Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena
pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana
menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga
anak/peserta didik memiliki kesadaran, dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan
komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespons situasi
secara bermoral, yang ditunjukkan dalam tindakan nyata melalui perilaku jujur, baik,
bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia lainnya. Dalam
konteks pemikiran Islam, karakter berkaitan dengan iman dan ikhsan. Hal ini sejalan dengan
ungkapan Aristoteles, bahwa karakter erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang
terus-menerus dipraktikkan dan diamalkan.
Wynne (1991) mengemukakan bahwa karakter berasal dari bahasa Yunani yang
berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai
kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari. Oleh sebab itu, seorang yang
berperilaku tidak jujur, curang, kejam, dan rakus dikatakan sebagai orang yang memiliki
karakter jelek, sedangkan yang berperilaku baik, jujur, dan suka menolong dikatakan sebagai
orang yang memiliki karakter baik atau mulia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian pendidikan karakter ?
2. Bagaimana landasan pendidikan karakter ?
3. Bagaimana ciri dasar pendidikan karakter ?
4. Bagaimana pendekatan pendidikan karakter ?
5. Bagaimana model pembelajaran berkarakter ?
6. Bagaimana strategi pendidikan karakter ?
7. Bagaimana implementasi pendidikan karakter ?
8. Bagaimana peran penting pendidikan karakter bagi pembangunan bangsa ?
9. Bagaimana kaitan pendidikan karakter dengan PPKn ?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian pendidikan karakter.
2. Memahami landasan pendidikan karakter.
3. Memahami ciri dasar pendidikan karakter.
4. Memahami pendekatan pendidikan karakter.
5. Memahami model pembelajaran berkarakter.
6. Memahami strategi pendidikan karakter.
7. Memahami implementasi pendidikan karakter.
8. Memahami peran penting pendidikan karakter bagi pembangunan bangsa.
9. Memahami kaitan pendidikan karakter dengan PPKn.

D. Manfaat Penulisan
1. Dapat mengetahui pengertian serta definisi dari pendidikan karakter.
2. Dapat mengetahui landasan serta ciri – ciri dasar dari pendidikan karakter.
3. Dapat mengetahui pendekatan pendidikan karakter.
4. Dapat mengetahui model pembelajaran dan strategi pendidikan karakter.
5. Dapat mengetahui implementasi atau perwujudan pendidikan karakter.
6. Dapat mengetahui peran penting pendidikan karakter bagi pembangunan bangsa.
7. Dapat mengetahui kaitan pendidikan karakter dengan PPKn.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Definisi Karakter dan Pendidikan Karakter


Karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk
hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Karakter dapat dianggap sebagai nilai- ilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri, sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma- norma
agama, hukum, tata karma , budaya , adat istiadat, dan estetika. Karakter dalah perilaku yang
tampak dalam kehidupan sehari –hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak. Warsono
dkk. (2010) mengutip Jack Corley dan Thomas Philip (2000) menyatakan : “ Karakter
merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan
moral.”
Menurut KBBI (2009) Karakter merupakan sifat- sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan sesorang denan yang lain. Sementara Scerenko (1997)
mendefinikan karakter sebagai artibrut atau ciri- ciri yang membentuk dan membedakan cir-
pribadi , ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorag, suatu kelompok atau bangsa.
Dengan demikian karakter adalah nilai- nilai yang unuk – baik yang terpati dalam diri dan
terejawantahkan dalam perilaku (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010)
Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nilai dasar perilaku
yang menjadai acuan tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal karakter dirumuskan
sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect),
kerja sama (cooperation), kebebasan ( freedom), kebahagiaan ( happiness), kejujuran
(honesty), kerendahan hati (humility), kasing sayang (love), tanggung jawab (responsibility),
kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan persatuan (unity).Karakter dapat
dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena
pengaruh hereditas (keturunan) maupun pengaruh lingkungan, yang membedakan dengan
orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari – hari.
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas,
benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu
memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin
dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan. Pendidikan Karakter adalah upaya sadar dan
sungguh – sungguh dari seseorang guru untuk mengajarkan nilai –nilai kepada siswanya

3
(Winton,2010). Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang
mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan pengembangan etik para
siswa. Pendidikan Karakter juga dapat didefinikan sebagai pendidikan yang mengembangkan
karakter yang mulia (good character) dari peserta didik dengan mempraktikan dan
mengajarkan nilai- nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan
dengan sesama manusia maupun dalam hubungannya denga Tuhannya. Kemudian definisi
tersebut dikembngkan oleh Departemeb Pendidikan Amerika Serikat “Pendidikan karakter
mengajarkan kebiasaan berpikir dan kebiasaan berbuat yang dapat membantu orang – orang
hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, sahabta, tetangga, masyarakat, dan bangsa.”
Jadi, pedidikan karakter adalah proses pemberian tuntuna kepada peserta didik untuk
menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan
karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai ssebagi pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan watak, pendidikan moral, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta
didik untuk memberikan keputusan baik – buruk, memelihara apa yang baik, dan
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari – hari dengan sepenuh hati. Pendidikan
karakter dapat pula dimaknai sebagai upaya yang terencara untuk menjadikan peserta didik
mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai- nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagi
insan kamil.
Makna pendidikan sebagi suatu sistem penanaman nilai – nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai- nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Penanaman nilai
kepada warga sekolah maknanya bahwa pendidikan karakter baru akan efektif jika tidak
hanya siswa, tetapi juga para guru, kepala sekolah dan tenaga non-pendidik di sekolah semua
harus terlibat dalam pendidikan karakter.

B. Landasan Pendidikan Karakter


Dalam pengertisn yang lebih luas pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti dan pendidikan watak yang
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter
memiliki empat prinsip (Koesoema,2006) yaitu: 1) keteraturan setiap tindakan dan diukur
berdasarkan hierarki nilai. 2) koherensi yang memberikam keberanian, membuat seseorang
teguh pada prinsip. 3) otonomi. 4) keteguhandan kesetiaan. Mengapa perlu melakukan

4
pendidikan karakter? Sekurang-kurangnya memiliki empat alasan utama, yakni historis,
yuridis, sosiologis, dan pedagogis.
1. Historis
Alasan historis perlunya pendidikan karakter terkait dengan perjalanan saejarah
bangsa sejak perlawanan yang bersifat kedaerahan, kebangkitan nasional, revolusi fisik
merebut kemerdekaan, hingga memepertahankan kemerdekaan. Pada setiap perlawanan
tersebut terdapat etos perjuangan yang patut di teladanin seperti jiwa sepi ing pamrih rame
ing gawe. Mentalitas tersebut dimanifestasikan oleh perjuangan tanpa pamrih, tidak
mengharapkan imbalan jasa, yang penting Indonesia bebas dari penjajah yang telah
menghisap darah Ibu Pertiwi. Kuntul baris, rawe-rawe rantas malang-malang putung adalah
mentalitas bekerja sama yang kokoh antara rakyat dengan pimpinan sehingga daya juang
pada waktu itu sangat dasyat. Oleh karena itu etos perjuangan tersebut harus di ajarkan
kepada generasi muda sekarang melalui pendidikan karakter ini.
2. Yuridis
Alasan yuridis adalah alasan berdasarkan undang-undang . Misalnya menurut pasal 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di tegaskan bahwa Pendidikan Nasional
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, berfungsi untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan deskripsi tersebut
pendidikan karakter sangat perlu untuk mewujudkannya,agar sesuai UU No 20 tahun 2003.
3. Sosiologis
Alasan sosiologis adalah alasan yang timbul dari adanya kenyataan di masyarakat
seperti merebaknya berbagai perilaku buruk yang sangat jauh dari kehidupan berkarakter
yang melanda Indonesia. Kondisi demikian mendorong pemerintah untuk melakukan
penguatan kembali proses pendidikan hingga menyentuh aspek pengembangn karakter,
utamanya di persekolahan dan perguruan tinggi.
4. Pedagogis  
Alasan pedagogis adalah alasan perlunya pendidikan karakter dilakukan untuk
mendidik warganegara. Secara psikopedagogis anak adalah seorang warga negara hipotetik.
Artinya warganegara yang belum jadi yang harus dididik menjadi seseorang yang sadar akan
kewajiban dan hak-haknya sebagai insane tuhan, insane sosial dan politik. Dengan demikian
hidup berkarakter itu tidak lahir dengan sendirinya, melainkan harus dibina melalui proses

5
pendidikan. Dengan demikianlah pendidikan karakter itu diperlukan untuk membina peserta
didik agar hidup berkarakter sesuai dengan nilai-nilai dan norma sesuai dengan fitrah
manusia. Ada tiga tujuan pendidikan karakter yakni pribadi yang berkarakter, sekolahatau
kampus yang berkarakter dan masyarakat yang berkarakter (Lickona,2004)
Konteks makro bersifat nasional yang mencakup keseluruhan konteks perencanaan
dan implementasi mengembangkan karakter yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan
pendidikan nasional. Secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap,
yakni perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil. pada tahap perencanaan dikembangkan
perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan
berbagai sumber antara lain pertimbangan: 1) filosofis - agama, pancasila, UUD 1945 dan
UU No 20 tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunanya. 2) pertimbangan
teoritis - teori tentang otak, psikologis, pendidikan, nilai dan moral dan sosial-kultural. 3)
pertimbangn empiris berupa pengalaman dan praktek terbaik (best practices) dari antara lain
tokoh-tokoh satuan pendidikan unggulan, pesantren dan sebagainya.
Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar (learning experiences)
dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu
peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan
sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional.
Proses ini berlangsung dalam tida pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan, keluarga,
dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan aka nada dua jenis pengalaman
belajar (learning experiences) yang di bagi dalam dua pendekatan yaitu intervensi dan
habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang
sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakterdengan menerapkan kegiatan
yang berstruktur.
Agar dalam proses pembelajaran tersebut berhasil guru sebagai sosok anutan yang
sangat penting dan menentukan. Sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi
yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikaanya, irumahnya, di dalam
masyarakatnya membiasakan diri berprilaku sesuai nilai. Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan
asesmen program untuk perbaikan berkelanjutan yang disengaja dirancang dan dilaksanakan
untuk menditeksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai indikator bahwa proses
pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik.

C.  Ciri Dasar Pendidikan Karakter

6
Menurut Foerster, seorang pencetus pendidikan dan pedadog Jerman, menyatakan
bahwa ada empat ciri dasar pendidikan karakter, yakni sebagai berikut:
1.  Keteraturan Interior, di mana setiap tindakan diukur dengan hierarki nilai. Nilai menjadi
pedoman normative setiap tindakan.
2.  Koherensi, yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak
mungkin terombang-ambing pada situasi baru aau takut resiko. Koherensi adalah dasar yang
membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi akan meruntuhkan
krediilitas seseorang.
3. Otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai bagi
pribadi, lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh pihak lain.
4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini
apa yang dipandang baik. Sedangkan kesetiaan adalah dasar bagi penghormatan atas
komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, memungkinkan manusia melewati tahap
individualitas menuju personalitas. Karakter inilah yang menetukan performa pribadi dalam
setiap tindakannya.

D. Pendekatan Pendidikan Karakter


·    1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang
memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut pendekatan
ini, tujuan pendidikan nilai adalah diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa dan
berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan
(Superka, et al.1976). Menurut pendekatan ini, metode yang digunakan dalam proses
pembelajaran antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan
peranan, dan lain-lain.
Pendekatan ini merupakan pendekatan tradisional. Dipandang indoktrinatif, tidak
sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976).
Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.
Dalam perkembangannya, pendekatan ini tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun, disadari atau tidak
pendidikan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyatakay, terutama dalam
penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya.
·    2. Pendekatan Perkembangan Kognitif

7
Karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan
perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-
masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Menurut pendekatan ini,
perkembangan moral dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat
pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih
tinggi (Elias, 1989).
Tujuan utama pendekatan ini yaitu sebagai berikut
a. Membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan
kepada nilai yang lebih tinggi.
b. Mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan
posisinya dalam suatu masalah moral.
Menurut pendekatan ini, proses pengajaran nilai didasarkan pada dilema moral,
dengan metode diskusi kelompok. Diskusi dilaksanakan dengan memberi perhatian pada tiga
kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih
tinggi. Kedua, adanya dilema, baik dilema hipotekal maupun faktual berhubungan dengan
nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya
diskusi dengan baik (Superka, et. Al. 1976; Banks, 1985).
Pada dasarnya, pendekatan ini mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah
karena memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Selain itu,
karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian
masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarkat, pendekatan
ini menjadi menarik. Dalam praktiknya, teori ini menghidupkan suatu kelas. Kelemahan
pendekatan kognitif, menampilkan bias budaya Barat. Dalam proses pengajaran, pendekatan
ini juga tidak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu perbuatan. Yang dipentingkan
adalah alasan yang dikemukakan atau pertimbangan moralnya.
·     3. Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan Analisis Nilai memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan
siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan
nilai-nilai sosial. Tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini , yaitu pertama
membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam
menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua,
membantu siswa untuk mengggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam
menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya,
metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah pembelajaran secara individu atau

8
kelompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan
kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran
rasional.
Menurut pendekatan ini, ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu
diperhatikan dalam proses pendidikan karakter, yaitu (1) mengidentifikasi dan menjelaskan
nilai yang terkait. (2) mengumpulkan fakta yang berhubungan. (3) Menguji kebenaran fakta
yang bekaitan. (4) Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan. (5) merumuskan
keputusan moral sementara. (6) Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan
keputusan.
Kekuatan pendekatan ini, antara lain, mudah diaplikasikan dalam ruang kelas karena
penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif. Pendekatan ini juga menawarkan
langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral.
Kelemahannya, pendekatan ini hanya berdasarkan kepada prosedur analisis nilai yang
ditawarkan serta tujuan dan metoda pengajaran yang digunakan. Pendekatan ini sangat
menekankan aspek kognitif, dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif dan perilaku.
Pendekatan ini sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai.
·      Pendekatan analisis nilai memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam
mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang
nilai-nilai mereka sendiri. Menurut pendekatan ini, tujuan pendekatan karakter ada tiga,
pertama, membantu siswa agar menyadari dan mengidentifikasikan nilai-nilai mereka sendiri
serta nilai-nilai orang lain. Kedua, membantu siswa agar mampu berkomunikasi secara
terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. Ketiga,
membantu siswa agar mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir
rasional dan kesadaran emosional, mampu memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah
laku mereka sendiri. Dalam proses pengajarank berdasarkan kepada nilainya sendirinya,
pendekatan ini menggunakan metode dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau
kecil, dan lain-lain. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya
dimiliki oleh seseorang. Guru bukan sebagai pengajar nilai, melainkan sebagai role model
dan pendorong. Peranan guru adalah mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang
relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
Kekuatan pendekatan ini terutama memberikan penghargaan yang tinggi kepada siswa
sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai, dan bertindak
berdasarkan kepada nilainya sendiri (Banks, 1985). Metode pengajarannya juga sangat

9
fleksibel, selama dipandang sesuai dengan rumusan proses menilai dan empat garis panduan
yang ditentukan.
·    4. Pendekatan pembelajaran berbuat
Menekankan pada usaha memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan
perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam
suatu kelompok. Tujuan utama pendidikan moral berdasarkan pendekatan ini, pertama,
memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara
perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan niali-nilai mereka sendiri. Kedua,
mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan
sebagai warga dari suatu masyarakat yang harus mengambil bagian dalam suatu proses
demokrasi.
Metode pendekatan ini menggunakan projek-projek tertentu untuk dilakukan di
sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau
berhubungan antara sesama. Kekuatan pendekatan ini pada program-program yang
disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam
kehidupan demokrasi. Kelemahan pendekatan ini sulit dipraktikkan. Sebagian dari program-
program yang dikembangkan dapat digunakan, namun secara keseluruhan sukar
dilaksanakan.

E. Model Pembelajaran Berkarakter


Pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai model. Model tersebut antara
lain: pembiasaan dan keteladanan, pembinaan disiplin, hadiah dan hukuman, CTL
(Contectual Teaching and Learning), dan pembelajaran partisipatif (partisipative
instruction). Model-model pembelajaran tersebut disajikan sebagai berikut :
1. Pembiasaan
Dari berbagai metode pendidikan, metode yang paling tua antara lain pembiasaan.
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu
dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman, yang dibiasakan itu
adalah sesuatu yang diamalkan. Pembiasaan menempatkan manusia sebagai sesuatu yang
istimewa, yang dapat menghemat kekuatan , karena akan menjadi kebiasaan yang melekat
dan spontan, agar kekuatan itu dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan dalam setiap
pekerjaan, dan aktivitas lainnya. Pembiasaan dalam pendidikan hendaknya dimulai sedini
mungkin.

10
Dalam bidang psikologi pendidikan, metode pembiasaan dikenal dengan istilah operan
conditioning, mengajarkan peserta didik untuk membiasakan perilaku terpuji, disiplin, giat
belajar, bekerja keras, ikhlas, jujur, dan bertanggung jawab. Metode pembiasaan ini perlu
diterapkan guru dalam proses pembentukan karakter, untuk membiasakan peserta duidik
dengan sifst-sifat yang baik dan terpuji, sehingga aktivitas yang dilakukan oleh peseta didik
terekam secara positif.
Pembiasaan akan membangkitkan internalisasi nilai dengan cepat, karena nilai
merupakan suatu penetapan kualitas terhadap objek yang menyangkut suatu jenis aspirasi
atau minat. Internalisasi adalah upaya menghayati dan menteladani nilai, agar tertanam dalam
diri setiap manusia. Tahap-tahap internalisasi nilai dalam pendidikan berkarakter mencakup:
(a) Transformasi nilai, pada tahap ini guru sekedar menginformasikan nilai-nilai yang
baikdan yang tidak baik kepad siswa; (b) Transaksi nilai, yaitu suatu tahap pendidikan
karakter dengan jalan melakukan komunikasi dua arah atau timbal balik; (c)
Transinternalisasi, yakni bahwa tahap ini lebih dari sekedar transaksi. Dalam tahap ini
penampilan guru dihadapan siswa bukan lagi sosok fisiknya, melainkan sikap mental, dan
kepribadiannnya.
Pendidikan melalui pembiasaan dapat dilakukan secara terprogram dalam
pembelajaran, dan secara tidak terprogram dalam kegiatan sehari-hari. Kegiatan terprogram
antara lain: biasakan melakukan kegiatan inkuri dalam setiap pembelajaran, biasakan
melakukan refleksi pada setiap akhir pebelajaran, biasakan melakukan penialaian secara
sebenarnya, biasakan peserta didik untuk bekerjasama, biasakan peserta didik untuk sharing
dengan temannya, biasakan peserta didik terbuka dalam kritikan, dll. Kegiatan pembiasaan
secara tidak terprogam dapat dilakukan melalui bebrapa cara. Pertama, rutin yaitu
pembiasaan yang dilakukan terjadwal, seperti upacara bendera, senam, pemeliharaan
kebersihan dan kesehatan diri. Kedua, spontan yaitu pembiasaan tidak terjadwal dalam
kejadian khusus seperti perilaku pemberian salam, membuang sampah pada tempatnya, dan
antre.
2. Keteladanan
Keteladanan guru sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan
pribadi para peserta didik. Keteladanan ini memiliki peran dan fungsi yang sangat pentingg
dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya
manusia. Dalam hal ini guru tidak hanya ditunut untuk mampu memaknai pembelajaran,
tetapi yang paling penting adalah bagaimana dia menjadikan pembelajaran sebagai ajang
pembentukan karakter dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik.

11
Dalam keteladanan ini, guru harus berani tampil beda, harus berbeda dari penampilan-
penampilan orang lain yang bukan guru, beda dan gaul (diferent and distingtif). Sebab
penampilan guru bisa membuat peserta didik senang belajar, bisa membuat peserta didik
betah belajar dikelas, tetapi bisa juga membuat peserta didik malas belajar bahkan malas
masuk kelas seandaiya penampilan gurunya acak-acakan tidak karuan. Disinilah guru harus
menjadi teladan agar bisa ditiru dan diteladani oleh peserta didiknya.
Sebagai teladan tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan
peserta didik dan orang di sekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya
sebagai guru. Sehubungan dengan itu beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dan bila
perlu didiskusikan dalam forum MGMP dan KKG antara lain: (a) cara bicara dan gaya
bicara, penggunaan bahasa sebagai alat berpikir; (b) kebiasaan bekerja, gaya yang dipakai
guru dalam bekerja. Pakaian merupakan perengkapan pribadi yang amat penting dan
menampakkan ekspresi seluruh kepribadian; (c) proses berpikir, cara yang digunakan dalam
menghadapi dan memecahkan masalah; (d) gaya hidup secara menyeluruh, apa yang
dipercaya seseorang setiap aspek kehidupan dan tindakannya.
Secara teoritis menjadi teladan merupkan bagian integral dari seorang guru sehingga
menjadi guru berarti menerima tanggung jawab untuk menjadi teladan. Memang setiap
profesi mempunyai tuntutan khusus dan karenanya bila menolak berarti menolak profesi itu.
Dalam beberapa hal memang benar bahwa guru harus bisa menjadi teladan, tetapi jangan
sampai hal tersebut menjadikan guru tidak memiiki kebebasan sama sekali. Guru juga
manusia, dalam batas-batas tertentu tentu saja memilki berbagai kelamahan dan kekurangan.
3. Pembinaan disiplin peserta didik
Dalam rangka menyukseskan pendidikan karakter, guru harus mampu menumbuhkan
disiplin peserta didik terutama disipli diri (self-dicipline). Guru harus mampu membantu
peserta didik mengembangkan pola perilakunya, meningkatkan standar perilakunya, dan
melaksanakan aturan sebagai alat untuk menegakkan disiplin. Utuk mendisiplinkan peserta
didik perlu dimulai dengan prinsip yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu sikap
demokratis, sehingga peraturan disisplin perlu berpedoman pada hal tersebut. Guru berfungsi
sebagai pengemban ketertiban yang patut digugu dan ditiru, tetapi tidak diharapkan sikap
yang otoriter.
Membina disiplin peserta didik harus mempertimbangkan berbagai situasi, dan
memahami faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu disarankan kepada guru
untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Memulai seluruh kegiatan dengan disiplin waktu, dan taat aturan

12
b. Mempelajari pengalaman peserta didik disekolah melalui kartu catatan kumulatif
c. Mempertimbangkan lingkungan pembelajaran dan lingkungan peserta didik
d. Memberikan tugas yang jelas, dan dapat dipahami
e. Menyiapkan kegiatan sehari-hari agar apa yang dilakukan dalam pembelajaran sesuai
dengan yang direncanakan
f. Berbuat sesuatu yang bervariasi dan tidak monoton
g. Membuat peraturan yang jelas dan tegas agar bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
oleh peserta didik dan lingkungannya.
4.  CTL (Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontesktual (Contextual Teaching and Learning) yang sering disingkat
CTL merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat dipergunakan untuk
mengefisiensikan dan menyukseskan pendidikan karakter disekolah. CLT dapat
dikembangakan menjadi salah satu model pembelajaran berkarakter, karena dalam
pelaksanaannya lebih menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia
kehidupan peserta didik secara nyata.
CTL memungkinkan proses belajar yang tenang dan menyenangkan, karena
pembelajaran dilakukan secara alamiah, sehingga peserta didik dapat mempraktikan karakter-
karakter yang dipelajarinya secara langsung. Pembelajaran kontekstual mendorong peserta
didik memahami hakikat, makna, dan manfaat belajar, sehingga memunkinkan mereka rajin,
dan termotivasi untuk senantiasa belajar, bahkan kecanduan belajar. Dalam pembelajaran
kontekstual tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik dengan
menyediakan berbagai sarna dan sumebr belajar yang memadai srta menciptakan iklim yang
kondusif bagi pertumbuhan karakter peserta didik.
Pelaksanaan pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam
peserta didik (internal) maupun dari lingkungan didik atau luar peserta (eksernal). CTL yang
berusaha mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman nyata peserta didik tampaknya patut
dijaikan sebagai model alternatif pendidikan kareakter. CTL adalah sebuah proses pendidikan
yang bertujuan menoong para peserta didik memahami makna dari materi pembeajaran yang
dipelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan
pribadi, sosial dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pembelajaran partisipatif (partisipative instruction)
Keterlibatan peseta didik merupakan syarat pertama dalam kegiatan belajar dikelas.
Untuk terjadinya keterlibatan itu peserta didik harus memahami dan memiliki tujuan yang
ingin dicapai melalui belajar. Untuk mendorong partisipasi pesert didik dapat dilakukan

13
dengan berbagai cara, antara lain memberikan pertanyaan dan menanggapi respon peserta
didik secara positif, menggnakan pengalaman berstuktur, menggunakan beberapa instruen,
dan menggunakan metode yang bervariasi yang lebih banyak melibatkan peserta didik.
Pembelajaran partisipasif sering juga diartikan sebagai kketerlibatan peserta didik
dalam perncanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Indikator pembelajaran
partisipatif adalah adanya keterlibatan emosional dan mental peserta didik, adanya kesediaan
peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan, dalam kegiatan belajar
terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pelaksanaan pembelajaran partisipatif perlu memperhatikan beberapa prinsip sebagai
berikut. Pertama, berdasarkan kebutuhan belajar (learning needs based) sebagai keinginan
maupun kehendak yang dirasakan oleh peserta didik. Kedua, berorientasi kepada tujuan
kegiatan belajar (learning goals and objectives oriented). Ketiga, berpusat kepada peserta
didik (partisipan centered). Keempat, belajar berdasarkan pengalaman (experiental
learning).
Pembelajaran partisipatif dapat dikebangkan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didk siap belajar
b. Membantu peserta didik menyusun kelompok
c. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya
d. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar berkarakter
e. Membantu peserta didik meranncang pola-pola karakter yang sesuai dengan pengalaman
belajar
f. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil pendidikan
karakter.
F.  Strategi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan secara efektif dan efisien apabila
didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikannya, dana
sekolah yang cukup untuk menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana prasarana yang
memadai untuk mendukung proses pembelajaran, serta dukungan yang tinggi dari masyarakat
(orang tua). Harus diakui bahwa sejak zaman orde lama, orde baru, orde reformasi sampai
sekarang pendidikan nasional belum ditangani oleh ahliya secara profesional. Oleh karena
itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus melakukan reformasi total terhadap
manajemen dan sistem pendidikan nasional; jika tidak kita tinggal menunggu kehancuran
bangsa dan negara ini; yang berbagai indkatornya sudah dapat dirasakan sekarang.

14
Berkaitan dengan kondisi sekolah, di Indonesia pada saat ini sangat bervariasi dilihat
dari segi kualitas, lokasi sekolah, dan partisipasi masyarakat (orangtua). Kualifikasi sekolah
bervariasi dari sekolah yang sangat maju sampai sekolah yang sangat ketinggalan, sedangkan
lokasi sekolah bervariasi dari sekolah yang terletak di perkotaan sampai sekolah yang
letaknya di daerah terpencil. Demikian pula partisipasi orang tua, bervariasi dari yang
partisipasinya tinggi sampai yang kurang bahkan tidak berpartisipasi sama sekali. Kondisi
tersebut tampaknya, akan menjadi permasalahan yang rumit dan harus diprioritaskan
penanganannya. Oleh karena itu, agar pendidikan karakter dapat diterangkan secara optimal,
baik sekarang maupun di masa yang akan datang, perlu adanya pengelompokkan sekolah
berdasarkan tingkat kemampuan manajemen masing-masing. Pengelompokkan ini
dimaksudkan untuk mempermudah pihak-pihak terkait dalam memberikan dukungan.
1. Pengelompokkan sekolah
2. Penahapan yang tepat
3. Pengembangan perangkat pendukung
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan
program bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan dalam rangka membantu siswa agar
mampu mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang menyangkut aspek moral-
spiritual, intelektual, emosional, sosial, maupun fisik-motoriknya. Hurlock (1986 : 322)
mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian
anak, baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun berperilaku. Sekolah berperan sebagai
substitusi keluarga dan guru sebagai substitusi orang tua. Beberapa faktor lingkungan sekolah
yang berkonstribusi positif terhadap perkembangan siswa atau anak diantaranya :
1. Kejelasan visi, misi, dan tujuan yang akan dicapai
2. Pengelolaan atau manajerial yang profesional
3. Para personel sekolah yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap visi, misi, dan tujuan
sekolah
4. Para personel sekolah memiliki semangat kerja yang tinggi, merasa senang, disiplin dan
rasa tanggung jawab
5. Para guru memiliki kemampuan akademik dan profesional yang memadai
6. Sikap dan perlakuan guru terhadap siswa bersifat positif : bersikap ramah dan respek
terhadap siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpendapat atau bertanya
7. Para guru menampilkan perannya sebagai guru dalam cara-cara yang selaras dengan
harapa siswa, begitupun siswa menampilkan peranannya sebagai siswa dalam cara-cara
yang selaras dengan harapan guru

15
8. Tersedianya sarana prasarana yang memadai
9. Suasana hubungan sosio-emosional antar pimpinan sekolah, guru-guru, siswa, petugas
administrasi, dan orangtua siswa berlangsung secara harmonis
10. Para personel sekolah merasa nyaman dalam bekerja karena terpenuhi b kesejahteraan
hidupnnya.
Dalam salah satu hasil penelitian mengenai pendidikan, Michael Russel (Sigelmen &
Shaffer, 1995 : 426) mengemukakan tentang definisi sekolah yang efektif, yaitu yang
mengembangkan prestasi akademik, keterampilan sosial, sopan santun, sikap positif terhadap
belajar, abseinteism yang rendah, melatih keterampilan sebagai bekal bagi siswa untuk dapat
bekerja. Seiring dengan program pemerintah mengenai pendidikan karakter, maka sekolah
memiliki tanggung jawab untuk merealisasikannya melalui pengintegrasian pendidikan
karakter tersebut ke dalam program pendidikan secara keseluruhan. Sebagai lembaga
pendidikan, sekolah diharapkan menjadi “Centre of nation character building”, pusat
pembangunan karakter bangsa. Pendidikan karakter ini bukan mata pelajaran, tetapi nilai-
nilai karakter itu harus ditanamkan kepada para peserta didik melalui proses pembelajaran
dikelas maupun diluar kelas.
Kemendiknas (2010) menjelaskan bahwa karakter adalah “watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan (virtues)
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma seperti jujur, berani
bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain”. Interaksi seseorang dengan orang
lain menumbuhkan karakter masyarakat dan bangsa. Kemendiknas (2010) menyatakan bahwa
nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi
dari sumber-sumber berikut ini:
1. Agama: Mayarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Oleh karena itu,
kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan
kepercayaannya.
2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila.
3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat
yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya
itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam
komunikasi antaranggota masyarakat itu.

16
4. Tujuan pendidikan nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga
negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan diberbagai jenjang dan
jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki
warga negara Indonesia.
Berdasarkan keempat sumber nilai, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya
dan karakter bangsa sebagai berikut:
1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.
2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
4. Mandiri: Sikap perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
5. Demokratis: Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
6. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
7. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya.
8. Cinta Tanah Air: Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
9. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati keberhasilan
orang lain.
10. Bersahabat/Komunikatif: Tindakan yang memperhatikan rasa senang berbicara, bergaul,
dan bekerja sama dengan orang lain.
11. Cinta Damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadirannya.
12. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinnya.

17
13. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam disekitarnya, dan mengembangkan uoaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
14. Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
15. Tanggung Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
G. Implementasi Pendidikan Karakter
Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan , penciptaan
lingkungan , dan pembiasaan; melalui berbagai tugas keilmuan dan kegiatan kondusif.
Dengan demikian apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh pesetra didik
dapat membentuk karakter mereka. Selain menjadikan keteladanan dan pembiasaan sebagai
metode pendidikan utama , penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif juga
sangat penting , dan turut mrmbentuk karakter peserta didik.
Penciptaan lingkungan yang kondusif dapat dilakukan melalui berbagai variasi metode
sebagai berikut:

1)      Penguasaan
2)      Pembiasaan
3)      Pelatihan
4)      Pembelajaran
5)      Pengarahan
6)      Dan keteladanan
Berbagai metode tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
pembentukan karakter peserta didik . pemberian tugas di sertai pemahaman akan dasar dasar
filosofisnya , sehingga peserta didik akan mengerjakan berbagai tugas debgan kesadaran dan
pemahaman, kepedulian dan komitmen yang tinggi. Setiap kegiatan mengandung unsur unsur
pendidikan, sebagai contoh dalam kegiatan kepramukaan , terdapat pendidikan
kesederhanaan, kemandirian. Kesetiakawanan,dan kebersamaan , kecintaan pada lingkungan
dan kepemimpinan . dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani,
penanaman sportivitas, kerja sama (tem work) dan kegigihan dalam berusaha.

H. Peranan Penting Pendidikan Karakterbagi Pembangunan Bangsa

18
Modal orang untuk menjadi sukses tak lepas dari peran penting suatu karakter yang
luar biasa. Karakter menjadi suatu hal yang berpengaruh pula dimana sesorang tersebut
berada. Pembentukan karakter dapat dibangun pula melalui sarana Pendidikan. Negara
Indonesia pun sejak masa kemerdekaan sudah memikirkan mengenai Pendidikan Karakter.
Para pendiri bangsa menyadari paling tidak ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi.
Pertama, adalah mendirikan bangsa yang bersatu dan berdaulat, kedua, adalah membangun
bangsa, dan ketiga adalah membangun karakter.
Menurut bapak pendiri bangsa Presiden pertama Republik Indonesia menegaskan :
“Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter, karena
pemanguna karakter inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju
dan jaya serta bermartabat. Di Indonesia Pelaksanaan Pendidikan karakter dirasakan
mendesak dan amat perlu pengembangannya bila mengingat makin meningkatnya tawuran
antar pelajar, serta bentuk – bentuk kenakalan remaja lainya terutama di kota – kota besar,
pemerasan/kekrasan, kecenderungan dominasi senior terhadap yunior, penggunaan narkoba
dan lain – lain. Bangsa ini serasa kehilangan jati dirinya, bangsa yang dikenal dengan bangsa
yang santun kini kesantunannya pun sudah jarang ditemukan. Keadaan ini telah menjadi
keprihatinan nasional. Pada perayaan hari nyepi di Jakarta tahun 2010 yang lalu, Presiden
Republik Indonesia menyampaikan pesannya: “ pembangunan watak amat penting. Kita ingin
membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik.
Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian
dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good
society).
Sebagai tindak lanjut dari pidato Presiden tersebut maka salah satu program 100 hari
Kementrian Nasional adalah pendidikan karakter. Salah satu dampak dari kegiatan tersebut,
sejak digalakannya kembali pembelajaran di Indonesia. Sebenarnya sejak orde lama
pendidikan karakter sudah ada namun dikenal dengan nama pendidikan budi pekerti, yang
mana landasan pengembangan kebudayaan, pendidikan budi pekerti lebih banyak ditekankan
pada hubungan antar-manusia, antar-siswa dan guru, antara siswa dan orang tua dan antar-
siswa. Disamping mengembangkan hubungan yang berada antar-sesama manusia, pendidikan
karakter juga mengembangkan bagaimana hubungan yang pantas dan layak antara manusia
kepada sang Pencipta, Al-Khalik, serta dengan alam lingkungannya.
Berkaitan dengan dirasakan semakin mendesaknya implementasi pendidikan karakter
di Indonesia tersebut, Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian
Pendidikan Nasional dalam publikasinya berjudul Pedoman Pelaksanaan Pendidikan

19
Karakter. Dalam publikasi Pusat Kurikulum dinyatakan bahwa pendidikan karakter berfungsi
untuk :
1. Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik,
2. Memperkuat dan membangun perilaku baik yang multikultur,
3.  Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Dalam kaitan itu telah diidentifikasi sejumlah nilai pembentuk karakter yang
merupakan hasil kajian empiric Pusat Kurikulum, nilai – nilai bersumber dari Agama,
Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional tersebut adalah :
(1)Religius, (2) jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8)
Demokratis, (9) Rasa ingin tahu, (10)Semangat Kebangsaan, (11) Cinta tanah air, (12)
menghargai Prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai (15) gemar membaca,
(16) Peduli lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) tanggung jawab.
Negara yang mengembangkan pendidikan karakter bukan hanya Negara Indonesia
melainkan Negara Amerika Serikat, pengembangan dan penggalakan pendidikan karakter di
Amerika Serikat sejalan dengan pendidikan kecakapan hidup. Sementara itu di Kanada ada
berbagai istilah untuk Pendidikan Karakter yaitu pendidikan nilai, pendidikan moral,
pendidikan kewarganegaraan, pembelajaran social-emosional dan lain – lain, yang mana
semua itu menjadi suatu proses bagi pengembangan atribut – atribut tersebut dalam diri
pembelajar. Di samping Amerika Serikat dan Kanada Negara- Negara lain yang juga
mempraktekkan pendidikan karakter sejak dasar adalah Inggris, Spanyol, Jepang, Cina, dan
Korea Selatan. Sejumlah Negara tersebut begitu antusias terhadap pelaksanaan pendidikan
karakter karena sejumlah penelitian membuktikan bahwa pendidikan karakter berdampak
positif, baik terhadap pembelajaran, persekolahan maupun kehidupan anak – anak pada masa
mendatang.
Sebagian Negara mengembangkan pendidikan karakter bagi warga negaranya dengan
berbagai cara pula. Semuanya itu dilakukan untuk dapat menyelamatkan generasi yang sudah
mulai hanyut oleh arus negative maka dari itulah pendidikan karakter amatlah diperlukan
agar pengembangnnya merata pendidikan karakter ini diberikan melalui lembaga pendidikan
yang mana semua warga Negara paling tidak dapat mendapatkannya di tingkat pendidikan
yang paling dasar. Implementasi pendidikan karakter di Indonesia menurut Kementrian
Pendidikan Nasional, Pendidikan karakter harus meliputi dan berlangsung pada,
1. Pendidikan Formal
Pendidikan karakter pada pendidikan formal berlangsung pada lembaga pendidikan
TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMA/MAK dan perguruan Tinggi melalui

20
pembelajaran, kegiatan kokulikuler dan atau ekstra-kulikuler, penciptaan budaya satuan
pendidikan, dan pembiasaan. Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik, pendidik,
dan tenaga kependidikan.
2. Pendidikan Non Formal
Dalam pendidikan non formal pendidikan karakter berlangsung pada lembaga kursus.
Pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan. Dalam lembaga pendidikan nonformal lain
melalui pembelajaran, kegiatan kokirikulker dan atau ekstra-kurikuler, penciptaan budaya
lembaga, dan pembiasaan.
3.    Pendidikan Informal
Dalam pendidikan informal pendidikan karakter berlangsung dalam keluarga yang
dilakukan oleh orang tua dan orang dewasa didalam keluarga terhadap anak – anak yang
menjadi tanggung jawabnya.

I.  Keterkaitan Pendidikan Karakter Dengan PPKn


Beberapa waktu belakangan ini sangat marak pemberitaan tentang pentingnya
penanaman pendidikan karakter pada warga negara. Sebenarnya pentingnya pendidikan
karakter telah disadari oleh para pendiri negara sejak awal berdirinya negara Indonesia.
Mereka menyatakan bahwa bukan hanya negara saja yang perlu dibangun, tetapi juga bangsa.
Bahkan pembangunan bangsa menjadi perhatian utama, sebab kemajuan negara sangat
bergantung pada kemajuan bangsa. Untuk keperluan itu, para pendiri negara telah
memberikan penekanan pada pembangunan karakter bangsa, dengan arah dan landasan yang
jelas, yakni Pancasila. Hal ini sesuai dengan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa. Mengingat pentingnya hal yang di atas, pemerintah berupaya memfokuskan
pembangunan karakter bangsa kepada para peserta didik, sebagai generasi penerus bangsa.
Kemudian oleh pemerintah penanaman pembangunan karakter bangsa dimasukkan ke dalam
kurikulum mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Di dalam
Standar Isi Mata pelajaran PPKn disebutkan bahwa PPKn merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter seperti yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Salah satu implikasinya
adalah di dalam pembelajaran PPKn juga dimasukkan muatan kurikulum mengenai bagaimna
menjadi warga negara yang berkarakter. Perwujudan hal tersebut ialah diajarkannya
pendidikan karakter, sebagai salah satu realisasi dari pembelajaran PPKn.

21
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang sangat penting untuk membina
kepribadian peserta didik. Karakter sangat berpengaruh terhadap kelakuan seseorang
dimanapun dia berada. Oleh sebab itu, kesuksesan seseorang tak lepas dari modal pendidikan
karakter yang dimilikinya. Sepertinya yang diungkapkan oleh Presiden Soekarno yang
intinya adalah pembangunan karakter harus diutamakan karena memiliki manfaat untuk
bangsa menjadi besar, maju dan jaya serta bermartabat.
Pendiri negara telah memberikan penekanan pada pembangunan karakter bangsa,
dengan arah dan landasan yang jelas, yakni Pancasila. Hal ini sesuai dengan fungsi Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya memfokuskan
pembangunan karakter bangsa kepada para peserta didik, sebagai generasi penerus bangsa.
Kemudian oleh pemerintah penanaman pembangunan karakter bangsa dimasukkan ke dalam
kurikulum mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).

B.    Saran
Mulai dari jenjang SD hingga perguruan tinggi harus selalu diajarkan mengenai
pendidikan karakter. Setiap pendidik hendaknya memiliki kompetensi untuk mendidik perihal
pendidikan karakter. Proses mendidik dilakukan secara bertahap sehingga peserta didik bisa
menyesuaikan bahan ajar menurut jenjang pendidikannya. Dengan begitu diharapkan akan
terlahir generasi-generasi emas bangsa Indonesia yang terbekali dengan karakter-karakter
baik agar berguna untuk bangsa Indonesia.

22
DAFTAR PUSTAKA
Budimansyah, Dasim . 2012 . Perancang Pembelajaran Berbasis Karakter . Bandung :
Widya Aksara Press .
Lickona, Thomas . 2013 . Pendidikan Karakter Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi
Pintar dan Baik . Bandung : Nusamedia .
Mulyasa . 2012 . Manajemen Pendidikan Karakter . Jakarta : PT.Bumi Aksara .
Saptono . 2011 . Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter, Wawasan, Strategi, dan Langkah
Praktis.Jakarta : Erlangga .
Samani, Muchlas & Hariyanto . 2012 . Konsep dan Model Pendidikan Karakter . Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya Offset .
Muslich, Masnur . 2011 . Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional . Jakarta : PT. Bumi Aksara .
Tirtarahardja, Umar . 2005 . Pengantar Pendidikan . Jakarta : Rineka Cipta .

23

Anda mungkin juga menyukai