Anda di halaman 1dari 20

DRAFT

PERATURAN GUBERNUR

PEDOMAN PENINGKATAN DAYA DUKUNG & DAYA TAMPUNG


LINGKUNGAN KAWASAN PERKOTAAN JAWA BARAT MELALUI
PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU

Menimbang : a. bahwa perkembangan dan pertumbuhan kota/perkotaan di Jawa Barat


tidak diikuti dengan peningkatan komponen daya dukung dan daa
tampung lingkungan kawasan perkotaan sehingga perlu dilakukan
upaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui
penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Peningkatan
Komponen Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Kawasan
Perkotaan Jawa Barat melalui Penataan Ruang Terbuka Hijau;

Mengingat : a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
b. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3699);
c. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4401)Undang-undang Nomor 24
Tahun 1992 tentang Penataaan Ruang (Lembaran Negara Nomor 1992
Nomor 115, TLN Nomor 5301);
d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

1
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
e. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242);
f. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung;
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Pedoman Perubahan Pemanfaatan Lahan Perkotaan;
h. Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor: 327/KPTS/M/2002 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan;
i. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 Tahun 2004 tentang
pedoman Koordinasi Penataan Ruang daerah;
j. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.
k. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2003 tentang
RTRW Propinsi Jawa Barat;

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PEDOMAN


PENINGKATAN DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN
KAWASAN PERKOTAAN JAWA BARAT MELALUI PENATAAN RUANG
TERBUKA HIJAU (RTH)

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian 1
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Gubernur ini, yang dimaksud dengan:
1. Daya Dukung Lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup di kawasan
perkotaan untuk mendukung perikehidupan masyarakat dan makhluk lainnya, tanpa
mengakibatkan kerusakan alam yang menyebabkan ketidakmampuan alam untuk
memperbaiki dirinya sendiri

2
2. Daya Tampung Lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup di Kawasan
Perkotaan Jawa Barat untuk menyerap zat, energi dan/ atau komponen lain yang
masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
3. Kawasan Perkotaan Jawa Barat adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial
dan kegiatan ekonomi.
4. Kota Kecil adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani
sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa.
5. Kota Sedang adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani
sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa.
6. Kota Besar adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih
besar dari 500.000 jiwa.
7. Kota Metropolitan adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang
dilayani lebih besar dari 1.000.000 jiwa.
8. Ruang Terbuka (open spaces) adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang
lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area
memanjang/jalur dimana di dalam penggunaanya lebih bersifat terbuka yang pada
dasarnya tanpa bangunan.
9. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah
perkotaan yang diisi oleh, dan vegetasi baik tumbuhan dan tanaman guna
mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung RTH dalam peningkatan
daya dukung dan daya tampung lingkungan perkotaan.
10. Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik, adalah RTH yang penyediaannya merupakan
tanggung jawab pemerintah kota.
11. Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat, adalah RTH pada lahan-lahan privat
(pekarangan) dimana dalam penyediaannya juga merupakan tanggung jawab
pemerintah melalui regulasi dan ketentuan-ketentuan yang akan mengikatnya.
12. Fungsi Ekologis RTH adalah fungsi ruang terbuka hijau yang memberikan manfaat
perlindungan terhadap manusia dan lingkungannya.
13. Fungsi Sosial RTH adalah fungsi ruang terbuka hijau yang memberikan manfaat
sebagai sarana interaksi sosial masyarakat dengan lingkungan sosial sekitarnya.
14. Fungsi Estetis RTH adalah fungsi ruang terbuka hijau yang memberikan manfaat
sebagai komponen keindahan kota atau lingkungan hidup manusia.
15. Fungsi Ekonomi RTH adalah kemampuan ruang terbuka hijau dalam
meningkatkan nilai lahan karena suasana lingkungan yang tercipta akibat
keberadaannya dan akibat kegiatan yang berlangsung pada areal RTH tersebut.
16. RTH Kawasan Lindung adalah RTH yang terletak di kawasan yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya
bangsa, guna kepentingan pembangunan berkelanjutan
17. RTH Kawasan Budidaya adalah RTH yang terletak di kawasan yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

3
18. Komponen RTH Primer adalah komponen RTH prioritas pertama yang harus
disediakan oleh Pemerintah Daerah
19. Komponen RTH Sekunder komponen RTH prioritas kedua yang dapat disediakan
oleh Pemerintah Daerah
20. RTH Struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional
antar komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki planologis.
21. RTH Non Struktural RTH merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan
fungsional antar komponen pembentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola
hierarki planologis karena bersifat ekosentris.

Bagian 2
Kedudukan
Pasal 2
Peraturan Gubernur memiliki kedudukan sebagai:
a. Dasar pertimbangan penyusunan Rencana Tata Ruang Kota dalam sistem tata guna
lahan perkotaan
b. Acuan dalam penyusunan rencana RTH yang lebih rinci.

Bagian 3
Asas & Prinsip
Pasal 3
Pedoman Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Kawasan Perkotaan
Jawa Barat melalui Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) disusun dengan asas tanggung
jawab negara, asas keberlanjutan dan asas manfaat.

Pasal 4
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam Pedoman Peningkatan Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Kawasan Perkotaan Jawa Barat melalui Penataan RTH adalah :
a. menjamin terjaganya keanekaragaman hayati,
b. meminimalkan eksploitasi sumber daya alam melalui optimalisasi dan efisiensi
penggunaan SDA, dan
c. meminimalkan terjadinya kerusakan lingkungan.

4
BAB II
LINGKUP WILAYAH
Pasal 5
Pedoman ini berlaku bagi seluruh kawasan perkotaan di Jawa Barat.

BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT
Pasal 6
Tujuan Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung Kawasan Perkotaan melalui
Penataan RTH di Provinsi Jawa Barat adalah untuk:
a. terciptanya lingkungan ekologis kawasan perkotaan yang menjamin pasokan air
dan pasokan udara bersih bagi masyarakatnya
b. terciptanya ruang terbuka untuk mewadahi kegiatan sosial interaksi masyarakat
perkotaan

Pasal 7
Manfaat Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung Kawasan Perkotaan melalui
Penataan RTH di Provinsi Jawa Barat meliputi:
a. peningkatan keanekaragaman hayati flora dan fauna di lingkungan kawasan
perkotaan Jawa Barat;
b. mempertahankan dan memperbaiki stabilitas tanah di lingkungan kawasan Jawa
Barat;
c. terjaganya iklim mikro kawasan perkotaan, khususnya suhu dan kualitas udara di
kawasan perkotaan Jawa Barat;
d. mampu mengurangi limpasan air yang berpotensi untuk mencemari air ataupun
membawa zat-zat pencemar terhadap badan-badan air;
e. memiliki kemampuan untuk menyerap dan mengolah gas dan zat yang berguna
bagi tumbuhan namun beracun bagi manusia dan fauna lainnya di kawasan
perkotaan Jawa Barat.
BAB IV
RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)
Bagian 1
Fungsi RTH
Pasal 8
(1) Fungsi RTH dibagi menjadi 4 (empat) kelompok besar meliputi :
a. fungsi ekologis, merupakan fungsi RTH yang memberikan perlindungan
terhadap manusia dan lingkungan, terdiri dari fungsi orologis, fungsi

5
hidrologis, fungsi klimatologis, fungsi edhapis, fungsi hygienis, dan fungsi
kesehatan induvidu.
b. fungsi sosial, merupakan fungsi RTH sebagai sarana interaksi masyarakat
dengan lingkungan sosial sekitarnya, terdiri dari: fungsi edukatif, fungsi
interaksi masyarakat, fungsi protektif, dan fungsi spiritual.
c. fungsi estetis, merupakan fungsi RTH sebagai komponen keindahan kota
atau linkungan hidup manusia, terdiri dari fungsi visual/vista, fungsi tabir
(screening), dan fungsi identitas kota.
d. fungsi ekonomis, merupakan fungsi RTH dalam meningkatkan nilai lahan
karena kualitas lingkungan yang tercipta.
(2) Setiap komponen RTH perkotaan dapat memiliki lebih dari satu fungsi.
(3) Secara berurutan komponen RTH yang memiliki peran maksimum dalam
meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan kawasan perkotaan,
adalah sebagai berikut : 1) fungsi ekologis; 2) fungsi sosial; 3) fungsi estetis; dan 4)
fungsi ekonomis.
(4) Agar berperan maksimum dalam meningkatkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan kawasan perkotaan, komponen RTH perkotaan diarahkan untuk
memiliki fungsi dominan ekologis dan sosial.

Bagian 2
Klasifikasi Komponen RTH Kawasan Perkotaan

Pasal 9
Klasifikasi Komponen RTH berdasarkan Sebaran dan Hirarki dalam Tata Ruang
(1) Komponen RTH perkotaan berdasarkan sebaran dan hirarki dalam tata ruang
ditentukan oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya.
(2) Klasifikasi komponen RTH perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari menjadi 2 (dua) karakteristik meliputi RTH struktural dan RTH non
struktural.

Pasal 10
Klasifikasi Komponen RTH berdasarkan Guna Lahan
(1) Berdasarkan guna lahan, komponen RTH yang terdapat di kawasan perkotaan Jawa
Barat terbagi atas RTH Kawasan Lindung dan RTH Kawasan Budidaya
(2) RTH Kawasan Lindung terdiri sebagai berikut :
a. hutan lindung;
b. kawasan cagar alam;
c. waduk, bendungan dan sempadannya;
d. situ, danau, rawa dan sempadannya;

6
e. kawasan mata air;
f. sempadan sungai;
g. sempadan pantai;
h. kawasan perlindungan plasma nutfah; dan
i. hutan kota
(3) RTH Kawasan Budidaya terdiri sebagai berikut :
a. taman kota;
b. taman lingkungan;
c. tempat pemakaman umum (TPU);
d. lapangan olahraga/lapangan terbuka;
e. taman rekreasi;
f. jalur hijau sempadan jalan ( jalan arteri, kolektor, lokal );
g. pulau jalan;
h. sempadan instalasi berbahaya;
i. sempadan kereta api;
j. pekarangan sarana transportasi;
k. pekarangan perumahan;
l. pekarangan pemerintahan;
m. pekarangan perkantoran;
n. pekarangan fasilitas kesehatan;
o. pekarangan fasilitas pendidikan;
p. pekarangan kawasan militer;
q. pekarangan fasilitas perdagangan; dan
r. pekarangan kawasan industri/pergudangan.

Pasal 11
Klasifikasi Komponen RTH berdasarkan Pihak Pengelola
(1) Berdasarkan pengelolanya RTH dapat dibedakan menjadi RTH Publik dan RTH
Privat.
(2) Komponen RTH yang termasuk ke dalam RTH Publik sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 meliputi :
a. hutan lindung
b. hutan kota
c. kawasan cagar alam
d. kawasan perlindungan plasma nutfah;
e. waduk, bendungan dan sempadannya;

7
f. kawasan mata air;
g. situ, danau, rawa dan sempadannya;
h. sempadan sungai;
i. sempadan pantai;
j. taman rekreasi
k. taman kota;
l. taman lingkungan;
m. lapangan olahraga/lapangan terbuka;
n. tempat pemakaman umum (TPU);
o. pulau jalan;
p. jalur hijau sempadan jalan ( jalan arteri, kolektor, lokal );
(3) Komponen RTH yang termasuk ke dalam RTH Privat sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 meliputi :
a. sempadan instalasi berbahaya;
b. sempadan kereta api;
c. pekarangan sarana transportasi;
d. pekarangan perumahan;
e. pekarangan pemerintahan;
f. pekarangan perkantoran;
g. pekarangan fasilitas kesehatan;
h. pekarangan fasilitas pendidikan;
i. pekarangan kawasan militer;
j. pekarangan fasilitas perdagangan; dan
k. pekarangan kawasan industri/perdagangan.

Pasal 12
Klasifikasi RTH Komponen RTH Publik Berdasarkan Kontribusi terhadap
Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Kawasan Perkotaan

(1) Berdasarkan kontribusi masing-masing komponen RTH ,sebagaimana dijelaskan


pada pasal 8 ayat (3) , terhadap Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Kawasan Perkotaan maka komponen RTH dikelompokkan menjadi
Komponen RTH Primer dan Komponen RTH Sekunder.
(2) Komponen RTH primer sebagaimana disebutkan pada ayat (1) adalah sebagai
berikut :
a. RTH kawasan lindung sebagaimana terdapat pada pasal 9 ayat (2)
b. sempadan jalan

8
c. taman lingkungan
d. taman kota
(3) Komponen RTH sekunder sebagaimana disebutkan pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. taman rekreasi
b. tempat pemakaman umum (TPU)
c. lapangan olahraga
d. pulau jalan

BAB V
PENATAAN RTH
Bagian 1
Penataan
Pasal 13
(1) Penataan RTH meliputi tahapan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian
RTH.
(2) Penataan RTH di kawasan perkotaan mengacu pada beberapa prinsip dasar
meliputi:
a. RTH memiliki peran sebagai penjaga kesinambungan dan keseimbangan
lingkungan sehingga jarak antar komponen RTH harus tetap terjaga.
b. Area di antara RTH kawasan lindung dengan kawasan budidaya menjadi
kawasan penyangga yang merupakan area pasif.
c. RTH dengan elemen hijau alami besar dan keanekaragaman tinggi akan
memiliki kualitas dan peran yang baik terhadap peningkatan daya dkung
dan daya tampung lingkungan kawasan perkotaan.
d. RTH dalam suatu kawasan perkotaan harus terangkai dalam satu kesatuan
sistem yang terintegrasi.
e. Untuk keperluan regional, beberapa kota dapat mengupayakan pemenuhan
kebutuhan RTH-nya bersama-sama untuk komponen-komponen tertentu
dengan tetap memperhatikan dan menjaga distribusi RTH di dalam kota
masing-masing.

Bagian 2
Perencanaan
Pasal 14
Tahapan Perencanaan RTH
(1) Tahapan perencanaan RTH sebagaimana dimaksud pada pasal 13 meliputi:

9
a. perhitungan kebutuhan RTH,
b. identifikasi sediaan RTH,
c. perbandingan kebutuhan dan sediaan RTH,
d. arahan pengadaan RTH baru tertentu
e. strategi dalam pengadaan RTH,
(2) Perbandingan sediaan dan kebutuhan RTH akan menghasilkan arahan dan strategi
dalam pengadaan maupun peningkatan fungsi RTH sebagaimana terdapat pada ayat
(1) huruf d dan e.
(3) Setiap Kabupaten/Kota harus memiliki rencana RTH yang substansinya tertuang
dalam setiap level perencanaan tata ruang masing-masing Kabupaten/Kota dengan
jangka waktu tertentu

Pasal 15
Perhitungan Kebutuhan RTH

(1) Kebutuhan luasan RTH Publik di kawasan perkotaan adalah minimal 10%
(2) Kebutuhan ideal luasan RTH Privat di kawasan perkotaan adalah 20%.
(3) Perhitungan kebutuhan RTH disesuaikan dengan karakteristik masing-masing kota.
(4) Tata cara perhitungan kebutuhan RTH sebagaimana dimaksud pada pasal 14 ayat
(1) huruf a meliputi :
a. perhitungan berdasarkan presentase luas;
b. perhitungan berdasarkan luasan per kapita;
c. perhitungan berdasarkan kebutuhan lingkungan perumahan untuk
pengadaan RTH Publik;
d. perhitungan berdasarkan kebutuhan manusia akan oksigen;
e. perhitungan berdasarkan jumlah CO2 dan gas lainnya yang dapat diserap
tanaman; dan
f. perhitungan berdasarkan isu penting meliputi : persediaan air terbatas; kota
dengan kepadatan penduduk tinggi; jumlah kendaraan bermotor tinggi; dan
jumlah industri yang tinggi
(5) Hasil perhitungan kebutuhan luas RTH kawasan perkotaan meliputi kebutuhan total
luas RTH Publik dan RTH Privat.
(6) Nilai yang dipilih dalam menentukan kebutuhan luasan RTH adalah nilai yang
tertinggi.
(7) Jika dalam hasil perhitungan menghasilkan kebutuhan akan luas RTH Publik
kurang dari 10%, maka RTH yang disediakan oleh Pemerintah Daerah harus tetap
minimal 10%.

10
Pasal 16
Identifikasi Sediaan RTH
(1) Tahapan identifikasi sediaan RTH sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (1)
huruf b meliputi identifikasi sediaan RTH Publik dan RTH Privat
(2) Identifikasi sediaan RTH Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan:
a. identifikasi luasan komponen ruang terbuka hijau publik yang tersedia,
b. identifikasi sebaran ruang terbuka hijau,
c. identifikasi ketersediaan komponen ruang terbuka hijau primer.
(3) Identifikasi sediaan RTH Privat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan :
a. survei primer;
b. kajian terhadap penertiban ijin lokasi pembangunan (siteplan); dan
c. foto udara.

Pasal 17
Skala Prioritas Pengadaan RTH
(1) Pengadaan RTH di kawasan perkotaan dimulai dengan melengkapi komponen
primer dan kemudian melengkapi komponen sekunder sebagaimana terdapat di
pasal 12 ayat (2) dan (3).
(2) Pengadaan RTH di kota metro diprioritaskan
(3) Pengadaan RTH di kota besar diprioritaskan untuk
(4) Pengadaan RTH di kota sedang diprioritaskan untuk
(5) Pengadaan RTH di kota kecil diprioritaskan untuk

Pasal 18
Pengadaan Ruang Terbuka Hijau
(1) Arahan pengadaan RTH Publik tertentu sebagaimana terdapat pada pasal 14 ayat
(1) huruf d mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a. urutan prioritas komponen RTH
b. sebaran lokasi RTH
c. karakter dan komposisi pembangunan komponen RTH, dan
d. desain komponen RTH.
(2) Urutan prioritas komponen RTH sebagaimana pada ayat (1) huruf a meliputi
komponen RTH Primer dan komponen RTH Sekunder sebagaimana dijelaskan
pada pasal 12 dan pasal 18.

11
(3) Sebaran lokasi RTH sebagaimana pada ayat (1) huruf b mengikuti pola struktural
dan non struktural seperti pada pasal 9.
(4) Komponen RTH yang harus ada pada kota metro didasarkan pada klasifikasi RTH
Struktural  taman kota
(5) Karakter dan komposisi pembangunan komponen RTH sebagaimana pada ayat (1)
huruf c meliputi persentase perkerasan di dalam komponen, pemilihan vegetasi
pada setiap masing-masing komponen, dan tingkat kepadatan vegetasi pada
masing-masing komponen RTH.
(6) Desain komponen RTH sebagaimana pada ayat (1) huruf d adalah penciptaan citra
yang ingin ditunjukkan dari masing-masing komponen.

Pasal 19
Strategi Pengadaan RTH untuk Kota dengan Kebutuhan RTH terpenuhi
(1) Strategi pengadaan RTH Publik untuk kawasan perkotaan jika kebutuhan akan RTH
sudah terpenuhi adalah sebagai berikut :
a. konservasi RTH yang sudah ada
b. peningkatan fungsi ekologis RTH
c. pencadangan lahan untuk RTH
(2) Strategi pengadaan RTH Privat untuk seluruh kawasan perkotaan jika kebutuhan
akan RTH sudah terpenuhi adalah melalui pengaturan kebijakan/ peraturan daerah.

Pasal 20
Strategi Pengadaan RTH untuk Kota dengan Kebutuhan RTH belum terpenuhi
(1) Strategi pengadaan RTH didasarkan pada ketersediaan lahan; manajemen lahan;
dan ketersediaan komponen.
(2) Strategi pengadaan berdasarkan ketersediaan lahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a.
(1) Strategi pengadaan RTH Publik untuk kawasan perkotaan metropolitan jika
kebutuhan akan RTH belum terpenuhi adalah sebagai berikut:
a. konservasi dan peningkatan fungsi ekologis RTH yang telah dimiliki,
b. peremajaan dan revitalisasi,
c. pengambilalihan lahan-lahan terlantar/ yang telah melewati batas waktu izin
HGB.
d. Substitusi RTH publik dengan RTH privat (pekarangan) dalam bentuk
hutan kota dan taman kota yang dapat diakses oleh publik
e. Pembangunan konsep superblok
(2) Strategi pengadaan RTH Publik untuk kawasan perkotaan besar jika kebutuhan
akan RTH belum terpenuhi adalah sebagai berikut:

12
a. konservasi dan peningkatan fungsi ekologis RTH yang telah dimiliki,
b. pembebasan lahan untuk RTH,
c. pengadaan RTH baru primer,
d. mengambalikan lahan RTH yang beralih fungsi
e. penyediaan RTH Fasilitas Umum oleh pihak swasta, dan
f. pengambilalihan lahan-lahan terlantar/ yang telah melewati batas waktu izin
HGB.
(3) Strategi pengadaan RTH Publik untuk kawasan perkotaan sedang jika kebutuhan
akan RTH belum terpenuhi adalah sebagai berikut:
a. konservasi RTH kawasan lindung yang berada di sekitar kawasan
perkotaan
b. peningkatan fungsi ekologis RTH yang telah dimiliki
c. pengadaan RTH primer pada kawasan perkotaan
d. penyediaan RTH fasilitas umum oleh pihak swasta
(4) Strategi pengadaan RTH Publik untuk kawasan perkotaan kecil jika kebutuhan
akan RTH belum terpenuhi adalah sebagai berikut:
a. konservasi RTH kawasan lindung yang berada di sekitar kawasan
perkotaan
b. pengadaan RTH RTH primer pada kawasan perkotaan
(5) Strategi pengadaan RTH Privat untuk kawasan perkotaan metropolitan dan besar
jika kebutuhan akan RTH belum terpenuhi adalah sebagai berikut:
a. Memperkuat dan meningkatkan mekanisme pemanfaatan lahan
b. Penetapan KDB dan KDH yang dapat menjamin ketersediaan RTH
c. Membatasi luasan kavling terkecil rumah tunggal dan mengarahkan
pembangunan pada bangunan vertikal
d. Peningkatan kualitas RTH melalui pagar tanaman, dinding dan atap
tanaman
e. Pengenaan beban pembangunan bagi bangunan dengan KDB 100%
untuk membangun RTH di tempat lain
f. pemberian mekanisme insentif dan disinsentif dari pemerintah daerah
kepada pihak pemilik (privat) lahan yang bersedia menyediakan RTH
g. pengalihan hak membangun antarbangunan untuk memenuhi kebutuhan
RTHnya
h. active project participation
i. rehabilitasi dan revitalisasi kawasan,
j. konsolidasi lahan
k. kewajiban menanam pohon pada lahan-lahan privat yang dibiarkan
kosong

13
(6) Strategi pengadaan RTH Privat untuk kawasan perkotaan sedang dan kecil jika
kebutuhan akan RTH belum terpenuhi adalah sebagai berikut:
a. penyuluhan akan pentingnya RTH
b. konsolidasi lahan
c. Penyelenggaraan lomba pekarangan hijau
d. active project participation
e. pembangunan RTH pada bangunan-bangunan publik/pemerintah
sebagai proyek percontohan kepada masyarakat

Bagian 3
Pemanfaatan
Pasal 22
(1) Pemanfaatan yang diperbolehkan pada lokasi RTH didasarkan kepada fungsi
dominan yang dimiliki masing-masing komponen RTH, yakni fungsi ekologis,
sosial, estetika, dan ekonomi
(2) Pemanfaatan pada areal RTH perkotaan diarahkan untuk mendukung fungsi
ekologis dan sosial.

Pasal 23
Pemanfaatan Komponen RTH Perkotaan
(1) Pemanfaatan untuk hutan lindung diarahkan untuk:
a. menjaga dan meningkatkan fungsi ekologis yang dimiliki hutan lindung
untuk menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
b. kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian, dengan tetap
menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
c. kegiatan taman wisata alam tanpa mengganggu fungsi lindung kawasan
serta mampu meningkatkan PAD daerah (nilai ekonomis).
(2) Pemanfaatan untuk kawasan cagar alam diarahkan untuk:
a. menjaga dan meningkatkan fungsi ekologis yang dimiliki hutan lindung
untuk menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
b. kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian, dengan tetap
menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
(3) Pemanfaatan untuk waduk, bendungan, situ, danau, rawa, mata air dan
sempadannya diarahkan untuk:
a. tidak mengganggu kelangsungan daya dukung, daya tampung, dan fungsi
sumber daya air sebagai peran utamanya
b. areal olah raga, rekreasi dan taman, dengan tetap menjaga fungsi preservasi
dan konservasi sumber daya air

14
c. taman di sepanjang sempadan yang dilengkapi bangku taman dengan view
menghadap ke arah situ, waduk dan mata air, dan atau pegunungan
(4) Pemanfaatan untuk sempadan sungai diarahkan untuk:
a. tidak mengganggu kelangsungan daya dukung, daya tampung, dan fungsi
sumber daya air sebagai peran utamanya
b. areal di bagian hulu yang umumnya curam dilestarikan dan menjadi areal
lindung hutang lindung dan atau hutan kota
c. areal di bagian landai yang memiliki potensi banjir diarahkan untuk
kegiatan temporer atau semi permanen seperti kegiatan olah raga dan atau
pariwisata
d. jalur inspeksi dan pembangunan prasarana lalu lintas, bangunan
pengambilan dan pembuangan air
e. kegiatan budidaya yang memberikan keuntungan ekonomi tanpa
mengganggu fungsi utama sempadan sungai, seperti budidaya perikanan
f. kegiatan-kegiatan penelitian yang tidak mengganggu kelestarian fungsi dari
sungai dan ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum
g. pembangunan prasarana lalu lintas air, bangunan pengambilan dan
pembuangan air
(5) Pemanfaatan untuk sempadan pantai diarahkan untuk:
a. tidak mengganggu kelangsungan daya dukung, daya tampung, dan fungsi
sumber daya air sebagai peran utamanya
b. kegiatan penelitian, pariwisata, prasarana transportasi dengan tidak
mendirikan bangunan permanen dan tetap menjaga kelestarian sumber daya
air
c. Pembangunan bangunan pengambilan dan pembuangan air
d. Pemancangan tiang dan pondasi prasarana transportasi
e. Pemasangan jaringan kabel dan jaringan perpipaan baik di atas maupun di
dalam tanah
f. Pembangunan prasarana lalu lintas air
(6) Pemanfaatan untuk kawasan perlindungan plasma nutfah diarahkan untuk:
a. menjaga dan meningkatkan fungsi ekologis yang dimiliki kawasan
perlindungan plasma nutfah untuk menjaga fungsi preservasi dan
konservasinya
b. kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian, dengan tetap
menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
(7) Pemanfaatan untuk hutan kota diarahkan untuk:
a. menjaga dan meningkatkan fungsi ekologis yang dimiliki hutan kota untuk
menjaga fungsi preservasi dan konservasinya
b. kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, pariwisata dan penelitian,
dengan tetap menjaga fungsi preservasi dan konservasinya

15
c. sarana media informasi pemerintah dengan pemasangan papan
pengumuman atau billboard
(8) Pemanfaatan untuk taman kota diarahkan untuk:
a. kegiatan yang dapat mewadahi interaksi antar manusia dengan manusia
serta manusia dengan alam, dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis.
b. menjadi identitas kota.
c. Pemasangan media promosi/publikasi dengan kompensasi oleh instansi
pemerintahan dan swasta dapat menjadi strategi pemanfaatan yang
membantu keberlanjutan keberadaan taman yang bersangkutan.
(9)Pemanfaatan untuk taman lingkungan diarahkan untuk:
a. kegiatan yang dapat mewadahi interaksi antar manusia dengan tetap
mempertahankan fungsi ekologis.
b. menjadi identitas lingkungan.
(10) Pemanfaatan untuk tempat pemakaman umum diarahkan untuk:
a. kegiatan pemakaman umum dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis.
b. daerah penyangga instalasi berbahaya.
(11) Pemanfaatan untuk lapangan olah raga diarahkan untuk mendukung fungsi
utamanya sebagai fungsi sosial dapat digunakan untuk fasilitas olah raga dengan
menggunakan bahan konstruksi ramah lingkungan dan tetap mempertahankan
fungsi ekologis.
(12) Pemanfaatan untuk taman rekreasi diarahkan untuk:
a. kegiatan pariwisata dan pendidikan dengan tetap mempertahankan fungsi
ekologis.
b. Menambah nilai estetis kawasan perkotaan.
(13) Pemanfaatan untuk jalur hijau sempadan jalan dapat dimanfaatkan sebagai
tempat penempatan aksesoris jalan dan jaringan utilitas kota dengan tetap
mempertahankan fungsi ekologis
(14) Pemanfaatan untuk pulau jalan dapat diarahkan untuk menjadi citra kota dan
kegiatan interaksi masyarakat dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis
(15) Pemanfaatan RTH Pekarangan disesuaikan guna lahan pekarangan tersebut
dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis

Bagian 4
Pengelolaan
Pasal 24
Peran Pemerintah dalam Penataan RTH
Peran pemerintah dalam penataan RTH adalah:

16
a. Memberikan penyuluhan kepada semua pihak akan pentingnya fungsi serta keberadaan
RTH;
b. Merencanakan ruang terbuka hijau baik sebagai bagian dari RTRW Kota, RDTR,
rencana tata ruang lainnya ataupun Rencana Tata Hijau;
c. Menyediakan luasan dan sebaran ruang terbuka hijau yang memadai bagi kotanya;
d. Memelihara RTH yang ada sebagai salah satu komponen peningkat daya dukung dan
daya tampung lingkungan dengan tetap mempertahankan fungsi ekologisnya;
e. Memfasilitasi pelaku pembangunan lainnya untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
ruang terbuka hijau,
f. Mengendalikan dan membatasi alih fungsi lahan ruang terbuka menjadi kawasan
terbangun;
g. Menyusun program pengadaan RTH termasuk aspek pembiayaan dan instansi/ pelaku
pembangunan yang terlibat dalam program tersebut;
h. Berkoordinasi antara instansi/dinas terkait dalam pengelolaan RTH untuk
merumuskan pembagian tugas, peran, hak dan kewajian dari masing-masing instansi
sehingga tidak terjadi tumpang tindih pekerjaan, terutama untuk komponen RTH yang
tidak berada di bawah wewenang langsung pemerintah daerah kabupaten/kota namun
pemerintah tingkat propinsi atau pusat

Pasal 25
Strategi Pengelolaan RTH
Strategi pengelolaan ruang terbuka hijau untuk kawasan perkotaan sebagaimana tercantum
dalam pasal 10 adalah sebagai berikut :
(1). P
embentukan lembaga/tim koordinasi untuk mengatur urusan pengelolaan RTH
terintegrasi adalah sebagai berikut :
a. untuk kawasan perkotaan, membentuk lembaga kerjasama antar kota/kabupaten
yang tergabung dalam kawasan perkotaan;
b. untuk kota otonom, membentuk tim koordinasi RTH yang merupakan bagian dari
forum TKPRD Kota; dan
c. untuk kota bukan otonom, membentuk tim koordinasi RTH yang merupakan
bagian dari forum TKPRD Kabupaten.
(2). P
embagian peran dan tugas masing-masing kota/kabupaten serta instansi terkait dalam
pengelolaan RTH bersama sehingga tidak terjadi tumpang tindih tugas;
(3). P
enentuan instansi utama yang mengkordinasikan pengelolaan RTH dalam suatu kota;
(4). P
embuatan data base komponen RTH yang terpadu meliputi jumlah, luasan, sebaran,
kondisi, pengelola dan sistem pembiayaan operasional saat ini;
(5). P
engembangan kerjasama dengan kabupaten/kota lainnya dalam penyediaan RTH;

17
(6). P
eningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) secara kualitas yang ada di masing-masing
instansi sehingga proses pengelolaan lebih berjalan dengan baik;
(7). P
eningkatan koordinasi antar instansi pengelolaan RTH bersama di masing-masing
kota/kabupaten yang dengan cara pertemuan rutin, penyusunan buku laporan profil &
kondisi RTH di bawah wewenang masing-masing instansi;
(8). P
engawasan dan pengendalian secara rutin agar pelanggaran dapat diketahui secara lebih
cepat dan dapat dicegah; dan
(9). P
engendalian sebagaimana dijelaskan pada ayat (8) untuk kawasan perkotaan dilakukan
oleh badan koordinasi yang lebih tinggi kewenangannya.

Pasal 26
Partisipasi Masyarakat dalam Penataan RTH
(1) Penataan RTH dapat melibatkan peran serta masyarakat, swasta/dunia usaha,
lembaga/badan hukum dan/atau perseorangan dengan pengawasan secara aktif dari
Pemerintah Kabupaten/Kota
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana tercantum pada ayat (1) dapat dilakukan melalui
cara:
a. Menjaga keberadaan RTH terutama pada lingkungannya
b. Memelihara RTH pada kawasan perumahan, hal ini dapat dilakukan dengan cara
kolektif atau bersama-sama dalam suatu wadah tertentu misalkan satu RT atau RW
maupun secara perorangan,
c. Turut mengawasi proses pemeliharaan dan keberadaan RTH dengan memberikan
masukan kepada instansi pengelolaan apabila terjadi penyimpangan penggunaan
RTH untuk kegiatan yang tidak diperbolehkan ataupun apabila menemukan RTH
yang tidak terawat,
d. Menyediakan lahan untuk penyelenggaraan RTH,
e. Memberikan bantuan dalam mengidentifikasi komponen RTH yang ada maupun
yang potensial dikembangkan,
f. Memberikan informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan
RTH.
(3) Peran serta swasta/dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui cara:
a. Menjaga keberadaan RTH terutama pada lingkungannya
b. Berperan dalam pembangunan komponen RTH buatan dengan cara memberi dana
pembangunan saja maupun turut sebagai pelaksana pembangunan/perbaikan taman,
c. Memelihara taman dengan biaya pemeliharaan dan penyediaan tenaga kerja
lapangan sendiri, Namun memperoleh imbalan secara tidak langsung seperti
pemasangan reklame,

18
d. Menyediakan lahan untuk penyelenggaraan RTH,
e. Memberikan informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan
RTH,
f. Memberikan bantuan dalam mengidentifikasi komponen RTH yang ada maupun
yang potensial dikembangkan.
(4) Peran serta lembaga/badan hukum yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dengan cara:
a. Penyuluhan dan pendidikan melalui media,
b. Penyuluhan ke sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar hingga jenjang yang lebih
tinggi, misalkan kegiatan menanam pohon bersama di lingkungan sekolahan, kerja
bakti di sepanjang sempadan sungai,
c. Pencanangan Gerakan Bangun, Pelihara dan Kelola RTH tingkat RT hingga tingkat
kota,
d. Menyediakan lahan untuk penyelenggaraan RTH,
e. Memberikan informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan
RTH,
f. Memberikan bantuan dalam mengideintifikasi komponen RTH yang ada maupun
yang potensial dikembangkan.

Pasal 27
Pendanaan
(1) Pendanaan penataan RTH bersumber dari Anggaran Pendapatan Hutan
dan Belanja Daerah
lindung, cagar alam atau taman
(APBD) Kota/Kabupaten, partisipasi swadaya masyarakat dan/atau swasta serta komponen
kota merupakan beberapa
sumber pendanaan lainnya. RTH yang sering dipergunakan lembaga
penelitian, perguruan tinggi atau LSM
(2) Pendanaan penataan RTH diperuntukkan untuk membiayai kegiatan : untuk penelitian atau kegiatan
pembelajaran tentang alam.
a. pembangunan RTH;
b. pemeliharaan RTH; dan
c. rehabilitasi RTH.

Pasal 28
Kerjasama dalam Penataan RTH
(1) Pendanaan penataan RTH dapat diperoleh melalui kerjasama antar pemerintah daerah,
pemerintah dengan masyarakat, pemerintah dengan swasta/dunia usaha, pemerintah
dengan lembaga/badan hukum dan/atau pemerintah dengan perseorangan.
(2) Pola kerjasama sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) perlu dilengkapi dengan surat
perjanjian kerjasama yang jelas dan mengingat bagi kedua belah pihak.
(3) Kerjasama di antara dua atau lebih pemerintah daerah kawasan perkotaan dapat
melakukan perjanjian kerjasama komponen RTH perkotaan yang berada pada

19
perbatasan dua wilayah administratif dua kawasan perkotaan atau berada di salah satu
wilayah administrasi dalam hal pemeliharaan, pemanfaatan ataupun pendanaan.
(5) Peran serta masyarakat dalam kerjasama dengan pemerintah dalam penataan RTH
dapat dilakukan dalam bentuk partisipasi langsung dalam perencanaan, pemanfaatan,
dan pengelolaan baik berupa dana maupun tenaga kerja.
(6) Peran serta swasta/dunia usaha dalam kerjasama dengan pemerintah dalam penataan
RTH dapat dilakukan dalam bentuk partisipasi langsung dalam perencanaan,
pemanfaatan, dan pengelolaan baik berupa dana maupun tenaga kerja.
(7) Peran serta lembaga/badan hukum yang terkait dapat dilakukan dalam berbagai bentuk
dukungan terhadap pengelolaan RTH dalam bentuk pemberian dana namun dalam hal
megadakan kegiatan untuk mensosialisasikan pentingnya RTH, memberi penyuluhan
cara memelihara RTH, aksi penanam pohon bersama ataupun mengadakan kegiatan
penggalangan dana untuk pemeliharaan komponen RTH.
(8) Kerjasama dalam penataan RTH dapat pula dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak
secara bersamaan.

Pasal 29
Mekanisme pengendalian
(1) Mekanisme pengendalian RTH meliputi kegiatan pelaporan, pembinaan dan
pengawasan.
(2) Kegiatan pelaporan sebagaimana tercantum pada ayat (1) meliputi Bupati/Walikota
melaporkan kegiatan penataan RTH kepada Gubernur paling sedikit 1 (satu) tahun
sekali dan sewaktu-waktu apabila diperlukan,
(3) Kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana tercantum pada ayat (1) meliputi:
a. Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penataan RTH
b. Gubernur mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan terhadap penataan RTH
Kabupaten/Kota
c. Gubernur dapat memberikan insentif kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yang
berhasil dalam penataan RT

20

Anda mungkin juga menyukai