Anda di halaman 1dari 6

II.

PENDAHULUAN

A. Deskripsi Mata Kuliah

Mata kuliah Agama ini memaparkan seluk beluk yang terkait dengan konten
muamalah, sesuatu dengan berhubungan dengan kemanusiaan seperti
pernikahan, terkait dengan harta seperti jual-beli, warisan, perbankan, dan zis,
termasuk yang terkait dengan kepimimpinan seperti politik dan pemerintahan,
ketokohan wanita, demokrasi, dan HAM dalam Islam.

B. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah

1. Mahasiswa memahami secara utuh segala persoalan yang ada


hubungannya dengan mu’āmalah.
2. Mahasiswa mengamalkan nilai-nilai mu’āmalah sesuai dengan tuntunan
ajaran Islam.
C. Sub Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
1. Mahasiswa mampu menjelaskan segala sesuatu yang terkait dengan
pernikahan.
2. Mahasiswa mampu memenej segala sesuatu yang berhubungan dengan
harta seperti jual-beli, warisan, perbankan, asuransi, dan zis.
3. Mahasiswa mampu menerapkan kepemimpinan sosial seperti politik
pemerintahan, ketokohan wanita, demokrasi dan HAM dalam Islam.
III. PEMBELAJARAN
A. Kegiatan Pembelajaran ke-1
1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian mu’āmalah.
b. Mahasiswa mampu menguraikan prinsip-prinsip mu’āmalah.

5
c. Mahasiswa mampu menganalisis konsep mu’āmalah dan seluk
beluknya.
2. Materi Pembelajaran
a. Definisi Syari’at, Fikih, Hukum Islam dan Fikih Mu’āmalah
Allāh menciptakan manusia untuk beribadat kepada-Nya. Dalam rangka
melaksanakan ibadat kepada Allāh manusia telah diberi petunjuk oleh
Allāh. Petunjuk Allāh tersebut dinamakan al-Dīn. Istilah al-dīn disebut
juga al-millah atau al-Islām.1 Al-Dīn yang diberikan oleh Allāh kepada
manusia sama dari dulu sampai akhir zaman. Untuk melaksanakan al-dīn
tersebut, selanjutnya Allāh telah memberikan syari’at kepada manusia di
bawah bimbingan dan petunjuk Rasūl-Nya.
Berbagai pengkajian tentang hukum Islam dalam konteks apapun dan
dalam bentuk apapun, pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk
memahami kemudian mendeskripsikan serta menjelaskan berbagai
dimensi dan substansi hukum Islam sebagai bagian dari kehidupan
manusia yang dapat digali dari berbagai sumber yang mudah ditemukan.
Salah satu pendapat yang didapat melalui pengkajian itu adalah bahwa
hukum Islam adalah hukum yang seperti dipahami oleh para fuqahā’
(fikih) sepanjang masa.2 Oleh karena itu hukum Islam sebenarnya dapat
dikemas sebagai sesuatu yang dapat dikembangkan melalui interpretasi,
yang sangat bermanfaat bagi pengembangan pengkajian serta
pengetahuan yang bersifat ilmiah, maupun bagi pemahaman masalah
hukum untuk dipedomani dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Ada beberapa istilah kunci yang tetap muncul ketika membicarakan
hukum Islam, yakni syariat, fikih, qanūn, fatwa, qadha, siyāsah syar’iyah
dan hukum.3 Hukum Islam pada hakikatnya adalah hukum yang

1
Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 16.
2
Rifyal Ka’bah, Kodifikasi Hukum Islam Melalui Undang-Undang Negara Di Indonesia. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Kerja sama Fakultas Syariah IAIN
Sumatera Utara dengan Mahkamah Agung RI tanggal 27 Oktober 2007, hlm. 1.
3
Nur A. Fadhil Lubis, Transformasi Hukum Islam Di Indonesia Suatu Refleksi. Makalah disampaikan
dalam Seminar 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN
Sumatera Utara tanggal 14 Oktober 1995, hlm. 2.

6
bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.4 Mengingat
pentingnya peristilahan ini, setiap orang dan kelompok cenderung
memahaminya sesuai dengan kerangka pikirnya masing-masing.
Kata hukum Islam sebenarnya tidak ditemukan sama sekali dalam Al-
Qur’an, namun yang ada dalam Al-Qur’an adalah kata syariah, fikih,
hukm, dan yang seakar dengannya. Sedangkan dalam literatur Barat,
hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law”.5
Secara harfiah kata syariah dalam bahasa Arab berarti jalan yang lurus. 6
Menurut Abu al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah, perkataan
syariah berarti sesuatu yang terbentang jalan kepadanya.7 Syariat juga
diartikan dengan metode atau cara melaksanakan al-dīn. Syariat juga
disebut program implementasi dari al-dīn.8
Menurut Ijma’ ulama, syariat ialah hukum-hukum yang diadakan oleh
Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh salah seorang Nabi-
Nya yaitu Muhammad saw, baik hukum-hukum tersebut berhubungan
dengan cara mengadakan perbuatan yang disebut sebagai “hukum-
hukum cabang amalan”, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fikih atau
berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (i’tikad), yaitu yang
disebut dengan “hukum-hukum pokok” dan kepercayaan, dan untuknya
maka dihimpunlah ilmu kalam. Syari’at (Syara’) disebut juga agama (al-
dīn dan millah).9
Menurut Manna’ al-Qaththan, sebagaimana yang dikutip oleh
Fathurrahman Djamil, syariat adalah segala ketentuan Allāh swt yang

4
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia.(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 38.
5
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 11. Joseph
Schacht mengatakan bahwa hukum Islam adalah lambang pemikiran Islam, manifestasi paling khusus dari
pandangan hidup Islam, inti dan titik sentral dari Islam itu sendiri. Lihat Joseph Schacht, Pengantar Hukum
Islam. (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, 1985), hlm. 1. Bandingkan dengan Muhammad
Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalist. (Lahore, Islamic Publication L.T.D. Shah Alam
Market, t.th), hlm. 55. Dalam buku itu dijelaskan bahwa hukum Islam itu identik dengan syariat itu sendiri.
6
Muhammad Ali al-Sais, Nasy’at al-Fikih al-Ijtihadiy wa Athwaruh. (Kairo: Majma’ al-Buhuts al-
Islamiyah, 1970), hlm. 8-9.
7
Abu al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz III. (t.t.p.: Dar al-Fikr
li al-Taba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1979), hlm. 262.
8
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya.
(Jakarta:Gema Insani Press, 1996, Cet. Ke-1), hlm. 24.
9
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 9.

7
disyariatkan kepada hamba-Nya baik menyangkut akidah, akhlak
maupun mu’āmalah.10
Terminologi syariah sebenarnya mempunyai arti yang luas, tidak hanya
berarti fikih dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan akhlak.11
Dengan demikian, syariah mengandung arti bertauhid kepada Allāh,
menaati-Nya, beriman kepada rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari
pembalasan. Singkatnya syariah mencakup segala sesuatu yang
membawa seseorang menjadi berserah diri kepada Tuhan (Muslim).12
Syariat juga dimaknai dengan ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan pengaturan perbuatan manusia yang berbeda (berubah) menurut
perbedaan (pergantian) Rasul. Syariat yang datang kemudian
mengoreksi dan me-nasakh syariat sebelumnya. Al-dīn adalah dasar
atau pokok yang tetap tidak berbeda (berubah) karena adanya
perbedaan (pergantian) rasūl.13
Menurut pendapat al-Amidi, fikih ialah ilmu tentang seperangkat hukum
syara’ yang bersifat furu’iyah (cabang) yang didapatkan melalui
penalaran atau penelitian dan istidlāl.14
Fikih adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian)
dan memerlukan kepada pemikiran dan perenungan. Oleh karena itu
Tuhan tidak bisa disebut sebagai fāqih (ahli dalam fikih), karena bagi-
Nya tidak ada sesuatu yang tidak jelas.15
Penerapan fikih ini dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk fatwa
ketika warga Muslim mempertanyakan ketentuan sesuatu hal kepada
tokoh yang dianggap paling tahu fikih, yang dikenal dengan nama mufti.
Fatwa lebih merupakan upaya sukarela masyarakat untuk menerapkan
panduan Ilahi dalam mengatur tindak-tanduk mereka, dan oleh
karenanya ia lebih merefleksikan kondisi riil masyarakat.16

10
Fathurrahman Djamil, Op.Cit., hlm. 7.
11
Hamka Haq, Islam Rahmah Untuk Bangsa. (Jakarta: RMBOOKS, 2009), hlm. 41.
12
Sa’ud Ibn Sa’ad ‘Ali Dhurayh, al-Tanzhim al-Qadha’ fi al-Mamlakah al-‘Arabiyah. (Riyadh: Matabi’
Hanifah lia al-Ubset, 1973), hlm. 23.
13
Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir fi al-Akidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Juz VI. (Beirut:
Dar al-Fikr, 1991, Cet. Ke-1), hlm. 217.
14
Shaif al-Din al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. (Kairo: Muassasah al-Halabi, 1958), hlm. 8.
15
Ahmad Hanafi, Op.Cit., hlm. 10.
16
Nur A. Fadhil Lubis, Loc.Cit.

8
Mohammad Daud Ali mengatakan bahwa kalimat hukum yang dipakai
dalam bahasa Indonesia saat ini berasal dari kata ḥukm yang artinya
norma atau kaidah: ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang
dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan
benda.17 Kata ḥa-ka-ma dalam bahasa Arab dapat juga dimaknai dengan
mencegah atau menolak, mencegah ketidakadilan, kezaliman dan
penganiayaan disebut hukum.18
Kata hukum yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Arab hukm yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (provision).
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu
atas sesuatu atau meniadakannya.19
Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah
Hukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada Al-
Qur’an, dan untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkritkan oleh Nabi
Muhammad saw dalam tingkah laku beliau yang lazim disebut Sunnah
Rasūl.
Ada dua kategori hukum yang lahir dari perintah Allāh, yakni wajib dan
sunnah, sedangkan firman Allāh dalam bentuk larangan melahirkan
hukum haram dan makruh. Adapun firman Allāh yang memberi keluasan
bagi manusia dalam menentukan pilihan antara berbuat dan tidak,
dikategorikan mubāh (boleh), yang berindikasi boleh dilakukan dan boleh
juga ditinggalkan, sehingga terkesan tak ada tuntutan di dalamnya.20
Fikih mu’āmalah artinya ketentuan-ketentuan atau hukum yang mengatur
hubungan antar manusia (makhluk).21 Fikih muamalah dalam praktiknya
dibagi kedalam beberapa bagian, yaitu:
1) Al-Aḥwāl al-Syakhsiyāh (hukum orang dan keluarga), yaitu hukum
tentang orang (subyek hukum) dan hukum keluarga seperti hukum
perkawinan.

17
Mohammad Daud Ali, Op.Cit., hlm. 39-40.
18
Abu al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Op.Cit., hlm. 91.
19
Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), hlm. 571.
20
Hamka Haq, Op.Cit., hlm. 44.
21
Suparman Usman, Op.Cit., hlm. 24.

9
2) Al-Madāniyat (hukum benda) yaitu hukum yang mengatur masalah
yang berkaitan dengan benda, seperti jual-beli, sewa-menyewa,
pinjam-meminjam, penyelesaian harta warisan atau hukum kewarisan.
3) Al-Jināyat (hukum pidana Islam), yaitu hukum yang berhubungan
dengan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana (delict, jarimah)
dan ancaman atau sanksi hukum bagi yang melanggarnya (uqubat).
4) Al-Qadhā wa al-Murāfa’at (hukum acara) yaitu hukum yang berkaitan
dengan acara di peradilan (hukum formil), misalnya aturan yang
berkaitan dengan alat-alat bukti seperti saksi, pengakuan, sumpah,
yang berkaitan dengan pelaksanaan hukuman dan lain-lain.
5) Al-Dustūriyah (hukum tata negara dan perundang-undangan), yaitu
hukum yang berkaitan dengan masalah politik, seperti mengenai
peraturan dasar dan sistem negara, perundang-undangan dalam
negara, syarat-syarat, hak dan kewajiban pemimpin, hubungan
pemimpin dengan rakyatnya.
6) Al-Dawliyah (hukum internasional) yaitu hukum yang mengatur
hubungan antarnegara, baik dalam keadaan damai maupun dalam
keadaan perang.
7) Al-Iqtishādiyah wa al-Māliyah (hukum perekonomian dan moneter),
yaitu hukum tentang perekonomian dan keuangan dalam suatu
negara dan antarnegara.

Oleh karena fikih muamalah memiliki banyak cabang ilmu yang


kemudian terus berkembang seiring dengan berkembangnya pemikiran,
life style, komunikasi serta budaya yang hidup di sebuah komunitas dan
geografis yang beragam. Mu’āmalah dalam perspektif hukum Islam
berkembang begitu dinamis dalam beberapa dekade belakangan ini,
oleh karena itu perkembangan fikih muamalah tidak pernah statis dan
vakum dalam masyarakat Islam.

10

Anda mungkin juga menyukai