Anda di halaman 1dari 2

KLB DIFTERI

Upaya bersama lintas sektor sangat dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan kasus kejadian
luar biasa (KLB) Difteri yang mengemuka di pertengahan Desember lalu. Salah satunya, dengan
mendukung pelaksanaan outbreak respons immunizations (ORI) agar berhasil menutup immunity
gap di wilayah yang terjadi KLB Difteri. Hal ini bertujuan dalam rangka mewujudkan cita-cita
bersama, yakni melindungi seluruh warga negara dari ancaman penyakit berbahaya.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Oscar Primadi menambahkan munculnya KLB Difteri
dapat terkait dengan adanya immunity gap, yaitu kesenjangan atau kekosongan kekebalan di
kalangan penduduk di suatu daerah. Kekosongan kekebalan ini terjadi akibat adanya akumulasi
kelompok yang rentan terhadap difteri, karena kelompok ini tidak mendapat imunisasi atau tidak
lengkap imunisasinya. Akhir-akhir ini, di beberapa daerah di Indonesia, muncul penolakan terhadap
imunisasi. "Penolakan ini merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya cakupan imunisasi.
Cakupan imunisasi yang tinggi dan kualitas layanan imunisasi yang baik sangat menentukan
keberhasilan pencegahan berbagai penyakit menular, termasuk difteri," ungkap Oscar.

Selama tahun 2017, KLB Difteri terjadi di 170 kabupaten/kota dan di 30 provinsi, dengan
jumlah sebanyak 954 kasus, dengan kematian sebanyak 44 kasus. Sedangkan pada tahun 2018
(hingga 9 Januari 2018), terdapat 14 laporan kasus dari 11 kab/kota di 4 propinsi (DKI, Banten,
Jabar dan Lampung), dan tidak ada kasus yang meninggal.

Pada tahun 2018 tidak ada penambahan Kabupaten/Kota yang melaporkan adanya KLB
Difteri. Data terakhir, terdapat 85 kab/kota dari total 170 kab/kota yang sudah tidak melaporkan
kasus baru. Itu artinya KLB di 85 Kabupaten Kota tersebut bisa dikatakan berakhir.

Seperti diketahui, kriteria berakhirnya suatu KLB adalah apabila tidak ditemukan lagi kasus
baru selama 2 kali masa inkubasi terpanjang (ditambah masa penularan Difteri) sejak laporan kasus
terakhir, sehingga status KLB dapat dicabut setelah 4 minggu oleh pemerintah daerah.

Outbreak respons immunization (ORI) merupakan standard operating procedure apabila


terjadi KLB penyakit yang sebenarnya bisa dicegah oleh imunisasi (PD3I), dalam hal ini Difteri.
ORI dilaksanakan langsung bila ditemukan penderita Difteri oleh Puskesmas. Sasaran ORI adalah
anak berusia usia 1 s.d 19 tahun. ORI bertujuan untuk meningkatkan kekebalan masyarakat dengan
menutup immunity gap sehingga diharapkan dapat memutus mata rantai penularan. Karena itu, ORI
Difteri sebanyak tiga putaran perlu dilakukan untuk membentuk kekebalan tubuh dari bakteri
corynebacterium diphteriae.

ORI telah dimulai di 12 kab/kota pada bulan Desember 2017 dan akan dilanjutkan secara
bertahap di 73 kab/kota di 11 provinsi lainnya pada tahun 2018 dengan kriteria Kabupaten/Kota
yang masih memiliki laporan kasus baru ; dan/atau 2) Wilayah kab/kota yang sering melaporkan
terjadi KLB difteri dalam 2017; dan/atau 3) Wilayah kab/kota yang ada kematian Difteri; dan/atau
4) Wilayah dengan cakupan imunisasi rutin rendah dibawah 90%.

Pemerintah menjamin ketersediaan vaksin difteri (DPT-HB-Hib, DT dan Td) yang


digunakan untuk kegiatan ORI dan kegiatan imunisasi rutin. Distribusi vaksin dilakukan secara
berjenjang sampai di tingkat pelayanan.
Adapun sasaran Pelaksanaan ORI Tahun 2017-2018 ini kurang lebih sebanyak 32.212.892
orang dengan kategori usia 1 s.d < 5 tahun (7.236.672 orang), usia 5 s.d < 7 tahun (3.684.049
orang), dan usia 7 s.d 18 tahun (21.292.171 orang).
Bio Farma sebagai BUMN produsen Vaksin dan Antisera terbesar di Asia Tenggara,
berkomitmen untuk mendukung pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan vaksin, khususnya vaksin
Difteri. Vaksin produksi Bio Farma yang digunakan pada ORI dan program imunisasi nasional,
terjamin kualitas, keamanan, khasiat dan mutunya karena telah dilakukan pengujian untuk
mendapatkan izin dari Badan POM, serta telah mendapatkan pengakuan dari Badan Kesehatan
Dunia (WHO). Saat ini produk vaksin Bio Farma sudah digunakan oleh lebih dari 130 negara,
termasuk diantaranya 57 negara Islam. Menghadapi KLB Difteri, Biofarma akan menambah
kapasitas produksi vaksin dengan kandungan Difteri dengan memaksimalkan produksi, serta
memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, sehingga permintaan ekspor telah dinegosiasi
untuk dijadual ulang setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi.

Vaksin dengan kandungan difteri yang diproduksi Biofarma terdiri dari: 1) Vaksin DTP-
HB-Hib (Pentabio) diberikan untuk anak usia 1-5 tahun; 2) Vaksin DT diberikan untuk usia 5-7
tahun; dan 3) Vaksin Td diberikan untuk usia diatas 7 tahun.

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh dan berkembang dengan optimal,
tanpa rasa khawatir akan ancaman kesehatan yang mengganggu masa depannya. Hal terpenting
yang perlu diingat adalah bagaimana masyarakat secara sadar dapat mencegah agar KLB Difteri
ataupun KLB penyakit lain tidak perlu terjadi karena dapat dicegah dengan imunisasi. Karena satu-
satunya cara mencegahnya adalah dengan penguatan program imunisasi nasional dengan
mengupayakan semua anak mendapatkan imunisasi rutin dengan lengkap.

Sejatinya, imunisasi merupakan hak anak, bukan hak orang tua. Hanya saja, anak belum
dapat menyatakan keinginannya untuk memiliki kekebalan dari penyakit- penyakit berbahaya,
belum dapat menyuarakan secara lantang haknya untuk sehat. Akhirnya tinggal bagaimana kita
mampu melihat imunisasi sebagai ikhtiar melindungi buah hati, melindungi masa depan generasi
bangsa, agar mereka bisa tumbuh dengan baik dan meraih masa depan, karena tidak ada
permasalahan kesehatan atau risiko yang membahayakan. Tanda kita menyayangi bukan dengan
menjauhkan vaksinasi. Justru tanda kasih sayang adalah memberikan hak perlindungan.

REFERENSI
1. Amindoni, A. (2017). Wabah difteri di 20 provinsi: Lima hal yang perlu anda ketahui.
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-42215042
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). PEMERINTAH OPTIMIS KLB DIFTERI
BISA TERATASI. http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=18011500004

Anda mungkin juga menyukai