Anda di halaman 1dari 60

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. KAJIAN TEORI

1. Hakikat Pembelajaran IPA

Ilmu Pengetahuan Alam berasal dari kata natural science.

Natural berarti alamiah dan berhubungan dengan alam, sedangkan

science berarti ilmu pengetahuan. Secara harfiah IPA dapat dimaknai

sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang alam atau yang

ilmu yang mempelajari segala peristiwa yang terjadi di alam (Patta

Bundu, 2006: 9). Asih Widi Wisudawati dan Eka Sulistyowati (2014:

22) menjelaskan bahwa IPA merupakan rumpun ilmu yang memiliki

karakteristik khusus yaitu mempelajari fenomena alam yang faktual

(factual), baik berupa kenyataan (reality) atau kejadian (events) dan

hubungan sebab-akibatnya. Secara Umun IPA meliputi tiga bidang ilmu

dasar, yaitu biologi, fisika, dan kimia (Trianto, 2014: 137).

Pembelajaran IPA menurut Asih Widi Wisudawati dan Eka

Sulistyowati (2014: 26), adalah interaksi antar komponen pembelajaran

dalam bentuk proses pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan yang

berbentuk kompetensi yang telah ditetapkan. Proses pembelajaran

mengandung lima komponen komunikasi, guru, bahan pembelajaran,

media pembelajaran, peserta didik, dan tujuan pembelajaran (Daryanto,

2013: 5-6). Patta Bundu (2006: 11) mengemukakan bahwa IPA

memiliki tiga komponen, antara lain yaitu: 1. Proses ilmiah, 2. Produk

ilmiah, dan 3. Sikap ilmiah.

15
Asih Widi Wisudawati (2014: 24) mengemukakan bahwa IPA

terdiri 4 unsur utama dalam, yang diantaranya: (1) Sikap Ilmiah, IPA

akan memicu rasa ingin thau tentang benda, fenomena alam, makhluk

hidup, serta hubungan sebab akibat. (2) Proses Ilmiah, proses

pemecahan masalah IPA memungkinkan prosedur yang runtut dan

sistematis melalui metode ilmiah. Metode ilmiah meliputi proses

penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan,

evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan. (3) Produk Ilmiah,

produk ilmiah IPA ini berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. (4)

Aplikasi, merupakan penerapan metode ilmiah dan konsep IPA ke

dalam kehidupan sehai-hari.

Ada 4 dimensi dalam IPA berdasarkan cara mempelajarinya,

yaitu dimensi cara berpikir, cara investigasi, bangunan ilmu dan

kaitannya dengan teknologi dan masyarakat. Sebagaimana

dikemukakan oleh Koballa & Chiappetta (2010: 105-115) yang

mendefinisikan IPA sebagai a way of thinking, a way of investigating, a

body of knowledge, dan science and its interaction with technology and

society.

a. IPA sebagai cara berpikir (a way of thinking) yaitu mencakup

keyakinan, rasa ingin tahu, imajinasi, pemikiran, hubungan sebab-

akibat, self-examination, keragu-raguan, hubungan sebab-akibat,

obyektifitas dan berpikir terbuka.

b. IPA sebagai cara berinvestigasi/menyelidiki (a way of

16
investigating) mempelajari mengenai bagaimana cara ilmuwan

bekerja dalam melakukan penelitian dan penemuan ilmiah, disini

IPA berperan sebagai proses yang memberikan gambaran

mengenai pendekatan yang digunakan untuk menyusun

pengetahuan, seperti halnya mengembangkan keterampilan proses

ilmiah menggunakan metode ilmiah dengan memperhatikan

proses inquiry. Berkaitan dengan cara penyelidikan IPA, Karl

Pearson dan John Dewey membagi Metode ilmiah (scientific

method) menjadi 6 bagian yaitu: (1) Identification and statement

the problem, (2) Formulation hypotheses, (3) Search for evidence

to test hypotheses, (4) Assesmet of validity of hypotheses, (5)

Revision of hypotheses if necessary, (6) Application of

conclusions to similar problem (Kuslan, 1968: 15).

c. IPA sebagai bangunan ilmu (a body of knowledge) merupakan

hasil dari berbagai bidang ilmiah yang merupakan produk dari

penemuan manusia, meliputi fakta, konsep, hukum, prinsip, teori

dan model.

d. IPA sebagai bentuk interaksi keterkaitan antara teknologi dan

masyarakat (science and its interaction with technology and

society), sehingga IPA, teknologi dan masyarakat merupakan

unsur-unsur yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu

sama lain.

17
IPA dalam interaksinya dengan teknologi dan masyarakat

dipelajari dalam berbagai bentuk pembelajaran, salah satunya yaitu

Science Environment Technology Society (SETS). Peserta didik diajak

langsung mempelajari materi IPA, dari dampak teknologi yang ada di

sekitarnya, sehingga kemampuan berpikir tingkat tinggi, kemampuan

berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah peserta didik

dapat meningkat (Asih Widi Wisudawati dan Eka Sulistyowati, 2014:

72-73). Pemanfaatan teknologi ini sesuai dengan fungsi dan tujuan IPA

berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi yang termuat dalam

Depdiknas (2003: 2) sebagai berikut: (1) menanamkan keyakinan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) mengembangkan keterampilan,

sikap dan nilai ilmiah, (3) mempersiapkan siswa menjadi warga negara

yang melek sains dan teknologi, dan (4) menguasai konsep sains untuk

bekal hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih

tinggi (Trianto, 2014: 138).

Berdasarkan dari pemaparan ahli di atas, dapat disimpulkan

bahwa pada hakikatnya, IPA merupakan ilmu pengetahuan yang

mempelajari tentang alam dan segala peristiwa di alam, yang diperoleh

melalui serangkaian proses metode ilmiah yang runtut dan sistematis.

Pembelajaran IPA adalah interaksi antar komponen pembelajaran

dalam bentuk proses pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan. IPA

terdiri dari empat unsur utama yang saling berkaitan dan tidak dapat

dipisahkan, yaitu proses, produk, sikap, dan aplikasi.

18
2. Pendidikan IPA di Era Digital

Abad 21 ditandai oleh pesatnya perkembangan IPA dan

teknologi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, terutama

teknologi informasi dan komunikasi. Oleh karena itu diperlukan cara

pembelajaran yang dapat mempersiapkan peserta didik untuk melek

IPA dan teknologi, mampu berpikir logis, kritis, kreatif dan

berargumentasi secara benar (Trianto, 2014: 154). Di abad ke 21 ini,

pendidikan penting dalam rangka menjamin peserta didik untuk

memiliki keterampilan belajar dan berinovasi, keterampilan

menggunakan teknologi dan media informasi, serta dapat bekerja, dan

bertahan dengan menggunakan keterampilan untuk hidup (life skills).

21st century knowledge-skills rainbow adalah (1) life and career skills,

(2) learning and innovation skills, dan (3) Information media and

technology skills (Trilling dan Fadel, 2009 dalam Kuntari: 1-2 ).

Pendidikan IPA di era digital mengintrgraskan teknologi dalam

proses pembelajaranya, sebagaimana tertulis dalam National Science

Education Standard, Bansford, et.al. (2000) mengemukakan bahwa:

“In the national science Education Standards, a central


component of scientific literacy is the appropriate use of
technology to support learning goals ”….” Scientists utilize
technology for many specific purposes involving working with
and developing both science content and scientific reasoning
skills”.

Penekananya adalah bahwa literasi sains meliputi konten sains

dan penggunaan teknologi dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Komponen utama dari literasi sains adalah penggunaan teknologi yang

19
tepat untuk mendukung tujuan pembelajaran. Para ilmuwan

memanfaatkan teknologi untuk berbagai tujuan, diantaranya adalah

untuk mengembangkan keterampilan penalaran ilmiah (Sandra, 2010:

473-474). Sebagaimana juga dikemukakan oleh McFarlane, and

Sakellariou bahwa CAI (Computer Asisted Inquiry) adalah pemanfaatan

ICT untuk membantu pengumpulan informasi dan data dari berbagai

sumber untuk mendukung penalaran ilmiah. ICT dimanfaatkan sebagai

perantara berinteraksi dengan sumber informasi, contohnya Internet

atau Microcomputer based Laboratory (Herman Dwi Surjono, 2012:

13). Penalaran ilmiah ini salah satunya adalah kemampuan berpikir

analisis. Isjoni, dan Mohd Arif Ismail (2008: 12-14) menguatkan bahwa

ICT memiliki hubungan yang signifikan dengan kecerdasan dan

multiple intelegencies. Kecakapan penggunaan computer dalam

pembelajaran dikaitkan dengan kecerdasan, perkembangan kognitif,

kreativitas, inovasi, reka cipta, reka bentuk, visual, pembelajaran maya,

dan lain sebagainya.

Pada era digital, guru dan siswa akan menjadi bagian dari cyber

society. Perkembangan sumber belajar yang mengintegrasikan

teknologi memberikan kemudahan akses sumber informasi belajar

menjadi lebih banyak dan bervariatif bagi guru maupun siswa, hal ini

memberikan banyak peluang untuk membantu efektivitas dan evisiensi

proses pembelajaran (Pujiiriyanto, 2012: 22-24). Alasan

pengintegrasian ICT dalam pembelajaran IPA secara lebih rinci

20
menurut Wellington, J, & Ireson, G (2012: 234) adalah karena dapat

menampung dan menyimpan data dalam jumlah banyak, melakukan

kalkulasi yang kompleks dan menyimpan datanya dengan cepat,

memproses data yang banyak dan menampilkanya dalam berbagai

fomat, dan membantu menampilkan informasi secara komunikatif. ICT

adalah alat mengirim dan menerima informasi yang mudah dan cepat.

(Isjoni dan Mohd Arif Ismail, 2008: 12-14)

Bull, & Bell mengemukakan bahwa pengintegrasian ICT dalam

pembelajaran IPA dengan mengkaitkan mata rantai dari teknologi

beserta aplikasinya untuk mendukung pembelajaran IPA,

memungkinkan peserta didik untuk dapat memahami hakikat IPA

secara alamiah (Koballa, & Chiappetta, 2010: 258) adapun framework

pengintegrasian teknologi dalam pembelajaran IPA digambarkan

pada Gambar 1.

21
Pendapat ini diperkuat oleh Chiapetta, & Koballa (2010: 258)

yang mengemukakan bahwa teknologi berbasis computer dapat

membantu peserta didik untuk memahami ilmu IPA, dan memfasilitasi

mereka dalam penyelidikan, dimana mereka dapat bekerja dengan data

yang mereka generalisasikan atau yang memungkinkan simulasi.

Herman Dwi Surjono (2012: 13) mengemukakan bahwa dalam

pembelajaran IPA, model dan simulasi berbasis komputer berperan

penting karena dapat menyederhanakan ide, objek, kejadian, proses,

sistem atau fenomena sains yang kompleks maupun abstrak. Melalui

simulasi berupa eksperimen virtual, peserta didik dapat melakukan

aktivitas laboratorium dan memperoleh data percobaan sebagai bahan

22
analisis lebih lanjut. Knapp (1996: 16) mengemukakan bahwa

Teknologi interaktif dapat memotivasi peserta didik, menarik perhatian,

membelajarkan fakta, konsep, dan kemampuan teknologi untuk

memudahkan dalam mengevaluasi hasil yang sudah diperoleh.

Wellington & Ireson mengelompokkan penggunaan ICT yang

mungkin diintegrasikan kedalam proses pembelajaran sains yang

relevan pada Tabel 1.

Tabel 1. Prosess dan Penggunaan ICT dalam Pembelajaran IPA


Process in science ICT use
Measuring Data-Logging
Hypothesising Simulations, spreadsheets
Recording and Data-logging, spreadsheets, database
processing
Thingking Simulations, model packages, design and make
activities
Communication Word processing, desktop building, email,
internet, spreadsheet, interactive whiteboard,
still video and cameras
Observing Multimedia presentations, data-logging,
projection software, digital microscopes
(Diadaptasi dari Wellington & Ireson, 2012: 235)

Dari data diatas, dapat diketahui bahwa simulasi yang ada

dalam virtual laboratory dapat membantu proses berpikir peserta didik.

Knapp (1996: 19) juga mengemukakan bahwa program interaktif

komputer, dapat mendampingi peserta didik dalam mempelajari isi

pembelajaran, mengembangkan kemampuan problem-solving, dan

kemampuan menganalisis data.

Esensi mendidik di era digital telah bergeser dari transfer

pengetahuan menjadi proses transformasi kultur belajar yang mandiri,

bertanggung jawab, dan kecakapan belajar yang terus berkembang

23
(Pujiiriyanto, 2012: 22). Guru harus memandang siswanya sebagai

individu yang aktif mengkonstruksi pengetahuan, dan siswa tidak

menunggu apa yang disampaikan oleh guru (Pujiiriyanto, 2012: 21).

Berdasarkan pemaparan para ahli di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran IPA pada abad 21 ini harus

terintegrasi dengan teknologi. Penggunaan teknologi merupakan

komponen literasi sains yang harus di kembangkan dalam rangka

mengoptimalkan pencapaian tujuan pembelajaran IPA. Salah satu

caranya adalah dengan menggunakan virtual laboratory.

3. Media Pembelajaran

a. Pengertian Media Pembelajaran

Media berasal dari kata latin medius yang secara harfiah

memiliki makna “perantara” atau “pengantar” (Azhar Arsyad, 2014: 3).

Media pembelajaran adalah alat yang dapat membantu proses belajar-

mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna pesan yang

disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan

lebih baik dan lebih sempurna (Cecep Kustandi, 2013: 8). Daryanto,

(2013: 5-6) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah sesuatu

yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran),

sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan

siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Azhar Arsyad (2014: 15-16) mengemukakan manfaat media

dalam pembelajaran, yaitu: (1) membantu memperjelas penyampaian

24
informasi sehingga dapat meningkatkan proses dan hasil belajar, (2)

meningkatkan perhatian anak sehingga anak termotivasi untuk belajar,

(3) mengatasi keterbatasan indra, ruang, dan waktu (4) memberikan

kesamaan pengalaman kepada peserta didik tentang peristiwa

dilingkungan mereka dan memungkinkan adanya interaksi langsung

dengan guru. Daryanto (2013: 5-6) juga menambahkan fungsi media

pembelajaran secara umum adalah untuk: (1) menimbulkan gairah

belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar,

(4) memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan

kemampuan visual, auditori, kinestetiknya. Pujiiriyanto (2012: 22) juga

mengemukakan bahwa penyajian pembelajaran dikelas yang disertai

penyajian media interaktif berpotensi untuk mengembangkan dimensi

belajar kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Seels dan Gaslow menggelompokkan media pembelajaran

menjadi dua kategori luas berdasarkan perkembangan teknologinya,

yaitu media tradisional dan media mutakhir (Azhar Arsyad, 2014: 35).

Beberapa media yang berbasis teknologi mutakhir mempunyai

kemampuan generatif mengkombinasikan beragam format media

pembelajaran sehingga mampu menyajikan teks, gambar, suara, dan

video yang sering diistilahkan dengan multimedia (Pujiiriyanto, 2012:

52). Salah satu multimedia ini adalah virtual laboratory.

Dari semua pemaparan ahli di atas, maka dapat di simpulkan

bahwa media pembelajaran merupakan suatu perantara penyampaian

25
informasi (bahan pembelajaran) dari guru kepada peserta didik untuk

meningkatkan pemahaman, untuk mencapai tujuan pembelajaran.

b. Penilaian Multimedia Pembelajaran

Karakteristik multimedia pembelajaran antara lain: (1) memiliki

lebih dari satu media yang konvergen, misalnya menggabungkan unsur

audio dan visual, (2) bersifat interaktif, yaitu memiliki kemampuan

untuk mengakomodasikan respon pengguna, (3) bersifat mandiri,

artinya memberi kemudahan dan kelengkapan isi sedemikian rupa

sehingga pengguna bisa menggunakan tanpa bimbingan orang lain

(Daryanto, 2013: 53).

Setiap media tersebut memilik taraf evektivitas penyerapan

informasi kepada pesera didik yang berbeda-beda. Gambar kerucut

Dale di bawah ini menggambarkan bahwa hasil belajar seseorang

diperoleh mulai dari pengalaman kongkret ke simbol verbal (abstrak).

Gambar 2. Kerucut Pengalaman Dale


(Diadaptasi dari Daryanto, 2013: 15 dan Azhar Arsyad, 2014: 14)

26
Semakin ke atas di puncak kerucut semakin abstrak media

penyampai pesan itu. Bruner (1966:10-11) mengemukakan bahwa

dalam proses pembelajaran baik untuk anak-anak maupun dewasa

hendaknya menggunakan urutan dari belajaran dengan gambar atau

film (iconic representation of experiment) kemudian ke belajar dengan

symbol, yaitu menggunakan kata-kata (symbolic representation).

Ketiga pengalaman ini saling berinteraksi dalam upaya memperoleh

pengalaman (pengetahuan, keterampilan, atau sikap) yang baru

(Daryanto, 2010: 13). Dale menyatakan bahwa proses belajar manusia

normal 75% diperoleh melalui mata, 13% melalui pendengaran, dan

12% lainya (Pujiirianto, 2012: 48). Wilson juga menyatakan bahwa

pengalaman belajar 82% diperoleh dari mata, 12% melalui telinga, dan

6% lainya (Pujiirianto, 2012: 49).

Media pembelajaran dapat meningkatkan proses dan hasil

belajar, karena taraf berpikir manusia mengikuti tahap perkembangan

dari kongkret menuju ke abstrak, dimulai dari berpikir sederhana ke

kompleks. Melalui media, hal-hal yang abstrak dapat di kongkretkan,

hal-hal yang kompleks dapat di sederhanakan, membuat pembelajaran

lebih menarik, makna bahan pembelajaran menjadi lebih jelas, metode

mengajar lebih bervariasi sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak

lelah, dan peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan belajar (Nana

Sudjana dan Ahmad Rivai, 2010: 2-3).

27
Berdasarkan kajian tersebut, terlihat besarnya pengalaman

belajar yang dapat di berikan melalui multimedia virtual laboratory,

yang memadukan ionic dan symbolic representation dalam proses

pembelajaran, sehingga peserta didik lebih memaksimalkan indra

penglihatan, pendengaran dan perabaannya secara bersama-sama.

Dengan ini peneliti berharap dapat meningkatkan proses penyampaian

informasi yang ada, sehingga pemahaman peserta didik lebih

meningkat dan kemampuan analisisnya menjadi lebih terasah.

Kriteria penilaian multimedia pembelajaran dari aspek materi

untuk ahli yang digunakan dalam pengembangan ini diadaptasi Romi

Satrio Wahono (2006) yang meliputi aspek pembelajaran dan aspek

substansi materi, yang secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3

(Muhammad Singgih Zulfikar Ansori, 2013: 28). Penilaian kualitas

virtual laboratory menurut ahli media memperhatikan beberapa aspek,

meliputi: (1) Aspek rekayasa perangkat lunak, dan (2) Aspek

Komunikasi visual, yang secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3

(Muhammad Singgih Zulfikar Ansori, 2013: 29).

Dalam rangka mendukung evaluasi multimedia learning objects,

maka kriteria penilaian multimedia pembelajaran yang digunakan juga

ditinjau berdasarkan komponen proses evaluasi program dari The

Learning Object Review Instrument (LORI) yang tersaji dalam Tabel 2.

28
Tabel 2. Item Penilaian dalam LORI
Aspek Komponen
Content quality Veracity (kebenaran sesuai teori dan
(isi multimedia) konsep), accuracy (ketepatan pengguaan
istilah sesuai bidang keilmuan), balanced
presentation of ideas (keseimbangan
penyaijian ide, kedalaman materi), dan
appropriate level of detail (aktualitas)
Learning goal Alignment among learning goals
alignment (keselarasan antara tujuan pembelajaran),
(keselarasan activities (kegiatan), assessments (kegiatan
tujuan penilaian), dan learner characteristics
pembelajaran) (karakteristik peserta didik)
Feedback and Adaptive content or feedback driven by
adaptation differential learner input or learner
modeling
Motivation Ability to motivate and interest an
identified population of learners
(kemampuan untuk memotivasi)
Presentation Design of visual and auditory information
design (desain for enhanced learning and efficient mental
presentasi) processing (Desain informasi visual dan
pendengaran untuk meningkatkan belajara
dan proses mental secara efisien)
Interaction Ease of navigation (kemudahan navigasi),
usability predictability of the user interface
(prediktibilitas dari antarmuka penguna),
dan the quality of the interface help
features (kualitas fitur antarmuka bantuan)
Accessibility Design of controls and presentation
formats to accommodate disabled and
mobile learners (desain control dan format
presentasi untuk mengakomodasi peserta
didik penyandang cacat dan mobile)
Reusability Ability to use in varying learning contexts
and with learners from different
backgrounds (Kemampuan untuk
digunakan dalam berbagai konteks belajar
dengan pelajar dari latar belakang yang
berbeda)
Standards Adherence to international standards and
compliance specifications (Kepatuhan terhadap standar
internasional dan spesifikasinya)
(Diadaptasi dari Leacock, T. L., & Nesbit, J. C, 2007: 44-59)

29
Menurut Wahono (2006) aspek interaksi kegunaan (interaction

usability), aksesbilitas (accessibility) hingga usabilitas (reusability)

termasuk kedalam sisi aspek rekayasa perangkat lunak (Muhammad

Singgih Zulfikar Ansori, 2013: 31).

Berdasarkan beberapa kriteria penilaian multimedia yang baik,

maka peneliti mensintesis kriteria penilaian multimedia media virtual

laboratory berdasarkan kebutuhan pengembangan, yang meliputi:

a. Aspek materi, mencakup: (1) kebenaran materi sesuai teori dan

konsep, (2) ketepatan penggunaan istilah sesuai bidang

keilmuan, (3) kedalaman materi, dan (4) aktualitas.

b. Aspek pembelajaran, mencakup: (1) kejelasan rumusan tujuan

pembelajaran, (2) relevansi tujuan pembelajaran dengan

SK/KD/Kurikulum, (3) ketepatan penggunaan pendekatan

inkuiri terbimbing, (4) kemampuan media untuk

mengembangkan kemampuan berpikir analisis, (5)

kontekstualitas, (6) kesesuaian materi dengan tujuan

pembelajaran, (7) sistematis, runut, alur logika jelaskejelasan

uraian, pembahasan, contoh.

c. Aspek komunikasi visual, mencakup: (1) komunikatif, (2)

kreatif dalam ide berikut dalam penuangan gagasan, (3)

sederhana dan memikat, (4) visual layout design, (5) tipografi,

(6) visual warna, (7) visual bergerak, (8) ikon navigasi.

30
d. Aspek rekayasa perangkat lunak, mencakup: (1) efektif dan

evisien dalam pengembangan maupun penggunaan media

pembelajaran, (2) maintainable, (3) usabilitas, (4) ketepatan

pemilihan jenis aplikasi/software/tool (5) kompabilitas (6)

dokumentasi lengkap, (7) reusable (sebagian atau seluruh

program media pembelajaran dapat dimanfaatkan kembali untuk

mengembangkan media pembelajaran lain).

Pada aspek pembelajaran ditambahkan ketepatan pelaksanaan

pembelajaran menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing, dan

ketepatan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir

analisis. Rincian hasil sintesis peneliti dapat dilihat pada Tabel 3:

31
Tabel 3. Penilaian Multimedia yang Baik
Romi Satrio Wahono :2006 LORI Azhar Arsyad Nana Sudjana dan Sintesis peneliti disesuaikan dengan
(dalam Muhammad Singgih Zulfikar Ansori, Leacock, T. L., & (2014: 75-76) Ahmad Rivai media virtual laboratory yang akan
2013: 28-29) Nesbit, J. C. (2010: 4-5) dikembangkan
(2007: 44-59)
Aspek substansi materi: 1. Content quality Mendukung isi Mendukung isi Aspek Materi:
1. Kebenaran materi sesuai teori dan konsep (isi multimedia) pembelajaran pembelajaran. 1. Kebenaran materi sesuai teori dan
2. Ketepatan penggunaan istilah sesuai bidang yang sifatnya konsep
keilmuan, 2. Adaptasi isi fakta, konsep, 2. Ketepatan penggunaan istilah
sesuai bidang keilmuan
3. Kedalaman materi, prinsip, atau
3. Kedalaman materi
4. Aktualitas generalisasi. 4. Aktualitas

Aspek pembelajaran: Aspek pembelajaran:


1. Kejelasan rumusan tujuan pembelajaran (rumusan Keselarasan tujuan 1. Sesuai dengan 1. Ketepatanya 1. Kejelasan rumusan tujuan
realistis) pembelajaran tujuan yang dengan tujuan pembelajaran
2. Relevansi tujuan pembelajaran dengan ingin dicapai. pembelajaran. 2. Relevansi tujuan pembelajaran
dengan SK/KD/Kurikulum
SK/KD/Kurikulum,
3. Ketepatan penggunaan
3. Cakupan dan kedalaman tujuan pembelajaran, 2. Pengelompokan 2. Sesuai dengan pendekatan inkuiri terbimbing
4. Ketepatan penggunaan strategi pembelajaran sasaran, taraf berpikir 4. Kemampuan media untuk
5. Kontekstualitas perorangan atau peserta didik. mengembangkan kemampuan
6. Kesesuaian materi dengan tujuan pembelajaran kelompok. berpikir analisis
7. Kemudahan untuk dipahami 5. Kontekstualitas
8. Sistematis, runut, alur logika jelas 6. Kesesuaian materi dengan tujuan
9. Kejelasan uraian, pembahasan, contoh pembelajaran
7. Sistematis, runut, alur logika jelas
8. Kejelasan uraian, pembahasan,
contoh
Aspek komunikasi visual: Aspek komunikasi visual:
1. Komunikatif 1. Desain presentasi Mutu teknis, 1. Komunikatif
2. kreatif dalam ide, sederhana dan memikat, 2. Interaktif misalnya 2. kreatif dalam ide berikut dalam
3. audio (narasi, sound effect, backsound, music) visualisasi jelas. penuangan gagasan
3. Sederhana dan memikat
4. visual (layout design, typography, warna),

32
Romi Satrio Wahono :2006 LORI Azhar Arsyad Nana Sudjana dan Sintesis peneliti disesuaikan dengan
(dalam Muhammad Singgih Zulfikar Ansori, Leacock, T. L., & (2014: 75-76) Ahmad Rivai media virtual laboratory yang akan
2013: 28-29) Nesbit, J. C. (2010: 4-5) dikembangkan
(2007: 44-59)
5. media bergerak (animasi, movie) 4. Visual layout design
6. layout interactive (ikon navigasi) 5. Tipografi
6. Visual warna
7. Visual bergerak
8. Ikon navigasi

Aspek rekayasa perangkat lunak: Aspek rekayasa perangkat lunak:


1. Efektif dan evisien dalam pengembangan maupun 1. Usabilitas 1. Praktis, 1. Tersedia waktu 1. Efektif dan evisien dalam
penggunaan media pembelajaran (reusability) 2. Luwes, dan untuk pengembangan maupun
2. Reliable (handal). 2. Accessibility Bertahan. menggunakanya. penggunaan media pembelajaran
2. Maintainable (dapat
3. Maintainable (dapat dipelihara/dikelola dengan 3. Standards 3. Guru terampil 2. Keterampilan
dipelihara/dikelola dengan
mudah). compliance menggunakan guru dalam mudah).
4. Usabilitas (mudah digunakan dan sederhana dalam ya mengguunakanya. 3. Usabilitas (mudah digunakan dan
pengoperasianya). sederhana dalam
5. Ketepatan pemilihan jenis aplikasi/software/tool pengoperasianya).
untuk pengembangan, 4. Ketepatan pemilihan jenis
6. Kompabilitas (media pembelajaran dapat diinstalasi aplikasi/software/tool untuk
/dijalankan di berbagai hardware dan software yang pengembangan,
ada). 5. Kompabilitas (media
pembelajaran dapat diinstalasi
7. Pemaketan program media pembelajaran terpadu dan
/dijalankan di berbagai hardware
mudah dalam eksekusi. dan software yang ada).
8. Dokumentasi program media pembelajaran yang 6. Dokumentasi lengkap.
lengkap. 7. Reusable (sebagian atau seluruh
9. Reusable (sebagian atau seluruh program media program media pembelajaran
pembelajaran dapat dimanfaatkan kembali untuk dapat dimanfaatkan kembali
mengembangkan media pembelajaran lain). untuk mengembangkan media
pembelajaran lain).

33
4. Virtual Laboratory

Hardyanto (2012: 4) mendefinisikan virtual laboratory sebagai

bentuk tiruan dari laboratorium IPA yang nyata, yang digunakan dalam

aktivitas pembelajaran ataupun penelitian secara ilmiah untuk

menekankan atau mendalami konsep-konsep IPA. Virtual laboratory

juga dapat diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mengembangkan dan

menghasilkan suatu laboratorium maya berbasis komputer interaktif yang

mengintegrasikan teks, gambar, animasi, suara dan video sebuah proses

simulasi percobaan yang dapat dijalankan melalui internet atau cd-rom

(Subramanian & Marsic, 2001). Pembelajaran virtual menurut Robeck

adalah pembelajaran yang mengintegrasikan penggunaan ICT, gambar

foto, video, animasi, aktivitas, dan simulasi. Manfaatnya untuk peserta

didik antara lain mengaplikasikan kemahiran proses sains (the use of

science process skill), inkuiri sains (science inquiry), pemikiran kritikal

(critical science), pemahaman konsep (conceptual understanding), dan

pemahaman tentang hakikat IPA (understanding the nature of science)

(Isjoni, dan Mohd Arif Ismail, 2008: 122).

Virtual laboratory memiliki dua bagian penting, yaitu pemodelan

dan simulasi. Christian & Esquembre (2008) mendefinisikan pemodelan

sebagai representasi konseptual dari sistem fisik dan atau sifat-sifatnya,

untuk menjelaskan sebuah fenomena (Hardyanto, 2012: 4). Finkelstein

et.al. mendefinisikan simulasi komputer sebagai program komputer yang

mereproduksi fenomena alam melalui visualisasi dari sebuah model,

34
untuk membantu siswa dalam mempelajari model fenomena alam

dalam dunia nyata yang kompleks (Hardyanto, 2012: 4). Simulasi juga

dapat diartikan sebagai pemodelan dari peristiwa di dunia nyata, objek,

atau fenomena yang memungkinkan peserta didik untuk mendapatkan

pengalaman IPA yang bermakna dan interaktif yang dihasilkan oleh

komputer Bell & Smetana (2008) dalam (Chiapetta & Koballa, 2004:

264).

Simulasi dapat menjadi media pembelajaran instruksional yang

kuat karena membantu peserta didik memperoleh hands-on experience,

melakukan observasi, dan memahami konsep yang abstrak, agar mereka

dapat lebih memahami (Chiapetta & Koballa, 2004: 264). Wellington &

Ireson (2012: 237) menambahkan bahwa simulasi dapat memperlihatkan

kepada peserta didik tentang fenomena dan proses yang mungkin sangat

lama, sangat cepat, sangat berbahaya, ataupun sangat mahal untuk

dilakukan di laboratorium. Simulasi dirancang sesuai kondisi riil dengan

keunggulan visualisasi, interaktif, kemampuan perhitungan komputer dan

ruang lingkup sesuai denga dunia nyata, sehingga memungkinkan untuk

membantu membelajaran konsep kepada siswa dengan baik. Animasi

merupakan susunan gambar yang menunjukkan posisi objek animasi

yang berbeda-beda, untuk mensimulasikan peristiwa dan struktur yang

susah diamati atau susah di lakukan, yang dapat membantu siswa untuk

memahami konsep-konsep abstrak (Chiapetta & Koballa, 2004: 259).

35
Dapat dikatakan bahwa animasi merupakan bentuk simulasi dari model

yang menampilkan representasi konseptual dari sebuah fenomena IPA.

Dengan kemampuan modeling dan simulasinya laboratorium

virtual memiliki kelebihan dibandingkan dengan kegiatan laboratorium

konvensional sebagai berikut: (1) murah, karena tidak memerlukan

investasi besar untuk pengadaan alat laboratorium; (2) praktikum bisa

dilakukan dimana saja dan kapan saja; (3) membantu mengatasi

kekurangan alat dan juga modeling pada proses pembelajaran; (4)

memungkinkan siswa memilih sendiri percobaan yang akan

dilakukan; (5) memungkinan siswa mengulang bagian praktikum

laboratorium yang kurang jelas; (6) meningkatkan keterlibatan siswa;

(7) merangsang siswa untuk bekerja dan memecahkan masalah secara

mandiri; (8) meningkatkan pemahaman konsep anak pada konsep

yang bersifat abstrak (Hardyanto, 2012: 6-7). Knapp & Allen (1996:

116) juga menambahkan bahwa laboratorium elektronik dapat melakukan

hands-on experiments dengan peralatan yang lebih mudah, lebih aman,

dan lebih ringkas dibandingkan secara tradisional tanpa bantuan

teknologi komputer.

Dari semua pemaparan ahli di atas maka dapat disimpulkan

bahwa pada prinsipnya virtual laboratory adalah upaya pengintegrasikan

teknologi kedalam pembelajaran IPA dalam bentuk tiruan laboratorium

IPA yang nyata, berbasis komputer interaktif dengan mengintegrasikan

teks, gambar, animasi, suara dan video melalui pemodelan, simulasi, dan

36
animasi yang digunakan dalam aktivitas pembelajaran ataupun penelitian

ilmiah untuk mendalami konsep-konsep IPA. Pada ahirnya diharapkan

peserta didik memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang

IPA, dibandingkan dengan pembelajaran IPA secara konvensional tanpa

bantuan teknologi komputer.

5. Pendekatan Guided Inquiry

Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau

sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran yang merujuk pada

pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat

umum. Didalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan

melatarbelakangi metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu

(Khoiru Ahmadi, 2011: 4). Guru hendaknya dapat membuat

pembelajaran dikelas menjadi lebih aktif. Sebagaimana dinyatakan dalam

National Science Education Standards, bahwa pada prinsipnya

pembelajarn IPA merupakan proses aktif yang melibatkan aktifitas fisikal

dan mental, berupa hands-on dan minds-on experiences. Hands-on

experience yang dimaksud adalah melakukan proses-proses ilmiah,

sedangkan minds-on experience adalah kegiatan berpikir seperti

memecahkan masalah, menganalisis secara kritis dan logis (National

Research Council, 1996: 20-23). Pendekatan inquiry menekankan pada

pembelajaran aktif, yang membekali guru untuk dapat mengembangkan

lingkungan belajar yang dapat menstimulasi rasa ingin tahu peserta didik

37
dan keinginan peserta didik untuk melakukan kegiatan penyelidikan

(Collete & Chiapetta, 1994: 86-87).

Knapp (1996: 111) menyatakan bahwa “to inquire means to ask

questions, to investigate, to examine closely” menginkuiri memiliki

makna menanya, mennyelidiki, dan memeriksa lebih dekat. W. gulo

(2004: 84) juga mendefinisikan inkuiri sebagai penyelidikan. Knapp

(1996: 112) mengemukakan bahwa science inquiry adalah aktivitas

eksplorasi dan penyelidikan untuk memecahkan sebuah permasalahan.

National science education standards (1996: 23) mendefinisikan inquiry

sebagai aktivitas peserta didik dimana mereka dapat mengembangkan

pengetahuan dan pemahamanya tentang IPA layaknya ilmuan. Saat

peserta didik memahami lebih banyak konsep dan proses IPA,

kemampuan mereka dalam menjelaskan akan menjadi lebih canggih,

yang mencerminkan basis pengetahuan ilmiah yang luas, logis, tingkat

analisis yang lebih tinggi, dan kritis (National Research Council, 1996:

117). Suyadi (2013:120) juga mengemukakan bahawa pembelajaran

inkuiri merupakan pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal

untuk berpikir. Roth, & Rochyhoudhury menambahkan bahwa “inquiry-

based science experiences conducted in relevant, meaningful context

have been shown to develop higher order thingking skill in students

(Bajpai, 2013: 45).

Andrew, et.al. (2015: 5) mengemukakan bahwa “guided science

inquiry approach provides these students with greater understanding,

38
inclusion, and engagement with their science lessons than do traditional

instructional methods”. Llwellyn (2011: 5) mengemukakan “Scientific

inqury involves the knowledge, skills and attitude students develop while

investigating their natural world”, inkuiri saintifik melibatkan

pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik saat

menyelidiki alam. Buxton, & Provenzo (2002: 16) mendefinisikan

scientific inquiry sebagai proses menjelaskan dari hasil observasi yang

dibuat oleh alam di sekitar kita. Sebagaimana dikatakan bahwa:

“scientific inquiry is a process of trying to explain


observations made of the natural world around us. There are
certain rules involved in the process, including the generation
of theory (explanatory hypotheses or predictions), the
collection of data trough of observation and/or measurement,
and the analysis and interpretation of those data in an attempt
to answer an initial question”

National Science Education Standards, mengemukakan bahwa

pada prinsipnya “learning science is something students do, not

something that is done to them”, yang garis besarnya pembelajaran harus

dapat melibatkan peserta didik melakukan penyelidikan yang berorientasi

inkuiri (National Research Council. 1996: 20). Menurut Llewellyn

(2011: 6-8) saat peserta didik terlibat dalam penyelidikan IPA (science

inquiry), penyelidikan dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yang

terdiri dari tujuh bagian, yaitu: (1.) pertanyaan (mencakup

mengeksplorasi fenomena & memfokuskan pertanyaan); (2.) prosedur

(mencakup merencanakan penyelidikan & melakukan penyelidikan); (3.)

hasil (menganalisis data dan bukti, mengkonstrak pengetahuan baru, &

39
mengkomunikasikan pengetahuan baru). Setiap bagian ini memiliki

serangkaian keterampilan berpikir dan keterampilan yang berbeda-beda,

yang apabila dilihat secara kolektif akan berkontribusi untuk

menumbuhkan rasa curiousity dan discovery.

Nana Sudjana (1987: 154-155) mengemukakan bahwa

pendekatan inquiry merupakan pendekatan mengajar yang berusaha

meletakkan dasar dan mengembangkan cara berpikir ilmiah, yang

menempatkan peserta didik untuk lebih banyak belajar sendiri, dan

mengembangkan kekreativan dalam pemecahan masalah. Tahap

pendekatan inquiry ada 5, yaitu (1) merumuskan masalah untuk

dipecahkan peserta didik; (2) menetapkan jawaban sementara (hipotesis);

(3) mencari informasi, data, fakta untuk menjawab hipotesis; (4) menarik

jawaban atau generalisasi; (5) mengaplikasikan kesimpulan dalam situasi

baru.

Iif Khoiru Ahmadi (2011: 26) memperkuat pendapat Sudjana di

atas, menurut Khoiru Ahmadi, tahapan-tahapan proses inquiry yaitu: (1.)

merumuskan masalah; (2) mengembangkan hipotesis; (3) menguji

jawaban tentatif dengan menyusun dan menganalisis data; (4) menarik

kesimpulan; (5) menerapkan kesimpulan dan generalisasi. Asri Widowati

(2011: 58) juga mengemukakan tahapan inkuiri dapat diterapkan dengan:

(1) mengenal dan merumuskan problem terkait dengan percobaan; (2)

merumuskan hipotesis dan memilih satu atau lebih hipotesis untuk testing

dan verifikasi; (3) mengumpulkan serta menyusun informasi-informasi

40
yang relevan; (4) merancang percobaan; (5) melakukan percobaan; (6)

menyatakan atau menarik kesimpulan-kesimpulan (yang berdasarkan

eksperimen); (7) mengembangkan masalah baru.

W. Gulo (2004: 95-97) mengklasifikasikan tahapan proses

pembelajaran inquiry sebagai berikut: (1) pendahuluan/tahap apresepsi

(advanced organizer); (2) merumuskan masalah, (3) merumuskan

jawaban sementara (hipotesis); (4) menguji jawaban tentative; (5)

menarik kesimpulan; dan (6) menerapkan kesimpulan dan generalisasi.

Tahapan inquiry menurut Iif Khoiru Khoiru Ahmadi, dkk (2011: 23) juga

sama dengan yang dinyatakan oleh W. Gulo di atas. Iif Khoiru Ahmadi

mengemukakan bahwa secara umum prosedur pembelajaran dilakukan

melalui 3 tahapan, yaitu berupa kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan

kegiatan akhir, & tindak lanjut.

Udin S Winartaputra (2003), mengemukakan bahwa pendahuluan

dilakukan untuk menciptakan kondisi awal pembelajaran dan

apresepsi/pre-test (Iif Khoiru Ahmadi, 2011: 27). Apresepsi menurut

Depdiknas (2003) adalah memulai pelajaran dengan hal-hal yang

dipahami dan diketahui peserta didik, memotivasi peserta didik, dan

mendorong peserta didik agar tertarik mempelajari hal-hal baru (Iif

Khoiru Ahmadi, 2011: 27). Kegiatan inti meliputi penyampaian tujuan

secara lisan maupun tulisan, menyampaikan alternaltif kegiatan belajar

yang akan ditempuh, dan membahas materi (Iif Khoiru Ahmadi, 2011:

29). Selanjutnya yang perlu dilakukan dalam kegiatan akhir, antara lain

41
penilaian akhir, analisis hasil penilaian akhir, tindak lanjut,

mengemukakan topic yang akan dibahas pada waktu yang akan datang,

dan menutup kegiatan pembelajaran. Mulyasa menambahkan bahwa dua

kegiatan pokok pada akhir pembelajaran adalah pemberian tugas dan post

test (Iif Khoiru Ahmadi, 2011: 29).

Llewellyn (2011: 4-5) mengklasifikasikan science inquiry

menjadi tiga bentuk, yaitu structured inquiry, guided inquiry, dan full

atau open inquiry. Sund & Trowbridge (1973: 71) juga mengelompokkan

pendekatan inkuiri dalam tiga bentuk, yaitu Inkuiri Terbimbing (Guided

Inquiry), Inkuiri Semi Terbimbing (Modified Free Inquiry), dan Inkuiri

Bebas (Free Inquiry). Dalam penelitian ini penulis menggunakan

penekatan guided inquiry karena berdasarkan observasi peserta didik

masih membutuhkan bimbingan guru dalam menggunakan media.

Sebagaimana dikemukakan oleh Asih (2014: 81) bahwa pendekatan

inkuiri di tingkat SMP masih tahap inkuiri terbimbing. Selain itu

mempertimbangkan perkembangan kognitif peserta didik SMP yang

berdasarkan teori Piaget peserta didik masih berada pada masa transisi

dari tahap operasional konkrit menuju tahap operasional formal. Pada

tahap ini peserta didik mulai mampu membuat korelasi secara

proporsional, sehingga untuk melakukan kegiatan inkuiri, peserta didik

tingkat SMP masih memerlukan bimbingan guru.

Pada pendekatan Guided Inquiry, peserta didik memperoleh

pedoman sesuai dengan yang dibutuhkan, misalnya pertanyaan-

42
pertanyaan yang membimbing peserta didik untuk melakukan

penyelidikan (Sund & Trowbridge, 1973: 71). Guru menyediakan

permasalahan yang akan diselidiki, dan mengusulkan alat dan bahan

yang akan digunakan, atau mendesain langkah kerja peyelidikan.

Kemudian peserta didik membuat kesimpulan dan penjelasan

berdasarkan data yang peroleh (Llwellyn, 2011: 18). Bimbingan lebih

banyak diberikan pada tahap awal, dan sedikit demi sedikit dikurangi

sesuai dengan perkembangan pengalaman peserta didik (Sund &

Trowbridge, 1973: 71). Guru hanya fasilitator yang mendampingi

kelompok-kelompok peserta didik dalam proses penyelidikan. Guru

bekeliling, membimbing peserta didik yang bertanya atau mengalami

kesulitan, tetapi tidak memberikan jawaban secara langsung. Guru

membimbing, dan menggiring peserta didik dalam penyelidikan untuk

membantu siswa memperoleh jawabanya (Llwellyn, 2011: 18).

Berdasarkan pemaparan ahli-ahli di atas peneliti menekankan

perbedaan guided inquiry dengan inquiry yang lain adalah guru yang

merumuskan masalah, dan guru membimbing siswa untuk melakukan

penyelidikan. Dengan arahan guru, peserta didik sendiri yang membuat

kesimpulan berdasarkan data-data yang telah diperoleh. Pendekatan

guided inquiry ini dapat diintegrasikan dalam virtual laboratory, karena

kegiatan inquiry dapat membelajarkan peserta didik untuk berproses

secara aktif dalam berbuat (hands-onh) melalui metode ilmiah yang di

hadirkan dalam kegiatan laboratorium secara virtual, dan melibatkan

43
siswa secara aktif dalam berpikir ilmiah (minds-on) melalui kegiatan

laboratorium virtual tersebut. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sandra

(2010: 401) yang mengemukakan bahwa labratorium IPA di sekolah

dapat dikolaborasikan dengan cara mengembangkan inquiry

menggunakan teknologi.

Berdasarkan pemaparan beberapa ahli di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa pendekatan inkuiri merupakan pendekatan

pembelajaran melalui proses penyelidikan yang dalam penelitian ini

mencakup 7 tahap, yaitu orientasi masalah, merumuskan masalah,

merumuskan hipotesis, menguji hipotesis, menganalisis data, menarik

kesimpulan, dan mengkomunikasikan. Sebagaimana yang telah disintesis

peneliti (tersaji dalam Lampiran 2.5). Pendekatan yang digunakan

mengunakan guided inquiry, maka dalam penerapanya guru memberikan

bimbingan ketika proses pembelajaran.

6. Kemampuan Berpikir Analisis

Berpikir merupakan kemampuan untuk menganalisis, mengkritik

dan mencapai kesimpulan berdasarkan interferensi atau judgement yang

baik (Arends, 2008: 43). Kemampuan berpikir dapat didefinisikan

sebagai kegiatan akal secara sadar untuk mengolah pengetahuan yang

telah diterima melalui panca indra dengan tujuan mencapai kebenaran,

dengan cara mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis,

membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan, mencari hubungan satu sama

lain, mencari penyebab terjadinya suatu peristiwa, menarik kesimpulan,

44
dan membahas suatu realitas dengan mengguakan konsep atau berbagai

pengertian (Adun Rusyna, 2014: 14). Fungsi berpikir antara lain adalah

untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah, menghasilkan

sesuatu yang baru yang bersifat orisinil dan realistis, dan sebagai

filter/pengendali alam bawah sadar (budaya/warisan, agama) serta untuk

bertahan hidup, dan sosial (Adun Rusyna, 2014: 2-5). Dapat disimpulkan

bahwa kemampuan berpikir merupakan kemampuan akal secara sadar

untuk mengolah pengetahuan yang telah diterima melalui panca indra

untuk memecahkan masalah secara lebih efektif dan efisien dalam

upayanya bertahan hidup dan mempertahankan eksistensinya dalam

berkehidupan sosial.

Benjamin S.Bloom, dkk (1956) mengelompokkan hasil belajar

dalam 3 domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Anderson dan

Krathwol (2001: 86) mengemukakan bahwa kemampuan berpikir analisis

termasuk kedalam dimensi proses kognitif. Domain kognitif memiliki 6

jenjang kemampuan, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan,

analisis, sintesis, dan evaluasi (Zainal Arifin, 2014: 21-22). Kemampuan

kognitif peserta didik berdasarkan tingkatnya dapat diklasifikasikan

menjadi dua, yaitu tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kemampuan tingkat

rendah meliputi pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi, sedangkan

kemampuan tingkat tinggi meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan

kreativitas (Arifin, 2014: 23). Dalam penelitian ini, peneliti hanya

meneliti tentang kemampuan berpikir analisis. Anderson dan Krathwol

45
(2001: 86) mengemukakan bahwa kemampuan analisis adalah

kemampuan untuk memecah–mecah materi menjadi bagian penyusunya

dan menentukan bagaimana hubungan antara satu bagian dengan bagian

yang lainya, dan menentukan bagaimana hubungan untuk keseluruhan

susunan atau tujuan. Kemampuan analisis menurut pendapat Ngalim

Purwanto (1994: 46), adalah kemampuan teeste untuk menganalisis atau

menguraikan suatu integritas atau suatu situasi tertentu ke dalam

komponen-komponen atau unsur-unsur pembentuknya. Peserta didik

diharapkan dapat memahami sekaligus memilah-milahnya menjadi

bagian-bagian, misalnya kemampuan menguraikan proses terjadinya

sesuatu ataupun cara bekerjanya.

Kemampuan analisis menurut Krathwol terbagi menjadi 3, yaitu

differentiating (membedakan), organizing (mengorganisasikan), dan

attributing (mengatribusikan) yang di tersaji pada Tabel 4:

46
Tabel 4. Aspek-aspek Kemampuan Berpikir Analisis

(Diadaptasi dari Anderson, & Krathwol, 2001: 68)

Zainal Arifin (2014: 21-22) mengelompokkan kemampuan

analisis menjadi tiga yaitu anaisis unsur, analisis hubungan, dan analisis

prinsip-prinsip yang terorganisasi. Silverius (1991:46) juga

mengelompokkan kemampuan analisis menjadi 3, yaitu analisis unsur,

analisis hubungan, dan analisis prinsip-prisip yang terorganisasi.

Kemampuan analisis menuntut peserta didik untuk menguraikan suatu

situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen

pembentuknya (Zainal Arifin, 2014: 21-22). Tingkat analisis

menghendaki siswa mengenali kesalahan-kesalahan logis, menunjukkan

47
kontradiksi atau membedakan di antara fakta, pendapat, hiptesis asumsi,

dan simpulan. Peserta didik diharapkan menggambarkan hubungan antar-

ide. Contoh kata kerja yang digunakan misalnya adalah analisis, rincikan,

pisahkan, bedakan, garis bawahi, asosiasikan, buat diagram, hubungkan,

bedakan, gambarkan, simpulkan, kurangi, tunjukkan, tegaskan,

bandingkan (Shirran, 2008: 14).

Kata kerja operasional meganalisis menurut Bloom antara lain:

menganalisis, mengaudit, memecahkan, menegaskan, mendeteksi,

mendiagnosis, menyeleksi, memerinci, mendominasikan,

mendiagramkan, mengkorelasikan, merasionalkan, menguji,

membagankan, menyimpulkan, menemukan, mengedit, mengaitkan,

memilih, mengukur (Adun Rusyna, 2014: 25). Kata kerja lain yang dapat

digunakan antara lain menguraimemisah-misahkan, membuat garis besar,

menghubungkan, dan memerinci (Zainal Arifin, 2014: 21-22). Contoh

kemampuan analisis antara lain mengklasifikasikan, meramalkan sifat

sifat tertentu yang tidak disebutkan secara jelas, meramalkan kondisi

berdasarkan kriterianya, membuat pola dengan relevansi sebab-akibat

ataupun keruntutan, dapat mengorganisasikan pola, dapat meramalkan

sudut pandang kerangka materi dan tujuan (Ngalim Purwanto, 1994: 46).

Berdasarkan semua pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa kemampuan berpikir analisis adalah kemampuan untuk

menguraikan materi kedalam unsur-unsur pembentuknya, dapat mencari

hubungan, dan mengorganisasikan susunan antar unsur-unsur tersebut

48
secara terpisah maupun secara keseluruhan. Kemampuan ini terbagi

menjadi tiga, yaitu differentiating (membedakan), organizing

(mengorganisasikan), dan attributing (mengatribusikan). Sintesis peneliti

secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 2.6.

Ada bermacam-macam bentuk tes, tes tertulis terbagi menjadi

objektif dan essay. Tes objektif terdiri atas completion type test (tes

melengkapi dan fill in), selection type test, true-false, multiple choice,

dan matching (menjodohkan) (Purwanto, 1994: 35-36). Tes yang paling

cocok untuk mengevaluasi kemampuan berpikir analisis menurut Shirran

(2008: 85) adalah tes essai, karena memungkinkan guru melihat proses

berpikir siswa. Tes essai memungkinan guru mengukur tingkat berpikir

yang lebih tinggi (analisis, sisntesis, dan evaluasi). Tes ini mudah dibuat

dan membutuhkan waktu yang sedikit untuk mengembangkanya, akan

tetapi mengharuskan siswa untuk memberikan respon tertulis yang

panjang.

Disamping itu, Ngalim Purwanto (1994: 36) menyatakan bahwa

tes objektif juga baik untuk mengukur hasil belajar tingkat knowledge,

komperhension, aplikasi dan analisis. Dibawah ini adalah Tabel

perbedaan tes objektif dan essai menurut Ngalim Purwanto.

49
Tabel 5. Perbedaan Tes Objektif dan Tes Essay
Ditinjau dari Tes objektif Tes Essay
Taksonomi hasil Baik untuk mengukur Baik untuk
yang diukur hasil belajar tingkat komperhensi, aplikasi,
knowledge, dan analisis.
komperhension Sangat baik untuk
(pemahaman), aplikasi tingkat sintesis dan
dan analisis. evaluasi
Tidak cocok untuk Tidak evisien untuk
tingkat sistesis dan knowledge
evaluasi (pengetahuan hafalan).
Sampling Mencakup/ mewakili Tidak mewakili isi
isi/bahan bahan pelajaran yang bahan yang luas karena
luas, karena jumlah jumlah soal yang
itemnya banyak. relative sedikit.
Persiapan Sukar, dan memakan Sukar untuk
membuat soal waktu lama. mempersiapkan item
yang baik, tetapi lebih
mudah dari
mempersiapkan soal
objektif.
Penskoran Objektif, sederhana, dan Subjektif, sukar, dan
keandalanya tinggi. kurang andal.
Kemungninan Mendorong siswa untuk Mendorong siswa
mengingat, untuk mengorganisasi
menginterpretasikan, dan dan mengintegrasikan
menganalisis ide-ide ide-idenya sendiri
orang lain
(Diadaptasi dari Ngalim Purwanto, 1994: 36)

Teori Ngalim purwanto ini juga diperkuat oleh pendapat Silverius

(1991: 46) yang menyatakan bahwa bentuk soal yang sesuai untuk

mengukur kemampuan analisis adalah pilihan ganda dan uraian.

Berdasarkan semua pemaparan ahli di atas, peneliti mensintesis bahwa

tes dan evaluasi kemampuan berpikir analisis dapat dilakukan dengan

menggunakan tes tertulis dalam bentuk uraian dan objektif atau pilihan

ganda. Peneliti mengembangkan soal kemampuan berpikir analisis dalam

bentuk uraian sebanyak 6 soal pada penelitian ini.

50
B. KAJIAN KEILMUAN

1. Analisis Peta Kompetensi

Penyusunan virtual Laboratory IPA ini berpedoman pada Standar

Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) IPA SMP dengan prinsip keterpaduan

connected pada materi “Gerak pada Tumbuhan” kelas VIII. Materi yang

diambil dapat dikaji dari 2 aspek, yaitu Biologi, dan Fisika, dengan lebih

banyak kajian pada bidang biologinya daripada bidang fisika. Adapun

peta kompetensi dapat dilihat pada Lampiran 2.1.

Tujuan pembelajaran yang baik menurut Cecep Kustandi (2013:

124) yaitu berorientasi kepada peserta didik, menyatakan apa yang harus

dilakukan peserta didik untuk mencapai hasil ahir, dan dinyatakan

dengan kata kerja operasional. Adapun tujuan Pembelajaran yang ingin

dicapai dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2.3.

2. Materi Gerak pada Tumbuhan

Pola pertumbuhan pada tumbuhan mengikuti rangsang yang

berasal dari lingkunganya. Gerak pada tumbuhan berdasarkan sumber

rangsanya dibagi menjadi gerak endonom/otonom dan gerak

esionom/para ionic. Gerak endonom merupakan gerak tumbuhan yang

spontan berasal dari dalam tubuh tumbuhan. Sedangkan gerak esionom

dipengaruhi oleh rangsangan eksternal (dari luar), meliputi gerak

tropisme, nasti, dan taksis. Pada penelitian ini hanya dibatasi pada gerak

etionom, dan difokuskan pada fotonasti dan tigmonasti.

51
a. Tropisme

Tropisme berasal dari bahasa Yunani “Trope” yang artinya

“turn” atau membelok (Salisbury, F.B, & C.W. Ross, 1995: 96).

Tropisme merupakan respon pertumbuhan tumbuhan, baik positif

maupun negatif terhadap rangsangan eksternal, yang biasanya datang

dari satu arah (Raven, P. H., & Johnson G. B, 2002: 808). Arah gerak

tumbuhan dipengaruhi oleh arah rangsang lingkungan yang mengenai

tumbuhan (Salisbury, F.B, & C.W. Ross, 1995: 96). Apabila bagian

tumbuhan bergerak kearah datangnya rangsang, disebut tropisme

positif. Pertumbuhan bagian tumbuhan bergerak berlawanan dengan

arah datangnya rangsang disebut tropisme negatif (Kimball, 1992:

591). Gerak tropisme sangat berarti dalam mengatasi keadaan

lingkungan yang kurang menguntungkan arah (Raven, P. H., &

Johnson G. B, 2002: 808). Gerak tropisme terbagi menjadi 3, yaitu:

fototropisme, gravitropisme, dan tigmotropisme (Raven, P. H., &

Johnson G. B, 2002: 808)

1) Fototropisme

Gambar 3. Fototropisme
(Sumber : Raven, P. H, & Johnson G. B, 2002: 808)

52
Pada intinya dalam gerak fototropisme terjadi pembelokan

pertumbuhan batang dan bagian lain tumbuhan ke arah sumber

cahaya (Raven, P. H., & Johnson G. B, 2002: 808). Batang dan

daun mengarahkan dirinya ke berkas cahaya (Salisbury, F.B, &

C.W. Ross, 1995: 105). Pada umumnya fototropisme positif terjadi

pada batang yang mengarah ke sumber cahaya, dimana kebanyakan

akar tidak merespon cahaya tersebut, atau pada pengecualian kasus

tertentu hanya memeperlihatkan respon fototropisme yang lemah.

Reaksi fototropisme pada batang memiliki nilai adaptasi pada

tumbuhan agar dapat memperoleh pencahayaan yang lebih banyak,

dan menentukan perkembangan organ tanaman yang akan

mempengaruhi penampilan tanaman. Misalnya posisi daun yang

penting untuk efisiensi fotosiontesis (Raven, P. H., & Johnson G.

B, 2002: 808).

Respon fototropisme ini diatur oleh hormon auksin. Tunas

mengandung protein dengan molekul penyerap cahaya. Ketika

diaktifkan oleh cahaya, molekul protein ini memberi sinyal yang

mempengaruhi transportasi auksin agar turun dari ujung tunas yang

terkena cahaya. Penyinaran pada satu sisi ujung tunas

menyebabkan distribusi yang tidak merata dari auksin, lebih

banyak pada sisi teduh daripada sisi yang terkena sinar (Campbell,

et.al. 2004: 482).

53
Tumbuhan memiliki reseptor cahaya yang disebut dengan

phytochrome, yang ada dalam dua bentuk, Pr dan Pfr. Dalam bentuk

pertama, fitokrom menyerap cahaya merah, dan dalam bentuk yang

kedua menyerap far-red light. Ketika molekul dari Pr menyerap

foton cahaya merah (660 nm), langsung diubah menjadi molekul

Pfr. Ketika molekul dari Pfr menyerap foton cahaya far-red light

(730 nm), akan dikonversi ke Pr. Reaksi biologis yang dipengaruhi

oleh fitokrom hanya akan terjadi apabila terdapat Pfr. Ketika cahaya

yang diserap far-red light atau dalam keadaaan gelap maka

sebagian besar Pfr telah digantikan oleh Pr, dan tidak akan terjadi

reaksi (Raven, P. H., & Johnson G. B, 2002: 808-809).

Phytochrome tidak dapat langsung membawa respon cahaya.

Phytochrome mengandung dua bagian, sebagian kecil sensitif

terhadap cahaya dan sebagian besar yang adalah protein.

Komponen protein memulai transduksi sinyal yang mengarah ke

tropisme tertentu. Fitokrom terdapat pada semua tumbuhan dan

beberapa ganggang hijau, tapi tidak dalam bakteri, jamur, atau

Protista (Raven, P. H., & Johnson G. B, 2002:808).

54
Gambar 4. Percobaan Darwin
Percobaan ini memperlihatkan bahwa respon
fototropisme bergantung pada cahaya yang mencapai
ujung tanaman.
(Sumber: Kimball, 1992: 592)

Berdasarkan percobaan Charles Darwin, & Francis tahun

1880 ditemukan bahwa gerakan pembelokan pada batang

tumbuhan terdapat di daerah belakang ujungnya. Rangsangan

(cahaya) terdeteksi pada satu tempat (ujung), dan responya

(pembelokan) dilakukan di tempat lain (daerah pemanjangan).

Pembengkokan tidak terjadi di ujung koleoptil tetapi di bagian

bawah ujung koleoptil (Kimball, 1992: 592-595). Berdasarkan

percobaan Darwin diketahui bahwa fotoreseptor sistem peka

cahaya terdapat pada seluruh panjang koleoptil, terutama terpusat

hanya terbatas pada beberapa milimeter apikal/apek koleoptil, apek

menyalurkan ke daerah bawah (Wilkins, 1992: 312). Percobaan

ahli fisiologi tumbuhan Denmark Boysen-Jensen pada 1913

menunjukan bahwa terdapat system komunikasi berupa suatu

55
bahan kimia yang berjalan melalui ujung koleoptil menuju ke

bawah (Kimball, 1992: 592-595).

F. W Went menemukan bahwa koordinator kimiawi tersebut

adalah auksin, yang merangsang pemanjangan sel (Salisbury, F.B,

& C. W. Ross, 1995: 37). Koordinator kimiawi ini hanya menuruni

sisi gelap tumbuhan, merupakan stimulator pertumbuhan yang

melibatkan pemanjangan sel (Kimball, 1992: 592-595). Distribusi

auksin tidak merata, karena cahaya menyebabkan auksin di

translokasikan ke sisi yang gelap (Kimball, 1992: 592-595).

Sebagaimana dikemukakan Raven, P. H, & Johnson G. B (2002:

836) bahwa “Auxin migrates away from light and promotes the

elongation of plant cells on the dark side, causing stems to bend in

the direction of light. Konsentrasi auksin pada bagian tanaman

yang gelap lebih sedikit dibandingkan pada bagian yang terkena

cahaya. Perbedaan konsentrasi ini menyebabkan bagian yang gelap

mengalami pertumbuhan dan pemanjangan sel yang lebih cepat

daripada bagian yang terkena cahaya (Raven, P. H, & Johnson G.

B, 2002: 815). Ketidakseimbangan laju pertumbuhan ini,

menyebabkan pembelokan tumbuhan ke arah cahaya (Campbell,

et.al., 2004: 477).

56
Gambar 5.Sel Pada Bagian yang Gelap Mengalami Pemanjangan
yang Lebih Cepat daripada Sel Pada Bagian yang
Terang.
(Sumber: Campbell, et. al., 2004: 477)

Auksin (Asam indolasetat) berasal dari bahasa Yunani

“auxien” yang artinya “increase” atau meningkatkan (Raven, P.

H., & Johnson G. B, 2002: 815). Auksin menyebabkan

pembengkokan koleoptil ke arah cahaya. Auksin ada banyak di

ujung koleoptil, dan dapat berdifusi dari ujung koleoptil menuju

potongan kecil agar (Salisbury, F.B, & C.W. Ross, 1995: 37).

Auksin disintesis pada bagian meristem apical yang ada di tunas.

Auksin membuat dinding sel muda menjadi lebih plastis/kenyal

sehingga mendukung pemanjangan sel (Raven, P. H., & Johnson

G. B, 2002: 817). Kepekaan maksimum fototropisme terjadi di

daerah bawah apex (Wilkins, 1992: 294)

Gambar 6. Ikatan Kimia pada IAA (Indoleacetic Acid/ Auksin)


(Sumber: Raven, P. H, & Johnson G. B, 2002: 816)

57
Auksin dapat memanjangkan sel, karena mekanisme yang

sangat cepat yang menghilangkan ikatan dari komponen dinding

sel dengan dinding selnya yang kaku (Campbell, et.al., 2004: 477).

Auksin menstimulasi pembentukan ion hidrogen dari sel target

sehingga PH dinding selnya menurun, dan memecah ikatan pada

dinding sel, pada ahirnya sel menjadi lebih plastis/lunak dan

mendukung sel tersebut agar lebih mudah mengembang

sebagaimana dapat dilihat pada gambar 5 (Raven, P. H., & Johnson

G. B, 2002: 817).

Gambar 7. Cara Kerja Auksin


(Sumber: Raven, P. H, & Johnson G. B, 2002: 817)

Cara kerja auksian adalah menghambat (pertumbuhan pucuk

lateral), dan merangsang jaringan (koleoptil, dinding bakal biji

pada bakal buah). Fungsi auksin selain untuk pemanjangan

adalah untuk: (1) perkembangan buah, pada waktu biji berkembang

biji mengeluarkan auksin ke bagian-bagian bunga sekitarnya,

58
sehingga merangsang pertumbuhan buah, (2) dominasi apical, yaitu

pertumbuhan ujung pucuk suatu tumbuhan menghambat

perkembangan kuncup lateral di batang sebelah bawah yang di

sebabkan oleh transport auksin ke bawah yang dibuat di dalam

meristem apical, (3) ambibisi, yaitu adalah lapisan yang terbentuk

ketika produksi auksin di ujung daun dan ujung batang sudah

berkurang dan membuat jatuhnya daun dan buah. Daun dan buah

muda membentuk auksin dan selama itu keduanya tetap kuat

menempel pada batang, tetapi apabila pembentukan auksin

berkurang maka akan terbentuk selapis sel khusus di pangkal

tangkai daun atau di pangkal lapisan ambibisi. Tak lama kemudian,

tangkai daun atau buah akan melepaskan diri dan jatuh ke tanah

(Kimball, 1992: 597).

2) Tigmotropisme

Gambar 8. Tigmotropisme Memungkinkan Tendit Kacang


Mengeriting Mengelilingi Kawat.
(Sumber: Campbell, et.al., 2004: 482)

Tigmotropisme adalah respons terhadap sentuhan benda

padat, yaitu merambatnya tumbuhan mengelilingi sebuah tiang atau

batang tumbuhan lain (Salisbury, F.B, & C.W. Ross, 1995: 105).

59
Saat sulur mengalami kontak dengan suatu benda, khususnya pada

sel epidermis, aksi ini kurang dapat dipahami, dan membuat sulur

melingkar pada objek dalam kurun waktu 3 sampai 10 menit.

Auksin dan etilen terlibat dalam gerak ini, dan dapat merangsang

penggulungan apabila tidak ada kontak dari stimulus. Gerak ini

terjadi pada tumbuhan menjalar, rumput pengikat (bindweed), dan

dooder (penggetar) (Raven, P. H, & Johnson G. B, 2002: 810).

3) Geotropisme

Contoh geotropisme atau gravitopisme, adalah akar tumbuh

ke bawah dan batang tumbuh ke atas sebagai responya terhadap

gravitasi (Salisbury, F.B, & C.W. Ross, 1995: 105). Pada saat

perkecambahan biji, tunas kecambah tumbuh ke atas dan akarnya

tumbuh kebawah menuju tanah. Akar, dan tunasdari tanaman

dewasa juga merespon gravitasi (Campbell, et.al., 2004: 482). Akar

yang tumbuh ke bawah atau menjauhi cahaya untuk mencari tanah,

air, dan mineral dapat dilihat pada gambar 7:

Gambar 9. Skema Geotropisme


(Sumber: Kimball, 1992: 592)

Respon gravitropisme pertama-tama dirasakan oleh sel,

sinyal terbentuk dalam sel yang merasakan grafitasi, kemudian

sinyal disalurkan secara intra dan interseluler, perbedaan

60
pemanjangan sel terjadi diantara sel yang ada di atas dan di bawah

sisi akar atau batang (Raven, P. H., & Johnson G. B, 2002: 809).

Grafitasi menarik organ yang mengandung kerapatan butiran zat

tepung yang rapat ke titik terendah dari sel. Ketidakmerataan

distribusi dari organ ini dapat memberikan rangsangan kepada sel

untuk memindahkan auksin sampai akar atau tunas, sehingga

berdampak pada arah pertumbuhan sel (Campbell, et.al., 2004:

482). Pertama-tama amyloplast, plastida yang mengandung zat

tepung masuk ke dalam medan gravitasi, sehingga memungkinkan

interaksi dengan sitoskeleton. Akibatnya konsentrasi auksin lebih

banyak pada bagian bawah aksis batang daripada bagian atas,

menyebabkan pertumbuhan sel pada bagian bawah menjadi lebih

cepat dibandingkan bagian atas, hasilnya terjadi pembelokan keatas

dari batang yang berlawanan dengan gaya gravitasi (disebut dengan

grafitropisme negatif) yang dapat dilihat pada gambar 8. Bagian

atas akar mengalami oriemtasi pertumbuhan yang lebih cepat

daripada bagian bawah, menyebabkan akar tumbuh ke bawah yang

disebut grafitropisme positif (Raven, P. H., & Johnson G. B, 2002:

810).

61
Gambar 10. Tunas Tanaman Tetap Tumbuh ke atas, Ketika Posisi
Pot di ubah.
(Sumber: Campbell, et.al., 2004: 482)

4) Hidrotropisme

Hidrotropisme merupakan gerak tropisme yang dipengaruhi

oleh rangsang berupa keberadaan sumber air atau kelembaban

(Raven, P. H., & Johnson G. B, 2002: 810)

5) Kemotropisme

Kemotropisme merupakan gerak tropisme yang dipengaruhi

oleh rangsang berupa zat kimiawi (Kimball, 1992: 723)

b. Nasti

Gerak nasti ini distimulasi oleh rangsangan dari luar (Salisbury,

F.B, & C.W. Ross, 1995: 96). Kimball (1992: 591) mengemukakan

bahwa arah respon gerak nasti tidak ditentukan oleh arah sumber

rangsangan luar yang mengenai organisme. Salisbury, F.B, & C.W.

Ross (1995: 97-98) mengemukakan bahwa gerak nasti bersifat

reversible, dan sering terjadi pada anak-anak daun dari daun majemuk.

Peristiwa pembengkokan organ ke atas disebut hiponasti, yang

62
disebabkan karena sel di sisi bawah tumbuh lebih cepat.

Pembengkokan organ ke bawah disebut epinasti, yang disebabkan

karena pertumbuhan sel pada bagian atas tangkai daun dan helai daun

yang lebih cepat dibandingkan di bagian bawah. Hal ini sering

disebabkan karena adanya pulvinus di pangkal tangkai daun, helai

daun, atau anak-anak daun. Tetapi ini juga dapat terjadi pada

tumbuhan yang tidak memiliki pulvinus.

1) Tigmonasti

Tigmonasti berasal dari bahas yunani “thigma” yang berarti

sentuhan, tigmonasti adalah gerak nasti yang disebabkan karena

rangsang sentuhan. Gerak ini terlihat jelas pada anggota tertentu

anak-suku Mimosoidae. Anak-anak daun Mimosa akan mengatup

serempak dengan cepat saat di sentuh, digoyang, dipanasi,

didinginkan dengan cepat, atau diberi rangsangan listrik (Salisbury,

F.B, & C.W. Ross, 1995: 100). Arah menutupnya daun putri malu

akibat rangsang adalah tetap (Kemendikbud, 2014: 4). Fungsi

gerakan ini adalah untuk mengusir serangga (Salisbury, F.B, &

C.W. Ross, 1995: 100).

63
Gambar 11. Daun Mimosa pudica
(Sumber: Raven, P. H., & Johnson G. B, 2002: 832)

Keterangan: (a) Pada setiap helai daun Mimosa terdiri atas banyak

leaflet (anak daun), pada setiap dasar leaflet terdapat struktur yang

menggembung dan disebut dengan pulvinus. (b) Perubahan turgor

menyebabkan leaflets melipat, sebagai respon dari stimulus ini

(Sumber: Raven, P. H., & Johnson G. B, 2002: 832).

Campbell, & Reece (2012: 433) mengemukakan bahwa sel-

sel pulvini disebut juga organ-organ gerak tersepesialisasi, yang

terletak di buku-buku daun. Ketika pulvini daun distimulasi dengan

angin, panas, cahaya yang intensif, dan sinyal elektris, sinyal

elektris ini akan diterjemahkan ke dalam sinyal kimiawi melalui

berkas pembuluh, diawali dengan lepasnya ion potassium, dan

diikuti oleh air yang berpindah dari dalam sel keluar sel pulvinus

64
menuju ruang antar sel melalui dinding sel (Raven, P. H., &

Johnson G. B, 2002: 832). Sinyal yang menghasilkan respons ini

berpindah dengan kecepatan sekitar 1cm/detik. Due to osmosis,

water follow the ions out of the cells. The cells shrink, causing the

leaflet droop (Campbell, et.al., 2004: 481) Pada mimosa, aliran ion

itu melintasi sel parenkima (yang dihubungkan oleh

plasmodesmata) xylem dan floem, dengan kecepatan sekitar 2cm s-


1
(Salisbury, F.B, & C.W. Ross, 1995: 101).

Gambar 12. Mimosa pudica (Putri Malu)


(a) Kondisi tak terangsang, dan
(b) Kondisi terangsang (anak daun melipat)
(Sumber: Campbell, et.al., 2012: 434)

Ketika satu anak daun disentuh, dia akan merespon dan

meneruskan rangsang itu ke anak daun sebelahnya, demikian

seterusnya, hingga semua pasangan anak daun melipat bersama-

sama (Campbell, et.al., 2012: 434). Jika anak daun Mimosa pudica

yang disentuh di ujung saja, maka akan melipat berpasang-

pasangan dari ujung ke pangkal. Ini merupakan gerakan kimiawai

melalui berkas pembuluh, sehingga seolah-olah ada rangsangan

65
mengalir ke daun (Kimball, 1992: 591). Mereka melipat karena

kehilangan tekanan turgor (Raven, P. H., & Johnson G. B, 2002:

832). Terjadi aliran air menjauhi daerah sentuhan, kadar air di sel

parenkim daerah pulvini yang terkena sentuhan berkurang dan

tekanan turgornya mengecil (Kemendikbud, 2014: 4). Perubahan

ini terjadi akibat hilangnya turgor secara tiba-tiba dalam massa sel

parenkima di pangkal setiap anak daun. (Kimball, 1992: 591). The

cells shrink, causing the leaflet droop (Campbell, et.al., 2004:

481). Penurunan tekanan turgor ini membuat sel menyusut dan

menjadi lembek/kempes, sehingga daun melipat dengan cepat.

Raven, P. H., & Johnson G. B (2002: 832) menyatakan bahwa

“Turgor is pressure within a living cell resulting from diffusion of

water into it”. Tekanan turgor merupakan tekanan yang disebabkan

oleh isi sel terhadap dinding sel pada sel tumbuhan.

(Kemendikbud, 2014: 4).

Menrut Kimball (1992: 500), tekanan itu muncul karena

perbedaan konsentrasi larutan dalam floem dan air yang dalam

saluran xylem yang berdekatan. Kehilangan turgor setengah dari

pulvinus ini menyebabkan daun melipat dengan cepat antara 1

sampai 2 detik setelah disentuh (Raven, P. H, & Johnson G. B,

2002: 832). Penurunan tekanan turgor ini mengacaukan

keseimbangan kedua sisi dan memungkinkan sel-sel sangat ditekan

di bagian atas sehingga pulvinus menjadi melengkung dan

66
peptiolenya layu ke bawah. Diperlukan sekitar 10 menit agar sel-

sel tersebut memperoleh kembali turgornya dan mengembalikan

bentuk daun seperti semula (Campbell, et.al., 2012: 433). Setelah

15-30 menit daun melipat, air terdifusi kembali kedalam sel yang

sama, untuk mempertahankan bentuknya agar menjadi lebih turgid

(kaku) sehingga daun kembali ke posisi semula (Raven, P. H., &

Johnson G. B, 2002: 832).

Gambar 13. Bagian-bagian Tumbuhan Mimosa pudica


(Sumber: Dokumentasi penulis diadaptasi dari Wilkins, 1992: 339)

2) Niktinasti (gerak tidur)

Niktinasti berasal dari bahasa Yunani “nux” artinya malam.

Merupakan proses berirama yang dikendalikan oleh interaksi

antara lingkungan dan waktu, biasanya terjadi pada spesies

tumbuhan berdaun majemuk rangkap, yang setiap daunya memiliki

beberapa anak daun dan setiap anak daun memiliki beberapa

pasang daun yang berhadapan menempel pada satu rakila,

67
contohnya pohon sutera (Albizzia julibrissin), putri malu (Mimosa

pudica), dan pohon hujan (Samanea saman). Gerakan daun hampir

mendatar pada siang hari sampai hampir tegak pada malam hari.

Pada malam hari ujung anak daun Albizzia julibrissin yang

berhadapan menutup ter ke atas, dan menunjuk ke arah ujung distal

rakila. Sedangkan anak-anak daun Samanea terlipat kebawah,

bukan ke atas. Pada kedua kasus tersebut sejumlah sel di pulvinus

yang menggembang saat membuka di sebut ekstensor, dan yang

mengkerut dinamakan fleksor. Pulvinus pada Sammanea berupa

tabung lurus pada siang hari, ketika anak-anak daun terbuka dan

berbentuk tabung bengkok pada malam hari, saat anak-anak daun

tertutup (Salisbury, F.B, & C.W. Ross, 1995: 98).

Air mengalir dari satu sisi pulvinus ke sisi lainya, diikuti

pelepasan ion K+ bergerak keluar dari sel yang kehilangan air.

Selanjutnya perubahan tingkat CL- sejalan dengan perubahan

tingkat K+ (Salisbury, F.B, & C.W. Ross, 1995: 98-99). Pada

mimosa, Abizzia, dan Samanea pergerakan air terjadi akibat

respons terhadap gaya penggerak osmotic pengangkutan ion, persis

sepeti pembukaan dan penutupan stomata.

3) Hidronasti

Gerak hidronasti meliputi gerak pelipatan daun terhadap

keadaan yang rawan air, untuk mengurangi terpaan udara kering

pada permukaan daun, dan mengurangi transpirasi stomata.

68
Gerakan pelipatan daun disebabkan karena hilangnya tekanan

turgor dalam sel motor berdinding tipis yang disebut buliform. Sel

tersebut ada pada rumput biru Kentucky (Poa Pratensis). Sel ini

memiliki sedikit kultikula sehingga air yang hilang melalui

transpirasi lebih cepat daripada sel epidermis lainya. Ketika

tekanan turgor menurun, turgiditas sel yang tetap di sisi bawah

daun mengkibatkan daun terlipat, agar tumbuhan dapat bertahan

dari kekeringan (Salisbury, F. B, & C.W. Ross, 1995: 99).

4) Fotonasti

Fotonasti ditandai dengan menutupnya daun pada malam

hari, sebagaimana dikemukakan Criley Bruce, et.al. (1980: 599)

bahwa “Leaves are extended in the daytime (Right) at night the

leaves are closed “

5) Termonasti

Gerak thermonasti dipengaruhi oleh suhu. Misalnya terjadi

pada terbukanya bunga tulip pada hari-hari yang hangat (Kimball,

1992: 723).

c. Taksis

Gerak taksis adalah reaksi organisme dengan bergerak secara

otomatis mendekati atau menjauhi stimulus pada sudut tertentu

(Kimball, 1992: 723).

69
1) Kemotaksis

Kemotaksis terjadi pada E. coli. Apabila tabung kapiler yang

berisi zat seperti glukosa dimasukkan ke dalam suatu medium

berisi E. coli, bakteri itu akan mengubah pola lokomosinya

sedemikian rupa sehingga mereka berkumpul di dekat sumber zat

tersebut. E. coli bereaksi kuat terhadap sejumlah molekul organik

selain glukosa, termasuk galaktosa dan asam-asam amino serin dan

asam aspartat (Kimball, 1992: 723-724).

2) Fototaksis

Fototaksis sering terjadi pada mikroorganisme fotosintetik.

Misalnya Alga hijau Chlamydomonas maupun Euglena yang secara

langsung berenang menuju cahaya dengan intensitas sedang. Akan

tetapi saat intensitasnya ditingkatkan, akan tercapai suatu titik

dimana Chlamydomonas itu secara tiba-tiba berbalik arah dengan

berenang menjauh cahaya (melakukan gerak fototaksis negatif)

(Kimball, 1992: 724).

C. Penelitian yang Relevan

1) Skripsi Rancang Bangun Virtual Laboratory Experimentation Fisika

dalam Pokok Bahasan Induksi Magnet dan Elektromagnet oleh

Muhammad Singgih Zulfikar Ansori, Program Studi Pendidikan Ilmu

Komputer FPMIPA UPI tahun 2013. Berdasarkan penelitian tersebut,

didapatkan hasil bahwa Virtual laboratory dapat meningkatan prestasi

peserta didik berdasarkan perhitungan N-gainscore.

70
2) Jurnal internasional teknologi pendidikan Bajpai Manisha, tahun 2013

tentang Developing Concepts in Physics Through Virtual Lab

Experiment: An Effectiveness Study. Berdasarkan penelitian tersebut,

didapatkan hasil bahwa peserta didik lebih memahami konsep fotolistrik

dengan menggunakan virtual laboratory dibandingkan kegiatan

laboratorium real.

3) Skripsi Pengembangan Virtual Laboratory untuk Mendukung

Implementasi Scientific Approach dan Meningkatkan Motivasi Belajar

IPA dengan Tema ”Kalor Pada Kehidupan Kita”Di SMPN Wonsari oleh

Rasyid Zuhdi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2015.

Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa virtual

laboratory dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik.

4) Jurnal penelitian Laboratorium Virtual Suplemen Pembelajaran IPA

oleh Wahyu Hardyanto Jurusan Fisika FMIPA Unnes yang

diseminarkan pada prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Prodi

Pendidikan IPA FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, pada 6

Oktober 2012. Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa

laboratorium virtual diperlukan untuk memperkuat pemahaman konsep

dalam proses pembelajaran. Laboratorium virtual bukanlah pengganti

tetapi bagian dari laboratorium real yang digunakan untuk melengkapi

dan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada, sebagai suplemen

yang mudah diakses dan nyaman untuk mendukung kegiatan

laboratorium yang sebenarnya.

71
5) Penelitian Pengembangan Model Virtual Laboratory Fisika Modern

untuk Meningkatkan Disposisi Kritis Calon Guru oleh Gunawan dan

Liliasari, FKIP Universitas Mataramdan FMIPA Universitas Pendidikan

Indonesia Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa

laboratorium virtual fisika modern efektif meningkatkan disposisi

bepikir kritis mahasiswa.

6) Thesis Pembelajaran Pengaruh Pembelajaran Berbasis Inkuiri Dalam

Kegiatan Laboratorium Terhadap Motivasi Belajar Dan Keterampilan

Berpikir Peserta Didik SMP oleh Ratna Wulandari, Jurusan Pendidikan

Sains Pascasarjana UNY tahun 2012. Berdasarkan penelitian tersebut,

didapatkan hasil bahwa pembelajaran berbasis inkuiri dalam kegiatan

laboratorium berpengaruh dalam meningkatkan keterampilan berpikir

kritis peserta didik kelas VIII.

7) Skripsi Pengembangan Pengembangan Perangkat E-Learning Berbasis

Guided Inquiry pada Tema Perpindahan Kalor dan Termoregulasi untuk

Meningkatkan Kemandirian Belajar Siswa Oleh Amiratul Ratna Putri

Felintina Yuniarti Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Negeri Yogyakarta, tahun 2015. Berdasarkan penelitian

tersebut, didapatkan hasil bahwa pembelajaran berbasis inkuiri dalam

kegiatan laboratorium berpengaruh dalam meningkatkan kemandirian

belajar dan kemampuan kognitif peserta didik yang ditunjukkan dari

nilai gain score sebesar 0,39 yang termasuk dalam kriteria sedang.

72
8) Penelitian Tanuja Sheory dan Vijay Kumar Gupta tahun 2011, tentang

“Effective Virtual Laboratory Content Generation and Acessibility for

Enhanced Skill Development through ICT” yang dikemukakan dalam

konferensi internasional Distance Learning and Education di Singapura.

Berdasarkan penelitianya diketahui bahwa eksperimen virtual yang

dirancang dengan benar dari setiap kategori, dengan konten standar,

demonstrasi, metodologi dan strategi evaluasi yang tepat, bahkan dapat

menggantikan eksperimen real dan membawa manfaat pemahaman

konsep yang lebih baik dan kemampuan hands-on yang diperlukan.

73
D. Kerangka Berpikir

74

Anda mungkin juga menyukai