Anda di halaman 1dari 8

1.

Pengertian Hukum Humaniter


Istilah hukum humaniter yang disebut international humanitarian law
applicable in armed conflict berasal dari istilah hukum perang (laws of war),
yang kemudian berkembang menjadi hukum konflik bersenjata (laws of armed
conflict). Kami menyebutnya dengan istilah hukum humaniter. Walaupun
istilah hukum humaniter internasional telah mengalami perubahan, namun
tetap memiliki inti dan tujuan yang sama, yaitu mengatur tata cara
pertempuran dan perlindungan pihak-pihak yang berbeda yang terlibat dalam
konflik bersenjata.
International Committee Of The Red Cross (ICRC) memandang hukum
humaniter internasional sebagai ketentuan hukum internasional yang tertuang
dalam perjanjian dan kebiasaan internasional, yang bertujuan untuk mengatasi
semua masalah kemanusiaan yang timbul selama konflik bersenjata
internasional atau non-internasional. , hak para pihak dalam konflik untuk
menggunakan senjata dan metode peperangan untuk melindungi orang dan
harta benda yang terkena dampak konflik bersenjata.
Hukum humaniter pada intinya terdiri dari dua bagian, yaitu:
a. Ketentuan yang mengatur tentang cara/pelakasanaan permusuhan (conduct
of hostilities) yang meliputi ketentuan yang mengatur alat atau sarana
(means) dan cara atau metode (methodes) berperang;
b. Ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban perang
(protection of war victims).1

Tujuan dari hukum humaniter bukanlah untuk melarang perang, dari


sudut pandang hukum humaniter, perang adalah suatu kenyataan yang tidak
dapat dihindari. Hukum humaniter berusaha mengatur perang agar perang
dapat dilancarkan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan
Tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiakan perang.2

2. Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter

1
Andrey Sujatmoto, 2014, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, hlm.171
2
Arlina Permanasari, op.cit, hlm. 11.
Eksekusi hukum humaniter secara khusus ditafsirkan sebagai
implementasi hukum yang mengandung standar hukum humaniter dalam
konteks dan perspektif sehingga tujuannya tercapai. Implementasi hukum
humaniter mencakup kegiatan-kegiatan berikut, termasuk langkah-langkah
untuk mencegah, implementasi hukum, fase hukum dan tahap lainnya.3
4
Upaya pencegahan dilakukan dengan cara meliputi penyebaran
pengetahuan tentang hukum humaniter di tingkat nasional dan internasional,
dengan menyelenggarakan kursus pelatihan bagi kader profesional dan dengan
memberikan fasilitas pelatihan kepada badan-badan negara seperti militer.
Dengan menyusun undang-undang dan peraturan terkait dan oleh
menerjemahkan teks terkait ke dalam hukum humaniter.
Tahap implementasi adalah pelaksanaan pengawasan terhadap
pelaksanaan hukum humaniter selama masa konflik. 5 Dilakukan oleh negara
yang dilindungi atau negara yang dilindungi pada saat terjadi konflik dan
pelaksanaan pengawasan dan aksi kemanusiaan oleh International Committee
of Red Cross (ICRC).6
Tindakan yang kontras terhadap pelanggaran hukum humaniter.7
Berdasarkan Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977,
telah ditetapkan bahwa negara-negara anggota memiliki kewajiban untuk
mencegah dan menghukum pelanggaran hukum humaniter.60 Dalam
ketentuan pasal 49 ayat 1 Konvensi Jenewa 1949, dikatakan bahwa:8
“The high contracting parties undertake to enact any legislation
necessary to provide effective penal sanctions for person committing,
or ordering to be committed, any of the grave breaches of the present
Convention defined in the following article.”

3
H. Jaka Triyana dkk. 2015. Konteks Dan Perspektif Politik Terkait Hukum Humaniter
Internasional Kontemporer. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. Hlm 1
4
H. Jaka Triyana, Op.Cit., hlm 4
5
Ibid
6
Pasal 126 Konvensi Jenewa III dan pasal 143 Konvensi Jenewa IV tahun 1949
7
H. Jaka Triyana, Op.Cit., hlm 5
8
Pasal 1 (Common article), pasal 49 ayat 1 Konvensi Jenewa I, pasal 87 dan pasal 90 Protokol
Tambahan 1977.
Kewajiban ini menyiratkan bahwa negara-negara anggota harus
memberlakukan undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana yang
efektif bagi siapa saja yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan
pelanggaran serius terhadap hukum humaniter. itu dapat diambil oleh
mekanisme internasional melalui pengadilan ad hoc atau permanen seperti
ICC. Pada dasarnya kejahatan perang adalah kejahatan internasional, sehingga
pada prinsipnya kejahatan tersebut dapat diadili oleh ICC. Mekanisme
peradilan ICC hanya mengadili orang. Selain itu, dikenal pula sanksi atas
pelanggaran hukum humaniter yang terbagi menjadi dua:
a. Sanksi kepada negara atau lembaga seperti complaint (diprotes),
Reprisal,dan Pembayaran ganti rugi atau kompensasi.
b. Sanksi kepada Individu seperti pelaku pelanggaran diadili sebagai penjahat
perang atau pelaku International Crimes sehingga pelaku bisa diadili oleh
peradilan negara manapun dan peradilan internasional atau ICC.

Langkah-langkah lainnya adalah langkah-langkah implementasi yang


harus dilakukan bersamaan dengan tiga langkah sebelumnya, seperti
menetapkan prosedur investigasi/penyelidikan standar, bekerja sama dengan
International Commission of Inquiry, dan bekerja sama dengan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).9

3. Sumber Hukum Humaniter


Mengenai sumber hukum humaniter, berdasarkan data yang diperoleh
dari Komite Internasional Palang Merah dijelaskan bahwa hukum humaniter
merupakan salah satu cabang hukum internasional publik yang memuat
norma-norma, yaitu bahwa pada saat konflik bersenjata karena alasan
kemanusiaan, itu bertujuan untuk melindungi orang-orang yang tidak atau
tidak lagi terlibat langsung dalam pertempuran hukum humaniter, dan untuk
membatasi sarana dan metode pertempuran. Dengan kata lain,hukum
humaniter adalah salah satu perjanjian internasional atau tradisi hukum adat
yang secara khusus ditujukan untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan yang

9
H. Jaka Triyana. Op.Cit. hlm 6
timbul langsung dari konflik bersenjata, baik yang bersifat internasional
maupun non-internasional.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa hukum humaniter
merupakan bagian dari hukum internasional, oleh karena itu sumber hukum
humaniter sama dengan sumber hukum internasional yang mengacu pada Pasal
38 (1) Statuta Mahkamah Internasional. Keadilan yang mengatur tentang
sumber hukum yang berlaku, yaitu:
a. International convention whether general or particular estabilishing rules
expressly recognized by the contesting state.
b. International custom as evidence of a general practices accepted as law.
c. The general principle as law recognized by civilized nation.
d. Subject to the provision of article 59, judicial decisions and theaching of
most highly qualified publicists of the nation, as subsidiary means for the
determination of rules of law.

Dalam hukum humaniter yang sama ditemukan sumber-sumber hukum


utama, yaitu hukum Den Haag dan hukum Jenewa, hukum Jenewa mengatur
tentang perlindungan korban perang, sedangkan hukum Den Haag mengatur
tentang alat dan cara perang.

a. Hukum Den Haag


Hukum Den Haag adalah ketentuan hukum humaniter yang
mengatur tentang cara dan sarana peperangan. Dalam membahas Hukum
Den Haag, kita akan membahas hasil konferensi perdamaian pertama yang
diadakan pada tahun 1899 dan konferensi perdamaian kedua yang diadakan
pada tahun 1907.10
1) Konvensi Den Haag 1899
Konferensi Perdamaian Pertama yang berlangsung dari tanggal 20
Mei 1899 hingga 29 Juli 1899 yang diadakan di Den Haag, melahirkan
Konvensi Den Haag tahun 1899. Dalam konferensi perdamaian ini
dihasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi:

10
Arlina Permanasari, op.cit, hlm. 22.
a) Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional.
b) Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
c) Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22
Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

a) Deklarasi tentang larangan penggunaan peluru-peluru dum-dum


(peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian
dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).
b) Deklarasi tentang larangan peluncuran proyektilproyektil dan bahan-
bahan peledak dari balon.
c) Deklarasi tentang larangan penggunaan proyektilproyektil yang
menyebabkan gas-gas cekik dan beracun.11
2) Konvensi Den Haag 1907
Konvensi-konvensi ini merupakan hasil dari Konferensi
Perdamaian Den Haag Kedua sebagai lanjutan dari Konferensi
Perdamaian Den Haag I tahun 1899. Konvensi-konvensi yang dihasilkan
oleh Konferensi Perdamaian Den Haag Kedua menghasilkan 13
konvensi. onvensi-konvensi Den Haag tahun 1907 yaitu :
a) Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
b) Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut
Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;
c) Konvensi III tentang Cara Memulai Permusuhan;
d) Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat yang
dilengkapi dengan Regulasi (Peraturan) Den Haag;
e) Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Orang-orang
Netral dalam Perang di darat;
f) Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat
Permulaan Peperangan;

11
http://pusham.uii.ac.id/ham/15_Chapter9.pdf
g) Konvensi VII tentang Pengubahan Kapal Dagang menjadi Kapal
Perang;
h) Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam laut;
i) Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang;
j) Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang
perang di laut;
k) Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
Penangkapan dalam Perang di Laut;
l) Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-Barang Sitaan
m)Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam
Perang di Laut.
b. Hukum Jenewa
Hukum Jenewa yang mengatur tentang perlindungan korban perang
terdiri dari beberapa kesepakatan pokok, yaitu empat Konvensi Jenewa
tahun 1949, yang masing-masing adalah:
1) Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Perang Yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat;
2) Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Perang Di Laut Yang Luka, Sakit dan Korban Karam;
3) Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan
Perang;
4) Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di
Waktu Perang.

Mengenai Konvensi Jenewa, berdasarkan data yang diperoleh dari


Komite Internasional Palang Merah Indonesia, dijelaskan bahwa Konvensi
Jenewa tahun 1949 merupakan langkah penting dalam pengembangan HHI.
Konvensi Den Haag 1907. Karena jika revisi Konvensi Jenewa dapat
mengkompromikan beberapa kemajuan yang dibuat pada tahun 1949,
diputuskan untuk mengadopsi teks baru dalam bentuk Protokol tambahan
untuk Konvensi Jenewa, yang berlangsung pada bulan Juni 1977.
Protokol Tambahan I melengkapi perlindungan yang ditawarkan
oleh Konvensi Jenewa dalam konflik bersenjata internasional. Misalnya,
menjamin perlindungan warga sipil yang terluka, sakit, dan karam serta
personel medis sipil. Selanjutnya, Protokol Tambahan I mengkodifikasikan
berbagai aturan yang berkaitan dengan perlindungan penduduk sipil
terhadap dampak permusuhan.

Protokol Tambahan II mengembangkan dan melengkapi Pasal 3 dari


ketentuan yang sama dan berlaku dalam konflik bersenjata non-
internasional antara angkatan bersenjata suatu negara dan angkatan
bersenjata pembangkang atau kelompok bersenjata lainnya di bawah
komando yang bertanggung jawab, dengan mengendalikan sebagian
wilayah dengan cara yang memungkinkan mereka untuk melakukan operasi
militer secara terus menerus dan untuk bersama-sama melaksanakan
Protokol ini. Protokol Tambahan II memperkuat perlindungan di luar
standar minimum yang terkandung dalam Pasal 3 dengan memasukkan
larangan serangan langsung terhadap warga sipil, hukuman kolektif,
tindakan terorisme, pemerkosaan, kekerasan paksa, pelacuran dan
penyerangan tidak senonoh, perbudakan dan penjarahan yang berkaitan
dengan perlakuan terhadap orang miskin. dari kebebasan mereka.

Pada tahun 2005, Protokol Tambahan III untuk Konvensi Jenewa


tahun 1949 diadopsi. Instrumen ini termasuk emblem tambahan yang terdiri
dari bingkai berbentuk persegi merah di tepi pada dasar putih yang
kemudian dikenal sebagai kristal merah. lambang tidak dimaksudkan untuk
menggantikan palang merah dan bulan sabit. merah tetapi untuk
memberikan opsi tambahan. Bentuk dan nama lambang lainnya akhirnya
ditemukan setelah melalui proses seleksi yang panjang, yang bertujuan
untuk menciptakan lambang yang bebas dari konotasi politik, agama atau
lainnya dan mampu digunakan di seluruh dunia.
c. Sumber Sumber Hukum Lainnya
Di samping Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag, juga terdapat
perjanjian-perjanjian lainnya sebagai sumber-sumber hukum humaniter
antara lain :
1) Deklarasi Paris (16 april 1856);
2) Deklarasi St. Petersburg (29 November-11 Desember 1868);
3) Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara (1923);
4) Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelaranggan Penggunaan Gas
Cekik dan Macam-Macam Gas Lain dalam Peperangan;
5) Protokol London (6 Nopember 1936) tentang Peraturan Penggunaan
Kapal Selam dalam Pertempuran;
6) Konvensi Den Haag 1954 tentang perlindungan Benda-Benda Budaya
pada waktu Pertikaian Bersenjata;
7) Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (10 Oktober 1980) tentang
larangan atau Pembatasan Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu
yang mengakibatkan Penderitaan yang berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai