Anda di halaman 1dari 71

CRITICAL JOURNAL REVIEW

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah olahraga adaptif


Dosenpengampu: Dr. Nurhayati Simatupang, M.Kes

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

RICO FRANSISCO
6193210028
IKOR V A 2019

PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
IDENTITAS JURNAL I

Judul jurnal :PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNA GRAHITA (STUDI KASUS TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB
PURWAKARTA)
Jurnal : penelitian dan PKM

Volume dan No : Vol 4, No: 2

ISSN :2442-448X (p), 2581-1126 (e)


Tahun : Juli 2017

Penulis : I FATIMAH MUTIA SARI, BINAHAYATI, BUDI MUHAMMAD


Reviewer : Rico fransisco

Tanggal : 12 November 2021

LATAR BELAKANG

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang dilahirkan dengan kebutuhan-kebutuhan


khusus yang berbeda dari manusia pada umumnya sehingga membutuhkan pelayanan khusus.
Seseorang dengan memiliki hambatan kecerdasan sudah dipastikan bahwa ia adalah penyandang
tunagrahita. Anak dengan tunagrahita memiliki kecenderungan kurang peduli terhadap
lingkungannya, baik dalam keluarga ataupun lingkungan sekitarnya. Masyarakat pada umumnya
mengenal tunagrahita sebagai retardasi mental atau terbelakang mental atau idiot. Menurut
Kustawan, D. (2016) merupakan anak yang memiliki inteligensi yang signifkan berada dibawah rata-
rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa
perkembangan.

Kustawan, D. (2016) juga mengatakan bahwa anak dengan tunagrahita mempunyai hambatan
akademik yang sedemikian rupa sehingga dalam layanan pembelajarannya memerlukan modifikasi
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan khususnya. Selaras dengan pendapat Kustawan bahwa
anak dengan tunagrahita mempunyai hambatan dalam memproses pembelajaran bagi anak pada
umumnya. Meskipun anak tunagrahita memiliki hambatan tersebut, tidak menutup kesempatan
untuk menerima pendidikan yang layak dan tepat baik di rumah dan khususnya di sekolah. Agar anak
dengan tunagrahita memiliki masa depan yang cerah, sama seperti anak pada umumnya.

RUMUSAN MASALAH

keterlambatan dalam perkembangan kecerdasannya, siswa tunagrahita akan mengalami berbagai


hambatan dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, bahkan diantara mereka ada
yang mencapai sebagaian atau kurang, tergantung pada berat ringannya hambatan yang dimiliki anak
serta perhatian yang diberikan oleh lingkungannya seperti sekolah.

TUJUAN PENELITIAN

Agar anak tuna grahita mendapat pendidikan yang layak dan tepat baik di rumah dan khususnya di
sekolah

HAKIKAT PENDIDIKAN

Sekolah merupakan sebuah tempat yang dijadikan sebagai sarana dalam suatu pembelajaran
untuk anak. Selaras dengan pemaparan oleh Sunarto (1993) dalam Abdullah (2011) pada saat ini kata
sekolah telah berubah artinya menjadi bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta
tempat memberi dan menerima pelajaran. Pada prosesnya, sekolah diciptakan untuk memberikan
pengajaran kepada anak (murid) dengan pengawasan beberapa pendidik (guru) dengan tujuan
tertentu. Tujuan tersebut untuk membentuk anak (murid) agar mengalami kemajuan dan
perkembangan pengetahuan. Perkembangan dari pengetahuan tersebut diperoleh dengan proses
pembelajaran.

Berdasarkan pemaparan Edzioni (1964) dalam Robinson (1986) mengemukakan bahwa sekolah
telah “dengan sengaja diciptakan” dalam arti bahwa pada tertentu telah diambil sebuah keputusan
untuk mendirikan sekolah guna memudahkan pengajaran yang sangat beraneka ragam. Berkaca
dengan pemaparan sebelumnya, sekolah merupakan sebuah sistem yang saling terkait di dalamnya,
ada pihak sebagai pengajar, ada pihak yang menerima pengajaran, adapula pihak yang membuat
sekoalh terlihat selalu bersih. Hal ini menunjukan bahwa saat sekolah “dengan sengaja diciptakan”
maka segala sesuatu yang ada di dalamnya sudah terkondisikan dengan baik. Mulai dari tenaga
pendidik yang berkompeten di bidangnya, sistem pembelajaran yang sesuai dengan pihak yang
menerima pengajaran dalam hal ini anak murid, dan semua fasilitas sekolah yang mendukung kedua
pihak tersebut. Terlepasdari tingkatan sekolah yang beragam mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), baik sekolah negeri ataupun swasta.

Merujuk pada Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
pasal 15 yang berbunyi “jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaan, dan khusus”. Melihat dari penjelasan tersebut, Indonesia sudah memperhatikan
orang dengan berkebutuhan khusus dalam mendapatkan pendidikan yang setara dengan adanya
peraturan tersebut. Indonesia dalam kategori sekolah untuk orang dengan berkebutuhan khusus
terdapat sekolah inklusi dan sekolah luar biasa

HAKIKAT ABK (TUNAGRAHITA)

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangan
mengalami kelainan atau penyimpangan fisik mental-intelektual sosial atau emosional dibanding
dengan anak-anak lain seusianya, sehingga mereka memerlukan pelayanan khusus (Darmawanti dan
Jannah, 2004: 15). Meskipun anak termasuk kedalam kategori anak berkebutuhan khusus, tetapi
memiliki hak yang sama dengan anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus berhak
mendapatkan kasih sayang yang sama dari kedua orang tuanya, perlakuan khusus sesuai kategori
yang dialaminya, serta mendapatkan mendapatkan pendidikan yang layak dan memenuhi setiap
kebutuhannya. Sebagaimana diketahui bahwa anak dengan berkebutuhan khusus memiliki
kebutuhankebutuhan khusus sesuai dengan kategorinya yang harus terpenuhi, baik di rumah atau
bahkan di sekolah terlebih bagi anak tunagrahita.

Ada pula penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muhammad ‘Ainul Yaqin pada tahun 2015
mengenai Peran Orang Tua dalam Menanamkan Akhlak pada Anak Tunagrahita di Sekolah Luar Biasa
(SLB) Negeri Semarang (perspektif bimbingan islam). Dalam penelitian tersebut menjelaskan bahwa
dengan segala kendala sikap dan perilaku dari anak tunagrahita, orang tua tetap memiliki peran
dalam pembentukan sikap, perilaku dan karakter di dalam rumah. Sejalan dengan penelitian
tersebut, peneliti beranggapan bahwa selain peran orang tua, ada pula peran sekolah dalam
pemenuhan kebutuhan perkembangan anak tunagrahita. Karena keterlambatan dalam
perkembangan kecerdasannya, siswa tunagrahita akan mengalami berbagai hambatan dalam upaya
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, bahkan diantara mereka ada yang mencapai sebagaian
atau kurang, tergantung pada berat ringannya hambatan yang dimiliki anak serta perhatian yang
diberikan oleh lingkungannya. Menurut Witmer & Kotinsky (Frampton & Gail, 1955: 117-119)

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Metode deskriptif ini bertujuan
untuk memecahkan masalah dari data yang ada dan berkembang sampai sekarang, berusaha
menggambarkan apa adanya objek yang di teliti, menuturkan dan menafsirkan data yang ada.
Adapun peneliti disini adalah menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta
– fakta penelitian, pemenuhan kebutuhan khusus bagi siswa penyandang tunagrahita sedang di
Sekolah Luar Biasa Negeri Purwakarta.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik yang penulis lakukan dalam rangka mencari dan mengumpulkan data adalah dengan cara :

a. Observasi kelapangan penelitian, teknik ini dilakukan untuk memperoleh data primer, kemudian
mengumpulkan data-data dari refensi yang berkaitan dengan penelitian.

b. Wawancara, teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan
secara langsung kepada responden.
c. Studi dokumentasi, teknik ini bertujuan untuk mendokumentasikan hal-hal yang perlu di
dokumentasikan.

SAMPEL

Sampel yang di ambil pada penelitian ini adalah anak tunagrahita sedang di SLB N PURWAKARTA

HASIL PENELITIAN

Menurut Witmer & Kotinsky (Frampton & Gail, 1955: 117-119) menjabarkan kedelapan kebutuhan
tersebut, yaitu 6 :
1. Perasaan terjamin kebutuhannya akan terpenuhi (The Sense of Trust)
2. Perasaan Berwenang mengatur diri (The Sense of Autonomy)

3. Perasaan dapat berbuat menurut prakarsa sendiri (The Sense of Intiative)


4. Perasaan puas telah melaksanakan tugas (The Sense of Duty and Accomplisment)

5. Perasaan bangga atas identitas diri (The Sense of Identity)


6. Perasaan Keakraban (The Sense of Intimacy)
7. Perasaan Keorangtuaan (The Parental Sense)
8. Perasaan Integritas (Integrity Sense)

KESIMPULAN

Berdasarkan dari beberapa literatur yang sudah dipaparkan, penulis meyadari betul bahwa anak
berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama, khususnya tunagrahita. Hak yang sama dalam
berbagai hal, termasuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan secara formal ataupun
nonformal. Merekapun memiliki hak untuk mendapatkan semua fasilitas yang diberikan oleh negara
dengan tanpa dibedakan.

IDE YANG DI PEROLEH DARI JURNAL


Dari jurnal diatas dapat kita ambil ide baru yang dapat membangun untuk kedepannya yang dimana
kita sebagai orang normal patut bersyukur atas nikmat yang TUHAN berikan, oleh karena itu kita
sebaiknya :

1. Kita harus mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan


2. Kita harus menghargai orang yang memiliki keterbatasan fisik atau mental
3. Kita bisa ikut ambil bagian dalam membina mereka
ISSN
Jurnal Penelitian & PKM Juli 2017 Vol 4, No: 2 Hal: 129 - 389
2442-448X (p), 2581-1126 (e)

PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNA GRAHITA


(STUDI KASUS TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB N
PURWAKARTA)

OLEH:
SITI FATIMAH MUTIA SARI1, BINAHAYATI2, BUDI MUHAMMAD T3
1. Mahasiswa Program Studi Sarjana (S-1) Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Padjadjaran
2. Pusat Studi Kesejahteraan Anak dan Keluarga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran 3.
Departemen Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Email:

(sitifms25@gmail.com; titirusyidi06@gmail.com; budi_taftazani@yahoo.com )

ABSTRAK

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang dilahirkan dengan kebutuhan-kebutuhan khusus
yang berbeda dari manusia pada umumnya sehingga membutuhkan pelayanan khusus. Seseorang
dengan memiliki hambatan kecerdasan sudah dipastikan bahwa ia adalah penyandang tunagrahita.
Anak dengan tunagrahita memiliki kecenderungan kurang peduli terhadap lingkungannya, baik dalam
keluarga ataupun lingkungan sekitarnya. Masyarakat pada umumnya mengenal tunagrahita sebagai
retardasi mental atau terbelakang mental atau idiot. Menurut Kustawan, D. (2016) merupakan anak
yang memiliki inteligensi yang signifkan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan
ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Ia juga
mengatakan bahwa anak dengan tunagrahita mempunyai hambatan akademik yang sedemikian rupa
sehingga dalam layanan pembelajarannya memerlukan modifikasi kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan khususnya. Selaras dengan pendapat Kustawan bahwa anak dengan tunagrahita
mempunyai hambatan dalam memproses pembelajaran bagi anak pada umumnya. Meskipun anak
tunagrahita memiliki hambatan tersebut, tidak menutup kesempatan untuk menerima pendidikan yang
layak dan tepat baik di rumah dan khususnya di sekolah. Agar anak dengan tunagrahita memiliki
masa depan yang cerah, sama seperti anak pada umumnya.

Kata Kunci : Anak Berkebutuhan Khusus, Tunagrahita, dan Pendidikan.

ABSTRACK
Children with special needs are children born with special needs that are different from humans in
general and require special services. A person with a barrier of intelligence has been assured that he
is a person with a disability. Children with tunagrahita have a tendency to care less about the
environment, either in the family or the surrounding environment. Society generally recognizes
tunagrahita as mental retardation or mental retardation or idiot. According to Kustawan, D. (2016) is a
child who has a significant intelligence below average and accompanied by an inability to adapt the
behavior that emerged in the development period. He also said that children with tunagrahita have
academic obstacles such that in the learning service requires modification of curriculum that suits their
particular needs. In line with the opinion of Kustawan that children with tunagrahita have barriers in
processing learning for children in general. Although child retardation has these barriers, it does not
close the opportunity to receive proper and proper education both at home and especially at school.
In order for a child with tunagrahita to have a bright future, just like a child in general.
Keywords : Children with special needs, Tunagrahita, and education.

217
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

Pendahuluan

Sekolah merupakan sebuah tempat yang dijadikan sebagai sarana dalam suatu
pembelajaran untuk anak. Selaras dengan pemaparan oleh Sunarto (1993) dalam
Abdullah (2011) pada saat ini kata sekolah telah berubah artinya menjadi bangunan
atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat memberi dan menerima
pelajaran. Pada prosesnya, sekolah diciptakan untuk memberikan pengajaran kepada
anak (murid) dengan pengawasan beberapa pendidik (guru) dengan tujuan tertentu.
Tujuan tersebut untuk membentuk anak (murid) agar mengalami kemajuan dan
perkembangan pengetahuan. Perkembangan dari pengetahuan tersebut diperoleh
dengan proses pembelajaran.
Berdasarkan pemaparan Edzioni (1964) dalam Robinson (1986) mengemukakan
bahwa sekolah telah “dengan sengaja diciptakan” dalam arti bahwa pada tertentu telah
diambil sebuah keputusan untuk mendirikan sekolah guna memudahkan pengajaran
yang sangat beraneka ragam. Berkaca dengan pemaparan sebelumnya, sekolah
merupakan sebuah sistem yang saling terkait di dalamnya, ada pihak sebagai pengajar,
ada pihak yang menerima pengajaran, adapula pihak yang membuat sekoalh terlihat
selalu bersih. Hal ini menunjukan bahwa saat sekolah “dengan sengaja diciptakan” maka
segala sesuatu yang ada di dalamnya sudah terkondisikan dengan baik. Mulai dari
tenaga pendidik yang berkompeten di bidangnya, sistem pembelajaran yang sesuai
dengan pihak yang menerima pengajaran dalam hal ini anak murid, dan semua fasilitas
sekolah yang mendukung kedua pihak tersebut. Terlepas dari tingkatan sekolah yang
beragam mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah
Menengah Atas (SMA), baik sekolah negeri ataupun swasta.
Merujuk pada Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada pasal 15 yang berbunyi “jenis pendidikan mencakup pendidikan umum,
kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus”. Melihat dari penjelasan
tersebut, Indonesia sudah memperhatikan orang dengan berkebutuhan khusus dalam
mendapatkan pendidikan yang setara dengan adanya peraturan tersebut. Indonesia
dalam kategori sekolah untuk orang dengan berkebutuhan khusus terdapat sekolah
inklusi dan sekolah luar biasa. Menurut data statistik sekolah luar biasa (SLB) 2015/2016
yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat total 1.546
sekolah luar biasa baik negeri atau swasta1.

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau
perkembangan mengalami kelainan atau penyimpangan fisik mental-intelektual sosial
atau emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya, sehingga mereka
memerlukan pelayanan khusus
(Darmawanti dan Jannah, 2004: 15). Meskipun anak termasuk kedalam kategori anak
berkebutuhan khusus, tetapi memiliki hak yang sama dengan anak pada umumnya.
Anak berkebutuhan khusus berhak mendapatkan kasih sayang yang sama dari kedua
orang tuanya, perlakuan khusus sesuai kategori yang dialaminya, serta mendapatkan
mendapatkan pendidikan yang layak dan memenuhi setiap kebutuhannya. Sebagaimana
diketahui bahwa anak dengan berkebutuhan khusus memiliki kebutuhankebutuhan
khusus sesuai dengan kategorinya yang harus terpenuhi, baik di rumah atau bahkan di
sekolah terlebih bagi anak tunagrahita.

Ada pula penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muhammad ‘Ainul Yaqin pada
tahun
2015 mengenai Peran Orang Tua dalam Menanamkan Akhlak pada Anak Tunagrahita di
Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang (perspektif bimbingan islam). Dalam
penelitian tersebut menjelaskan bahwa dengan segala kendala sikap dan perilaku dari

1 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Statistik Sekolah Luar Biasa (SLB) 2015/2016.

111
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

anak tunagrahita, orang tua tetap memiliki peran dalam pembentukan sikap, perilaku
dan karakter di dalam rumah. Sejalan dengan penelitian tersebut, peneliti beranggapan
bahwa selain peran orang tua, ada pula peran sekolah dalam pemenuhan kebutuhan
perkembangan anak tunagrahita.

Karena keterlambatan dalam perkembangan kecerdasannya, siswa tunagrahita akan


mengalami berbagai hambatan dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
bahkan diantara mereka ada yang mencapai sebagaian atau kurang, tergantung pada
berat ringannya hambatan yang dimiliki anak serta perhatian yang diberikan oleh
lingkungannya. Menurut Witmer & Kotinsky (Frampton & Gail, 1955: 117-119)
menjabarkan kedelapan kebutuhan tersebut, yaitu 23
:

1. Perasaan terjamin kebutuhannya akan terpenuhi (The Sense of Trust)


2. Perasaan Berwenang mengatur diri (The Sense of Autonomy)
3. Perasaan dapat berbuat menurut prakarsa sendiri ( The Sense of
Intiative)
4. Perasaan puas telah melaksanakan tugas ( The Sense of Duty and
Accomplisment)
5. Perasaan bangga atas identitas diri (The Sense of Identity)
6. Perasaan Keakraban (The Sense of
Intimacy)
7. Perasaan Keorangtuaan (The Parental Sense)
8. Perasaan Integritas (Integrity Sense)

Selain kedelapan kebutuhan khusus yang telah dijabarkan sebelumnya, menurut Astati
adapula kebutuhan anak tunagrahita secara garis besar dapat dikelompokan menjadi
kebutuhan fisik dan kebutuhan kejiwaan. 4 Kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan
hal yang cukup penting bagi anak penyandang tunagrahita, agar anak tersebut dapat
tumbuh dan berkembang secara normal dengan bantuan setiap orang disekitarnya.

Metode

Metode penelitian

Metode penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Metode deskriptif ini
bertujuan untuk memecahkan masalah dari data yang ada dan berkembang sampai
sekarang, berusaha menggambarkan apa adanya objek yang di teliti, menuturkan dan
menafsirkan data yang ada. Adapun peneliti disini adalah menggambarkan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta – fakta penelitian, pemenuhan
kebutuhan khusus bagi siswa penyandang tunagrahita sedang di Sekolah Luar Biasa
Negeri Purwakarta.

2 Astati. Anak dengan Hambatan Perkembangan. Hal


3 -72
4 Astati. Anak dengan Hambatan Perkembangan. Hal
72

112
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang penulis lakukan dalam rangka mencari dan mengumpulkan data adalah
dengan cara :

a. Observasi kelapangan penelitian, teknik ini dilakukan untuk memperoleh data


primer, kemudian mengumpulkan data-data dari refensi yang berkaitan dengan
penelitian.

b. Wawancara, teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan


mengajukan pertanyaan secara langsung kepada responden.

c. Studi dokumentasi, teknik ini bertujuan untuk mendokumentasikan hal-hal yang


perlu di dokumentasikan.

Hasil dan Pembahasan

Hak Anak Disabilitas atas Pendidikan

Hak dari anak penyandang disabilitas menjadi sorotan penting pada setiap negaranya,
termasuk Indonesia. Bahkan bukan hanya di Indonesia saja, melainkan pada tingkat
duniapun menjadi sorotan khusus. Karena orang dengan disabilitas termasuk anak
didalamnya berhak mendapatkan perlindungan dari negara terkait
kehidupannya.Telah dirumuskan mengenai HakHak Penyandang Disabilitas oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB pada tahun 2006 dan disetujui oleh Indonesia.
Dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas ini mencakup berbagai hal dalam
kehidupan bernegara dan menjamin kesetaraan bagi penyandang disabilitas.

Pada pasal 24 dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas mengenai


Pendidikan, sebagai berikut :

Pasal 24

Pendidikan

1. Negara-negara pihak mengakui hak penyandang disabilitas atas penddikan.


Dalam rangka memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan berdasarkan kesempatan
yang sama, Negara-negara pihak wajib menjamin sistem pendidikan yang bersifat
inklusif pada setiap tingkatan dan pembelajaran seumur hidup yang terarah kepada:
a. Pengembangan seutuhnya potensi diri dan rasa martabat dan harga diri
serta penguatan penghormatan atas hak asasi manusia, kebebasan
fundamental dan keanekaragaman manusia;
b. Pengembangkan atas kepribadian, bakat, dan kreatfitas, serta
kemampuan mental dan fisik dari penyandang disabilitas hingga mencapai
potensi sepenuhnya;
c. Memungkinkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi secara
efektif dalam masyarakat umum.
2. Dalam memenuhi hak tersebut, NegaraNegara Pihak wajib menjamin:
a. Penyandang disabiltas tidak dikecualikan dari sistem pendidikan umum
berdasarkan alasan disabilitas, dan bahwa penyandang disabilitas anak
tidak dikecualikan dari pendidikan dasar wajib dan gratis atau dari
pendidikan lanjutan berdasarkan alasan disabilitas;

113
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

b. Penyandang disabilitas dapat mengakses pendidikan dasar dan lanjuran


yang inklusif, berkualitas dan gratis atas dasar kesamaan dengan orang lain
di dalam masyarakat yang mereka tinggali;
c. Penyediaan akomodasi yang beralasan bagi kebutuhan individual
tersebut;
d. Penyandang disabilitas menerima dukungan yang dibutuhkan, di dalam
sistem pendidikan umum, guna
memfasilitasi pendidikan yang efektif;
e. Sarana pendukung individu yang efektif tersedia di lingkungan yang
dapat memaksimalkan pengembangan akademis dan sosial, konsisten
dengan tujuan untuk penyertaan penuh.
3. Negara-Negara Pihak wajib memungkinkan penyandang disabilitas untuk
mempelajarikehdupan dan keahlian pengembangan sosial untuk memfaslitasi
partsipasi penuh dan setara dalam penddikan dan sebagai anggota dari masyarakat.
Untuk mencapai tujuan ini, Negara-Negara Pihak wajb mengambil langkah-langkah
yang tepat, termasuk:
a. Memfasilitasi pelajaran Braile, tulisan alternatif, bentuk, sarana dan
format komunkasi yang bersifat augmentatif dan alternatif serta orientasi
dan keteramplan mobiltas, serta memfasilitasi sistem ddukungan dan
mentoring sesama penyandang
dsabiltas;
b. Memfasilitasi pelajaran bahasa isyarat dan pemajuan dentitas lnguistik
dar komunikasi tuna rungu;
c. Menjamin bahwa pendidikan orangorang, termasuk anak-anak, yang
tuna netrea, tuna rungu atau tuna netrarungu, disampaikan dalam bahasa,
bentuk dan sarana komunikas yang paling cocok bagi individu dan di dalam
lngkungan yang memaksimalkan pengembangan akademis dan sosial.
4. Dalam rangka menjamin pemenuhan hak tersebut, Negara-Negara Pihak wajib
mengambil langkah yang tepat untuk mempekerjakan guru-guru, termasuk guru
dengan disabilitas, yang memiliki kualifkasi dalam bahasa isyarat dan/atau Braile,
dan untuk melatih para profesional dan staf yang bekerja dalam berbagai tingkatan
pendidikan. Pelatihan akan mengikut sertakan kesadaran mengenai disabilitas dan
penggunaan bentuksarana dan format komunikasi serta teknik dan bahan
pendidikan yang bersifat augmentatif dan alternatif guna mendukung penyandang
disabilitas.
5. Negara-Negara pihak wajib menjamin bahwa penyandang disabilitas dapat
mengakses pendidikan umum menengah pelathan kejuruan, pendidikan dewasa,
dan lain. Untuk mencapa tujuan ini, negara-negara pihak wajib menjamin bahwa
akomodasi yang beralasan bagi penyandang disabilitas. 5

Berdasarkan pemaparan mengenai hak-hak penyandang disabilitas, sudah sangat


jelas bahwa Negara menjamin kebutuhan setiap penyandang disabilitas sesuai dengan
kategorinya. Negara pun tidak melakukan diskriminasi terhadap berbagai aspek
kehidupan dari penyandang disabilitas.

Tunagrahta

Tunagrahita (seseorang yang memiliki hambatan kecerdasan) menurut Kustawan,


D. (2016) merupakan anak yang memiliki inteligensi yang signifkan berada dibawah

5 Terjemahan Konvensi Hak-hak Penyandang


Disabilitas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Pasal 24 tentang Pendidikan

114
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul
dalam masa perkembangan.

Ia juga mengatakan bahwa anak dengan tunagrahita mempunyai hambatan akademik


yang sedemikian rupa sehingga dalam layanan pembelajarannya memerlukan
modifikasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan khususnya.

Masyarakat pada umumnya mengenal tunagrahita sebagai retardasi mental atau


terbelakang mental atau idiot. Rachmayana, D. (2016) mengemukakakan bahwa
tunagrahita berarti suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang
berada dibawah rata-rata disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk
menyesuaikan diri (berperilaku adaptif), yang mulai timbul sebelum usia 18 tahun. Ia
juga mengatakan bahwa orang-orang secara mental mengalami keterbelakangan,
memiliki perkembangan kecerdasan (IQ) 6 yang lebih rendah dan mengalami kesulitan
dalam proses belajar serta adaptasi sosial.

Kebutuhan Khusus Tunagrahita

Menurut Witmer & Kotinsky (Frampton & Gail, 1955: 117-119) menjabarkan
kedelapan kebutuhan tersebut, yaitu7 :

1. Perasaan terjamin kebutuhannya akan terpenuhi (The Sense of


Trust)
2. Perasaan Berwenang mengatur diri (The Sense of Autonomy)
3. Perasaan dapat berbuat menurut prakarsa sendiri ( The Sense
of
Intiative)
4. Perasaan puas telah melaksanakan tugas ( The Sense of Duty
and Accomplisment)
5. Perasaan bangga atas identitas diri (The Sense of Identity)
6. Perasaan Keakraban (The Sense of Intimacy)
7. Perasaan Keorangtuaan (The
Parental Sense)
8. Perasaan Integritas (Integrity Sense)

Komponen kepribadian yang sehat adalah rasa integritas. Ni sangat bergantung dari
semua yang telah diterangkan sebelumnya. Jika pengalaman individu sepanjang
hidupnya salah, maka ia tdak akan bisa menerima tuntutan (lingkungan)
kehidupannya. Salah satu tujuan dari pendidikan khusus seharusnya mempersiapkan
anak berkelainan untuk menyempurnakan rasa integritasnya.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan dari beberapa literatur yang sudah dipaparkan, penulis meyadari betul
bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama, khususnya tunagrahita. Hak
yang sama dalam berbagai hal, termasuk mendapatkan pendidikan yang layak.

6 IQ = Intellegent Quentiont (ukuran kecerdasan)


7 Astati. Anak dengan Hambatan Perkembangan. Hal
70-72

115
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

Pendidikan secara formal ataupun nonformal. Merekapun memiliki hak untuk


mendapatkan semua fasilitas yang diberikan oleh negara dengan tanpa dibedakan.

Daftar Pustaka

Books

Abdullah, H. (2011). Sosiologi Pendidikan :


Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Darmawanti, Ira dan M. Jannah. 2004. Tumbuh Kembang Anak Usia Dini dan Reaksi
Dini pada Anak Berkebutuhan Khusus. Surabaya: Insight Indonesia.

Kustawan, D. (2016). Bimbingan dan Konseling bagi Anak Berkebutuhan Khusus.


Jakarta Timur: PT. LUXIMA METRO MEDIA.

Lexy J. Moleong. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

Rachmayana, D. (2016). Menuju Anak Masa Depan yang Inklusif. Jakarta Timur: PT.
LUXIMA METRO MEDIA.

Raharjo, ST. 2015. Assessment untuk Praktik Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial.
Bandung: Unpad Press
_________, 2015. Dasar Pengetahuan Pekerjaan Sosial. Bandung: Unpad Press.

_________, 2015. Keterampilan Pekerjaan Sosial: Dasar-dasar. Bandung, Unpad Press.


Robinson, P. (1986). Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R & D. Bandung :
Alfabeta.

Suparno. (2007). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Kementerian Kesehatan RI. (2014) Situasi Penyandang Disabilitas. Buletn Disabilitas

Website

Arafat, MA. (2009). Retriever April 16, 2017, from UIN Surabaya: digilib.uinsby.ac.id

Arjuna, B. (2014). Retrieved April 17, 2017, from UIN Sunan Gunung Djati:
digilib.uinsgd.ac.id

Astati. Anak dengan Hambatan Perkembangan. Retrieved April 16, 2017, from UPI web
site
: file.upi.edu

116
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016.


Statistik Sekolah Luar Biasa (SLB)
2015/2016

Wikipedia. (n.d.). Wikipedia. Retrieved April 17, 2017, from Wikipedia web site:
id.m.wikipedia.org

Peraturan

Terjemahan Konvensi Hak-hak Penyandang


Disabilitas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB)

117
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

IDENTITAS JURNAL II

Judul :RELASI KARAKTERISTIK ANAK TUNAGRAHITA DENGAN POLA TATA RUANG


BELAJAR DI SEKOLAH LUAR BIASA
Jurnal :E-Journal Graduate Unpar

Vol dan No : Vol. 1, No. 2

ISSN :2355-4274

Tahun :2014

Penulis :Novita Yosiani

Reviewer : Rico fransisco

Tanggal : 12 November 2021

LATAR BELAKANG

Hingga saat ini penanganan anak tunagrahita tidak dipahami secara mendalam
oleh orangtua dan lembaga atau sekolah khusus anak tunagrahita. Salah satunya adalah
penyediaan sarana dan prasarana ruang belajar sebagai proses belajar-mengajar
sekaligus terapi bagi anak tunagrahita yang masih belum sesuai dengan kebutuhan
mereka. Ruang belajar ini penting dan perlu diperhatikan demi perkembangan anak
tunagrahita. Seberapa jauh pola penataan dan perwujudan fisik interior ruang belajar
yang dihadirkan telah memenuhi persyaratan kebutuhan bagi anak tunagrahita pada
Sekolah Luar Biasa (SLB). Pola tata ruang dan elemen pembentuk ruang yang cocok bagi
ruang belajar agar sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita dan dapat membantu
proses pembelajaran dan pemandirian diri secara maksimal.

RUMUSAN MASALAH

a. Anak tunagrahita memiliki kecerdasan dibawah rata-rata sedemikian rupa


dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.
b. Adanya keterbatasan dalam perkembangan tingkah laku pada masa perkembangan.
c. Terlambat atau terbelakang dalam perkembangan mental dan sosial.
d. Mengalami kesulitan dalam mengingat apa yang dilihat, didengar sehingga
menyebabkan kesulitan dalam berbicara dan berkomunikasi.
e. Mengalami masalah persepsi yang menyebabkan tunagrahita mengalami kesulitan
dalam mengingat berbagai bentuk benda (visual perception) dan suara (audiotary
perception).

118
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

f. Keterlambatan atau keterbelakangan mental yang dialami tunagrahita menyebabkan


mereka tidak dapat berperilaku sesuai dengan usianya.
TUJUAN PENELITIAN

a. Untuk mengetahui pendidikan dan layanan khusus yang disediakan untuk anak
tunagrahita

b. Mengetahui ciri khas anak tunagrahita

c. Lebih memahami tingkah laku anak tunagrahita.

HAKIKAT ANAK TUNAGRAHITA

Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki intelegensi


dibawah intelegensi normal. Menurut American Asociation on Mental Deficiency
mendefinisikan Tunagrahita sebagai suatu kelainan yang fungsi intelektual umumnya di
bawah rata- rata, yaitu IQ 84 ke bawah. Biasanya anak- anak tunagrahita akan
mengalami kesulitan dalam Adaptive Behavior atau penyesuaian perilaku. Hal ini berarti
anak tunagrahita tidak dapat mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran
(standard) kemandirian dan tanggung jawab sosial anak normal yang lainnya dan juga
akan mengalami masalah dalam keterampilan akademik dan berkomunikasi dengan
kelompok usia sebaya. Definisi yang ditetapkan AAMD yang dikutip oleh Grossman (Kirk
dan Gallagher, 1986:116), yang mengatakan artinya bahwa ketunagrahitaan mengacu
pada sifat intelektual umum yang secara jelas dibawah rata-rata, bersama kekurangan
dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung pada masa perkembangan

Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki intelegensi


dibawah intelegensi normal. Menurut American Asociation on Mental Deficiency
mendefinisikan Tunagrahita sebagai suatu kelainan yang fungsi intelektual umumnya di
bawah rata- rata, yaitu IQ 84 ke bawah. Biasanya anak- anak tunagrahita akan
mengalami kesulitan dalam Adaptive Behavior atau penyesuaian perilaku. Hal ini berarti
anak tunagrahita tidak dapat mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran
(standard) kemandirian dan tanggung jawab sosial anak normal yang lainnya dan juga
akan mengalami masalah dalam keterampilan akademik dan berkomunikasi dengan
kelompok usia sebaya. Definisi yang ditetapkan AAMD yang dikutip oleh Grossman (Kirk
dan Gallagher, 1986:116), yang mengatakan artinya bahwa ketunagrahitaan mengacu
pada sifat intelektual umum yang secara jelas dibawah rata-rata, bersama kekurangan
dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung pada masa perkembangan. Ciri-ciri anak
tunagrahita adalah sebagai berikut :

a. Lemah fikiran (feeble minded).


b. Terbelakang mental (mentally retarded).

119
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

c. Bodoh atau dungu (idiot).


d. Cacat mental.

e. Mental Subnormal, dll.

KRITERIA RUANG BELAJAR ANAK TUNAGRAHITA

Ruang belajar adalah area penting bagi anak yang perlu didesain dengan nyaman
dan juga menarik, sehingga anak merasa betah serta tidak merasa malas untuk belajar.
Selain itu, ruang belajar juga bisa ditampilkan dengan nuansa yang 'hidup' dan
menyenangkan. Ruang kelas anak berkebutuhan khusus, terutama anak tunagrahita,
ruangan harus aman karena anak berkebutuhan khusus mengalami gangguan fisik dan
motorik. Gerakan otot anak berkebutuhan khusus seringkali tidak terkontrol dan tidak
stabil sehingga mudah terjatuh serta rentan terhadap penyakit. Ruang yang aman dan
tidak membahayakan juga harus nyaman serta mudah digunakan.
Hal ini dapat diwujudkan dengan:

a. Ruang yang aman dan nyaman karena memudahkan anak tunagrahita untuk
bersosialisasi dan betah berada di dalamnya.
b. Suasana ruang yang hangat dan bersih karena anak tunagrahita yang rentan terhadap
penyakit.
c. Menghindarkan sirkulasi yang rumit serta ruang yang tersembunyi karena anak
tunagrahita berkesulitan dalam memusatkan perhatian (tidak fokus).

Anak berkebutuhan khusus mengalami gangguan pemusatan perhatian oleh


karena itu ruangan harus bebas gangguan dan tenang sehingga anak dapat
memusatkan perhatian pada pelajaran yang diberikan. Anak juga mengalami kesulitan
berkonsentrasi sehingga dibutuhkan unsur-unsur interior fisik yang dapat membantu
memusatkan perhatian, dengan suasana untuk membantu meningkatkan konsentrasi

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Metode deskriptif


ini bertujuan untuk memecahkan masalah dari data yang ada dan berkembang sampai
sekarang, berusaha menggambarkan apa adanya objek yang di teliti, menuturkan dan
menafsirkan data yang ada. Adapun peneliti disini adalah menggambarkan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta – fakta penelitian, pemenuhan
kebutuhan khusus bagi siswa penyandang tunagrahita sedang di Sekolah Luar Biasa

SAMPEL

1. Anak tunagrahita

120
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

TEKNIK PENGUMPULAN DATA

a. Observasi kelapangan penelitian, teknik ini dilakukan untuk memperoleh data primer,
kemudian mengumpulkan data-data dari refensi yang berkaitan dengan penelitian.

b. Wawancara, teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan mengajukan


pertanyaan secara langsung kepada responden. c. Studi dokumentasi, teknik ini
bertujuan untuk mendokumentasikan hal-hal yang perlu di dokumentasikan.

c. Studi dokumentasi, teknik ini bertujuan untuk mendokumentasikan hal-hal yang


perlu di dokumentasikan.

HASIL PENELITIAN

Bagaimana menciptakan ruang belajar yang sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita
berdasarkan hasil

analisa yang telah dilakukan sebelumnya dengan pertimbangan penciptaan ruang


belajar sebagai berikut:
1. Elemen Lantai, Sifat anak yang hyperactive dan tidak peka membuat lantai ruang
kelas harus menggunakan material yang tidak keras dan aman bagi anak berkebutuhan
khusus guna mengurangi resiko bahaya cedera bagi anak, salah satu pilihannya adalah
menggunakan lantai dengan lapisan kayu parkit; sifat parkit lunak dan hangat serta
mudah dibersihkan; atau dapat pula menggunakan pelapis karpet.
2. Elemen Dinding, Anak tunagrahita yang hyperactive dan terkadang bertindak di luar
akal sehat juga tidak dapat fokus akan lebih baik jika dinding ruang kelas menggunakan
material yang kedap suara dan datar/permukaan rata seperti dinding bata yang
tentunya dengan penutup cat berwarna lembut menenangkan serta tidak mencolok
seperti warna putih.

3. Elemen Plafon, Dalam memilih plafon pun harus sesuai dengan karakter anak yang
tidak dapat fokus dan harus merasa aman, plafon gypsum polos atau multiplex dapat
menjadi pilihan karena kedap suara dan terkesan tidak sempit. Tentu saja dengan
pemilihan warna yang tidak mencolok agar tidak mengganggu konsentrasi anak.
4. Penataan Perabot, Perabotan seperti kursi, meja, dan lemari penyimpan barang akan
menjadi perabot utama dalam ruang belajar anak, namun dengan memilih perabot dari
material lunak serta tidak ringan agar anak tidak mudah memindahkan perabot,
material kayu dapat menjadi pilihan yang baik. Minimalisir jumlah perabot di dalam
ruang kelas juga sangat penting guna anak fokus dalam belajar dan mengurangi resiko
bahaya cedera.
5. Pencahayaan Cahaya lampu juga penting untuk menunjang pencahayaan buatan di
dalam ruang belajar namun perlu diperhatikan warna lampu yang tidak terlalu terang

121
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

dan mencolok karena dapat mengganggu konsentrasi anak serta meminimalisir jumlah
titik lampu sesuai jumlah kapasitas besaran ruang kelas.
6. Penataan Layout Penataan layout pun menjadi hal yang utama dalam ruang belajar
anak tunagrahita. Karakter anak tunagrahita yang tidak dapat fokus, harus merasa
aman nyaman, hyperactive, dan lamban dalam menerima pendidikan maka proses
belajar pun harus dengan sistem individu. Ada beberapa contoh penataan ruang kelas
yang baik bagi anak tunagrahita,

KESIMPULAN

Dari hasil simpulan di atas semoga hasil pemikiran ini dapat berguna di masa
mendatang. Terutama bagi Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menjadi sarana dan wadah
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus untuk lebih memperhatikan kondisi
lingkungan sekolah, baik lingkungan di dalam sekolah maupun lingkungan di luar
sekolah. Penciptaan ruang-ruang belajar bagi anak berkebutuhan khusus agar lebih
sesuai dengan kebutuhan anak sehingga tercipta proses belajar mengajar yang
maksimal. Demi mendidik dan membentuk kemandirian bagi anak berkebutuhan
khusus manapun.

IDE YANG DI PEROLEH DARI JURNAL

1. Dapat mengetahui dan memahami tata ruang yang tepat untuk anak tunagrahita dan
dapat memodifikasi yang tepat bagi mereka.
2. Dapat mengetahui karakteristik anak tunagrahita dan dapat membantu mengambil
bagian dalam membina mereka.

122
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

RELASI KARAKTERISTIK ANAK TUNAGRAHITA DENGAN POLA TATA


RUANG BELAJAR DI SEKOLAH LUAR BIASA

Novita Yosiani
Magister Arsitektur, Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan
ochie_moetz21@yahoo.com

Abstrak
Pada diri tiap anak ada kemampuan atau potensi yang unik bagi dirinya.
Dan hak-hak anak (child right) yang menyatakan bahwa semua anak
memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk hidup dan berkembang secara
penuh sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Pada anak berkebutuhan
khusus adalah yang termasuk anak yang mengalami hambatan dalam
perkembangan perilakunya. Perilaku anakanak ini yang antara lain terdiri
dari wicara dan okupasi, tidak berkembang seperti pada anak yang normal.
Pada umumnya anak berkebutuhan khusus ini biasa disebut anak
tunagrahita. Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan
dalam perkembangan mental dan intelektual sehingga berdampak pada
perkembangan kognitif dan perilaku adaptifnya, seperti tidak mampu
memusatkan pikiran, emosi tidak stabil, suka menyendiri dan pendiam,
peka terhadap cahaya, dan lain-lain.

Hingga saat ini penanganan anak tunagrahita tidak dipahami secara


mendalam oleh orangtua dan lembaga atau sekolah khusus anak
tunagrahita. Salah satunya adalah penyediaan sarana dan prasarana ruang
belajar sebagai proses belajar-mengajar sekaligus terapi bagi anak
tunagrahita yang masih belum sesuai dengan kebutuhan mereka. Ruang
belajar ini penting dan perlu diperhatikan demi perkembangan anak
tunagrahita. Seberapa jauh pola penataan dan perwujudan fisik interior
ruang belajar yang dihadirkan telah memenuhi persyaratan kebutuhan bagi
anak tunagrahita pada Sekolah Luar Biasa (SLB). Pola tata ruang dan elemen
pembentuk ruang yang cocok bagi ruang belajar agar sesuai dengan
kebutuhan anak tunagrahita dan dapat membantu proses pembelajaran
dan pemandirian diri secara maksimal. Kata Kunci: anak tunagrahita,
ruang belajar, SLB

123
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

Abstract
In each child there is a unique ability or potential for him. And children's
rights (child rights) which states that all children have the same rights and
obligations to live and thrive in full compliance with its potential. A child
with special needs is included children experiencing barriers in the
development of behavior. The behavior of these children which is
comprised of speech and occupational, did not develop as a normal child. In
general, children with special needs is commonly referred to child mental
retardation. Mental retardation child is a child who experience barriers to
mental and intellectual development that have an impact on cognitive
development and adaptive behavior, such as not being able to concentrate,
mood changes, aloof and reserved, sensitive to light, etc. Until now the
handling of child mental retardation is not understood in depth by parents
and institutions or special schools for mental retardation child. One is the
provision of facilities and infrastructure space learning as well as teaching
and learning process of mental retardation therapy for children who are still
not fit their needs. Learning space is important and should be noted for the
sake of the child's development mental retardation. How far the pattern of
arrangement of interior space and the physical embodiment of learning
that meets the requirements presented by the need for mental retardation
in Special Needs School, called it SLB. The spatial pattern and forming
elements such as whether a suitable space for classrooms to fit the needs
of children and mental retardation can help the learning process and the
independence of self to the fullest .

Keywords: mental retardation children, classrooms, Special Needs School, SLB

PENDAHULUAN
Anak sebagai generasi penerus bangsa merupakan aset yang sangat penting bagi
keluarga dan Negara. Anak merupakan sumber daya manusia yang memegang
perjalanan bangsa Indonesia beberapa tahun ke depan. Apabila saat ini pendidikan dan
pembinaan anak tidak dilakukan dengan maksimal maka pembangunan bangsa
Indonesia beberapa tahun ke depan akan mengalami kesulitan.

Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang Undang Nomor 2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat dinyatakan bahwa setiap
warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini
menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang

124
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan. Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan.

Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan mental
dan intelektual sehingga berdampak pada perkembangan kognitif dan perilaku
adaptifnya, seperti tidak mampu memusatkan pikiran, emosi tidak stabil, suka
menyendiri dan pendiam, peka terhadap cahaya, dll.

Anak tunagrahita, seperti Sindroma Down dan Autis ini tersebar di seluruh penjuru
tanah air. Ada yang ditempatkan di panti-panti asuhan tapi ada pula yang tinggal
bersama keluarga. Tunagrahita ini bisa terjadi pada semua ras/suku dan semua tingkat
sosial. Walaupun mereka menderita retardasi mental dan perkembangan fisik yang
lamban tapi tidak bearti mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Keterampilan mereka
masih bisa diatih dan dikembangkan, bahkan bisa berprestasi.

Tunagrahita merupakan asal dari kata tuna yang berarti merugi¶ sedangkan grahita
yang berarti pikiran¶. Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (Mental
Retardation) yang

artinya terbelakang mental. Tunagrahita juga memiliki istilah- istilah sebagai berikut :

a. Lemah fikiran (feeble minded).


b. Terbelakang mental (mentally retarded).
c. Bodoh atau dungu (idiot).
d. Cacat mental.
e. Mental Subnormal, dll.

Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki intelegensi dibawah
intelegensi normal. Menurut American Asociation on Mental Deficiency mendefinisikan
Tunagrahita sebagai suatu kelainan yang fungsi intelektual umumnya di bawah rata-
rata, yaitu IQ 84 ke bawah. Biasanya anak- anak tunagrahita akan mengalami kesulitan
dalam ‡Adaptive Behavior· atau penyesuaian perilaku. Hal ini berarti anak tunagrahita
tidak dapat mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran (standard) kemandirian
dan tanggung jawab sosial anak normal yang lainnya dan juga akan mengalami
masalah dalam keterampilan akademik dan berkomunikasi dengan kelompok usia
sebaya.

Definisi yang ditetapkan AAMD yang dikutip oleh Grossman (Kirk dan Gallagher,

1986:116), yang mengatakan artinya bahwa ketunagrahitaan mengacu pada


sifat intelektual umum yang secara jelas dibawah rata-rata, bersama kekurangan
dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung pada masa perkembangan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa :

125
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

a. Anak tunagrahita memiliki kecerdasan dibawah rata-rata sedemikian rupa


dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.
b. Adanya keterbatasan dalam perkembangan tingkah laku pada masa
perkembangan.
c. Terlambat atau terbelakang dalam perkembangan mental dan sosial.
d. Mengalami kesulitan dalam mengingat apa yang dilihat, didengar sehingga
menyebabkan kesulitan dalam berbicara dan berkomunikasi.
e. Mengalami masalah persepsi yang menyebabkan tunagrahita mengalami
kesulitan dalam mengingat berbagai bentuk benda (visual perception) dan suara
(audiotary perception).

f. Keterlambatan atau keterbelakangan mental yang dialami tunagrahita


menyebabkan mereka tidak dapat berperilaku sesuai dengan usianya.

Gambar 1. Anak Penderita Tunagrahita. (Sumber: http://slbk-batam.org/,

2013)

Bahwa peningkatan presentase anak-anak tunagrahita ini tidak diikuti dengan


peningkatan institusi yang mampu menanganinya, baik dalam kuantitas maupun
kualitas. Untuk itu dibutuhkan sebuah wadah yang memiliki sarana dan prasarana yang
lengkap untuk menangani gangguan atau kelainan perilaku ini. Seperti Sekolah Luar
Biasa (SLB) dengan kategori C, yang khusus menangani anak tunagrahita, seharusnya
hadir sebagai wadah yang telah sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita dalam
proses pembelajaran guna pencapaian penyembuhannya. Hal ini terkait dalam pola
penataan dan perwujudan interior fisik (elemen ruang dan perabot) yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak tunagrahita. Ruang yang sangat berperan
bagi anak tunagrahita, ialah ruang terapi dan ruang belajar. Ruang-ruang ini
merupakan tempat pembelajaran sekaligus penunjang pengembangan pemandirian

126
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

diri bagi anak tunagrahita agar dapat beraktifitas sehari-hari dan kehidupan ke
depannya.

Untuk memberikan pendidikan yang berkualitas diperlukan saranaprasarana yang


sesuai, salah satunya adalah ruang kelas. Penataan ruang kelas sangat perlu
diperhatikan karena ruang kelas adalah tempat kegiatan belajar mengajar yang
merupakan aktivitas inti dari sebuah sekolah. Yang harus dipertimbangkan dalam suatu
desain adalah kondisi pengguna. Perwujudan fasilitas yang ada di ruang kelas harus
dapat memenuhi tuntutan anak berkelainan. Hal ini sesuai dengan hukum
partisipasi yang dikemukakan oleh Papanek (1983:31). Victor Papanek berpendapat
bahwa dalam proses merancang, agar mempertimbangkan perilaku sosial. Tuntutan
itu akan terlihat sebagai titik-tolak hubungan partisipasi masyarakat dalam proses
desain, dan akan menjadi keputusan utama dalam desain yang diciptakannya.

Dikaitkan dengan faktor-faktor yang diwujudkan dalam unsur-unsur elemen


pembentuk ruang, seperti pola penataan perabot, pemilhan material lantai, dinding,
dan plafon, serta pemilihan warna pada material ruang terapi yang memiliki prinsip
yang sesuai dengan tuntutan anak autis, yaitu dapat menciptakan suasana tenang,
dapat meningkatkan konsentrasi anak, serta aman pada saat digunakan oleh anak autis
ataupun anak tunagrahita.

Pemenuhan kebutuhan ruang yang sesuai dengan fungsi dan tujuan metode belajar
yang diterapkan memberikan pengaruh positif pada perkembangan anak. Suasana,
bentuk ruang, penataan perabot dan warna akan mempengaruhi perilaku dan psikologi
pengguna. Oleh karena itu menarik menjadi bahan penelitian mengenai kesesuaian
atau relasi antara perwujudan fasilitas ruang kelas dengan kondisi atau tuntutan
kebutuhan anak berkebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB).

127
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

Model Pendidikan Bagi Anak Tunagrahita


Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan serta layanan khusus yang berbeda dengan
anak-anak pada umumnya. Ada beberapa pendidikan dan layanan khusus yang disediakan
untuk anak tunagrahita, yaitu:

1. Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak
tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada disekolah reguler, sehingga pada saat
tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas
persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi
sesuai kebutuhan anak.

2. Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)


Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar Biasa.
Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan
teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar
mengajar sepanjang hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat
bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.

3. Pendidikan Terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita
belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru
reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak
tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus
(GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang
belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk
kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar
(Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).

4. Program Sekolah di Rumah


Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti pendidikan
di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah
dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas
kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.

5. Pendidikan Inklusif
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus,
terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusif. Model ini
menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip

128
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

‡Education for All·. Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler.
Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan
guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang guru,
satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan
bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersenut mempunyai kesulitan di dalam
kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat
ini pelayanan pendidikan inklusif masih dalam tahap rintisan.

6. Panti (Griya) Rehabilitasi


Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai
kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan
ganda seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih
terfokus pada perawatan. Pengembangan dalam panti ini terbatas dalam hal : a.
Pengenalan diri

b. Sensorimotor dan persepsi


c. Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu temapt ke tempat lain)
d. Kemampuan berbahasa dan dan komunikasi
e. Bina diri dan kemampuan sosial

METODE
Penciptaan Ruang Dalam yang Dapat Mendukung Pendidikan Anak
Tunagrahita Jika pemahaman terhadap karakteristik anak tunagrahita telah
dicapai maka adapula

beberapa faktor yang berpengaruh di dalam penataan ruang dalam. Penataan ruang dalam
yang baik dan sesuai dapat memacu komunikasi dan interaksi antar pengguna dan
tentunya hal ini akan memberikan pengaruh yang positif terhadap hubungan antara anak
tunagrahita dengan guru dan anak tunagrahita dengan lingkungan sekitarnya.

1. Pemilihan Material
Dari berbagai karakteristik perilaku anak tunagrahita, tantrum merupakan hal yang sangat
berbahaya dan dominan terjadi pada anak autis, yaitu tindakan anak autis yang
mengamuk, menggigit, memukul, mencakar atau bahkan melukai dirinya sendiri,
seperti membenturkan kepala ke dinding atau meja secara berulang-ulang. Memiliki
sensitivitas terhadap benda tekstur yang tajam, keras, dan kasar. Namun, hal ini dapat
diatasi dengan memilih dan menggunakan material yang aman dan tidak berbahaya bagi
anak autis. Misalnya dengan pemakaian material yang lunak pada penutup bidang dasar
bagian ruang seperti dinding dan lantai dilapisi dengan busa, karpet, atau matras. Memiliki

129
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

sensitifitas terhadap bunyi-bunyian atau suara bising. Maka pada ruang tertentu
digunakan peredam suara pada dinding agar anak dapat berkonsentrasi dan fokus atau
dinding dapat pula dilapisi dengan karpet sebagai peredam kebisingan ruang luar. Dan
khusus ruang tantrum atau ruang mengamuk, dinding dan lantai ruang tersebut harus
dilapisi dengan matras agar tidak terjadi kecelakaan pada anak autis yang tantrum.

2. Penataan Layout Ruang Dalam


Ruang dengan fungsi belajar bagi anak tunagrahita sebaiknya ditata dengan
memperhatikan kebutuhan dari masing-masing pengguna/pelaku. Dengan pengaturan
tidak adanya benda-benda elektronik di dalam ruangan kecuali untuk keperluan tertentu
dan dengan pengawasan terapis atau pendidik. Rak atau lemari untuk menyimpan barang-
barang harus diletakkan lebih tinggi dari jangkauan anak.

Perabot yang digunakan sebagai media belajar seperti meja dan kursi belajar harus sesuai
dengan karakter anak tunagrahita, yaitu kursi dan meja sebaiknya dibuat dari bahan yang
berat sehingga tidak mudah untuk digeser dan diangkat anak, misalnya bahan kayu,
dengan ukuran sesuai tinggi dan berat masing-masing anak.

3. Pemilihan Warna
Warna sangat berperan penting di dalam perkembangan psikologis seseorang,
terutama anakanak. Dengan warna dapat tercipta suasana yang ingin ditonjolkan pada
masing-masing ruang dan dampak psikologis apa yang ingin diperoleh. Dengan kata lain,
permainan warna juga dapat membantu proses terapi penyembuhan dan proses belajar
anak autis.

Dapat dikaji, misalnya untuk anak dengan karakteristik perilaku yang hiperaktif warna-
warna yang menenangkan dan sejuk sebaiknya diutamakan dan digunakan dalam ruang
terapi. Sebaliknya, bagi anak yang hipoaktif warna-warna cerah lebih dianjurkan karena
dapat meningkatkan gairah dan semangat dalam melakukan komunikasi dan interaksi.
Jadi, dapat dibuat dua ruang yang berbeda sehingga tersedia ruang masing-masing
untuk anak hiperatif dan hipoaktif.

Perlunya Penyediaan Ruang Belajar Sesuai dengan Karakteristik


Perilaku Anak Tunagrahita
Apabila ruang belajar di beberapa yayasan atau SLB anak tunagrahita selama ini hanya
mengikuti ketersediaan ruang, maka hal tersebut menyebabkan pelaksanaan belajar menjadi
tidak maksimal. Seharusnya ruang belajar di desain sesuai dengan karakteristik perilaku anak
tunagrahita atau sesuai dengan jenis atau macam terapinya. ‡Form Follow Function· yang

130
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

artinya bahwa bentuk ruang mengikuti fungsinya, bukan sebaliknya, harus benar-benar
dipahami dan diterapkan sebagai acuan dalam penelitian.

Pentingnya Sekolah Luar Biasa bagi Anak Tunagrahita


Jika anak tunagrahita telah mencapai kemampuan perilaku tertentu, tentu saja setelah

menjalani terapi terlebih dahulu, maka anak disarankan untuk bersekolah. Banyak ahli
menyarankan bahwa sebaiknya anak tunagrahita mendapatkan pendidikan khusus
sebelum mendapatkan pendidikan umum. Pendidikan khusus adalah pendidikan
individual yang terstruktur bagi para penyandang tunagrahita. pada pendidikan khusus,
diterapkan system satu guru untuk satu anak (one on one). Sistem ini paling efektif karena anak
tidak dapat memusatkan perhatiannya dalam satu kelas yang besar.

Sekolah dengan kurikulum dan pendekatan yang khusus akan sangat membantu bagi siswa
dengan kebutuhan khusus, seperti Autism Spectrum Disorder, Attention Deficit Disorder,
Hiperaktif, lambat belajar, terbelakang mental maupun penyandang cacat.

Bagi anak penyandang tunagrahita, sekolah khusus anak tunagrahita akan jauh lebih
sesuai bagi mereka. Jadi disini para anak tunagrahita akan sangat fokus dalam menerima materi
terapi dan pembelajaran sekolah, disamping itu guru akan lebih mudah memahami dan
menguasai anak tersebut. Apabila sekolah digabungkan dengan anak penderita gangguan
lainnya yang tidak dalam kategori yang sama, maka akan mempersulit para guru untuk lebih
mengenal dan memahami sang anak.

Perbedaan gangguan yang di derita sang anak, akan membedakan teknik atau metode yang
akan dipakai dalam proses pembelajarannya. Sekolah khusus anak tunagrahita bisa juga
dikatakan Sekolah Luar Biasa, termasuk dalam Sekolah Luar Biasa (SLB)-C.

Kriteria Ruang Belajar Anak Tunagrahita


Ruang belajar adalah area penting bagi anak yang perlu didesain dengan nyaman dan juga
menarik, sehingga anak merasa betah serta tidak merasa malas untuk belajar. Selain itu, ruang
belajar juga bisa ditampilkan dengan nuansa yang 'hidup' dan menyenangkan.

Ruang kelas anak berkebutuhan khusus, terutama anak tunagrahita, ruangan harus aman
karena anak berkebutuhan khusus mengalami gangguan fisik dan motorik. Gerakan otot anak
berkebutuhan khusus seringkali tidak terkontrol dan tidak stabil sehingga mudah terjatuh
serta rentan terhadap penyakit. Ruang yang aman dan tidak membahayakan juga
harus nyaman serta mudah digunakan. Hal ini dapat diwujudkan dengan:

131
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

a. Ruang yang aman dan nyaman karena memudahkan anak tunagrahita untuk
bersosialisasi dan betah berada di dalamnya.
b. Suasana ruang yang hangat dan bersih karena anak tunagrahita yang rentan terhadap
penyakit.
c. Menghindarkan sirkulasi yang rumit serta ruang yang tersembunyi karena anak
tunagrahita berkesulitan dalam memusatkan perhatian (tidak fokus).
Anak berkebutuhan khusus mengalami gangguan pemusatan perhatian oleh karena itu
ruangan harus bebas gangguan dan tenang sehingga anak dapat memusatkan perhatian pada
pelajaran yang diberikan. Anak juga mengalami kesulitan berkonsentrasi sehingga dibutuhkan
unsur-unsur interior fisik yang dapat membantu memusatkan perhatian, dengan suasana
untuk membantu meningkatkan konsentrasi.

Elemen Arsitektur pada Bangunan


Pada dasarnya, terdapat dua elemen dasar arsitektur, yaitu bentuk (form) dan ruang

(space) (D.K.Ching, 1979). Elemen form biasanya dipikirkan oleh masyarakat umum sebagai
sebuah arsitektur. Padahal yang dimaksud dengan berpikir arsitektur adalah bagaimana
pengaturan serta penataan bentuk (form) dan ruang (space) akan menunjukkan bagaimana
arsitektur dapat merespon fungsi, tujuan, serta konteksnya.

Bila berbicara mengenai form, maka pembahasannya tidak akan jauh dari titik, garis, bidang,
serta volume. Ketiga hal tersebut adalah elemen utama pembentuk form¶. Titik akan berbicara
mengenai posisi di dalam ruang. Selanjutnya, perpanjangan dari sebuah titik akan membentuk
garis. Garis akan mewakili panjang, arah, dan juga posisi. Garis juga akan terus berkembang
menjadi bidang, yang mewakili luasan, bentuk, permukaan, orientasi, serta posisi. Dan bidang
yang bersinggungan akan membentuk volume, yang

akan mewakili luas serta kedalaman, bentuk dan ruang, permukaan, orientasi, dan posisi
(D.K.Ching, 1979).

Lebih spesifik lagi, D.K.Ching (1979) berpendapat bahwa sebuah form akan menghasilkan
sebuah ukuran ruang (the volume of space) yang melingkupinya sehingga dapat membentuk
teritori. Oleh karena itu, space menjadi representasi dari perluasan tiga dimensional dari tubuh
manusia serta fungsinya. Bahkan Schmarsow sempat membandingkan antara sebuah sculpture
dengan arsitektur. Menurutnya sculpture menciptakan sebuah pelingkup (surface) yang hadir
dalam sebuah ruang. Sedangkan arsitektur merupakan seni melingkupi ruang (the art of
surfaces around space).

Anthony Vidler (2000) mengatakan bahwa arsitektur hadir sebagai ruang yang terselubung
(warped space). Bentukan ruang tersebut dapat dihasilkan oleh dua cara, yaitu secara budaya

132
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

psikologi (psychological culture), serta pertemuan banyak media. Ruang dapat dinilai sebagai
bentuk kekosongan, ia tercipta karena adanya gerakan obyek serta bentuk obyek itu sendiri.

D.K. Ching (1979) mengartikan sebuah ruang yang sifatnya sebagai sebuah pelingkup
membuat kehadirannya memiliki dimensi yang sama dengan manusia. Terdapat tiga unsur
dalam pembentuk ruang, yaitu batasan, naungan, serta alas. Batasan merupakan pemisah
antara ruang yang satu dengan lainnya. Batasan tersebut dapat mengartikan wujud ruang.
Batas ruang tidak hanya sebuah tembok/dinding, batas juga bisa hadir dalam hal non-fisik.
Biasanya banyak yang menganggap bahwa batasan hanya terdapat pada elemen vertikal.
Bentuk, warna, pola, atau tekstur pada naungan serta alas dapat menjadi indikasi adanya
batasan keruangan. Alas dan naungan hadir sebagai elemen horizontal. Naungan merupakan
unsur yang bersifat sebagai pelindung, sebaliknya alas merupakan tempat kita berpijak (lantai).
Alas, naungan, serta batasan ruang selanjutnya memiliki karakter yang bisa membangun sebuah
kondisi keruangan. Kondisi keruangan tersebutlah yang menjadi kualitas. Kualitas jauh lebih
kaya dari elemen pembentuknya sendiri.

D.K. Ching (1979) menyatakan bahwa hal-hal yang mempengaruhi kualitas dari
sebuah ruang adalah proporsi, skala, bentuk, warna, tekstur, pola, kedekatan,
pencahayaan, serta pandangan. Warna, bentuk, pola, serta bentuk dari elemen-elemen
pembentuk ruang memiliki peranan yang besar kualitas ruang. Warna yang beragam, tekstur
yang kasar, dengan pola-pola yang kacau bisa menegaskan sebuah suasana ruang yang padat
serta kacau, walaupun ruangan tersebut kosong. Ini akan berbeda bila dibandingkan dengan
sebuah ruangan yang padat dengan manusia di dalamnya tetapi menggunakan warna putih
yang terang tanpa pola, serta memiliki tekstur yang halus. Keduanya sama-sama menghadirkan
sebuah kualitas ruang yang padat serta kacau tetapi susasana yang di dapat akan berbeda.

‡Architecture is masterly, correct, and magnificent play of masses brought together in light. Our
eyes are made to see forms in light; light and shade reveal these foUPV«· – Le Corbusier, (D.K.
Ching, 1979)
Dalam buku Form, Space, and Order, karya D.K. Ching (1979) menyatakan elemen
arsitektur terbentuk menjadi beberapa hal sebagai berikut:

a. Massa bangunan adalah bangunan itu sendiri, dimana di dalamnya terdapat space atau
ruang yang dibatasi oleh lantai , dinding dan atap.
b. Bentuk denah bangunan adalah pemotongan bangunan setinggi 1 meter dari atas tanah
sehingga menunjukkan adanya pola sirkulasi bangunan.
c. Tampak bangunan adalah visualisasi tampilan (fasade) bangunan apabila dilihat dari luar
(eksterior ).
d. Sistem struktur merupakan sistem penyaluran beban atau mekanisme gaya yang
digunakan oleh sebuah bangunan.

133
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

e. Site bangunan adalah lahan bangunan yang telah diintervensi agar mendukung olahan
bangunan yang ada di atasnya.
f. Organisasi ruang adalah pengaturan pola sirkulasi antar ruang, mengenai apakah ruang–
ruang tersebut berhubungan langsung atau tidak dan bagaimana pencapaian masing–
masing ruang.
g. Sirkulasi adalah pola pergerakan pengguna bangunan dari satu ruangan ke ruangan yang
lain.

134
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

h. Material bangunan adalah bahan yang digunakan untuk pengolahan bentuk bangunan secara
keseluruhan.

Elemen Arsitektur pada Bangunan


1. Elemen Lantai
Lantai ruang kelas sebaiknya jangan licin dan pemeliharaannya harus mudah (Calender, 1128).
Bahan penutup lantai yang direkomendasikan untuk anak adalah kayu karena mempunyai
kehangatan khusus terhadap kaki dan merupakan isolasi panas yang baik. Apabila anak terjatuh
pun akan terhindar dari benturan terhadap lantai yang keras. Penggunaan tangga yang tinggi juga
harus dihindari karena anak berkebutuhan khusus mempunyai rasa ketidak-pekaan yang kurang
baik dalam membedakan ketinggian. Hal ini juga akan menyulitkan anak tunagrahita yang
mengalami gangguan pada fisiknya.

2. Elemen Dinding
Ruang kelas sebaiknya terhindar dari benda-benda atau perabot ruangan yang berlebihan guna
menghindari terjadinya kecelakaan/benturan saat anak beraktifitas. Rangsangan-rangsangan yang
mengganggu anak seperti dapat melihat orang di luar dan gangguan lain yang menyebabkan anak
tidak dapat berkonsentrasi sebaiknya dihindari karena anak berkebutuhan khusus sulit dalam
memusatkan perhatian (fokus).

3. Elemen Atap (Plafon)


Material yang sebaiknya digunakan di plafon ada bermacam-macam, seperti plester, kayu, mosaic
tile, stucco, stained glass, dan juga gypsum. Plafon yang rendah mempertegas kualitas naungannya
dan cenderung menciptakan suasana intim dan ramah (Ching, 193). Anak tunagrahita
memerlukan suasana yang nyaman bagi dirinya, setelah anak merasa nyaman kemudian bisa
mudah untuk dekat dengannya serta mengajarinya.

Pertimbangan Kebutuhan Anak Tunagrahita terhadap Ruang Kelas


Berikut lingkup makro karakteristik anak tunagrahita yang dapat disimpulkan
bahwa anak tunagrahita itu memiliki kekurangan di dalam : a. Melakukan
koordinasi gerak dan sensorinya,

b. Rendahnya rasa toleransi,


c. Kemampuan untuk memahami konsep-konsep yang bersifat akademik,
d. Memusatkan perhatian,
e. Kesulitan dalam bahasa,
f. Kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan dan melakukan pekerjaan.

Maka yang diperlukan adalah wujud fisik unsur ruang yang mempertimbangkan kriteria sebagai
berikut : a. Aman

135
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

b. Nyaman
c. Bersih
d. Memusatkan perhatian
e. Tenang
f. Bebas distraksi
g. Ruang gerak cukup sebagai tolok ukur penilaian.

Seluruh kriteria tersebut dan tolok ukur akan dipakai sebagai proses analisis sehingga dapat menjawab
apakah perwujudan desain ruang kelas telah memenuhi proses partisipasi, pada perancangan :

(1) Layout (zoning dan sirkulasi, ukuran ruang, pola penataan perabot), (2) Elemen
pembentuk ruang (lantai, dinding, plafon), (3) Perabot sehingga menjawab pola dan
bentuk partisipasi tersebut.

Pertimbangan Persepsi Karakter Anak Tunagrahita


terhadap Tuntutan Elemen Fisik Ruang
Pertimbangan ruang kelas dalam persepsi kebutuhan anak tunagrahita, seperti dalam
tabel berikut ini:

136
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

Ruang kelas bersifat pribadi atau Ruang kelas bersifat pribadi atau
tertutup. tertutup.

137
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

Siswa duduk di tempat duduk Siswa duduk di tempat duduk


masing-masing dan masing-masing dan

138
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

memperhatikan guru di depan kelas. memperhatikan guru di


depan kelas.

Sirk Guru memiliki space yang Guru memiliki space


ulasi cukup untuk bergerak mendatangi masing- yang cukup untuk
masing siswa. bergerak mendatangi
masing-masing siswa.
Namun pada saat
ada sekat, ruang
terasa lebih sempit
dan sirkulasi jadi
terbatas.
Pola Siswa tidak terganggu dengan perabot yang ada di Siswa tidak terganggu
Pen dalam ruangan karena letaknya berada di dengan perabot yang
ataa belakang siswa atau di sudut ruangan. ada di dalam ruangan
n karena letaknya
Pera berada di belakang
bot siswa atau di sudut
ruangan.
Ele
men
Lant
ai
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274


Lantai ubin
berukuran 30x30cm
berwarna abu-abu
memberi kesan
sedikit gelap/kusam
dan bersih.
Resiko bahaya jatuh dan
luka pada siswa cukup
tinggi.

Lantai keramik berukuran


30x30cm berwarna putih memberi
kesan bersih dan netral. Resiko
bahaya jatuh dan luka pada siswa
cukup tinggi.

Ele
men
Dind
ing
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274


Dinding bata diplester rapi dan permukaan rata Dinding bata diplester
sehingga anak menjadi tenang dan konsentrasi rapi dan permukaan
baik. rata sehingga anak
Dinding berwarna kuning muda (beige) membuat menjadi tenang dan
anak merasa nyaman berada di dalam ruang kelas konsentrasi baik.
dan tidak mencolok atau mengacaukan perhatian Dinding berwarna
anak. Banyak nya bukaan (jendela) membuat ruang kuning muda (beige)
kelas menjadi cukup terang dengan pencahayaan membuat anak merasa
alami, namun anak menjadi kurang dapat nyaman berada di
berkonsentrasi dengan lingkungan dari luar. dalam ruang kelas dan
tidak mencolok atau
mengacaukan perhatian
anak. Banyaknya poster
atau berbagai macam
tempelan di dinding
membuat dinding
menjadi ramai sehingga
dapat mengalihkan
perhatian anak tidak
fokus terhadap guru
terutama bagi anak
yang hypervisual.
121

Elemen Plafond

Plafond berbentuk segi empat Plafond berbentuk segi


dengan permainan list pada empat dengan permukaan rata.
plafond secara minimal/tidak Plafond pada ruang kelas
berlebihan dan berwarna menggunakan semacam
berwarna kuning muda multiplex/plywood berwarna
(beige) ini cenderung memberi putih, sehingga memberi kesan
kesan luas dan bersih pada luas dan bersih pada ruangan
Tabel 2. Analisa Ruang Belajar pada SLB Az-Zakiyah Bandung dan SLB-C YPLB Bandung
ruangan serta tidak menarik serta tidak menarik perhatian
perhatian anak secara anak secara berlebihan.
Rekomendasi Ilustrasi Desain PertamaIlustrasi Desain Kedua
berlebihan.

Ilustrasi Desain
Penerapan yang Baik Pola
--Lantai kelas diberi lantai
-Lantai kelas diberi lantai
Tata Ruang Belajar parkit atau di lapisi karpetparkit atau di lapisi karpet
guna lebih aman bagi siswa.guna lebih aman bagi siswa.
E-Journal Graduate Unpar -Pemberian warna netral -Pemberian warna netral
atau polos pada ruangan guna
atau polos pada ruangan
Part D † Architecture meminimalisir pengalihan guna meminimalisir
perhatian siswa. pengalihan perhatian siswa.
Vol. 1, No. 2 (2014) -Minimalisir perabot di dalam
-Minimalisir perabot
ISSN:di2355-4274
dalam
ruangan. ruangan.
-Formasi berderet pada meja-Formasi U pada meja dan
Tabel 3. Rekomendasi
dan Penerapan
kursi dalam
gunakursi Ilustrasi Desain
guna memaksimalkan
memaksimalkan prosesfokus siswa..
belajar. -Pemberian sekat/pemisah
-Bentuk ruang kelas yang dimanfaatkan sebagai lemari 122
efisian dan sesuai dengan dan mading.
kebutuhan dan jumlah siswa.

PENUTUP Simpulan
Bagaimana menciptakan ruang belajar yang sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita
berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan sebelumnya dengan pertimbangan penciptaan
ruang belajar sebagai berikut:

1. Elemen Lantai
Sifat anak yang hyperactive dan tidak peka membuat lantai ruang kelas harus
menggunakan material yang tidak keras dan aman bagi anak berkebutuhan khusus guna
mengurangi resiko bahaya cedera bagi anak, salah satu pilihannya adalah menggunakan
lantai dengan lapisan kayu parkit; sifat parkit lunak dan hangat serta mudah dibersihkan;
atau dapat pula menggunakan pelapis karpet.

2. Elemen Dinding
Anak tunagrahita yang hyperactive dan terkadang bertindak di luar akal sehat juga tidak
dapat fokus akan lebih baik jika dinding ruang kelas menggunakan material yang kedap
suara dan datar/permukaan rata seperti dinding bata yang tentunya dengan penutup
cat berwarna lembut menenangkan serta tidak mencolok seperti warna putih.

3. Elemen Plafon
Dalam memilih plafon pun harus sesuai dengan karakter anak yang tidak dapat fokus dan
harus merasa aman, plafon gypsum polos atau multiplex dapat menjadi pilihan karena
kedap suara dan terkesan tidak sempit. Tentu saja dengan pemilihan warna yang tidak
mencolok agar tidak mengganggu konsentrasi anak.

4. Penataan Perabot
Perabotan seperti kursi, meja, dan lemari penyimpan barang akan menjadi perabot utama
dalam ruang belajar anak, namun dengan memilih perabot dari material lunak serta tidak
ringan agar anak tidak mudah memindahkan perabot, material kayu dapat menjadi pilihan
yang baik. Minimalisir jumlah perabot di dalam ruang kelas juga sangat penting guna anak
fokus dalam belajar dan mengurangi resiko bahaya cedera.

5. Pencahayaan
Cahaya lampu juga penting untuk menunjang pencahayaan buatan di dalam ruang belajar
namun perlu diperhatikan warna lampu yang tidak terlalu terang dan mencolok
karena dapat mengganggu konsentrasi anak serta meminimalisir jumlah titik lampu sesuai
jumlah kapasitas besaran ruang kelas.

6. Penataan Layout
Penataan layout pun menjadi hal yang utama dalam ruang belajar anak tunagrahita.
Karakter anak tunagrahita yang tidak dapat fokus, harus merasa aman nyaman,
hyperactive, dan lamban dalam menerima pendidikan maka proses belajar pun harus
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274


dengan sistem individu. Ada beberapa contoh penataan ruang kelas yang baik bagi anak
tunagrahita, yaitu sebagi berikut:

Formasi U.
Formasi ini dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Para peserta didik dapat melihat guru
dan/atau melihat media visual dengan mudah dan mereka dapat saling

berhadapan langsung satu dengan yang lain. Susunan ini ideal untuk membagi bahan pelajaran
kepada peserta didik secara cepat karena guru dapat masuk ke huruf U dan berjalan ke
berbagai arah dengan seperangkat materi.

Saran
Dari hasil simpulan di atas semoga hasil pemikiran ini dapat berguna di masa mendatang.
Terutama bagi Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menjadi sarana dan wadah pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus untuk lebih memperhatikan kondisi lingkungan sekolah, baik
lingkungan di dalam sekolah maupun lingkungan di luar sekolah.

Penciptaan ruang-ruang belajar bagi anak berkebutuhan khusus agar lebih sesuai dengan
kebutuhan anak sehingga tercipta proses belajar mengajar yang maksimal. Demi mendidik dan
membentuk kemandirian bagi anak berkebutuhan khusus manapun.

123
E-Journal Graduate Unpar
Part D † Architecture

Vol. 1, No. 2 (2014) ISSN: 2355-4274

DAFTAR PUSTAKA

R. Munandar, Dadang. (2009). Profil Pendidikan Khusus. Bandung: Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat Bidang Pendidikan Luar Biasa.

Juhanaini. (2011). Kurikulum SPLB-C YPLB Cipaganti Tahun Pelajaran 2011-2012. Bandung:
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.

D.K. Ching, Francis. Arsitektur: Bentuk, Ruang, dan Tatanan. Ed, 2. Jakarta: Erlangga.

68
Van de ven, Cornelis. (1995). Ruang Dalam Arsitektur. Ed. 3, Revisi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
.
Prasetyono, d.s. Serba Serbi Anak Autis (Autisme dan Gangguan Psikologis
.
2008. Lainnya)
Yogyakarta: DIVA Press.

Exeptional Children, fifth


Brown. et al. (1991). Wolery & Haring. . 1966, 485-
1994. edition 486.
Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah,
DirektoratPendidikan Luar
Biasa.
Berry GT, Mallee JJ, Kwon HM, Rim JS, Mulla WR, Muenke M, "The human
Spinner NB.
osmoregulatorNa+/myo- cotransporte
gene (SLC5A3): molecular
cloning
y andinositol
localization r to chromosome 21"
. Department of
University of Pennsylvania School of Medicine;
Pediatrics,diakses Mei
2013.
(http://slbk- , diakses Januari iakses Desember
batam.org/ 2013). http://www.autis.info/
2012).
, ~d 0 ~

69
IDENTITAS JURNAL III

Judul :OUTBOUND MANAGEMENT TRAINING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN


PENYESUAIAN DIRI ANAK TUNAGRAHITA

Jurnal :Educational Psychology

Vol dan No : -

ISSN :2252-634X

Tahun :2012

Penulis :Gadis Mulia Wati

Reviewer : Rico fransisco

Tanggal : 12 November 2021

LATAR BELAKANG

American Association on Mental Retardation (AAMR), menjelaskan keterbelakangan mental


berarti menunjukkan keterbatasan dalam fungsi intelektual yang ada di bawah rata-rata, dan
keterbatasan pada dua atau lebih keterampilan adaptif seperti berkomunikasi, merawat diri
sendiri, keterampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, waktu luang, dll.
Keadaan ini nampak sebelum usia 18 tahun (Suharmini, 2007: 67).

American Phychological Association (APA) yang dipublikasikan melalui Manual of Diagnosis


and Professional Practice in Mental Retardation th. 1996, mengemukakan tentang batasan
tunagrahita. Batasan dari APA ini dapat dimaknai, bahwa anak tunagrahita adalah anak yang
secara signifikan memiliki keterbatasan fungsi intelektual, keterbatasan fungsi adaptif. Keadaan
ini terjadi sebelum usia 22 tahun. Batasan dari APA dan AAMR ini letak perbedaannya pada usia
munculnya tunagrahita, yaitu sebelum usia 18 tahun (batasan dari AAMR) dan sebelum 22 tahun
(APA). Batasan ini apabila disatukan, maka dapat dikatakan, bahwa keterbatasan fungsi
intelektual dan fungsi adaptif nampak sebelum usia 18-22 tahun (Suharmini, 2007: 67-68)

RUMUSAN MASALAH

1. Anak tunagrahita memiliki banyak hambatan-hambatan yang dialami


2. Anak tunagrahita tidak mengetahui bagaimana cara yang benar bergaul dengan teman-temannya

TUJUAN PENELITIAN

1. Diharapkan anak tunagrahita dapat menerima subjek terhadap dirinya.


2. Anak tunagrahita dapat mengontrol dirinya
3. Anak tunagrahita diharapkan memiliki hubungan interpersonal yang baik terhadap teman-
teman nya.
70
DEFINISI OUTBOUND

Outbound merupakan suatu program pembelajaran (pelatihan) untuk anak-anak yang dilakukan
di alam terbuka dengan mendasarkan pada prinsip “experimental learning” (belajar melalui
pengalaman langsung) yang disajikan dalam bentuk permainan, simulasi, diskusi, dan
petualangan sebagai media penyampaian materi (Muksin, 2009:2). Berdasarkan uraian di atas,
maka peneliti meneliti Outbound Management Training (OMT) untuk Meningkatkan Kemampuan
Penyesuaian Diri Anak Tunagrahita Sedang di Sekolah Luar Biasa Negeri Rembang.
DEFINISI ANAK TUNAGRAHITA

Menurut Reiss dkk (dalam Suharmini, 2007: 69) anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai
gangguan dalam intelektual sehingga menyebabkan kesulitan untuk melakukan adaptasi dengan
lingkungannya. Jumlah anak-anak tunagrahita diperkirakan 2,5-3% dari jumlah populasi
umumnya. Sesuai dengan karakteristiknya, kira-kira 85% anakanak yang termasuk tunagrahita
ringan dari populasi tunagrahita yang ada. Anak-anak ini dapat diajar akademik kira-kira sampai
kelas 4, 5 dan 6. Mereka dapat juga menjadi anak yang mempunyai kepercayaan diri, mandiri,
berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan baik, apabila lingkungan sosialnya memberi
support. Jumlah tunagrahita sedang (moderate mental retardation) diperkirakan 10% dari jumlah
populasi tunagrahita yang ada.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif sebagai metode analisis datanya. Subjek
dalam penelitian ini ialah anak tunagrahita sedang SLB Negeri Rembang yang berjumlah 20 siswa,
terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, yang masingmaging kelompok
berjumlah 10 siswa. Pemilihan subjek penelitian dilakuan dengan cara non randomized pretest-
posttest control group design. Data diperoleh dari observasi yang dilakukan oleh tiga orang
observer pada tiap kelompok baik pretest maupun pottest dengan menggunakan alat
pengumpulan data berupa rating scale. Perlakuan yang diberikan yaitu permainan kooperatif
yang dilakukan sebanyak 11x perlakuan, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan.

TEKNIK ANALISIS DATA

analisis data dengan menggunakan teknik uji statistik non parametrik.

SAMPEL

Subjek dalam penelitian ini ialah anak tunagrahita sedang SLB Negeri Rembang yang berjumlah
20 siswa, terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, yang masingmaging kelompok
berjumlah 10 siswa.

HASIL PENELITIAN

Dari penelitian diatas dapat dikatakan bahwa setelah mengikuti OMT, kelompok eksperimen
menunjukkan peningkatan kemampuan penyesuaian diri, sedangkan kelompok kontrol tidak. Hal

71
ini berarti hasil penelitian menunjukkan bahwa outbound management training yang dilakukan
efektif dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian diri anak tunagrahita sedang.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan peneliti dapat ditarik
kesimpulan bahwa outbound management training (OMT) efektif dalam meningkatkan
kemampuan penyesuaian diri anak tunagrahita sedang di Sekolah Luar Biasa Negeri Rembang.
Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya aspek-aspek penyesuaian diri yaitu, penyesuaian
pribadi dan penyesuaian sosial yang ditunjukkan oleh para anak tunagrahita sedang setelah
diberikan perlakuan, antara lain dapat melakukan penyesuaian secara pribadi maupun secara
sosial.
IDE YANG DI PEROLEH DARI JURNAL

1. Macam-macam permainan yang dimodifikasi untuk anak tunagrahita


2. Keikutsertaan kita dalam memodifikasi permainan serta memberikan motivasi kepada anak
tunagrahita.

72
EPJ 1 (1) (2012)

Educational Psychology Journal


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ epj

OUTBOUND MANAGEMENT TRAINING UNTUK MENINGKATKAN


KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI ANAK TUNAGRAHITA

Gadis Mulia Wati 

Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia


Info Artikel
_____________ Abstrak
___ ______________________________________________________________
Sejarah Artikel: _____
Diterima Januari 2012 Banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri anak tunagrahita sedang,
Disetujui Februari diantaranya dengan mengadakan kegiatan bermain dalam bentuk Outbound Management Training (OMT).
2012 Permainan model ini membuat anak-anak terlibat langsung secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Permainan-
Dipublikasikan Juni permainan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Permainan-permainan Pengantar, Pena Ajaib,
Jari Keseimbangan, Akulah Si, Cermin Saya, Memindah Bom, Jalur Bola, Memasukkan Pensil Kelompok, Gelas Bocor,
2012
Gambar Kreasi, Berpindah Pulau, Truk Gandeng, Awas Ranjau dan Film Akhlak. Penelitian ini bertujuan untuk
_____________ mengetahui keefektifan OMT untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri anak tunagrahita sedang di SLBN
Rembang. Subjek penelitian ini adalah 20 anak tunagrahita sedang. Penelitian dengan metode eksperimen non
___ randomized pretest-posttest control group design. Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan
Keywords: kelompok kontrol dengan jumlah masing-masing kelompok 10 subjek. Pengambilan data penelitian ini menggunakan
Penyesuaian Diri, rating scale dengan nilai sig 0,000 (Sig<0,05 ho diterima) dan Z score sebesar -3,791. Analisis data menggunakan teknik
Outbound uji non parametrik Wilcoxon Signed Ranks Test dengan program SPSS versi 17 for windows. Dalam proses pemberian
perlakuan subjek mengalami beberapa peningkatan pada tiap-tiap indikator pada kemampuan penyesuaian dirinya,
Management
diantaranya mampu mengarahkan diri, mengontrol diri, memiliki hubungan interpersonal yang baik, mampu
Training, dan
menghargai orang lain. Namun, ada beberapa indikator yang belum tercapai secara maksimal diantaranya subjek
Tunagrahita Sedang belum mampu berperilaku sesuai norma, memiliki simpati pada orang lain, menerima diri dan kenyataan. Berdasarkan
__________________ hasil penelitian disimpulkan bahwa OMT efektif untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri anak tunagrahita
__ sedang di SLBN Rembang. Saran yang dapat diberikan untuk pihak sekolah khususnya guru, diharapkan lebih
ditekankan perkembangan anak pada aspek non kognitif, sehingga anak mampu untuk melakukan penyesuaian diri
sesuai dengan tingkat usianya, sedangkan untuk orangtua diharapkan senantiasa mengawasi perkembangan anak dan
selalu mengarahkan.

73
© 2012 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-634X
Gedung A1 Lantai 2 FIP Unnes

Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229


E-mail: journal@unnes.ac.id

74
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

PENDAHULUAN
American Association on Mental Retardation (AAMR), menjelaskan keterbelakangan mental
berarti menunjukkan keterbatasan dalam fungsi intelektual yang ada di bawah rata-rata, dan
keterbatasan pada dua atau lebih keterampilan adaptif seperti berkomunikasi, merawat diri sendiri,
keterampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, waktu luang, dll. Keadaan ini nampak
sebelum usia 18 tahun (Suharmini, 2007: 67).

American Phychological Association (APA) yang dipublikasikan melalui Manual of Diagnosis


and Professional Practice in Mental Retardation th.
1996, mengemukakan tentang batasan tunagrahita. Batasan dari APA ini dapat dimaknai, bahwa anak
tunagrahita adalah anak yang secara signifikan memiliki keterbatasan fungsi intelektual, keterbatasan
fungsi adaptif.

Keadaan ini terjadi sebelum usia 22 tahun. Batasan dari APA dan AAMR ini letak perbedaannya pada
usia munculnya tunagrahita, yaitu sebelum usia 18 tahun (batasan dari AAMR) dan sebelum 22 tahun
(APA). Batasan ini apabila disatukan, maka dapat dikatakan, bahwa keterbatasan fungsi intelektual dan
fungsi adaptif nampak sebelum usia 18-22 tahun (Suharmini, 2007: 67-68).

Menurut Reiss dkk (dalam Suharmini, 2007: 69) anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai
gangguan dalam intelektual sehingga menyebabkan kesulitan untuk melakukan adaptasi dengan
lingkungannya. Jumlah anak-anak tunagrahita diperkirakan 2,53% dari jumlah populasi umumnya.
Sesuai dengan karakteristiknya, kira-kira 85% anakanak yang termasuk tunagrahita ringan dari populasi
tunagrahita yang ada. Anak-anak ini dapat diajar akademik kira-kira sampai kelas 4 5 dan 6. Mereka
dapat juga menjadi anak yang mempunyai kepercayaan diri, mandiri, berkomunikasi dan berinteraksi
sosial dengan baik, apabila lingkungan sosialnya memberi support. Jumlah tunagrahita sedang
(moderate mental retardation) diperkirakan 10% dari jumlah populasi tunagrahita yang ada. Anak-anak
ini mampu merawat diri dan melaksanakan tugastugas sederhana dengan bimbingan. Bimbingan di
rumah oleh anggota keluarga sangat menentukan kesuksesan anak terutama dalam keterampilan
berkomunikasi. Selanjutnya tunagrahita berat (severe mental retardation) diperkirakan berjumlah 3-4%
dari populasi tunagrahita yang ada. Keterampilan merawat diri dan komunikasi yang dapat mereka
lakukan sangat terbatas, hanya pada tingkat dasar. Pada jenis tunagrahita sangat berat (profound
mental retardation) jumlahnya diperkirakan hanya 1-2% dari populasi tunagrahita yang ada, pada jenis
profound ini kemungkinan dengan latihan-latihan supervisi-supervisi akan dapat mencapai
perkembangan merawat diri pada tingkat dasar (Suharmini, 2007: 70).

Hasil survey yang dilakukan oleh Hallahan pada tahun 1988, didapatkan bahwa jumlah
penyandang tunagrahita adalah 2,3%. Di Swedia diperkirakan 0,3% anak yang berusia 516 tahun
merupakan penyandang retardasi mental yang berat dan 0,4% retardasi mental ringan. Data Biro Pusat
Statistik (BPS) tahun 2006, dari 222 juta penduduk Indonesia, sebanyak 0,7% atau 2,8 juta jiwa adalah
penyandang cacat. Sedangkan populasi anak tunagrahita menempati angka paling besar dibanding
dengan jumlah anak dengan keterbatasan lainnya. Prevalensi tunagrahita di Indonesia saat ini
diperkirakan 1-3% dari penduduk Indonesia, sekitar 6,6 juta jiwa. Anak tunagrahita ini memperoleh
pendidikan formal di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri dan SLB swasta

(http://eprints.undip.ac.id/16469/3/JURNAL_ SKRIPSI.pdf).

116
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

Dalam hal ini hambatan-hambatan yang dialami oleh anak tunagrahita perlu adanya penanganan
pendidikan khusus, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB C) untuk melatih anak-anak yang memiliki
keterbatasan seperti tunagrahita ini. SLB Negeri Rembang bahwa penyesuaian diri anak-anak
tunagrahita di sekolah sangatlah kurang bahkan hampir tidak dapat menempatkan diri ketika pelajaran
berlangsung, yaitu ada anak yang hanya duduk diam menyendiri menundukkan kepalanya sambil
bermain pensil ketika guru menerangkan, tidak tertarik pada pelajaran yang disampaikan, ada pula
anak yang asik bercanda sendiri dengan teman dan berbicara ngawur dengan suara yang keras. Anak
tunagrahita tidak mengetahui bagaimana cara yang benar bergaul dengan teman-temannya, misalnya
melakukan aktivitas untuk menjahili temannya, mereka merasa senang bila menggangu orang lain
termasuk gurunya, berbicara pada guru dengan bahasa yang tidak sopan, suka menggertak baik
ucapan maupun perbuatan, bersikap menyerang dan merusak fasilitas sekolah (dengan menendang
kursi dan tidak menaati peraturan sekolah). Penyesuaian diri merupakan variasi dalam kegiatan
organisme untuk mengatasi suatu hambatan dan memuaskan kebutuhankebutuhan serta menegaskan
hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial (Chaplin, 2006: 11).

Sekolah Luar Biasa seringnya dalam pendidikan khususnya metode yang diberikan dalam
pembelajaran lebih ditekankan pada perkembangan akademik anak. Untuk itu, harus ada perubahan
dalam sistem pengajaran pada Sekolah Luar Biasa yang lebih ditekankan pada pengembangan aspek
non akademis. Dalam hal ini adalah kemampuan anak dalam menyesuaikan diri. Salah satunya adalah
dengan melalui permainan. Jenis permainan yang dapat dikembangkan untuk memenuhi tuntutan
tersebut adalah jenis permainan yang membuat anak senang dan dapat bekerja sama dengan teman
yang lainnya (permainan kooperatif) yang dilakukan dalam luar ruangan atau alam terbuka (outbound).

Outbound merupakan suatu program pembelajaran (pelatihan) untuk anak-anak yang dilakukan
di alam terbuka dengan mendasarkan pada prinsip “experimental learning” (belajar melalui
pengalaman langsung) yang disajikan dalam bentuk permainan, simulasi, diskusi, dan petualangan
sebagai media penyampaian materi (Muksin, 2009:2). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti
meneliti Outbound Management Training (OMT) untuk Meningkatkan

Kemampuan Penyesuaian Diri Anak

Tunagrahita Sedang di Sekolah Luar Biasa Negeri Rembang.

METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif sebagai metode analisis datanya. Subjek
dalam penelitian ini ialah anak tunagrahita sedang SLB Negeri Rembang yang berjumlah 20 siswa,
terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, yang masingmaging kelompok berjumlah 10
siswa. Pemilihan subjek penelitian dilakuan dengan cara non randomized pretest-posttest control group
design. Data diperoleh dari observasi yang dilakukan oleh tiga orang observer pada tiap kelompok baik
pretest maupun pottest dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa rating scale. Perlakuan
yang diberikan yaitu permainan kooperatif yang dilakukan sebanyak 11x perlakuan, baik di dalam
ruangan maupun di luar ruangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

117
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

Hasil analisis data dengan menggunakan teknik uji statistik non parametrik menunjukkan bahwa
ada perbedaan kemampuan penyesuaian diri anak tunagrahita sedang kelompok eksperimen sebelum
dan sesudah OMT dengan Z score sebesar -3.791 dan nilai signifikansi sebesar 0,000, yang dapat dilihat
pada rata-rata gain score pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Berarti setelah mengikuti
OMT, kelompok eksperimen menunjukkan peningkatan kemampuan penyesuaian diri, sedangkan
kelompok kontrol tidak. Hal ini berarti hasil penelitian menunjukkan bahwa outbound management
training yang dilakukan efektif dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian diri anak tunagrahita
sedang.

Hal ini ditunjukkan pada hasil deskriptif kemampuan penyesuaian diri anak tunagrahita sedang
di SLBN Rembang baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil pretest, dari 10 anak pada kelompok eksperimen ada 90% (9 anak) mempunyai
kemampuan penyesuaian diri rendah dan 10% (1 anak) mempunyai kemampuan penyesuaian diri
sedang, sedangkan dari 10 anak kelompok kontrol ada 100% (seluruh anak) mempunyai kemampuan
penyesuaian diri rendah.

Berdasarkan aspek-aspek penyesuaian diri, yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial
bahwa anak tunagrahita sedang di SLBN Rembang secara umum berkategori rendah baik kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol. Hal ini ditunjukkan oleh hasil pretest yang diperoleh kelompok
eksperimen, penyesuuaian pribadi ada 60% (6 anak) mempunyai kemampuan penyesuaian diri rendah
dan 40% (4 anak) mempunyai kemampuan penyesuaian diri sedang, sedangkan pada kelompok kontrol
ada 50% (5 anak) mempunyai kemampuan penyesuaian diri rendah dan 50% (5 anak) mempunyai
kemampuan penyesuaian diri sedang.

Hasil pretest yang diperoleh kelompok eksperimen, penyesuaian sosial ada 80% (8 anak)
mempunyai kemampuan penyesuaian diri rendah dan 20% (2 anak) mempunyai kemampuan
penyesuaian diri sedang, sedangkan pada kelompok kontrol ada 80% (8 anak) mempunyai kemampuan
penyesuaian diri rendah dan 20% (2 anak) mempunyai kemampuan penyesuaian diri sedang. Hal ini
berarti secara umum kemampuan penyesuaian diri anak tunagrahita di SLBN Rembang berkategori
rendah.

OMT yang dilakukan dalam penelitian eksperimen ini sebanyak 11 kali dan pembelajaran dengan
menggunakan metode bermain di alam terbuka (outbound) ini selain bersifat konkrit juga bersifat
atraktif karena dalam melakukan permainan ini akan memotivasi anak sehingga anak tidak cepat
merasa bosan, dapat mengembangkan kemampuan anak semaksimal mungkin sesuai dengan prestasi
anak, dapat meningkatkan kemampuan motorik anak, dan meningkatkan kemampuan penyesuaian diri
anak dalam menghadapi situasi bagaimanapun, karena pada dasarnya proses bermain ini merupakan
pusat kegiatan bagi perkembangan sosial emosional anak. Berdasarkan data yang diperoleh, bahwa
subjek mengalami peningkatan pada beberapa indikator dalam penyesuaian diri. Diantaranya yaitu,
pada aspek penyesuaian pribadi;

Melalui permainan „Cermin Ajaib‟ anak dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan teman-
temannya. Dalam diri anak tunagrahita yang perlu dikembangkan pada permainan ini adalah anak
mampu menerima kenyataan, mampu mengerti dan memahami keterbatasan yang ada pada diri
mereka, sehingga mereka mampu untuk menyesuaikan diri ketika berada di manapun.

Proses permainan „Cermin Ajaib‟ ini anak bertugas sebagai sebuah cermin dan orang yang
bercermin. Anak diposisikan saling berhadapan, kemudian yang bertugas sebagai seorang yang
bercermin melakukan berbagai macam gaya supaya bisa ditirukan oleh si Cermin. Tujuan yang dicapai
118
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

permainan ini adalah anak mampu menerima kenyataan bahwa dirinya memiliki keterbatasan.
Sehingga ketika berada di lingkungannya anak mampu untuk bertahan walaupun banyak penolakan
terhadap dirinya. Pada akhirnya melalui proses evaluasi pada tahapan OMT anak dapat mengerti dan
menerima kenyataan yang ada pada dirinya. Perunbahan anak pada indikator ini dapat dilihat pada
perilaku subjek yang semakin berkurang ketika dijahili oleh temanya mereka tidak mengangis, anak
juga tidak putus asa ketika mengerjakan soal yang sulit.

Melalui permainan „Akulah Si‟ bertujuan penerimaan subjek terhadap dirinya. Permainan ini
dilakukan dengan cara anak berdiri di depan kelas, kemudian memperkenalkan diri dengan gaya
masing-masing, melalui memperagakan apa yang menjadi kegemaran subjek. Melalui permainan ini,
peningkatan subjek dapat dilihat pada anak yang mulanya lebih suka bermain sendiri, sekarang sudah
mau bermain dengan teman-temannya, anak tidak malu menjawab pertanyaan dari guru, anak
menjadi bisa mengganti pakaian nya sendiri, dan anak juga mampu makan tanpa disuapi oleh orang
tuanya lagi.

Melalui permainan „Pena Ajaib‟ bertujuan subjek mampu mengontrol dirinya. Permainan ini
dilakukan dengan cara subjek secara berkelompok mengarahkan satu buah pena untuk membuat
suatu tulisan seperti yang diperintahkan trainer. Pada proses evaluasi dalam OMT dijelaskan
bagaimana mengontrol diri ketika dalam situasi apapun dan harus mengatur teman-teman. Hal-hal
yang dapat dicapai dalam permainan ini ditunjukkan pada perilaku subjek menjadi tidak mudah marah,
tidak mudah menangis, dan tidak lagi merusak barang-barang sekolah.

Melalui permainan „Truk Gandeng‟ bertujuan agar subjek mampu megarahkan dirinya sendiri.
Permainan ini dilakukan dengan cara lima orang anak diikat dengan sebuah rafia, dan seorang anak
pada barisan depan memegang dua buah kaca spion. Barisan anak harus bisa berjalan mundur
melintasi lintasan yang sudah disediakan dengan bantuan kaca spion. Pada akhirnya melalui proses
evaluasi pada tahapan OMT anak diberikan penjelasan tentang pengarahan diri. Hal-hal yang dapat
dicapai dalam permainan ini ditunjukkan pada perilaku subjek menjadi lebih mandiri ketika berada di
sekolah, anak tidak ditunggui orang tuanya lagi ketika berada di sekolah, dan anak mampu beraktivitas
sendiri tanpa bantuan.

Melalui permainan „Memindah Bom‟ bertujuan agar subjek memiliki hubungan interpersonal
yang baik. Permainan ini dilakukan dengan cara, subjek berusaha memindah gelas air mineral (sebagai
bom) dengan tali secara berkelompok untuk diletakkan di atas gelas air mineral yang lain. Pada tahap
evaluasi anak dijelaskan bagaimana menjalin hubungan dengan orang sekitar. Halhal yang dapat
dicapai dalam permainan ini ditunjukkan pada perilaku subjek yang menjadi sering menyapa
temannya, anak bersedia diajak berbicara orang yang baru dikenalnya, dan anak tidak malu apabila
bertemu dengan orang lain.

Melalui permainan „Memindah Bom‟ bertujuan agar subjek memiliki simpati pada orang lain.
Permainan ini dilakukan dengan cara, subjek berdiri berderetan kemudian memegang sebuah tongkat
menggunakan satu jari, secara bersamaan harus bisa menurunkan tongkat tersebut tanpa jari lepas
dari tongkat. Pada tahap evaluasi anak dijelaskan bagaimana bersimpati pada teman ketika permainan
berlangsung, bagaimana bersimpati pada hal-hal di sekitarnya. Hal-hal yang dapat dicapai dalam
permainan ini ditunjukkan pada perilaku subjek yang mau berbagi makanan dengan temannya yang
sebelumnya anak enggan melakukan hal tersebut, anak mau melaksanakan perintah guru untuk
mengerjakan soal di depan kelas.

119
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

Melalui permainan „Gelas Bocor dan Ranjau‟ bertujuan agar subjek mampu menghargai orang
lain. Proses permainan ini adalah tiap kelompok terdiri dari lima anak yang kemudian berbaris ke
belakang dan berjongkok. Anak yang di barisan depan bertugas mengambil air pada baskom dengan
gelas yang bocor lalu diserahkan pada teman di belakangnya melalui atas kepala. Pada tahap evaluasi
pelajaran yang dapat diambil adalah anak mampu untuk menghargai temannya dengan memberikan
gelas bocor yang berisi air tanpa harus membasahi temannya. Hal-hal yang dapat dicapai dalam
permainan ini ditunjukkan pada perilaku anak yang bisa untuk berbicara sopan kepada guru yang
sebelumnya anak selalu berbicara tidak sopan pada guru, anak tidak mengejek dan merebut mainan
temannya, dan anak lebih memperhatikan pelajaran ketika guru mengajar.

Proses permaianan ranjau tiap anak berdiri berderet dengan kaki antar anak satu sama lain
saling terikat. Kemudian mereka berjalan menyamping dengan melewati sebuah kotak yang
diibaratkan sebagai ranjau. Kaki masing-masing anak tidak boleh ada yang keluar dari kotak sampai
pada kotak yang terakhir. Pada tahap evaluasi pelajaran yang dapat diambilpun sama, yaitu tiap-tiap
anak harus saling menghargai temannya, dengan menunggu teman yang lain melangkahkan kakinya
tanpa harus keluar dari kotak karena kaki mereka saling terikat.

Melalui permainan „Memasukkan Pensil Kelompok‟ bertujuan agar subjek dapat ikut
berpartisipasi dalam kelompok. Proses dari permainan ini adalah tiap kelompok terdiri dari empat anak
dengan sebuah pensil yang diikat dengan tali dan diikatkan pada badan anak dan secara berkelompok
anak harus memasukkan pensil tersebut dalam botol. Pada tahap evaluasi pelajaran yang dapat
diambil adalah anak bisa saling bekerja sama dalam kelompok. Hal-hal yang dapat dicapai dalam
permainan ini ditunjukkan pada perilaku anak ikut mengerjakan kelompok dari guru, dan anak mampu
melaksanakan piket sesuai jadwalnya tanpa harus diperintah terlebih dahulu.

Melalui permainan „Film Akhlak dan Gambar Kreasi‟ bertujuan agar anak mampu berperilaku
sesuai dengan norma yang ada. Proses dari permainan ini adalah anak diberi selembar kertas untuk
menggambar anak sesuai dengan imajinasi mereka masing-masing. Setelah itu trainer memutarkan
beberapa film kartun yang bertemakan akhlak baik. Pada tahap evaluasi pelajaran yang dapat diambil
adalah anak dijelaskan bagaimana berperilaku baik dan apa balasan yang akan didapat ketika tidak
berperilaku baik. Dalam permainan yang terakhir ini begitu mengena pada anak karena menggunakan
contoh visualisasi gambar bergerak (kartun). Hal-hal yang dapat dicapai dalam permainan ini
ditunjukkan pada perilaku anak tidak lagi suka berkelahi dengan temannya, anak mengenakakn
seragam sekolah sesuai peraturan sekolah, dan anak tidak membuat gaduh ketika jam pelajaran
berlangsung.

Setelah mengikuti OMT ini, kemampuan penyesuaian diri yang dimiliki anak pada kelompok
eksperimen meningkat atau berkembang jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang dapat
dilihat melalui peningkatan tiap-tiap aspek penyesuaian diri yang diambil melalui observasi pretest dan
postest.

Hal ini menunjukkan bahwa OMT yang diberikan memiliki pengaruh positif pada kemampuan
penyesuaian diri anak tunagrahita. Menurut Suharmini (2007:259) ada berbagai pertimbangan atau
alasan mengapa metode outbound ini cocok digunakan untuk mengatasi masalah perilaku dan
perkembangan anak berkebutuhan khusus (tunagrahita) karena merupakan metode simulasi
kehidupan yang dikenal oleh anak dalam kehidupannya, metode ini penuh dengan kegembiraan,
karena dikemas dalam bentuk permainan yang sangat cocok untuk anak-anak, memberi kesempatan
pada anak untuk melatih sensomotorik dan fisiknya, memberi kesempatan untuk menghargai teman,
bekerja sama, sehingga perkembangan personal dan sosial dapat berkembang lebih baik, dapat
120
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

melatih komunikasi anak tunagrahita, dapat melatih anak tunagrahita untuk mengelola tingkah
lakunya, metode ini memberikan pengalaman langsung pada subjek, sehingga anak dengan mudah
menangkap esensi pengalaman itu. Jadi dapat disimpulkan OMT efektif untuk meningkatkan
kemampuan penyesuaian diri anak tunagrahita sedang di SLBN Rembang.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan peneliti dapat ditarik
kesimpulan bahwa outbound management training (OMT) efektif dalam meningkatkan kemampuan
penyesuaian diri anak tunagrahita sedang di Sekolah Luar Biasa Negeri Rembang. Hal ini dapat dilihat
dengan meningkatnya aspek-aspek penyesuaian diri yaitu, penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial
yang ditunjukkan oleh para anak tunagrahita sedang setelah diberikan perlakuan, antara lain dapat
melakukan penyesuaian secara pribadi maupun secara sosial.

DAFTAR PUSTAKA
Andriany, Megah dan Noor Yunida Triana.

2006. Tunagrahita di Indonesia mencapai 6,6 juta orang.


http://eprints.undip.ac.id/16469/3/JUR NAL_SKRIPSI.pdf (Diakses tanggal 11 Februari 2011).

Astuti, Arini Yuli. 2010. Kumpulan Games Cerdas dan Kreatif untuk Meningkatkan Kecerdasan Otak
dan Emosi Anak. Yogyakarta: Pustaka Anggrek.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Azwar, Saifuddin. 2003. Reliabilitas dan Validitas.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


_______________. 2003. Metode Penelitian.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Calhoun dan Acocella. 1995. Psikologi Tentang

Penyesuaian Diri dan Hubungan Kemanusiaan, alih bahasa oleh R.S. Satmoko. IKIP Semarang
Press :

Semarang.

Carr, Stuart C. 2010. The Psychology of Global Mobility. London : Springer.

Chaplin, J. P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi.

Jakarta: Raja Grafindo Pustaka.

Corr, Phillip J and Gerald Matthews, dkk. 2009. The Cambridge Handbook of Personality

121
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

Psychology. New York : Cambridge University Press.


Effendi, Mohammad. 2008. Pengantar

Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta:


PT Bumi Aksara.

Fatimah, Enung. 2010. Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik). Bandung:


Pustaka Setia.

Geniofam. 2010. Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:


Garailmu.

Gerungan. 2000. Psikologi Sosial. Bandung:

Refika Aditama.

Hill, Frances. Rona Newmark. dan Lesley Le Grange. 2003. Subjective Perceptions Of Stress & Coping
By Mathers Of Children With Intelectual Disability A Needs Assessment. University of
Stellenbosch (diterjemahkan oleh Zainal Alimin)

Hurlock. Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Iswati, Erna. 2008. Mendidik Anak dengan Bermain. Yogyakarta : Arti Bumi Intaran.

Latipun. 2004. Psikologi Eksperimen. Malang :

UMM Press.

Liche, Seniati, Aries Y dan Bernadette N.S.

2009. Psikologi Eksperimen. Jakarta: Indeks

Moeslichatoen. 2004. Metode Pengajaran di Kanak-kanak. Jakarta : Rineka Cipta.


Muksin. 2009. Outbound for Kids kumpulan Permainan Kreatif dan Komunikatif.
Jogjakarta : Cosmic Books.

Mu‟tadin, Z. 2002. Penyesuaian Diri Remaja. http://www.epsikologi.com/epsi/search.asp (Diakses


tanggal 10 Maret 2011).

Patmonodewo, Soemiarti. 2000. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta : Rineka Cipta.

Rahayu, Iin Tri & Tistiadi Ardi Ardani. 2004. Observasi dan Wawancara. Malang: UIN

Press.

Scott, Ruth dan W.A. Scott. 2005. Adjustment of Adolescents, Cross Cultural Similarities and
Differences. London : Routledge.
Spielberger, Charles. 2004. Encyclopedia of Applied Psychology. Tampa : Elsevier
Academic Press.
Strickland, Bonnie R. 2001. Gale Encyclopedia of Psychology, Second Edition. Farmington Hills : Gale
Group.
Sudjijono, Budi. 2003. Pengaruh Outbound Management Training Terhadap Potensi Organisasi (Studi
Pada Pegawai Bank Indonesia Surabaya). Jurnal Siasat Bisnis No. 8 Vol. 2.

122
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

Suharmini, Tin. 2007. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Departemen


Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi Direktorat

Ketenagaan.

Sujiono, Yuliani N & Bambang Sujiono. 2010. Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak.
Jakarta : PT. Indeks.

Sunarto dan Hartono. 1994. Perkembangan

Peserta Didik. Jakarta : Rineka Cipta.

Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tedjasaputra, Mayke S. 2005. Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta : PT. Gramed ia Widiasarana
Indonesia.

Ulfatusholiat, Ria. Peran Orangtua Dalam Penyesuaian Diri Anak Tunagrahita. Jurnal
Universitas Gunadharma.

123
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

IDENTITAS JURNAL IV

Judul :PRINSIP KHUSUS DAN JENIS LAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNAGRAHITA
Jurnal :Santiaji Pendidikan

Vol dan No :Volume 9, Nomor 2

ISSN :2087-9016

Tahun :Juli, 2019

Penulis :Ni Luh Gede Karang Widiastuti, I Made Astra Winaya

Reviewer : Rico fransisco

Tanggal : 12 November 2021

LATAR BELAKANG

Banyak terminologi (istilah) yang digunakan untuk menyebut mereka yang kondisi kecerdasannya
di bawah rata-rata seperti mental retardation, mental deficiency, mentally handicapped,
feebleminded, mental subnormality. Beragamnya istilah yang digunakan disebabkan oleh perbedaan
latar belakang keilmuan dan kepentingan para ahli yang mengemukakannya. Namun demikian, semua
istilah tersebut tertuju pada pengertian yang sama, yaitu menggambarkan kondisi terlambat dan
terbatasnya perkembangan kecerdasan seseorang sedemikian rupa jika dibandingkan dengan rata-rata
atau anak pada umumnya disertai dengan keterbatasan dalam perilaku penyesuaian.

Mengingat adanya variasi jenis ketunagrahitaan, maka pelayanan pendidikan dengan pendekatan
khusus akan sangat sesuai untuk memenuhi kebutuhanya. Walaupun demikian, pada hakekaktnya
perbedaan ketunagrahitaan pada anak memiliki keterkaitan langsung dalam proses belajar anak
sehingga diperlukan keterampilan dari seorang guru dalam memahami prinsip dan jenis layanan
pendidikan serta mampu menyusun strategi, media maupun evaluasi penilaian dalam proses
pembelajaran dalam konteks pemberian layanan pendidikan yang sesuai..

RUMUSAN MASALAH

1. kondisi keterlambatan dan terbatasnya perkembangan kecerdasan anak tunagrahita


2. sekolah yang belum menyadari dan belum memberikan pelayanan pendidikan khusus sesuai dengan
kebutuhan siswa tubagrahita.

TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk lebih mengenal anak tunagrahita


2. Memberikan pendidikan yang layak dan aman untuk anak tunagrahita

124
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

DEFINISI ANAK TUNAGRAHITA

a. Menurut AAMD (Moh., 1995) Mendefinisikan tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi
intelektual umum di bawah rata-rata, yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes dan muncul sebelum usia
16 tahun.Sejalan dengan definisi tersebut, AFMR (Vivian, 1987) menggariskan bahwa seseorang yang
dikategorikan tunagrahita harus melebihi komponen keadaan kecerdasannya yang jelas-jelas di bawah
rata-rata, adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tuntutan yang berlaku
di masyarakat.
b. Menurut Endang Rochyadi dan Zainal Alimin (2005) Menyebutkan bahwa tunagrahita berkaitan erat
dengan masalah perkembangan kemampuan kecerdasan kemampuan kecerdasan yang rendah dan
merupakan sebuah kondisi. Hal ini ditunjang dengan penyataan dari Kirk (Muhammad Efendi, 2006)
yaitu “Mental Retarded is not a disease but a condition”. Jadi dapat dipertegas tunagrahita merupakan
suatu kondisi yang tidak bisa disembuhkan dengan obat.

Tujuan Pendidikan Anak Tunagrahita


Tujuan pendidikan anak tunagrahita dikemukakan oleh Suhaeri HN (1980) sebagai berikut.
a. Tujuan pendidikan anak tunagrahita ringan adalah (1) agar dapat mengurus dan membina diri; (2)
agar dapat bergaul di masyarakat; dan (3) agar dapat mengerjakan sesuatu untuk bekal hidupnya.
b. Tujuan pendidikan anak tunagrahita sedang adalah (1) agar dapat mengurus diri, seperti makan
minum, berpakaian, dan kebersihan badan; (2) agar dapat bergaul dengan anggota keluarga dan
tetangga, serta (3) agar dapat mengerjakan sesuatu secara rutin dan sederhana.
c. Tujuan pendidikan anak tunagrahita berat dan sangat berat adalah (1) agar dapat mengurus diri
secara sederhana (memberi tanda atau katakata apabila menginginkan sesuatu, seperti makan), (2)
agar dapat melakukan kesibukan yang bermanfaat (misalnya mengisi kotak-kotak dengan paku); (3)
agar dapat bergembira (seperti berlatih mendengarkan nyanyian, menonton TV, menatap mata orang
yang berbicara dengannya).

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Metode deskriptif ini bertujuan
untuk memecahkan masalah dari data yang ada dan berkembang sampai sekarang, berusaha
menggambarkan apa adanya objek yang di teliti, menuturkan dan menafsirkan data yang ada. Adapun
peneliti disini adalah menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta – fakta
penelitian, pemenuhan kebutuhan khusus bagi siswa penyandang tunagrahita.

SAMPEL

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak tunagrahita yang dimana memiliki
Pengklasifikasian anak tunagrahita penting dilakukan untuk mempermudah guru dalam menyusun
program dan melaksanakan layanan pendidikan. Klasifikasi Anak Tunagrahitayang digunakan saat ini di
Indonesia adalah (PP No.72/1999) sebagai berikut:
a. Tunagrahita Ringan IQ nya (50-70)
b. Tunagrahita Sedang IQ nya (30-50)
c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat IQ nya kurang dari 30

TEKNIK PENGUMPULAN DATA

125
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

a. Observasi kelapangan penelitian, teknik ini dilakukan untuk memperoleh data primer, kemudian
mengumpulkan data-data dari refensi yang berkaitan dengan penelitian.

b. Wawancara, teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara
langsung kepada responden. c. Studi dokumentasi, teknik ini bertujuan untuk mendokumentasikan
hal-hal yang perlu di dokumentasikan.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan pada hasilpembahasan di atas, maka dapat ditarik suatu simpulan sebagai berikut:
1) Seseorang dikatakan tunagrahita apabila anak tersebut memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-
rata sehingga mereka sulit menyusuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka juga tidak mampu
memikirkan hal yang bersifat abstrak dan pelajaran yang bersifak akademik.

2) Anak tunagrahita dapat dikelompokkan menjadi tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, tunagrahita
berat dan tunagrahita sangat berat.
3) Tempat dan sistem pendidikan pendidikan anak tunagrahita meliputi tempat khusus atau sistem
segregasi, sekolah umum dengan sistem integrasi (terpadu), dan pendidikan inklusif
4) Strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita akan meliputi strategi
pengajaran yang diindividualisasikan, kooperatif dan modifikasi tingkah laku.
5) Media pelajaran anak tunagrahita selain media yang biasa digunakan pada proses belajar secara
umum diperlukan media khusus, seperti media untuk latihan motorik, latihan keseimbangan, dan
latihan konsentrasi.
6) Evaluasi belajar anak tunagrahita mengacu pada evaluasi belajar anak biasa. Hanya saja perlu
dimodifikasi dalam waktu pelaksanaan evaluasi, alat evaluasi, kriteria keberhasilan dan pencatatan
hasil evaluasi.

KESIMPULAN

Anak tunagrahita adalah anak yang memiliki inteligensi yang signifkan berada dibawah rata-rata dan
disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.
Anak tunagrahita mempunyai hambatan akademik yang sedemikian rupa sehingga dalam layanan
pembelajarannya memerlukan modifikasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan khususnya. Anak-
anak tunagrahita ringan maupun sangat berat memerlukan layanan pendidikan khusus dalam proses
pembelajarannya di sekolah. Mereka membutuhkan bimbingan dan program yang sesuai dengan
kebutuhan belajarnya agar mereka memiliki masa depan yang cerah, sama seperti anak pada
umumnya.
IDE YANG DI PEROLEH DARI JURNAL

1. Pengarahan untuk anak tunagrahita


2. Klasifikasi anak tunagrahita
3. Pandangan yang lebih mendalam terhadap anak tunagrahita
4. Ikut serta dalam kegiatan membantu anak tunagrahita

126
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

PRINSIP KHUSUS DAN JENIS LAYANAN PENDIDIKAN BAGI


ANAK TUNAGRAHITA

Ni Luh Gede Karang Widiastuti1), I Made Astra Winaya2)


Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar 1), Universitas Dwijendra 2),
E-mail: karangwidhi@gmail.com1), winaya@undwi.ac.id2)

ABSTRAK

Artikel ini disusun dengan maksud untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang sering kali
muncul dan dihadapi guru di sekolah. Salah satu permasalahan yang sering kali terjadi adalah
berkaitan dengan kondisi siswa yang dalam konteks ini adalah anak-anak tunagrahita. Anak
tunagrahita adalah anak yang memiliki inteligensi yang signifkan berada dibawah rata-rata dan disertai
dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Anak
tunagrahita mempunyai hambatan akademik yang sedemikian rupa sehingga dalam layanan
pembelajarannya memerlukan modifikasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan khususnya. Anak-
anak tunagrahita ringan maupun sangat berat memerlukan layanan pendidikan khusus dalam proses
pembelajarannya di sekolah. Mereka membutuhkan bimbingan dan program yang sesuai dengan
kebutuhan belajarnya agar mereka memiliki masa depan yang cerah, sama seperti anak pada
umumnya.

Kata Kunci: Anak Tunagrahita, Pendidikan, Layanan Pendidikan Khusus

ABSTRACT
This article is structured with the intention of providing answers to questions that often arise and are
discussed by teachers at school. One that often happens is what happens to students who in this context
are mentally retarded children. Mentally retarded children are children who have significant
intelligence with abilities and inability to adapt that arise in future developments. Mentally retarded
children have academic abilities that are in accordance with the needs of their learning services
requiring curriculum modification to suit their specific needs. Mild mentally retarded children also
need special education services in the learning process at school. They need guidance and programs
that suit their learning needs so that they have a bright future, just like children in general.

Key words: Mentally Retarded Children, Education, Special Education Services

127
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

PENDAHULUAN
Banyak terminologi (istilah) yang digunakan untuk menyebut mereka yang kondisi
kecerdasannya di bawah rata-rata seperti mental retardation, mental deficiency, mentally handicapped,
feebleminded, mental subnormality. Beragamnya istilah yang digunakan disebabkan oleh perbedaan
latar belakang keilmuan dan kepentingan para ahli yang mengemukakannya. Namun demikian, semua
istilah tersebut tertuju pada pengertian yang sama, yaitu menggambarkan kondisi terlambat dan
terbatasnya perkembangan kecerdasan seseorang sedemikian rupa jika dibandingkan dengan rata-rata
atau anak pada umumnya disertai dengan keterbatasan dalam perilaku penyesuaian.

Keterlambatan dalam perkembangan kecerdasannya, anak tunagrahita akan mengalami


berbagai hambatan dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan, bahkan diantara mereka ada yang
mencapai sebagaian atau kurang, tergantung pada berat ringannya hambatan yang dimiliki anak serta
perhatian yang diberikan oleh lingkungannya. Kondisi ini tentu saja menjadikan persoalan tersendiri
dalam pemberian layanan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anank tunagrahita. Namun
demikian, banyak diantara guru-guru atau sekolah yang belum menyadari dan belum memberikan
pelayanan pendidikan khusus sesuai dengan kebutuhan siswa tubagrahita. Hal ini tidak terlepas dari
kurangnya pengetahuan guru dalam menemukenali ciri-ciri dan karakteristik dari anak tunagrahita.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pemberian pengetahuan atau pelatihan khusus bagi guru
maupun calon guru untuk menemukenali ciri-ciri dan karakteristik anak tunagrahita. Dimana, secara
garis besar anak tunagrahita dapat diklasifikasikan menjadi tunagrahita ringan IQ nya (50-70),
tunagrahita sedang IQ nya (30-50), tunagrahita berat dan sangat berat IQ nya kurang dari 30.

Mengingat adanya variasi jenis ketunagrahitaan, maka pelayanan pendidikan dengan pendekatan
khusus akan sangat sesuai untuk memenuhi kebutuhanya. Walaupun demikian, pada hakekaktnya
perbedaan ketunagrahitaan pada anak memiliki keterkaitan langsung dalam proses belajar anak
sehingga diperlukan keterampilan dari seorang guru dalam memahami prinsip dan jenis layanan
pendidikan serta mampu menyusun strategi, media maupun evaluasi penilaian dalam proses
pembelajaran dalam konteks pemberian layanan pendidikan yang sesuai.

PEMBAHASAN Pengertian Anak Tunagrahita


Istilah yang digunakan untuk menyebut Anak Tunagrahita cukup beragam. Dalam bahasa
Indonesia, istilah yang pernah digunakan, misalnya lemah otak, lemah ingatan, lemah pikiran, retardasi
mental, terbelakang mental, cacat grahita, dan tunagrahita. Dalam Bahasa asing (Inggris) dikenal dengan
istilah mental retardation, mental deficiency, mentally handicapped, feebleminded, mental subnormality
(Moh. Amin, 1995: 20). Istilah lain yang banyak digunakan adalah intellectually handicapped dan
intellectually disabled. Beragamnya istilah yang digunakan disebabkan oleh perbedaan latar belakang
keilmuan dan kepentingan para ahli yang mengemukakannya. Ada beberapa ahli yang mengungkapkan
pengertian dari tunagrahita itu sendiri, sebagai berikut : a. Menurut AAMD (Moh., 1995)
Mendefinisikan tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata,
yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes dan muncul sebelum usia 16 tahun. Sejalan dengan definisi

128
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

tersebut, AFMR (Vivian, 1987) menggariskan bahwa seseorang yang dikategorikan tunagrahita harus
melebihi komponen keadaan kecerdasannya yang jelas-jelas di bawah rata-rata, adanya
ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tuntutan yang berlaku di masyarakat.

b. Menurut Endang Rochyadi dan Zainal Alimin (2005)

Menyebutkan bahwa tunagrahita berkaitan erat dengan masalah perkembangan kemampuan


kecerdasan kemampuan kecerdasan yang rendah dan merupakan sebuah kondisi. Hal ini ditunjang
dengan penyataan dari Kirk (Muhammad Efendi, 2006) yaitu

“Mental Retarded is not a disease but a condition”. Jadi dapat dipertegas tunagrahita merupakan suatu
kondisi yang tidak bisa disembuhkan dengan obat.
Menurut Endang Rochyadi (2005) Dari definisi tersebut, beberapa hal yang perlu kita
diperhatikan adalah berikut ini.

a. Fungsi intelektual umum secara signifikan berada di bawah rata-rata, maksudnya bahwa kekurangan
itu harus benar-benar meyakinkan sehingga yang bersangkutan memerlukan layanan pendidikan
khusus. Sebagai contoh, anak normal rata-rata mempunyai IQ (Intelligence Quotient) 100, sedangkan
anak tunagrahita memiliki IQ paling tinggi 70.
b. Kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian (perilaku adaptif), maksudnya bahwa yang
bersangkutan tidak/kurang memiliki kesanggupan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai
dengan usianya. Ia hanya mampu melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan oleh anak yang
usianya lebih muda darinya.
c. Ketunagrahitaan berlangsung pada periode perkembangan, maksudnya adalah ketunagrahitaan itu
terjadi pada usia perkembangan, yaitu sejak konsepsi hingga usia 18 tahun.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa untuk dikategorikan sebagai penyandang
tunagrahita, seseorang harus memiliki ketiga ciri-ciri tersebut.

Klasifikasi Anak Tunagrahita


Pengklasifikasian anak tunagrahita penting dilakukan untuk mempermudah guru dalam
menyusun program dan melaksanakan layanan pendidikan. Klasifikasi
Anak Tunagrahita yang digunakan saat ini di Indonesia adalah (PP No.72/1999) sebagai
berikut:
a. Tunagrahita Ringan IQ nya (50-70)
b. Tunagrahita Sedang IQ nya (30-50)
c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat IQ
nya kurang dari 30

Klasifikasi menurut AAMD (Moh, 1995), sebagai berikut:

a. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik) Tingkat kecerdasannya IQ mereka berkisar 50-70, mempunyai
kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajran akademik, penyusuaian sosial dan mampu

129
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

bekerja, mampu menyusuaikan lingkungan yang kebih luas, dapat mandiri dalam masyarakat,
mampu melakukan pekerjaan semi trampil dan pekerjaan sederhana.
b. Tunagrahita Sedang (Mampu Latih)
Tingkat kecerdasan IQ nya berkisar 3050, dapat belajar keterampilan sekolah untuk tujuan
fungsional, mampu melakukan keterampilan mengurus dirinya sendiri, mampu mengadakan adaptasi
sosial dilingkungan terdekat, mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan.

c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Semangat)


Tingkat kecerdasan IQ nya kurang dari 30 hampir tidak memiliki kemampuan untuk dilatih mengurus
diri sendiri. Ada yang masih mampu dilatih mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana,
dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat terbatas.

Klasifikasi Anak Tunagrahita berdarkan tipe-tipe klinis/fisik

(Mumpuniarti, 2007), sebagai berikut: a. Down Syndrome (Mongolisme)

Terjadi akibat kerusakan khromozon. Anak tunagrahita jenis ini disebut demikian karena memiliki
raut muka menyerupai orang Mongol dengan mata sipit dan miring, lidah tebal suka menjulur ke
luar, telinga kecil, kulit kasar, susunan gigi kurang baik.

b. Kretin (Cebol)
Ada gangguan hiporoid. Anak ini memperlihatkan ciri-ciri, seperti badan gemuk dan pendek, kaki
dan tangan pendek dan bengkok, kulit kering, tebal, dan keriput, rambut kering, lidah dan bibir,
kelopak mata, telapak tangan dan kaki tebal, pertumbuhan gigi terlambat.

c. Hydrocephal
Terjadi karena cairan otak yang berlebihan. Anak ini memiliki ciri-ciri kepala besar, raut muka kecil,
pandangan dan pendengaran tidak sempurna, mata kadang-kadang juling.

d. Microcephal
Anak ini memiliki ukuran kepala yang kecil.

e. Macrocephal
Anak ini memiliki ukuran kepala yang besar.

Tujuan Pendidikan Anak Tunagrahita


Tujuan pendidikan anak tunagrahita dikemukakan oleh Suhaeri HN (1980) sebagai berikut.
a. Tujuan pendidikan anak tunagrahita ringan adalah (1) agar dapat mengurus dan membina diri; (2)
agar dapat bergaul di masyarakat; dan (3) agar dapat mengerjakan sesuatu untuk bekal hidupnya.
b. Tujuan pendidikan anak tunagrahita sedang adalah (1) agar dapat mengurus diri, seperti makan
minum, berpakaian, dan kebersihan badan; (2) agar dapat bergaul dengan anggota keluarga dan
tetangga, serta
(3) agar dapat mengerjakan sesuatu secara rutin dan sederhana.

130
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

c. Tujuan pendidikan anak tunagrahita berat dan sangat berat adalah (1) agar dapat mengurus diri
secara sederhana (memberi tanda atau katakata apabila menginginkan sesuatu, seperti makan),
(2) agar dapat melakukan kesibukan yang bermanfaat (misalnya mengisi kotak-kotak dengan
paku); (3) agar dapat bergembira (seperti berlatih mendengarkan nyanyian, menonton TV,
menatap mata orang yang berbicara dengannya).

Jenis Layanan Pendidikan Anak Tunagrahita


Pendidikan anak tunagrahita bukanlah program pendidikan yang seluruhnya terpisah dan
berbeda dari pendidikan umum. Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan serta layanan khusus
yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Berikut ini akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan
dengan jenis layanan anak tunagrahita.

Tempat dan Sistem Layanan Penididikan Anak Tunagrahita


Ada beberapa pendidikan dan layanan untuk anak tunagrahita menurut Endang Rochyadi dan
Zainal Alimin

(2005) yaitu :
a. Tempat Khusus atau Sistem Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem
pendidikan anak normal. Tempat pendidikan yang termasuk sistem segregasi, adalah
sebagai berikut. 1) Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa)
Sekolah khusus untuk anak tunagrahita disebut Sekolah Luar Biasa C (SLB-C) dan
Sekolah Pendidikan Luar Biasa C (SPLB-C). Murid yang ditampung di tempat ini khusus satu jenis
kelainan atau ada juga khusus melihat berat dan ringannya kelainan, seperti sekolah untuk tunagrahita
ringan. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman
sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita).
Penerimaan murid dilakukan setiap saat sepanjang fasilitas masih memungkinkan.
Pengelompokan murid didasarkan pada usia kronologisnya dan usia mentalnya diperhatikan pada saat
kegiatan belajar berlangsung. Model seperti ini tidak menyulitkan guru karena setiap anak mempunyai
program sendiri. Penyusunan program menggunakan model Individualized Educational Program (IEP)
atau program pendidikan yang diindividualisasikan; maksudnya program disusun berdasarkan
kebutuhan tiap individu.

Jenjang pendidikan yang ada di sekolah khusus ialah Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB,
lamanya 3 tahun), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB, lamanya 6 tahun), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTPLB, lamanya 3 tahun), Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB, lamanya 3 tahun).

Sekolah khusus ada yang menyediakan asrama sehingga murid tunagrahita langsung tinggal di
asrama sekolah tersebut. Terdapat kesinambungan program pembelajaran antara yang ada di sekolah
dengan di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu,

131
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

kelas khusus berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi murid yang berasal dari luar
daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.

2) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)


SDLB di sini berdiri sendiri dan hanya menampung anak tunagrahita usia sekolah dasar. Model
ini dibentuk agar mempercepat pemerataan kesempatan belajar bagi anak luar biasa. Kurikulum yang
digunakan di SDLB adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan dengan
kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan
ketunaan masingmasing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi.

3) Kelas Jauh
Kelas jauh adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus dalam hal ini anak tunagrahita yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Anak
tunagrahita tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolahsekolah yang khusus mendidik
mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten.

Pengelenggaraan kelas jauh merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib
belajar serta pemerataan kesempatan belajar.

Administrasi kelas jauh banyak dikerjakan di sekolah khusus (induknya), sedangkan administrasi
kegiatan belajar mengajar dikerjakan oleh guru pada kelas jauh tersebut. Tenaga guru yang bertugas di
kelas tersebut berasal dari guru SLBSLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung.

4) Guru Kunjung
Berdasarkan kalsifikasinya terdapat anak anak tunagrahita yang mengalami kelainan berat
sehingga tidak memungkinkan untuk berkunjung ke sekolah khusus. Oleh karena
itu, guru berkunjung ke tempat anak tersebut dan memberi pelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.
5) Lembaga Perawatan (Institusi Khusus)
Lembaga perawatan ini disediakan khusus untuk anak tunagrahita yang tergolong berat dan
sangat berat. Di sana mereka mendapat layanan pendidikan dan perawatan sebab tidak jarang anak
tunagrahita berat dan sangat berat menderita penyakit di samping ketunagrahitaan.

b) Sekolah Umum dengan Sistem Integrasi (Terpadu)


Sistem integrasi memberikan kesempatan kepada anak tunagrahita belajar, bermain atau bekerja
bersama dengan anak normal. Pelaksanaan sistem terpadu bervariasi sesuai dengan taraf
ketunagrahitaan. Berikut ini beberapa tempat pendidikan yang termasuk sistem integrasi, (adaptasi dari
Moh, 1995). 1) Kelas Biasa Tanpa Kekhususan Baik Bahan Pelajaran Maupun Guru

Anak tunagrahita yang dimasukkan dalam kelas ini adalah yang paling ringan
ketunagrahitaannya. Mereka tidak memerlukan bahan khusus ataupun guru khusus. Anak ini mungkin
hanya memerlukan waktu belajar untuk bahan tertentu lebih lama dari rekan-rekannya yang normal.
Mereka memerlukan perhatian khusus dari guru kelas (guru umum), misalnya penempatan tempat
duduknya, pengelompokan dengan temantemannya, dan kebiasaan bertanggung jawab.

2) Kelas Biasa Dengan Guru Konsultan


132
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

Anak tunagrahita belajar bersamasama dengan anak normal di bawah pimpinan guru kelasnya.
Sekali-sekali guru konsultan datang untuk membantu guru kelas dalam memahami masalah anak
tunagrahita dan cara menanganinya, memberi petunjuk mengenai bahan pelajaran dan metode yang
sesuai dengan keadaan anak tunagrahita. 3) Kelas Biasa Dengan Guru Kunjung

Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak normal di kelas biasa dan diajar oleh guru
kelasnya. Guru kunjung mengajar anak tunagrahita apabila guru kelas mengalami kesulitan dan juga
memberi petunjuk atau saran kepada guru kelas. Guru kunjung memiliki jadwal tertentu.

4) Kelas Biasa Dengan Ruang Sumber


Ruang sumber adalah ruangan khusus yang menyediakan berbagai fasilitas untuk mengatasi
kesulitan belajar anak tunagrahita. Anak tunagrahita dididik di kelas biasa dengan bantuan guru
pendidikan luar biasa di ruang sumber. Biasanya anak tunagrahita datang ke ruang sumber.

5) Kelas Khusus Sebagian Waktu


Kelas ini berada di sekolah biasa dan menampung anak tunagrahita ringan tingkat bawah atau
tunagrahita sedang tingkat atas. Dalam beberapa hal, anak tunagrahita mengikuti pelajaran di kelas
biasa bersama dengan anak normal. Apabila menyulitkan, mereka belajar di kelas khusus dengan
bimbingan guru pendidikan luar biasa.

6) Kelas Khusus
Kelas ini juga berada di sekolah biasa yang berupa ruangan khusus untuk anak tunagrahita.
Biasanya anak tunagrahita sedang lebih efektif ditempatkan di kelas
ini. Mereka berintegrasi dengan anak yang normal pada waktu upacara, mengikuti pelajaran
olahraga, perayaan, dan penggunaan kantin.

c) Pendidikan Inklusif
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat
kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh,
menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusif
diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler,
pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang
guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan
kepada siswa tunagrahita jika anak tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak
diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan
inklusif masih dalam tahap rintisan

Ciri Khusus dan Prinsip Khusus Layanan yang Sesuai dengan Anak
Tunagrahita
Ciri-ciri khusus dalam Layanan yang Sesuai dengan Anak Tunagrahita menurut Rochyadi (2005)
antara lain :

133
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

1) Bahasa yang Digunakan


Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi dengan anak tunagrahita adalah bahasa sederhana, tidak
berbelit, jelas, dan gunakan kata-kata yang sering didengar oleh anak.

2) Penempatan Anak Tunagrahita di Kelas Anak tunagrahita ditempatkan di bagian depan kelas dan
berdekatan dengan anak yang kira-kira hampir sama kemampuannya. Apabila mereka di kelas anak
normal maka mereka ditempatkan dekat anak yang dapat menimbulkan sikap keakraban.
3) Ketersediaan Program Khusus Disamping ada program umum yang diperkirakan semua anak di kelas
itu dapat memperlajarinya perlu disediakan program khusus untuk anak tunagrahita yang
kemungkinan mengalami kesulitan. Sedangkan Prinsip khusus Layanan yang Sesuai dengan Anak
Tunagrahita yaitu :
1) Prinsip Skala Perkembangan Mental
Prinsip ini menekankan pada pemahaman guru mengenai usia kecerdasan anak tunagrahita.
Melalui prinsip ini dapat diketahui perbedaan antar dan intra individu.

2) Prinsip Kecekatan Motorik


Melalui prinsip ini anak tunagrahita dapat mempelajari sesuatu dengan melakukannya.
Disamping itu, dapat melatih motorik anak terutama untuk gerakan yang kurang mereka kuasai.

3) Prinsip Keperagaaan
Prinsip ini digunakan dalam mengajar anak tunagrahita mengingat keterbatasan anak
tunagrahita dalam berpikir abstrak. Oleh karena itu sangat penting, dalam mengajar anak
tuangrahita dapt menggunakan alat peraga. Dengan alat peraga anak tunagrahita tidak verbalisme
dan memiliki tanggapan mengenai apa yang dipelajarinya.

4) Prinsip Pengulangan
Berhubung anak tunagrahita cepat lupa mengenai apa yang dipelajarinya maka dalam
mengajar mereka membutuhkan pengulanganpengulangan disertai contoh yang bervariasi. Oleh
karena itu, dalam mengajar anak tunagrahita janglah cepat-cepat maju atau pindah ke bahan
berikutnya sebelum guru yakin betul bahwa anak telah memahami betul bahan yang dipelajarinya.

5) Prinsip Korelasi
Maksud prinsip ini adalah bahan pelajaran dalam bidang tertentu hendaknya berhubungan
dengan bidang lainnya atau berkaitan langsung dengan kegiatan kehidupan sehari-hari anak
tunagrahita.

6) Prinsip Maju Berkelanjutan


Maksud prinsip ini adalah pelajaran diulangi dahulu dan apabila anak menunjukkan kemajuan,
segera diberi bahan berikutnya.

7) Prinsip Individualisasi
Prinsip ini menekankan perhatian pada perbedaan individual anak tunagrahita. Anak
tunagrahita belajar sesuai dengan iramanya sendiri. Namun, mereka harus berinteraksi dengan teman
atau dengan lingkungannya. Jadi, mereka tetap belajar bersama dalam satu ruangan dengan kedalaman
dan keluasan materi yang berbeda.

134
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

Strategi dan Media Pembelajaran dalam Pendidikan Anak Tunagrahita


Strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita menurut Rochyadi (2005)
meliputi:

1) Strategi Pengajaran yang Diindividualisasikan


Pengajaranyang

diindividualisasikan merupakan pengajaran diberikan kepada tiap murid meskipun mereka belajar
bersama dengan bidang studi yang sama, tetapi kedalaman dan keluasan materi pelajaran disesuaikan
dengan kemampuan dan kebutuhan tiap anak. Dalam pelaksanaannya guru perlu melakukan hal-hal
berikut ini.

a) Pengelompokan murid yang memungkinkan murid dapat berinteraksi, bekerja sama, dan bekerja
selaku anggota kelompok dan tidak menjadi anggota tetap dalam kelompok tertentu. Kedudukan
murid dalam kelompok sesuai dengan minat, dan kemampuan belajar yang hampir sama.
b) Pengaturan lingkungan belajar yang memungkinkan murid melakukan kegiatan yang beraneka
ragam, dapat berpindah tempat sesuai dengan kebutuhan murid tersebut, serta adanya
keseimbangan antara bagian yang sunyi dan gaduh dalam pekerjaan di kelas. Adanya petunjuk
tentang penggunaan tiap bagian, adanya pengaturan agar memudahkan bantuan dari orang yang
dibutuhkan. Posisi tempat duduk (kursi & meja) dapat berubah-ubah, ukuran barang dan tata
letaknya hendaknya dapat dijangkau oleh murid sehingga memungkinkan murid dapat mengatur
sendiri kebutuhan belajarnya.
c) Mengadakan Pusat Belajar (Learning
Centre)
Pusat belajar ini dibentuk pada sudutsudut ruangan kelas, misalnya sudut bahasa, sudut IPA,
berhitung. Pembagian seperti ini, memungkinkan anak belajar sesuai dengan pilihannya sendiri. Di
pusat belajar itu tersedia pelajaran yang akan dilakukan, tersedianya tujuan Pembelajaran Khusus
sehingga mengarahkan kegiatan belajar yang lebih banyak bernuansa aplikasi, seperti mengisi,
mengatur, menyusun, mengumpulkan, memisahkan, mengklasifikasi, menggunting, membuat bagan,
menyetel, mendengarkan, mengobservasi. Selain itu, pada tiap pusat belajar tersedia bahan yang
dapat dipilih dan digunakan oleh anak itu sendiri. Melalui strategi ini anak akan maju sesuai dengan
irama belajarnya sendiri dengan tidak terlepas dari interaksi sosial.

2) Strategi Kooperatif
Strategi ini merupakan strategi yang paling efektif diterapkan pada kelompok murid yang
memiliki kemampuan heterogen, misalnya dalam pendidikan yang mengintegrasikan anak tunagrahita
belajar bersama dengan anak normal. Strategi kooperatif memiliki keunggulan, seperti meningkatkan
sosialisasi antara anak tunagrahita dengan anak normal, menumbuhkan penghargaan dan sikap positif
anak normal terhadap prestasi belajar anak tunagrahita sehingga memungkinkan harga diri anak

135
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

tunagrahita meningkat, dan memberi kesempatan pada anak tunagrahita untuk mengembangkan
potensinya seoptimal mungkin.

Dalam pelaksanaannya guru harus memiliki kemampuan merumuskan tujuan pembelajaran,


guru dituntut mempunyai keterampilan untuk mengatur tempat duduk, pengelompokan anak dan
besarnya anggota kelompok. Jonshon (1984) mengemukakan bahwa guru harus mampu merancang
bahan pelajaran dan peran tiap anak yang dapat menunjang terciptanya ketergantungan positif antara
anak tunagrahita ringan dengan anak normal.

3) Strategi Modifikasi Tingkah Laku


Strategi ini digunakan apabila menghadapi anak tunagrahita sedang ke bawah
atau anak tunagrahita dengan gangguan lain. Tujuan strategi ini adalah mengubah, menghilangkan
atau mengurangi tingkah laku yang tidak baik ke tingkah laku yang baik.
Dalam pelaksanaannya guru harus terampil memilih tingkah laku yang harus dihilangkan.
Sementara itu perlu pula teknik khusus dalam melaksanakan modifikasi tingkah laku tersebut, seperti
reinforcement dapat berupa pujian, hadiah atau elusan. Pujian diberikan apabila siswa menunjukkan
perilaku yang dikehendaki oleh guru. Dan pemberian reinforcement itu makin hari makin dikurangi agar
tidak terjadi ketergantungan.

Media Pembelajaran dalam Pendidikan Anak Tunagrahita


Media pembelajaran penting diperhatikan dalam mengajar anak tunagrahita (Rochyadi, 2005).
Hal ini disebabkan anak tunagrahita kurang mampu berfikir abstrak, mereka membtutuhkan hal-hal
kongkrit. Agar terjadinya tanggapan tentang obyek yang dipelajari, maka dibutuhkan media
pembelajaran yang memadai.

Selanjutnya diterangkan tentang karakteristik media pembelajaran pelajaran untuk anak


tunagrahita antara lain : (1) Bahan tidak berbahaya bagi anak, mudah diperoleh, dapat digunakan oleh
anak, (2) Warna tidak mencolok dan tidak abstrak, dan (3) Ukurannya harus dapat digunakan atau diatur
penggunaannya oleh anak itu sendiri (ukuran meja dan kursi).

Adapun media pembelajaran untuk anak tunagrahita yaitu alat latihan kematangan motorik
berupa form board, puzzle; latihan kematangan indra, seperti latihan perabaan, penciuman; alat latihan
untuk mengurus diri sendiri, seperti latihan memasang kancing, memasang retsluiting; alat latihan
konsentrasi, seperti papan keseimbangan, alat latihan membaca, berhitung, dan lain-lain.

Ketentuan Khusus dalam Melaksanakan Evaluasi Belajar Anak


Tunagrahita
Berikut ini akan dikemukakan ketentuan-ketentuan khusus dalam melaksanakan
evaluasi belajar anak tunagrahita (Rochyadi, 2005).

136
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

a. Waktu Mengadakan Evaluasi


Evaluasi belajar anak tunagrahita tidak saja dilakukan pada saat kegiatan belajar mengajar berakhir,
namun juga dilaksnakaan selama proses belajar mengajar berlangsung. Pada saat itu dapat dilihat
bagaimana reaksi anak, sikap anak, kecepatan atau kelambatan setiap anak. Apabila ditemukan anak
yang lebih cepat dari temannya maka ia segera diberi bahan pelajaran berikutnya tanpa harus
menunggu teman-temanya, sedangkan anak yang lebih lambat, mendapatkan pengulangan atau
penyederhanaan materi pelajaran.

b. Alat Evaluasi
Alat evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar anak tunagrahita sama dengan anak
normal, kecuali dalam bentuk dan urutan penggunaannya. Penggunaan alat evaluasi, seperti tulisan,
lisan dan perbuatan bagi anak tunagrahita harus ditinjau lebih dahulu bagaimana keadaan anak
tunagrahita yang akan dievaluasi. Misalnya, anak tunagrahita sedang tidak mungkin diberikan alat
evaluasi tulisan. Mereka diberikan alat evaluasi perbuatan dan bagi anak tunagrahita ringan dapat
diberikan alat evaluasi tulisan maupun lisan karena anak tunagrahita ringan masih memiliki kemampuan
untuk menulis dan membaca serta berhitung walaupun tidak seperti anak normal pada umumnya.

Kemudian, kata tanya yang digunakan adalah kata yang tidak menuntut uraian (bagaimana,
mengapa), tetapi kata apa, siapa atau di mana.

c. Kriteria Keberhasilan
Keberhasilan belajar anak tunagrahita dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh anak itu
sendiri dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, penilaian pada anak tunagrahita adalah longitudinal
maksudnya penilaian yang mengacu pada perbandingan prestasi individu atas dirinya sendiri yang
dicapainya kemarin dan hari ini.

d. Pencatatan Hasil Evaluasi


Pencatatan evaluasi untuk anak tunagrahita menggunakan bentuk kuantitatif ditambah dengan
kualitatif. Misalnya, dalam pelajaran Berhitung, murid mendapat nilai angka 7. Sebaiknya diikuti dengan
penjelasan, seperti nilai 7 berarti dapat mempelajari penjumlahan 1 sampai 4, pengurangan 1 sampai 3.

SIMPULAN
Berdasarkan pada hasil pembahasan di atas, maka dapat ditarik suatu simpulan sebagai
berikut:
1) Seseorang dikatakan tunagrahita apabila anak tersebut memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-
rata sehingga mereka sulit menyusuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka juga tidak mampu
memikirkan hal yang bersifat abstrak dan pelajaran yang bersifak akademik.
137
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

2) Anak tunagrahita dapat dikelompokkan menjadi tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, tunagrahita
berat dan tunagrahita sangat berat.
3) Tempat dan sistem pendidikan pendidikan anak tunagrahita meliputi tempat khusus atau sistem
segregasi, sekolah umum dengan sistem integrasi (terpadu), dan pendidikan inklusif
4) Strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita akan meliputi strategi
pengajaran yang diindividualisasikan, kooperatif dan modifikasi tingkah laku.
5) Media pelajaran anak tunagrahita selain media yang biasa digunakan pada proses belajar secara
umum diperlukan media khusus, seperti media untuk latihan motorik, latihan keseimbangan, dan
latihan konsentrasi.
6) Evaluasi belajar anak tunagrahita mengacu pada evaluasi belajar anak biasa. Hanya saja perlu
dimodifikasi dalam waktu pelaksanaan evaluasi, alat evaluasi, kriteria keberhasilan dan pencatatan
hasil evaluasi.

Saran
Berdasarkan dari hasil penulisan artikel ini dapat disarankan kepada guruguru khususnya guru
yang memiliki anak didik tunagrahita hendaknya dapat mengenali ciri-ciri mereka sehingga mampu
menfkasifikasikan termasuk dalam kategori tunagrahita yang mana dan mampu memeberikan layana
pendidikan yang sesuai, serta mampu merancang strategi, media, evaluasi yang sesuai dengan
ketunagrahittaan yang mereka alami.

DAFTAR PUSTAKA
Efendi, M. (2006). Pengantar psikologi anak berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.

Endang, R. dan Alimin, Z. (2005).

Pengembangan program pembelajaran individual bagi anak


tuna grahita. Jakarta: Depdiknas

Moh. A. (1995). Ortopedagogik anak tunagrahita. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Mumpuniarti.(2007). Pembelajaran akademik bagi tunagrahita. Yogyakarta: FIP UNY.


Suhaeri H.N. (1979). Penyelidikan tentang persepsi visual anak terbelakang.
Bandung: PLB FIP IKIP.

138
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 9, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 2087-9016

139

Anda mungkin juga menyukai