Anda di halaman 1dari 22

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Proses Peninjauan Diperbaiki Diterima Diterbitkan


Penyerahan
03-05-2020 15-03 s/d 25-04-2020 29-05-2020 30-06-2020 30-06-2020

Jurnal Studi Sosial dan Politik, Vol. 4, No. 1, Juni 2020 (18-31)
ISSN 25978756
e ISSN 25978764

Jurnal Studi Sosial dan Politik Diterbitkan oleh: FISIP Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Transformasi Wacana Radikalisme Menjadi Kekerasan Ekstremis


(Analisis Pemberitaan Penanganan Gerakan Radikal di Indonesia)

Sunardi Panjaitan
Email Universitas
Paramadina:
panjaitansunardi@gmail.com

Abstrak
Artikel ini menjelaskan bagaimana transformasi wacana radikalisme menjadi kekerasan ekstremis
dalam pemberitaan media. Gerakan radikal cenderung dimaknai sebagai tindakan kekerasan.
Tidak hanya terorisme tetapi juga wacana tentang gagasan membangun negara Islam termasuk
aksi dan gerakan radikal. Oleh karena itu negara harus menghancurkan gerakan radikal atau
paham radikalisme. Apalagi liputan media itu penting. Namun dalam pemberitaan media, negara
melabeli kelompok Islam sebagai kelompok radikal. Pelabelan tersebut disebabkan karena
pemerintah tidak memiliki gagasan atau konsep yang menyeluruh terhadap aksi terorisme atau
gerakan radikal itu sendiri. Buktinya gerakan radikal di Indonesia selalu bergerak di antara dua
pendulum, setelah aksinya akan dihasilkan regulasi baru. Ketika teror dan kekerasan terjadi,
pemerintah merespon peristiwa tersebut dengan mengeluarkan sejumlah regulasi dan wacana
beberapa kebijakan di media. Akibatnya, aksi teror cenderung berulang, ketidakadilan dan
diskriminasi cenderung ditujukan kepada kelompok tertentu. Oleh karena itu, transformasi
radikalisme menjadi kekerasan ekstremis sebagai respon terhadap wacana penanganan terorisme
di Indonesia memiliki gagasan atau konsep yang menyeluruh.

Kata kunci: Gerakan Radikal, Terorisme, liputan media, Kekerasan Ekstremis

Abstrak

Artikel ini menjelaskan bagaimana transformasi wacana radikalisme ke kekerasan ekstrimis


dalam pemberitaan media. Gerakan radikal diartikan sebagai tindakan kekerasan. Tidak hanya
1
itu, akar dari terorisme disebabkan oleh paham radikal (radikalisme). Namun wacana tentang
radikalisme pun terus berkembang, bentuk dari tindakan atau aksi radikal juga yaitu gagasan
membangun negara Islam. Oleh karena itu negara penting untuk menangani gerakan radikal atau

2
Sunardi Panjitan, Transformasi Wacana Radikalisme Menjadi Kekerasan Ekstremis
(Analisis Pemberitaan Penanganan Gerakan Radikal di Indonesia), JSSP, Vol. 4, No. 1, Juni 2020

paham radikalisme, terutama melalui pemberitaan media. Namun dalam pemberitaan media,
negara melakukan labelisasi terhadap kelompok Islam. Labelisasi tersebut terjadipemerintah
tidak memiliki gagasan atau konsep yang menyeluruh terhadap tindakan terorisme atau gerakan
radikal. Penangangan paham radikalisme di Indonesia selalu bergerak di antara dual bantu. Aksi
dan regulasi. Ketika terjadi peristiwa teror dan kekerasan, pemerintah merespons peristiwa
tersebut dengan menerbitkan sejumlah regulasi dan beberapa kebijakan di media. Hasil dari aksi-
aksi teror cenderung berulang, dan ketidakadilan dan diskri cenderung dialamatkan terhadap
kelompok tertentu. Oleh sebanya transformasi radikalisme ke kekerasan ekstrimis sebagai
tanggapan terhadap wacana penanganan aksi teror di Indonesia dengan konsep dan gagasan
secara menyeluruh.
kata kunci : Gerakan Radikal, Terorisme, Pemberitaan, Kekerasan Ektrimis

PENGANTAR

Ledakan gedung World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 di Amerika menjadi titik
awal wacana Islam dan terorisme secara global. Termasuk Islam dicap sebagai agama yang
menjadi dalang aksi terorisme. Meski American Intelligence Center (CIA) telah meminta maaf
karena salah mengira dan membenarkan Islam (Osman Bin Laden) menjadi dalang di balik
ledakan WTC pada 2019. Hal itu tidak mencabut wacana yang telah mengakar pada terorisme.
Dan di Indonesia sendiri sudah menjadi wacana publik. Apalagi setelah peristiwa itu, Bom Bali
tertanggal 22 Oktober 2002.
Isu terorisme juga muncul dan selalu dikaitkan dengan gerakan radikal dan/atau
radikalisme. Aksi terorisme yang terus berulang dan menjamur seperti Bom Mega Kuningan
(2009), Bom Solo (2011), Bom Buku, dan Bom Thamrin (2016), dan lain-lain semakin
memperkuat aksi terorisme terkait gerakan radikal atau radikalisme. Umar (2010) menyebut
berbagai aksi terorisme tersebut sebagai gerakan Islam radikal. Radikalisme dipahami sesuatu
yang bertentangan dengan negara, menggunakan Islamisme sebagai pijakan ideologis. Dan
kelompok Islam radikal di Indonesia menjadi perhatian serius. Karena pemberantasan terorisme
harus terintegrasi dengan penghancuran paham dan gerakan radikal.
Namun wacana radikalisme atau gerakan radikal terus menjadi perdebatan. Selain
radikalisme sebagai akar terorisme, wacana tentang radikalisme juga berkembang dalam gagasan
untuk membangun negara Islam (Daulah Islamiyah/Khilafah Islam). Ini memiliki sejarah panjang
di Indonesia. Namun Hadiz (2018) mengatakan bahwa ide untuk membangun Negara Islam
adalah gerakan populisme politik Islam. Munculnya gerakan Islam ini sebagai kekuatan politik di
Indonesia untuk kebebasan umat (masyarakat Islam) dari penindasan dan eksploitasi.
Sehingga wacana radikalisme meluas yang tidak lagi terfokus pada aksi teror. Masuk juga dalam
masalah sistem politik dan ekonomi seperti demokrasi, kapitalisme, dan imperialisme yang
memicu gerakan radikal. Sarana gerakan Islam radikal ini disebabkan oleh kemiskinan,
penindasan, dan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Maka muncullah gerakan radikal untuk
melawan sistem yang membelenggu itu. Dari wacana yang berkembang, pelabelan terhadap

3
Sunardi Panjitan, Transformasi Wacana Radikalisme Menjadi Kekerasan Ekstremis
(Analisis Pemberitaan Penanganan Gerakan Radikal di Indonesia), JSSP, Vol. 4, No. 1, Juni 2020
kelompok radikal juga marak

4
dilakukan oleh negara/pemerintah. Berbagai wacana pemerintah terus dikembangkan dan
dikampanyekan. Terutama relasi dan jaringan yang telah dibangun oleh kelompok radikal di
Indonesia. Aksi teroris dengan pengeboman yang terjadi ada kaitannya dengan jaringan Al
Qaeda, Jemaah Islamiyah (JI), ISIS, dan lain-lain.
Sedangkan aksi kelompok radikal yang bertujuan membangun sistem dan negara Islam
selalu dikaitkan dengan jaringan Ihwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan juga ISIS. Menyikapi
gerakan radikal ini, pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan politik. Diantaranya
pembubaran dan atau pencabutan izin organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pemerintah
meyakini bahwa ide-ide radikal dibangun dan dikembangkan di masjid, universitas, dan berbagai
media dan fasilitas lainnya.
Tulisan ini ingin fokus pada aspek bagaimana wacana tentang radikalisme di media pada
tahun lalu (2019). Wacana ini menarik untuk dikaji mengingat dalam perkembangannya,
kampanye penanggulangan gerakan radikalisme di Indonesia justru dianggap menyasar kelompok
dan ormas Islam. Lebih lanjut, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (2016)
mendefinisikan radikalisme sebagai suatu sikap yang mendambakan perubahan total dan
revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang bersifat drastis melalui kekerasan
(kekerasan) dan tindakan ekstrem. Dan penanganan gerakan radikal di Indonesia masih dianggap
selective logging, dan pemerintah dianggap islamophobia.
Karena penanganan gerakan radikalisme di Indonesia yang dianggap hanya menyasar
kelompok dan ormas Islam, maka beberapa kelompok penekan mulai menyuarakan istilah
radikalisme untuk diubah menjadi ekstremisme kekerasan. Wacana gerakan ekstremisme
berkembang atas refleksi atas pelabelan kelompok dan agama tertentu yang melakukan aksi teror.
Selain itu, wacana tersebut lahir dari kritik terhadap penanganan aksi terorisme yang ada, yang
dinilai tidak efektif, diskriminatif, dan tidak adil. Pergeseran wacana saat ini memenuhi meja
ulama dan berbagai media saat ini. Dan media telah menjadi alat kampanye untuk menghadapi
gerakan teroris dan atau gerakan radikal Indonesia. Karena media memberikan dukungan total
untuk memerangi aksi teroris di Indonesia. Meski aksi teror cenderung terus berulang di
Indonesia. Maka dalam artikel ini, akan menjawab pertanyaan penelitian, bagaimana penanganan
gerakan radikal oleh pemerintah sehingga melahirkan pergeseran wacana tentang radikalisme ke
kekerasan ekstremis di media?

Teori Wacana Pemberitaan Terorisme dan Gerakan Radikal


Dengan menggunakan teori wacana, artikel ini akan menunjukkan bagaimana pergeseran wacana
tentang gerakan radikalisme ke kekerasan ekstremis di media. Analisis wacana adalah analisis
yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa, baik dalam tulisan, ucapan, mitos, atau simbol
lainnya sebagai praktik sosial (Eriyanto, 2008 dan Williams, 2003).
Pemerintah membagi dua kelompok yang melakukan gerakan radikal dalam pemberitaannya ke
media. Pertama, kelompok meneror dengan bom yang disebut terorisme. Kedua, kelompok yang
ingin mengubah sistem negara atau ingin mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah/Khilafah
Islamiyah). Pengelompokan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut menimbulkan pro dan
kontra di masyarakat. Sehingga teori wacana dioperasionalkan dengan menelusuri alur cerita
yang digunakan oleh dua kelompok pro dan anti wacana terhadap penanganan gerakan
radikal/aksi terorisme di media.
pelaporan oleh pemerintah. Pelacakan wacana dan alur cerita terbatas pada data periode satu
tahun terakhir ketika wacana radikalisme menjelma menjadi gerakan kekerasan ekstremis.
Artikel ini menggunakan data berupa kliping media, infografis yang tersebar di media
mainstream yang terkait dengan berita radikalisme, dokumen presentasi ilmiah pakar, dokumen
resmi yang dikeluarkan oleh lembaga donor seperti Bank Dunia, dan halaman resmi pihak-pihak
yang terlibat dalam pembentukan organisasi tersebut. ceramah. Itu semua akan menimbulkan
perdebatan tentang bagaimana pergeseran wacana tentang radikalisme ke kekerasan ekstremis di
media dan penanganannya oleh pemerintah. Dan menurut Ernesto Laclau dan Chantal Moffee
(1985), teori wacana mengandaikan bahwa proses sosio-politik adalah praktik wacana.
Savirani (2017) mengatakan wacana yang dimaksud adalah “artikulasi” atau argumentasi. Yang
dimaksud dengan “artikulasi” adalah “setiap kegiatan/praktik yang membangun hubungan
antarelemen, termasuk identitas, yang merupakan hasil modifikasi dari kegiatan
wacana/artikulasi” (setiap praktik yang membangun hubungan antarelemen seperti identitas, yang
dimodifikasi sebagai akibat dari praktik artikulatoris). Sejalan dengan itu, dengan penajaman
dalam beberapa elemen, Marteen Hajer (1995) memahami wacana sebagai “kumpulan ide,
konsep, dan kategori yang diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan, dalam praktik-praktik
tertentu dan melalui praktik-praktik ini makna realitas sosial. dan realitas fisik dibangun". Dan
dalam liputan media, wacana dibangun di atas isi (content) liputan media. Ada keterkaitan antara
konten yang dibangun dengan kondisi sosial penonton atau masyarakat dan dinamika politik di
tanah air. Menurut Morely dalam Rachma Ida (2014) adalah terdapat wacana yang utuh
(pemahaman yang kental) antara isi berita (media) dengan khalayak. Hal ini terkenal dengan
penelitian Cultural Studies yang menjadi titik tolak dalam mengamati media.
Wacana radikalisme dan terorisme dalam pemberitaan media tidak terlepas dari relasi ini. Negara
dalam hal ini yaitu pemerintah sedang membangun wacana di media massa untuk menghadapi
gerakan radikal dan atau terorisme. Dan respon masyarakat berbeda-beda, kemudian muncul
wacana baru dengan istilah kekerasan ekstremis sebagai alternatif dalam melawan gerakan
radikal atau aksi terorisme yang cenderung berulang. Untuk memahami transformasi wacana
adalah dengan melihat dan menelusuri alur cerita, yaitu “semacam narasi yang digunakan oleh
negara melalui instrumennya yaitu Kepolisian dan BNPT atau Kementerian Agama dengan
kelompok-kelompok yang terlibat dan dianggap terpapar gerakan radikal untuk melihat fenomena
sosial.” Dan menurut Marteen Hajer (1995) Alur cerita merupakan realitas sosial yang dilakukan
dengan menggabungkan berbagai argumen domain. Alur cerita juga menyediakan alat referensi
simbolis bagi para aktor untuk menciptakan pemahaman bersama. Dengan kata lain, alur cerita
bukan sekedar bahasa dengan muatan argumentasi tertentu di dalamnya, melainkan alat politik
yang digunakan untuk membangun dan mengatasi berbagai variasi wacana.

METODE PENELITIAN
Artikel ini menjelaskan bagaimana pergeseran wacana tentang radikalisme ke kekerasan
ekstremis di media dan penanganannya oleh pemerintah. Fokus tulisannya adalah liputan media
dalam menangani gerakan radikal di Indonesia. Oleh karena itu, dalam artikel ini, kami menggali
informasi yang mendalam dari media
dalam menangani tindakan teroris atau gerakan radikal oleh negara atau pemerintah. Artikel ini
menggunakan pendekatan penelitian media monitoring untuk menganalisis masalah secara
holistik, artikel ini berfokus pada isu pergeseran wacana tentang gerakan radikalisme ke
kekerasan ekstremis dalam pemberitaan media dan penanganannya oleh pemerintah.
Data yang dikumpulkan penulis dalam makalah ini menggunakan purposive sampling
untuk menganalisis semua berita yang berkaitan dengan tema penelitian. Menurut Sugiyono
(2017), purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu. Alasan menggunakan teknik purposive sampling karena tidak semua sampel memiliki
kriteria yang sesuai dengan fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis memilih teknik
purposive sampling yang menetapkan pertimbangan atau kriteria tertentu yang harus dipenuhi
oleh sampel yang digunakan dalam penelitian ini.
Objek penelitian ini adalah pemberitaan berita radikalisme di 11 media online nasional
dalam kurun waktu satu tahun (Januari-Desember 2019). Kesebelas media online tersebut adalah
Tempo.co, Detik.com, Republika.co.id, Kompas.com, Cnnindonesia.com, Jpnn.com,
Liputan6.com, Medcom.com, Sindonews.com, Viva.co.id, dan Akurat.co. Media-media tersebut
dipilih dengan berbagai pertimbangan mulai dari distribusi media, segmen media, rating, dan
kepemilikan media.

HASIL DAN DISKUSI


Gerakan Radikal dan Liputan Media di Indonesia
Gerakan radikal dikaitkan dengan tindakan kekerasan. Makna publik gerakan radikal sebagai
tindakan kekerasan sudah menjadi budaya. Apalagi para ulama hampir semuanya sepakat akar
dari aksi terorisme karena radikalisme/radikalisme. Nafi Muthohirin (2015), Hamid Nur (2016),
Harun Rosyid (2018), Moch. Kholid Afandi (2019) mengatakan bahwa radikalisme adalah ide
atau gagasan perubahan dengan cara kekerasan. Artinya radikalisme telah dimaknai sebagai
tindakan kekerasan yang hegemonik.
Sejarah gerakan radikal dilakukan oleh kelompok yang disebut kelompok Islam radikal.
Hamid Nur (2016) mengatakan bahwa kelompok tersebut merujuk semua tindakannya pada
doktrin agama yang sangat mendasar atau fanatisme agama yang sangat tinggi dan kemudian
tidak jarang para penganut paham radikal tersebut menggunakan kekerasan kepada orang-orang
yang berbeda paham/sekte untuk menerimanya. pemikiran keagamaan mereka. Dan Mark
Juergensmeyer mengatakan bahwa kelompok itu menggunakan pandangan kuno dan sering
menggunakan kekerasan untuk mengajarkan keyakinan mereka. Mereka suka melakukan aksi
teror yang artinya menakut-nakuti atau menimbulkan ketakutan.
Leni Winarni (2014) mencoba memahami pandangan radikalisme di Indonesia secara berbeda.
Radikalisme, menurutnya, tidak hanya diasosiasikan dengan tindakan kekerasan tetapi juga dapat
diartikan sebagai penyucian total terhadap ajaran Islam (pemurnian). Karena pemaknaan
radikalisme yang telah hegemoni sebelumnya, cenderung melekatkan radikalisme dengan
kekerasan. Sehingga pemikiran radikalisme diwujudkan dalam bentuk kekerasan. Jadi pelabelan
gerakan radikal adalah teroris (aksi kekerasan). Dan tindakan terorisme cenderung dikaitkan
dengan Islam atau simbol dan atribut Islam. Istilah lain adalah pelabelan Islam.
Sejarah panjang makna dan istilah gerakan radikal tidak lepas dari wacana yang telah dibangun
oleh negara melalui instrumennya (Polri, Kementerian
Agama, BNPT, dll). Radikalisme sendiri merupakan ancaman bagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang merupakan ancaman terhadap ideologi Pancasila. Karena radikalisme
sebagai paham bertujuan untuk mengubah dasar negara atau Pancasila. Oleh karena itu
radikalisme sendiri dianggap sebagai kelompok ekstrim kanan. Dan doktrin radikalisme yang
paling sering adalah bom bunuh diri, jihad, dan intoleransi. Dan penyebabnya ada dalam
pemikiran dan politik. Wacana yang dikembangkan oleh negara diartikulasikan melalui liputan
media. Dan sampai saat ini masih sangat masif diulang-ulang oleh negara.
Selama ini pemberitaan tentang pemberantasan aksi terorisme bertujuan untuk melawan
radikalisme. Gun Gun Heryanto (2017) disebut sebagai literasi media. Literasi media bertujuan
untuk menangkal radikalisme. Pertama, adalah pengetahuan mengakses berita atau informasi di
media. Melalui pengetahuan ini, akan membantu pengguna untuk meminimalkan informasi yang
terdistorsi. Kedua, adalah skill atau kemampuan. Hal ini terkait dengan tujuan seseorang
mengakses berita. Dengan ini, pengguna akan memahami sumber yang dibaca ketika mengakses
berita melalui media internet. Ketiga, adalah sikap. Hal ini terkait dengan sikap dan respon yang
diambil masyarakat setelah menerima kabar tersebut. Apakah berita itu sesuatu yang benar dan
dapat diterima atau justru sebaliknya. Oleh karena itu pemerintah sangat tertarik untuk
memberitakan bahaya radikalisme dalam pemberitaan media dengan tujuan untuk mencegah
tindakan terorisme.
Konten Berita Media
Pemberitaan isu radikalisme sepanjang tahun 2019 selalu menggerakan yang di antara dua
pendulum adalah aksi dan regulasi. Pendulum “aksi” tersebut terkait dengan insiden kekerasan
yang ditangani aparat keamanan di lapangan. Misalnya, aksi penusukan Menko Polhukam
Wiranto di Pandeglang Banten, dan teror bom yang terjadi di Polsek Medan. Kejadian ini disusul
dengan serangkaian penangkapan pelaku penusukan dan jaringan di belakangnya oleh polisi.
Wacana tentang radikalisme di media kembali menguat pasca insiden penusukan tersebut.
Padahal, jika ditarik ke belakang, liputan radikalisme mengalami penurunan yang cukup drastis
pasca pemilu 2019.

Bulan Jumlah Berita


Januari 84
Februari 51
berbaris 85
April 40
Mungkin 104
Juni 118
Juli 188
Agustus 256
September 86
Oktober 625
November 788
Desember 68

Tabel 1
Tren Berita Radikalisme Tahun 2019

Sedangkan pendulum “regulasi” terkait dengan kebijakan dan regulasi yang digagas pemerintah
untuk mengatasi paham radikalisme. Sejumlah kebijakan yang direncanakan pemerintah pasca
penusukan Wiranto antara lain pelarangan celana panjang dan cadar di lembaga-lembaga negara.
Kebijakan lain yang dibahas pemerintah adalah memantau materi kuliah di masjid-masjid yang
dilakukan Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin. Sementara terkait regulasi, Pemerintah tampaknya
memiliki momentum untuk mempercepat terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019
tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme. Kemudian, diterbitkannya Surat Keputusan
Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Peristiwa penusukan Wiranto dan teror bom di Polrestabes Medan yang diikuti serangkaian
wacana kebijakan pemerintah membuat eskalasi pemberitaan tentang radikalisme kembali
menguat. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena radikalisme tidak sepenuhnya tergantung dan
ditentukan oleh fenomena politik elektoral. Artinya radikalisme sebagai sebuah fenomena atau
masalah memiliki akar yang lebih dalam sehingga memiliki kekuatan yang tak lekang oleh
waktu.
Pemberitaan radikalisme juga didominasi oleh pertarungan wacana baik oleh kelompok
pemerintah maupun non-pemerintah. Pertarungan wacana tersebut tergambar dari narasi-narasi
yang disampaikan oleh pemerintah tentang aksi radikalisme, ruang penyebaran ide-ide radikal,
kelompok-kelompok yang diasosiasikan sebagai kelompok radikal, dan upaya penanggulangan
radikalisme yang dilakukan oleh pemerintah. Narasi-narasi ini kemudian mendapat penolakan
dari berbagai pihak di luar pemerintah.
Pemerintah seolah-olah berusaha mengkonstruksi pemahaman radikalisme yang erat kaitannya
dengan kelompok tertentu. Hal ini terlihat dari serangkaian kebijakan yang dilakukan untuk
memerangi penyebaran radikalisme. Pelarangan cadar dan celana cingkrang merupakan upaya
pemerintah untuk mengasosiasikan ide-ide radikal terkait dengan kelompok yang menggunakan
cadar dan celana cingkrang.
Melarang Celana Cingkrang 43%
Mengamati Media Sosial 20%

Memperbaiki Metode Pendidikan Agama


37%

Grafik 1
Kebijakan Pemerintah Untuk Mengatasi Radikalisme

Upaya pencegahan lain yang dilakukan pemerintah juga selalu dikaitkan dengan kelompok dan
agama tertentu. Seperti membenahi metode pendidikan agama yang cenderung menyasar metode
pendidikan agama di pesantren baik pesantren maupun lembaga pendidikan Islam lainnya. Dalam
konteks ini, pemerintah ingin mengubah pelajaran sejarah Islam dengan menghilangkan konten-
konten yang mengandung kekhalifahan dan perang yang dianggap berkontribusi dalam
penyebaran paham radikal di Indonesia. Begitu juga dengan kebijakan untuk mengamati media
sosial. Dimana pemerintah selalu menautkan akun-akun yang terkait dengan kelompok tertentu
untuk dipantau secara khusus guna mencegah penyebaran konten yang berbau radikalisme di
media sosial.
Sejumlah tindakan preventif tersebut dilakukan karena pemerintah menyatakan bahwa
penyebaran paham radikal dilakukan oleh kelompok tertentu melalui berbagai saluran media.
Berdasarkan pantauan pemberitaan radikalisme tahun 2019, media penyebaran radikalisme
dilakukan melalui beberapa jalur. Yang terbesar adalah melalui media sosial dan website.
Selanjutnya melalui kelompok belajar dan melalui organisasi kampus.
Organisasi Kampus Kelompok belajar Situs web Media sosial
Offline On line

Grafik 2
Media Menyebarkan Radikalisme Berdasarkan Liputan Media
Sepanjang 2019

Dalam konteks sumber berita, instansi pemerintah menjadi sumber utama peliputan media terkait
radikalisme. Polri merupakan institusi dengan sumber berita terbesar karena penanganan yang
dilakukan Polri terhadap aksi terorisme baik yang terjadi pada peristiwa penusukan Wiranto
maupun aksi teror bom di Polrestabes Medan. Sedangkan Kementerian Agama menjadi lembaga
pemerintah lain yang cukup banyak menjadi sumber berita beserta berbagai wacana dan
kebijakan untuk melawan radikalisme. Sebaliknya, mereka yang kontra dengan pemerintah tidak
banyak mendapat liputan berita.
Polri Keme… Penga… Parpol

Grafik 3
Sumber Liputan Media Terkait Radikalisme

Dari penelitian liputan media tentang radikalisme sepanjang tahun 2019, terdapat sejumlah
wacana untuk mengganti istilah radikalisme dengan istilah lain seperti ekstremisme kekerasan
dan manipulator agama. Transformasi radikalisme menjadi kekerasan ekstremis mengemuka saat
Rapat Komisi III DPR RI dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Sedangkan istilah
manipulator agama muncul dari Presiden Joko Widodo saat membuka rapat terbatas dengan topik
Penyampaian Program dan Kegiatan Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di Kantor Presiden,
Kamis, 31 Oktober 2019.
Munculnya wacana perubahan istilah radikalisme menjadi kekerasan ekstremis atau manipulator
agama didasarkan pada argumentasi bahwa radikalisme dianggap cenderung menyasar sasaran
tertentu.
kelompok di Indonesia. Istilah radikalisme dianggap hanya untuk melabeli kelompok atau
kelompok agama yang benar dalam konteks ini adalah agama Islam.

Wacana Negara dan Ketidakberdayaan dalam Menangani Gerakan Radikal


Upaya penanggulangan gerakan radikal di Indonesia yang dilakukan pemerintah sejak awal
nampaknya belum memiliki konsep yang jelas dan terukur. Berdasarkan data pemberitaan media
selama tahun 2019 tentang radikalisme, penanganan gerakan radikal di Indonesia selalu reaktif.
Selalu bergerak di antara dua bandul. Tindakan dan regulasi.

Tid Tinda Peraturan/Kebijakan


ak kan
1 Menusuk Menko Polhukam Wiranto 1. Penangkapan pihak terkait jaringan
pelaku.
2. Wacana larangan cadar dan
celana dalam lingkungan
negara institusi
2 Teror Bom di Polresta Medan 1. Penangkapan pihak terkait dengan
teriakan pelaku.
2. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor
77 Tahun 2019 tentang Pencegahan
Tindak Pidana Terorisme.
3. Wacana pemantauan isi ceramah di
masjid dan majelis taklim.
4. Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga
Menteri Penanganan Radikalisme
Aparatur Sipil Negara (ASN).
5. Memantau media sosial terkait konten
radikalisme.
6. Peluncuran Pengaduan ASN
Aplikasi.
7. ulasanreligius
pendidikan kurikulum dengan
menghilangkan materi tentang
Khilafah dan sejarah peperangan.

Meja 2
Tindakan dan Regulasi Pemerintah dalam Menghadapi Gerakan Radikal di
Indonesia

Data ini sekaligus menegaskan kebijakan pemerintah selama menangani gerakan teroris dan
paham radikal di Indonesia. Jika ditarik jauh ke belakang, pasca Bom Bali I dan II, Pemerintah
telah merespon peristiwa tersebut dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 disusul dengan Pembentukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri pada tahun 2004.
Meski instrumen hukum telah disiapkan, serta tim khusus yang bekerja melawan terorisme,
dalam perkembangannya, aksi teror di Indonesia tidak berkurang. Sebaliknya, teroris mampu
mengubah dan mengembangkan jaringan. Sejumlah terorisme bom kembali terjadi, misalnya
teror bom di JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton, Jakarta pada 2009, teror bom di Sarinah Plaza
pada 2016, dan teror bom di Kampung Melayu, Jakarta. Pemerintah menyebut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002, dianggap tidak lagi memadai sebagai payung hukum untuk memberantas
terorisme karena aparat keamanan dianggap tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
tindakan tanpa adanya peristiwa teroris. Pemerintah kemudian berencana merevisi Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 dengan beberapa pasal tambahan,
Puncak perdebatan revisi undang-undang tahun 2018. Sejumlah aksi teror kembali terjadi di
tahun 2018, yang dimulai dengan teror bom di Mako Brimob, Depok, kemudian disusul dengan
rangkaian teror bom di tiga gereja di Surabaya. dan Polsek Surabaya. Berikutnya adalah bom di
Polda Riau dan bom bunuh diri di Sibolga, Sumatera Utara. Rentetan aksi teror tersebut menjadi
legitimasi bagi pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002. Kemudian
diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang merupakan revisi dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002.
Seiring dengan banyaknya aksi terorisme yang terjadi, wacana pemahaman radikalisme juga
mengalami penguatan. Aksi terorisme dianggap sebagai bagian dari implementasi ideologi
radikal. Fenomena radikalisme dan terorisme telah membahayakan eksistensi negara khususnya
dan rasa aman dalam masyarakat. Oleh karena itu gerakan ini harus diwaspadai oleh negara.
Mas'ud (2014) mengemukakan tiga alasan mengapa gerakan radikal harus diwaspadai oleh
negara. Pertama, gerakan radikal bertujuan untuk menggantikan ideologi negara yang sudah
mapan dengan ideologi kelompok yang bersangkutan tanpa mempertimbangkan kepentingan
ideologi kelompok lain. Kedua, kehadiran radikalisme menimbulkan instabilitas dan keserakahan
sosial karena sifatnya yang militan, kekerasan, cenderung anarkis, tidak mau berkompromi, dan
ketiga,
Ketiga alasan tersebut rupanya juga menjadi dasar bagi pemerintah dan kelompok pro pemerintah
untuk melabeli kelompok yang dianggap radikal dan ingin menggantikan ideologi negara.
Alhasil, pemerintah mengambil langkah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017
karena kegiatan yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan konflik di masyarakat yang dapat
mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan. keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Meskipun pemerintah tidak pernah secara khusus mengaitkan kelompok Islam dengan gerakan
radikal, liputan berita menunjukkan adanya upaya untuk menggiring opini bahwa kelompok dan
organisasi Islam tertentu terkait dengan kelompok radikal. Hal ini terlihat dari sejumlah upaya
pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah yang cenderung menyasar kelompok dan budaya
Islam. Seperti pelarangan cadar dan celana yang identik dengan gerakan Salafi dan peningkatan
pendidikan agama di lembaga pendidikan Islam atau upaya pemantauan majelis taklim yang juga
terkait dengan Islam.
Pelabelan ini tentu saja menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi kelompok Islam.
Selain itu, pelabelan ini juga berpotensi memicu konflik antar kelompok. Dan indikasi ini sangat
terlihat dalam satu tahun terakhir, dimana gesekan antar kelompok sering terjadi. Stigmatisasi
terhadap orang bercadar dan memakai celana kerucut sebagai kelompok fundamentalis dan
radikal membuat masyarakat saling curiga. Padahal, bisa jadi penggunaan cadar dan celana
panjang merupakan bagian dari trend fashion atau indikasi penguatan pemahaman keagamaan
seseorang yang meyakini bahwa penggunaan cadar adalah bagian dari pelaksanaan ajaran agama
yang dianutnya.
Penanganan paham radikal yang dilakukan oleh pemerintah dengan melabeli kelompok Islam
sebagai kelompok radikal inilah yang selama ini ditolak oleh berbagai pihak. Makna radikalisme
pemerintah dianggap mendiskreditkan praktik keagamaan. Pemerintah dinilai menyederhanakan
persoalan radikalisme hanya sebatas cadar dan celana. Padahal, pelaku teror dan kekerasan tidak
hanya dilakukan oleh kelompok bercadar dan gaya busana cingkrang tetapi juga aksi teror yang
terjadi di Selandia Baru, misalnya dilakukan oleh kelompok yang sebenarnya tidak menyukai
kelompok Islam. Begitu pula aksi yang terjadi di Eropa dan Amerika yang menyasar kelompok
teroris. Ketidakberdayaan pemerintah dalam menangani radikalisme inilah yang melahirkan
wacana untuk mengganti istilah radikalisme dengan kekerasan ekstremis. Perubahan istilah ini
diharapkan memungkinkan pemerintah menyusun agenda yang komprehensif dan komprehensif
untuk penanganan aksi teror dan kekerasan. Tidak parsial dan reaktif. Dan tidak menargetkan
kelompok tertentu, terutama kelompok Islam. Kesalahan pemahaman paham radikal dan upaya
pelabelan gerakan radikal dengan kelompok tertentu dinilai menjadi penyebab gagalnya
penanganan kekerasan atas nama agama di Indonesia. Karena ketika pemerintah melabeli
kelompok tertentu sebagai kelompok radikal, maka akan terjadi perlawanan. Sehingga upaya
pemerintah untuk melibatkan semua kalangan dalam menanggulangi dan menanggulangi
radikalisme selalu menemui jalan buntu. khususnya kelompok Islam. Kesalahan pemahaman
paham radikal dan upaya pelabelan gerakan radikal dengan kelompok tertentu dinilai menjadi
penyebab gagalnya penanganan kekerasan atas nama agama di Indonesia. Karena ketika
pemerintah melabeli kelompok tertentu sebagai kelompok radikal, maka akan terjadi perlawanan.
Sehingga upaya pemerintah untuk melibatkan semua kalangan dalam menanggulangi dan
menanggulangi radikalisme selalu menemui jalan buntu. khususnya kelompok Islam. Kesalahan
pemahaman paham radikal dan upaya pelabelan gerakan radikal dengan kelompok tertentu dinilai
menjadi penyebab gagalnya penanganan kekerasan atas nama agama di Indonesia. Karena ketika
pemerintah melabeli kelompok tertentu sebagai kelompok radikal, maka akan terjadi perlawanan.
Sehingga upaya pemerintah untuk melibatkan semua kalangan dalam menanggulangi dan
menanggulangi radikalisme selalu menemui jalan buntu.

KESIMPULAN
Upaya penanggulangan gerakan radikal yang dilakukan pemerintah selama ini belum memiliki
konsepsi yang jelas dan terukur. Semuanya dilakukan dengan parsial dan reaktif. Pemberitaan
radikalisme di media sepanjang tahun 2019 menunjukkan bahwa penanganan radikalisme di
Indonesia selalu bergerak
antara dua Bantul. Tindakan dan regulasi. Ketika teror dan kekerasan terjadi, pemerintah
merespons peristiwa tersebut dengan mengeluarkan sejumlah regulasi dan membahas beberapa
kebijakan.
Sayangnya, kebijakan yang diambil justru menyasar kelompok tertentu, dalam konteks ini
kelompok Islam. Kebijakan ini lahir dari pemaksaan paham radikalisme yang sejak awal
dianggap salah. Pemerintah justru dianggap menyudutkan praktik keagamaan dalam memaknai
radikalisme. Agar lebih komprehensif dalam menangani gerakan radikal ini, muncul wacana
untuk mengubah istilah radikalisme menjadi kekerasan ekstremis. Dengan perubahan ini,
diharapkan pemerintah tidak lagi membidik kelompok tertentu dalam memerangi radikalisme.
Perubahan istilah ini juga diharapkan pemerintah mampu menyusun agenda penanggulangan
radikalisme secara lebih komprehensif dan terukur.
REFERENSI
BNPT(2016). StrategiMenghadapiRadikalisme,
Terorisme-ISIS https://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-
content/uploads/2016/12/Strategi-Menghadapi- Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf
Eriyanto (2008). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. LKiS: Yogyakarta.
Fatimah, S., & Syukur, Y. (2019). Orientasi Baru Al-Qaeda Setelah Kematian Osama binSarat.
JurnalStudiSosialDanPolitik ,
3(2), 130-145.
https://doi.org/https://doi.org/10.19109/jssp.v3i2.4390
Hadiz, Vedi R. (2018). Bayangkan semua orang? Mobilisasi Populisme Islam untuk Politik
Sayap Kanan di Indonesia. Jurnal Asia Kontemporer, Vol. 48, No. 4, 1-18.
Hajer, Marteen (1995). Politik Wacana Lingkungan. Oxford: Pers Universitas OxfordIda,
Rachma (2014).Metode Penelitian: Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta:
PrenadamediaKhamid, Nur. Bahaya Radikalisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jurnal dari
Studi Islam dan Humaniora, Vol. 1, Tidak.
Moffee, Chantal & Laclau, Ernesto (1985). Hegemoni dan Strategi Sosialis. London: Sebaliknya.
Muthohiri, Nafi (2015). Radikalisme Islam dan Pergerakannya di Media Sosial. Jurnal Afkaruna
Jil. 11, No. 2, 240-259.
Sari, DAC Benedikta. Literasi Media dalam Kontra Propaganda Radikalisme dan Terorisme
Melalui Media Internet. Jurnal,Benediktadian@gmail.com.
Savirani, Amalinda (2017).Pertempuran Makna Publik dalam Wacana Pembangunan Reklamasi
Teluk Jakarta. Jurnal Prisma Vol. 36 No. 1, 112-126.
Sugiyono (2017).Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Umar, Ahmad Rizky M (2010). Melacak Akar Radikalisme Islam di Indonesia.Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Vol. 14, No.2, 169-186.
Williams, Kevin (2003). Memahami Teori Media. New York: Pers Universitas Oxford. Winarni,
Leni (2014). Media Massa dan Isu Radikalisme Islam. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 7
No.2, 159-165

Anda mungkin juga menyukai