Anda di halaman 1dari 2

Daftar Isi

Ke Penjara Karena Bahasa, 5 Jan 2009

Ke Penjara Karena Bahasa
Majalah Tempo, 5 Jan 2009. Afrizal Anoda.
Tidak bisa dibayangkan, hanya karena mengatakan, “Saya butuh pacul besar,”
seseorang bisa dipenjarakan dengan tuduhan menyebarluaskan pornografi.
Secara linguistik tidak ada yang salah dalam kalimat tersebut; orang itu
memerlukan cangkul besar (mungkin akan dipakai) untuk mengolah ladang atau
kebun. Namun, bagi masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan, kata butuh dan
pacul adalah sebutan untuk alat kelamin laki-laki.
Begitulah yang akan terjadi bila kita simak Bab II, pasal 4, ayat (1) Undang-Undang
Pornografi; (Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang
memuat:) huruf (i) alat kelamin. Di sini saya khusus menekankan pada bagian
menyebarluaskan dan menyiarkan.
Sesuai dengan petunjuk undang-undang, masyarakat Banjar harus ikut “melaporkan
pelanggaran dan melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan” terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi (Bab IV, pasal 22, huruf a dan b).
Hal yang sama juga dapat dilakukan masyarakat lain. Sebuah pengalaman yang masih
segar dalam ingatan saya, ketika film Nagabonar diputar di Sumatera Utara pada 1987.
Film itu diprotes masyarakat setempat dan pemutarannya minta dihentikan. Bukan
karena ada yang salah dalam penggambaran masyarakat Batak, tetapi karena ada nama
tokoh Bujang, yang dinilai telah mengusik rasa sopan-santun masyarakat Batak. Nama
peran itu dalam bahasa mereka, maaf, berarti kelamin wanita. Padahal, dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Bujang bisa berarti nama anak laki-laki, pembantu, atau
pelayan.
Ada pula pengalaman sebuah kelompok lawak Ibu Kota, semasa menggelar pertunjukan
di Batam, Kepulauan Riau. Ketika seorang pelawak mengatakan, “Pantat saya ternyata
masih ada di atas!” penonton bukannya tertawa, malahan terdiam. Masalahnya ada
pada kata pantat itu, karena bagi masyarakat Melayu artinya sama dengan bujang tadi.
Warga etnis Dayak Kenyah di Kalimantan Timur tentu akan ikut pula menggugat
penyanyi yang mendendangkan lagu rakyat Tapanuli, Sitara Tilo-Tilo. Lagu itu dapat
dituduh telah menyebarluaskan dan menyiarkan pornografi di wilayah mereka. Karena
tilo-tilo dalam bahasa mereka berarti alat kelamin laki-laki. Seorang perempuan Betawi
tetangga saya pernah disoraki orang di sebuah desa di Cianjur, Jawa Barat, beberapa
tahun lalu. Karena cuciannya hanyut di sungai, ia berteriak-teriak, “Tolong, cucian saya
kanyut, hei kanyut, tolong, kanyut!”
Itu antarbahasa daerah. Bagaimana pula arti sejumlah kosakata bahasa Indonesia bagi
masyarakat di sejumlah daerah? Kalau ingin dipelototi orang, cobalah katakan sombong
di Makassar. Nasihat bagi orang Betawi, jangan coba-coba jual kue pepe, atau membuka
usaha pantek sumur di Sumatera Barat. Orang Jawa jangan pula mengatakan momok di
daerah Pasundan. Kata-kata itu termasuk pantang diucapkan. Menggunakan kata itu
dapat dikategorikan sebagai penyebarluasan dan penyiaran alat kelamin. Menurut Pasal
18: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.” Artinya, saya bisa ditangkap dengan
tuduhan melanggar Pasal 8 karena bermain sebagai Bujang dalam film Nagabonar;
“Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau
model yang mengandung muatan pornografi.”
Setelah membaca batang tubuh Undang-Undang tentang Pornografi, saya sangat yakin,
tim penyusunnya tidak mengenal atau tidak mengetahui berbagai bahasa daerah yang
hidup di negeri ini. Padahal, fondasi bahasa Indonesia dibentuk dari berbagai bahasa
daerah di Nusantara. Ketidaktahuan itu dapat mengakibatkan beberapa kosakata dalam
bahasa Indonesia dan beberapa kosakata dalam bahasa daerah dihapus dari kamus,
atau dilarang diucapkan untuk selama-lamanya. Karena, bila kata itu diucapkan, artinya
dapat mengarah ke pornografi.
Nah, sekarang apa tuduhan yang akan diberikan kepada pejabat yang suka sekali
melafalkan “c” sebagai “k”. Misalnya, mengucapkan “pasca” menjadi “paska”? Boleh
percaya boleh tidak, di suatu daerah di kawasan Indonesia tengah, paska itu artinya
(maaf) “senggama sambil berdiri”.***

Anda mungkin juga menyukai