Anda di halaman 1dari 2

Daftar Isi

Orientasi Bahasa Kebangsaan, 29 Des 2008

Orientasi Bahasa Kebangsaan


Majalah Tempo, 29 Des 2008. Abdul Gaffar Ruskhan, Peneliti pada Pusat Bahasa
Ketika saya menjadi narasumber dalam diseminasi (=penyebarluasan ide,
gagasan, dsb) RUU Kebahasaan di Batam pada November lalu, ada sebagian
peserta yang risau tentang penggunaan bahasa asing di ruang publik. Kerisauan
itu muncul karena prihatin terhadap masa depan bahasa Indonesia. Lunturnya
identitas bangsa dan terkikisnya nasionalisme dari penggunaan bahasa asing di
ruang publik menjadi alasannya.
Kalangan yang setuju memberikan alasan lain. Mereka berpendapat bahwa penggunaan
bahasa asing itu tidak melunturkan nasionalisme. Bahkan, nasionalisme dengan
bertolak dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak penting dikemukakan dalam era
globalisasi ini. Hal itu merupakan cara berpikir yang mundur 80 tahun. Barangkali itu
pula yang dimaksud Soenjono Dardjowidjojo, dalam Tempo edisi lalu, sebagai suatu
bangsa yang selalu bernostalgia ke masa lampau. Untuk itu, saya tergelitik untuk
menanggapinya.
Dalam pengembangan bahasa Indonesia, perencana bahasa pasti berorientasi ke masa
depan. Namun bahasa Indonesia tetap dipertahankan. Caranya dengan
mengindonesiakan bahasa asing. Berbeda dengan pandangan Soenjono yang justru
masih menggunakan biduk masa lampau.
Model pembentukan kata dalam peristilahan tidak seperti yang digambarkan. Justru
model tawarannya terkait dengan kata umum dan kata yang tidak umum, baik bahasa
Indonesia maupun bahasa daerah, bukan prioritas. Apalagi dengan pilihan
pembentukan kata dan istilah dengan memanfaatkan kata umum dalam bahasa
Indonesia, kata umum dalam bahasa daerah, terjemahan, dan kata Inggris secara
berurutan jelas bertolak belakang dan mundur ke model lama. Malah ada keraguannya
apakah kata Inggris itu sebagai serapan atau kata aslinya. Jika maksudnya serapan, hal
itu sudah biasa dilakukan. Namun, jika masih dalam bentuk asing, justru dilakukan
pengindonesiaan. Pokoknya, semuanya berpeluang yang sama menjadi kata baru.
Ada tiga model versi mutakhir Pusat Bahasa dalam pembentukan kata dan istilah dalam
Pedoman Umum Pembentukan Istilah (2005): penerjemahan, penyerapan, serta
gabungan penerjemahan dan penyerapan. Penerjemahan berarti bahwa konsep
aslinya diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Hal itu dilakukan agar pengguna
memahami konsep itu dalam bahasanya sendiri. Misalnya, BRI Tower, Kemang Garden,
dan Pratama Hills diterjemahkan menjadi Menara BRI, Taman Kemang, dan Bukit
Pratama.
Penyerapan  terlihat dari pengubahan dan penyesuaian ejaan bahasa asing seperlunya
ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, Melawai Plaza, Menteng Regency, dan Kelapa
Gading Mall diserap menjadi Plaza Melawai, Regensi Menteng, dan Mal Kelapa Gading.
Penyerapan dilakukan untuk (1) memudahkan ketersalinan bahasa asing dan bahasa
Indonesia secara timbal balik, (2) mempermudah pemahaman teks asing, (3) lebih
ringkas daripada terjemahannya, (4) mempermudah kesepakatan antarpakar jika
padanannya terlalu banyak sinonimnya, serta (5) lebih cocok dan tepat karena tidak
mengandung konotasi buruk.
Gabungan antara penerjemahan dan penyerapan ada yang menyebutnya
hibrida. Misalnya, Nusantara Building, Bintan Beach Resort, dan Ciater Golf Course
diindonesiakan menjadi Wisma Nusantara, Resor Pantai Bintan, dan Padang Golf
Ciater.
Jika ada pandangan bahwa setiap bahasa asing harus dihindari, itu pasti keliru.
Menghindari serapan bahasa asing adalah sesuatu yang mustahil. Pandangan bahwa
tidak satu pun bahasa di dunia ini yang tidak dipengaruhi bahasa asing adalah benar.
Pandangan itu telah dikemukakan jauh sebelumnya oleh Haugen (1950), Weinreich
(1953), dan Ruskhan (2007).
Contoh kata dewa, kitab, bendera, kamar, bakmi, dan komputer tidak perlu
dipersoalkan. Kata-kata itu sudah menjadi warga bahasa Indonesia. Namun kata seperti
tower, garden, beach, hill, dan course masih asing sehingga perlu dipadankan. Berbeda
dengan bank, internet, media, dan radio. Kata-kata itu terserap ke dalam bahasa
Indonesia tanpa pengubahan. Asing atau tidak ditentukan oleh konteks penggunaannya.
Untuk menata penggunaan bahasa asing di ruang publik, diperlukan perangkat hukum.
Adanya RUU Kebahasaan jangan dipandang sebagai pengekangan bahasa. RUU itu
justru mengatur penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Pengaturan kebahasaan, termasuk nama geografi, tidak hanya tugas pamong bahasa.
Banyak kalangan yang berperan. Bahkan pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri
telah mengeluarkan Peraturan Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pembakuan Nama
Rupabumi (geografi). Di dalamnya diatur, misalnya, prinsip penamaan: nama geografi
wajib berabjad Romawi dan berbahasa Indonesia atau daerah. Jadi, kewajiban
penamaan geografi berbahasa Indonesia, termasuk bahasa daerah, adalah keputusan
matang dan berorientasi ke depan.
Kita bisa menjadi bangsa yang pandai menghargai bahasa nasionalnya tanpa menutup
mata atas pengaruh bahasa asing yang bermanfaat.***

Anda mungkin juga menyukai