Disusun oleh :
1.NAZALUL BAIZ (2061206007)
2. MUHAMMAD LUTFI FATAWI (2061206006)
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan berkat dan
rahmat-Nya semata MAKALAH yang berjudul “TASAWUF ISLAM
NUSANTARA” ini telah dapat terselesaikan. Sholawat serta salam semoga
senantiasa abadi tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya.
Sehubungan dengan selesainya makalah ini maka penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan beliau diterima Allah dan tercatat
sebagai amal sholeh.
Akhirnya karya ini penulis suguhkan kepada segenap pembaca, dengan harapan
adanya saran kritik yang bersifat produktif demi pengembangan dan perbaikan
lebih sempurna dalam kajian kajian pendidikan islam.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
3.1 Kesimpulan.................................................................................................9
3.2 Saran.........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebelum masuknya islam, masyarakat Nusantara telah menganut berbagai
agama dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut para ahli,
salah satu kunci keberhasilan pengembangan Islam di Nusantara adalah para
pejuang Islam (ulama) melakukan pendekatan tasawuf dalam penyebarannya.
Nilai-nilai tasawuf banyak mengajarkan tentang kebijaksanaan, perilaku sosial,
dengan tanpa meninggalkan aturan pokok dari ajaran islam. Salah satu ciri khas
pelaku tasawuf adalah mengedepankan tauhid (iman kepada allah) dalam pikiran
dan hati dengan sedikit longgar terhadap atribut peribadatan. Misalnya, para
pelaku tasawuf tidak mempersoalkan bentuk pakaian dalam ibadah, apakah akan
memakai sorban, peci atau blangkon. Apakah akan memakai jubah, kain, atau
sarung sebagaimana dicontohkan para anggota Para Walisongo atau para sultan.
Contoh lain adalah bentuk bangunan masjid yang masih banyak corak Hindu.
Mencerminkan bahwa inti idadah atau tempat ibadah adalah bagaimana
mentauhidkan Allah Swt, bukan pada persoalan atribut. Karenanya, dengan
pendekatan tasawuf ini, Walisongo, para ulama dan pemimpin islam (sultan dan
keluarga kerajaan), bisa menerima dan menjaga tradisi yang ada dalam
masyarakat dengan merubah muatan atau isinya dengan nilai-nilai islam sehingga
budaya umat islam meskipun modelnya mirip dengan tradisi-tradisi sebelum
islam.
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini sebagai berikut :
1.3.1 Untuk mendeskripsikan konstruksi ilmu tasawuf Islam Nusantara (Imam
Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi).
1.3.2 Untuk mendeskripsikan singkretisme dalam Islam Nusantara.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kontruksi Ilmu Tasawuf Islam Nusantara (Imam Al-Ghazali dan Imam
Junaid Al-Baghdadi)
1. Pemikiran tasawuf menurut Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah salah seorang ulama dan pemikir dalam dunia islam
yang sangat produktif dalam menulis. Dijelaskan dalam pengantar buku karya
Imam Al-Ghazali yang berjudul Mukhtashar Ihya Ulumuddin bahwa As-
Shubki didalam Thabaqai asy-Syafi’iah menyebutkan bahwa karangan Imam
Al-Ghazali sebanyak 58 karangan dan masih banyak lagi pendapat-pendapat
tentang berapa banyaknya kitab yang sudah di karang oleh Imam Al-Ghazali.
2
e. Jawahi Al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al-Qur’an)
f. Mizan Al-amal (tentang falsafah keagamaan)
g. Al-Qistas Al-Muttaqin (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).
Imam Al-Ghazali setelah melalui pengembaraannya mencari kebenaran
akhirnya memilih jalan tasawuf. Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran
yang paling hakiki.lebih jauh lagi, menurutnya jalan para sufi adalah panduan
ilmu dengan amal, sementara sebagai buahnya adalah moralitas dan juga
mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah
daripada mengamalkannya dan ternyata tidak harus dengan belajar tetapi juga
harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta penggantian tabiat-
tabiat. Jadi menurutnya tasawuf adalah semacam pengalaman maupun
penderitaan yang rill. (al-taftazani, 2003,hal. 165).
1. Jalan (at-thariq)
Menurut Al-Ghazali ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui
oleh seorang ahli sufi, daiantaranya
a) Ilmu
Ilmu adalah penegetahuan seseoarang tentang bahaya yang diakibatkan dosa
besar yang melahirkan sikap sedih dan menyesal sehingga melahirkan
penyesalan dan Tindakan untuk bertobat. Bertobat harus dilakukan dengan
berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah diperbuat dan harus
dengan kesadaran hati.
b) Sabar
Al-Ghazali menyebutkan ada 3 hal dalam daya manusia, yaitu daya nalar, daya
untuk melahirkan dorongan untuk berbuat baik dan daya yang melahirkan
untuk berbuat jahat.
c) Kefakiran
Berusaha menghindarkan diri dari hal-hal yang dibutuhkan, maksudnya jika
calon sufi seperti mendapatkan makanan atau minuman maka harus ditelitinya
dulu apakah makanan atau minuman itu halal atau haram. Jika haram atau
shubhat maka mereka harus menolaknya, jika makan atau minuman kendatipun
makanan itu sanagt diperlukan dan juga harus melihat-lihat orangnya.
3
d) Zuhud
Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus bisa meninggalkan kesenangan
duniawi dan menggarapkan kesenangan ukhrawi.
e) Tawakkal
Sikap tawakal lahir dari keyakinan teguh akan kemahakuasaan Allah. Maka
dari itu manusia harus berserah diri kepada Allah dengan sepenuh hati
f) Ma’rifat
Ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-
Nya dengan segala yang ada. Ma’rifat inilah yang akhirnya akan menimbulkan
mahabbah (mencintai tuhan).
2. Ma’rifah
3. Tingkatan Manusia
4
4. Kebahagiaan
Al- Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para
sufi, sebagai buah pengenalan terhadap Allah (Al-Taftazani, 2003, hal. 182).
Menurut Al-Ghazali jalan menuju kabahagiaan itu adalah ilmu serta amal. Ia
menjelaskan bahwa seandainya anda memandang kearah ilmu, anda nisacaya
melihatnya bagaikan begitu lezat, sehingga ilmu itu dipeajari karena
kemanfaatannya. Jadi anda berfikir itu adalah cara untuk menuju akhirat serta
kebahagiaan dan juga sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah (Al-
Taftazani, 2003, hal. 182-183).
Sebagai seorang sufi yang masyhur, Imam Junaid tidak pernah menulis
kitab khusus di bidang tasawuf. Akan tetapi, Imam Junaid menulis pengalaman
spiritualnya dan pemikiran tasawufnya dalam bentuk risalah yang kemudian di
bagikan kepada sahabat dan murid – muridnya.
5
Risalahnya bernama Abu Al-Qasim Al-Junaid. Hal yang menarik dari
kitab ini adalah Imam Junaid tidak mengkonsepsikan tasawuf, tetapi Imam
Junaid menuangkan pengalaman spiritualnya terutama dalam membahas tiga
teori pokok tasawufnya, yaitu mitsaq, fans, dan tauhid. Karena keluasan
pengalaman spiritual dan kedalaman ilmunya, Imam Junaid dijadikan sebagai
sumber rujukan ilmu tasawuf oleh sufi-sufi besar setelahnya. Seperti Abu
Nashr As-SarrajAth-Thusi dalam kitabnya Al-Luma’, Imam Al-Hujwiri dalam
kitabnya kasyful mahjub, dan imam Al-Qusyairi dalam risalah qusyairiyah.
6
3. Tauhid (penyatuan)
Dalam keilmuan tasawuf, tauhid tidak lagi membahas seperti
pembahasan kaum fikih seperti sifat wajib bagi Allah, sifat mustahil bagi
Allah, dan sebagainya. Hassan Hanafi menuturkan, yang kami (kaum sufi)
maksud dengan tauhid bukanlah deskripsi atau konsep tentang tuhan belaka,
tetapi cenderung kepada tindakan atau perbuatan baik yang dilakukan di
kehidupan nyata. Sebab, tauhid tidak akan bermakna tanpa direalisasikan
dalam kehidupan.
2.2 Singkretisme dalam Islam Nusantara
Salah satu ritual yang dianggap sebagai bagian dari hasil singkretisme di
Nusantara adalah ziarah kubur. Islam datang dengan membawa perubahan bentuk
dan esensi dari sebuah kegiatan ziarah. Kegiatan ziarah yang dibawa dan
diajarkan oleh Islam dari luar hampir tidak banyak mengubah tradisi ziarah
masyarakat sebelumnya.
7
Perubahan pokok yang ada adalah pada tatanan niat dan tujuan dari ziarah,
yang awalnya ditujukan untuk meminta kepada arwah dirubah untuk mengingat
mati, akhirat, dan mendoakan para jrnazah yang telah dikuburkan.
Sinkretisme dalam tasawuf juga dapat dilihat dalam karya sastra para
pujangga Mataram. Sebagai contoh:
8
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Nama asli Imam Al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad Ath-Thusi, Abu Hamd Al-Ghazali. Al-Ghazali adalah salah seorang
ulama dan pemikir dalam dunia islam yang sangat produktif dalam menulis.
Jumlah kitab yang ditulis Al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara
definitif oleh para penulis sejarahnya. Imam Al-Ghazali setelah melalui
pengembaraannya mencari kebenaran akhirnya memilih jalan tasawuf.
Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran yang paling hakiki.lebih jauh lagi,
menurutnya jalan para sufi adalah panduan ilmu dengan amal, sementara sebagai
buahnya adalah moralitas dan juga mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya
mereka ternyata lebih mudah daripada mengamalkannya dan ternyata tidak harus
dengan belajar tetapi juga harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah,
serta penggantian tabiat-tabiat.
9
B. Saran.
Makalah ini dapat digunakan sebagai bahan untuk belajar tentang ilmu
tasawuf Islam Nusantara dimana dalam makalah ini membahas tentang kontruksi
ilmu tasawuf Islam Nusantara (Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi)
dan singkretisme dalam Islam Nusantara. Kami sebagai penulis menyadari bahwa
makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan,
tentunya penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber
yang dapat dipertanggung jawabkan nantinya, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah yang kami buat.
10
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali. 2002. Samudra Pemikiran Al-Ghazali. Yogyakarta: Pustaka Sufi
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras
Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu
Pengantar tentang Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari
Madkhal Ila Al-Tashawwuf Al-Islam. Bandung: Pustaka
Al-Ghazali. 1997. Mutiara Ihya Ulumudin. Diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan
dari Muhtashar Ihya Ulumuddin. Bandung: Mizan
Al-Wafa, Abu. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Pustaka
Al-Jurjani. 1988. Al-Ta’rifat. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Imiyah
Al-Hujwiri. 2015. Kasyiful Mahjub. Bandung: Mizan Pustaka
Abu Mujahid. 2011. Pemuja Filsafat. Bandung: Toobagus Publishing
11