Anda di halaman 1dari 7

Abstracts

Background
Orang tua sering membuat keputusan untuk menikahkan anak gadis tanpa mengikutsertakan pendapat anak gadis tersebut.
Mereka percaya bahwa dengan pernikahan dini akan maka anak gadis akan terlindungi dari pelecehan seksual, kehamilan
yang tidak diinginkan dan infeksi menular seksual. Di Indonesia, penelitian kualitatif untuk mengeskplorasi pembuat
keputusan untuk menikahkan remaja dan dampak nya belum banyak dilakukan.
Methods
Kami melakukan wawancara mendalam pada wanita berusia 21-35 tahun yang mempunyai pengalaman telah dinikahkan
dini oleh keluarganya dan juga dampak kekerasan pernikahan tersebut bagi kehidupannya dengan total 52 partisipan.
Results
Kami menemukan bahwa pengambil keputusan untuk menikahkan gadis remaja secara dini adalah ayah, ibu atau nenek
mereka. Mayoritas gadis remaja dinikahkan oleh ayah mereka karena alasan ekonomi. Sebagian yang lain dinikahkan oleh
ibu mereka karena kawatir dianggap perawan tua yang tidak laku menikah dan sebagian kecil dinikahkan oleh nenek
mereka karena ingin melestarikan tradisi masyarakat pesisir pantai untuk menikah muda. Dari pernikahan tersebut,
mayoritas gadis remaja mengalami kekerasan fisik dan mental dari pasangan, sebagian kecil ada yang bercerai sampai
menjadi pekerja seks komersial untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Conclusion
Dari temuan kami, orang tua dan keluarga memutuskan untuk menikahkan anak dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan
budaya dari pesisir pantai tanpa memikirkan dampak dari pernikahan dini yang akan dialami gadis remaja.
Keywords: pembuat keputusan, dampak kekerasan, pernikahan dini, penelitian kualitatif

Background 1360 kata


Masa remaja merupakan masa kritis (Montaari et al, 2016). Di awal masa remaja, salah satu cara orang tua memberi
otonomi melalui keputusan adalah untuk kemandirian dan menggunakan waktu (Brena et al, 2012).Gadis remaja yang
sedang melalui periode menuju ke kedewasaan mempunyai tanggung jawab dan peran seperti orang dewasa. Dukungan
keluarga dan sosial yang tidak efektif membuat remaja tidak memperoleh cukup kesempatan dan dukungan untuk menjadi
orang dewasa yang kompeten (Muna dan Sakdiyah, 2016).Gadis remaja sering dihadapkan pada stres karena pilihan
berisiko yang didorong oleh pengambilan keputusan yang buruk. Biasanya keputusan yang diambil remaja hanyalah untuk
jangka pendek dan cenderung dipengaruhi oleh teman sebaya (Cousijn et al, 2018). Hal inilah yang membuat orang tua
pada masyarakat tradisional khususnya pesisir pantai khawatir terhadap perilaku anak gadis mereka yang menjurus kepada
pergaulan bebas, sehingga banyak yang mengambil keputusan untuk segera menikahkan anak gadis secara dini (Hamid et
al, 2011). Keputusan yang diambil oleh orang tua untuk menikahkan anak tidak melibatkan anak gadis mereka secara
langsung, dimana secara sosial terjadi ketidakseimbangan kekuatan gender dan pergeseran dalam pernikahan karena
otonomi pengambilan keputusan pada anak perempuan berada di tangan orang tua (McDougal et al, 2018). Keputusan dari
anak perempuan merupakan persetujuan individu yang harus dipertimbangkan (Arab and Sagbakken, 2019). Banyak orang
tua yang akan menikahkan anak gadisnya tanpa mempertemukan memperkenalkan calon suami terlebih dahulu (Sabba et al,
2013).Keputusan untuk menikahkan anak juga disebabkan karena budaya, tradisi dan agama yang telah mengakar di
masyarakat serta ekonomi (Adedokun et al, 2016). Dominasi dari pria, ketidaktahuan orang tua dan desakan sosial
menyebabkan gadis remaja tidak dapat menghindari keputusan orang tua yang kaku dan otoritas untuk menikahkan dini.
(Montazeri et al, 2016).

Pernikahan dini yaitu suatu pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia kurang dari 18 tahun( Mourtada et al,
2017). Pernikahan dini melanggar hak asasi anak perempuan dan juga merupakan penghalang bagi perkembangan individu
dan sosial (Kamal, mustafa., 2012).Kejadian pernikahan dini tertinggi adalah di negara berpengahsilan rendah seperti di
Asia Selatan dan Asia Tenggara (Groot et al, 2018). United Nations Emergency Children's Fund (UNICEF) menyatakan
bahwa lebih dari 700 juta wanita telah melakukan pernikahan dini sebelum berusai 18 tahun dan lebih dari 250 juta wanita
menikah sebelum berusia 15 tahun (Pesando, 2018). Pada tahun 2030, di Asia Selatan diperkirakan 150 juta anak
perempuan akan menikah sebelum mencapai 18 tahun (McDougal et al, 2018). Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan
negara termiskin dan terpuruk (Spagnoletti et al, 2018). Indonesia merupkan salah satu negara di Asia Timur dan Asia
Pasifik yang menyumbang angka tertinggi kejadian pernikahan dini pada anak berusia kurang dari 18 tahun (Badan Pusat
Statistik Indonesia, 2012). Setiap tahunnya, 340.000 anak perempuan telah menikah dini terutama anak gadis yang tinggal
di pesisir pantai. Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2018, pernikahan dini pada usia kurang dari 16 tahun
tertinggi di pesisir pantai Provinsi Jawa Timur (18,44%), Sulawesi Barat (18,32%), Kalimantan Tengah (17,31%) dan Jawa
Barat (17,28%). Menurut data dari Kantor Urusan Agama Kabupaten Probolinggo (2019) tercatat jumlah pernikahan dini
pada remaja sebanyak 40,67 % remaja telah menikah dini. Pada tahun 2019 sebanyak 4096 (45%) gadis remaja pesisir telah
menikah dini.

Orang tua sering percaya bahwa dengan pernikahan dini akan maka anak gadis akan terlindungi dari pelecehan seksual,
kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi menular seksual. Padahal, pernikahan dini memberikan efek negatif lebih
banyak untuk kesehatan seperti gangguan kesehatan perempuan, komplikasi pada kehamilan dan persalinan, kekerasan fisik
dan kesehatan mental anak gadis yang buruk, berat badan lahir rendah untuk bayi yang dilahirkan dan kematian(Groot et
al,2018). Gadis yang berusia 15-19 tahun menikah, lebih berisiko mengalami komplikasi kesehatan daripada gadis berusia
20 tahun (Mourtada et al, 2017). Usia perkawinan perlu diperhatikan karena berkaitan dengan berbagai kaitan dengan
reproduksi dan sosial (Kamal, Mustafa, 2012).Dalam hal pendidikan, terjadinya putus sekolah sehingga mengakibatkan
tingkat pendidikan yang rendah di kalangan anak gadis. Perkawinan menyebabkan stress karena berbagai alasan seperti
dipaksa pindah untuk tinggal bersama dengan keluarga suami dan membantuk komunitas baru (John et al, 2019) Selain itu
juga jauh dari teman sebaya, harus menjalankan tugas baru sebagai istri yang harus siap untuk hamil dan melahirkan (Groot
et al,2018). Tidak jarang gadis remaja yang telah menikah dini mendapatkan perlakuan kekerasan dari pasangan seperti
kekerasan fisik, seksual dan psikologis. Gadis yang menikah dibawah 18 tahun lebih berisiko mengalami kekerasan (Yount
et al, 2017). World Health Organization menginformasikan bahwa 29% dari semua gadis remaja yang menikah dini
mengalami kekerasan dari pasangan (Montazeri et al, 2016).Kekerasan dan kekuasaan dalam rumah tangga dikarenakan
perbedaan usia yang terpaut jauh karena kemungkinan usia pihak laki-laki lebih tua daripada pihak perempuan (Arab and
Sagbakken, 2019). Tidak sedikit gadis remaja yang telah menikah diberikan pekerjaan rumah tangga yang sangat banyak
oleh suami dan ibu mertuanya sehingga banyak yang tidak kuat, merasa diabaikan dan lebih memilih untuk bercerai dan
menjadi janda dengan anak tanpa diberikan biaya hidup oleh mantan suami (Adedokun et al, 2016).
Studi sebelumnya telah memberikan bantuan dana insentif agar anak perempuan tetap sekolah sehingga diharapkan
mengurangi terjadinya pernikahan dini, akan tetapi keberlanjutan program tidak dapat berjalan(McDougal et al, 2018). Di
Zambia juga memberi bantuan biaya sekolah untuk anak gadis dan menggerakkan masyarakat untuk aktif memberikan
dukungan kepada remaja dan orang tuanya untuk menunda pernikahan dini (Sandoy et al, 2017). Di Ethiophia, pengurangan
pernikahan dini remaja dilakukan dengan meningkatkan hukum yang menentang pernikahan dini, merancang dan
menargetkan startegi untuk kesehatan dan hak asasi remaja (Bezie and Addisu,2019). Di Malaysia dilakukan penerapan
politik dan lamgkah ekonomi maupun sosial untuk memberantas pernikahan anak dengan mengesahkan Undang-undang
pernikahan dengan usia minimal 16 tahun (Kohno et al, 2019).

Upaya pemerintah Indonesia dalam menurunkan angka kejadian pernikahan dini yaitu dengan Perencanaan Usia Pernikahan
(PUP) terutama pada perempuan dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan kehidupan
berkeluarga. Dalam pelaksanaan Program Ketahanan Remaja, pendekatan dimulai dilakukan kepada keluarga yaitu Bina
Keluarga Remaja (BKR) dan pendekatan kepada remaja yaitu Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja). BKR
beranggotakan keluarga yang memiliki remaja berumur 10-24 tahun dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan orang
tua dalam melakukan pembinaan kepada remaja dengan materi perencanaan keluarga, gender, komunikasi efektif orang tua
dan remaja, peran orang tua dalam tumbuh kembang remaja, kesehatan dan pemenuhan gizi remaja. PIK R bertujuan untuk
berbagi informasi, aktivitas yang inovatif, konseling dan rujukan. Selain PIK R, terdapat program Generasi Berencana
(Genre) yang bertujuan mencetak generasi yang berkarakter, mengetahui, memahami dan berperilaku positif tentang
kesehatan rerpoduksi untuk meningkatkan derajat kesehatan reproduksinya dan menyiapkan kehidupan berkeluarga dalam
meningkatkan kualitas generasi mendatang. Selain pemerintah pusat yang telah berkontribusi dalam menurunkan
pernikahan dini, pemerintah daerah juga memberikan peran. Kantor Urusan Agama (KUA) yang dikenal masyarakat
sebagai lembaga pencatat pernikahan juga turut serta meminimalisir terjadinya pernikahan dini, yaitu dengan peran secara
administrasi selektif dalam menyeleksi umur pasangan yang akan menikah harus memenuhi Undang-undang, bekerja sama
dengan tenaga penyuluh yaitu BKKBN dan Dinas Sosial untuk melakukan penyuluhan dengan materi dampak pernikahan
dini, resiko penularan HIV/AIDS. Penyuluhan yang dilakukan oleh KUA mengalami kendala. (Fatawa, 2018). Pada
penelitian Rumekti (2016) diuraikan bahwa pemerintah daerah (kepala desa) telah berkontribusi menangani maraknya
pernikahan dini yang terjadi di desa yaitu dengan pencatat KUA menasehati untuk mengundur pernikahan jika usia menikah
masih di bawah umur, memberi motivasi kepada orang tua agar anak melanjutkan pendidikan, menangguhkan buku nikah
jika diketahui sudah terlanjur menikah, memperketat aturan pernikahan, sosialisasi kepada orang tua. Usaha yang dilakukan
oleh KUA untuk meminimalisir pernikahan dini mengalami kendala karena kurangnya tenaga penyuluh dan tidak adanya
biaya yang pasti dari pemerintah daerah sehingga tidak dapat menjangkau semua daerah yang ada. Penelitian Ratno (2018)
menjelaskan bahwa tokoh masyarakat menanggulangi perkawinan usia dini dengan melakukan pembinaan melalui
penyuluhan pada kegiatan remaja.Di Probolinggo telah dilaksanakan program pro rakyat untuk bisa mencakup semua
wilayah namun masih menyisakan permasalahan yaitu tentang pernikahan anak (Ni’mah, Mamluatun, 2020).

Telah banyak penelitian tentang pernikahan dini telah dilakukan di berbagai negara dengan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif atau menggunakan keduanya. Sedangkan di Asia Tenggara baik untuk kualitatif atau kuantitatif masih belum
begitu banyak. Selanjutnya, studi tentang pernikahan dini di Asia dan terutama di Indonesia telah didominasi oleh penelitian
dengan menggunakan metode kuantitatif, namun pengambilkeputusan untuk menikah dan dampak kekerasan dari
pernikahan dini tersebut masih belum banyak mendapat perhatian. Di negara-negara barat, penelitian mayoritas menyorot
daerah pedesaan dan perkotaan, sedangkan untuk daerah pesisir pantai belum banyak dilakukan (Stark, L, 2017). Di
Indoensia, penelitian tentang pernikahan dini terbatas pada wilayah tertentu yang tidak menyentuh wilayah pesisir pantai
(Rumble et al,2018). Oleh karena itu, penelitian ini fokus pada daerah pesisir pantai untuk mengeksplorasi siapakah
pengambil keputusan untuk menikah dini dan dampak kekerasan akibat pernikahan dini tersebut di pesisir pantai Kabupaten
Probolinggo, Indonesia.

Method

Study Design, partisipan dan setting


Penelitian kualitatif dilaksanakan pada bulan januari sampai dengan maret 2020 menggunakan convenience sampling pada
52 wanita berusia 21-35 tahun yang pernah mempunyai pengalaman dinikahkan dini 4 kecamatan pesisir pantai Kabupaten
Probolinggo, Indonesia. Kriteria eksklusi adalah penduduk asli Kabupaten Probolinggo, Indonesia yang dibuktikan dengan
Kartu Tanda Penduduk (KTP).Peneliti bekerja sama dengan bidan desa di puskesmas dan kader kesehatan untuk
mengidentifikasi partisipan yang menikah di bawah usia 18 tahun. Bidan desa dan kader kesehatan memberitahukan kepada
partisipan bahwa mereka akan diwawancarai terkait dengan pengambil keputusan untuk menikah dan dampak kekerasan
dari pernikahan dini tersebut. Partisipan berhak untuk memutuskan apakah akan berpartisipasi atau tidak dalam penelitian.
Bagi partisipan yang setuju untuk berpartisipasi, maka mereka diminta datang ke pondok bersalin desa (POLINDES) untuk
dilakukan wawancara sesuai dengan hari dan waktu yang telah disepakati bersama. Penelitian ini mengedepankan sukarela
tanpa paksaan. Semua peserta menerima informasi tentang tujuan penelitian, kerahasiaanya yang ketat, sifat sukarela dari
partisipasi mereka, hak mereka untuk menarik diri dari wawancara kapan saja. Para peserta memberikan persetujuan tertulis
sebelum wawancara. Kami menyediakan alat tulis dan makanan ringan untuk para partisipan sebagai tanda penghargaan
untuk waktu yang mereka berikan.

Data Collection and analysis


Data dikumpulka dengan wawancara mendalam yang dipandu oleh kuesioner semi terstruktur. Semua wawancara direkam
secara audio dan menggunakan bahasa Indonesia oleh peneliti (penulis pertama) dan setiap wawancara berlangsung selama
30 menit sampai 100 menit. Wawancara dilakukan di ruang tamu yang ada Pondok Bersalin Desa (POLINDES) yang hanya
akan ditempati oleh peneliti dan responden untuk menjaga kerahasiaan. Sebelum wawancara, semua peserta menjawab
kuesioner pendek mengenai karatkeristik demografi (usia, pendidikan, suku bangsa dan agama).Topik dari wawancara
adalah tentang pengambil keputusan untuk menikah dan dampak kekerasan dari pernikahan tersebut. Tabel 1 menampilkan
topik dan item yang masuk dalam wawancara.

Wawancara ditranskip secara verbatim dan diimpor ke dalam perangkat lunak Nvivo 10 QSR Internasional.Untuk analisis,
kami menggunakan triangulasi dan tematik analisis, suatu pendekatan yang melibatkan ahli dengan data melalui proses
membaca transkip berulang, menghasilkan kode dan mengaturnya menjadi kelompok kategori lebih besar (subkategori,
kategori dan tema) sampai diperoleh data tematik jenuh. Kami merevisi dan menyempurankan tema sampai sesuai.
Tabel 1 Interview items to eksplore usia saat dinikahkan, alasan dinikahkan, siapa yang me
Topik Konten pertanyaan
Usia saat dinikahkan Pada usia berapa dinikahkan?
Karena alasan apa dinikahkan dini?
Pengambil keputusan menikah Siapa pengambil keputusan untuk menikah?
Apa hubungan keluarga dengan pengambil keputusan untuk menikah?
Dampak setelah dinikahkan Dampak kekerasan apa yang dialami setelah menikah?

Ethical and safety consideration

Persetujuan etik telah diberikan oleh Health Research Ethics Committee, Description of Ethical Approval “Ethical
Approval” No. 350/UN27.06/KEPK.EC/2019, Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia. Dan seperti yang disebutkan
sebelumnya, persetujuan telah didapatkan dari semua partisipan sebelum wawancara dilakukan.

Results

Secara total, dari 52 partisipan, mayoritas saat ini berusia 21-25 tahun (40,38%), mayoritas berpendidikan terakhir sekolah
dasar 27 partisipan (51,92%), mayoritas suku madura sebanyak 36 orang (69,22%) dan 49 partisipan (94,23%) beragama
islam. (Tabel 2)
Partisipan melaporkan bahwa sebagian besar pengambil keputusan untuk menikahkan mereka adalah keluarga yang masih
berstatus menikah (61,53%), berpendidikan sekolah dasar (59,61%), bekerja sebagai nelayan (46,15%), suku Madura
(69,22%) dan beragama islam (94,23%).
Kami mengidentifikasi tiga tema utama yang disajikan di bawah ini dengan memakai tanda kutip. Dalam beberapa kasus,
kutipannya sedikit diedit untuk kelancaran.

Tabel 2 Sosio demografi partisipant


Demographic Frekuensi Persentase (%)
Total 52 100,00%
Age level
21-25 21 40,38
26-30 18 34,62
31-35 13 25,00
Education level
Elementary school 27 51,92
Junior high school 25 48,08

Suku bangsa
Madura 36 69,22
Jawa 6 11,54
Bali 10 19,24
Agama
Moslem 49 94,23
Katholik 3 5,77

Tabel 3 Sosio demografi pengambil keputusan


Demographic Frekuensi Persentase (%)
Total 52 100,00%
Status pernikahan
Menikah 32 61,53
Janda 11 21,15
Duda 9 17,30
Education level
Tidak lulus sekolah dasar 16 30,76
Elementary school 31 59,61
Junior high school 3 5,76
Senior high school 2 3,84
Pekerjaan
Nelayan 24 46,15
Penjual ikan 7 13,46
Ibu rumah tangga 15 28,84
Pedagang 4 7,69
Pembantu rumah tangga 2 3,84
Suku bangsa
Madura 36 69,22
Jawa 6 11,54
Bali 10 19,24
Agama
Moslem 49 94,23
Katholik 3 5,77

Theme 1 : Usia saat dinikahkan dan alasan dinikahkan

Sebagian besar partisipan dinikahkan pada umur 13 tahun karena alasan dari orang tua adalah tidak mempunyai biaya
untuk melanjutkan sekolah karena masih ada beberapa adik yang perlu dibiayai untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
“Saya dinikahkan ketika berusia 13 tahun dengan alasan orang tua sudah tidak mempunyai biaya untuk sekolah,
sedangkan ada adik yang harus dibiayai juga” (wawancara dengan 27 wanita yang dinikahkan dini)

Beberapa partisipan dinikahkan pada umur 14 tahun karena ada yang kebetulan melamar dengan mahar yang tinggi dan
membiayai haji kedua orang tua serta memberikan rumah yang bagus.

“Menikah saat berusia 14 tahun karena saat itu ada yang melamar dengan mahar yang besar dan berjanji untuk menaikkan
haji kedua orang tua dan memberikan rumah yang bagus untuk kedua orang tua” (wawancara dengan 18 wanita yang
dinikahkan dini)

Beberapa partisipan dinikahkan pada umur 16 tahun karena orang tua merasa malu anak gadisnya belum menikah di usia
lebih dari 15 tahun. Keluarga kawatir akan menjadi pembicaraan masyarakat dan dianggap perawan tua.

“Menikah saat usia 16 tahun karena dirasa sudah sangat cukup umur untuk berkeluarga. Keluarga malu karena berusia
lebih dari 15 tahun tetapi belum menikah dan kawatir menjadi perawan tua yang tidak laku menikah”. (wawancara
dengan 7 wanita yang dinikahkan dini)

Theme 2 : Pembuat keputusan untuk menikah dini

Mayoritas partisipant melaporkan bahwa pengamil keputusan untuk menikah dengan pria yang lebih tua adalah ayah. Di
dalam tradisi keluarga, ayah merupakan sosok yang harus ditaati dan dihormati semua keputusan dan perintah yang
dibuatnya.

“Sebenarnya saya tidak ingin cepat-cepat menikah karena masih ingin melanjutkan sampai lulus sekolah. Akan tetapi
suatu hari ayah saya menyuruh saya untuk berhenti sekolah karena akan dinikahkan dengan seorang pria yang lebih tua
dari saya. Pria itu tidak saya kenal sama sekali sebelumnya. Saya tidak bisa menolak keputusan dari ayah saya karena dia
adalah kepala rumah tangga yang harus ditaati.” (wawancara dengan 34 wanita yang dinikahkan dini)

Beberapa partisipant melaporkan bahwa pengambil keputusan untuk menikah adalah ibu. Ibu merasa malu dan kawatir jika
anak gadis akan menjadi perawan tua. Sedangkan tugas anak gadis setelah meniah hanyalah mengurus rumah, anak dan
suami. Keluarga percaya jka menolak permintaan atau keputusan ibu maka akan menjadi anak durhaka dan akan terkena
hukum karma

“Ibu saya memutuskan untuk menikahkan saya dengan anak dari teman nya dengan alasan merasa malu dengan tetangga
sekitar rumah karena saya belum juga menikah. Ibu kawatir jika saya menjadi perawan tua.Ibu mengatakan bahwa tugas
perempuan hanyalah mengurus rumah, anak dan suami. Kalaupun saya sekolah tinggi, nanti juga akan bekerja di dapur.
Saya tidak dapat menolak permintaan ibu karena takut menjadi anak durhaka dan akan terkena hukum karma”.
(wawancara dengan 14wanita yang dinikahkan dini)

Sebagian kecil melaporkan bahwa pembuat keputusan untuk menikah adalah nenek karena menikah muda adalah tradisi
turun menurun dari generasi ke generasi. Pengalaman dari nenek yang menikah muda adalah menikah muda memuta hidup
bahagia dan banyak anak yang merupakan sumber rejeki.

“Saya menikah atas keputusan dari nenek karena menurut nenek, menikah muda adalah tradisi dan sudah turun menurun
dari generasi ke generasi. Nenek menikahkan saya karena dulu nenek juga menikah muda,mempunyai banyak anak dan
hidupnya juga tidak kekurangan”. (wawancara dengan 4 wanita yang dinikahkan dini)

Theme 3 : Dampak dari pernikahan dini

Sebagian besar partisipant melaporkan bahwa mendapat kekerasan fisik setelah menikah. Harapan tentang indahnya
menikah dan kenyataan yang dialami berbeda. Suami memperlakukan mereka seperti pembantu yang mengurus semua
pekerjaan rumah tangga. Suami tidak segan memukul atau menarik rambut istri saat istri melakukan sedikit kesalahan.

“Saya membayangkan jika menikah itu seperti tayangan di televisi. Akan tetapi kenyataan yang saya alami sangat
berbeda. Suami saya jauh lebih tua umurnya daripada saya. Saya diperlakukan seperti pembantu. Saya harus
mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dan jika saya salah dalam bekerja, suami saya tidak segan untuk memukul,
menampar atau menarik rambut saya. Kejadian itu hampir setiap hari saya alami. Akan tetapi saya tidak berdaya karena
terlanjur menikah dengan dia dan hidup saya tergantung pada dia”. (wawancara dengan 25 wanita yang dinikahkan dini)

Beberapa partisipant melaporkan bahwa mendapat kekerasan psikologis setelah menikah. Kekerasan psikologis seperti
dibiliang bodoh, dungu dan tidak punya otak didapatkan istri karena dianggap tidak mampu mengurus rumah tangga.

“Setelah menikah, saya masih belum bisa untuk mengurus rumah tangga, melayani semua kebutuhan suami, belum
terbiasa membersihkan rumah. Keadaan saya yang seperti ini membuat suami saya sering marah dan sering menghina
saya. Saya dibilang bodoh, dungu, tidak punya otak karena dianggap tidak mampu mengurus rumah tangga”.
(wawancara dengan 20 wanita yang dinikahkan dini)

Beberapa partisipant melaporkan bahwa bercerai setelah 1 tahun menikah. Pasangan suami istri sering bertengkar karena
suami tidak sanggup memberikan uang belanja. Dari pertengkaran tersebut suami selalu merasa marah yang akhirnya
memukul istri. Istri tidak tahan dengan perlakuan tersebut dan memutuskan untuk bercerai sebagai jalan terbaik.

“Setelah menikah, saya dan suami sering bertengkar karena setiap kali saya meminta uang untuk berbelanja kebutuhan
rumah tangga, suami selalu tidak mau memberi karena beralasan tidak mempunyai uang karena tidak bekerja. Akhirnya
kami sering bertengkar dan saya sering dipukul oleh suami. Saya merasa tidak bisa bertahan dengan situsi seperti
sekarang ini dan memutuskan untuk minta cerai dari suami”. (wawancara dengan 4 wanita yang dinikahkan dini)

Beberapa partisipant melaporkan bahwa setelah menikah dan mempunyai anak, suami jarang pulang ke rumah dan tidak
pernah memberikan uang belanja. Sekali pulang ke rumah, suami selalu marah dan mengatakan bosan dengan wanita dan
berniat menceraikannya untuk dapat menikah dengan kekasih barunya. Wanita dan anaknya terpaksa kemabli tinggal
dengan orang tuanya yang semakin tua renta dan tidak mempunyai pekerjaan. Untuk memenuhi kebuthan hidup, si wanita
terpaksa menerima ajakan dari temannya untuk menjadi pekerja seks komersial karena dinilai sebagai pekerjaan termudah
yang mengahsilkan banyak uang yang tidak memerlukan ijazah dari pendidikan dan tidak memerlukan pengetahuan dan
keterampilan. Jalan raya sepanjang pantai utara Pulau Jawa mendukung pekerjaan ini karena banyak kendaraan besar seperti
truk penganggkut barang yang setiap hari melewati jalan pantai utara Pulau Jawa untuk mendistribusikan barang ke dari
Jawa Tengah dan Jawa Barat ke Pulau Bali. Para sopir kendaraan besar tersebut sering singgah di warung selain untuk
makan dan minum juga menjajakan kepuasan seks karena mereka jarang pulang ke rumah dan berhari-hari di perjalanan.

“Setelah 1 tahun menikah, saya melahirkan seorang anak laki-laki. Setelah anak kami lahir, suami saya sering tidak
pulang ke rumah dan tidak memberikan nafkah untuk saya dan anak saya.Saat beberapa waktu pulang ke rumah, suami
selalu marah-marah dan mengatakan sudah bosan dengan saya karena setelah melahirkan menjadi sangat jelek. Suami
saya ingin mencari istri lagi dan menceraikan saya. Hal ini membuat saya dan anak saya harus pulang ke rumah orang
tua saya dan hidup bergantung kepada orang tua saya sedangkan kondisi orang tua saya sangat miskin dan kekurangan.
Akhirnya saya memutuskan untuk menerima tawaran seorang teman untuk menjadi pekerja seks komersial karena itu
adalah pekerjaan termudah karena saya tidak mempunyai bekal ijazah pendidikan yang cukup dan pengetahuan dan
keterampilan yang rendah. Jalan raya sepanjang pantai utara Pulau Jawa mendukung pekerjaan ini karena banyak
kendaraan besar seperti truk penganggkut barang yang setiap hari melewati jalan pantai utara Pulau Jawa untuk
mendistribusikan barang ke dari Jawa Tengah dan Jawa Barat ke Pulau Bali. Para sopir kendaraan besar tersebut sering
singgah di warung selain untuk makan dan minum juga menjajakan kepuasan seks karena mereka jarang pulang ke
rumah dan berhari-hari di perjalanan”. (wawancara dengan 3 wanita yang dinikahkan dini)

Discussion

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksporasi pengambil keputusan untuk menikahkan gadis remaja secara dini serta
dampak pernikahan yang menyertainya. Pada dasarnya tipe pengambilan keputusan ada tiga, yaitu keputusan orang tua
tanpa mengikutsertakan remaja, keputusan remaja tanpa masukan orang tua dan keputusan bersama orang tua dan
remaja.Pengambilan keputusan dipengaruhi oleh faktor karakteristik sosial budaya, keluarga dan kualitas hubungan antara
remaja dan orang tua (Brena et al, 2012). Masyarakat pesisir di Kabupaten Probolinggo, Indonesia mayoritas membuat
keputusan tanpa mengikutsertakan remaja yang menunjukkan tingginya tingkat kontrol orang tua terhadap anak karena
hubungan antara ayah dan ibu terhadap anak perempuan dan laki-laki berbeda.Orang tua lebih protektif terhadap anak
perempuan daripada anak laki-laki karena dianggap lebih rentan dengan bahaya setelah masa pubertas.

Sosial ekonomi menjadi penting untuk diperhitungkan.Orang tua dengan pendidikan yang rendah akan cenderung lebih
cepat menikahkan anak karena menganggap pendidikan tinggi tidaklah penting untuk gadis karena pada akhirnya tetap akan
bekerja mengurus rumah, anak dan suami. Pendidikan orang tua yang rendah menyebabkan mereka tidak memahami
tentang dampak pernikahan dini remaja. Pendidikan yang rendah berkorelasi dengan pekerjaan dan penghasilan orang tua.
Secara otomatis jika pendidikan rendah, maka juga akan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang rendah pula
sehingga berpengaruh kepada sumber daya manusia dan kemiskinan. Orang tua miskin lebih cendrung untuk cepat
menikahkan anak karena sudah tidak mempunyai biaya untuk pendidikan anak (Brena et al, 2012)

Selain sosial ekonomi, budaya dalam pengasuhan anak menjadi penentu pernikahan dini. Budaya dalam pengasuhan anak
gadis berbeda antara suku bangsa dalam sikap dan penghormatan gender terhadap tradisi. Berbeda dengan kebudayaan
negara Barat, dimana para remaja sudah mulai meninggalkan rumah untuk tidak tinggal dengan orang tua, remaja pesisir
pantai di Kabupaten Probolinggo, Indonesia mempunyai tradisi bahwa gadis remaja akan tetap tinggal dengan orang tua
sampai masa menikah tiba, bahkan sebagian besar masih tinggal dengan orang tua setelah menikah. Hubungan anak dan
orang tua yang tinggal bersama dianggap mampu menciptakan komunikasi yang baik sehingga mempengaruhi kemandirian
remaja, kesejahteraan psikologis dan pengambilan keputusan untuk menikah (You and Kuo, 2016). Orang tua mempunyai
harapan dengan tetap tinggal bersama anak mereka sampai usia tua, maka si anak akan dapat merawat orang tua saat mereka
tua dan renta. Inilah yang membuat orang tua dengan mudahnya membuat keputusan untuk kehidupan anak seperti
menikahkan dini karena beranggapan bahwa apa yang menjadi keputusan orang tua pasti akan disetuji oleh anak gadisnya.
Anak gadis harus mematuhi dan hormat pada keputusan orang tua(Brena et al, 2012).

Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa struktur keluarga berperan dalampengambilan keputusan untuk
menikah. Gadis remaja dengan pengasuh tunggal (ayah tunggal atau ibu tunggal) cenderung untuk tidak menikah lebih dini
karena merasa mampu untuk hidup tanpa pasangan. Berbeda dengan pengasuh yang masih lengkap (ayah dan ibu). Hal ini
disebabkan bahwa pengasuh lengkap memiliki ketergantungan yang tinggi pada pasangan dan akan diturunkan kepada
anak-anak mereka (Uecker and Stokes, 2008). Dari hasil penelitian ini dilaporkan bahwa mayoritas anak gadis masih diasuh
oleh kedua orang tua yang lengkap sehingga memiliki tingkat ketrgantungan dan pengambilan keputusan untuk menikah
lebih tinggi.

Hasil penelitian saat ini mengungkapkan bahwa pernikahan dini merupakan hal yang tidak pernah mereka duga
sebelumnya.Para gadis remaja berharap untuk tidak segera dinikahkan karena masih ingin belajar dan bermain dengan
teman sebaya mereka akan tetapi budaya dari keluarga dan otoritas keluarga mengharuskan para gadis remaja untuk segera
menikah. Orang tua atau keluarga dari gadis remaja memaksa menikahkan mereka sesuai keinginan keluarga (Sabba et al,
2013).Fungsi dan peran orang tua dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya orang tua yang bersangkutan
seperti menikah dini. Apa yang diajarkan oleh budaya tentang menikah dini akan diturunkan ke anak secara turun menurun.
Dalam suatu kebudayaan masyarakat pesisir di Indonesia memiliki sudut pandang bahwa anak dengan jenis tertentu akan
menghasilkan kekayaan, yang semakin tereksploitasi dalam sebuah kultur bagi orang tua untuk memutuskan menikahkan
anak dengan perjodohan (Harmaini et al, 2014). Perjodohan dianggap hal yang biasa dan wajar. Saat seroang gadis telah
dijodohkan oleh orang tua dengan pria pilihan orang tua maka gadis tersebut telah resmi menjadi milik pria tersebut
meskipun belum berlangsung pernikahan yang sah (Vogl, Tom, 2013 ).

Mayoritas partisipan dalam penelitian ini adalah masyarakat muslim di pesisir pantai yang masih menganut suatu tradisi dan
patriarki dan tradisi untuk lebih cepat menikah jika dibandingkan dengan agama lain seperti Yahudi atau Khatolik (Uecker
and Stokes, 2008). Tradisi tersebut adalah tradisi hukum keluarga islam, yang termasuk ketentuan ketaatan istri kepada
suami dan ibu mertua sehingga tidak memperbolehkan adanya hak untuk menolak apa yang telah diperintahkan atau
dilakukan suami dan ibu mertua. Tradisi ini membuat gadis remaja yang telah dinikahkan secara dini kurang mampu
berkomunikasi dengan pasangan yang bukan pilihannya sendiri (Hamid et al, 2011). Akibatnya gadis tersebut tidak bisa
melindungi diri sendiri saat terjadi kekerasan dalam rumah tangga karena tidak memiliki kedudukan dan kekuasaan dalam
rumah tangga mereka, sehingga si gadis tidak dapat mengambil keputusan untuk tetap bersama atau bercerai setelah terjadi
kekerasan pada dirinya (Hamid et al, 2011). Ketidakseimbangan usia atau perbedaan usia yang terpaut jauh antara gadis
remaja dan suaminya jelas menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. Suami yang lebih tua dan berpengalaman
menyebabkan suami memiliki total kontrol dalam rumah tangga (Sabbe etal, 2013). Di Indonesia, kekerasan dalam rumah
tangga dianggap wajar oleh sebagian orang. 41% pengantin muda mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan percaya
bahwa suami dapat dibenarkan dalam memukul dan menghina istrinya dengan kata-kata kasar karena berbagai alasan
termasuk ketika istri memberikan argumen yang bertentangan (Badan Pusat Statistik Indoensia, 2012).

Menurut penelian sebelumnya, Pernikahan yang terlalu dini memacu perceraian lebih dini pula (Lundberg et al, 2016).
Gadis remaja yang menikah 30% lebih mungkin untuk bercerai daripada remaja yang menunda untuk menikah. Tingkat
perceraian yang tinggi dikombinasikan dengan upah yang rendah dan jumlah keluarga sehingga meningkatkan kemiskinan
(Dahl, Gordon, 2010). Kemiskinan memaksa gadis remaja untuk bekerja lebih keras dan mencari pekerjaan yang mudah
namun menghasilkan banyak uang, yaitu dengan menjadi pekerja seks komersial. Ini mereka lakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup karena tidak dibekali oleh pengetahuan dan pendidikan yang layak.

Meskipun hasil penelitian ini memberikan banyak informasi tentang pengalaman wanita tentang pengambil keputusan untuk
menikahkan dirinya dan dampak kekerasan dari pernikahan tersebut, kita tetap harus mengakui adanya keterbatasan.
Pertama, kami mungkin gagal menangkap beberapa aspek penting tentang pengambil keputusan untuk menikah dini karena
partisipan pada awalnya enggan untuk bercerita. Kedua, karena partisipasi sifatnya sukarela, maka ada kemungkinan
membuat bias.

Conclusion

Menikahkan anak gadis secara dini tampaknya menjadi hal yang biasa dan wajar di dalam kehidupan masyarakat pesisir,
begitu juga dengan kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya. Temuan kami menggaris bawahi bahwa
kebutuhan mendesak sebenarnya adalah pendidikan kesehatan kepada orang tua tentang bahaya dampak dari pernikahan
dini remaj. Pendidikan kesehatan dapat diberikan oleh tenaga kesehatan yang berkolaborasi dengan lintas sektoral yang ada
di Kabupaten Probolinggo, Indonesia untuk mencegah dan memberantas pernikahan dini remaja.

Conflict of Interests

The authors declare that there is no conflict of interests regarding the publication of this paper.

Acknwoledge

Terima kasih kami sampaikan kepada Promotor dan Co Promotor, semua dosen di Pascasarjana, Publich Health Doctoral
Program, Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia. Bidan desa dan kader kesehatan di Kabupaten Probolinggo dan
semua partisipan yang berpartisipasi dalam penelitian ini.

References

1. Spagnoletti et al. ‘I wanted to enjoy our marriage first… but I got pregnant right away’: a qualitative study of family planning
understandings and decisions of women in urban Yogyakarta, Indonesia. BMC Pregnancy and Childbirth2018;2.
https://doi.org/10.1186/s12884-018-1991-y
2. Mourtada et al. A qualitative study exploring child marriage practices among Syrian conflict-affected populations in Lebanon.
Conflict and Health 2017;1. DOI 10.1186/s13031-017-0131-z
3. Cousijn et al. Adolescent resilience to addiction: a social plasticity hypothesis. Lancet Child Adolesc Health. 2018;1-2.
doi:10.1016/S2352-4642(17)30148-7.
4. McDougal et al. Beyond the statistic: exploring the process of early marriage decision-making using qualitative findings from
Ethiopia and India. BMC Women's Health,2018; 1. https://doi.org/10.1186/s12905-018-0631-z
5. Groot et al. Child marriage and associated outcomes in northern Ghana: a cross-sectional study. BMC Public Health 2018;1-2.
https://doi.org/10.1186/s12889-018-5166-6
6. Yount et al. Child Marriage and Intimate Partner Violence in Rural Bangladesh: A Longitudinal Multilevel Analysis. HHS Public
Access; 2017;2-5. doi:10.1007/s13524-016-0520-8
7. John et al. Child marriage and psychological wellbeing in Niger and Ethiopia. BMC Public Health;2019;1.
https://doi.org/10.1186/s12889-019-7314-z
8. Arab and Sagbakken. Child marriage of female Syrian refugees in Jordan and Lebanon: a literature Review. Global Health
Action;2019;2. https://doi.org/10.1080/16549716.2019.1585709
9. Adedokun et al. Child marriage and maternal health risks among young mothers in Gombi, Adamawa State, Nigeria: implications for
mortality, entitlements and freedoms. African Health Sciences;2016;1-2
10. Kamal, mustafa. Decline in Child Marriage and Changes in Its Effect on Reproductive Outcomes in Bangladesh. J
Health Popul Nutr;2012;1
11. Montazeri et al. Determinants of Early Marriage from Married Girls’ Perspectives in Iranian Setting: A Qualitative Study. Journal of
Environmental and Public Health;2016; 1. http://dx.doi.org/10.1155/2016/8615929
12. Bezie and Addisu. Determinants of early marriage among married women in Injibara town, north West Ethiopia:
community-based crosssectional Study. BMC Women's Health ;2019;2. https://doi.org/10.1186/s12905-019-0832-0
13. Harmaini et al. Peran Ayah Dalam Mendidik Anak. Jurnal Psikologi;2014;80-82
14. Muna dan Sakdiyah. Pengaruh Peran Ayah (Fathering) Terhadap Determinasi Diri (Self Determination) Remaja.Jurnal
Psikologi.2016;1-2
15. McDougal et al. (2018). Beyond the statistic: exploring the process of early marriage decision-making using qualitative
findings from Ethiopia and India. BMC Women's Health. https://doi.org/10.1186/s12905-018-0631-z
16. Sandoy et al. (2017). Effectiveness of a girls’ empowerment programme on early childbearing, marriage and school
dropout among adolescent girls in rural Zambia: study protocol for a cluster randomized trial. Trials .DOI
10.1186/s13063-016-1682-9
17. Rumble et al. (2018). An empirical exploration of female child marriage determinants in Indonesia. BMC Public
Health. https://doi.org/10.1186/s12889-018-5313-0
18. Stark, L. (2017). Early marriage and cultural constructions of adulthood in two slums in Dar es Salaam. Culture, Health
& Sexuality. http://dx.doi.org/10.1080/13691058.2017.1390162
19. Sabbe et al. Determinants of child and forced marriage in Morocco: stakeholder perspectives on health, policies and
human rights. BMC International Health and Human Rights ;2013;2. http://www.biomedcentral.com/1472-
698X/13/43
20. Uecker and Stokes. Early Marriage in the United States.J Marriage Fam;2008;3-4. doi:10.1111/j.1741-
3737.2008.00530.x.
21. Dahl,Gordon.Early Teen Marriage And Future Poverty. Demography; 2010;689-690
22. Brena et al. Father and Mother Adolescent Decision Making in Mexican Origin Families.J Youth Adolesc;2012;2.
doi:10.1007/s10964-011-9660-8
23. You and Kuo. Explaining the Effect of Parent-Child Coresidence on Marriage Formation: The Case of Japan.
Demography;2016;1-2. doi:10.1007/s13524-016-0494-6
24. Lundberg et al. Family Inequality: Diverging Patterns in Marriage, Cohabitation,and Childbearing. J Econ
Perspect;2016;1-2. doi:10.1257/jep.30.2.79.
25. Hamid et al. Marriage decision making, spousal communication, and reproductive health among married youth in
Pakistan. Global Health Action ,2011;1-3
26. Vogl, Tom. Marriage Institutions And Sibling Competition:Evidence From South Asia. The Quarterly Journal of
Economics ;2013;1017. doi:10.1093/qje/qjt011
27. Kohno et al. In-depth examination of issues surrounding the reasons for child marriage in Kelantan, Malaysia: a
qualitative study.BMJ Open;2019;2.doi:10.1136/bmjopen-2018-027377
28. Ni’mah, Mamluatun. Implementasi Kebijakan Kabupaten Layak Anak Di Kabupaten Probolinggo. Realita ;2020; 5-9
29. Badan Pusat Statistik Indonesia. Kemajuan Yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak Di Indonesia
Jakarta:2012;7-13
30. Pesando et al. Household Determinants of Teen Marriage: Sister Effects Across Four Low- and Middle-Income
Countries. Journal od Household Determinants of Teen Marriage. 2018
31. Ratno. Upaya Tokoh Masyarakat Dalam Menanggulagi Perkawinan Pada Usia Dini (Studi Kasus Kecamatan Kawalu
Tasikmalaya). Journal of Islamic Studies. 2018
32. Rumekti. Peran Pemerintah Daerah (Desa) Dalam Menangani Maraknya Fenomena Pernikahan Dini Di Desa
Plosokerep Kabupaten Indramayu. Junral Pendidikan Sosiologi. 2016
33. Fatawa. Peran Kantor Urusan Agama (KUA) Dalam Meminimalisir Pernikahan Dini ( Studi Kasus Di KUA Kecamatan
Manggren Kabupaten Demak). Tesis. 2018

Anda mungkin juga menyukai