ABSTRACT
The development of legal agreement causes many people to be connected with other
people in a certain contract. In a contract, there is a force majeure which is useful for
proving whether there is a force majeure or not in the contract. Therefore, the coverage of
force majeure is very wide so that the attachment of force majeure in a contract is very
useful to prevent the parties concerned from any dispute. In the mutual agreement, the
Wedding Organizer explains the definition of compensation when there is a default and
failure in a contract done by one of the parties, and how about the provision of
compensation when there is a force majeure. The research used judicial normative method.
The data were gathered by conducting library research and field research with descriptive
analysis approach and analyzed by using qualitative analysis. The mutual agreement used
by the Wedding Organizer was unilateral agreement, based on standard agreement.
I. Pendahuluan
Dengan perkembangan di sektor ekonomi yang sangat pesat, hukum perjanjian juga
turut berkembang pesat, di mana masyarakat semakin banyak yang mengikatkan dirinya
dalam suatu perjanjian dengan masyarakat lainnya, yang kemudian menimbulkan berbagai
perjanjian, termasuk salah satunya adalah perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh
wedding organizer.
Wedding Organizer adalah salah satu jenis usaha yang sangat dekat dan erat
kaitannya dengan konsumen. Sering kali dikatakan demikian karena sebuah Wedding
Organizer harus mampu menghadirkan setiap keinginan dan impian calon pasangan
pengantin pada pesta pernikahan, meskipun harus tetap dalam perjanjian (kontrak) yang
sudah disepakati bersama. Wedding organizer juga harus bisa memberikan pelayanan dan
rasa aman serta nyaman terhadap calon pasangan pengantin yang sering kali merasa sangat
tertekan, frustasi, dan gelisah dalam menghadapi hari besar disepanjang hidupnya.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain
atau dimana orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa itu
Siti Ayu Revani |2
timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian
itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dari perikatan yang
terjadi itu, maka akan menimbulkan adanya suatu hak dan kewajiban yang mengikat dan
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana termasuk
dalam Kitab Undang-undangHukum Perdata Pasal 1338 :
³6HPXD SHUMDQMLDQ \DQJ GLEXDW VHFDUD VDK EHUODNX VHbagai undang- undang bagi
mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan- alasan yang oleh undang- undang
dinyatakan cukup untuk itu, dan perjanjian harus dilaksanakan dengan iNWLNDG EDLN´ 1
1
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, +XNXP 3HULNDWDQ³ 3HQMHODVDQ 0DNQD 3DVDO 6DPSDL %:,
(Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hal 78
Siti Ayu Revani |3
Sesuai dengan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini ialah :
1. Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari pembatalan kerjasama CV.
Bintang Mandiri In7 Wedding Organizer & Decoration dengan pengguna jasa apabila
Siti Ayu Revani |4
terjadi wanprestasi yang dikarenakan oleh salah satu pihak baik, dari pihak wedding
organizer maupun pihak pengguna jasa
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pentingnya pencantuman klausula force Majeure
dalam suatu Perjanjian Kerjasama yang dilakukan oleh CV. Bintang Mandiri In7
Wedding Organizer & Decoration dengan pengguna jasa
3. Untuk mengetahui ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian oleh
CV. Bintang Mandiri In7 Wedding Organizer & Decoration dengan pengguna jasa
dalam hal ini disebut konsumen.
2
Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010 ), hal 34
Siti Ayu Revani |5
Pemikiran dan gagasan serta di konsepsi tersebut dapat diperoleh melalui peraturan
perundang- undangan yang berlaku, literatur dari para pakar yang relevan dengan objek
penelitian dalam hal ini pihak wedding organizer, yang termuat dalam data ataupun
dalam bentuk dokumen dan putusan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian
ini.
2. Studi Lapangan (Field research) yaitu untuk melakukan wawancara dengan pihak
wedding organizer yang dalam hal ini sebagai informan, untuk memperoleh data
primer, dilakukan wawancara dengan mempergunakan pedoman wawancara dan daftar
pertanyaan yang disusun secara kombinasi antara bentuk tertutup dan bentuk terbuka.
Supaya wawancara yang dilakukan lebih terarah dan sistematis, maka wawancara
dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara.3
3
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005), hal
27.
Siti Ayu Revani |6
Wedding organizer adalah suatu jasa khusus yang secara pribadi membantu calon
pengantin dan keluarga dalam perencanaan dan supervisi pelaksanaan rangkaian
pernikahan sesuai jadwal yang ditetapkan.4 Wedding organizer sebagai pelaku usaha sering
mendapati pasang surut, sehingga tidak jarang juga melakukan tindakan yang terkadang
dapat merugikan pengguna jasa begitu juga sebaliknya, dalam keadaan yang sulit itu maka
perlu mengadakan tindakan perikatan yang dalam hal ini disebut perjanjian.5
Dengan tujuan demi melindungi kepentingan masing-masing pihak, maka perlu
adanya suatu kesepakatan yang bertujuan mengatur interaksi tersebut dengan segala akibat
hukum yang akan ditimbulkan oleh perjanjian tersebut, karena mungkin saja masalah
belumlah timbul dalam waktu dekat, akan tetapi masalah akan timbul seiring berjalannya
perjanjian di masa yang akan datang.
Apabila terjadi permasalahan dalam pelaksanaannya perjanjian tersebut, dapat dengan
seksama melindungi semua pihak yang terkait didalam perjanjian tersebut. Dengan
demikian perjanjian kerjasama yang dilakukan wedding organizer dengan pengguna jasa
dalam hal ini konsumen dapat memberikan batasan-batasan hukum yang harus dipenuhi
oleh masing-masing pihak.
Dalam membuat suatu perjanjian banyak cara atau jenis yang diperlukan dalam
masyarakat, baik hal itu telah diatur dalam undang-undang maupun hanya berupa kebiasaan
yang dilakukan sehari-hari.6
Dengan demikian tujuan perjanjian adalah untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap pihak-pihak yang melakukan perjanjian sehingga ketentuan yang diatur didalam
sebuah kontrak dapat terlaksana dengan baik dan mempunyai batasan-batasan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang terlibat didalam perjanjian suatu kontrak tersebut.
Perjanjian yang sah artinya, perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan
oleh undang-undang sehingga perjanjian tersebut diakui oleh hukum. Oleh karena tidak
semua perjanjian yang dibuat oleh setiap orang sah dalam pandangan hukum
4
http://tradisiperkawinan0.tripod.com/, diakses pada tanggal 23 November 2012
5
Ahmadi Miru dan Pati Sakka, +XNXP 3HULNDWDQ ³ 3HQMHODVDQ 0DNQD 3DVDO 6DPSDL %:
³,( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hal 36.
6
R. Subekti, Aneka Perjanjian, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal 52.
Siti Ayu Revani |7
Didalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah
prestasi (pokok perjanjian). Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus memenuhi syarat
yang dinamakan sebab atau yang diperbolehkan. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata
pengertian sebab di sini ialah tujuan dari pada perjanjian, apa yang menjadi isi, kehendak
dibuatnya suatu perjanjian.7
Dengan demikian apabila dalam membuat perjanjian tidak terdapat suatu sebab yang
halal, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu perjanjian
tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang dan jelas apa yang diperjanjikan.8
Dalam pembahasan mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian telah disebutkan
sebelumnya dikatakan bahwa apabila suatu syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian
batal demi hukum, sedangkan tentang syarat subyektif, perjanjian baru dapat dibatalkan
apabila diminta kepada hakim. Menurut KUHPerdata pengertian pembatalan perjanjian
digambarkan dalam dua bentuk yaitu :9
1. Pembatalan Mutlak (absolute nietigheid)
Pembatalan mutlak (absolute nietigheid) yang dimaksud adalah suatu perjanjian harus
dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh salah satu pihak, dimana perjanjian seperti
ini dianggap tidak pernah ada sejak semula terhadap siapapun juga. Misalnya, terhadap
suatu perjanjian yang akan diadakan tidak mengindahkan cara yang dikehendaki oleh
Undang- Undang secara mutlak.
Suatu perjanjian adalah batal mutlak apabila kausa bertentangan dengan kesusilaan
(geode zeden), bertentangan dengan ketertiban umum (openvare orde), ataupun dengan
Undang-Undang. Misalnya, penghibahan benda tidak bergerak harus dengan akte
notaries, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis, konsekuensinya adalah
terhadap perjanjian-perjanjian tersebut batal demi hukum.10
2. Pembatalan Relatif (relatif nietigheid)
7
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Kencana, Jakarta, 2004, hal 18
8
Gunawan Widjaya, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, ( Jakarta : PT.Raja
Grafindo Persada, 2006 ), hal 263
9
R. Subekti, Hukum Perjanjian, ( Jakarta : Pembimbing Masa, 1980 ), hal 36
10
Hartono Hadisoeprapto, Pokok- Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan, Yogyakarta:
Liberty, 1984, hal 35.
Siti Ayu Revani |8
Pembatalan relatif (relatif nietigheid) adalah suatu perjanjian yang tidak batal dengan
sendirinya, tetapi perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada hakim oleh
pihak- pihak yang merasa dirugikan.
Pembatalan relatif ini dapat dibagi menjadi dua macam pembatalan, yaitu :
a. Pembatalan atas kekuatan sendiri, maka kapan hakim diminta supaya menyatakan
batal (nieting verklaard) misalnya dalam perjanjian yang diadakan oleh seorang
yang belum dewasa atau dibawah umur, pengampuan atau yang berada dibawah
pengawasan curatele.
b. Pembatalan belaka oleh hakim yDQJ SXWXVDQQ\D KDUXV EHUEXQ\L µPHPEDWDONDQ¶
misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara paksaan, kekeliruan ataupun
penipuan.11
Perjanjian batal demi hukum terjadi akibat tidak memenuhi syarat obyektif dari
sebuah kontrak atau perjanjian. Tiap-tiap pihak yang berjanji untuk memenuhi prestasi
kepada pihak lainnya harus pula memperoleh prestasi yang dijanjikan oleh pihak lainnya
prestasi dapat dirumuskan secara luas sebagai sesuatu yang diberikan, dan dapat
diperjanjikan, atau dilakukan secara timbal balik.
Pada Pasal 1266 KUHPerdata secara khusus memberikan pengaturan tentang syarat
batal dalam perjanjian timbal balik. Undang-undanJ WHUVHEXW PHQHQWXNDQ EDKZD ³syarat
yang membatalkan perjanjian timbal balik adalah kalau salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya´. Ketentuan undang-undang ini, terutama Pasal 1266 KUHPerdata adalah
merupakan suatu yang menarik perhatian, karena pihak-pihak yang berjanji itu harus terikat
secara sah. Terikat secara sah adalah menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah
pihak.
Dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa, suatu pihak menghendaki dilakukannya
suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu tujuan. Undang- undang membagi perjanjian untuk
melakukan pekerjaan dalam berbagai macam, yaitu : 12
1. Perjanjian untuk melakukan jasa- jasa
2. Perjanjian kerja
11
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Perjanjian, Yogyakarta : Gadjah Mada, 1980, hal 26
12
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hal 57
Siti Ayu Revani |9
13
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008
), hal 75
Siti Ayu Revani |10
d. Para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa
tersebut;
e. Menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak;
f. Terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat, terhalang, atau tidak
dilaksanakannya prestasi para pihak;
g. Kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian.
Dan dalam membuktikan hal-hal diatas di hadapan pengadilan, merupakan
kewajiban dari pihak yang mengajukan pembelaan bahwa telah terjadi force majeure.
3. Didalam suatu perjanjian konsekuensi yang didapat apabila terjadi wanprestasi atau
pembatalan secara sepihak adalah ganti rugi. Perjanjian kerjasama yang dilakukan
wedding organizer dengan pengguna jasa adalah ganti rugi dalam bentuk out of pocket.
Ganti rugi dalam bentuk out of pocket seluruh biaya yang telah dikeluarkan salah satu
pihak dalam rangka melaksanakan kontrak harus diganti oleh pihak yang melakukan
wanprestasi. Maka ketentuan biaya ganti rugi yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak
yang melakukan wanprestasi dalam perjanjian kerjasama CV. Bintang Mandiri In7
Wedding Organizer dengan pengguna sebesar 50 % ( lima puluh persen ) dari kegiatan
yang telah disepakati bersama bagi pihak yang melakukan wanprestasi. Apabila terjadi
force majeure dalam pelaksanaan perjanjian ini yang diakibatkan oleh keadaan memaksa
yang terdapat dalam Pasal 5 yang diatur dalam kontrak antara CV. Bintang Mandiri In7
Wedding Organizer & Decoration kewajiban pihak pengguna jasa untuk
menyelesaikannya. Apabila terjadi ketidaksepahaman pada pelaksanaan perjanjian
mengenai ruang lingkup klausula force majeure dalam suatu force majeure atau bukan
mengenai contoh kasus diatas yang menyebutkan bahwa banjir memang termasuk dalam
ruang lingkup force majeure karena keadaan alam akan tetapi unsur dari force majeure
itu tidak terpenuhi dimana banjir dalam perkara ini adalah hal yang dapat diduga karena
curah hujan yang sangat besar selalu terjadi dalam musim hujan dan bulan- bulan
tertentu, oleh karena itu seharusnya wedding organizer dapat melakukan upaya
sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa tersebut misalnya dengan menyediakan
tempat dan tenda-tenda khusus yang sudah dirancang sedemikian rupa guna memberikan
Siti Ayu Revani |12
kelancaran acara apabila terjadi curah hujan yang berlebihan yang mengakibatkan pesta
taman tersebut terganggu pelaksanaannya.
B. Saran
1. Putusnya hubungan antara calon pasangan pengantin tersebut selain mendapatkan
penetapan ganti rugi sesuai dengan perjanjian kerjasama pada pasal 4 yaitu sebanyak 50
% ( lima puluh persen ) dari biaya kegiatan yang telah disepakati apabila salah satu
pihak melakukan pembatalan yang disebabkan oleh wanprestasi, sebaiknya dapat juga
dilihat dari segi teori konvensional karena jika dihubungkan dengan analisis ini layak
tidaknya suatu penetapan ganti rugi dalam suatu kontrak haruslah dilihat pada saat
kontrak itu dibuat. Oleh sebab itu sebaiknya sebelum kontrak ditandatangani sebaiknya
kedua belah pihak secara rinci melihat apakah ketentuan yang dibuat tidak merugikan
pihak yang menjalani perjanjian tersebut. Sementara jika dilihat dari teori modern
besarnya ganti rugi yang disebut dalam suatu kontrak dianggap layak jika dilihat pada
waktu dibuat atau ditandatanganinya suatu kontrak. Karena jika kerugian lebih kecil dari
yang diperkirakan sedangkan jumlah ganti rugi dalam kontrak layak dan lebih besar
maka kontrak dapat terus dilaksanakan. Kedua teori itu dapat dijadikan acuan mengenai
penetapan ganti rugi agar terjadi keadilan dalam menjalankan ganti rugi dalam suatu
perjanjian.
2. Apabila terjadi pembatalan yang dikarenakan oleh keadaan memaksa atau force majeure
diharapkan terdapat keputusan yang adil bagi kedua belah pihak, dalam kasus force
majeure menyangkut orang tua yang meninggal dunia yang menyebabkan pihak
pengguna jasa harus secara terpaksa membatalkan perjanjian sebaiknya dapat
diselesaikan dengan cara bermusyawarah walaupun pada isi perjanjian tersebut tidak
terdapat aturan dan batasan yang diberikan bagi pengguna jasa akan tetapi demi rasa
kemanusiaan pihak wedding organizer seharusnya dapat memaklumin dan
bermusyawarah dengan pihak pengguna jasa dan memberi kelonggaran pada pengguna
jasa dalam memenuhi prestasinya. Pencantuman klausula force majeure yang terdapat
dalam perjanjian kerjasama sebaiknya memberikan keadilan kepada kedua belah pihak
dalam membuatnya bukan saja melindungi pihak wedding organizer namun sebaiknya
juga dapat memasukkan poin- poin klausula perjanjian khususnya mengenai force
Siti Ayu Revani |13
majeure untuk pengguna jasa sehingga terdapat suatu keadilan dalam menilai batasan-
batasan yang juga dapat melindungi pengguna jasa seandainya force majeure didapati
oleh pihak pengguna jasa, sehingga timbul rasa adil bagi kedua belah pihak bukan hanya
pada satu pihak saja.
3. Ketika para pihak merumuskan klausula force majeure dalam perjanjian selain
merumuskan tentang ruang lingkup dari force majeure dalam perjanjian tersebut, juga
perlu ditekankan bahwa force majeure itu terjadi di luar kendali yang layak dan tanpa
kesalahan atau kealpaan dari pihak-pihak yang ada sehingga dimengerti oleh para pihak
bahwa kejadian-kejadian seperti banjir, kebakaran dan sebagainya tidak langsung
menjadikan peristiwa tersebut sebagai force majeure.
Siti Ayu Revani |14
V. DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Fajar Mukti, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010.
Hartono Hadisoeprapto, Pokok- Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan, Liberty,
Yogyakarta 1984.
Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
Miru Ahmadi dan Pati Sakka, +XNXP 3HULNDWDQ ³ 3HQMHODVDQ 0DNQD 3DVDO 6DPSDL
%: ³,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.
_________, Hukum Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.
Subekti R., Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Sofwan Masjchun Sri Soedewi, Hukum Perjanjian, Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980.
Internet :