
batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Namun demikian, suatu
kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan.
2. Permasalahan
Di Indonesia, khususnya daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian Selatan rentan
terhadap bencana kekeringan, maka dari itu dalam artikel ini akan diulas bencana kekeringan
secara umum dan bencana kekeringan di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
3. Kajian Teori
A. Pengertian dan Tanda-tanda Umum Kekeringan
Kekeringan adalah kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air. Menurut Shelia B. Red
(1995) kekeringan didefinisikan sebagai pengurangan persediaan air atau kelembaban
yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan
untuk jangka waktu khusus. Dampak kekeringan muncul sebagai akibat dari
kekurangannya air, atau perbedaan-perbedaan antara permintaan dan persediaan air.
Apabila kekeringan sudah mengganggu dampak tata kehidupan, dan perekonomian
masyarakat maka kekeringan dapat dikatakan Bencana.
Menurut Shelia B. Red (1995) kekeringan bisa dikelompokan berdasarkan
jenisnya yaitu: kekeringan meteorologis, kekeringan hydrologis, kekeringan pertanian,
dan kekeringan sosial ekonomi.
1. Kekeringan meteorologis, berasal dari kurangnya curah hujan dan didasarkan pada
tingkat kekeringan relatif terhadap tingkat kekeringan normal atau rata–rata dan
lamanya periode kering. Perbandingan ini haruslah bersifat khusus untuk daerah
tertentu dan bisa diukur pada musim harian dan bulanan, atau jumlah curah hujan
skala waktu tahunan. Kekurangan curah hujan sendiri, tidak selalu menciptakan
bahaya kekeringan.
2. Kekeringan hidrologis mencakup mencangkup berkurangnya sumber–sumber air
seperti sungai, air tanah, danau dan tempat–tempat cadangan air. Definisinya
mencangkup data tentang ketersediaan dan tingkat penggunaan yang dikaitkan
dengan kegiatan wajar dari sistem yang dipasok (sistem domestik, industri, pertanian
yang menggunakan irigasi). Salah satu dampaknya adalah kompetisi antara pemakai
air dalam sistem–sistem penyimpanan air ini.
3. Kekeringan pertanian adalah dampak dari kekeringan meteorologi dan hidrologi
terhadap produksi tanaman pangan dan ternak. Kekeringan ini terjadi ketika
kelembapan tanah tidak mencukupi untuk mempertahankan hasil dan pertumbuhan
rata-rata tanaman. Kebutuhan air bagi tanaman, bagaimanapun juga, tergantung pada
jenis tanaman, tingkat pertumbuhan dan sarana- sarana tanah. Dampak dari
kekeringan pertanian sulit untuk bisa diukur karena rumitnya pertumbuhan tanaman
dan kemungkinan adanya faktor–faktor lain yang bisa mengurangi hasil seperti
hama, alang–alang, tingkat kesuburan tanah yang rendah dan harga hasil tanaman
yang rendah. Kekeringan kelaparan bisa dianggap sebagai satu bentuk kekeringan
yang ekstrim, dimana kekurangan banjir sudah begitu parahnya sehingga sejumlah
besar menusia menjadi tidak sehat atau mati. Bencana kelaparan biasanya
mempunyai penyebab–penyebab yang kompleks sering kali mencangkup perang dan
konflik. Meskipun kelangkaan pangan merupakan faktor utama dalam bencana
kelaparan, kematian dapat muncul sebagai akibat dari pengaruh–pengaruh yang
rumit lainnya seperti penyakit atau kurangnya akses dan jasa-jasa lainnya.
4. Kekeringan sosioekonomi berhubungan dengan ketersediaan dan permintaan akan
barang–barang dan jasa dengan tiga jenis kekeringan yang disebutkan diatas. Ketika
persediaan barang–barang seperti air, jerami atau jasa seperti energi listrik tergantung
pada cuaca, kekeringan bisa menyebabkan kekurangan. Konsep kekeringan
sosioekonomi mengenali hubungan antara kekeringan dan aktivitas–aktivitas
manusia. Sebagai contoh, praktek–praktek penggunaan lahan yang jelek semakin
memperburuk dampak–dampak dan kerentanan terhadap kekeringan di masa
mendatang.
Gejala terjadinya kekeringan adalah sebgai berikut:
1. Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan dibawah normal
dalam satu musim. Pengukuran kekeringan Meteorologis merupakan indikasi
pertama adanya bencana kekeringan.
2. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan
dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk,
danau dan air tanah. Kekeringan Hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya
kekeringan.
3. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah
(kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas yang
menyebabkan tanaman menjadi kering dan mengering.
C. Dampak Kekeringan
1) Fisik
a. Kerusakan terhadap habitat spesies ikan dan binatang.
b. Erosi-erosi angin dan air terhadap tanah.
c. Kerusakan spesies tanaman.
d. Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas air (salinisasi).
e. Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas udara (debu, polutan, berkurangnya daya
pandang).
f. Kekeringan juga menjadikan tanah menjadi mengeras dan retak-retak, sehingga
sulit untuk dijadikan lahan pertanian.
g. Keadaan suhu siang hari pada saat kekeringan akibat musim kemarau menjadikan
suhu udara sangat tinggi dan sebaliknya pada malam hari suhu udara sangat
dingin. Perbedaan suhu udara yang berganti secara cepat antara siang dan malam
menyebabkan terjadinya pelapukan batuan lebih cepat.
2) Non fisik
a. Ekonomi
1. Kerugian-kerugian produksi tanaman pangan, susu, ternak, kayu, dan perikanan.
2. Kerugian pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
3. Kerugian pendapatan petani dan lain-lain yang terkena secara langsung.
4. Kerugian-kerugian dari bisnis turisme dan rekreasi.
5. Kerugian pembangkit listrik tenaga air dan meningkatkan biaya-biaya energy.
6. Kerugian-kerugian yang terkait dengan produksi pertanian.
7. Menurunya produksi pangan dan meningkatnya harga-harga pangan.
8. Pengangguran sebagai akibat menurunnya produksi yang terkait dengan
kekeringan.
9. Kerugian-kerugian pendapatan pemerintah dan meningkatnya kejenuhan pada
lembaga-lembaga keuangan.
b. Sosial Budaya
1. Saat terjadi kekeringan, tanah menjadi kering dan pasir lembut atau debu
mudah terbawa angin. Hal ini menyebabkan debu ada dimana, sehingga
menimbulkan banyak gejala penyakit yang berhubungan dengan pernafasan.
Banyak orang yang akan sakit flu dan batuk.
2. Pengaruh-pengaruh kekurangan pangan ( kekurangan gizi, kelaparan).
3. Hilangnya nyawa manusia karena kekurangan pangan atau kondisi-kondisi
yang terkait dengan kekeringan.
4. Konflik di antara penggunan air.
5. Masalah kesehatan karena menurunnya pasokan air.
6. Ketidakadilan dalam distribusi akibat dampak-dampak kekeringan dan
bantuan pemulihan.
7. Menurunnya kondisi-kondisi kehidupan di daerah pedesaan.
8. Meningkatnya kemiskinan, berkurangnya kualitas hidup.
9. Kekacauan social, perselisihan sipil.
10. Pengangguran meningkat, karena yang tadinya bertani kehilangan mata
pencaharian.
11. Migrasi penduduk untuk mendapatkan pekerjaan atau bantuan pemulihan,
banyaknya TKI (tenaga kerja indonesia) yang memilih keluar negeri.
c. Politik
Pemerintah harus bekerja keras untuk membuat kebijakan penanggulangan
bencana kekeringan. Badan khusus penanggulangan bencana juga harus dibentuk,
seperti yang sudah dibentuk di Indonesia yanitu BNPB (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana).
4. Pembahasan Masalah
A. Potensi Kekeringan di Jawa Tengah dan Jawa Barat
Bencana kekeringan mulai melanda sejumlah wilayah di Tanah Air. Ratusan ribu
hektare tanaman pangan, terutama padi, di Pulau Jawa terancam gagal panen ini
diakibatkan dengan curah hujan yang berkurang serta musim kemarau yang panjang.
Luas lahan padi yang potensial gagal panen terus bertambah seiring dengan musim
kemarau yang berubah pola. Perubahan iklim–para ahli mengaitkannya dengan gejala
pemanasan global–menyebabkan musim hujan dan kemarau di Indonesia bergeser.
Musim kemarau yang biasanya terjadi pada periode April sampai Oktober, tahun ini baru
dimulai pada Juli. Demikian juga dengan musim hujan yang bergeser dari November
sampai Maret ke Februari hingga Juni.
Daerah Gunungsewu merupakan perbukitan kerucut karst yang berada di zona
fisiogafik Pegunungan Selatan Jawa Tengah–Jawa Timur, dan secara administratif
termasuk wilayah Kabupaten Gunungkidul, DIY. Daerah ini senantiasa menderita
kekeringan di musim kemarau, karena air permukaan yang langka. Diperkirakan terdapat
cukup banyak air di bawah tanah, terbukti dari banyak dijumpainya sungai-sungai bawah
permukaan. Geomorfologi Daerah Gunungsewu, berdasarkan morfogenetik dan
morfometriknya dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan, yaitu Satuan Geomorfologi
Dataran Karst, Satuan Geomorfologi Perbukitan Kerucut Karst, dan Satuan
Geomorfologi Teras Pantai. Secara umum karstifikasi di daerah ini sudah mencapai
tahapan dewasa.
Lapisan paling bawah stratigafi Daerah Gunungsewu berupa endapan vulkanik
yang terdiri dari batupasir tufaan, lava, dan breksi, yang dikenal sebagai Kelompok
Besole. Di atas batuan basal tersebut, secara setempat-setempat didapatkan napal Formasi
Sambipitu, serta batugamping tufaan dan batugamping lempungan Formasi Oyo. Di
atasnya lagi dijumpai batugamping Gunungsewu Formasi Wonosari yang dianggap
merupakan lapisan pembawa air. Di bagian paling atas, berturut-turut terdapat napal
Formasi Kepek, endapan aluvial dan endapan vulkanik Merapi.
Daerah ini terletak di kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta yang merupakan
bentukan asal solusional berupa polye. Daerah ini memiliki relief yang berbukit dengan
kandungan batugamping yang tebal dengan struktur berlapis dengan batuan dasar
(basement) berupa batu breksi dan bagian atas berupa batugamping . Proses pembentukan
daerah ini adalah melalui pengangkatan dasar laut dangkal ( zona litoral ) karena adanya
pengaruh tenaga endogen atau tektonik. Polye ini sendiri terbentuk karena adanya gua
bawah tanah yang runtuh atau ambles karena tidak mampu menahan bebannya sendiri.
Proses geomorfologi yang terjadi di daerah ini adalah berupa erosi dan pelapukan pada
batugamping sehingga lapies lapuk dan berubah menjadi tanah mediteran atau terrarosa.
Tanah didaerah ini berupa tanah terrarosa atau mediteran yang bercampur dengan
robakan batugamping kasar, perkembangan tanah tidak terlalu dominan karena didaerah
ini jarang terjadi hujan. Tanah ini sifatnya tidak subur yang terbentuk dari pelapukan
batuan yang kapur dan memiliki kejenuhan basa lebih dari 50 %, bertekstur lempung
debuan namun kondisi tanahnya masih dapat diusahakan untuk kepentingan pertanian
lahan kering.
Kondisi hidrologi daerah ini adalah tidak dijumpainya air permukaan karena
sebagian besar air yang jatuh ke permukaan langsung masuk kedalam tanah karena
batuannya porus, sehingga hampir sebagian besar tersimpan dalam sungai bawah tanah.
Penduduk didaerah ini menggunakan air dari hasil pemompaan sungai Bribin yang
disalurkan melalui pipa-pipa dengan memanfaatkan tenaga gravitasi dan juga
menggunakan PAH atau penampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari. Jenis flora yang terdapat daerah ini adalah ketela, jati, kelapa, jagung, kacang tanah
dan padi gogo. Jenis tanaman ini ditanam pada bagian yang tanahnya sudah berkembang
atau pada cekungan-cekungan yang biasanya terisi oleh tanah terrarosa/mediteran.
Pada gambar tampak bahwa penggunaan lahan didaerah ini didominasi oleh
pertanian lahan kering yaitu sebagai tegalan dan sawah tadah hujan dengan ditanami
ketela, jagung dan padi. Penggunaan lahan seperti ini biasanya terbatas pada cekungan-
cekungan seperti polye dimana pada cekungan tersebut terdapat material hasil pelapukan
batu gamping yang berkembang menjadi tanah terrarosa sehingga lahan dapat
diusahakan. Penduduk setempat sudah berusaha menyesuaikan dengan kondisi alam yang
kurang mendukung dengan berbagai percobaan tanaman yaitu mencari tanaman yang
cocok untuk bentuk lahan seperti ini.
B. Penyebab, Dampak dan Mitigasi Kekeringan di Jawa Tengah dan Jawa Barat
1. Gambaran Umum Kekeringan di Jawa Tengah
Kondisi iklim tropis Provinsi Jawa Tengah yang terletak antara 5o40'-8o30' LS
dan antara 108o30'-111o30' BT menjadikan potensi dan ancaman bencana. Dampak dari
bahaya iklim tersebut adalah banjir, kekeringan, kebakaran lahan dan badai angin.
Kejadian bencana alam karena iklim dalam sepuluh tahun terakhir diantaranya adalah
banjir di Demak, Semarang, Brebes, Cilacap, Kebumen dan Purworejo; kekeringan di
Demak, Grobogan dan Wonogiri; kebakaran lahan di lereng Lawu, Merbabu, Merapi,
Sumbing dan Slamet; terjadi pula badai angin terjadi di Kabupaten Karanganyar,
Boyolali, Klaten dan bagian selatan Provinsi Jawa Tengah.
Kondisi fisiografi Jawa Tengah ditinjau dari tingkat kemiringan lahannya terdiri
dari: 38% lahan dengan kemiringan 0- 2%, 31% lahan dengan kemiringan 2-15%, 19%
lahan dengan kemiringan 15-40%, dan sisanya 12% lahan dengan kemiringan lebih dari
40%. Kawasan pantai utara memiliki dataran rendah yang sempit. Daerah Brebes
mempunyai dataran rendah dengan lebar 40 km dari pantai dan terus menyempit hingga
Semarang mempunyai lebar 4 km yang bersambung dengan depresi Semarang-Rembang
di bagian timur. Kawasan pantai selatan merupakan dataran rendah yang sempit dengan
lebar 10-25 km, kecuali sebagian kecil di daerah Kebumen yang merupakan perbukitan.
Rangkaian utama pegunungan di Jawa Tengah adalah Pegunungan Serayu Utara dan
Serayu Selatan yang dipisahkan oleh Depresi Serayu yang membentang dari Majenang
(Kabupaten Cilacap), Purwokerto, hingga Wonosobo. Terdapat 6 (enam) gunung berapi
aktif di Jawa Tengah, yaitu: Gunung Merapi (di Magelang), Gunung Slamet (di
Pemalang), Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing (di Temanggung-Wonosobo),
Gunung Lawu (di Karanganyar) serta pegunungan Dieng (di Banjarnegara). Menurut
Lembaga Penelitian Tanah-Bogor, jenis tanah di Jawa Tengah didominasi oleh tanah
latosol, aluvial, dan grumosol sehingga hamparan tanah di daerah ini termasuk tanah
yang relatif subur. Kondisi hidrologis Jawa Tengah dibentuk oleh beberapa aliran sungai.
Bengawan Solo merupakan salah satu sungai terpanjang dan merupakan sumber daya air
terpenting. Selain itu terdapat sungai yang bermuara di Laut Jawa diantaranya adalah
Kali Pemali, Kali Comal, dan Kali Bodri serta sungai yang bermuara di Samudera Hindia
diantaranya adalah Luk Ulo dan Cintanduy.
Jawa Tengah memiliki iklim tropis, dengan suhu rata-rata adalah 24,8oC–31,8oC
dan curah hujan tahunan rata-rata 2.618 mm. Daerah dengan curah hujan tinggi terutama
terdapat di daerah Kabupaten Kebumen sebesar 3.948 mm/tahun. Daerah dengan curah
hujan rendah dan sering terjadi kekeringan di musim kemarau berada di daerah Blora,
Rembang, Sebagian Grobogan dan sekitarnya serta di bagian selatan Kabupaten
Wonogiri.
Pemanasan global terjadi karena meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut
dan daratan. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil,
seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas
lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya
gas rumah kaca maka akan menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas Matahari
yang dipancarkan ke Bumi.
Daerah dengan iklim hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi
tanah akan lebih cepat kering. Kekeringan tanah akan merusak tanaman bahkan
menghancurkan suplai makanan. Perubahan iklim global berpengaruh terhadap kondisi
iklim di Jawa Tengah. Musim kemarau menjadi lebih panjang daripada musim hujan
sehingga menyebabkan kekeringan di daerah dengan cadangan air tanah yang minimum.
Daerah yang sering kali mengalami kekeringan terdapat adalah Kabupaten Blora,
Grobogan, Pati, Rembang, Demak, Wonogiri. Sedangkan Kabupaten lain seperti Sragen,
Pemalang, Pekalongan, Tegal, Kendal, dan Brebes pada kondisi ekstrem akan mengalami
kekeringan cukup parah. Distribusi daerah yang sering mengalami kekeringan untuk
wilayah Jawa Tengah dapat dilihat pada gambar berikut:
Dampak kekeringan adalah gagal panen, peningkatan kematian vegetasi,
percepatan pelapukan tanah dan peningkatan penyakit tropis seperti malaria dan demam
berdarah. Berikut adalah data kejadian kekeringan yang pernah terjadi di Provinsi Jawa
Tengah dan dampak yang diakibatkan.
2. Kekeringan di Rembang di Jawa Tengah
a. Penyebab
Setiap tahun kabupaten Rembang diakui mengalami masalah kekeringan, rata-rata diprediksi
setiap tahun hampir 7 sampai 8 bulan tidak terjadi hujan, dan sisanya hari hujan rata-rata
hanya 3 sampai 4 bulan. Kabupaten Rembang terletak di ujung timur laut Propinsi Jawa
Tengah dan dilalui jalan Pantai Utara Jawa (Jalur Pantura). Laut Jawa terletak disebelah
utaranya, secara umum kondisi tanahnya berdataran rendah dengan ketinggian wilayah
maksimum kurang lebih 70 meter di atas permukaan air laut. Adapun batas- batasnya antara
lain:
1) Sebelah Utara : Laut Jawa
2) Sebelah Timur : Kabupaten Tuban Propinsi Jawa Timur
3) Sebelah Selatan : Kabupaten Blora
4) Sebelah Barat : Kabupaten Pati
Secara administratif Kabupaten Rembang memiliki 14 kecamatan, 287 desa, 7 kelurahan
serta memiliki luas wilayah meliputi 101.408 ha. Adapun penyebab kekeringan tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:
1) Topografi
Sebagian besar wilayah Kabupaten Rembang (46,39%) berada pada ketinggian 25 - 100
meter dari permukaan air laut. Sebesar 30,42 % berada pada ketinggian 100-500 meter dan
sisanya berada pada ketinggian 0-25 m dan 500-1000 m. Dengan kondisi topografi datar
sampai dengan pegunungan dan berbukit-bukit. Kelerangan yang terdapat di Kabupaten
Rembang terdiri dari kelerengan 0-2 % seluas 45.205 Ha (46,58%), kelerengan 2-15% seluas
33.233 Ha (43,18%), kelerengan 15-40 % seluas 13.980 Ha (14,38 %), dan sisanya 4,86%
merupakan kelerengan >40%.
Berdasarkan data dari Analisa USLE Wilayah BPDAS Pemali Jratun tahun 2009
menyebutkan bahwa, Rembang mengalami erosi tanah dari kuantitas sangat ringan hingga
berat. Penyebab erosi tanah ini ada yang alami karena proses pelapukan dan sebagian oleh
ulah manusia yang tidak memperhatikan cara konservasi lahan. Alih fungsi lahan
2) Jenis Tanah
Secara umum dapat dikatakan bahwa wilayah Kabupaten Rembang merupakan daerah
pertanian yang cukup berpotensi, kecuali di daerah pegunungan di sebelah timur yang
termasuk pegunungan tandus. Jenis tanah yang ada ermasuk jenis tanah aluvial meliputi
sekitar 10% dari wilayah kabupaten, jenis tanah regosol meliputi area seluas 5%, jenis tanah
andosol meliputi area seluas 8%, tanah grumosol sebesar 32%, dan tanah mediteran merah
kuning seluas 5 % dari seluruh wilayah kabupaten.
Jenis tanah secara umum di jawa tengah adalah jenis tanah aluvial, litosol, dan grumusol.
Aluvial adalah jenis tanah yang berasal dari pengendapan lumpur sungai yang terdapat di
dataran rendah. Tanah ini sangat subur dan sangat baik untuk pertanian padi. Litosol adalah
jenis tanah yang baru mengalami pelapukan dan sama sekali belum mengalami
perkembangan tanah. Berasal dari betuan-batuan konglomerat dan granit, kesuburannya
cukup, dan cocok untuk jenis tanaman hutan. Grumusol adalah jenis tanah ini berwarna
abu-abu kehitaman, cocok untuk tanaman kapas, jagung, keledai, dan tebu. Sama dengan
jenis tanah di Jawa Tengah secara umum, di Rembang pun terdapat ketiga jenis tanah
tersebut. Jenis tanah grumusol merupakan jenis tanah yang akan pecah-pecah saat terjadi
musim kemarau, karena tanah ini tidak dapat menyimpan air.
3) Klimatologi
Wilayah Kabupaten Rembang merupakan dataran rendah di bagian Utara Pulau Jawa,
maka wilayah tersebut memiliki jenis iklim tropis dengan suhu maksimum 33 º C dan suhu
rata-rata 23 º C. Dengan bulan basah 4 sampai 5 bulan, sedangkan selebihnya termasuk
kategori bulan sedang sampai kering. Terdapat hujan selama 1 tahun yang tidak menentu,
sehingga implikasinya sering terjadi kekeringan di wilayah Kabupaten Rembang.
Berdasarkan hal tersebut, maka upaya-upaya untuk melakukan konservasi sumber daya air
dan pengembangan embung-embung kecil untuk menahan air hujan sangat diperlukan.
Upaya ini diharapkan dapat menjaga kesinambungan sumber daya air terutama pada musim
kemarau baik untuk kebutuhan pengairan sawah maupun untuk kebutuhan lainnya.
Kepala Kantor Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Rembang Suharso mengatakan,
berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data dari stasiun Klimatalogi Semarang bahwa
prakiraan curah hujan pada bulan Mei 2011 di beberapa wilayah Jawa Tengah masih terjadi
hujan, dengan prakiraan hujan pada umumnya berkisar antara 100 mm sampai 400 mm per
bulan. Namun ada beberapa daerah curah hujannya di perkirakan hanya berkisar antara 50
mm-100 mm per bulan, dan ada pula beberapa daerah lebih besar 400 mm per bulan.
Sedangkan pada bulan Mei 2011 di perkirakan frekwensi dan intensitas curah hujan
berkurang mengingat bulan Mei 2011 sudah memasuki musim kemarau. Lebih lajut
dikatakan Suharso, bahwa sifat hujan di Jawa Tengah pada umumnya normal (N) dan
beberapa daerah sifat hujannya Atas Normal (AN). Sedangkan curah hujan di kabupaten
Rembang pada bulan Mei 2011 berkisar antara 50-100 mm perbulan dan sifat hujannya
Normal (N).
4) Hidrologi
Kabupaten Rembang memiliki curah hujan yang rendah dan memiliki sumber air berupa
air permukaan dan air tanah. Sumber air permukaan berupa sungai, bendungan dan air laut.
Sungai yang melewati wilayah Kabupaten embang antara lain Sungai Randugunting,
Babagan, Karanggeneng, Kening, Telas, Kalipang, Sudo dan Sungai Patiyan. Di Kabupaten
Rembang terdapat 21 bendungan dan 25 daerah irigasi, tetapi tidak sepanjang tahun dialiri
air. Wilayah pantai meliputi sepanjang 7 km.
Rusaknya daerah hulu sungai yang berakibat berkurangnya daerah tangkapan hujan,
sehingga menyebabkan pada musim penghujan air tidak dapat ditampung dan menyebabkan
banjir. Sedangkan pada musim kemarau akibat tidak adanya tampungan air pada musim
hujan maka pada musim ini terjadi kekeringan.
c. Dampak kekeringan
1) Dampak Perekonomian
Kekeringan di Rembang mengakibatkan gagal panen. Sebagian besar lahan pertanian adalah
lahan tadah hujan, sehingga sangat bergantung dengan musim penghujan. Padahal dari data
klimatologi rata-rata 50 – 100 mm per bulan. Di Rembang rata-rata per tahun terjadi musim
kemarau lebih panjang dibanding dengan musim penghujan, setiap tahunnya rata-rata 4 – 5
bulan merupakan musim penghujan, dan selebihnya adalah musim kemarau. Data
menunjukan pada tahun 2003, 4.924 ha tanaman padi mengalami puso. Tafsiran kerugian
petani mencapai Rp7,3 milyar lebih.
Hal tersebut di atas tentu akan menimbulkan kerugian terhadap pendapatan petani. Selain itu
juga akan menyebabkan pengangguran karena sebagian besar petani akan mengurangi
produksi pada musim kemarau sehingga tentunya akan mengurangi konsumsi penggunaan
tenaga kerja.
Dengan adanya gagal panen akibat kekeringan juga akan menimbulkan krisis pangan.
Kekeringan akan mengurangi hasil produktifitas Indonesia secara umum dan juga akan
menyebabkan Rembang kekurangan pangan, seperti padi.
Sektor Perikanan juga akan terpengaruh dengan adanya bencana kekeringan. Produktifitas
akan menurun sehingga akan menurunkan pendapatan penduduk bahkan akan menyebabkan
pengangguran.
2) Dampak Sosial
Dampak sosial dari kekeringan dapat terjadi konflik antar pengguna air yang saling berebut
air, khususnya air bersih. Secara tidak langsung kekeringan juga akan meningkatkan
kriminalitas di daerah bencana. Dampak lain adalah meningkatkan kemungkinan kebakara
dan kesehatan memburuk, seperti menyebarnya penyakit malaria dan demam berdarah.
d. Penanggulangan
Pra bencana
Penanggulangan pra bencana adalah penanggulangan untuk mencegah atau mengurangi
dampak dari kekeringan. Adapun hal-hal yang harus dilakukan antara lain:
1) Menjaga daerah tangkapan hujan, seperti menanami kembali hutan-hutan gundul dan
menjaga agar ilegal logging tidak terjadi lagi sehingga meminimalisir erosi yang akan
mendangkalkan sungai. Pendangkalan sungai di satu sisi dapat menyebabkan banjir
juga akan menimbulkan kekeringan karena sungai tidak mampu menampung air dalam
jumlah banyak.
2) Membangun waduk atau DAM di sungai-sungai sehingga akan meningkatkan cadangan
air.
3) Mengurangi pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian atau perkebunan.
Dalam hal ini polisi hutan dan pihak terkait harus saling bekerja sama dalam menjaga
kelestarian hutan sebagai daerah tangkapan hujan.
4) Sosialisasi kepada masyarakat agar berhemat dalam menggunakan air dan dalam
menjaga kelestarian alam, khususnya daerah tangkapan hujan.
5) Pemerintah setempat mengetahui daerah rawan bencana kekeringan, sehingga
pemerintah dapat melakukan pencegahan dini.
6) Pemerintah setempat juga harus menyediakan dana bagi penanggulangan bencana
kekeringan saat terjadi dan pasca terjadinya bencana.
7) Menyiapkan cadangan/ stok pangan.
8) Menyiapkan lapangan kerja sementara
3) Pada saat terjadi kekeringan
Penanggulangan yang dilakukan saat bencana terjadi, adapun caranya antara lain:
1) Pemberian bantuan air bersih kepada daerah-daerah yang krisis air. Di Rembang pada
tahun 2009 mengalami kekeringan yang cukup besar, sebanyak 90 desa di 13 kecamatan
mengalami kekeringan dan mendapat bantuan dari pemerintah sebanyak sekurang-
kurangnya 2000 tangki air bersih didistribusikan.
2) Meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat, dan pencegahan penyakit malaria dan
demam berdarah.
3) Mengendalikan konflik masyarakat setempat dalam berebut air bersih.
4) Memberikan bantuan pangan kepada mereka yang mendapat dampak dari gagal panen.
Atau pemerintah juga dapat membeli hasil panen meskipun dengan kualitas di bawah
standar sehingga para petani tidak terlalu merugi.
5. Kesimpulan
Perubahan iklim global berpengaruh terhadap kondisi iklim di Jawa Tengah. Musim
kemarau menjadi lebih panjang daripada musim hujan sehingga menyebabkan kekeringan di
daerah dengan cadangan air tanah yang minimum. Dampak kekeringan adalah gagal panen,
peningkatan kematian vegetasi, percepatan pelapukan tanah dan peningkatan penyakit tropis
seperti malaria dan demam berdarah. Berikut adalah data kejadian kekeringan yang pernah
terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan dampak yang diakibatkan. Adapun penyebab
kekeringan tersebut antara lain adalah topografi, jenis tanah, klimatologi, dan hidrologi.
Penanggulangan pra bencana adalah penanggulangan untuk mencegah atau mengurangi
dampak dari kekeringan. Adapun hal-hal yang harus dilakukan antara lain Menjaga daerah
tangkapan hujan, Membangun waduk atau DAM di sungai-sungai sehingga akan
meningkatkan cadangan air, Mengurangi pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian
atau perkebunan, Sosialisasi kepada masyarakat agar berhemat dalam menggunakan air dan
dalam menjaga kelestarian alam, khususnya daerah tangkapan hujan, Pemerintah setempat
mengetahui daerah rawan bencana kekeringan, sehingga pemerintah dapat melakukan
pencegahan dini, Pemerintah setempat juga harus menyediakan dana bagi penanggulangan
bencana kekeringan saat terjadi dan pasca terjadinya bencana, Menyiapkan cadangan/ stok
pangan, Menyiapkan lapangan kerja sementara.
6. Daftar Pustaka
Pusatkrisis.kemkes.go.id. 2021. Dampak dan Solusi Mengatasi Kekeringan Di Indonesia.
https://pusatkrisis.kemkes.go.id/dampak-dan-solusi-mengatasi-kekeringan-di-indonesia