Anda di halaman 1dari 31

DRAFT

PERATURAN GUBERNUR

PEDOMAN PENINGKATAN DAYA DUKUNG & DAYA TAMPUNG


LINGKUNGAN KAWASAN PERKOTAAN JAWA BARAT MELALUI
PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU

Menimbang : a. bahwa perkembangan dan pertumbuhan kota/perkotaan di Jawa Barat


tidak diikuti dengan peningkatan komponen daya dukung dan daa
tampung lingkungan kawasan perkotaan sehingga perlu dilakukan
upaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui
penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Peningkatan
Komponen Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Kawasan
Perkotaan Jawa Barat melalui Penataan Ruang Terbuka Hijau;

Mengingat : a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
b. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3699);
c. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4401)Undang-undang Nomor 24
Tahun 1992 tentang Penataaan Ruang (Lembaran Negara Nomor 1992
Nomor 115, TLN Nomor 5301);
d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

1
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
e. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242);
f. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung;
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Pedoman Perubahan Pemanfaatan Lahan Perkotaan;
h. Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor: 327/KPTS/M/2002 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan;
i. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 Tahun 2004 tentang
pedoman Koordinasi Penataan Ruang daerah;
j. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.
k. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2003 tentang
RTRW Propinsi Jawa Barat;

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PEDOMAN


PENINGKATAN DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN
KAWASAN PERKOTAAN JAWA BARAT MELALUI PENATAAN RUANG
TERBUKA HIJAU (RTH)

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian 1
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Gubernur ini, yang dimaksud dengan:
1. Daya Dukung Lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup di kawasan
perkotaan untuk mendukung perikehidupan masyarakat dan makhluk lainnya, tanpa
mengakibatkan kerusakan alam yang menyebabkan ketidakmampuan alam untuk
memperbaiki dirinya sendiri

2
2. Daya Tampung Lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup di Kawasan
Perkotaan Jawa Barat untuk menyerap zat, energi dan/ atau komponen lain yang
masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
3. Kawasan Perkotaan Jawa Barat adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial
dan kegiatan ekonomi.
4. Kota Kecil adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani
sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa.
5. Kota Sedang adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani
sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa.
6. Kota Besar adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih
besar dari 500.000 jiwa.
7. Kota Metropolitan adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang
dilayani lebih besar dari 1.000.000 jiwa.
8. Ruang Terbuka (open spaces) adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang
lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area
memanjang/jalur dimana di dalam penggunaanya lebih bersifat terbuka yang pada
dasarnya tanpa bangunan.
9. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah
perkotaan yang diisi oleh, dan vegetasi baik tumbuhan dan tanaman guna
mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung RTH dalam peningkatan
daya dukung dan daya tampung lingkungan perkotaan.
10. Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik, adalah RTH yang penyediaannya merupakan
tanggung jawab pemerintah kota.
11. Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat, adalah RTH pada lahan-lahan privat
(pekarangan) dimana dalam penyediaannya juga merupakan tanggung jawab
pemerintah melalui regulasi dan ketentuan-ketentuan yang akan mengikatnya.
12. Fungsi Ekologis RTH adalah fungsi ruang terbuka hijau yang memberikan manfaat
perlindungan terhadap manusia dan lingkungannya.
13. Fungsi Sosial RTH adalah fungsi ruang terbuka hijau yang memberikan manfaat
sebagai sarana interaksi sosial masyarakat dengan lingkungan sosial sekitarnya.
14. Fungsi Estetis RTH adalah fungsi ruang terbuka hijau yang memberikan manfaat
sebagai komponen keindahan kota atau lingkungan hidup manusia.
15. Fungsi Ekonomi RTH adalah kemampuan ruang terbuka hijau dalam
meningkatkan nilai lahan karena suasana lingkungan yang tercipta akibat
keberadaannya dan akibat kegiatan yang berlangsung pada areal RTH tersebut.
16. RTH Kawasan Lindung adalah RTH yang terletak di kawasan yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya
bangsa, guna kepentingan pembangunan berkelanjutan
17. RTH Kawasan Budidaya adalah RTH yang terletak di kawasan yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

3
18. Komponen RTH Primer adalah komponen RTH prioritas pertama yang harus
disediakan oleh Pemerintah Daerah
19. Komponen RTH Sekunder komponen RTH prioritas kedua yang dapat disediakan
oleh Pemerintah Daerah
20. RTH Struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional
antar komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki planologis.
21. RTH Non Struktural RTH merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan
fungsional antar komponen pembentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola
hierarki planologis karena bersifat ekosentris.

Bagian 2
Kedudukan
Pasal 2
Peraturan Gubernur memiliki kedudukan sebagai:
a. Dasar pertimbangan penyusunan Rencana Tata Ruang Kota dalam sistem tata guna
lahan perkotaan
b. Acuan dalam penyusunan rencana RTH yang lebih rinci.

Bagian 3
Asas & Prinsip
Pasal 3
Pedoman Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Kawasan Perkotaan
Jawa Barat melalui Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) disusun dengan asas tanggung
jawab negara, asas keberlanjutan dan asas manfaat.

Pasal 4
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam Pedoman Peningkatan Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Kawasan Perkotaan Jawa Barat melalui Penataan RTH adalah :
a. menjamin terjaganya keanekaragaman hayati,
b. meminimalkan eksploitasi sumber daya alam melalui optimalisasi dan efisiensi
penggunaan SDA, dan
c. meminimalkan terjadinya kerusakan lingkungan.

4
BAB II
LINGKUP WILAYAH
Pasal 5
Pedoman ini berlaku bagi seluruh kawasan perkotaan di Jawa Barat.

BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT
Pasal 6
Tujuan Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung Kawasan Perkotaan melalui
Penataan RTH di Provinsi Jawa Barat adalah untuk:
a. terciptanya lingkungan ekologis kawasan perkotaan yang menjamin pasokan air
dan pasokan udara bersih bagi masyarakatnya
b. terciptanya ruang terbuka untuk mewadahi kegiatan sosial interaksi masyarakat
perkotaan

Pasal 7
Manfaat Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung Kawasan Perkotaan melalui
Penataan RTH di Provinsi Jawa Barat meliputi:
a. peningkatan keanekaragaman hayati flora dan fauna di lingkungan kawasan
perkotaan Jawa Barat;
b. mempertahankan dan memperbaiki stabilitas tanah di lingkungan kawasan Jawa
Barat;
c. terjaganya iklim mikro kawasan perkotaan, khususnya suhu dan kualitas udara di
kawasan perkotaan Jawa Barat;
d. mampu mengurangi limpasan air yang berpotensi untuk mencemari air ataupun
membawa zat-zat pencemar terhadap badan-badan air;
e. memiliki kemampuan untuk menyerap dan mengolah gas dan zat yang berguna
bagi tumbuhan namun beracun bagi manusia dan fauna lainnya di kawasan
perkotaan Jawa Barat.
BAB IV
RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)
Bagian 1
Fungsi RTH
Pasal 8
(1) Fungsi RTH dibagi menjadi 4 (empat) kelompok besar meliputi :
a. fungsi ekologis, merupakan fungsi RTH yang memberikan perlindungan
terhadap manusia dan lingkungan, terdiri dari fungsi orologis, fungsi

5
hidrologis, fungsi klimatologis, fungsi edhapis, fungsi hygienis, dan fungsi
kesehatan induvidu.
b. fungsi sosial, merupakan fungsi RTH sebagai sarana interaksi masyarakat
dengan lingkungan sosial sekitarnya, terdiri dari: fungsi edukatif, fungsi
interaksi masyarakat, fungsi protektif, dan fungsi spiritual.
c. fungsi estetis, merupakan fungsi RTH sebagai komponen keindahan kota
atau linkungan hidup manusia, terdiri dari fungsi visual/vista, fungsi tabir
(screening), dan fungsi identitas kota.
d. fungsi ekonomis, merupakan fungsi RTH dalam meningkatkan nilai lahan
karena kualitas lingkungan yang tercipta.
(2) Setiap komponen RTH perkotaan dapat memiliki lebih dari satu fungsi.
(3) Secara berurutan komponen RTH yang memiliki peran maksimum dalam
meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan kawasan perkotaan,
adalah sebagai berikut : 1) fungsi ekologis; 2) fungsi sosial; 3) fungsi estetis; dan 4)
fungsi ekonomis.
(4) Agar berperan maksimum dalam meningkatkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan kawasan perkotaan, komponen RTH perkotaan diarahkan untuk
memiliki fungsi dominan ekologis dan sosial.

Bagian 2
Klasifikasi Komponen RTH Kawasan Perkotaan

Pasal 9
Klasifikasi Komponen RTH berdasarkan Sebaran dan Hirarki dalam Tata Ruang
(1) Komponen RTH perkotaan berdasarkan sebaran dan hirarki dalam tata ruang
ditentukan oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya.
(2) Klasifikasi komponen RTH perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari menjadi 2 (dua) karakteristik meliputi RTH struktural dan RTH non
struktural.

Pasal 10
Klasifikasi Komponen RTH berdasarkan Guna Lahan
(1) Berdasarkan guna lahan, komponen RTH yang terdapat di kawasan perkotaan Jawa
Barat terbagi atas RTH Kawasan Lindung dan RTH Kawasan Budidaya
(2) RTH Kawasan Lindung terdiri sebagai berikut :
a. hutan lindung;
b. kawasan cagar alam;
c. waduk, bendungan dan sempadannya;
d. situ, danau, rawa dan sempadannya;

6
e. kawasan mata air;
f. sempadan sungai;
g. sempadan pantai;
h. kawasan perlindungan plasma nutfah; dan
i. hutan kota
(3) RTH Kawasan Budidaya terdiri sebagai berikut :
a. taman kota;
b. taman lingkungan;
c. tempat pemakaman umum (TPU);
d. lapangan olahraga/lapangan terbuka;
e. taman rekreasi;
f. jalur hijau sempadan jalan ( jalan arteri, kolektor, lokal );
g. pulau jalan;
h. sempadan instalasi berbahaya;
i. sempadan kereta api;
j. pekarangan sarana transportasi;
k. pekarangan perumahan;
l. pekarangan pemerintahan;
m. pekarangan perkantoran;
n. pekarangan fasilitas kesehatan;
o. pekarangan fasilitas pendidikan;
p. pekarangan kawasan militer;
q. pekarangan fasilitas perdagangan; dan
r. pekarangan kawasan industri/pergudangan.

Pasal 11
Klasifikasi Komponen RTH berdasarkan Pihak Pengelola
(1) Berdasarkan pengelolanya RTH dapat dibedakan menjadi RTH Publik dan RTH
Privat.
(2) Komponen RTH yang termasuk ke dalam RTH Publik sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 meliputi :
a. hutan lindung
b. hutan kota
c. kawasan cagar alam
d. kawasan perlindungan plasma nutfah;
e. waduk, bendungan dan sempadannya;

7
f. kawasan mata air;
g. situ, danau, rawa dan sempadannya;
h. sempadan sungai;
i. sempadan pantai;
j. taman rekreasi
k. taman kota;
l. taman lingkungan;
m. lapangan olahraga/lapangan terbuka;
n. tempat pemakaman umum (TPU);
o. pulau jalan;
p. jalur hijau sempadan jalan ( jalan arteri, kolektor, lokal );
(3) Komponen RTH yang termasuk ke dalam RTH Privat sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 meliputi :
a. sempadan instalasi berbahaya;
b. sempadan kereta api;
c. pekarangan sarana transportasi;
d. pekarangan perumahan;
e. pekarangan pemerintahan;
f. pekarangan perkantoran;
g. pekarangan fasilitas kesehatan;
h. pekarangan fasilitas pendidikan;
i. pekarangan kawasan militer;
j. pekarangan fasilitas perdagangan; dan
k. pekarangan kawasan industri/perdagangan.

Pasal 12
Klasifikasi RTH Komponen RTH Publik Berdasarkan Kontribusi terhadap
Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Kawasan Perkotaan

(1) Berdasarkan kontribusi masing-masing komponen RTH ,sebagaimana dijelaskan


pada pasal 8 ayat (3) , terhadap Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Kawasan Perkotaan maka komponen RTH dikelompokkan menjadi
Komponen RTH Primer dan Komponen RTH Sekunder.
(2) Komponen RTH primer sebagaimana disebutkan pada ayat (1) adalah sebagai
berikut :
a. RTH kawasan lindung sebagaimana terdapat pada pasal 9 ayat (2)
b. sempadan jalan

8
c. taman lingkungan
d. taman kota
(3) Komponen RTH sekunder sebagaimana disebutkan pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. taman rekreasi
b. tempat pemakaman umum (TPU)
c. lapangan olahraga
d. pulau jalan

BAB V
PENATAAN RTH
Pasal 13
(1) Penataan RTH meliputi tahapan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian
RTH.
(2) Penataan RTH di kawasan perkotaan mengacu pada beberapa prinsip dasar
meliputi:
a. RTH memiliki peran sebagai penjaga kesinambungan dan keseimbangan
lingkungan sehingga jarak antar komponen RTH harus tetap terjaga.
b. Area di antara RTH kawasan lindung dengan kawasan budidaya menjadi
kawasan penyangga yang merupakan area pasif.
c. RTH dengan elemen hijau alami besar dan keanekaragaman tinggi akan
memiliki kualitas dan peran yang baik terhadap peningkatan daya dkung
dan daya tampung lingkungan kawasan perkotaan.
d. RTH dalam suatu kawasan perkotaan harus terangkai dalam satu kesatuan
sistem yang terintegrasi.
e. Untuk keperluan regional, beberapa kota dapat mengupayakan pemenuhan
kebutuhan RTH-nya bersama-sama untuk komponen-komponen tertentu
dengan tetap memperhatikan dan menjaga distribusi RTH di dalam kota
masing-masing.

Bagian 1
Perencanaan
Pasal 14
Tahapan Perencanaan RTH
(1) Tahapan perencanaan RTH sebagaimana dimaksud pada pasal 13 meliputi:
a. perhitungan kebutuhan RTH,
b. identifikasi sediaan RTH,

9
c. perbandingan kebutuhan dan sediaan RTH,
d. arahan pengadaan RTH baru tertentu
e. strategi dalam pengadaan RTH,
(2) Perbandingan sediaan dan kebutuhan RTH akan menghasilkan arahan dan strategi
dalam pengadaan maupun peningkatan fungsi RTH sebagaimana terdapat pada ayat
(1) huruf d dan e.
(3) Setiap Kabupaten/Kota harus memiliki rencana RTH yang substansinya tertuang
dalam setiap level perencanaan tata ruang masing-masing Kabupaten/Kota dengan
jangka waktu tertentu

Pasal 15
Perhitungan Kebutuhan RTH

(1) Kebutuhan luasan RTH Publik di kawasan perkotaan adalah minimal 10%
(2) Kebutuhan ideal luasan RTH Privat di kawasan perkotaan adalah 20%.
(3) Perhitungan kebutuhan RTH disesuaikan dengan karakteristik masing-masing kota.
(4) Tata cara perhitungan kebutuhan RTH sebagaimana dimaksud pada pasal 14 ayat
(1) huruf a meliputi :
a. perhitungan berdasarkan presentase luas;
b. perhitungan berdasarkan luasan per kapita;
c. perhitungan berdasarkan kebutuhan lingkungan perumahan untuk
pengadaan RTH Publik;
d. perhitungan berdasarkan kebutuhan manusia akan oksigen;
e. perhitungan berdasarkan jumlah CO2 dan gas lainnya yang dapat diserap
tanaman; dan
f. perhitungan berdasarkan isu penting meliputi : persediaan air terbatas; kota
dengan kepadatan penduduk tinggi; jumlah kendaraan bermotor tinggi; dan
jumlah industri yang tinggi
(5) Hasil perhitungan kebutuhan luas RTH kawasan perkotaan meliputi kebutuhan total
luas RTH Publik dan RTH Privat.
(6) Nilai yang dipilih dalam menentukan kebutuhan luasan RTH adalah nilai yang
tertinggi.
(7) Jika dalam hasil perhitungan menghasilkan kebutuhan akan luas RTH Publik
kurang dari 10%, maka RTH yang disediakan oleh Pemerintah Daerah harus tetap
minimal 10%.

Pasal 16
Identifikasi Sediaan RTH

10
(1) Tahapan identifikasi sediaan RTH sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (1)
huruf b meliputi identifikasi sediaan RTH Publik dan RTH Privat
(2) Identifikasi sediaan RTH Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan:
a. identifikasi luasan komponen ruang terbuka hijau publik yang tersedia,
b. identifikasi sebaran ruang terbuka hijau,
c. identifikasi ketersediaan komponen ruang terbuka hijau primer.
(3) Identifikasi sediaan RTH Privat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan :
a. survei primer;
b. kajian terhadap penertiban ijin lokasi pembangunan (siteplan); dan
c. foto udara.

Pasal 17
Skala Prioritas Pengadaan RTH
Pengadaan RTH di kawasan perkotaan dimulai dengan melengkapi komponen primer
dan kemudian melengkapi komponen sekunder sebagaimana terdapat di pasal 12 ayat
(2) dan (3).

Pasal 18
Pengadaan Ruang Terbuka Hijau
(1) Arahan pengadaan RTH Publik tertentu sebagaimana terdapat pada pasal 14 ayat
(1) huruf d mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a. urutan prioritas komponen RTH
b. sebaran lokasi RTH
c. karakter dan komposisi pembangunan komponen RTH, dan
d. desain komponen RTH.
(2) Urutan prioritas komponen RTH sebagaimana pada ayat (1) huruf a meliputi
komponen RTH Primer dan komponen RTH Sekunder sebagaimana dijelaskan
pada pasal 12 dan pasal 18.
(3) Sebaran lokasi RTH sebagaimana pada ayat (1) huruf b mengikuti pola struktural
dan non struktural seperti pada pasal 9.
(4) Karakter dan komposisi pembangunan komponen RTH sebagaimana pada ayat (1)
huruf c meliputi persentase perkerasan di dalam komponen, pemilihan vegetasi
pada setiap masing-masing komponen, dan tingkat kepadatan vegetasi pada
masing-masing komponen RTH.
(5) Desain komponen RTH sebagaimana pada ayat (1) huruf d adalah penciptaan citra
yang ingin ditunjukkan dari masing-masing komponen.

11
Pasal 19
Strategi Pengadaan RTH untuk Kota dengan Kebutuhan RTH sudah terpenuhi
(1) Strategi pengadaan RTH Publik untuk kawasan perkotaan jika kebutuhan akan RTH
sudah terpenuhi adalah sebagai berikut :
a. konservasi RTH yang sudah ada
b. peningkatan fungsi ekologis RTH
c. pencadangan lahan untuk RTH
(2) Strategi pengadaan RTH Privat untuk seluruh kawasan perkotaan jika kebutuhan
akan RTH sudah terpenuhi adalah melalui pengaturan kebijakan/ peraturan daerah.

Pasal 20
Strategi Pengadaan RTH untuk Kota dengan Kebutuhan RTH belum terpenuhi
(1) Strategi pengadaan RTH didasarkan pada ketersediaan lahan; manajemen lahan;
dan ketersediaan komponen.
(2) Strategi pengadaan berdasarkan ketersediaan lahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. pmbangunan konsep superblok
b. peremajaan dan revitalisasi
c. konservasi dan peningkatan fungsi ekologis RTH yang telah dimiliki
(3) Strategi pengadaan berdasarkan manajemen lahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. pengambilalihan lahan-lahan terlantar/ yang telah melewati batas waktu izin
HGB.
b. pembebasan lahan untuk RTH
c. mengembalikan lahan RTH yang beralih fungsi
d. penyediaan RTH Fasilitas Umum oleh pihak swasta
(4) Strategi pengadaan berdasarkan ketersediaan komponen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
a. pengadaan RTH baru primer
b. konservasi dan peningkatan fungsi ekologis RTH yang telah dimiliki
c. konservasi RTH kawasan lindung yang berada di sekitar kawasan
perkotaan
d. substitusi RTH publik dengan RTH privat (pekarangan) dalam bentuk hutan
kota dan taman kota yang dapat diakses oleh publik
(5) Strategi pengadaan RTH Privat untuk seluruh kawasan perkotaan jika kebutuhan
akan RTH sudah terpenuhi adalah melalui pengaturan kebijakan/ peraturan
daerah melalui :

12
a. Memperkuat dan meningkatkan mekanisme pemanfaatan lahan
b. Penetapan KDB dan KDH yang dapat menjamin ketersediaan RTH
c. Membatasi luasan kavling terkecil rumah tunggal dan mengarahkan
pembangunan pada bangunan vertikal
d. Peningkatan kualitas RTH melalui pagar tanaman, dinding dan atap
tanaman
e. Pengenaan beban pembangunan bagi bangunan dengan KDB 100%
untuk membangun RTH di tempat lain
f. pemberian mekanisme insentif dan disinsentif dari pemerintah daerah
kepada pihak pemilik (privat) lahan yang bersedia menyediakan RTH
g. pengalihan hak membangun antarbangunan untuk memenuhi kebutuhan
RTHnya
h. active project participation
i. rehabilitasi dan revitalisasi kawasan,
j. konsolidasi lahan
k. kewajiban menanam pohon pada lahan-lahan privat yang dibiarkan
kosong
l. pembangunan RTH pada bangunan-bangunan publik/pemerintah
sebagai proyek percontohan kepada masyarakat

Bagian 2
Pemanfaatan
Pasal 21
(1) Pemanfaatan yang diperbolehkan pada lokasi RTH didasarkan kepada fungsi
dominan masing-masing komponen RTH, yakni fungsi ekologis, sosial, estetika,
dan ekonomi
(2) Pemanfaatan RTH perkotaan diarahkan untuk lebih meningkatkan fungsi ekologis
dan sosial.

Pasal 22
Pemanfaatan Komponen RTH Perkotaan
(1) Pemanfaatan untuk hutan lindung diarahkan untuk:
a. menjaga dan meningkatkan fungsi ekologis yang dimiliki hutan lindung
untuk menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
b. kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian, dengan tetap
menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
(2) Pemanfaatan untuk kawasan cagar alam diarahkan untuk:

13
a. menjaga dan meningkatkan fungsi ekologis yang dimiliki hutan lindung
untuk menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
b. kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian, dengan tetap
menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
(3) Pemanfaatan untuk waduk, bendungan dan sempadannya diarahkan untuk:
a. tidak mengganggu kelangsungan daya dukung, daya tampung, dan fungsi
sumber daya air sebagai peran utamanya
b. areal olah raga, rekreasi dan taman, dengan tetap menjaga fungsi preservasi
dan konservasi sumber daya air
(4) Pemanfaatan untuk situ, danau, rawa dan sempadannya diarahkan untuk:
a. tidak mengganggu kelangsungan daya dukung, daya tampung, dan fungsi
sumber daya air sebagai peran utamanya
b. areal olah raga, rekreasi dan taman, dengan tetap menjaga fungsi preservasi
dan konservasi sumber daya air
(5) Pemanfaatan untuk situ kawasan mata air diarahkan untuk:
a. tidak mengganggu kelangsungan daya dukung, daya tampung, dan fungsi
sumber daya air sebagai peran utamanya
b. kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian, dengan tetap
menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
(6) Pemanfaatan untuk sempadan sungai diarahkan untuk:
a. tidak mengganggu kelangsungan daya dukung, daya tampung, dan fungsi
sumber daya air sebagai peran utamanya
b. areal di bagian hulu yang umumnya curam dilestarikan dan menjadi areal
lindung hutang lindung dan atau hutan kota
c. areal di bagian landai yang memiliki potensi banjir diarahkan untuk
kegiatan temporer atau semi permanen seperti kegiatan olah raga dan atau
pariwisata
d. jalur inspeksi dan pembangunan prasarana lalu lintas, bangunan
pengambilan dan pembuangan air
(7) Pemanfaatan untuk sempadan pantai diarahkan untuk:
a. tidak mengganggu kelangsungan daya dukung, daya tampung, dan fungsi
sumber daya air sebagai peran utamanya
b. kegiatan penelitian, pariwisata, prasarana transportasi dengan tidak
mendirikan bangunan permanen dan tetap menjaga kelestarian sumber daya
air
(8) Pemanfaatan untuk kawasan perlindungan plasma nutfah diarahkan untuk:
a. menjaga dan meningkatkan fungsi ekologis yang dimiliki kawasan
perlindungan plasma nutfah untuk menjaga fungsi preservasi dan
konservasinya
b. kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian, dengan tetap
menjaga fungsi preservasi dan konservasinya

14
(9) Pemanfaatan untuk hutan kota diarahkan untuk:
a. menjaga dan meningkatkan fungsi ekologis yang dimiliki hutan kota untuk
menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
b. kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, pariwisata dan penelitian,
dengan tetap menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
(10) Pemanfaatan untuk taman kota diarahkan untuk:
a. kegiatan yang dapat mewadahi interaksi antar manusia dengan manusia
serta manusia dengan alam, dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis.
b. menjadi identitas kota.
(11) Pemanfaatan untuk taman lingkungan diarahkan untuk:
a. kegiatan yang dapat mewadahi interaksi antar manusia dengan tetap
mempertahankan fungsi ekologis.
b. menjadi identitas lingkungan.
(12) Pemanfaatan untuk tempat pemakaman umum diarahkan untuk:
a. kegiatan pemakaman umum dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis.
b. daerah penyangga instalasi berbahaya.
(13) Pemanfaatan untuk lapangan olah raga diarahkan untuk mendukung fungsi
utamanya sebagai fungsi sosial dapat digunakan untuk fasilitas olah raga dengan
menggunakan bahan konstruksi ramah lingkungan dan tetap mempertahankan
fungsi ekologis.
(14) Pemanfaatan untuk taman rekreasi diarahkan untuk kegiatan pariwisata dengan
tetap mempertahankan fungsi ekologis.
(15) Pemanfaatan untuk jalur hijau sempadan jalan dapat dimanfaatkan sebagai
tempat penempatan aksesoris jalan dan jaringan utilitas kota dengan tetap
mempertahankan fungsi ekologis
(16) Pemanfaatan untuk pulau jalan dapat diarahkan untuk menjadi citra kota dan
kegiatan interaksi masyarakat dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis
(17) Pemanfaatan RTH Pekarangan disesuaikan guna lahan pekarangan tersebut
dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis

Bagian 3
Pengendalian
Pasal 23
(1) Mekanisme pengendalian RTH meliputi kegiatan pengawasan, penertiban, dan
pembinaan
(2) Kegiatan pelaporan sebagaimana tercantum pada ayat (1) meliputi Bupati/Walikota
melaporkan kegiatan penataan RTH kepada Gubernur paling sedikit 1 (satu)
tahun sekali dan sewaktu-waktu apabila diperlukan,
(1) Kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana tercantum pada ayat (1) meliputi:
a. Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penataan RTH

15
b. Gubernur mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan terhadap penataan RTH
Kabupaten/Kota
c. Gubernur dapat memberikan insentif kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yang
berhasil dalam penataan RT

Pasal 24
Pengawasan
(1) Kegiatan pengawasan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 23 ayat (1) meliputi
kegiatan pelaporan, pemantauan, dan evaluasi.
(2) Kegiatan pelaporan sebagaimana tercantum pada ayat (1) meliputi Bupati/Walikota
melaporkan kegiatan penataan RTH kepada Gubernur paling sedikit 1 (satu)
tahun sekali dan sewaktu-waktu apabila diperlukan,
(3) Kegiatan pemantauan sebagaimana tercantum pada ayat (1) dilakukan dengan cara
melakukan pemantauan terhadap komponen RTH secara berkala sehingga dapat
dilakukan pemutakhiran data secara berkala juga.
(4) Kegiatan evaluasi sebagaimana tercantum pada ayat (1)

Pasal 24
Penertiban

Pasal 25
Pembinaan

BAB VI
Pengelolaan
Pasal 26
Peran Pemerintah dalam Penataan RTH
BAB
Wewenang Pemerintah dalam Penataan Komponen RTH
Pasal 2X
Hutan Lindung
(1) Dalam penataan hutan lindung, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan nasional berkaitan dengan hutan lindung
b. Mengeluarkan izin pemanfaatan hutan lindung yang sesuai dengan
kebijakan sebagaimana diatur dalam huruf a.

16
c. Menjaga kelestarian hutan lindung demi hajat hidup orang banyak
d. Memberikan ijin pemanfaatan hutan lindung dengan tembusan kepada
Gubernur, dan Bupati atau Walikota apabila berada di lintas provinsi.
(2) Dalam penataan hutan lindung, Pemerintah Daerah Provinsi memiliki kewenangan
untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan hutan lindung yang
mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) huruf a.
b. Menyusun Rencana pengelolaan hutan Jangka Panjang yang memuat
rencana kegiatan secara makro tentang pedoman, arahan serta dasar-dasar
pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan dalam jangka
waktu 20 (dua puluh) tahun, disusun oleh instansi yang bertanggung jawab
dibidang kehutanan Propinsi dan disahkan oleh Menteri
c. Menyusun rencana pengelolaan hutan jangka menengah memuat rencana yang
berisi penjabaran rencana pengelolaan hutan jangka panjang dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun, disusun oleh instansi yang bertanggung jawab dibidang
kehutanan Propinsi dan disahkan oleh Menteri;
d. Melakukan pengelolaan hutan lindung di daerah sebagai kepanjangan
tangan Pemerintah Pusat.
e. Memberikan pertimbangan terhadap Pemerintah Pusat mengenai pemberian
izin pemanfaatan hutan lindung
f. Menjaga kelestarian hutan lindung demi hajat hidup orang banyak
g. Mengkoordinasikan pengelolaan hutan lindung yang berada pada dua atau
lebih wilayah administratif kabupaten/kota.
h. Memberikan ijin pemanfaatan hutan lindung dengan tembusan kepada
Menteri, Bupati atau Walikota dan instansi yang bertanggungjawab di bidang
kehutanan setempat apabila berada di lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu
provinsi;
i. Menetapkan pedoman inventarisasi hutan berdasarkan kriteria dan standar
inventarisasi hutan yang ditetapkan Menteri, sebagai acuan pelaksanaan
inventarisasi hutan.
j. menyelenggarakan inventarisasi hutan tingkat provinsi dengan mengacu pada
pedoman penyelenggaraan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada
huruf i
k. menyelenggarakan inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten/kota dengan
mengacu pada pedoman penyelenggaraan inventarisasi hutan sebagaimana
dimaksud pada huruf i., mengacu kepada hasil inventarisasi hutan tingkat
provinsi.
(3) Dalam penataan hutan lindung, Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten memiliki
kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan hutan lindung yang
mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (2) huruf a.
b. rencana pengelolaan hutan jangka pendek memuat rencana operasional secara
detail yang merupakan penjabaran rencana pengelolaan dalam jangka waktu 1

17
(satu) tahun yang disusun oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
kehutanan dan disahkan oleh Gubernur.
c. Melakukan pengelolaan hutan lindung di tingkat lokal sebagai kepanjangan
tangan Pemerintah Pusat.
d. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang terjadi di kawasan hutan
lindung
e. Memberikan pertimbangan terhadap Pemerintah Daerah Provinsi mengenai
pemberian izin pemanfaatan hutan lindung
f. Memberikan ijin pemanfaatan hutan lindung dengan tembusan kepada
Menteri, Gubernur dan instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan
setempat apabila berada di dalam wilayah kabupaten/kota;

Pasal 2X
Cagar Alam
(1) Dalam penataan Cagar Alam, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan nasional berkaitan dengan cagar alam
b. Mengeluarkan izin pemanfaatan cagar alam yang sesuai dengan kebijakan
sebagaimana diatur dalam huruf a.
c. Menjaga kelestarian cagar alam demi hajat hidup orang banyak
d. Memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional,
taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat
untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi.
e. Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk mempertahankan atau
memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya,
Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup cagar
alam sebagian atau seluruhnya untuk selama waktu tertentu.
f. Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang
tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah.
(2) Dalam penataan Cagar Alam, Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan cagar alam yang mengacu
pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) huruf a.
b. Memberikan pertimbangan terhadap Pemerintah Pusat mengenai pemberian
izin pemanfaatan cagar alam
c. Melakukan pengelolaan cagar alam di daerah sebagai kepanjangan tangan
Pemerintah Pusat
(3) Dalam penataan Cagar Alam, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan hutan lindung yang
mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (2) huruf a.

18
b. Melakukan pengelolaan hutan lindung di tingkat lokal sebagai kepanjangan
tangan Pemerintah Pusat.
c. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang terjadi di kawasan hutan
lindung
d. Memberikan pertimbangan terhadap Pemerintah Daerah Provinsi mengenai
pemberian izin pemanfaatan hutan lindung

Pasal 2X
Hutan Kota
(1) Dalam penataan Hutan Kota, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan nasional berkaitan dengan hutan kota
b. Mengeluarkan izin pemanfaatan hutan kota yang sesuai dengan kebijakan
sebagaimana diatur dalam huruf a.
c. Menyediakan Pedoman, kriteria dan standar pembangunan hutan kota
d. Melakukan pembinaan terhadap penelenggaraan hutan kota yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah meliputi pemberian pedoman, bimbingan,
pelatihan, arahan dan supervisi.
e. Pemerintah Pusat dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan
hutan kota di Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
f. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan hutan kota yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
g. Pemerintah Pusat dapat melimpahkan pengawasan atas penyelenggaraan
hutan kota di Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam penataan Hutan Kota, Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan hutan kota yang mengacu
pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) huruf a.
b. Memberikan pertimbangan terhadap Pemerintah Daerah mengenai
pemberian izin pemanfaatan hutan kota
c. Melakukan Penunjukan lokasi dan luas hutan kota, khusus untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
d. Melaksanakan Pembangunan hutan kota khusus untuk Daerah Khusus
Ibukota Jakarta
e. Gubernur melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan hutan kota di
wilayah kerjanya.
(3) Dalam penataan Hutan Kota, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan hutan kota yang mengacu
pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (2) huruf a.

19
b. Melakukan penunjukan lokasi dan luas hutan kota sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah yang berlaku
c. Melaksanana Pembangunan Hutan Kota
d. Melakukan pengelolaan hutan kota sebagai wewenang pemerintah daerah.
e. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang terjadi di kawasan hutan
kota
f. Melakukan Pembinaan terhadap pengelolaan hutan kota yang dilakukan
oleh masyarakat.
g. Bupati/ Walikota melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan hutan
kota di wilayah kerjanya.
h. Menyediakan biaya penyelenggaraan hutan kota dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah atau sumber dana lainnya yang sah.

Pasal 2X
Plasma nutfah
(1) Dalam penataan Plasma Nutfah, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan nasional berkaitan dengan plasma nutfah
b. Mengeluarkan izin pemanfaatan plasma nutfah yang sesuai dengan
kebijakan sebagaimana diatur dalam huruf a.
c. melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa di luar
habitatnya, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya
kepunahan yang masih berada di habitatnya.
d. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam
huruf c dilaksanakan melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan
dan atau pemindahan dari habitatnya ke habitat di lokasi lain.
e. Pemerintah Pusat dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan
tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud pada huruf d.
f. Melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan
dan satwa untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan
ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.
(2) Dalam penataan Plasma Nutfah, Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk:
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan plasma nutfah yang
mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) huruf a.
b. Memberikan pertimbangan terhadap Pemerintah Daerah mengenai
pemberian izin pemanfaatan plasma nutfah
c. Melaksanakan Pembangunan plasma nutfah khusus untuk Daerah Khusus
Ibukota Jakarta
d. Gubernur melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan plasma nutfah
di wilayah kerjanya.
(3) Dalam penataan Plasma Nutfah, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk :

20
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan plasma nutfah yang
mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (2) huruf a.
b. Melakukan pengelolaan plasma nutfah sebagai wewenang pemerintah
daerah.
c. Melakukan pengelolaan plasma nutfah di tingkat lokal sebagai kepanjangan
tangan Pemerintah Pusat.
d. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang terjadi di kawasan plasma
nutfah
e. Memberikan pertimbangan terhadap Pemerintah Daerah Provinsi mengenai
pemberian izin pemanfaatan plasma nutfah
f. Memberikan ijin pemanfaatan plasma nutfah dengan tembusan kepada
Menteri, Gubernur dan instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan
setempat apabila berada di dalam wilayah kabupaten/kota;

Pasal 2X
Sempadan Sungai

(1) Dalam penataan sempadan sungai , Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk:
a. Menetapkan kebijakan nasional berkaitan dengan sempadan sungai yang
kemudian akan dijadikan acuan dalam penetapan kebijakan di tingkat
daerah, meliputi :
i. garis sempadan sungai.
ii. pengaturan daerah diantara dua garis sempadan sungai yang
ditetapkan sebagai daerah manfaat sungai dan daerah penguasaan
sungai.
iii. pengaturan bekas sungai.
b. Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan sempadan sungai di tingkat
daerah.
c. Mengeluarkan izin pemanfaatan sempadan sungai yang sesuai dengan
kebijakan sebagaimana diatur dalam huruf a.
(2) Dalam penataan sempadan sungai, Pemerintah Daerah Provinsi memiliki
kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan sempadan sungai yang
mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) huruf a.
b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan
sempadan sungai di tingkat daerah Kabupaten/Kota.
c. Mengkoordinasikan pengelolaan sempadan sungai yang berada pada dua
atau lebih wilayah administratif kabupaten/kota.

21
(3) Dalam penataan sempadan sungai, Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten memiliki
kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan sempadan sungai, yang
mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (2) huruf a
meliputi :
i. Penetapan garis sempadan;
ii. Pengaturan bangunan di pinggir garis sempadan
iii. Pembinaan dan pengawasan;
iv. Penataan daerah sempadan;
v. Pemanfaatan daerah sempadan
b. Melakukan kerjasama pengelolaan sempadan sungai lintas Kabupaten/Kota
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayahnya.
c. Melakukan pengelolaan sempadan sungai di tingkat lokal meliputi hal-hal
yang diatur kebijakannya oleh Pemerintah Kabupaten /Kota sebagaimana
dijelaskan dalam huruf a.
d. Memberikan rekomendasi dan atau izin pemanfaatan lahan melalui Dinas
terkait dengan mempertimbangkan aspek-aspek kelestarian sumber daya
tampung dan daya dukung lingkungan air serta kaidah pemanfaatan yang
berkelanjutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Melakukan upaya pengamanan terhadap daerah di dalam maupun di sekitar
sempadan sungai.

Pasal 2X
Sempadan Pantai
(1) Dalam penataan sempadan pantai, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk:
a. Menetapkan kebijakan nasional berkaitan dengan sempadan pantai yang
kemudian akan dijadikan acuan dalam penetapan kebijakan di tingkat
daerah
b. Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan sempadan pantai di tingkat
daerah.
c. Mengeluarkan izin pemanfaatan sempadan pantai yang sesuai dengan
kebijakan sebagaimana diatur dalam huruf a.
(2) Dalam penataan sempadan sungai, Pemerintah Daerah Provinsi memiliki
kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan sempadan pantai yang
mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) huruf a.
b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan
sempadan pantai di tingkat daerah Kabupaten/Kota.
c. Mengkoordinasikan pengelolaan sempadan pantai yang berada pada dua
atau lebih wilayah administratif kabupaten/kota.

22
(3) Dalam penataan sempadan pantai, Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten memiliki
kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan sempadan pantai, yang
mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (2) huruf a
meliputi :
i. Penetapan garis sempadan;
ii. Pengaturan bangunan di pinggir garis sempadan
iii. Pembinaan dan pengawasan;
iv. Penataan daerah sempadan;
v. Pemanfaatan daerah sempadan
b. Melakukan kerjasama pengelolaan sempadan pantai lintas Kabupaten/Kota
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.
c. Melakukan pengelolaan sempadan pantai di tingkat lokal meliputi hal-hal
yang diatur kebijakannya oleh Pemerintah Kabupaten /Kota sebagaimana
dijelaskan dalam huruf a.
d. Memberikan rekomendasi dan atau izin pemanfaatan lahan melalui Dinas
terkait dengan mempertimbangkan aspek-aspek kelestarian sumber daya
tampung dan daya dukung lingkungan air serta kaidah pemanfaatan yang
berkelanjutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Melakukan upaya pengamanan terhadap daerah di dalam maupun di sekitar
sempadan pantai.

Pasal 2X
Situ, Danau, Rawa dan Sempadannya

(1) Dalam penataan Situ, Danau, Rawa dan Sempadannya, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan untuk:
a. Menetapkan kebijakan nasional berkaitan dengan situ, danau, rawa dan
sempadannya yang kemudian akan dijadikan acuan dalam penetapan
kebijakan di tingkat daerah
b. Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan situ, danau, rawa dan
sempadannya di tingkat daerah.
c. Mengeluarkan izin pemanfaatan situ, danau, rawa dan sempadannya yang
sesuai dengan kebijakan sebagaimana diatur dalam huruf a.
(2) Dalam penataan situ, danau, rawa dan sempadannya, Pemerintah Daerah Provinsi
memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan situ, danau, rawa dan
sempadannya yang mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada
ayat (1) huruf a.
b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan
situ, danau, rawa dan sempadannya di tingkat daerah Kabupaten/Kota.

23
c. Mengkoordinasikan pengelolaan situ, danau, rawa dan sempadannya yang
berada pada dua atau lebih wilayah administratif kabupaten/kota.
(3) Dalam penataan situ, danau, rawa dan sempadannya, Pemerintah Daerah
Kota/Kabupaten memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan situ, danau, rawa dan
sempadannya, yang mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada
ayat (2) huruf a meliputi :
i. Penetapan garis sempadan;
ii. Pengaturan bangunan di pinggir garis sempadan
iii. Pembinaan dan pengawasan;
iv. Penataan daerah sempadan;
v. Pemanfaatan daerah sempadan
b. Melakukan kerjasama pengelolaan situ, danau, rawa dan sempadannya
lintas Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.
c. Melakukan pengelolaan situ, danau, rawa dan sempadannya di tingkat lokal
meliputi hal-hal yang diatur kebijakannya oleh Pemerintah Kabupaten /Kota
sebagaimana dijelaskan dalam huruf a.
d. Memberikan rekomendasi dan atau izin pemanfaatan lahan melalui Dinas
terkait dengan mempertimbangkan aspek-aspek kelestarian sumber daya
tampung dan daya dukung lingkungan air serta kaidah pemanfaatan yang
berkelanjutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Melakukan upaya pengamanan terhadap daerah di dalam maupun di sekitar
situ, danau, rawa dan sempadannya.

Pasal 2X
Waduk, Bendungan, dan Sempadannya
(1) Dalam penataan waduk, bendungan, dan sempadannya, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan untuk:
a. Menetapkan kebijakan nasional berkaitan dengan waduk, bendungan, dan
sempadannya yang kemudian akan dijadikan acuan dalam penetapan
kebijakan di tingkat daerah
b. Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan waduk, bendungan, dan
sempadannya di tingkat daerah.
c. Mengeluarkan izin pemanfaatan waduk, bendungan, dan sempadannya yang
sesuai dengan kebijakan sebagaimana diatur dalam huruf a.
(2) Dalam penataan waduk, bendungan, dan sempadannya, Pemerintah Daerah
Provinsi memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan waduk, bendungan, dan
sempadannya yang mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada
ayat (1) huruf a.
b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan
waduk, bendungan, dan sempadannya di tingkat daerah Kabupaten/Kota.

24
c. Mengkoordinasikan pengelolaan waduk, bendungan, dan sempadannya
yang berada pada dua atau lebih wilayah administratif kabupaten/kota.
(3) Dalam penataan situ, danau, rawa dan sempadannya, Pemerintah Daerah
Kota/Kabupaten memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan waduk, bendungan, dan
sempadannya, yang mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada
ayat (2) huruf a meliputi :
i. Penetapan garis sempadan;
ii. Pengaturan bangunan di pinggir garis sempadan
iii. Pembinaan dan pengawasan;
iv. Penataan daerah sempadan;
v. Pemanfaatan daerah sempadan
b. Melakukan kerjasama pengelolaan waduk, bendungan, dan sempadannya
lintas Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.
c. Melakukan pengelolaan waduk, bendungan, dan sempadannya di tingkat
lokal meliputi hal-hal yang diatur kebijakannya oleh Pemerintah
Kabupaten /Kota sebagaimana dijelaskan dalam huruf a.
d. Memberikan rekomendasi dan atau izin pemanfaatan lahan melalui Dinas
terkait dengan mempertimbangkan aspek-aspek kelestarian sumber daya
tampung dan daya dukung lingkungan air serta kaidah pemanfaatan yang
berkelanjutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Melakukan upaya pengamanan terhadap daerah di dalam maupun di sekitar
waduk, bendungan, dan sempadannya.

Pasal 2X
Kawasan Mata Air

(1) Dalam penataan kawasan mata air, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk:
a. Menetapkan kebijakan nasional berkaitan dengan kawasan mata air yang
kemudian akan dijadikan acuan dalam penetapan kebijakan di tingkat
daerah
b. Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan kawasan mata air di tingkat
daerah.
c. Mengeluarkan izin pemanfaatan kawasan mata air yang sesuai dengan
kebijakan sebagaimana diatur dalam huruf a.
(2) Dalam penataan kawasan mata air, Pemerintah Daerah Provinsi memiliki
kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan kawasan mata air yang
mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) huruf a.

25
b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan
kawasan mata air di tingkat daerah Kabupaten/Kota.
(3) Dalam penataan kawasan mata air, Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten memiliki
kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan kawasan mata air, yang
mengacu pada kebijakan sebagaimana dijelaskan pada ayat (2) huruf a
meliputi :
i. Penetapan garis sempadan;
ii. Pengaturan bangunan di pinggir garis sempadan
iii. Pembinaan dan pengawasan;
iv. Penataan daerah sempadan;
v. Pemanfaatan daerah sempadan
b. Melakukan pengelolaan kawasan mata air di tingkat lokal meliputi hal-hal
yang diatur kebijakannya oleh Pemerintah Kabupaten /Kota sebagaimana
dijelaskan dalam huruf a.
c. Memberikan rekomendasi dan atau izin pemanfaatan lahan melalui Dinas
terkait dengan mempertimbangkan aspek-aspek kelestarian sumber daya
tampung dan daya dukung lingkungan air serta kaidah pemanfaatan yang
berkelanjutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Melakukan upaya pengamanan terhadap daerah di dalam maupun di s
kawasan mata air.

Pasal 2X
Taman Kota, Taman Lingkungan, Taman Rekreasi, dan Pulau Jalan
(1) Dalam penataan taman kota, taman lingkungan, taman rekreasi dan pulau jalan,
Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk :
a. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan taman kota, taman
lingkungan taman rekreasi dan pulau jalan di wilayah kerjanya
b. melakukan koordinasi dengan beberapa pemerintah kabupaten/kota dalam
pengadaan dan pengelolaan taman kota, taman lingkungan dan taman
rekreasi skala regional .
(2) Dalam penataan taman kota, taman lingkungan dan taman rekreasi, Pemerintah
Daerah memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan taman kota, taman
lingkungan, taman rekreasi dan pulau jalan,
b. Menyusun rencana pengadaan dan pengelolaan taman kota, taman
lingkungan, taman rekreasi dan pulau jalan di wilayahnya,
c. Melakukan pengelolaan taman kota, taman lingkungan, taman rekreasi dan
pulau jalan, baik untuk dikelola sendiri maupun melalui kerjasama
pengelolaan dengan pihak ke-3,

26
d. Menetapkan pola dan aturan kerjasama pengelolaan taman kota, taman
lingkungan, taman rekreasi dan pulau jalan dengan pihak ke-3 serta
mengawasi pelaksanaannya secara berkala,
e. Melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan yang terjadi di
taman kota, taman lingkungan dan taman rekreasi secara berkala,
f. Memberikan ijin pemanfaatan taman kota, taman lingkungan taman,
rekreasi dan pulau jalan dengan tembusan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang pertamanan setempat apabila berada di dalam wilayah
kabupaten/kota;

Pasal 2X
TPU dan Lapangan Olahraga

(1) Dalam penataan TPU dan lapangan olahraga, Pemerintah Provinsi memiliki
kewenangan untuk :
a. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan TPU dan lapangan
olahraga di wilayah kerjanya
b. melakukan koordinasi dengan beberapa pemerintah kabupaten/kota dalam
pengadaan dan pengelolaan TPU dan lapangan olahraga skala regional .
(2) Dalam penataan TPU dan lapangan olahraga, Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan untuk :
c. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan TPU dan lapangan
olahraga,
d. Menyusun rencana pengadaan dan pengelolaan TPU dan lapangan olahraga
di wilayahnya,
e. Melakukan pengelolaan TPU dan lapangan olahraga, baik untuk dikelola
sendiri maupun melalui kerjasama pengelolaan dengan pihak ke-3,
f. Menetapkan pola dan aturan kerjasama pengelolaan TPU dan lapangan
olahraga dengan pihak ke-3 serta mengawasi pelaksanaannya secara
berkala,
g. Melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan yang terjadi di
TPU dan lapangan olahraga secara berkala,
h. Memberikan ijin pemanfaatan TPU dan lapangan olahraga dengan tembusan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang fasilitas umum setempat
apabila berada di dalam wilayah kabupaten/kota;

Pasal 2X
Sempadan Jalan
(1) Dalam penataan sempadan jalan, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk :
a. Menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan ruang sempadan jalan nasional,
b. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan sempadan jalan
khusunya untuk jalan nasional,

27
c. melakukan koordinasi dengan beberapa pemerintah propinsi/
kabupaten/kota dalam pengadaan dan pengelolaan sempadan jalan regional
yang melintasi beberapa wilayah administratisi.
(2) Dalam penataan sempadan jalan, Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan
untuk :
a. Menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan ruang sempadan jalan propinsi,
b. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan sempadan jalan
khusunya untuk jalan propinsi
c. melakukan koordinasi dengan beberapa pemerintah kabupaten/kota dalam
pengadaan dan pengelolaan sempadan jalan regional yang melintasi
beberapa wilayah administratisi.
(3) Dalam penataan sempadan jalan, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk:
a. Menetapkan kebijakan daerah berkaitan dengan sempadan jalan untuk jalan-
jalan di bawah kewenangan pemerintah daerah,
b. Menyusun rencana pengadaan dan pengelolaan sempadan jalan untuk jalan-
jalan di bawah kewenangan pemerintah daerah,
c. Melakukan pengelolaan sempadan jalan untuk jalan-jalan di bawah
kewenangan pemerintah daerah, baik untuk dikelola sendiri maupun melalui
kerjasama pengelolaan dengan pihak ke-3,
d. Menetapkan pola dan aturan kerjasama pengelolaan sempadan jalan untuk
jalan-jalan di bawah kewenangan pemerintah daerah dengan pihak ke-3
serta mengawasi pelaksanaannya secara berkala,
e. Melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan yang terjadi di
sempadan jalan untuk jalan-jalan di bawah kewenangan pemerintah daerah
secara berkala,
f. Memberikan ijin pemanfaatan sempadan jalan untuk jalan-jalan di bawah
kewenangan pemerintah daerah dengan tembusan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang pertamanan setempat apabila berada di dalam
wilayah kabupaten/kota;
g. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang terjadi di sempadan jalan di
bawah kewenangan propinsi dan pusat secara berkala serta memberikan
laporannya kepada pihak yang berwenang terhadap jalan tersebut

Pasal 2X
RTH Privat
(1) Dalam penataan ruang terbuka hijau (RTH) privat, Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan untuk :
h. Menetapkan regulasi daerah berkaitan aturan intensitas pengunaan ruang
i. Memberikan ijin pemanfaatan ruang dengan mengacu kepada aturan
intensitas ruang yang telah ditetapkan,
j. Melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan
intensitas ruang sesuai dengan aturan yang berlaku

28
Pasal 25
Strategi Pengelolaan RTH
Strategi pengelolaan ruang terbuka hijau untuk kawasan perkotaan sebagaimana tercantum
dalam pasal 10 adalah sebagai berikut :
(1). P
embentukan lembaga/tim koordinasi untuk mengatur urusan pengelolaan RTH
terintegrasi adalah sebagai berikut :
a. untuk kawasan perkotaan, membentuk lembaga kerjasama antar kota/kabupaten
yang tergabung dalam kawasan perkotaan;
b. untuk kota otonom, membentuk tim koordinasi RTH yang merupakan bagian dari
forum TKPRD Kota; dan
c. untuk kota bukan otonom, membentuk tim koordinasi RTH yang merupakan
bagian dari forum TKPRD Kabupaten.
(2). P
embagian peran dan tugas masing-masing kota/kabupaten serta instansi terkait dalam
pengelolaan RTH bersama sehingga tidak terjadi tumpang tindih tugas;
(3). P
enentuan instansi utama yang mengkordinasikan pengelolaan RTH dalam suatu kota;
(4). P
embuatan data base komponen RTH yang terpadu meliputi jumlah, luasan, sebaran,
kondisi, pengelola dan sistem pembiayaan operasional saat ini;
(5). P
engembangan kerjasama dengan kabupaten/kota lainnya dalam penyediaan RTH;
(6). P
eningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) secara kualitas yang ada di masing-masing
instansi sehingga proses pengelolaan lebih berjalan dengan baik;
(7). P
eningkatan koordinasi antar instansi pengelolaan RTH bersama di masing-masing
kota/kabupaten yang dengan cara pertemuan rutin, penyusunan buku laporan profil &
kondisi RTH di bawah wewenang masing-masing instansi;
(8). P
engawasan dan pengendalian secara rutin agar pelanggaran dapat diketahui secara lebih
cepat dan dapat dicegah; dan
(9). P
engendalian sebagaimana dijelaskan pada ayat (8) untuk kawasan perkotaan dilakukan
oleh badan koordinasi yang lebih tinggi kewenangannya.

Pasal 26
Partisipasi Masyarakat dalam Penataan RTH

29
(1) Penataan RTH dapat melibatkan peran serta masyarakat, swasta/dunia usaha,
lembaga/badan hukum dan/atau perseorangan dengan pengawasan secara aktif dari
Pemerintah Kabupaten/Kota
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana tercantum pada ayat (1) dapat dilakukan melalui
cara:
a. Menjaga keberadaan RTH terutama pada lingkungannya
b. Memelihara RTH pada kawasan perumahan, hal ini dapat dilakukan dengan cara
kolektif atau bersama-sama dalam suatu wadah tertentu misalkan satu RT atau RW
maupun secara perorangan,
c. Turut mengawasi proses pemeliharaan dan keberadaan RTH dengan memberikan
masukan kepada instansi pengelolaan apabila terjadi penyimpangan penggunaan
RTH untuk kegiatan yang tidak diperbolehkan ataupun apabila menemukan RTH
yang tidak terawat,
d. Menyediakan lahan untuk penyelenggaraan RTH,
e. Memberikan bantuan dalam mengidentifikasi komponen RTH yang ada maupun
yang potensial dikembangkan,
f. Memberikan informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan
RTH.
(3) Peran serta swasta/dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui cara:
a. Menjaga keberadaan RTH terutama pada lingkungannya
b. Berperan dalam pembangunan komponen RTH buatan dengan cara memberi dana
pembangunan saja maupun turut sebagai pelaksana pembangunan/perbaikan taman,
c. Memelihara taman dengan biaya pemeliharaan dan penyediaan tenaga kerja
lapangan sendiri, Namun memperoleh imbalan secara tidak langsung seperti
pemasangan reklame,
d. Menyediakan lahan untuk penyelenggaraan RTH,
e. Memberikan informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan
RTH,
f. Memberikan bantuan dalam mengidentifikasi komponen RTH yang ada maupun
yang potensial dikembangkan.
(4) Peran serta lembaga/badan hukum yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dengan cara:
a. Penyuluhan dan pendidikan melalui media,
b. Penyuluhan ke sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar hingga jenjang yang lebih
tinggi, misalkan kegiatan menanam pohon bersama di lingkungan sekolahan, kerja
bakti di sepanjang sempadan sungai,
c. Pencanangan Gerakan Bangun, Pelihara dan Kelola RTH tingkat RT hingga tingkat
kota, Hutan lindung, cagar alam atau taman
kota merupakan beberapa komponen
d. Menyediakan lahan untuk penyelenggaraan RTH, RTH yang sering dipergunakan lembaga
penelitian, perguruan tinggi atau LSM
e. Memberikan informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan
untuk penelitian atau kegiatan
RTH, pembelajaran tentang alam.

30
f. Memberikan bantuan dalam mengideintifikasi komponen RTH yang ada maupun
yang potensial dikembangkan.

Pasal 27
Pendanaan
(1) Pendanaan penataan RTH bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kota/Kabupaten, partisipasi swadaya masyarakat dan/atau swasta serta
sumber pendanaan lainnya.
(2) Pendanaan penataan RTH diperuntukkan untuk membiayai kegiatan :
a. pembangunan RTH;
b. pemeliharaan RTH; dan
c. rehabilitasi RTH.

Pasal 28
Kerjasama dalam Penataan RTH
(1) Pendanaan penataan RTH dapat diperoleh melalui kerjasama antar pemerintah daerah,
pemerintah dengan masyarakat, pemerintah dengan swasta/dunia usaha, pemerintah
dengan lembaga/badan hukum dan/atau pemerintah dengan perseorangan.
(2) Pola kerjasama sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) perlu dilengkapi dengan surat
perjanjian kerjasama yang jelas dan mengingat bagi kedua belah pihak.
(3) Kerjasama di antara dua atau lebih pemerintah daerah kawasan perkotaan dapat
melakukan perjanjian kerjasama komponen RTH perkotaan yang berada pada
perbatasan dua wilayah administratif dua kawasan perkotaan atau berada di salah satu
wilayah administrasi dalam hal pemeliharaan, pemanfaatan ataupun pendanaan.
(5) Peran serta masyarakat dalam kerjasama dengan pemerintah dalam penataan RTH
dapat dilakukan dalam bentuk partisipasi langsung dalam perencanaan, pemanfaatan,
dan pengelolaan baik berupa dana maupun tenaga kerja.
(6) Peran serta swasta/dunia usaha dalam kerjasama dengan pemerintah dalam penataan
RTH dapat dilakukan dalam bentuk partisipasi langsung dalam perencanaan,
pemanfaatan, dan pengelolaan baik berupa dana maupun tenaga kerja.
(7) Peran serta lembaga/badan hukum yang terkait dapat dilakukan dalam berbagai bentuk
dukungan terhadap pengelolaan RTH dalam bentuk pemberian dana namun dalam hal
megadakan kegiatan untuk mensosialisasikan pentingnya RTH, memberi penyuluhan
cara memelihara RTH, aksi penanam pohon bersama ataupun mengadakan kegiatan
penggalangan dana untuk pemeliharaan komponen RTH.
(8) Kerjasama dalam penataan RTH dapat pula dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak
secara bersamaan.

Pasal 29
Mekanisme pengendalian

31

Anda mungkin juga menyukai