Filsafat Intelijen Edit PDF Free

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 257

FILSAFAT INTELIJEN

NEGARA REPUBLIK INDONESIA

A.M. Hendropriyono

KOMPAS
DAFTAR ISI
Pengantar Donny Gahral Adian
Kita Tidak Dapat Hidup Tenang dan
Aman Tanpa Intelijen . vii

BAB I HAKIKAT INTELIJEN NEGARA


Siasat yang Brilian dan Berkeadaban 3

BAB 2 INTELIJEN DALAM NEGERI DAN


INTELIJEN LUAR NEGERI
Filsafat Intelijen Berasas Pancasila ................ 57

BAB 4 EKOSISTEM INTELIJEN


Bertindak Cepat (Velox) dan Tepat (Exactus) ............ 93

BAB 4 PILAR-PILAR FILSAFAT INTELIJEN


Necessitas Ante Rationem Est......... ... 167
BAB 5 PENUTUP
Kecepatan dan Ketepatan Intelijen Memprediksi
Ancaman, Gangguan, Hambatan. Tantangan

Memprediksi Ancaman..................................... . . 21
1

LAMPIRAN
Lampiran 1 . 216

Lampiran 2............................ . 217


Lampiran 3........... 218

Lampiran 4.................. . 219

Lampiran 5............................................ 221

Indeks 223
Daftar Pustaka..................... 230
Tentang Penulis . . 232

Kecepatan Dan Ketepatan Intelijen


FILSAFAT INTELIJEN

Pengantar

KITA TIDAK DAPAT HIDUP


TENANG DAN AMAN TANPA
INTELIJEN
Donny Gahral Adian l

Sebagian orang pasti bertanya-tanya saat mendengar


frasa "Filsafat Intelijen". Makhluk apakah itu? Kita sering
mendengar frasa "Filsafat Politik" atau "Filsafat Hukum",
namun tidak demikian dengan "Filsafat Intelijen".
Sebagian filsuf sekolahan mungkin sinis dengan Filsafat
Intelijen. Mereka beranggapan bahwa filsafat memiliki
persoalannya sendiri, sehingga merasa tidak perlu
menyingsingkan lengan baju untuk mengurusi persoalan
bidang Iain, apalagi intelijen. Intelijen kerap dipersepsi
sebagai materialisasi "realitas gelap" manusia berupa
tindak penculikan, pembunuhan, dan penyadapan. Tidak
ada aturan dan basis aksiologis yang merupakan
kegemaran teoretis para filsuf sekolahan. Filsuf bergumul
dengan realitas yang

I Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia


vii

iv
tertib, sementara intelijen beroperasi di dalam realitas
yang tidak stabil dan goncang. Sebaliknya, "orang-orang
lapangan" pun mungkin merasa bahwa Filsafat Intelijen
terlalu abstrak untuk sesuatu yang berurusan dengan
realitas empiris. Intelijen memerlukan teori penggalangan
yang keluarannya jelas, sementara filsafat dituduh hanya
melahirkan persoalan, bukan solusi. Maka, "Filsafat
Intelijen” pun dicium sebagai proyek skolastik, yang
hanya melahirkan renungan dan bukan tindakan.
Dua jenis sinisisme di atas berbenturan dengan
kenyataan bahwa dewasa ini semua disiplin, baik teoretis
maupun praktis membutuhkan filsafat. Ekonomi
membutuhkan refleksi tentang kodrat manusia, antara
pencari nafkah yang egois atau insan kultural yang
bersosialisasi. Hükum membutuhkan refleksi tentang
hubungan antara keadilan dan kitab undang-undang
hükum pidana, apakah hakim sekadar penemu ayat atau
penegak keadilan? Politik juga membutuhkan refleksi
tentang watak demokrasi, antara demokrasi sebagai
ketegangan kreatif atau musyawarah untuk mufakat.
Semua disiplin membutuhkan refleksi filsafat, tak
terkecuali intelijen.
Refleksi filsafat tentü saja tidak serta merta
melahirkan prosedur tetap operasi intelijen. Namun,
refleksi tersebut menciptakan payung paradigmatik, yang
pada akhirnya dapat mengokohkan intelijen sebagai
bagian dari "Kebun Pengetahuan” manusia. Di samping
itu, refleksi filsafat juga mengajak "orang-orang
lapangan” untuk kembali menimbang berbagai prosedur
tetap, panduan operasional, atau siasat, yang selama ini
sudah dianggap wajar atau terberi. Intelijen bukan praktik
FILSAFAT INTELIJEN

yang berlangsung di ruang hampa. la beroperasi dalam


realitas politik global yang saat ini tengah berubah.
Negara, keamanan nasional, ancaman

vi
KITA TIDAK DAPAT HIDUP TENANG DAN AMAN TANPA INTELIJEN

dan perang, semuanya berubah total. Saat ini, negara


bukan lagi geografi yang dibatasi oleh patok. la bukan
teritori fisik semata, melainkan juga teritori nonfisik.
Teritori nonfisik negara adalah ideologi, politik, sosial,
ekonomi, dan budaya. Dengan demikian, ancaman
terhadap negara bukan sekadar pasukan asing yang
memasuki teritori fisik secara paksa. Ancaman terhadap
negara juga termasuk segelintir spekulan asing yang
merusak fondasi perekonomian negara. Negara bahkan
juga terancam oleh ilmuwan asing yang menyusup guna
mengambil keanekaragaman hayati guna dikembangkan
menjadi vaksin komersial atau senjata biologis. Ancaman
lain adalah kegiatan patenisasi kekayaan budaya sebuah
negara oleh pihak asing sehingga negara tidak lagi
berdaulat terhadap kebudayaannya sendiri.
Keamanan nasional tidak lagi secara parsial dipahami
sebagai dijaganya patok-patok perbatasan. Sudah saatnya
keamanan nasional dipahami secara komprehensif
sehingga meliputi juga keamanan insani (human security).
Keamanan insani adalah terjaminnya hak sipil-politik,
ekonomi, sosial, dan budaya setiap warga negara. Artinya,
keamanan dan kebebasan tidak perlu lagi dipertengkarkan
satu sama lain. Keamanan insani juga berarti
perlindungan terhadap kebebasan warga negara untuk
dapat menikmati hak-hak dasarnya. Dengan demikian,
kita jangan hanya berfokus pada digesernya patok-patok
perbatasan, melainkan juga infiltrasi kekuatan ekonomi
negara tetangga di dalam wilayah kedaulatan kita.
Artinya, kita juga harus mewaspadai kekuatan-kekuatan
ekonomi asing yang menyedot kekayaan alam strategis
kita yang dapat berdampak pada ketidakmampuan negara
melindungi kualitas hidup warganya. Perang pun berubah
FILSAFAT INTELIJEN

wajahnya. Perang tidak lagi dapat dipahami sebagai


sesuatu yang berhadapan dengan objek konkret,
melainkan objek konseptual. Terorisme, misalnya, bukan
semata-mata sekelompok orang yang meledakkan sebuah
rumah ibadah. Terorisme adalah konsep tentang perang
suci, surga dan anti-sekularisme. Perang melawan
terorisme sejatinya adalah upaya menciptakan dan
mempertahankan tata sosial tertentu (kedamaian), dan
Oleh karena itu perlu melibatkan aksentuasi kuasa dan
kekuatan secara terusmenerus. Perang melawan terorisme
tidak mengenal kata "berhenti”. Perang melawan
terorisme harus dimenangkan terus-menerus.
Di sini dikotomi kaku antara operasi militer atau
perang dengan penegakan hukum menjadi sangat cair.
Corak "tak berjeda” perbuatan teror menuntut kebijakan
dalam anggaran sekaligus produk hukum. Perang
melawan terorisme menjungkirbalikkan perbedaan antara
hubungan internasional dengan politik domestik.
Perbedaan antara "pertahanan” dengan "keamanan”
menjadi kabur, bahkan lenyap. Operasi militer dengan
penegakan hukum adalah dua sisi dari mata koin yang
sama. Tidak ada lagi perbedaan antara musuh luar dan
musuh dalam. Pelaku teror dalam negeri disusupi Oleh
ideologi asing. Para pelaku teror yang melarikan diri ke
negara tetangga terus berkontribusi terhadap aksi teror di
dalam negeri. Di titik ini perang intensitas rendah (Iow
intensity warfare) perlu ditemukan dengan penegakan
hukum berintensitas tinggi (high intensity law
enforcement).
Perang melawan terorisme juga menggeser konsep
aliansi atau sekutu. Seiring dengan abstraknya konsep
"terorisme”, aliansi melawan teror juga sangat ekspansif

viii
KITA TIDAK DAPAT HIDUP TENANG DAN AMAN TANPA INTELIJEN

dan universal. Segenap kekuatan yang ada dapat


bersekutu melawan terorisme tanpa terikat ras, etnis, atau
agama. Dalam konteks ini, konsep ”Perang yang Adil”
muncul di berbagai media dan forum. "Perang yang adil"
muncul sebagai wacana moral untuk menopang perang
melawan terorisme. Konsep tersebut berfungsi untuk
memperluas perang dari tujuan-tujuan partikular ke
universal. Di Sini aliansi moral perlu dibangun dengan
kekuatan-kekuatan sipil, yang dapat membantu
memerangi ideologi terorisme.
Perang masa kini tidak lagi berjeda dan sekaligus
produktif. Kita sesungguhnya sedang berperang setiap
hari: perang ekonomi, perang budaya, perang sosial,
perang ideologi dan Iain sebagainya. Semua perang
tersebut alihalih menghancurkan, justru menciptakan
konsep-konsep baru. Perang terhadap terorisme,
misalnya, melahirkan konsep-konsep seperti
"deradikalisasi", "jihad sosial", "Islam kebangsaan" dan
Iain sebagainya. Perang melawan terorisme memerlukan
penggalangan, guna melunakkan simpul-simpul
radikalisme yang ada. Di situlah peran wacana bermain.
Penggalangan sejatinya adalah upaya menggantikan
monopoli pemaknaan yang berpotensi teror, dengan
konsep yang justru dapat menciptakan kedamaian.
Konsep "jihad sosial" misalnya, menggeser pemaknaan
jihad sebagai bom bunuh diri dengan ganjaran surga. Itu
adalah tugas dari para alim ulama yang berwawasan
kebangsaan untuk menetralisasi setiap konsep atau
gagasan, yang dapat menimbulkan tindak pidana
terorisme.
Ancaman yang datang tanpa jeda memerlukan
kecepatan dan keakuratan dalam mendeteksi potensi
FILSAFAT INTELIJEN

materialisasi ancaman tersebut. Kecepatan (velox) dan


keakuratan (exactus) adalah substansi dalam sebuah
praktik intelijen. Intelijen bukan operasi penegakan
hukum yang bergumul dengan bukti-bukti, sebelum
menentukan sebuah perbuatan melawan hukum. Akurasi
memang

Xi

penting, namun kecepatan jauh lebih penting. Intelijen


harus berłomba dengan materialisasi ancaman yang dapat
terjadi kapan saja, dan di mana saja. Artinya, intelijen
harus mampu mengumpulkan informasi secara cepat guna
mendeteksi dini sebuah ancaman terhadap keamanan
nasional.
Kerja intelijen, dengan demikian, tidak dapat
sertamerta dipayungi oleh the criminal justice system.
Intelijen bekerja dałam situasi kedaruratan permanen
yang tidak diandaikan oleh the criminal justice system.
Kedaruratan sendiri bukan kasus yang meminta
pengecualian hukum. Dia sejatinya adalah basis bagi jenis
hukum dan keadilan baru. Kedaruratan dapat dilacak
arketipnya pada hukum Romawi. Arketip iłu biasa disebut
dengan istilah "iustitium”. Ketika senat merasakan situasi
yang mengancam Republik, mereka segera
mengumumkan apa yang disebut sebagai senatus
consultum ultimum.
Senatus consultum berimplikasi pada dekrit yang
melaluinya tumultus diumumkan. Tumultus sendiri
adalah keadaan darurat yang disebabkan oleh gangguan
internal atau pemberontakan. Secara literał, kata
"iustitium” berarti "Pembekuan 'ius' atau łatanan.” Cicero
x
KITA TIDAK DAPAT HIDUP TENANG DAN AMAN TANPA INTELIJEN

sebagai salah satu konsul Romawi pernah meminta


pemberlakuan "iustitium” ketika pasukan Anthony
bergerak menuju ibu kota. la mengatakan: "Menurutku
kita harus segera mengumumkan tumultus,
memproklamasikan iustitium dan bersiap maju perang”.
Berdasarkan iustitium tersebut hukum yang melarang
membunuh sesama warga negara Romawi tanpa
persetujuan publik dibekukan. Pertanyaannya, watak
tindakan apakah yang diambil pada masa iustitium?
Menurut Giorgio Agamben (2005), tindakan iłu diambil
dałam ruang hampa legal, sehingga perlu dimengerti
sebagai fakta murni tanpa konotasi legal apa pun. Ketika
hukum larangan membunuh dibekukan, maka
pembunuhan tinggal sebagai fakta spasio-temporal
belaka; Bahwasanya si A membunuh si B pada pukul
14.00 siang di pinggir ibu kota Romawi.
Dalam konteks kedaruratan ini, yang menarik adalah
tipologi tindakan dalam rentang iustitium menerabas
perbedaan antara legislasi, eksekusi, dan transgresi.
Orang yang bertindak pada masa iustitium, bukannya
sedang mengeksekusi hukum dan bukan pula sedang
melanggarnya. Keduanya mengandaikan hukum yang tak
terbekukan. Apa yang dilakukan orang itu sesungguhnya
adalah proses penciptaan hukum baru. Dia sedang mende-
eksekusi hukum, yakni membuatnya lumpuh secara
operasional. Apakah dia yang bertindak pada masa
iustitium adalah diktator? Tindakan semasa iustitium
tidak berwatak diktatorial, tetapi berupa ruang hampa
hukum. Dalam konstitusi Romawi, diktator adalah
pejabat tertentu yang mendapatkan kekuasaan dari hukum
yang dipilih rakyat. lustitium, sebaliknya, tidak
FILSAFAT INTELIJEN

menciptakan pejabat berkuasa, melainkan zona anomi


ketika semua determinasi legal berhenti bekerja.
Sebuah adagium bergaung memantulkan semangat
iustitium: necessitas legem non habet. Kedaruratan tidak
mengenal hukum apa pun. Kedaruratan membuat
hukumnya sendiri. Adagium necessitas legem non habet
dikokohkan oleh Santo Romano, hakim asal Italia Yang
termasyhur di awal abad ke-20. Romano menolak
pendasaran kedaruratan pada hukum. Kedaruratan bukan
sesuatu yang asing sehingga perlu diberi pendasaran
hukum supaya masuk akal. Baginya, kedaruratan adalah
sumber mula-mula hukum itu sendiri. Sebagai sumber

xiii

xii
KITA TIDAK DAPAT HIDUP TENANG DAN AMAN TANPA INTELIJEN

hukum ia tidak memerlukan pendasaran pada norma


tertentu. Meminjam istilah Aristoteles, kedaruratan adalah
penggerak pertama (prime mover). Kedaruratan tidak
perlu dicarikan pendasaran hukum karena sejak awal ia
sudah berwatak hukum.
Intelijen beroperasi dalam zona anomi yang pada saat
itu semua determinasi the criminal justice system berhenti
bekerja. Misalnya, seorang ilmuwan Indonesia yang
dibayar oleh dinas rahasia asing berusaha melarikan
sebuah informasi genetik strategis ke luar negeri. Sang
ilmuwan tidak melakukan perbuatan melawan hukum apa
pun. Dia berdalih akan mempresentasikan temuannya di
sebuah konferensi internasional yang diselenggarakan
oleh negara tertentu. Dengan dalih kebebasan akademik
sang ilmuwan tidak dapat ditahan untuk diinterogasi.
Kerja akademik tidak dapat dikategorikan sebagai
perbuatan melawan hukum. Di sini intelijen mesti bekerja
di luar logika the criminal justice system. Dalam situasi
ketika secarik informasi genetik dapat membuat sebuah
negara mendikte negara lain dalam perang biologis
(biological warfare), intelijen dapat menahan sang
ilmuwan dan menginterogasinya. Hukum yang
memayungi tindakan demikian tidak berbasis pada the
criminal justice system, melainkan pada kedaruratan.
Kedaruratan di sini tidak dapat serta merta dimaknai
sebagai kesewenang-wenangan. Kedaruratan memiliki
basis etis yang jelas. Etika yang melandasi kedaruratan
sebagai sumber otoritas juridis adalah utilitarianisme,
dengan prinsip yang berbunyi: " ...kebahagiaan terbesar
bagi sebanyak mungkin orang ...". Intelijen bekerja guna
melaksanakan amanah Pembukaan UUD 1945 yakni:
FILSAFAT INTELIJEN

"Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh


tumpah

XIV
darah Indonesia". Intelijen tidak dapat menggunakan
dalih kedaruratan untuk melindungi kepentingan sektoral
atau rezim tertentu. Artinya, praktik intelijen di luar basis
etis konstitusi, dapat dan harus dikategorikan sebagai
"intelijen hitam".
Kebenaran intelijen pun bersifat pragmatis
(kebermanfaatan) ketimbang korespondensi (kesesuaian).
Artinya, informasi intelijen tidak dapat dinilai
berdasarkan kesesuaiannya dengan fakta belaka, tetapi
juga berdasarkan kegunaan informasi tersebut untuk
memprediksi pengalaman di masa yang akan datang.
Kebenaran "sebuah pesantren menjadi sarang kaum
radikal” misalnya, tidak sekadar dibuktikan berdasarkan
kajian ilmiah dengan sederet bukti, melainkan
sejauhmana informasi tersebut dapat memprediksi
mewujudnya tindak terorisme di kemudian hari. Sifat
kebenaran informasi intelijen berbeda dengan kebenaran
ilmiah yang memerlukan basis faktual cukup kokoh.
Kebenaran informasi intelijen diukur berdasarkan
kebermanfaatan informasi tersebut, guna memprediksi
pengalaman atau kejadian di masa depan. Dengan kata
lain, informasi intelijen dapat saja datang dari sumber-
sumber non-ilmiah, meşki rehabilitas dan akuntabilitas
sebuah informasi intelijen tidak dapat dikesampingkan
begitu saja. Namun, informasi intelijen memiliki prinsip
rehabilitas dan akuntabilitasnya sendiri. Dalam konteks
ini status narasumber dan isi informasi menentukan
reliabilitas dan akuntabilitas sebuah informasi. Dengan
KITA TIDAK DAPAT HIDUP TENANG DAN AMAN TANPA INTELIJEN

kata lain, informasi intelijen memasukkan dimensi


personal dan sosial, hal-hal yang kerapkali diabaikan
dalam kebenaran ilmiah.
Bükü Filsafat Intelijen karya Hendropriyono ini secara
gamblang menjelaskan basis-basis filosofis intelijen
sebagai disiplin dan juga praktik. Basis-basis filosofis
tersebut tidak dimaksudkan untuk memperumit ilmu
intelijen itü sendiri, melainkan memberikan koridor
ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi intelijen.
Koridor filosofis diperlukan agar masyarakat mengetahui
sesungguhnya, apa dan bagaimana kerja intelijen itu.
Dengan begitu, persepsi negatif tentang intelijen sebagai
praktik-praktik gelap, hitam, dan berbahaya dapat ditepis
dan diluruskan. Memang, selama kita masih tinggal di
sebuah negara bangsa yang berteritori fisik dan nonfisik,
selama itulah intelijen dibutuhkan untuk melindungi kita
dari berbagai ancaman. Kita tidak dapat hidup tenang dan
aman tanpa intelijen. Oleh karena itu, pengetahuan yang
benar dan berbobot tentang intelijen diperlukan untuk
menghindari kesalahpahaman, dan sekaligus dapat
menjadi panduan bagi praktik intelijen itü sendiri. Di sini,
intelijen bersenyawa dengan prinsip akuntabilitas
demokratis. Pengetahuan yang menjadi basis praktik
intelijen dapat diuji berdasarkan pengetahuan masyarakat
tentangnya. Di titik inilah, bükü Filsafat Intelijen ini
memainkan peran sentralnya, sebagai paradigma baru
intelijen di sebuah republik demokratis yang secara
ideologis menyandarkan diri pada Pancasila. Selamat
membaca! O
Pemikiran kefilsafatan
tentang intelijen harus
dapat diaktualisasikan,
agar selalu mampu
mengantisipasi berbagai
bentuk dan sifat ancaman,
gangguan, hambatan atau
tantangan, yang dihadapi
manusia Indonesia baik
sebagai individu maupun
kebangsaannya
SIASAT YANG BRILIAN
DAN BERKEADABAN

T akikat intelijen negara hanya akan dapat ditemukan


njika kita tidak lagi melakukan pemikiran filsafati yang
abstrak atau seperti berada di awang-awang. Kita harus
menghentikan berolah pikir yang muluk-muluk, yang
tidak dapat dipraktikkan di lapangan. Pemikiran filsafati
tentang intelijen harus dapat diaktualisasikan, agar selalu
mampu mengantisipasi berbagai bentuk dan sifat
ancaman, gangguan, hambatan atau tantangan yang
dihadapi manusia Indonesia baik sebagai individu
maupun kebangsaannya. Kemampuan tersebut dapat
tersusun jika hakikat dari intelijen negara Republik
Indonesia dapat dipahami sebagai muara dari segenap
teori yang terbingkai dalam ilmu intelijen, dihadapkan
pada keadaan lingkungan global yang terus berubah.
Dengan demikian, maka filsafat intelijen negara
Republik Indonesia ini bukan merupakan cabang dari
ilmu filsafat yang berlaku universal, namun suatu dasar
pijakan moral untuk beroperasi di bawah berbagai macam
bentuk kekuasaan politik. Menurut Wiranu (2012) 1
asumsi moral yang menjadi pijakan bagi operasi intelijen
merupakan suatu diskursus filosofis, yang di dalam
konteks intelijen negara tidak pernah kunjung usai
diperbincangkan. Hal tersebut disebabkan oleh selalu
munculnya hal-hal baru, yang berbeda penerapannya
antara satu negara dengan negara lain. Karena itu,
walaupun ilmu intelijen yang kita anut pada umumnya
berasal dari Barat, namun di dalam penerapannya di
negara kita harus berasaskan pada filsafat Pancasila.
Dengan Pancasila sebagai filsafat negara, maka
intelijen negara kita telah mempunyai suatu pedoman
moral untuk menyusun berbagai siasat intelijen negara RI.
Siasat terdiri dari kebijakan (policy), strategi, taktik dan
teknik intelijen 2 . Taktik dan teknik intelijen biasanya
dirangkai dalam suatu pola, yang dinamakan "Pola
Operasi Intelijen". Kebijakan (policy) intelijen negara
selalu digariskan oleh pemerintah Republik Indonesia

3
FILSAFAT INTELIJEN

selaku the end user atau pengguna utama intelijen negara.


Operasi-operasi yang tidak

I Wawancara dengan Dr. Chotibul Umam Wiranu, anggota DPR Komisi I pada 18 Mei
2012 di Depok.
2 Tidak ada definisi yang baku tentang perbedaan antara strategi, taktik dan teknik,
kecuali dalam hal gradasinya dan juga nilai sasarannya. Secara kontekstual suatu
sasaran kerap dinyatakan sebagai strategis, karena mempunyai nilai yang
menentukan. Ketiga-tiganya berkonotasi metode atau cara untuk mencapai tujuan.
Namun deskripsi yang membedakannya dapat lebih jelas dari beberapa pengertian
yang dianut Lemhannas (1990): Politik atau kebijakan nasional adalah haluan
negara yang menyangkut rencana, pengembangan, pemeliharaan, dan
pengendalian dalam penggunaan totalitas potensi dan kekuatan untuk mencapai
tujuan nasional. Untuk itu menurut Sesko AD (1979), ditetapkanlah kepentingan
nasional, yang berkonteks kondisi kontemporer yang dihadapi Oleh suatu negara-
bangsa. Kepentingan nasional dirumuskan, dalam berbagai sasaran nasional.
Untuk mencapai sasaran nasional, maka Politik Nasional yang digariskan Oleh
pemerintahan negara diaplikasikan dalam Strategi Nasional. Karena itu pada
hakikatnya, strategi nasional adalah pelaksanaan politik nasional, yang
meletakkan dasar penggunaan semua sumber-sumber daya nasional. Strategi
nasional berlaku pada saat perang dan juga pada masa damai. Strategi nasional
harus bersifat kenyal, karena harus mampu menghadapi berbagai macam
perubahan situasi, termasuk perubahan keadaan yang mendadak.

4
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

mengikatkan diri pada nilai dasar1 yang terkandung dalam


Pancasila sebagai filsafat bangsa, dapat mendatangkan
masalah bagi intelijen itu sendiri.
Meskipun kebijakan pemerintah Republik Indonesia
yang diberikan kepada intelijen negara pada
pascakemerdekaan, mempunyai sasaran hanya pada aspek
pertahanan dan keamanan (Hankam) saja, namun hal ini
bukan berarti pemerintah pernah menetapkan fungsi
intelijen negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila hanya sebagai Satuan Pengamanan (Satpam).
Intelijen negara Republik Indonesia ini juga harus
berperan untuk mendukung fungsi negara, yaitu
membangun masyarakat Indonesia seutuhnya. Caranya
adalah dengan melaksanakan operasi intelijen negara,
dengan siasat yang brilian dan berkeadaban.
Negara Republik Indonesia adalah sebuah bangunan
etis untuk melindungi dan mencerdaskan kehidupan
bangsa serta memajukan kesejahteraan umum,
sebagaimana yang tercantum dalam kalimat-kalimat
Pembukaan UUD 1945. Negara secara imajiner bukan
sekadar makhluk politik, melainkan juga makhluk
kultural, Yang bersendikan pada nilai atau prinsip hidup
bersama secara berkeadaban.
Negara-kultural biasanya disebut "bangsa". Konsep
"negara-bangsa" (nation State) pun juga harus dibaca
dalam kerangka fungsi ganda negara, yaitu melindungi

1
Nilai dasar mengandung cita-cita dan tujuan Iuhur, yang terkandung dalam Pancasila.
Nilai dasar dijabarkan dalam nilai instrumental, yang antara Iain berupa LJUD
1945, ULJ dan kebijakan pemerintahan negara. Nilai instrumental kemudian
dijabarkan di dalam bentuk nilai praksis yang terkandung dalam pelaksanaan di
tataran operasional. Lihat: Moerdiono dalam Oetojo Oesman dan Alfian, 1993,
Pancasila sebagai Ideologi Dalam Berbagai Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa
dan Bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta. Lihat: Suhadi, 1995. Filsafat Pancasila Untuk
Perguruan Tinggi, IJGM Yogyakarta.

5
FILSAFAT INTELIJEN

teritorial fisik (batas wilayah) dan nonfisik (kultur,


keadaban). Salah satu usaha untuk melindungi nilai-nilai
kultural, yaitu keadaban masyarakat kita, yaitu dengan
melakukan revitalisasi Pancasila.2
Pancasila merupakan localgenius 3 dari bangsa
Indonesia, sehingga harus merupakan suatu core
philosophy bagi semua aspek kehidupan kita dalam
berbangsa, termasuk dalam intelijen negara. Artinya,
intelijen negara Republik Indonesia berbeda dengan
intelijen negara lain, terutama negara-negara Barat, karena
intelijen kita mempunyai filsafat negara, yaitu Pancasila.
Sebagai filsafat hidup bangsa, yang terdiri dari rakyat,
pemerintah, termasuk civil society (masyarakat sipil/non-
pemerintah), geniusitas lokal yang digali dari local
wisdom ini telah disepakati bersama sebagai ideologi
terbuka sejak 1986. Dengan demikian berarti bahwa nilai-
nilai universal yang terdapat di dalam Pancasila kita,
mengandung amanah yang juga dapat diterapkan di
seluruh dunia.
Dalam perpustakaan dunia sekarang ini belum
ditemukan buku yang berjudul Filsafat Intelijen, karena
memang tidak ada negara yang mempunyai filsafat bangsa
seperti kita. Di masa lampau beberapa negara bangsa yang
2
Oetojo Oesman dan Alfian (Eds.), 1990, Pancasila Sebagai Ideologi, Dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Suntingan dari
tulisan Moerdiono, Soerjanto Poespowardojo, A. Hamid S. Attamimi, Padmo
Wahjono, M. Sastrapratedja, Abdurrahman Wahid, Selo Soemardjan, Alfian,
Mochtar Kusumaatmadja, Mubyarto, Sri-Edi Swasono, Bintoro Tjokroamidjojo,
Sjafroedin Bahar. BP-7 Pusat. Jakarta.
3
Local Genius atau geniusitas Iokal merupakan pedoman kebenaran dari suatu bangsa,
yang digali dari akar kebudayaan bangsa itu sendiri. Geniusitas Iokal Indonesia
adalah Pancasila, yang digali dari local wisdom (kearifan lokal) yang telah
berlangsung secara turun temurun dan terus menerus (merupakan akar peradaban).
Kearifan lokal bertujuan untuk senantiasa meningkatkan ketahanan nasional bangsa
itu, dalam menghadapi setiap perubahan keadaan lingkungannya. Ketahanan
nasional merupakan kondisi dinamis masyarakat, yang berkemampuan untuk
melakukan akulturasi terhadap pengaruh eksternal.

6
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

mempunyai dasar filsafat negara adalah negara-negara


komunis, yang berfilsafat Marxis.
Filsafat dari intelijen negara mereka yang merupakan
derivasi dari Marxisme, diterapkan sebagaimana praktik
KGB waktu lalu yang penuh dengan pelanggaran Hak
Asasi Manusia. Filsafat Intelijen Negara Republik
Indonesia dalam tulisan ini merupakan hasil pemikiran,
yang bertujuan memberikan arah bagi setiap pilihan siasat
intelijen negara, dengan tetap berpedoman kepada filsafat
bangsa kita, Pancasila. Kehidupan kebangsaan kita yang
semakin jauh dari praksis Pancasila telah menimbulkan
suatu kegelisahan akademis bagi penulis, untuk berusaha
menemukan hakikat dari intelijen negara Republik
Indonesia melalui pemikiran filosofis. Dengan demikian,
pemikiran ini bukan hanya suatu kajian terhadap intelijen
dari perspektif filsafat Pancasila ataupun semata-mata
sebagai suatu tinjauan terhadap konsepsi Intelijen negara
Indonesia.
Sebagai intelijen dari negara yang berfilsafat
Pancasila, maka intelijen negara Republik Indonesia
adalah intelijen Pancasila, bukan intelijen yang bebas dari
nilai dasar (value free) yang terkandung di dalamnya
secara filsafati. Karenanya tulisan yang berjudul Filsafat
Intelijen Negara ini merupakan bahasan terhadap intelijen
negara Republik Indonesia yang berfilsafat Pancasila
sebagai objek materiil, sedangkan filsafat umum yang
bersifat universal sebagai objek formal.
Intelijen Negara Republik Indonesia, sebagaimana
juga TNI dan pengemban misi dalam berbagai aspek
kehidupan bernegara kita, kebenaran ilmunya semua
bersumber pada filsafat bangsa kita sendiri. Artinya,
secara epistemologis intelijen negara Republik Indonesia

7
FILSAFAT INTELIJEN

merupakan derivasi dari Pancasila, bukan hanya sekadar


dari perspektif Pancasila. Dengan berpedoman pada
filsafatnya itu sendirilah, maka intelijen negara Republik
Indonesia sekaligus juga mengandung makna sebagai
intelijen nasional, yang tidak hanya berfungsi di bidang
pertahanan-keamanan saja.
Sebagai suatu fungsi negara, sudah merupakan
kewajiban etis bahkan imperatif juridis bagi intelijen
nasional, untuk melakukan revitalisasi dan reaktualisasi
nilai-nilai kebangsaan sebagaimana yang diamanatkan
dalam Pancasila. Intelijen nasional Republik Indonesia
tidak boleh membiarkan Pancasila tinggal tersisa sebagai
situs gramatikal, yang berupa deretan verbal sila-sila saja4.
Intelijen dalam hal ini sangat berkepentingan, untuk
melakukan langkah-langkah "keamanan" atas dasar
filsafatnya sendiri. "Keamanan" dalam konteks ini
bermaksud memagari, agar intelijen negara dalam
menjalankan tugasnya berjalan dalam koridor filsafatnya.
Dengan demikian, maka produk-produk intelijen negara
selalu terhindar, dari hal-hal yang bersifat kontra
produktif. Istilah "keamanan" itu sendiri juga secara aktual
kini sudah berarti lebih luas dari sekadar perlindungan dari
diri sendiri dan ancaman dari musuh fisik bersenjata saja.
Sumber ancaman terhadap keamanan nasional sudah
meluas dari sekadar ancaman eksternal ke ancaman
internal.

4
Kaelan MS, 2008, Pancasila Bagi Generasi Penerus Bangsa. Penerbit Fakultas
Filsafat UGM, Yogyakarta. Lihat: Kaelan MS, 2008, Pendidikan Pancasila, Penerbit
Fakultas Filsafat UGM; Prof. Dr. H. Kaelan MS dan Drs. H.Achmad Zubaidi,
Msi, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, untuk Perguruan Tinggi, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta.

8
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

Kodrat ancaman yang dihadapi bangsa kita kini


melebar dari ranah militer ke ranah budaya, ekonomi,
politik, dan bahkan terutama ke ranah filsafat. Globalisasi
juga turut memicu proliferasi ancaman terhadap keamanan
nasional. la mengancam negara-bangsa, baik secara
institusional maupun secara kultural. Secara institusional,
kendali negara pada perekonomian dilemahkan oleh
kekuatan ekonomi global, sedangkan secara kultural
negara diancam oleh identitas dan ideologi sub-nasional
dan supranasional yang merusak sendi-sendi ketahanan
kultural masyarakat kita. Globalisasi membuat kapabilitas
ekonomi, informasi, militer dan diplomasi dari aktor-aktor
non-negara menguat, bahkan mengatasi negara-bangsa itu
sendiri.
Ruang lingkup ancaman yang berubah membuat kita
perlu merumusulangkan apa itu "intelijen” yang dalam
konteks ini adalah "intelijen negara RI". Intelijen negara
yang semula hanya berfungsi mendukung aspek
pertahanan-keamanan negara saja, kini harus berubah
fungsi untuk mendukung kehidupan nasional di seluruh
aspek kehidupan kebangsaan. Transisional dalam
pemahaman memerlukan pedoman berupa konstanta yang
berlaku abadi secara universal, yaitu etika. Masalah etika
dibahas secara sarat di dalam filsafat umum, yang
merupakan muara dari berbagai ilmu, termasuk ilmu
intelijen negara.
Dalam tradisi filsafat, kajian tentang hakikat realitas
disebut sebagai ”ontologi”. Ontologi mempelajari n ada
sebagai ada” dan bukan "ada sebagai bentuk-bentuk
khusus”. ”Ada” dalam intelijen telah berada di dalam
lingkup 'fada” yang lebih utama, yakni adanya negara
Republik Pancasila. Dengan kata lain, "ada” intelijen

9
FILSAFAT INTELIJEN

merupakan ”ada-ada” dari 'lada” negara. "Ada-ada”


tersebut seperti halnya pencarian pengetahuan para filsuf,
tentang bendabenda dan objek-objek pemikiran.
Perenungan tentang "air” misalnya, mengacu pada objek
universal lain yang menaunginya. Itulah sebabnya
mengapa 'fair” kemudian menjadi bagian dari filsafat
alam. Demikian pula halnya "tubuh” dan "jiwa” yang
merupakan bagian dari filsafat manusia, serta ”baik” dan
"buruk” menjadi bagian dari filsafat moral.
Pemaknaan ontologis tentang intelijen adalah
pembacaan tentang intelijen dan segala siasatnya, dalam
disiplin filsafat negara. Karena itu pemahaman tentang
hakikat ontologis intelijen, tidak dapat terlepas dari
pemahaman tentang hakikat negara. Kita mengenali
bentuk-bentuk khusus intelijen, namun belum pernah
mencoba untuk merumuskan, apa hakikat dari intelijen itu
sendiri. Akibatnya, intelijen seringkali dipahami
sematamata sebagai praktik-praktik yang bebas nilai dan
hampa pedoman.
Sebelum menyelami hakikat intelijen, ada baiknya kita
membahas dahulu sekali lagi perbedaan arti istilah
"negara" dan "nasional". Negara 5 adalah entitas politik
yang memiliki teritorial (berhubungan dengan state) dan
harus dipertahankan, yang kalau perlu sampai dengan
penggunaan kekuatan fisik atau kekuatan militer.

5
Djoko Suryo, 2009. Dalam: Nasionalisme di Indonesia. catatan kuliah di Program
Studi Ketahanan Nasional, kerjasama Lemhannas bulan Februari 2009, yang
menyatakan, bahwa negara (state atau country) merupakan entitas dari pemerintah,
rakyat dan teritorial. Adapun nasional (asal: nation) mengandung arti interaksi antara
rakyat, pemerintah dan teritorinya. Lihat: Djoko Suryo, 2009,"Transformasi
Masyarakat Indonesia". Dalam Historiografi Indonesia Modern.

10
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

Kekuatan militer sering pula dikenal sebagai kekuatan


keras (hard power) 6 dari suatu negara bangsa.
Adapun istilah "nasional" (berhubungan dengan
nation) adalah entitas kultural yang lebih luas dari sekadar
teritorial fisik. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan konotasi
antara intelijen negara (state intelligence) dengan intelijen
nasional (national intelligence). Perbedaan tersebut
menyangkut lingkup sasaran yang harus diraihnya.
Sasaran intelijen nasional meliputi semua aspek
kehidupan kebangsaan, yaitu ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya7 dan juga aspek pertahanan serta keamanan
(Ipoleksosbudhankam). Sedangkan sasaran intelijen
negara hanya terbatas pada pertahanan dan keamanan
negara (Hankamneg) saja.
Secara universal perbedaan tersebut biasanya tidak
disadari oleh para penyelenggara negara, sehingga
kerapkali melahirkan kebijakan pemerintahan yang keliru
bagi intelijen negara di nation-state yang bersangkutan.
Keliru misalnya fungsi di bidang ekonomi, yang
merupakan domain dari intelijen nasional, diberikan
kepada intelijen negara yang bekerja hanya untuk
kepentingan pemerintah ataupun kepentingan state, bukan
demi kepentingan nation.
Namun, karena intelijen negara kita mempunyai
filsafat sendiri, yaitu Pancasila, maka walaupun ia suatu

6
Kurt M. Campbell dan Michael E. O'Hanlon, 2006, Hard Power. Basic Books, New
York, USA. Lihat: Juwono Sudarsono, "Kekuatan Lunak, Keras dan Cerdas",
harian Kompas, 25 Maret 2008; Joseph Nye, 2007, The Power To Lead, Harvard
University, USA.
7
Lasiyo, 2008, Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah. Perspektif Filsafat Sosial
pada Komunitas Adat Pubian Di Lampung. Sosial Budaya dalam konteks filsafat
adalah peradaban atau kebudayaan, yang memengaruhi tingkah laku manusia dan
manifestasi tindakan, sikap dan perilaku mereka. Lihat: Lasiyo dan A. Fauzie
Nurdin, Jurnal Penelitian Agama, Volume XVII No. 3, September-Desember 2008,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

11
FILSAFAT INTELIJEN

state intelijen, tetap harus bekerja untuk kepentingan


nation Indonesia. Konsekuensi aktualnya adalah secara
kualitas para pengemban fungsi intelijen negara kita harus
dilengkapi dengan berbagai kemampuan dalam sumber
daya manusia, metode, dan fasilitasnya. Kekurangan atau
kelangkaan dalam bidang-bidang tersebut kerap
mendatangkan berbagai kesulitan pada tataran
operasional. Terutama jika terdapat kelemahan yang
bersifat kronis di bidang infrastruktur dan network
(jejaringnya) nasional.
Kita juga perlu membedakan secara ontologis antara
intelijen militer dan nonmiliter (sipil). Perbedaan tersebut
mencakup demarkasi doktriner, yang tegas dan
diskriminatif. Negara bangsa memiliki dua jenis teritorial:
fisik dan nonfisik. Teritorial atau teritori fisik adalah
kedaulatan yang dibatasi secara juridis, sehingga
memperoleh pengakuan internasional. Adapun teritori
nonfisik adalah kedaulatan substantif yang berupa
ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Militer berfungsi untuk menjaga kekuatan fisik pihak
sendiri, dari invasi pasukan asing (eksternal) atau
pemberontakan bersenjata (internal). Doktrin militer
terhadap musuh adalah: "cari (find), kejar (pursuit), dan
hancurkan (destroy)". Watak intelijen militer, dengan
demikian berupaya mencari informasi sebanyak-
banyaknya untuk menemukan musuh, guna mengetahui
medanmedan yang kritis, peninjauan (penglihatan) dan
lapangan tembakan terhadap musuh, perlindungan dari
peninjauan dan tembakan dari musuh, rintangan-rintangan
dan jalanjalan pendekat menuju musuh.8

8
Harsudiono Hartas, 1965. "Taktik Bertempur Infantri (TBI)" Dalam pelajaran di AMN
memberikan "Jembatan Keledai" untuk dihafal Oleh para taruna Akademi Militer

12
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

Keadaan mutakhir tentang musuh mengenai hal-hal


tadi harus disampaikan kepada pasukan militer untuk
dicari, dalam rangka dikejar jika mereka melarikan diri
dan kemudian untuk dihancurkan. Karena itu dalam
intelijen militer lebih banyak dibenarkan penggunaan
cara-cara kekerasan, yang nyaris terlarang untuk
digunakan di dalam pelaksanaan fungsi intelijen
nonmilliterll. Kerapkali intelijen militer juga melakukan
operasi secara berdiri sendiri (tidak tersandar) demi
merebut kemenangan pertempuran, walaupun bukan
otomatis berarti kemenangan perang 9 . Situasi di medan
pertempuran membuat watak intelijen militer, tidak dapat
disamakan dengan nonmiliter. Pertempuran membuat
orang dalam situasi membunuh atau dibunuh (to kill or to
be killed). Intensitas konflik semacam ini membuat
praktik intelijen militer senapas dengan doktrin tempur.
Adapun intelijen nonmiliter berbeda, karena selalu
berfokus untuk memperoleh informasi yang bersifat
strategis, bagi terlindunginya kedaulatan nonfisik.
Intelijen nonmiliter tidak berurusan dengan personel

Nasional (AMN): "Main Piano Lagu Rindu Dendang", yang merupakan akronim
dari: "Medan yang Kritis, Peninjauan terhadap lapangan tembakan ke arah musuh,
Perlindungan dari Peninjauan dan Lapangan Tembakan musuh, Rintangan-
rintangan dan Djalan-djalan Pendekat menuju musuh"

II Salah satu contoh bedanya kegiatan penyelidikan dalam intelijen nonmiliter adalah
selalu dilakukan dengan teknik penyusupan (infiltrasi) atau perembesan (penetrasi)
secara senyap (rahasia) dan halus. Adapun dalam intelijen militer tidak harus senyap,
karena dapat juga dilakukan dengan kekerasan melalui suatu serangan terbuka dari
pasukan berlapis baja, yang disebut "Pengintaian Paksa"
9
Pertempuran menyangkut dua pihak yang berhadap-hadapan secara fisik di medan
laga militer, sedangkan perang meliputi berbenturannya aspek-aspek menyeluruh
dari kehidupan kenegaraan. Perang merupakan totalitas dari serangkaian pertempuran.
Contoh: Dalam pertempuran antara TNI melawan pasukan tentara Fretilin di Timor
Timur sejak akhir tahun 1974 tidak pernah mengalami kekalahan yang berarti di
setiap medan pertempuran, tetapi pada tahun 1999 Timor Timur akhirnya berhasil
memenangkan perang dan menjadi negara merdeka yang terlepas dari Republik
Indonesia, dan mendirikan negara Timor Leste.

13
FILSAFAT INTELIJEN

tempur atau kombatan, melainkan musuh nonkombatan.


Sasaran mereka yang berwujud fisik, contohnya adalah
para pengusaha agen asing, ilmuwan agen asing, yang
berupaya menggerogoti kedaulatan ideologi, politik,
ekonomi, sosial atau budaya sebuah negara-bangsa.
Kerapkali "musuh" di sini berupa sesuatu yang abstrak,
tidak berwujud, misalnya ideologi. Dengan demikian,
intelijen pendukung doktrin cari, kejar, dan hancurkan,
tidak dapat diberlakukan pada intelijen nonmiliter. Sebab
musuh di sini merupakan medan kritis 10 sebagai sumber
informasi yang penting, yang harus diselamatkan agar
tetap berguna jika kita kuasai.
Intelijen nonmiliter lebih ditekankan untuk harus dapat
menguasai musuh (friendly enemy), dengan menggunakan
penggalangan lunak dan cerdas. Adapun situasi yang
mengurung kerja intelijen nonmiliter, bukan konflik
eksistensial membunuh atau dibunuh. Intelijen nonmiliter
bekerja untuk kategori yang berbeda, yaitu dalam nilai
dukungan terhadap pengguna (user) dengan info bersifat
intelijen (yaitu info yang telah diolah dan benar), untuk
memenangkan kompetisi, persaingan ataupun kehendak.
Kekeliruan dalam penentuan kebijakan pemerintahan
negara, merupakan latar belakang dari permasalahan yang
dihadapi oleh intelijen negara di berbagai nation states.
Pemerintahan dalam nation state Indonesia di bawah
administrasi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
pada tahun 2000 11 misalnya, telah memperluas fungsi dari

10
Medan Kritis dalam istilah militer berarti suatu tempat yang menguntungkan bagi pihak
yang menguasainya. Jika tempat itu dihancurkan, maka tidak akan memberi
keuntungan kepada pihak yang menguasainya.
11
Perubahan Bakin menjadi BIN vide Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000, secara
jelas menetapkan tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja
Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai Lembaga Pemerintah Non-Departemen.

14
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dengan


memberikan kewenangan operasional, sesuai dengan
maknanya sebagai intelijen negara Republik Indonesia.
Karena itu nama Bakin kemudian diganti menjadi Badan
Intelijen Negara (BIN). Kata "koordinator” dihilangkan,
sehingga BIN berarti bukan hanya koordinator, tetapi juga
sekaligus operator intelijen. Dengan kewenangan untuk
melakukan operasi intelijen negara, maka dalam
pengertian universal BIN berfungsi sebagai alat negara
atau aparat pemerintah negara.12
Sebagai aparat pemerintah, BIN harus dapat
melaksanakan tugas pemerintahan negara di bidang
intelijen dan juga berfungsi untuk melancarkan serta
membina kegiatan dari instansi-instansi pemerintah
lainnya dari aspek intelijen negara. Selain itu BIN juga
mendapat tugas sebagai penyelenggara fungsi pengkajian
dan punyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen.
Berarti BIN kini m empunyai fungsi intelijen nasional,
selain intelijen negara. Di sini nampak bahwa pemerintah
sebagai pengguna (user) telah melaksanakan reorientasi
kepada filsafat intelijen, dengan tidak membedakan
makna dari istilah "negara" dengan "nasional" sebagai
fungsi dari Badan Intelijen Negara (BIN).
Pada saat ini di tataran praktik di daerah-daerah teIah
diselenggarakan forum koordinasi intelijen, sebagai
revitalisasi dari forum Badan Koordinasi Intelijen Daerah
(Bakorinda) yang pernah dibangun Bakin sebelumnya.
Namun seperti juga Bakorinda, ternyata forum tersebut
tidak efektif, karena para subjeknya tidak terintegrasi
secara sistemik. Forum tersebut berlangsung hanya

12
Alat atau aparat pemerintah maksudnya bukan alat peseorangan, tetapi alat negara
dengan titik berat fungsi menjamin stabilitas pemerintahan.

15
FILSAFAT INTELIJEN

sebatas saling tukar-menukar info, yang kerapkali masih


diwarnai oleh arogansi sektoral.
Berbagai keterbatasan pada tataran kebijakan juga
membawa fungsi pembinaan persandian yang sebelumnya
merupakan tanggung jawab BIN, tapi sejak era reformasi
telah terlepas dari fungsi supervisinya. Bahkan,
persandian nasional kemudian ditangani oleh Lembaga
Sandi Negara yang merupakan Lembaga Negara Non-
Departemen.
Dalam fungsi yang diberikan oleh administrasi
Presiden Abdurrahman Wahid, Badan Intelijen Negara
mempunyai tanggung jawab dan kewenangan untuk
menyusun rencana nasional secara makro di bidangnya
dan mendukung pembangunan nasional secara makro.
Kewenangan dan tanggung jawab lain yang diberikan
adalah mengatur sistem intelijen negara/nasional dan
sistem pengamanan pimpinan nasiona1 13 di bidang
intelijen.
Namun, perluasan atau perubahan sasaran intelijen
bagi BIN tersebut tidak dimulai dari perubahan postur BIN
sebagai Badan Intelijen Nasional terlebih dahulu. Postur
dari suatu Badan Intelijen Nasional harus menyangkut tiga
hal pokok. Yaitu, pertama, kemampuan personel, uang,
dan perlengkapan berikut teknologi tepat-gunanya.
Kedua, kekuatan yang berhubungan dengan jumlah orang
atau anggota organik. Ketiga, gelarnya, yaitu hal yang
berhubungan dengan susunan, organisasi dan penyebaran
dislokasinya secara fisik dan nonfisik.
Untuk mengatasi berbagai kekurangan intelijen negara
agar mampu mengemban tugas sebagai intelijen nasional,
13
Pengamanan terhadap pimpinan nasional pada era Presiden Soeharto, dilaksanakan
oleh Badan Intelijen Strategis ABRI cq Direktorat D.

16
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

penulis selaku Kepala BIN beserta jajaran kepemimpinan


periode 2001-2004 kemudian mendirikan Dewan Analis
Strategi (DAS) 14, yang diharapkan dapat berperan untuk
mengolah berbagai data yang masuk dari aspek
ipoleksosbudhankam menjadi intelijen nasional yang
akurat. Dengan demikian diharapkan BIN dapat banyak
terbantu dalam menjalankan peranan yang melebihi
fungsinya sebagai badan intelijen negara universal.
Walaupun para anggota DAS telah banyak dikenal oleh
publik, namun tetap harus dapat dijamin, bahwa semua
rencana, usaha, pekerjaan dan kegiatan intelijen yang
mereka lakukan secara proporsional terklasifikasi
(rahasia, konfidensial atau
terbatas).
Permasalahan yang timbul menyangkut koordinasi
dengan jajaran organik BIN sendiri, yang berfungsi
membuat produk-produk intelijen. Untuk itü diperlukan
kebijakan khusus, guna menghindari duplikasi fungsi
dalam satu organisasi. Kebijakan khusus tersebut adalah
membagi sasaran intelijen negara, baik yang dalam negeri
maupun yang luar negeri.
Sasaran dari para personel dalam jajaran organik BİN
adalah publik, seperti LSM-LSM, berbagai Ormas,
masyarakat akar-rumput dan juga para penyelenggara
negara, yaitu para birokrat yang bukan administrator

14
Dewan Analis Strategi (DAS) kini dipimpin Oleh Dr. Rubianto, dengan
anggotaanggota yang terdiri dari para pakar berbagai disiplin ilmu dan pengalaman
praktik. DAS dibentuk Oleh penulis bersama para pimpinan BIN periode 2001-
2004 melalui SK Ka BIN 1318/10/2001 tanggal 28 Oktober 2001, tentang
pembentukan Dewan Analis Strategis. IJntuk pertama kalinya DAS dipimpin
sendiri Oleh Ka BIN bersama Sekretaris: Hari Budiman. Secara aklamasi
kemudian dipilih Osman Sapta Odang sebagai Ketua Harian DAS. Para pakar yang
pernah duduk di sana, antara lain Hadi Purnomo (kemudian menjadi Ketua BPK),
Prof. Dr. AS Hikam (Mantan Menteri RisteWKetua BPPT), dan lain-lain.

17
FILSAFAT INTELIJEN

negara. Sasaran DAS adalah para administrator seperti


pejabat tinggi negara, para menteri, para duta besar, dan
lainlain, yang aksesnya tidak dipunyai oleh personel
organik biasa BİN. Hal tersebut disebabkan para pejabat
tinggi itü tidak mengenal personel BİN dan sering pula
enggan bertemu dengan orang-orang İntel. Berbeda
dengan para personel DAS yang terdiri dari para mantan
pejabat tinggi, akseptabilitas mereka lebih beşar karena
sudah kenal secara pribadi atau karena penghargaan yang
melekat pada mereka sebagai mantan pejabat tinggi
negara.
Dengan sasaran yang bertataran VIP, para personel
DAS dapat meramalkan secara lebih strategis apa yang
akan terjadi, sehubungan dengan apa yang direncanakan
oleh para VIP itü pada sektornya. Hal ini kebanyakan tidak
dipunyai oleh para personel organik BİN, yang belum
pernah berinteraksi dengan para pengambil keputusan di
negara Republik Indonesia ini. Oleh karena itu, anggota
BİN semula direncanakan diisi oleh para bekas menteri,
duta besar, dirjen, dan lain lain yang setingkat. Mereka
dibantu oleh para pakar berbagai disiplin ilmu, untuk
menjamin ramalan atau perkiraan intelijen (Kir Intel) yang
disampaikan kepada Kepala BİN selain strategis juga
bernuansa ilmiah.
Namun, sayangnya ketika pemilihan Ketua DAS
dilakukan secara demokratis, hasilnya tidak
mencerminkan sebagaimana yang menjadi tujuan semula.
Oleh karena itu, sejak kepemimpinan Marciano Norman
Sasono, Ketua DAS ditunjuk langsung oleh Kepala BIN.
Dengan cara ini diharapkan fungsi DAS menjadi lebih
jelas, sehingga mengurangi kesulitan dalam koordinasi

18
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

dan saling bantu dengan Deputi terkait di jajaran organik


BIN.
Ringkasnya, jika Deputi yang terkait di BIN lebih
menekankan pada analisis dan produkintelijen
berdasarkan data dari publik, DAS BIN menekankan
fungsinya pada Ramalan atau Perkiraan Intel Strategis
(Kirintelstra) berdasarkan data dari para pengambil
keputusan. Dengan pemahaman yang sama, di luar negeri
para anggota DAS BIN juga lebih mudah mendapat akses
ke para pejabat tinggi negara asing.
Selanjutnya untuk mengantisipasi penugasan dari
pengguna dan harapan dari masyarakat Indonesia yang
terus meningkat, maka kualitas sumber daya manusia BIN
di bawah Kepala BIN yang berganti-ganti juga selalu
diusahakan peningkatannya. Pembentukan kader intelijen
dari generasi penerus telah dimulai secara lebih intensif
oleh penulis beserta para pimpinan BIN periode 2001-
2004 juga, dengan mendirikan Sekolah Tinggi Intelijen
Negara (S-l/lntelijen) di Sentul Bogor 15 . Sekolah
Pascasarjana (S-2/Intelijen) sebenarnya telah dirintis pula
pendiriannya di Batam dalam waktu yangbersamaan,
namun sayang tidak berlanjut karena pemerintahan
Megawati Sukarnoputeri berakhir pada tahun 2004.16

15
Berdirinya Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) tidak terlepas dari jasa As'ad
Said Ali (Waka BIN, kemudian menjadi Wakil Ketua PBNU), Muhdi PR
(kemudian menjadi politisi), Bey Sofwan (kemudian menjadi Dubes di Timor
Leste), Beny Rulyawan, Suparto, Nurhadi Jajuli (kemudian menjadi Duta Besar
Republik Indonesia di Nigeria), Muhammad Ali dan Usman Chatib Warsa (Rektor
Ul), para guru besar dan dosen Universitas Indonesia, antara Iain Prof. Dr. Sutanto,
Dr. Iriani Sophiaan, dan Iain-Iain. Ketua STIN yang pertama adalah Prof. Dr. Ir.
Bijah Soebijanto, M.Si.
16
Sekolah pascasarjana intelijen dinamakan Institut Intelijen Negara (IIN) secara
bersama-sama dengan STIN diresmikan Oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri
pada hari Rabu 9JuIi 2003. Hanya STIN yang dilanjutkan Oleh pemerintah
berikutnya, dengan mengukuhkan STIN melalui Perpres No. 14 Tahun 2009.

19
FILSAFAT INTELIJEN

Usaha Iain yang dilakukan adalah merekrut para agen


intelijen non-organik dari kalangan mahasiswa, birokrat,
pengusaha, wartawan, aktivis, pengamat, dan kalangan
profesional. Setiap tahun sejak 2002 (berlangsung sampai
dengan 2004) BIN telah merekrut setidaknya 100 sarjana
dan magister dari berbagai universitas di Indonesia.
Usaha-usaha tersebut dikembangkan terus Oleh para
pemimpin BIN dari waktu ke waktu, untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya perubahan keadaan lingkungan
strategis yang mendadak. Perubahan keadaan yang
mendadak sejak reformasi 1998 dapat terjadi, sehingga
kebutuhan adanya Undang-Undang intelijen yang dapat
memayungi profesionalisme BIN dirasakan sudah sangat
mendesak.
Sejak awal reformasi nasional, di kalangan wakil
rakyat di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis
Perwakilan Rakyat berkembang pemikiran dan kemudian
tuntutan untuk memisahkan antara fungsi pertahanan
dengan fungsi keamanan negara. Akibatnya secara
organisatoris intelijen kemudian dibagi menjadi intelijen
aspek pertahanan dan intelijen aspek keamanan. Intelijen
aspek pertahanan menjadi fungsi dari Badan Intelijen
Strategis (Bais), yang sebelumnya bernama BIA (Badan
Intelijen ABRI). Sebelum BIA, bernama Bais ABRI
(secara salah kaprah disingkat BAIS ABRI), dan sejak
tahun 1990 kembali ke nama lama yaitu Badan Intelijen
Strategis
(Bais).

Pengaturan selanjutnya dilakukan atas dasar Permendiknas No. 34 Tahun 2009,


tentang organisasi dan tata kerja STIN. Adapun tentang statuta STIN diatur Oleh
Permendiknas No. 60 Tahun 2009.

20
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

Pada tataran kebijakan tidak terdapat adanya fungsi


yang tumpang tindih antara BİN dengan Badan Intelijen
Kepolisian (BIK), karena BİN berfungsi pada tataran
nasional, sedangkan BIK pada tataran kriminal. Tetapi
dalam pelaksanaannya di lapangan ternyata sangat sulit,
karena subjeknya tidak diorganisasikan secara
terintegrasi.
Kesulitan tersebut akhirnya dicoba diatasi dengan
usaha terobosan yang dilakukan oleh Kepala BİN Sutanto
(2009-2011) yang disempurnakan oleh kepemimpinan
Marciano Norman (sejak 2011-sekarang). Terobosan
tersebut berupa penempatan satuan-satuan reserse Polri
yang diperkuat oleh satuan-satuan TNI, di bawah kendali
operasi BİN. Terobosan tersebut juga merupakan
kelanjutan dari kesepakatan para pimpinan BİN 20012004
yang merekrut para perwira Polri selain dari TNI, untuk
secara selektif langsung bergabung sebagai anggota
organik dalam jajaran organisasi BİN. Sekaligus guna
melancarkan kerjasama yang setara dengan counterpart
(pasangan kerja) dari kalangan setempat, maka dibentuk
jabatan Kepala BİN Daerah di berbagai provinsi dengan
pangkat Brigadir Jenderal atau sipil yang sederajat.
Adapun landasan metafisik untuk membangun
semangat le'sprit de Corps (ikatan jiwa korps) dan disiplin

20 BKO adalah singkatan dari Bawah Kendali Operasi, yang artinya satuan-satuan dari
luar BİN, seperti dari Polri dan TNI ditempatkan di bawah BIN hanya dalam hal
operasional saja, tidak termasuk bidang administrasinya. Dalam mengintegrasikan
subjek yang demikian, dunia militer mengenal asas-asas yang antara lain, The
Unity of Command, yang berarti Kesatuan Komando. Untuk itü dikenal tiga sistem
komando dan pengendalian (Kodal): BKO, BP (Bawah Perintah) di mana
menyangkut juga bidang administrasinya, dan BL (Bantuan Langsung) di mana
bantuan diberikan oleh satuan atasan secara langsung, berdasarkan permintaan dari
satuan bawahannya.

21
BRILIAN DAN BERKEADABAN
SIASATYANG

intelijen adalah Sumpah Intelijen 17 (Lampiran 1) yang


dirumuskan oleh penulis selaku Kepala BİN bersama Wakil
Kepala BİN As'ad Said Ali. Setelah terjadi beberapa kali
pergantian administrasi Kepala BİN dari waktu ke waktu,
akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
mensahkan bunyi lafal Sumpah Intelijen Negara dengan
perubahan yang cukup fundamental.
Permasalahan yang perlu dibahas menyangkut kata pertama
sumpah yang berbunyi: Setia kepada pemerintah. Lafal itü
diganti dengan setia kepada negara dan seterusnya. Pada awal
perumusan sengaja tidak dinyatakan "setia kepada negara",
karena negara adalah bentuk imajiner yang meliputi
pemerintah, rakyat, dan teritorial. Intelijen negara walau setia
kepada negara, harus jelas kepada negara yang konkret, yaitu
dalam wujud pemerintah. Tentü saja pemerintah dalam hal ini
adalah pemerintah Republik Indonesia yang sah, yaitu yang
dipilih secara demokratis dan diakui kedaulatannya secara
internasional.
Namun, pemikiran DPR bahwa setia kepada negara lebih
menjamin, agar intelijen tidak digunakan oleh penguasa secara
salah, dapat dipahami. Partai-partai politik di DPR itü saling
membentengi diri agar tidak mudah dijadikan sasaran oleh
intelijen negara, yang digunakan oleh penguasa yang berasal
dari partai lain. Padahal BİN dan berbagai Badan intelijen

17
Sumpah Intelijen berbunyi sebagai berikut: "Demi Allah saya bersumpah: I) Setia kepada
Pemerintah Negara Repubik Indonesia yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. 2) Memegang teguh disiplin, berarti taat kepada Undang-
Undang dan patuh kepada pimpinan, dengan tidak membantah perintah atau keputusan
dinas. 3) Menjunjung kehormatan Korps Intelijen setinggitingginya di setiap tempat, waktu
dan di dalam keadaan bagaimanapun juga. 4) Meningkatkan kemampuan intelijen dan
pantang menyerah dalam menjalankan segala tugas dan kewajiban. 5) Memegang segala
rahasia negara sekeraskerasnya."

22
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN
sektor-sektor adalah alat-alat negara yang sama sifatnya dengan
TNI, Polri, Kejaksaan dan lain-lain.
Arus liberalisme dalam demokratisasi negara Republik
Indonesia yang sangat deras kita rasakan sekarang ini,
mendesak kita untuk segera melahirkan konsep filsafat intelijen
negara. Dengan memegang teguh filosofi intelijen negara
Republik Indonesia, maka praktik penyalahgunaan intelijen
negara dapat dihindarkan.
Pedoman untuk bersikap, berbicara, bertindak dan
berperilaku bagi personel intelijen negara dalam melaksanakan
tugas dan dalam pergaulan hidup sehari-hari dapat dicakup
dalam suatu kode etik intelijen negara. Kode etik hanya
menyangkut aturan terhadap subjek (pelaku) intelijen, tetapi
tidak mencakup metoda dan sasaran intelijen negara. Filsafat
intelijen melakukan kategorisasi sasaran secara jelas, antara
sasaran luar negeri dan dalam negeri.
Untuk sasaran luar negeri, fungsi-fungsi intelijen dapat
dilaksanakan dengan semua cara, termasuk hard approach atau
pendekatan kekerasan. Hal tersebut disebabkan kepentingan
nasional menjadi lebih mengemuka, daripada kepentingan lain.
Tidak demikian halnya untuk sasaran dalam negeri, yang harus
menyingkirkan jauh-jauh nilainilai pragmatisme. Di sini pula
dirasakan perlunya intelijen negara Republik Indonesia dalam
praktik, untuk selalu berpedoman pada filsafatnya sendiri.
Perumusan Sumpah Intelijen juga diikuti dengan penulisan
lirik lagu "Mars Intelijen" pada tanggal 7 Mei 2002 (tertera
dalam Lampiran 2). Inisiatif teknis dalam kepemimpinan yang
demikian itu bertujuan agar BIN tetap dapat melaksanakan
tugasnya, walau keadaan lingkungan strategik baik global
maupun nasional berkembang ke arah yang makin tak menentu.
Ketidakmenentuan tersebut bertambah lagi oleh kerancuan di

23
FILSAFAT INTELIJEN
kalangan para penentu kebijakan intelijen itu sendiri yang
kebanyakan awam terhadap intelijen.
Awamnya para pemangku kepentingan intelijen yang silih
berganti, sesuai dengan amanat demokrasi dapat terjadi, karena
memang secara historis awal dari pengertian intelijen negara
berasal dari intelijen pertahanan atau intelijen militer.
Karenanya kebanyakan di antara mereka jika mendengar istilah
intelijen, pikirannya langsung ke arah intelijen militer.
Intelijen militer adalah ilmu yang membahas pengetahuan
tentang cuaca, medan, dan musuh (cu me mu). Pengertian
cuaca meliputi iklim, musim, kering, basah, lembab, terik,
teduh, hujan, panas atau dinginnya udara. Dengan
perkembangan ancaman dan perubahan bentuk perang, di masa
kini intelijen cuaca meliputi juga keadaan di luar angkasa.
Pengertian "medan" yang semula adalah area atau dataran
darat/laut/udara, kemudian berkembang menjadi di bawah
tanah, di bawah laut dan juga di luar angkasa.
Metamorfosa sasaran intelijen yang lebih luas dari "cu me
mu" tersebut adalah "Trigatra" (geografis, demografis, dan
kondisi sosial) yang merupakan fungsi-fungsi dari intelijen
teritorial, kependudukan, politik, ekonomi, perdagangan,
industri, sosial, budaya, teknologi, hukum, pertahanan, dan
keamanan. Aspek-aspek tersebut secara teoritis, oleh
Lemhannas dimasukkan ke dalam lima aspek ketahanan
nasional, yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan
pertahanan keamanan (Ipoleksosbudhankam) yang dinamakan
juga "Pancagatra". Jika Pancagatra disinergikan secara
sistematis dengan kondisi masingmasing dari Trigatra, maka
kondisi tersebut dinamakan "Astagatra". Kondisi dinamis dari
kekuatan Astagatra itu

24
FILSAFAT INTELIJEN

di dalam negara bangsa kita disebut sebagai "Ketahanan


Nasional" Indonesia.18
Keamanan dan ketertiban umum yang diperlukan di
suatu negara-bangsa yang demokratis mengandung
pengertian, bahwa fungsi intelijen negara adalah
menjamin keselamatan umum, yang meliputi aspek
keamanan pemerintahan Republik Indonesia dengan
sistem politik demokrasinya, kedaulatan atas teritorial, dan
ketertiban masyarakatnya. Ketertiban masyarakat
Indonesia bersendi pada pluralisme, yaitu tata pergaulan
sosial bagi masyarakat yang heterogen atau berbeda-
beda. 19 Menjamin heterogenitas sosial yang bersatu dari
berbagai kekuatan individu dan kelompok yang berbeda-
beda itu (Bhinneka Tunggal Ika), merupakan norma moral
di dalam Pancasila yang bersifat universal.
Permasalahan intelijen di negara Pancasila dalam
lingkup lokal (nasional), merupakan imbas dari
permasalahan global yang terdapat dalam pengertian
fungsi intelijen universal yang rancu. Oleh karenanya,
solusi yang ditemukan dari pembahasan tingkat nasional
(lokal) ini, kelak diharapkan dapat menjadi cikal bakal
solusi terhadap permasalahan intelijen pada tataran global.
Untuk itu intelijen di negara demokrasi kita sekarang harus
diukur dari etika universal atau etika umum, yang bagi
bangsa Indonesia nilai dasarnya sudah terkandung dalam
moral Pancasila.

18
Lemhannas, 1981, Bunga Rampai Wawasan Nusantara,Lemhannas, Jakarta. Lihat:
Lemhannas, 1989, Ekonomi Pancasila, PT Aries Lima, Jakarta; Bijah Subijanto,
2004, Stratifikasi Kebijakan Nasional. Penerbit Lemhannas, Jakarta; Lemhannas,
2009, Index Kepemimpinan Nasional,PT Aries Lima, Jakarta.
19
Sri Margana dan Widya Fitrianingsih (Eds.), 2010, Sejarah Indonesia: Perspektif
Lokal dan Global. Persembahan untuk 70 tahun Prof. Dr. Djoko Suryo, Penerbit
Ombak, Yogyakarta.
FILSAFAT INTELIJEN

Pembahasan yang dimulai dari tataran filsafat


Pancasila diharapkan dapat mengarahkan pola pikir kita
semua, untuk menempatkan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang demokratis sebagai subjek, serta
tegaknya keamanan dan ketertiban dalam arti keselamatan
negara sebagai sasaran. Metode yang digunakan untuk
mencapai sasaran berupa keselamatan umum tersebut
harus dipilih yang terbaik, dari berbagai macam alternative
courses of action (berbagai kemungkinan cara bertindak).
Memilih Yang terbaik, artinya dengan pengorbanan
yang sekecil mungkin, dapat memperoleh hasil yang
sebesar-besarnya. Namun yang sangat penting juga harus
diingatadalah perkembangan keadaan lingkungan strategis
negara-bangsa kita saat ini. Bangsa Indonesia kini sedang
berada dalam himpitan imajiner antara filsafat Pancasila
yang bersifat kolektif dengan demokrasi liberal yang
bercorak individualis. Keterhimpitan tersebut semakin
lama akan semakin dahsyat, laksana hujan mortir dari
tembakan konsentrasi diiringi dengan barase membabat
terhadap sepasukan tentara.
Dalam Taktik Bertempur Infantri (TBI) metode atau
cara bertindak yang terbaik, untuk melepaskan diri dari
daerah konsentrasi dan barase yang dahsyat itu adalah lari
secepat-cepatnya menuju ke sasaran yang setepat-
tepatnya. Dalam istilah latin, "lari secepat-cepatnya"
disebut Velox, et (dan), "setepat-tepatnya" adalah Exactus.
Velox et Exactus merupakan sesanti BIN yang diresmikan
Oleh Presiden Republik Indonesia ke-5 Megawati
Sukarnoputeri pada 2 Juli 2002 atas prakarsa penulis dan
Deputi I Urusan Luar Negeri BIN Brigadir Jenderal TNI

26
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

(Purn) Bom Suryant0 20 . Peresmian itu sekaligus untuk


mengumumkan logo baru BIN (Lampiran 3) yang juga
merupakan ide dari penulis
sebagai Kepala BIN bersama Wakil Kepala BIN As'ad Said Ali
dan Deputi Kontra Teror BIN Benny Rulyawan.
Metode yang paling efektif dan efisien untuk mencapai
sasaran intelijen negara adalah mengoperasionalkan
intelijen negara yang bernilai praksis. Praktik intelijen
negara yang tidak terikat pada moral Pancasila, merupakan
praktik intelijen yang liar. Dengan terikat pada nilai dasar
yang menjadikannya pedoman, intelijen negara Republik
Indonesia akan memegang peran sentral, yang membuat
semua orang dapat menikmati ketenteraman dan
kedamaian hidup di Indonesia.
Dengan peran sentralnya itu, barulah intelijen dapat
memahami dengan benar berbagai pengetahuan yang
menyangkut dirinya sendiri dari sumber dan fakta yang
juga benar. Kebenaran sumber tersebut secara
epistemologis, merupakan filsafat intelijen negara RI.
Dalam teori Ludwig Wittgenstein (1889-1951), seorang
filsuf analitika bahasa, istilah "intelijen" yang ditulisnya
dalam bahasa Inggris sebagai intelligence, secara harfiah
berasal dari kata "intelijensia" yang berarti kecerdasan
yang tinggi, mempunyai pikiran atau akal yang tajam.
Intelijen sebagai pengetahuan, dapat dikatakan
berbasis pada cabang epistemologi yang disebut
epistemologi sosial. Epistemologi sosial memandang
pengetahuan sebagai keluaran dari praktik sosial. Artinya,

20
Bom Suryanto kemudian menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Papua Nugini
periode 2006-2009.

27
FILSAFAT INTELIJEN

pengetahuan tidak diperoleh dalam kesendirian melainkan


melalui kesaksian orang Iain.
David Hume, seorang filsuf pengetahuan, beranggapan
bahwa kita secara reguler bergantung pada pernyataan
faktual yang dikemukakan orang Iain. Dia berargumen
bahwa hal itu rasional untuk dilakukan jika kita memiliki
alasan yang kuat untuk mempercayai akurasi sumber
pernyataan tersebut. Alasan untuk mempercayai sumber,
menurut Hume, harus didasarkan pada observasi personal
terhadap akurasi dan reliabilitas sumber informasi. Hume
menulis:
Tidak ada spesies penalaran yang lebih umum, lebih berguna
dan bahkan sebuah kemestian bagi kehidupan manusia daripada
apa-apa yang disimpulkan dari kesaksian manusia dan laporan
dari pengamat atau saksi mata... jaminan bagi argumentasi
semacam ini diturunkan dari prinsip observasi terhadap akurasi
dari kesaksian manusia dan korespondensi antara fakta dan
laporan dari saksi mata (Hume, 1972: 11)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "intelijen"


berkaitan dengan orang yang bertugas mencari keterangan
atau mengamat-amati seseorang. Menurut Ilmu Psikologi,
yang dimaksud dengan "intelijen" adalah kemampuan
yang dipunyai oleh manusia, dalam mengambil manfaat
dari pengalaman-pengalamannya di masa lalu, yang
berguna untuk mengatasi situasi baru, yang sedang dan
akan dihadapinya.
Intelijen yang terlambat merupakan intelijen yang basi,
yaitu sama saja dengan jasad mati yang tidak berarti Iagi,
karena tidak Iagi berjiwa. Sifat dari intelijen yang cepat
(Velox) dan tepat (Exactus) merupakan hakikat dari
intelijen, yang keduanya bagaikan dua sisi dari mata uang
logam yang sama. "Intelijen" juga berarti kemampuan

28
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

untuk belajar tanpa kesulitan, sehingga sikap hidup


seorang individu dalam situasi baru itu dapat memuaskan
dirinya sendiri dan juga lingkungannya.
Istilah "intelijen" meliputi pengertian yang sangat luas,
karena berhubungan dengan kegiatan dalam banyak
bidang, yang berlangsung secara terus-menerus dari waktu
ke waktu. Bagi intelijen negara, hal ini berlaku baik di
masa damai, maupun di masa perang. Intelijen eksis di
mana-mana dan kapan saja dalam kehidupan manusia,
sejak individu manusia bangun tidur, hendak pergi ke luar
rumah dan seterusnya. Hal tersebut berarti bahwa intelijen
sebenarnya merupakan suatu fenomena sosial semata-
mata, bukan merupakan hal yang eksplisit dalam
kehidupan umat manusia.
Dari perspektif filsafat, khususnya epistemologi atau
filsafat pengetahuan, intelijensia atau kecerdasan itu dapat
dipahami sebagai kemampuan untuk memberdayakan
elemen rasio manusia secara optimal, dalam mengolah
informasi atau data guna memperoleh kebenaran seakurat
mungkin. Berdasarkan konsep pemberdayaan rasio
tersebut, maka arti "intelijen" dapat dirumuskan sebagai
suatu pengetahuan yang benar, yang bersumber dari
kecerdasan Otak manusia.
Namun, pengertian "intelijen" terus meluas hingga
menjadi semakin kompleks. Para pelaku, baik orang, agen
intelijen, maupun organisasi intelijen biasa disebut sebagai
"intelijen" atau secara singkat "intel" saja. Pekerjaan untuk
mengamat-amati, melakukan penggalangan untuk
memengaruhi orang Iain dalam keseharian biasa pun
disebut "intelijen". Melakukan pengamanan atau tindakan
sekuriti juga disebut "intelijen". Informasi yang telah
diolah, sehingga mempunyai nilai juga disebut "intelijen".

29
FILSAFAT INTELIJEN

Bahkan, intelijen kerap dikaitkan pula dengan sifat dari


sesuatu yang sulit diduga tujuannya. Intelijen dapat
sebagai subjek, tetapi juga sebagai ilmu, sebagai metode
atau juga sebagai objek. Ringkasnya, intelijen merupakan
kata yang dalam kehidupan masyarakat, terbiasa
menunjukkan banyak arti, maksud dan tujuan. Kebiasaan
Iain dari masyarakat adalah, secara awam mengartikan
intelijen hanya dalam hubungannya dengan pemerintahan
atau negara, padahal intelijen bukan hanya digunakan oleh
pemerintahan negara, tetapi juga oleh musuh-musuh kita,
musuh pemerintah, musuh-musuh negara umumnya, juga
musuh kemanusiaan.
Cakupan intelijen sangat luas, bukan hanya intelijen
pertahanan, intelijen militer, intelijen tempur, intelijen
kepolisian yang sering kali disebut intelijen kriminal,
tetapi juga intelijen ekonomi dan perdagangan, termasuk
marketing intelligence atau intelijen pemasaran, intelijen
imigrasi dan kependudukan, intelijen narkoba (narco
intelligence), intelijen kejaksaan, intelijen moneter dan
keuangan, intelijen fiskal dan perpajakan, intelijen bea dan
cukai, intelijen media massa, intelijen politik, ideologi,
doktrin dan pendidikan (biasanya terdapat di negaranegara
komunis atau sosialis kiri, tapi pernah juga terdapat di
Jerman pada era Nazi), intelijen diplomatik, intelijen
kesehatan (titik berat fungsinya adalah deteksi dini serta
penanggulangan massal terhadap keracunan dan penyakit
menular), intelijen "nubikra" (nuklir, biologi, kimia, dan
radio aktif), intelijen seni dan budaya, intelijen
penerbangan dan ruang angkasa, intelijen teknologi dan
informatika dan intelijen dunia maya (technology and
cyber intelligence) dan lain-lain.

30
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

Kita juga harus membedakan intelijen dari segi


sasarannya, yaitu sasaran luar negeri dan sasaran dalam
negeri.
Sasaran luar negeri atau negara musuh. Sasaran ini
pada tataran operasional ditangani oleh Pasukan Sandi
Yudha (Passandha), dalam bentuk operasi intelijen
strategis (Ops Intelstrat). Operasi intelstrat ini disebut juga
Operasi Sandi Yudha (Ops Passandha). Pendekatan yang
digunakan adalah "pendekatan keras", yang terkadang
didukung oleh pendekatan lunak dan cerdas. Namun pada
hakikatnya operasi Pasandha merupakan operasi intelijen
tempur strategis, yang menggunakan pendekatan keras.
Passandha adalah bagian dari pasukan yang berada di
bawah Komando Pasukan Khusus (Kopassus) 21.
Jadi Kopassus itu terdiri dari Pasukan Sandi Yudha
(Passandha) dan Pasukan Para Komando (Parako), Pusdik
Passus (Pusat Pendidikan Pasukan Khusus). Selain itu juga
pasukan Penanggulangan Teror (Gultor). Passandha
berfungsi melaksanakan operasi intelstrat, sedangkan
pasukan Para Komando berfungsi melaksanakan operasi
penyergapan yang cepat (velox) dan tepat (exactus). Suatu
penyergapan biasanya dilakukan secara senyap (silent
raid) 22 terhadap sasaran-sasarannya. Operasi intelijen
penggalangan keras seperti teror, assassination, dan

21
Kopassus merupakan pasukan yang dilatih, diorganisasi, diberi perlengkapan dan
mempunyai tugas khusus dalam perang inkonvensional (nonkonvensional).
22
Sasaran kunci adalah sasaran yang bila dihancurkan, dapat menghentikan
perlawanan musuh. Misalnya, Osama bin Laden merupakan personel kunci.
Contoh Iain adalah Pos Komando musuh, yang jika diserang akan menyebabkan
koordinasi antarpasukan depan mereka jadi kacau balau. Sasaran kunci biasanya
berada jauh di garis belakang musuh. Karena itu, Passandha mendekati sasarannya
dengan cara infiltrasi, yang melalui darat biasanya menyamar sebagai orang sipil,
sedangkan yang melalui udara melalui penerjunan bebas (free fall) yang terus
berkembang dengan teknik 'Halo' (High Altitude, Low Opening) atau melompat
dari ketinggian di udara yang tinggi, tetapi membuka payungnya pada ketinggian
yang rendah, agar bisa jatuh tepat pada sasaran yang direncanakan.

31
FILSAFAT INTELIJEN

sabotase, diterapkan terhadap sasaran luar negeri. Jadi


siasat adu-domba dan pembangunan konstruksi sosial
seperti rekayasa, tidak boleh dilakukan terhadap sasaran di
dalam negeri sendiri.
Sasaran Dalam Negeri, yaitu bangsa kita yang menjadi
agen atau mata-mata musuh. Sasaran ini ditangani oleh
intelijen kepolisian RI, dengan tindak lanjut yang
dilakukan oleh reserse. Operasi intelijen kepolisian
Republik Indonesia berfungsi untuk mencegah terjadinya
tindak kejahatan terhadap keamanan dan ketertiban
masyarakat dan juga kewibawaan pemerintahan RI.
Khusus dalam penanggulangan terhadap terorisme,
intelijen Polri diperkuat oleh Bais TNI.
Badan nasional yang mengkoordinasi kedua instansi
tersebut pada tataran kebijakan dan strategi
penanggulangan terhadap terorisme adalah Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pada
hakikatnya pendekatan yang digunakan dalam operasi
intelijen BNPT ini adalah pendekatan cerdas (misalnya
melakukan upaya, pekerjaan dan kegiatan deradikalisasi)
dan pendekatan lunak (misalnya membantu memenuhi
kebutuhan hidup primer yang bersifat pribadi).
Namun dalam keadaan khusus, pendekatan keras juga
kerapkali terpaksa harus dilakukan. Untuk itu, maka
Densus 88 Polri dibentuk dengan fungsi melancarkan
operasi dengan pendekatan keras, di samping pendekatan
yang lunak dan cerdas. Dalam melaksanakan fungsi
tersebut, Densus 88 Polri berada di bawah kendali operasi
(BKO) BNPT.

Pendekatan Cerdas, Lunak, Keras

32
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

Badan Intelijen Negara (BIN) berfungsi sebagai


koordinator sekaligus operator, dalam siasat (kebijakan,
strategi dan taktik operasional) intelijen negara, yang
meliputi aspek-aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan. Pada hakikatnya
pendekatan BIN terhadap sasaran-sasaran strategisnya
adalah secara cerdas dan juga lunak. Namun untuk
menghadapi AGHT yang terpaksa menggunakan
pendekatan keras, BIN dapat membentuk Satuan Tugas
(Satgas) yang terdiri dari satuan-satuan Polri dan TNI
dengan status BKO.
Sasaran-sasaran strategis intelijen harus dicapai oleh
BIN, melalui kebijakan dan perumusan siasat yang cepat
dan tepat bagi Intelligence Operations (Operasi Intelijen)
dalam scope (lingkup) nasional. Dalam menghadapi
infiltrasi musuh ke dalam ataupun penetrasi agen-agennya
dari dalam negeri Indonesia, maka dilakukan langkah-
langkah pencegahan dan penanggulangan yang dikenal
sebagai operasi-operasi kontra-intelijen (counter
intelligence operations) oleh Badan Intelijen Negara.
Peran sentral intelijen negara dalam menjamin
keamanan negara semula telah menempatkan Badan
Intelijen Negara sebagai koordinator antarsektor, yang
oleh karena itu ia dinamakan Badan Koordinasi Intelijen
Negara (BAKIN). Namun ketika administrasi Presiden
Abdurrahman Wahid hendak menertibkan gerakan Islam
fundamentalis, dirasakan perlunya tambahan informasi
sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, fungsi BIN
ditambah lagi sebagai operator, di samping koordinator
intelijen berbagai sektor.
Sasarannya adalah kaum fundamentalis, yaitu pertama,
mereka yang menyukai kekerasan. Kedua, mereka yang

33
FILSAFAT INTELIJEN

dinamakan kaum takfiriyah, yang menganut doktrin


mengafirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Kelompok takfiriyah yang merupakan habitat bagi
terorisme tersebut, dalam kegiatan keseharian mereka
sering mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
Contohnya antara lain dengan mengambil alih
kewibawaan pemerintah, mereka melakukan razia-razia
dengan dalih membela agama, tetapi tidak jelas apanya
yang harus dibela, atau dibela terhadap apa, kapan, dan
siapa yang memberi wewenang kepada mereka untuk
melakukan pembelaan.
Dengan pendekatan cerdas dan lunak, intelijen negara
telah menggalang para tokoh kunci mereka untuk
melakukan dialog yang menyangkut ketertiban,
keamanan, ketenteraman, dan keselamatan bagi
masyarakat Indonesia tanpa diskriminasi. Namun, dialog
tidak mungkin dapat dilakukan, jika keadaan sudah
demikian tak terkendali. Sama halnya dengan ketiadaan
etika dalam suatu perang fisik yang biadab, dialog juga
tidak akan mendapat tempat dalam keadaan anarkis yang
tengah berlangsung. Dalam konteks demikian maka
intelijen harus mendorong pemerintah terkait, untuk
segera memberlakukan keadaan darurat.
Dalam keadaan darurat diberlakukan curfew (jam
malam), yang dapat mengurangi secara signifikan
frekuensi dari benturan-benturan fisik yang tengah
berlangsung. Jika keadaan telah normal kembali, maka
daerah yang semula dalam keadaan darurat itu harus
segera dicabut. Iklim dialogis secara serta merta dapat
terbangun dan berbagai usaha yang terkait dengan etika
dapat langsung berfungsi.

34
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

Deskripsi tersebut justru lebih mudah dimengerti


sebagai makna intelijen negara, daripada merumuskannya
dalam suatu definisi ruwet yang sulit dimengerti, bahkan
cenderung menjadi rancu. Dengan definisi yang rancu,
sulit bagi para legislator dalam membuat Undang-Undang
Intelijen Negara. Tanpa Undang-Undang Intelijen Negara
yang memberikan kewenangan dan batas kewenangan
kepada Badan Intelijen Negara, suatu pemerintahan negara
akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan
intelijennya sendiri.
Permasalahan yang biasa muncul dalam menyusun
Undang-Undang Intelijen Negara disebabkan oleh antara
lain kegalatan pengertian, antara intelijen sebagai fungsi
dengan Badan yang melaksanakan fungsi intelijen. Hal
tersebut terlihat dari Undang-Undang Intelijen Negara
Republik Indonesia yang baru diberlakukan, cenderung
merupakan Undang-Undang BIN daripada Undang-
Undang Intelijen Negara.
Permasalahan lain yang sangat menonjol adalah opini
awam yang menyamakan aparat intelijen dengan aparat
penegak hukum. Akibatnya, penyusunan UndangUndang
Intelijen di berbagai negara sering kali bagaikan panggang
yang jauh dari api, karena selalu dikaitkan dengan
penegakan hukum. Hal ini bukan berarti intelijen
menempatkan hukum pada posisi yang pejoratif, namun
sekadar untuk menyadarkan para pemangku kepentingan,
bahwa intelijen bukan aparat penegak hukum.
Misalnya, penahanan seorang teroris oleh intelijen,
bukan untuk keperluan pro justicia atau demi keadilan,
tetapi semata-mata untuk digunakan dalam operasi
pengungkapan dan penghancuran komplotan atau
organisasi musuh atau teroris itu secara lebih luas, demi

35
FILSAFAT INTELIJEN

mencegah terjadinya teror Iagi terhadap rakyat kita. Inilah


yang dimaksud dengan pragmatisme dalam intelijen
negara, namun juga bukan berarti bahwa intelijen dapat
menghalalkan segala cara. Intelijen dapat terjebak dalam
aliran pemikiran yang demikian sesat, jika dibiarkan eksis
dalam kehidupan normal manusia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
UndangUndang Intelijen Negara, tidak seharusnya berada
dalam lingkungan sistem peradilan kriminal. Kita juga
harus secara tegas membedakan pengertian antara intelijen

36
BRILIAN DAN BERKEADABAN
SIASATYANG

negara kita dengan intelijen pihak musuh. Intelijen negara


kita bertujuan untuk menjamin keamanan dan ketertiban,
dałam arti keselamatan umum di negara kita. Menjamin
keselamatan umum artinya membangun kepercayaan
rakyat untuk membebaskan setiap individu manusia
Indonesia dari ketakutan terhadap berbagai bentuk
ancaman.
Membebaskan masyarakat di Indonesia dari ketakutan
terhadap ancaman tersebut merupakan tugas pokok
intelijen negara, sedangkan tugas pokok intelijen musuh
adalah mengancam keselamatan umum. Baik intelijen
negara maupun intelijen musuh mempunyai berbagai
macam sifat, mulai dari yang terang-terangan (terbuka)
atau yang dikenal sebagai intelijen dengan metode putih
sampai dengan yang penuh rahasia atau bermetode hitam.
Intelijen bermetode putih dałam intelijen negara biasa
dilakukan oleh para diplomat di negara-negara tempat
mereka ditugaskan, sedangkan metode putih dałam
intelijen musuh biasa dilakukan dengan cara
menyalahgunakan wartawan. Wartawan secara tidak sadar
kerap memuat berita secara spektakuler tentang terorisme,
sehingga memperluas rasa ketakutan masyarakat.
Ketakutan yang meluas merupakan sasaran yang harus
dicapai, sebagai tugas pokok dari intelijen musuh.
Demikian pula dengan Non Government
Organizations atau Lembaga-lembaga Swadaya
Masyarakatyang bergerak aktif dałam memperjuangkan
hak asasi manusia, secara tidak sadar dapat dimanfaatkan
oleh para teroris untuk menghadapi operasi
kontraterorisme dari intelijen negara.

37
FILSAFAT INTELIJEN
Metode setengah terang-terangan (setengah putih dan
setengah hitam) disebut metode kelabu. Contoh metode
kelabu adalah satuan "klandestin” yang melakukan
perlawanan sebagai pasukan gerilya bersenjata. Misalnya,
mereka yang berasal dari organisasi Anshor-ud-Tauhid
yang berlatih di Aceh. Metode mereka itu disebut sebagai
"metode kelabu", karena merupakan campuran antara
metode putih dan hitam. Mengangkat senjata merupakan
metode putih (terbuka), sedangkan membangun sistem
komunikasi, sistem logistik, dan Iain-Iain yang bersifat
rahasia, merupakan kegiatan intelijen bermetode hitam
(tertutup). Kegiatan tertutup disebut juga kegiatan bawah
tanah (underground) atau kegiatan yang ilegal dari para
teroris, lebih biasa digunakan dalam ilmu intelijen negara
sebagai kegiatan "klandestin" (clandestine).
Operasi klandestin yang dilakukan oleh kelompok
fundamentalis radikal, antara Iain, telah menggunakan
anak-anak remaja untuk melakukan bom bunuh diri di
Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo.
Anakanak remaja yang dipilih menjadi pelaku biasanya
dari kalangan keluarga yang tidak mampu.
Di dunia ini, apalagi di Indonesia, sangat banyak
remaja dari kelompok masyarakat melarat, yang dapat
direkrut menjadi pelaku teror. Karena itu para calon teroris
selalu tersedia, bak dedaunan dari sebatang pohon, yang
patah tumbuh hilang berganti. Salah satu contohnya
adalah Ahmad Yosepa Hayat (AYH), seorang suicide
bomber (pengebom bunuh diri), yang membom GBIS
tersebut, dan para pengantar yang membantunya.
Pembantu AYH bernama Rezki Dian Furqoni alias
Kuncung adalah remaja berusia 17 tahun, dan remaja Iain
bernama Teguh alias Parkit. Operasi intelijen Densus 88
Polri melakukan penangkapan terhadap mereka, dalam

38
BRILIAN DAN BERKEADABAN
waktu Yang hampir bersamaan di tempat yang berbeda.
Kuncung ditangkap di dekat mesjid Al-Ikhlas
SIASAT YANG

Semanggi, Pasar Kliwon, sedangkan Parkit ditangkap di


kawasan pasar Legi, Banjarsari. Penangkapan bersamaan
itu untuk menghindarkan larinya yang lain, jika salah
seorang tertangkap. Komunikasi klandestin mereka dapat
berlangsung dengan sangat cepat, apalagi kini semua
orang dengan bebas dan murah dapat memiliki
handphone.
Salah seorang terduga teroris dapat lebih mudah untuk
menghindari penangkapan, jika waktu penangkapan
terhadap mereka jauh berbeda. Ketika Kuncung ditangkap
pada hari Jumat, 11 Mei 2012, para anggota Densus 88
telah dikeroyok oleh kawan-kawan Kuncung, yang
menurut Humas Laskar Umat Islam Surakarta, karena
mengira para penangkap itu adalah massa lawannya. 23
Sebelum kejadian itu memang pernah terjadi bentrok
antara massa Semanggi dan massa dari Gandekan.
Bentrokan seperti itu lebih condong merupakan masalah
bagi intelijen teritorial. Masalah bagi intelijen negara
adalah melakukan kegiatan penggalangan terhadap
masyarakat Semanggi, agar tidak menjadi habitat bagi
para pelaku kekerasan. Masalah yang kedua adalah
bagaimana membentuk berbagai Laskar Umat Islam,
untuk menandingi Laskar Umat Islam Surakarta. Masalah
yang ketiga adalah operasi intelijen, untuk menggembosi
Laskar Umat Islam Surakarta. Berbagai metode intelijen
yang hitam, putih dan kelabu dapat dilaksanakan, baik
secara sendiri-sendiri ataupun secara terkombinasi.

23
Harian Kompas, Sabtu, 12 Mei 2012.

39
FILSAFAT INTELIJEN
Manusia memerlukan intel di sepanjang spektrum
kehidupannya, yang dimulai sejak langkah pertama setiap
orang akan keluar pintu rumah, misalnya untuk menemui
seorang tukang pos di halaman. Secara refleks kita
terdorong untuk melihat dulu, apakah cuaca di luar rumah
hujan, kering, dingin, atau panas. Intelijen cuaca tersebut
akan melahirkan keputusan tentang pakaian jenis apa yang
akan kita kenakan dan apakah kita memerlukan payung
atau tidak24.
Kita juga memerlukan intelijen medan untuk
mengetahui apakah tangga di teras rumah yang akan kita
turuni licin atau adakah seekor kucing yang sedang
tertidur di sana, yang harus kita langkahi ketika menuju ke
halaman rumah atau tidak. Keperluan intelijen yang ketiga
adalah menyangkut bingkisan yang akan kita terima,
apakah dari teman kita atau orang tidak dikenal yang
mungkin memusuhi kita. Ketika hendak menemui "tukang
pos" tersebut, apakah kita aman dari kemungkinan bom-
surat, bom-paket atau bom-buku atau bom-bom dalam
bentuk lain dari orang yang memusuhi kita atau tidak.
Dengan demikian, di sepanjang spektrum kehidupan
ini, kita memerlukan intelijen, yang menyangkut cuaca
(cu), medan (me), dan musuh (mu) yang kita hadapi.
Cumemu biasanya merupakan Inti Sari Keterangan (ISK)
atau essential elements ofintelligence (EEI), yang
diperlukan dalam intelijen pertahanan (intelijen militer).
Fungsi-fungsi intelijen kerapkali dilaksanakan dengan
cara mengombinasikan metode terbuka (metode putih),
setengah terbuka setengah tertutup (metode kelabu) dan
tertutup sama sekali (metode hitam). Penggunaan metode
intelijen negara yang selalu terbuka, selain oleh para

24
Jono Hatmodjo, 2003, Intelijen Sebagai Ilmu, halaman 2. Balai Pustaka, Jakarta.

40
BRILIAN DAN BERKEADABAN
diplomat juga kerap dilakukan oleh para wartawan. Para
wartawan yang melakukan kerja intelijen terbuka atau
bermetode putih di dalam intelijen negara biasanya
merupakan contacted persons atau orang yang secara
sadar dititipi tugas intelijen negara.
SIASATYANG

Di jajaran militer Indonesia, sebagaimana halnya di


negara eks Yugoslavia di masa lalu, hal seperti itu
biasanya dilakukan juga oleh intelijen teritorial, yaitu
intelijen yang merupakan fungsi dari lembaga teritorial
tentara. Misalnya, pendekatan yang dilakukan oleh
Komando Daerah Militer (Kodam) terhadap tokoh-tokoh
masyarakat Indonesia, agar dapat memahami bahaya
ancaman terhadap mereka, dilakukan dengan cara bergaul
secara terbuka, melalui olahraga dan kegiatan lain dengan
masyarakat lingkungan. Mereka melakukannya untuk
mendapatkan informasi sedini mungkin tentang
kemungkinan akan terjadinya suatu tindak anarkis.
Intelijen teritorial juga kerap berfungsi mencegah
meluasnya penebaran kebencian (spreading hatred) dalam
masyarakat oleh intelijen musuh, yang biasanya
melakukan propaganda dan agitasi yang bersifat
menghasut. Musuh dalam intelijen militer pada umumnya
bukan bangsa asing saja, tetapi juga oknum-oknum bangsa
sendiri yang menjadi kaki tangan mereka. Dalam sejarah
perjuangan bangsabangsa di dunia, mereka biasa disebut
sebagai pengkhianat negara. Pengkhianat negara atau
musuh eksternal adalah sasaran konkret Intelijen Negara
Demokrasi Republik Indonesia, dalam sasaran abstrak
keselamatan umum. Demikianlah kerancuan pengertian
tentang intelijen, sehingga orang kerap menyebut "intel"

41
FILSAFAT INTELIJEN
untuk menunjuk kepada subjek, objek, dan juga
metodenya.
Intelijen lahir dari tiga fungsi, atau ada tiga fungsi yang
membuat intelijen itu eksis, yaitu penyelidikan
(detection), pengamanan (security), dan penggalangan
(conditioning). Oleh karena kerancuan pembagian fungsi-
fungsi intelijen, maka intelijen negara Republik Indonesia
sejak tahun 2000 menghadapi serangkaian peristiwa
pengeboman di berbagai tempat di Tanah Air.
Setelah satu dekade berselang, pada tahun 2011
Indonesia dikejutkan kembali oleh meledaknya bom di
Pondok Pesantren Umar bin Khattab di Desa Sanolo,
Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Ada dua orang terduga yang ditangkap
Polri 25 , yaitu Rahmat Hidayat (22 th) seorang pegawai
swasta dan Sahrir (23) seorang tukang ojek. Kemudian
seorang lagi bernama Utbah, yang ditengarai terlibat
dalam kegiatan terorisme di Aceh setahun yang lalu dan
membunuh anggota Polsek Bolo. Terorisme ternyata terus
membayangi kedamaian hidup masyarakat Indonesia
yang sedang berbenah, untuk membangun suatu negara
demokrasi yang kuat.
Salah satu prinsip dalam negara demokrasi Pancasila
adalah menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai
pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat (social
interaction)nya. Masyarakat bangsa kita hidup dengan
kesadaran untuk menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme.
Sebagai asas pergaulan dalam masyarakat, pluralisme

25
Penangkapan oleh Polri tersebut berdasarkan Undang-lJndang No. 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Para penyidik Polri mempunyai
waktu 7x24 jam untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki bukti yang cukup,
sehingga para terduga itu dapat mereka tetapkan sebagai tersangka.

42
BRILIAN DAN BERKEADABAN
tidak membedakan suku, agama, ras, ataupun
antargolongan (SARA).
MPR kini sedang gencar-gencarnya melakukan
sosialisasi Pancasila terhadap para pelajar, mahasiswa dan
golongan masyarakat bawah. Ironisnya masih terdapat di
antara para elite pemimpin bangsa yang malah berbicara,
bahkan melakukan tindakan yang bertentangan dengan
dasar filsafat bangsa kita itu. Kata-kata seorang menteri
bahwa dia harus berpihak kepada masyarakat Indonesia
yang mayoritas, merupakan indikasi betapa Pancasila
SIASATYANG

tidak dipahaminya sama sekali. Akibatnya, golongan


minoritas telah ditindas oleh golongan mayoritas secara
sewenang-wenang. Konstelasi sosial politik demikian
merupakan permasalahan bagi intelijen negara, karena
Pancasila menolak diktator mayoritas, sebagaimana juga
penolakannya terhadap tirani minoritas.
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, para
perintis bangsa kita telah menyadari bahwa salah satu dari
prinsip demokrasi adalah mengakui adanya perbedaan.
Perbedaan antara manusia dengan manusia yang Iain
adalah takdir Ilahi. Oleh karena itu, pluralisme merupakan
nilai, yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia yang
Pancasilais. Namun demikian, dari hari ke hari, di
berbagai tempat bermunculan isu sosial menyangkut
perbedaan suku, agama, ras dan atau antar golongan
masyarakat (SARA).
Penyelenggara negara di daerah masih ada yang
memberikan contoh tidak baik kepada masyarakat. Pada
15 Juli 2011, sebanyak 48 transmigran asal Yogyakarta,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur telah diusir dari lokasi
transmigrasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai

43
FILSAFAT INTELIJEN
Timur di Provinsi Kalimantan Timur. Pemerintah
setempat melarang mereka tinggal di lokasi Kaliorang,
Kecamatan Kaliorang, yang telah mereka tempati sejak
Desember 2010. Sebanyak tujuh Kepala Keluarga berasal
dari Gunung Kidul, empat Kepala Keluarga Iainnya
diberitakan pers sampai sekarang tidak terlacak
keberadaannya.
Perkembangan situasi sosiologis yang negatif seperti
itu merupakan masalah bagi intelijen negara, yang
menurut ilmu intelijen negara solusinya adalah
menerapkan teori intelijen penggalangan. Jika saja
peristiwa ini terjadi di zaman Belanda, di mana yang
berkuasa adalah penjajah kolonial, maka operasi
penggalangan keras dalam teori universal, dapat
dilakukan oleh kekuatan intelijen perjuangan Indonesia
terhadap key persons (orang-orang yang menentukan atau
bertanggung jawab atas kejadian itu).
Contoh dari operasi penggalangan keras menurut teori
intelijen universal itu, antara lain adalah teror, penculikan,
sabotase, dan subversi. Tujuan subversi adalah
menggulingkan pemerintahan, yang dalam kasus ini
adalah pemerintah daerah Belanda tadi. Namun, di zaman
sekarang, dalam menghadapi Pemerintah Daerah yang
tidak adil seperti itu, jawabannya adalah melancarkan
operasi intelijen penggalangan cerdas.
Dalam teori intelijen operasi penggalangan yang
cerdas disebut juga operasi psikologi, karena meliputi
kegiatankegiatan menyadarkan rakyat agar melawan,
tidak boleh diam membisu terhadap ketidakadilan seperti
itu, namun perlawanan harus dilakukan secara hukum
dengan alasan pelanggaran terhadap hak konstitusional
warga negara. Operasi atau perang psikologi secara umum

44
BRILIAN DAN BERKEADABAN
dikenal pula sebagai Psy-War atau Perang Urat Syaraf
(PUS).
Di samping penggalangan, fungsi yang lain dari
intelijen, menurut teorinya, adalah penyelidikan dan
pengamanan. Keduanya juga dapat dilakukan melalui
berbagai cara dan pendekatan. Menurut Juwono
Sudarsono (2008) 30, suatu kekuatan itu dikaitkan dengan
kemampuan untuk memaksa kehendak diri terhadap pihak
lain.
Di bidang politik dan militer, paham ini dikenal
sebagai the power to coerce atau hard power. Pada kutub
lain, ada the power to persuade, yang sering juga disebut
soft power,

30 Juwono Sudarsono, 2008. 'Kekuatan 'Lunak', 'Keras' dan 'Cerdas'." Harian Kompas
25 Maret.

45
FILSAFAT INTELIJEN

kekuatan untuk meyakinkan, yang lazim ada di dunia


gagasan, nilai-nilai, pendidikan, budaya, agama, musik,
dan sastra. Kekuatan tersebut juga berarti kekuasaan yang
mempunyai ruang antara, yang disebut kekuasaan "cerdas"
atau smart power, yaitu ruas antara "kekuasaan keras" dan
"kekuasaan lunak".
Cerdas menggunakan kekuasaan adalah kiat untuk
menawarkan perangkat lunak yang didukung potensi
penggunaan "kekuasaan keras". Smart power pada
umumnya dilakukan dengan imbalan uang, dagang atau
keuntungan materi, bahkan pangkat dan jabatan.
Kekuasaan "lunak, keras, dan cerdas" ada dalam setiap
pemerintahan negara, bahkan pada negara adikuasa telah
menjadi ekspansi dalam bentuk imperialisme. "Lunak"
adalah segala kekuatan budaya, sastra, ajaran, dan
keyakinan yang ditawarkan sebagai nilai hidup yang dapat
dinikmati bangsa lain. "Keras" adalah kekuatan fisik
militer, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, serta
otoritas yang disahkan sebagai alat penegak hukum.
Tanpa mengacu kepada prinsip etika umum, teori ini
berkembang dalam intelijen universal sehingga sejarah
menulis tentang kiprah KGB (Badan Intelijen Uni Soviet)
dan CIA (Pusat Agen Intelijen Amerika Serikat) masa lalu
di Indonesia. KGB mempunyai organisasi intelijen militer
bawahannya yang disebut GRU26. Anggotaanggota GRU
disebar di seluruh dunia, dengan pusat pengendaliannya
berada di kantor-kantor kedutaan besar atau kantor-kantor
perwakilan negaranya. Lebih dari 50 persen dari para
diplomat dan pegawai negeri sipil di kantor perwakilan
mereka adalah agen-agen KGB. Bahkan, beberapa duta

26
John Baron, 1985, KGB, Misteri di Balik Kegiatan Agen-Agen Rahasia Soviet,
Bag. I, Laras Widya Pustaka, Jakarta.

46
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

besar merupakan perwira-perwira sipil (bukan tentara)


KGB, yang salah satu di antaranya adalah Pavl
Stephanovich Kuznetsov, Duta Besar Uni Soviet untuk
Republik Indonesia, periode tahun 1972-1973. Mereka
melakukan kegiatan intelijen penggalangan dengan
pendekatan lunak27.
Pernah terjadi pembelian peta hidrografi pada periode
awal tahun 1982 oleh Letnan Kolonel Sergei Egorov,
seorang Atase Militer Uni Soviet di Indonesia, dari
seorang perwira TNI AL. Dalam persepsi kita pada waktu
itu peristiwa tersebut merupakan kegiatan spionase
(Espionage), sedangkan dalam persepsi Uni Soviet hal
tersebut merupakan jual beli biasa. Kesalahpahaman ini
berekor dengan benturan fisik, antara mereka dengan
intelijen dan para petugas Departemen Luar Negari kita di
bandar udara Halim Perdana Kusuma. Penyelesaian
diplomatik kemudian tidak berakhir dengan perlakuan
Persona-non-Grata 28 terhadap Egorov, tetapi hanya
dipulangkan saja dari Indonesia ke negerinya.
Karena pengaruh "Perang Dingin" di era itu, maka
pemulangan mereka dilakukan melalui prosedur deportasi.
Bersama Egorov dideportasi juga Alexander Finenko,
Kepala Kantor Aeroflot, maskapai penerbangan negara
Uni Soviet di Jakarta. Pemerintah Uni Soviet pada waktu
itu tidak melakukan usaha yang berpendekatan kekerasan,
untuk meminta Egorov dan Finenko dipulangkan ke
negerinya. Uni Soviet menggunakan pendekatan lunak,

27
John Baron, 1986, KGB, Dinas Rahasia Mata-Mata Uni Soviet. Bag. Il, Mega
Media Abadi, Jakarta.
28
Persona-non-Grata adalah istilah baku diplomatik, untuk orang yang tidak disukai oleh
negara, sehingga berimplikasi diusir dari negara yang bersangkutan.

47
FILSAFAT INTELIJEN

karena 29 menganggap peristiwa tersebut hanya suatu


kesalahpahaman34
Adapun CIA dalam praktik intelijennya pernah
menggunakan kekuasaan keras berupa kekuatan militer,
dalam rangka imperialismenya di Indonesia. Pendekatan
dengan kekerasan dalam pelaksanaan ketiga fungsi
intelijen, kerap mengubah fungsi intelijen, bukan lagi
hanya sebatas fungsi panca indera, tetapi sudah berubah
menjadi fungsi "tangan-tangan gaib" yang bersifat laten,
30
yang tidak lagi mengacu kepada prinsip etika universal.
Kepentingan politik eksternal (imperialisme) yang
dipenuhi dengan praktik intelijen yang jauh dari etika,
teradopsi dalam praktik internal di sebagian negara-negara
berkembang di dunia. Pendekatan kekerasan merupakan
teori intelijen yang sudah lapuk, yang pernah diajarkan
kepada kita di zaman kolonial, atau yang kita contoh
dengan bodoh dari kekeliruan rezim pemerintahan asing
(negara-negara adidaya), yang bernuansa hegemonik dan
bersifat imperialistis.

29
Pendekatan lunak, bukan cerdas, karena dengan menggunakan uang. Namun khusus
dalam kasus Egorov, terihat bahwa para petinggi Indonesia belum memahami
intelijen dan perkembangan lingkungan strategik yang mutakhir. Peta hidrografi pada
waktu itu sudah banyak diperjualbelikan di pasaran swasta internasional, terutama di
kalangan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kelautan dan tambang
minyak off shore (lepas pantai). Oleh karenanya, baik Egorov maupun perwira TNI
AL yang terlibat dalam kasus ini, yaitu Letkol Susdaryanto, tidak menyadari bahwa
peta yang diperjualbelikannya itu merupakan rahasia negara Republik Indonesia.
Karena ketidaksadarannya itu, maka transaksi dilakukan mereka secara terbuka di
sebuah restoran di Jakarta Tmur, bukan di sebuah safehouse (rumah aman atau
rumah benteng), yang seharusnya untuk melakukan personal meeting (pertemuan
pribadi) intelijen yang bersifat tertutup (rahasia). Penyelesaian persoalan dengan
pemerintah Uni Soviet tersebut akhirnya dilakukan melalui jalur diplomasi, namun
Letkol Susdaryanto tetap dihukum dengan tuduhan kejahatan terhadap rahasia
negara (Pasal 112 Sd 120, 528 KIJHP).
30
Laten artinya tidak nampak (tidak terlihat).

48
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

Teori intelijen yang liar 31 itulah yang merupakan akar


penyebab terjadinya berbagai penyimpangan dalam
praktik intelijen, sehingga menimbulkan syakwasangka
dan kesan negatif yang berlarut-larut dari masyarakat luas
terhadap intelijen negara Republik Indonesia. Praktik intel
yang liar tidak mempunyai nilai apa pun, karena ingkar
terhadap Pancasila. Filsafat bangsa Pancasila yang
mendasari hubungan antarmanusia ini, sarat dengan etika
yang melegitimasi berbagai teori intelijen di negara
Republik Indonesia yang demokratis.
Teori intelijen di negara Pancasila, bukan teori intelijen
yang berlaku di negara-negara totaliter yang bersifat
Machiavelistik. Operasi intelijen di dalam negeri, tidak
membenarkan fungsi-fungsi intelijen yang berpendekatan
kekerasan. Intelijen telah terbukti dapat menuai hasil yang
jauh lebih baik, tanpa harus menyiksa orang yang menjadi
sasarannya atau membuat derita keluarga mereka.
Untuk itu, di negara demokrasi, intelijen harus
dipayungi oleh Undang-Undang Intelijen Negara.
Perspektif yuridis ini merupakan pandangan yang
dihimpun dalam format hukum, atas dasar persetujuan
masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Tetapi format yuridis harus taat kepada dasar filosofi
negara, yang memuat etika universal, sebagaimana tersirat
dalam Pancasila.
Setelah diformat dalam bentuk yuridis-legal, maka
Undang-Undang Intelijen dapat menjadi instrumen yang
mengabsahkan kewenangan dan larangan bagi intelijen,
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Inilah

31
"Liar" di sini maksudnya adalah bebas nilai, tidak terikat kepada nilai dasar yang
terkandung di dalam filsafat bangsa Indonesia, Pancasila. Teori intelijen dikatakan
liar, jika tidak taat pada filsafatnya.

49
FILSAFAT INTELIJEN

yang kemudian disebut sebagai aspek legalitas atau aspek


konstitusional dari intelijen negara.
Selama ini suatu tindakan intelijen dapat dipandang
legal, jika bersesuaian dengan hukum positif di masyarakat
lingkungannya. Hendaknya selalu diingat bahwa
walaupun terdapat payung hukum yang memberi kepastian
kepada intelijen, namun penggunaan intelijen yang
berkualitas memerlukan pengetahuan tentang prinsip yang
harus dipegang teguh. Prinsip tersebut adalah pemisahan
fungsi intelijen dari fungsi penegakan hukum.
Nurtjahjo (2006) mengutip berbagai pandangan
hukum. Antara lain dari Trasymachus, yang menjelaskan
bahwa hukum kerap merupakan kendaraan untuk
kepentingankepentingan mereka yang kuat. Menurut
Machiavelli, hukum tidak lain adalah alat legitimasi
kekuasaan, yang dalam keadaan tertentu dapat menjadi alat
pembenaran kekerasan. Dalam perspektif Hobbes, hukum
tak berdaya bagi mereka yang tidak mempunyai kekuatan
atau yang dalam posisi lemah (Haryatmoko, 2001).32
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa selain
sebagai sarana ketertiban, hukum justru juga mempunyai
potensi sebagai alat untuk membenarkan kekerasan,
termasuk terorisme. Dalam konteks tertentu, eksistensi
hukum dapat terlihat terpisah jauh dari dimensi moralitas
dan etika. Dengan demikian, meskipun intelijen telah
mendapatkan payung hukum yang berupa Undang-
Undang Intelijen Negara, namun harus disadari bahwa
hukum tidak selalu paralel dengan moral dan etika.
Dalam melaksanakan norma-norma hukum, intelijen
tetap harus terikatjuga pada norma moral. Norma hukum
32
Haryatmoko, 2001. "Hukum dan Moral dalam Masyarakat Majemuk", harian Kompas,
10-11 Juli, Jakarta.

50
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

selalu dikaitkan dengan posisi intelijen sebagai warga


negara di dalam negara hukum Indonesia, sedangkan
norma moral dikaitkan dengan sikap batin sebagai individu
Pancasilais yang otonom.
Tujuan hukum adalah mencari kebenaran guna
mendapatkan keadilan. Dalam menertibkan kehidupan
sosial, hukum merupakan media pembuktian tentang benar
atau salah. Dalam ranah hukum tidak pernah ada
kompromi, karena yang benar adalah benar dan yang salah
adalah salah. Jika seorang teroris yang ditangkap terbukti
kesalahannya, maka mutlak ia harus dihukum. Tapi dalam
konteks intelijen, kebenaran dan kesalahan kerap kali
harus dapat dikompromikan demi mencapai tujuan.
Tujuan intelijen menangkap seorang anggota
organisasi teror yang belum melakukan terorisme, bukan
untuk dihukum, tetapi digunakan untuk membongkar
jaringan teroris yang lebih luas. Kepentingan intelijen di
sini adalah untuk mencegah agar tidak terjadi aksi
terorisme, bukan menunggu sampai aksi terorisme terjadi,
kemudian menghukum pelakunya. Bahkan jika terorisme
telah terjadi dan terorisnya seperti Ali Imron (terpidana
kasus bom Bali I) masih dalam penjara 33, ia tetap dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan intelijen. Yang patut
digarisbawahi di sini adalah sikap dasar intelijen yang
mandiri di luar ranah hukum, tetapi tetap dalam ranah
moral Pancasila.
Dalam konteks kemandirian ini pragmatisme dalam
intelijen dapat lebih dimengerti, sebagai sifat yang
mengedepankan kepentingan daripada hal-hal Iainnya.

33
Peminjaman terpidana untuk digunakan oleh intelijen, harus atas izin jajaran
pengadilan. Terpidana harus pula orang yang terpilih dengan baik, yang benar-benar
diperlukan atau bermanfaat bagi intelijen.

51
FILSAFAT INTELIJEN

Pragmatisme dalam intelijen negara Republik Indonesia


tidak boleh diartikan sebagai menghalalkan segala cara,
demi kepentingan atau tujuan yang sangat luhur sekalipun.
Kemandirian tersebut didasarkan pada perbedaan dalam
aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari
intelijen.
Orientasi intelijen juga berbeda dengan hukum, namun
bukan berarti intelijen berada dalam posisi yang
bertentangan dengan hukum. Bahkan intelijen dengan
hukum harus saling mendukung secara sinergis, demi
tercapainya kepentingan masing-masing. Misalnya,
stabilitas psikologis para terpidana terorisme yang
terguncang, memudahkan intelijen dalam melancarkan
operasi penggalangan. Keberhasilan dalam penggalangan
membuahkan informasi yang bermanfaat, untuk
pencegahan kemungkinan terjadinya teror berikutnya.
Sinergisitas tersebut merupakan perekat bagi intelijen yang
dibangun atas dasar moral dan etika, serta hukum yang
dibangun atas dasar keadilan dan kepastian.
Bagi intelijen pemanfaatan para narapidana terorisme
yang pernah terbukti mendapat hasil baik, telah dimulai
sejak operasi intelijen yang dilancarkan di Kalimantan
Barat oleh tim "Halilintar" pimpinan Kapten
Hendropriyono
(penulis) dari Satuan Tugas 42 Kopassandha (1972-1974)
34
. Operasi intelijen tersebut dinamakan "Operasi Balik"

34
Kapten Hendropriyono adalah penulis sendiri, yang pada 1972 sebagai Kepala Seksi
1 (Ka Si I/lntelijen) Satuan Tugas 42 Kopassandha. Satgas tersebut dipimpin oleh
Letkol Inf. Sintong Panjaitan (sekarang Letjen Purnawirawan) dan Wakilnya
Yusman Yutam (kini Mayor Jenderal TNI Purnawirawan). Sintong juga pernah
memimpin tim penyelamatan sandera penumpang pesawat Garuda 'Woyla' di
lapangan udara Don Muang Bangkok, Thailand. Operasi intelijen Kopassandha
tersebut berhasil dengan gemilang dan Sintong menerima anugerah kenaikan
pangkat Iuar-biasa menjadi Kolonel. Demikian pula seluruh anak buahnya, antara

52
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

(Reverse Operation), yang artinya membalik aset musuh


menjadi aset kita. 35 Keberhasilan penerapan berbagai teori
dan metode intelijen tergantung kepada nilai-nilai filsafat
yang dijunjung dan perkembangan keadaan lingkungan
masyarakatnya.
Fenomena sosial berupa perkembangan dari
masyarakat tradisional ke masyarakat dunia modern,
ditandai oleh perkembangan dalam konsep (pemikiran)
manusia yang revolusioner di berbagai bidang dan teori.
Dalam perebutan hegemoni antara yang tradisional dan
yang modern, kedudukan sentral dari ilmu intelijen
semakin menguat. Tarik menarik yang membuat dunia
kerap berada di dalam dilema, harus diatasi Oleh intelijen
dengan menunjukkan arah yang pasti.
Kekuatan tradisional yang menentang modernisasi saat
ini yang berwujud fundamentalisme, dalam praktiknya
juga menggunakan teknologi komunikasi modern didunia
maya (cyber). Dengan demikian, berarti bahwa kaum
fundamentalis yang merupakan habitat dari terorisme
adalah penganut modernitas terbalik.

lain adalah Subagyo HS (di akhir kariernya ia menjadi KSAD). Tercatat pula
Letkol Isnoor Matsyah sebagai perwira, yang sebelumnya ikut sebagai anak buah
penulis dalam "Operasi Balik" tim intelijen Halilintar di Kalimantan Barat. Operasi
"Woyla" adalah praktik pertama dari "Petunjuk Lapangan" Operasi
Penanggulangan Teror (Gultor), yang konsepnya disusun baru setahun sebelumnya
oleh Sintong Panjaitan sendiri dan penulis sebagai wakilnya. Konsep "Gultor"
Kopassandha (kemudian namanya berubah menjadi Kopassus) tersebut
selanjutnya berkembang menjadi konsep eselon atasan, yang dikenal sebagai
konsep Anti Teror dan Pembajakan Udara (Atbara).
35
Membalik aset musuh dalam hal yang menyangkut taktis, bukan yang bersifat
administratif. Hal ini perlu dijelaskan agar tidak menjadi salah tafsir, karena intelijen
negara Republik Indonesia melarang gonimah (perampasan aset sebagai
kemenangan perang).

53
FILSAFAT INTELIJEN

Dikatakan oleh Franz Magnis-Susen036

Yang menjadi masalahnya adalah bahwa fundamentalisme itu


pada hakikatnya bersifat negatif. Artinya, fundamentalisme
tidak berdasarkan sebuah penghayatan positif, melainkan
berdasarkan penolakan, yaitu penyangkalan perubahan sosial
dan kultural yang dibawa Oleh globalisasi. Fundamentalisme
hidup dari penolakan. Di luar kelompoknya, ia hanya
menemukan musuh dan ancaman. Orang fundamentalis
terancam 'split personality', karena ia tidak dapat menghindar
daripenggunaan segala macam hasil teknologiyang digagaskan
dan dikembangkan persis berdasarkan nilai-nilai modernitas
yang ditolaknya. Fundamentalisme itu bukan keagamaan
tradisional, melainkan modernitas terbalik; modernitas, tetapi
yang dito/ak dengan mengkonstruksikan sebuah imagined holy
space' di mana dikira ditemukan jawaban atas semua penanyaan
dan masalah yang dihadapi. Reaksi kultural itu jalan buntu,
karena akan macet dalam kesempitan dan negativitasnya
sendiri.... ”

Tetapi untuk menyadarkan masyarakat dunia tentang


keniscayaan modernisasi yang merupakan kodrat Ilahi,
intelijen global harus mengacu kepada legalitas moral
daripada semata-mata legalitas hukum internasional.
Legalitas moral harus dilakukan oleh negara-negara
modern (AS dan sekutu Baratnya), untuk menetralisasi
habitat dari kaum modernitas terbalik itu.
Misalnya, untuk menghadapi terorisme global, harus
dilakukan penggalangan lunak dan cerdas terhadap
kelompok masyarakat muslim dunia. Gerakan muslim
moderat perlu bangkit sebagai subjek modernisasi di
negara-negara modern (bukan harus selalu diartikan
negara Barat), yang kemudian menyebarke seluruh
36
Franz Magnis-Suseno, 2006, Berebut Jiwa Bangsa,Cetakan I, Penerbit Kanisius,
PT Gramedia, Jakarta, hlm 207.

54
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

belahan dunia. Gerakan inilah yang dapat membunuh


ideologi modernitas terbalik, yang merupakan ”tudung”
akar 37 dari terorisme. Bukan dengan pengerahan militer
fisik besarbesaran yang justru melanggar etika universal,
sehingga menurunkan kepercayaan orang terhadap
elegansi sistem politik demokrasi.
Namun hal ini juga bukan berarti bahwa penggalangan
”keras” ditabukan, di dalam praktik intelijen menghadapi
musuh. Penyergapan (raid) pasukan khusus Seal,
Angkatan Laut AS, terhadap Osama bin Laden di Pakistan
merupakan pertimbangan keadaan intelijen (PKI) yang
jauh lebih tepat, daripada serbuan militer besar-besaran ke
Afganistan dan Irak. Perbedaan itu terletak pada objeknya,
yang terkena dampak serangan militer fisik tersebut.
Serangan militer yang dilakukan secara terbuka nyata telah
mengakibatkan jatuhnya korban orang tidak bersalah lebih
banyak daripada raid yang dilakukan oleh pasukan
khusus38

37
Akar terorisme kontemporer adalah ideologi, yang menghidupi pohon terorisme
dengan mengalirkan makanan dari dalam tanah. Tanahnya adalah golongan
masyarakat fundamentalis, yang menyukai kekerasan yang merupakan habitat dari
terorisme. Para teroris menggunakan perlengkapan dan peralatan modern, yang
terbalik dengan ideologinya yang menentang modernitas. Dengan peralatan modern
itu mereka lebih mudah menembus tanah, untuk memperoleh makanan menghidupi
organisasi yang berupa pohon terorisme. Pohon terorisme sebagai model analisis
secara lebih jelas, tertera dalam Bab berikut dari buku ini.
38
Ketika Presiden AS George Bush akan menyerang Afganistan, Presiden Republik
Indonesia Megawati Sukarnoputeri menyatakan ketidaksetujuannya. Dalam
komunikasi langsung dengan George Tennet, Direktur CIA, melalui telepon khusus
jarak jauh, penulis katakan bahwa pengejaran terhadap Osama bin Laden oleh suatu
tim kecil intelijen akan jauh lebih baik, ketimbang melancarkan perang panas yang
berupa serbuan militer, yang akan mengakibatkan banyak korban rakyat yang tidak
tahu apa-apa. Penolakan tersebut membuat George Bush menjuluki Megawati
sebagai "The Bad Girl for USA", Sejak saat itu hubungan khusus yang semula erat
antara sesama Presiden, yang masing-masing adalah anak bekas Presiden (George
Walker Bush, Megawati Sukarnoputeri dan Presiden Filipina Gloria Macapagal
Araujo), menjadi panas dan kemudian putus sama sekali. Pemerintahan Megawati
Sukarnoputeri menjadi tidak disenangi oleh pemerintah Amerika Serikat.

55
FILSAFAT INTELIJEN

Keberhasilan pasukan khusus AS di Pakistan tersebut


menunjukkan, bahwa operasi intelijen tempur terhadap
musuh secara umum jauh lebih efisien, dibandingkan
dengan pengerahan kekuatan militer fisik. Namun
demikian, kerap terjadi juga kesalahan sebaliknya, yaitu
memukul tanpa menggunakan pancaindera atau yang
berarti memandulkan intelijen.
Memandulkan intelijen sangat marak dilakukan oleh
Badan-badan Intelijen di berbagai negara, dalam
menghadapi lawan-lawan atau musuh mereka, baik
internal maupun eksternal. Yang dimaksud dengan
memandulkan intelijen adalah melakukan aksi intelijen,
tanpa menggunakan intelijen. Contoh di masa lalu adalah
penggunaan Opsus (Operasi Khusus) pimpinan Ali
Moertopo untuk melakukan operasi intelijen negara, dalam
kasus Komando Jihad.39
Harus selalu diingat, bahwa aksi intelijen atau yang
lebih dikenal sebagai operasi intelijen adalah suatu
langkah intelijensia. Artinya, operasi intelijen
membutuhkan kecerdasan intelektual. Berbagai siasat
dapat dipilih oleh intelijen, baik dalam melakukan deteksi-
cermat untuk suatu serangan terhadap musuh, maupun
deteksi-dini dalam rangka kontra-intelijen. Operasi kontra-
intelijen (counter intelligence) merupakan langkah guna
mencegah meningkatnya potensi ancaman menjadi
kekuatan nyata, yang dapat memporak-porandakan
stabilitas sosial, keamanan dan ketertiban masyarakat kita.
Melakukan operasi intelijen negara tanpa terikat pada
nilai dasar yang terkandung dalam filsafatnya, merupakan

39
Muhammad Busyro Muqoddas, 2010. "Kasus Komando Jihad Ditinjau dari
Perspektif Independensi dan Transparansi Kekuasaan Kehakiman". Disertasi
Program S3 Ilmu Hukum di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

56
SIASAT YANG BRILIAN DAN BERKEADABAN

operasi yang memandulkan intelijen negara. Nilai dasar


menurut Max Scheller (1874-1928) adalah kebaikan yang
bersifat materiil dan apriori. Materiil dalam hal ini bukan
berarti berkaitan dengan materi, tetapi merupakan lawan
dari kata formal.
Berbeda dengan Kant yang menyatakan bahwa nilai
merupakan tuntutan untuk memenuhi kewajiban, bagi
Scheller yang demikian itu tidak cukup bagi kita untuk
mengerti apa yang harus kita lakukan. Nilai bersifat
materiil artinya harus mempunyai isi, seperti jujur, nikmat,
senang, lezat, nyaman, enak, suci, benar, betul, sehat,
mesra, lucu, rapi, adil, yang kesemuanya itu saling berbeda
satu sama Iain.
Filsafat intelijen membedakan antara nilai-nilai itu
dengan nilai dasar, sebagai realitas otonom Yang bernilai.
Misalnya, eksistensi orang jujur bersifat aposteriori.
Artinya, harus melalui pengalaman kita terlebih dahulu,
bahwa memang ada orang yang jujur sebagai nilai yang
baik. Namun kejujuran itu sendiri sebagai nilai dasarnya,
tidak perlu harus kita ketahui melalui pengalaman kita
dahulu. Nilai dasar itu sudah ada dan bersifat apriori,
bukan aposteriori.
Kita dapat sadari langsung sebuah nilai dasar melalui
suatu perasaan intensional, bukan melalui pikiran. Nilai
dasar menyangkut hal-hal yang luhur dan yang hina serta
nilai-nilai rohaniah, bukan hanya nilai seperti yang enak
dan tidak enak yang harus kita alami terlebih dulu.
Jadi pada hakikatnya, nilai dasar intelijen negara adalah
perasaan untuk bisa merasa, bukan merasa bisa. Intelijen
harus bisa dipenuhi dengan empati, bukan bisa melakukan
apa saja untuk kepentingannya. Merasa bisa melakukan
apa saja atau menghalalkan semua metode, bukan hal yang

57
FILSAFAT INTELIJEN

dimaksud dengan pragmatisme dalam intelijen negara


Republik Indonesia. Pragmatisme dalam intelijen hanya
eksis dalam habitatnya, yaitu kedaruratan sebagai ruang
yang hampa hukum.O

58
NTELOEN
LAW
INTELWJE VAR
NEGERI
Praktik intelijen hitam yang
nonprosedural dan nonetis perlu diberi
perhatian khusus, agar intelijen di
dalam kodrat-Nya sebagai suatu
langkah intelijensia tidak tercemar.
Indonesia sepanjang sejarahnya, kerap
menjadi objek atau sasaran praktik
intelijen hitam dari pemerintah negara
asing
FILSAFAT INTELIJEN
BERASAS PANCASILA
T ntelijen Dalam Negeri misalnya Badan Intelijen
Negara (BIN) berfungsi untuk mendukung pemerintah
dalam menegakkan keamanan, ketertiban, dan
keselamatan masyarakat bangsa Indonesia. Adapun
Intelijen Luar Negeri misalnya fungsi CIA, bertujuan
mendukung politik luar negeri Amerika Serikat.
Praktik intelijen negara di Indonesia kerap kali
dipersepsikan umum sebagai sesuatu yang "hampa nilai".
Artinya, praktik intelijen dikira dapat menghalalkan
segala cara, demi tercapainya sebuah tujuan. Tujuan itu
sendiri dibiarkan tak terperiksa sehingga sangat rentan
untuk ditunggangi kepentingan sektoral, kelompok atau
pribadi.
Absennya basis etis bagi intelijen demikian membuat
praktik intelijen sering kali disebut sebagai "intelij en-
hitam" (bukan metode hitam). Intelijen hitam adalah
operasi yang dilakukan tanpa otorisasi (self-tasking)
maupun kontrol dari otoritas intelijen. Kegiatan ini
dilakukan secara individual, bersifat partisan dan tidak
disertai adanya
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

rules of engagement sebagaimana seharusnya mekanisme


dan prosedur intelijen. Praktik intelijen hitam yang non-
prosedural dan non-etis ini perlu diberi perhatian khusus,
agar intelijen di dalam kodrat-Nya sebagai suatu langkah
intelijensia tidak tercemar. Indonesia sepanjang sejarahnya,
kerap menjadi objek atau sasaran praktik intelijen hitam dari
pemerintah negara asing.
Pasca perang kemerdekaan, terutama pada tahun 1960an
Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Dwight
Eisenhower (nama kecilnya Ike), pernah menjadi musuh
kita yang sebelumnya merupakan kawan, karena mengakui
kemerdekaan Indonesia paling awal di antara negaranegara
di dunia. Musuh kita tersebut telah melakukan teror
terhadap negara Republik Indonesia.
Sejarah nasional mencatat peristiwa 9 Maret 1960,
ketika seorang Letnan Udara Il AURI dari kelompok yang
digalang oleh CIA, menembaki Istana Merdeka di Jakarta,
istana Presiden di Bogor, dan kompleks BPM di Tanjung
Priok, dengan menggunakan pesawat tempur Angkatan
Udara Republik Indonesia MIG 17. Aksi dari anggota
kelompok "Manguni" tersebut kemudian diikuti oleh
gerakan beberapa perwira Angkatan Darat dari Satuan Pusat
Kavaleri yang berlokasi di Bandung pada 27 Maret 1960.
CIA telah meracuni (opini) umum dengan cara
menggulirkan berbagai informasi bohong tentang Presiden
Republik Indonesia. Berita-berita berupa fitnah bahwa
Presiden Soekarno seorang komunis telah dikemas dengan
memutarbalikkan fakta kebencian Bung Karno kepada
dunia Barat, khususnya pemerintah Amerika Serikat. Fitnah
politik semacam ini biasa dilakukan oleh intelijen klandestin
(clandestine) atau gerakan bawah tanah musuh, gerakan
rahasia yang juga dikenal dengan istilah "gerakan tertutup"

61
FILSAFAT INTELIJEN

atau yang kerap disebut "intelijen bermetode hitam".


Penyelidikan yang dilakukan oleh intelijen musuh bertujuan
untuk memperoleh informasi (spionase, espionage),
sedangkan penggalangan "keras" biasa mereka lakukan
dalam bentuk sabotase (perusakan untuk mencegah
penggunaan).
Pada masa itu Amerika Serikat menggunakan CIA,
karena baik risiko politik maupun biayanya jauh lebih
murah daripada jika mereka mengerahkan US Armed
Forces (angkatan bersenjata Amerika Serikat). Dalam
rangka menggulingkan Bung Karno, Presiden Republik
Indonesia, sejak 1956 agen-agen CIA telah menggalang
beberapa oknum perwira TNI-AD, untuk mengambi-alih
kekuasaan pemerintahan daerah di Sumatera Tengah,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Utara.
Kegiatan subversif tersebut berlanjut dengan
pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah pusat
negara RI. Dalam sejarah kebangsaan, peristiwa ini lebih
dikenal sebagai pemberontakan bersenjata Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan
Rakyat Semesta (Permesta) yang memuncak pada Februari
1958.1
Pada bulan April 1958 2 CIA melancarkan suatu single
attack (serangan tunggal) dari pesawat tempur bomber B-
26. Pilot pesawat tersebut adalah seorang warga negara
Amerika Serikat bernama Allan Lawrence Pope.3 la telah
melakukan pengeboman di berbagai tempat, terutama di

I Sekretariat Negara RI, 1975, Seri 30 Tahun Indonesia Merdeka 1955-1965, him. 54.
2 Yayasan Bung Karno, 2007, Otobiografi Bung Karno. Media Pressindo.
Jakarta,Cetakan l, Hlm. 324.
3 Cindy Adams, 1965, Bung Kamo Penyambung Lidah Rakyat Indonesia,Terjemahan
Abul Bar Salim, hlm. 409. Diterbitkan atas kerja sama Ktut Masagung Corp. dan PT
Tema Baru, Jakarta.

62
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

Kota Ambon. 40 Pada tahun itu Duta Besar AS untuk RI,


John Allison, memprotes kelakuan CIA dalam
pemerintahan Washington tersebut. Karena merasa malu ia
kemudian minta dipindahkan penugasannya dari
Indonesia.4142Menurut Oltmans (2001):
"Secara cermat pemerintah Dwight Eisenhower tidak hanya
melibatkan CIA, tetapi juga memasok peralatan militer AS yang
modern dalam jumlah besar kepada para pemberontak yang
hendak menggulingkan Bung Karno. Kegiatan intelijen CIA
tersebut didukung oleh militer dari US Seventh Fleet (Armada
Ketujuh Amerika Serikat) dan Angkatan Udara. Agaknya kapal
selam AS yang terlihat di pantai Sumatera telah diturunkan untuk
membantu para pengkhianat negara Republik Indonesia

Beberapa tahun sebelumnya pernah tertangkap seorang


bernama Powers, karena melakukan spionase. Setelah ia
digeledah, tidak ditemukan pernaskahan (dokumen) apa pun
kecuali sebuah jarum beracun, yang biasanya digunakan
sebagai intelligence device (peralatan intelijen). Dengan
sangat mudah dapat dianalisis bahwa Powers yang
menerbangkan pesawat canggih U2 itu adalah seorang agen
CIA.7 Penggunaan operasi intelijen dari CIA oleh
pemerintah AS sebagaimana dijelaskan, telah menimbulkan
masalah dalam kebijakan politik luar negeri antar-
administrator dalam pemerintahan Eisenhower. Akibat dari
penggunaan operasi intelijen yang berdiri sendiri, telah
terjadi bentrok dengan Kementerian Luar Negeri AS.
Kementerian bidang ini sulit untuk mengerti operasi

40
Op-cit, hlm. 95.
41
Willem Oltmans, 1999, Chaos in Indonesie. Uitgeverij Papieren Tijger, Breda,
Nedherland.
42
Willem Oltmans, 2001, Di Balik Ketedibatan CIA. Penerbit Aksara Karunia,
Pengantar Aristides Katopo, Jakarta, hlm. 23. 7 Op.cit, him. 411.

63
FILSAFAT INTELIJEN

intelijen CIA yang terlepas dari prinsip koordinasi dan


saling bantu antar-departemen.
Operasi demikian juga pernah dilakukan oleh intelijen
negara kita sendiri, pada masa awal perebutan kembali Irian
Barat (sekarang bernama Papua) dari tangan Belanda sekitar
1961. Intelijen Indonesia menyelenggarakan kegiatan
infiltrasi (penyusupan) gerilyawan-gerilyawan ke daratan
Papua yang masih diduduki Belanda. Para gerilyawan
tersebut bertugas melaksanakan operasi gerilya yang
didukung oleh gerakan klandestin, yaitu gerakan bawah
tanah (rahasia) yang melancarkan perang inkonvensional
(nonkonvensional) terhadap Belanda.43
Begitu pula ketika Indonesia berkonfrontasi dengan
Malaysia, intelijen telah pula digunakanuntukmenyusupkan
para gerilyawan dan sukarelawan-sukarelawan kita ke
Sarawak, pada sekitar tahun 1963. Pada masa itu Sarawak
masih dijajah oleh Inggris dan kita memusuhinya, karena
Inggris telah merekayasa pembentukan Malaysia yang kita
nilai akan senantiasa mengancam keamanan RI. Operasi-
operasi intelijen Indonesia pada masa itu dilakukan oleh BPI
(Badan Pelaksana Intelijen) secara berdiri sendiri, tidak
berkoordinasi apalagi saling bantu, sehingga kerapkali
menimbulkan benturan dengan ABRI yang melancarkan
operasi tempur terbuka di lapangan. 44 Akibatnya, militer
merasa perlu sekali untuk menguasai BPI ketika awal era
Orde Baru. Apa sebab terjadi benturan antar BPI dengan
ABRI terutama TNI? Karena telah terjadi kerancuan, di
mana BPI melakukan operasi intelijen tempur tanpa

43
Perang konvensional atau nonkonvensional adalah perang yang tidak tunduk kepada
konvensi apa pun. Perang ini tidak menghiraukan hukum perang, hukum humaniter
atau hukum internasional pada umumnya.
44
ABRI adalah singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang terdiri dari
Angkatan Darat, Laut, LJdara dan Kepolisian RI.

64
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

koordinasi. Operasi tempur merupakan domain TNI yang


didukung Oleh intelijen ABRI, bukan urusan BPI.
Seyogianya BPI tidak boleh melakukan operasi intelijen
tempur, tanpa koordinasi dan saling bantu dengan ABRI.
Operasi intelijen tempur (militer) baik yang bertataran
strategis maupun taktis dapat dibenarkan secara teori
universal, sepanjang dilakukan untuk melawan musuh dari
luar (eksternal). Aliran pragmatisme demikianlah yang
dianut Oleh intelijen CIA di masa lalu, sehingga merupakan
hal yang halal baginya untuk melancarkan serangan teror
terhadap Republik Indonesia. Dalam pragmatisme yang
diutamakan adalah kegunaan bagi negara dan bangsa
Amerika, tidak peduli siapa dan berapa banyak orang
Indonesia yang mati demi kepentingan nasionalnya. Ukuran
kebenaran bagi pragmatisme global adalah kegunaannya
untuk menguasai dunia. Para pengikut pragmatisme
berpendirian, bahwa kebenaran Pancasila bukan urusan
mereka. Penganut aliran filsafat pragmatisme antara Iain
adalah Charles Sanders Pierce, William James, dan John
Dewey.
Filsafat intelijen negara Republik Indonesia tentunya
juga menganut pragmatisme, tetapi harus dalam konteks
menghadapi musuh eksternal. Dengan perkembangan sifat
AGHT masa kini yang semakin kabur batasannya antara
musuh eksternal dan internal yang ditunggangi Oleh
eksternal, maka peran dari filsafat intelijen negara menjadi
semakin sentral. Filsafat intelijen negara kita berasaskan
Pancasila, yang merupakan dasar negara Republik
Indonesia. Ringkasnya, intelijen negara Republik Indonesia
tidak boleh mengorbankan siapa pun di antara rakyat,
walaupun demi kegunaan, kemanfaatan atau kepentingan
apa pun kecuali keselamatan rakyat itu sendiri. Dengan

65
FILSAFAT INTELIJEN

berpegang teguh pada nilai dasar yang terkandung di dalam


filsafat intelijen, maka intelijen sendiri harus rela berkorban
demi kepentingan negara dan bangsa Indonesia. Adapun
yang menjadi pertimbangan tentang gunanya suatu
pengorbanan, yaitu jika tujuan atau sasaran pengorbanan
mempunyai nilai strategis.
Suatu sasaran bernilai strategis,jika mempunyai dampak
langsung terhadap keberhasilan langsung penyelesaian
persoalan yang fatal sebagaimana direbutnya tujuan perang.
Dari perspektif yang demikian, maka pragmatisme dalam
intelijen berlaku, seperti tidak berlakunya etika dalam suatu
perang atau revolusi fisik bersenjata. Artinya, dengan
perkembangan sifat dan bentuk perang masa kini,
pragmatisme dapat diadopsi dalam keadaan bangsa kita
menghadapi bahaya yang paling besar, yaitu ancaman
terhadap keamanan nasional.
Ancaman terhadap keamanan internal tersebut
merupakan puncak dari eskalasi tantangan, hambatan dan
gangguan terhadap rakyat. Keamanan internal yang
dimaksud adalah jika ancaman terhadap kita telah sampai
kepada tahap perlawanan bersenjata. Perlawanan bersenjata
dalam konsep ideologis atau separatisme politik kerapkali
disebut juga sebagai perjuangan bersenjata (Perjuta), yang
di dalam ilmu intelijen dinyatakan selalu didukung oleh
gerakan bawah tanah atau gerakan rahasia yang ilegal atau
tertutup (klandestin).
Di dalam gerakan klandestin dikenal tiga tahap
perlawanan terhadap pemerintahan negara yang berdaulat.
Pertama, tahap melakukan operasi penggalangan terhadap
rakyat, yang biasa juga disebut sebagai tahap "kerja massa".
Kedua, tahap membentuk organisasi, seperti fronfron
persatuan atau partai politik. Hal ini dibutuhkan karena

66
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

suatu usaha mobilisasi apa pun, tidak mungkin dapat


digerakkan tanpa diwadahi dalam suatu organisasi yang
mempersatukan. Ketiga, tahap melancarkan pemberontakan
bersenjata.
Di dalam kita menghadapi pemberontakan bersenjata
tetap juga harus diingat, bahwa pemerintah sejak tahun 2006
telah membawa negara Republik Indonesia menjadi anggota
Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB. Hal tersebut
mengandung konsekuensi bagi intelijen, untuk bekerja
selalu dalam koridor penghormatan terhadap hak sipil dan
hak politik individu. Namun demikian, intelijen tidak perlu
lalu menjadi gamang atau ragu-ragu dalam melaksanakan
fungsinya, untuk menjamin rasa aman bagi seluruh rakyat
Indonesia. Bayang-bayang peradilan dan penghukuman
terhadap pelanggaran HAM, tidak boleh membuat intelijen
menjadi penakut dalam melindungi rakyat dari ancaman
teror, pemberontakan bersenjata, perampokan, perompakan,
narkoba, anarkisme, dan berbagai bentuk ancaman atau
kekerasan lain.
Keberanian intelijen negara untuk selalu berjalan di
depan sebelum malapetaka menimpa bangsa Indonesia,
harus dijamin oleh undang-undang keadaan darurat. Dalam
keadaaan darurat terlebih lagi di dalam ruang hampa hukum,
intelijen juga dapat bergerak dalam koridor pragmatis. Di
dalam pemahaman tersebut filsafat intelijen negara
Republik Indonesia merupakan kekuatan moral, agar
intelijen selalu dapat bertindak cepat (velox) dan tepat
(exactus), termasuk dalam melindungi hak minoritas
masyarakat kita dari kebiadaban kelompok mayoritas yang
merajalela. Walaupun begitu, tekanan internasional yang
terus menerus agar kita harus segera meratifikasi Statuta
Roma yang menyangkut pengadilan kriminal internasional,

67
FILSAFAT INTELIJEN

harus tetap diiringi dengan kewaspadaan terhadap


kemungkinan usaha pemerintahan negara-negara adikuasa
dalam bersiasat. Siasat dengan menggunakan hukum
internasional kini merupakan pengganti dari serbuan militer
fisik, yang telah dibuktikan oleh sejarah tidak lagi mampu
menghadapi perlawanan semesta, di dalam perang
revolusioner atau perang kemerdekaan pasca Perang Dunia
II.
Sejak kekalahan AS yang memalukan pada 1974 dalam
perang Vietnam, negara-negara adikuasa telah
menggunakan forum-forum "peradaban" internasional
untuk memaksakan kehendak atau kepentingan mereka.
Terhadap pemberontakan bersenjatayang mungkin mereka
rekayasa misalnya, intelijen negara harus menitikberatkan
fungsinya pada intelijen tempur (combat intelligence).
Untuk itu kebijakan pemerintah harus dapat memberikan
kepastian hukum, dengan menyatakan terlebih dahulu
bahwa daerah terkait berada dalam keadaan darurat sipil,
darurat militer atau darurat perang. Dengan demikian
hukum internasional yang berlaku di sana adalah hukum
yang berimplikasi pada doktrin perang.
Terdapat banyak sekali perbedaan, terutama dalam
bidang Hak Asasi Manusia (HAM) antara negara dalam
keadaan tertib sipil, darurat sipil, dan darurat militer atau
darurat perang. Di daerah yang dinyatakan dalam keadaan
darurat militer misalnya, dapat diberlakukan operasi militer,
yaitu operasi tempur Yang didukung oleh operasi combat
intelligence (intelijen tempur). Sebagai subjek yang berupa
Badan di dalam operasi intelijen tempur adalah Badan
Intelijen Strategis (Bais) TNI. Fungsi Bais dalam suatu
kampanye militer (operasi militer dalam skala besar, yaitu
meliputi pengerahan seluruh Angkatan Perang) adalah

68
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

merencanakan, mengorganisasi, menyelenggarakan


administrasi (dalam konteks ketatausahaan) dan melakukan
supervisi (pengawasan dan pengendalian) terhadap operasi-
operasi intelijen antar Angkatan Perang Republik Indonesia
(Darat, Laut dan Udara).
Fungsi dari Asisten Intelijen Kasum T NI adalah
membantu Kasum TNI di dalam penyelenggaraan
administrasi (dalam konteks manajemen), yang meliputi
Staffing, Coordinating dan Budgeting. Asisten Intelijen
Kasum TNI tidak mempunyai kewenangan operasional
intelijen, namun perlu diingat, bahwa fungsi Bais berada
pada tataran manajemen sedangkan fungsi Asisten Intelijen
Kasum TNI berada pada tataran administrasi. Hakikat
fungsi-fungsi intelijen yang diemban oleh masing-masing
institusi tersebut perlu dipahami, untuk menghindari
benturan-benturan yang kerap kali terjadi dalam
perencanaan dan pelaksanaan operasi intelijen dalam
sejarah militer. Inti dari administrasi intelijen adalah
manajemen intelijen dan inti dari manajemen intelijen
adalah leadership (kepemimpinan), yang bersandar kepada
human relations (hubungan antarmanusia).
Sesuai dengan klasifikasinya, kerja sama dan saling
bantu juga harus terselenggara dengan lembaga-lembaga
intelijen lain di bawah koordinasi BIN. Bahkan kerja sama
dan saling bantu dalam menghadapi ancaman yang sama,
kerapkali sangat diperlukan dengan lembaga intelijen terkait
dari negara-negara sahabat. Untuk itu diperlukan suatu
pedoman yang jelas dalam peraturan perundangundangan
kita, khususnya dalam undang-undang intelijen negara.
Dengan undang-undang intelijen negara yang mumpuni,
maka ekses negatif dari kerja sama dan saling bantu dengan

69
FILSAFAT INTELIJEN

lembaga intelijen asing, dapat terhindar dari kemungkinan


siasat mereka menjadikan kita sebagai antek-anteknya.
Operasi-operasi intelijen yang berdiri sendiri, kerap
menuai antipati dari pihak kawan sendiri di tataran nasional.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa apa
yang dilakukan oleh BP I (Badan Pelaksana Intelijen)
pimpinan Dr. Soebandrio di masa lampau, telah
mengakibatkan terjadinya Iow intensity conflict (konflik
berintensitas rendah) dengan TNI. Konflik tersebut akhirnya
berkembang, menjadi konflik segitiga dengan Partai
Komunis Indonesia (PKI). Buah dari konflik tersebut adalah
terjungkalnya Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Bung
Karno, dari kekuasaan politik sebagai Kepala Negara.

Pada era tersebut ramai terdengar julukan "Durna ,


terhadap kepala BPI Dr. Soebandrio (yang merangkap
Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri).
Dokumen Gilchrist yang ditemukan oleh Soebandrio
menunjukkan, bahwa pemerintah AS ikut bermain dalam
peristiwa G-30-S/PKI. Reputasi CIA dalam menghancurkan
lawan-lawan AS di berbagai negara melalui our local army
friends (teman-teman Angkatan Darat lokal), bahkan telah
dikecam habis-habisan oleh rakyat AS sendiri. Penahanan
terhadap Dr. Soebandrio diikuti dengan pengambil-alihan
jabatan Kepala Badan Pelaksana Intelijen (BPI) oleh Letnan
Jenderal TNI Soeharto. Dengan statusnya sebagai petinggi
militer yang menduduki jabatan Kepala BPI, memberi kesan
pada masyarakat bahwa Badan Intelijen Negara merupakan
institusi militer. Kesan itu terus berlangsung sampai
sekarang, padahal Badan Intelijen Negara di mana

IO Durna adalah tokoh dalam cerita wayang Jawa Mahabharata, mengisahkan seorang
maharesi sakti yang kerapkali melakukan fitnah. Fitnah-fitnah tersebut berujung pada

70
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

perang "Bharatayudha", yaitu perang saudara antarkeluarga Bharata dari kerajaan


Astinapura.
pun di dunia ini adalah sebuah institusi sipil (civilian
institution).
Kepala Badan Intelijen Negara diangkat berdasarkan
penunjukan politik (political appointee). Tidak ada pangkat
militer yang dipersyaratkan untuk menduduki jabatan
Kepala Badan Intelijen Negara. Namun karena
kedudukannya sebagai koordinator nasional di bidang
intelijen, maka sejak administrasi Presiden pertama
Republik Indonesia Soekarno banyak di antara para Kepala
Badan Intelijen Negara Republik Indonesia diberi pangkat
bintang empat militer. Antara lain misalnya Dr. Soebandrio
yang seorang sipil, diberi pangkat tituler Marsekal Udara,
dan pada era Orde Baru, yaitu Yoga Sugomo diberi pangkat
Jenderal berbintang empat. Demikian pula pada Era
Reformasi berdasarkan hak prerogatifnya, Presiden sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang telah
memberikan kehormatan kepada AM Hendropriyono
(penulis) sebagai Jenderal TNI II . Dengan demikian jelas
terlihat bahwa Kepala Negara Republik Indonesia
menyadari perlunya pangkat tertinggi militer/ sipil bagi
jabatan Kepala BIN, untuk mempermudah usaha, pekerjaan
dan kegiatan mengkoordinasi berbagai institusi tingkat
nasional di dalam melaksanakan fungsi-fungsi intelijen
negara.
Kesulitan dalam koordinasi kerap kali menggiring
intelijen kepada tuduhan penyalahgunaan, yang orang awam
menyebutnya dengan istilah "rekayasa". Contohnya,
penilaian umum terhadap operasi intelijen Ali Moertopo
yang merupakan seorang Asisten Khusus Presiden
Soeharto, pascaruntuhnya kekuasaan Bung

71
FILSAFAT INTELIJEN

11 Hak prerogatifjuga digunakan oleh Presiden Republik Indonesia sebagai kehormatan


dalam mengangkat para Menterinya, antara lain Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
Agum Gumelar, Luhut Binsar Panjaitan, Suryadi Sudirdja, Hari Sabarno.
12
Karno. Menurut Muqoddas (2011) , hal tersebut terjadi
karena Ali menilai gerakan Islam fundamentalis sebagai
ancaman, setelah gerakan komunis ditumpas habis. Mayor
Jenderal TNI Ali Moertopo dikatakan Muqoddas telah
menggalang kelompok Islam, dengan cara menghidupkan
kembali jaringan DI/TII melalui Operasi Khusus (Opsus).
Pada kenyataannya Opsus tersebut secara salah kaprah,
telah melakukan operasi intelijen negara. Kasus Komando
Jihad Wilayah 3 Jawa Barat yang dipimpin oleh Danu,
merupakan usaha Opsus pada 1968, untuk menciptakan
kelompok ekstrim kanan jadi-jadian, karena ekstrim kanan
yang sebenarnya pernah ditumpas habis oleh inteliijen lebih
kurang satu dekade sebelumnya. Operasi intelijen telah
dilakukan oleh Opsus, bukan oleh Bakin (Badan Koordinasi
Intelijen Negara) sebagai lembaga dan semata mata demi
kepentingan kekuasaan politik yang bersifat subjektif.13
Rekayasa politik dengan memutarbalikkan fakta dan
mengadu domba antarkekuatan dalam negeri tersebut telah
menuai stigma terhadap intelijen, sebagai perekayasa ulung
dalam setiap gejolak sosial yang terjadi.• Keadaan demikian
merupakan akar penyebab berjangkitnya ketidakpercayaan
masyarakat awam, kepada intelijen negara. Oleh karena itu,
filsafat intelijen memberikan suatu landasan moral yang
konstruktif bahwa penyalahgunaan intelijen jangan dij
adikan suatu kebiasaan dalam kehidupan bernegara: Abusus
non tollit usum! Tuduhan rekayasa yang

12 Muhammad Busyro Muqoddas, 2010. Kasus Komando Jihad Ditinjau dari Perspektif
Independensi dan Transparansi Kekuasaan Kehakiman. Disertasi Program S3 Ilmu
Hukum di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,
13 Danu adalah "informan" Operasi Khusus (Opsus). Informan adalah orang yang
bekerja untuk intelijen, bertugas mencari, mengumpulkan, dan menyampaikan

72
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

informasi. Fungsinya lebih kurang sama dengan Badan Pengumpul. Untuk kasus ini,
lihat buku Ken Conboy (2007): Intelijen. Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia,
Pustaka Primatama, Jakarta.
menyesatkan opini umum seperti itu bukan monopoli
intelijen. Media massa di berbagai negara demokrasi juga
banyak yang dituduh menjadi pemeran utama dalam
merekayasa opini umum. Hal ini harus menjadi perhatian
intelijen, untuk menjadikan media massa sebagai sasaran
strategis dalam operasi penggalangan.
Dalam kegiatan kontra-intelijen, media massa
merupakan fenomena sosial yang sekaligus juga politik.
Dalam istilah intelijen, media massa merupakan critical
point, yaitu titik kritis, yang berarti memberikan keuntungan
yang menentukan bagi yang dapat menguasainya. Media
massa sangat efektif digunakan sebagai sarana pembenar,
bagi suatu pihak yang memecahkan mulut botol kaca.
Pembenaran demikian kerap kali menggunakan alasan
sentral, yaitu demi membebaskan lalat yang terperangkap di
dalamnya.
Intervensi AS dan negara-negara Barat dalam
menyadarkan rakyat Arab tentang perlunya demokrasi
negaranegara di Timur Tengah, diakui secara sepihak oleh
mereka sebagai suatu "intervensi positif', karena bertujuan
membebaskan lalat tersebut dari ketidakdewasaannya. Lalat
yang terkurung di dalam botol kaca, mengira dia sudah
berada di udara luar. Karena itu menurut Barat lalat itu harus
disadarkan, walau dengan serbuan militer fisik, yang tentu
saja mengandung terorisme. Peran media massa Barat
ternyata mampu memengaruhi opini dunia, sehingga
masyarakat internasional dapat membenarkan serbuan ke
Afganistan dan Irak yang begitu sadis. Sadisme di mana pun
dan dalam bentuk apa pun, tentu saja sama sekali tidak
mengandung etika.

73
FILSAFAT INTELIJEN

Media massa bahkan mampu untuk memengaruhi


dengan signifikan proses peradilan yang sedang
berlangsung, sehingga berakibat kekuasaan kehakiman
menjadi tidak independen. Perihal kuatnya tekanan opini
publik karena media massa, sehingga dapat memandulkan
independensi hakim, juga disampaikan oleh Muhammad
Busyro Muqoddas (2010: 67) sebagai berikut: Media massa
memang sangat efektif menggiring opini publik, untuk
menghakimi sesuatuyang belum pasti terjadi. Kalau di
rezim pemerintahan yang totaliter kebanyakan
penyalahgunaan dilakukan melalui kekuasaan eksekutif,
maka di zaman sekarang ini seperti halnya di berbagai
negara demokrasi Iain, penyalahgunaan kekuasaan lebih
banyak dilakukan melalui kekuatan media massa.
Medan perang intelijen ke depan adalah informasi dan
pembentukan opini. Penggalangan media dan opini yang
intens tanpa mengabaikan kebebasan pers, harus dilakukan
secara terpola dan komprehensif. Dalam hal ini kuncinya
bukan hanya bereaksi dan melakukan counter atas informasi
yang keliru, tetapi harus mengambil posisi inisiatif untuk
membangun opini umum yang menguntungkan bagi pihak
sendiri.
Opini umum tersebutmenyangkutrevitalisasi Pancasila,
yang merupakan konstruksi sosial bangsa kita sejak
kelahirannya. Intelijen harus waspada terhadap berbagai ide
yang diklaim universal, seperti demokrasi, HAM, terorisme
dan Iain Iain, yang secara substansial merupakan rekayasa
imperialisme atau neokolonialisme. Penangkalan ide-ide
tersebut adalah inti dari penggalangan informasi dan
promosi identitas nasional dengan media sebagai ujung
tombak dan intelektual sebagai bala tentaranya. Media
massa nasional diperlukan bukan hanya untuk menyiapkan

74
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

medan perjuangan, tapi juga untuk memberikan posisi yang


menguntungkan bagi intelijen dalam melancarkan operasi
penggalangan. Media massa sangat efektif digunakan untuk
memberikan afirmasi-afirmasi intelektual yang progresif,
demi meningkatkan ketahanan identitas dan eksistensi
nasional bangsa Indonesia.
Budi Susilo Soepandji (2012) mengutip kata-kata Sun
Tzu seorang ahli strategi China yang hidup sekitar tahun 500
SM: "Pertahanan yang terbaik adalah menyerang dan
peperangan dimenangkan jauh sebelum pertempuran
dilakukan". Melalui media massa intelijen kita harus
melancarkan operasi penggalangan secara komprehensif,
sehingga sebelum terjadinya perang kita telah mampu
merebut dan memenangkan opini umum. Indonesia tidak
boleh hanya bersikap reaktif atas sepak terjang intelijen
asing, tetapi harus lebih bersikap aktif dalam memainkan
perannya di percaturan internasional.45

Transisi Demokrasi: Premanisme


Kesan negatif masyarakat terhadap intelijen sebagai
perekayasa bergulir bagaikan bola salju, sehingga
menurunkan kewibawaan pemerintah sebagai "Boss" dari
intelijen negara. Turunnya kewibawaan pemerintah dalam
melindungi rakyat, merupakan peluang emas bagi
tumbuhnya premanisme dan banditisme di kalangan
masyarakat. Mereka tidak segan-segan mengambil alih
kewenangan aparat keamanan dengan cara-cara ilegal.
Diskursus merupakan sarana untuk membangun
jembatan komunikasi antar berbagai pihak demi
meniadakan kegiatan para "bandit" tersebut. Para bandit

45
Wawancara dengan Budi Susilo Soepandji, Gubernur Lemhannas pada 20 Mei 2012 di
Jakarta.

75
FILSAFAT INTELIJEN

bergerak dalam kelompok kecil atau besar, seperti


kelompok ormas yang mengatasnamakan agama. Kelompok
tersebut juga dapat berbentuk geng-geng bermotor, yang
deru mesinnya dapat menimbulkan efek psikologis yang
menakutkan. Dengan mengendarai sepeda motor mereka
dapat bergerak jauh lebih cepat, daripada kendaraan mobil
yang kerapkali terhalang oleh kemacetan kota.
Semakin besar kelompok yang bergerak dari antara geng
tersebut, semakin jauh setiap individu anggota mereka
kehilangan kepribadiannya. Mereka sendiri jadi tidak lagi
mampu menguasai diri, apalagi pemimpinpemimpin
mereka, karena sama-sama tenggelam ke dalam keadaan
yang rentan memunculkan amok15 massa. Mereka layak
dinyatakan sebagai bandit karena merusak peradaban
bangsa dan terkadang mereka juga mempunyai ikatan
dengan individu penyelenggara negara, politikus, bahkan
aparat keamanan yang saling dukung-mendukung di dalam
memenuhi kepentingan pribadi masing-masing.
Bandit atau geng yang mempunyai network (jejaring)
seperti itu, di Eropa dikenal sebagai mafia. Situasi seperti ini
menurut Mancur Olson memang kerap terjadi, setelah
jatuhnya sebuah rezim kekuasaan otoriter. Kelompok
masyarakat tersebut mengidap sindrom (penyakit) sosial
yang dikenal sebagai "Hedonisme”16. Kekuasaan terhadap
masyarakat kemudian diambil-alih oleh para "bandit”,
karena pemerintahan yang baru tidak cukup berwibawa.
Para bandit selalu eksis di era transisi politik liberal,
manakala pemerintahan baru dan masyarakatnya tidak
mengerti hakikat dari kebebasan dan individualisme itu.

15 Amok adalah suasana mengamuknya massa secara tidak terkendali, seperti yang
pernah terjadi berturut-turut pada bulan Maret dan April 2012 di Jakarta. Sosiolog
Imam Prasodjo menyatakan bahwa anggota geng motor tersebut kebanyakan anak-
anak muda yang mempunyai banyak energi, bervisi masih longgar dan membutuhkan

76
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

identitas. Mereka masuk ke dalam identitas grup yang salah. Lihat: harian Kompas
edisi Sabtu, 14 April 2012.
16 Tentang hedonisme sebagai sindrom (penyakit) masyarakat dibahas lebih jauh pada
bab berikut buku ini.
Pancasila menolak individualisme ekstrim yang
menyalahi kodrat, karena manusia ditakdirkan hidup bukan
hanya sebagai dirinya sendiri, tetapi juga sebagai anggota
masyarakat. Karena iłu negara demokrasi Pancasila
menempatkan pemerintahan negara sebagai institusi yang
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan keamanan
rakyat46. Eksistensi intelijen di negara kesejahteraan, berdiri
di atas dua kutub yang seimbang dan selaras. Kutub yang
satu didasari oleh konsep bahwa manusia harus bebas dan di
kutub yang lain, manusia tidak boleh mengganggu
kebebasan orang lain.
Permasalahan intelijen di negara Pancasila sekarang
adalah ketidakmengertian kelompok kecil masyarakat sipil
(civil society), terutama yang disponsori oleh kelompok
oportunis dari Barat, bahwa perlindungan terhadap individu
oleh intelijen seharusnya mereka artikan sebagai
perlindungan terhadap segenap bangsa dan tumpah darah
Indonesia. Hal ini bukan berarti lalu intelijen menafikan
hak-hak individu, karena manusia Indonesia harus bebas
dałam memilih agama, keyakinan dan jalan hidup yang
ingin ditempuhnya. Mereka harus bebas dari rasa takut,
bebas untuk berserikat, bebas untuk menyatakan pendapat.
Namun, mereka tidak bebas untuk berbuat semau-maunya.
Karena iłu pula maka intelijen negara Indonesia yang
demokratis tidak dapat membenarkan cara "pembebasan”
individu-individu Libya dari cengkeraman Moammer
Khadafi, dengan cara semau-maunya seperti menyerbu
negara iłu dengan kekuatan fisik militer. Akibatnya, yang

46
Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,
Penerbit Gramedia, Jakarta, hlm. 572.

77
FILSAFAT INTELIJEN

berlangsung adalah terorisme, karena teror senantiasa


membonceng dałam setiap bentuk kekerasan.
Kemauan yang baik untuk menegakkan hak asasi
manusia dapat menjadi tidak baik, jika pelaksanaannya
menggunakan cara-cara yang tidak baik. Demokratisasi
harus tetap pada komitmen untuk suatu proses adaptasi yang
damai, tanpa kekerasan dan tidak "berlumuran darah".
Namun, ternyata konsep teoretis demokrasi, bukan teori
politik yang begitu saja dapat dikatakan etis (Nurtjahjo,
2006) 47 .
Konsep demokratisasi dunia yang diperkenalkan Barat,
tidak beranjak (bergeming) dari hakikat penentuan kekuatan
50% +1, sebagai penilaian terhadap suara rakyat.
Pemahaman ini sangat rawan karena dapat diartikan, bahwa
demi membela orang banyak boleh mengorbankan orang
yang lebih sedikit. Di sini kita dapat terjerembab pada
praktik diktator mayoritas, yang bertentangan dengan
Pancasila sebagai filosofi bangsa.
Dikotomi mayoritas-minoritas dalam ranah politik,
membuat sulitnya intelijen untuk bekerja sama dengan
instansi lain. Misalnya, dalam menghadapi konflik massa
dalam kasus Ahmadiyah. Seorang tokoh masyarakat apalagi
jika ia seorang pimpinan formal tidak boleh menyatakan
keberpihakannya kepada golongan mayoritas. Kesulitan
kerja sama dengan pejabattinggi seperti itu, telah membuat
intelijen negara melancarkan operasi berdiri sendiri dan
berklasifikasi "rahasia" terhadap kawan sendiri yang
seharusnya bekerja sama.
Intelijen yang dikendalikan oleh Markas Besar Polri
misalnya, dapat membuat Kapolda yang terkait menjadi

47
Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

78
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

berang karena tidak tahu, bahwa ada operasi intelijen di


daerah tanggung jawabnya. Akibat Kapolri tidak
memberitahu Kapolda tentang adanya operasi intelijen di
daerahnya seperti itu, maka intelijen kerapkali menjadi
sasaran kemarahan Kapolda. Apalagi jika keadaan demikian
ini di hadapkan dalam hubungannya dengan TNI.
Ringkasnya, operasi intelijen sering kali tidak mendapat
simpati dari kawan-kawan seiring, karena lingkungannya
sendiri telah memberikan banyak kesulitan baginya dalam
melakukan koordinasi. Karena itu masalah koordinasi
seharusnya juga diatur dalam aturan perundanganundangan
yang berlaku.
Permasalahan yang harus diatasi oleh para legislator
adalah mencari jalan, agar dapat menyusun UndangUndang
Intelijen yang berada di luar sistem Peradilan Kriminal. Hal
tersebut disebabkan oleh pengertian bahwa intelijen bukan
aparat penegak hukum, sehingga jika undang-undang
intelijen selalu dikaitkan dengan penegakan hukum, maka
kebijakan intelijen tidak mungkin dapat dijabarkan dengan
benar pada tataran operasional.
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2011 tentang Intelijen Negara mendefinisikan bahwa
intelijen bukan hanya sebagai organisasi dan kegiatan, tetapi
juga pengetahuan yang menjadi landasan pengambilan
keputusan atas kegiatan intelijen. Pengetahuan yang
universal tentu saja harus terikat kepada nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa kita, jika hendak
diterapkan di Indonesia. Karena itu kita memerlukan filsafat
bangsa Indonesia untuk mengarahkan intelijen, agar selalu
dapat melaksanakan fungsinya dalam keadaan lingkungan
yang selalu berubah.

79
FILSAFAT INTELIJEN

Dengan memahami hakikat intelijen yang digali dari


filsafatnya, maka intelijen negara akan selalu terhindar dari
praktik penyalahgunaan. Publik pernah menengarai
penyalahgunaan intelijen untuk kepentingan pribadi yang
dilakukan oleh Deputi III Bakin, yang memiliki hubungan
pribadi dengan Presiden Republik Indonesia. la telah
melaporkan Komisaris Jenderal Polisi Moehammad Jasin
sebagai anggota Petisi 50, padahal yang bersangkutan tidak
pernah terlibat dalam petisi tersebut. Sekretaris Militer
Presiden Republik Indonesia waktu itü Marsekal Madya
TNI Kardono mengakui, bahwa pencantuman nama Yasin
karena perintah dari Deputi III Bakin, yang secara pribadi
membenci Moehammad Jasin.19
Walaupun dalam kehidupan T NI berlaku disiplin yang
sangat keras, ternyata masih ada juga anggota di masa
lampau yang melangkahi wewenang atasan langsungnya,
hanya karena kedekatannya secara pribadi dengan yang
lebih atas lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam
pemerintahan yang bersifat totaliter, para penguasa
cenderung lebih leluasa dapat menyalahgunakan intelijen.
Karena itü hampir semua pemerintahan totaliter berakhir
karena revolusi sosial, yang merupakan perjuangan rakyat
untuk merebut kebebasannya.
Namun sebaliknya, intelijen di negara demokrasi kerap
kali tidak mampu menyesuaikan diri secara cepat (Velox)
dan tepat (Exactus), dalam menghadapi perubahan keadaan
lingkungan strategis yang sangat dinamis. Di republik yang
sudah merdeka, rakyat harus benar-benar bebas menyatakan
kehendaknya, bebas berserikat, bebas dari rasa takut, dan
bebas dalam memilih agama masingmasing. Dalam teori
intelijen, pihak kita memang harus berusaha meruntuhkan
moril musuh, bukan moril rakyat atau bangsa kita sendiri.

80
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

19 Dr. H. Moehammad Jasin, 2005, Memoir Jasin Sang Polisi Pejuang, Jakarta, hlm.
297-303.
Dalam situasi perang, intelijen diperlukan untuk
penggalangan atau pembinaan semangat dan kekokohan
ketahanan bangsa sendiri, bukan pembinaan semangat
pemimpin untuk terus berkuasa dengan memelihara
kekokohan stabilitas kedudukannya. Intelijen pasukan
gerilya kita saat melawan para penjajah asing dahulu
memang telah membangun anasir kolone kelima di dalam
tubuh musuh, untuk kemudian meledakkannya menjadi
suatu low intensity conflict (benturan berintensitas rendah)
antarmusuh. Hasilnya, terjadi silang pendapat antara
pemerintah Belanda dengan Amerika Serikat dan Australia
(1947).
Kekacauan yang terjadi di dalam negeri musuh,
demikian menurutteori intelijen, akan memicu perpecahan
opini rakyatnya dan mematikan ketahanannya sendiri dalam
menghadapi ancaman eksternal. Pada prinsipnya, kita harus
mengurangi jumlah teman-teman musuh dan sekaligus
memperbanyak lawan-lawan mereka. Di Iain pihak,
intelijen harus terus-menerus melancarkan penggalangan
untuk membangun sebanyak-banyaknya teman-teman
sebagai jejaring sendiri. 48 Ambisi politik untuk
melanggengkan kekuasaan suatu rezim, kerap
memanipulasi teori intelijen dari yang seharusnya untuk
melawan musuh eksternal, menjadi untuk menghadapi
oposisi internalnya49.

48
Abdul Haris Nasution, 1953, Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia
di Masa Lalu dan Akan Datang, Penerbit Angkasa, Bandung.
49
Praktik intelijen penggalangan dengan pendekatan keras seperti itu, merupakan fungsi
intelstrat yang dilakukan oleh pasukan Sandi Yudha Kopassus. Secara teoritis
sasarannya adalah musuh eksternal, bukan rakyatnya sendiri.

81
FILSAFAT INTELIJEN

Pada hakikatnya intelijen juga tidak memberi tempat


kepada kegiatan yang bersifat rekayasa, karena kegiatan
rekayasa tidak pernah berhasil membangun suatu konstruksi
sosial yang berketahanan. Penggalangan cerdas melalui
media massa walau hanya menyajikan gejala sosial semata,
justru dapat membangun suatu konstruksi sosial yang lebih
kokoh. Sebagai contoh pada awal September 2011,
Wikileaks membocorkan sejumlah dokumen rahasia AS
yang terkait dengan Indonesia. 50 Perwakilan AS di
Indonesia melaporkan kepada atasannya, bahwa Front
Pembela Islam (FPI) didanai dan dijadikan sebagai
attackdog (anjing penyerang) oleh Sutanto pada saat ia
menjabat sebagai Kapolri. Secara tendensius dinyatakan
bahwa dana tersebut diberikan sebelum FP I menyerang
Kedubes AS pada Februari 2006. Ditambahkan Iagi bahwa
mendanai FPI sudah merupakan tradisi atau kebiasaan Polri
dan BIN.
Laporan tendensius tersebut menggiring pembaca
kepada opini bahwa Polri dan BIN memang sengaja
memelihara FPI, untuk melakukan perbuatan-perbuatan
anarkis. Wikileaks sebagai media massa independen yang
tak terbebani tanggung jawab apa pun dalam kaitannya
dengan intelijen Republik Indonesia, tidak peduli bahwa
metode untuk menghadapi musuh kerapkali dilakukan
dengan cara menggalang mereka secara cerdas.
Penggalangan cerdas dapat berupa pemberian dana kepada
mereka agar tidak berbuat sekehendak hati. Namun, karena
berita yang disajikan media massa tersebut didampingi
dengan kalimat: " ... sebelum dilakukan penyerangan
terhadap Kedubes AS di Jakarta", maka logis jika pembaca

50
Tribunnews.com, 2011, Bocoran Wikileaks: Mendanai FPI adalah Tradisi Polri dan
BIN Jakarta.

82
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

langsung menyimpulkan bahwa pendanaan tersebut


berkaitan dengan serangan ke Kedubes AS.
Kesimpulan yang tanpa didahului dengan analisis
berdasarkan fakta objektif, tentu saja akhirnya
menghasilkan opini publik yang keliru. Apalagi dibumbui
juga dengan istilah melecehkan sebagai attackdog dan
menyebut nama Yahya Assegaf sebagai sumber
informasinya. Jika saja pembaca Wikileaks mengerti
intelijen, sumber info dan informasinya seharusnya diberi
nilai terlebih dahulu. Pemberitaan yang akurat harus dapat
memberi harga A bagi sumber dan nilai 1 bagi informasi
yang diberikannya (jadi, harus bernilai A1). Di samping itu
sesuai dengan kesimpulan Muqoddas tentang "Siapa
menggunakan siapa", penggalangan cerdas intelijen juga
harus dilakukan secara sistematis. Artinya, sesuai teori
penggalangan, memerlukan perencanaan psikologis yang
dilaksanakan secara bertahap, bertingkat dan
berlanjut. 51 Penggalangan tanpa syarat-syarat demikian
dapat berujung pada kesesatan opini umum yang bersifat
kontra produktif.
Kebebasan pers di era keterbukaan ini telah
menempatkan media massa sebagai suatu pilar demokrasi,
di samping eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Karena itu di
negara-negara demokrasi, intelijen negara banyak yang
menempatkan media massa sebagai sasaran strategis operasi
penggalangan dengan pendekatan lunak dan cerdas.
Budi Susilo Soepandji (2012) menyatakan, bahwa
intelijen liar merupakan warisan dari kolonialisme. Dengan
pengkajian dan pembahasan filsafati, maka secara

51
Rencana Operasi Penggalangan terdiri dari: 1) Tujuan, 2) Analisa Sasaran, 3) Susunan
Pelaksana, 4) Metode yang digunakan, 5) Penahapan Operasi, 6) Instruksi dan
Koordinasi, 7) Administrasi dan Logistik, 8) Komando dan Pengendalian.

83
FILSAFAT INTELIJEN

konseptual konkret bahwa Republik Indonesia dengan


intelijennya bukan kelanjutan dari Hindia Belanda. Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan hanya negara
yang merdeka secara politik, tetapi merdeka dari semua
sistem Hindia Belanda yang telah memasung pemikiran
rakyat Indonesia dalam bilangan abad.52

Kondisi Kedaruratan
Intelijen tidak dapat menunggu suatu perbuatan
digolongkan sebagai kejahatan setelah menimbulkan akibat.
Intelijen justru harus memberikan peringatan bahwa akan
terjadinya sesuatu, yang mengakibatkan kerugian bagi
negara. Oleh karena itu, penebaran kebencian saja sudah
cukup bagi intelijen untuk bertindak.
Karl Popper (1902-1994), seorang filsuf sains,
mengatakan bahwa pengetahuan dapat saja bersumber dari
intuisi dan dugaan yang beralasan. Namun intuisi atau
dugaan tersebut harus diuji secara kritis, melalui eliminasi
kesalahan (error elimination). Artinya, praktik intelijen
tidak seperti lembaga pro-justisia yang mengumpulkan
bukti selengkap-lengkapnya untuk menggolongkan sebuah
tindakan sebagai "perbuatan melawan hukum".
Praktik intelijen harus berlomba dengan waktu, untuk
memperoleh informasi yang dirasakan cukup, guna
mencegah terwujudnya ancaman. Variabel kesahihan
informasi intelijen tidak hanya keakuratan, melainkan juga
kecepatannya. Artinya, penarikan kesimpulan tidak perlu
mengandalkan bukti-bukti yang lengkap, melainkan
informasi yang paling sedikit mengandung asumsi. Namun,
langkah intelijen untuk melindungi atau menyelamatkan
52
Wawancara dengan yang bersangkutan selaku Gubernur Lemhannas pada 20 Mei 2012
di Jakarta.

84
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

masyarakat, kerap kali tidak mendapat apresiasi yang layak.


Bahkan, masyarakat kita saat ini seolah sedang dijangkiti
oleh sindrom sosial berupa ketakutan terhadap intelijen
(intelligence phoby). Sebagian besar wakil rakyat
nampaknya tidak memahami fungsi intelijen dan sebagian
lain bahkan ikut ketularan intelligence phoby.
Ketidakpahaman tentang fungsi intelijen terlihat dari
pendapat mereka yang menginginkan agar orang yang di-
"interogasi" oleh BIN harus didampingi pengacara,
sebagaimana layaknya orang yang sedang diinterogasi oleh
aparat penegak hukum. Mereka tidak mengerti bahwa
intelijen, termasuk BIN, intelijen Polri atau intelijen instansi
mana saja, tidak boleh menginterogasi orang sebagaimana
halnya yang dilakukan oleh reserse polisi atau PNS
penyidik. Intelijen hanya berfungsi melakukan penelitian
untuk mengetahui sejauh mana sebuah sasaran dapat
digunakan untuk keperluan operasi intelijen. Pemeriksaan
mereka tidak untuk membuat Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) "pro-justisia" atau demi kepentingan hukum.
Interogasi di dalam intelijen kebanyakan dilaksanakan
terhadap musuh dalam suatu perang konvensional.
Interogasi yang dilakukan oleh intelijen di dalam negeri,
dalam keadaan normal, lebih tepat disebut sebagai
"wawancara", yang dilakukan bukan dengan pendekatan
kekerasan. Wawancara yang bertujuan mendapatkan
informasi intelijen disebut eliciting, yaitu wawancara
dengan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang atau juga
memancing, sehingga tanpa disadarinya, sasaran dapat
bercerita dengan leluasa tentang data yang diinginkan oleh
intelijen.
Ide-ide di masa lalu harus kita perbaiki sekarang ini
dengan ide-ide segar yang sesuai, bukan dengan membuat

85
FILSAFAT INTELIJEN

gagasan tentang ide-ide baru. Perluasan kewenangan BIN


dalam Undang-Undang Intelijen Negara, oleh beberapa
orang wakil rakyat telah ditolak. Pasalnya di negara kita
yang era transisinya tak kunjung selesai ini terdapat
kekhawatiran, bahwa BIN akan dijadikan alat kekuasaan
oleh pemerintah yang sedang berkuasa saat ini. Tetapi jika
pada saat partai mereka kelak yang berkuasa, niscaya
mereka juga akan berusaha, bekerja dan bergiat untuk
memperkuat kewenangan BIN dalam rangka menguasai
intelijen negara.
Makna reformasi adalah meningkatkan kualitas dari
segala sesuatu, sehingga jika kita menghapus
UndangUndang Anti Subversi yang lama, kita seharusnya
segera menggantinya dengan undang-undang baru yang
tentu saja relevan dengan perkembangan zaman. Jika kita
tidak kunjung membangun kesepakatan baru di bidang
keamanan, maka yang kita tuai adalah merebaknya
anarkisme dan teror yang tidak mungkin terbendung oleh
betapa pun ketajaman intelijen negara Republik Indonesia.
Rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah
demi terselenggaranya ketertiban dan keamanan umum,
juga telah ditolak oleh beberapa Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), karena analogi mereka yang keliru
antara intelijen negara dengan Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Setiap ada kata "intelijen negara", kelompok
masyarakat tersebut menganalogikannya dengan TNI.
Kesalahan yang mungkin diperbuat karena praktik liar
intelijen oleh oknum anggota TNI, mengakibatkan TNI
sebagai organisasi menjadi kambing hitam. Padahal
menjelang reformasi 1998, TNI justru telah mendahului
berbenah diri, sehingga bersama semua komponen bangsa
telah ikut dalam reformasi nasional. TNI kini telah menjadi

86
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

alat negara Republik Indonesia yang demokratis. Jika saja


TNI dulu tidak mendukung reformasi, maka tidak mungkin
negara Republik Indonesia dapat mendemokrasikan diri
tanpa pertumpahan darah.
Dapat kita bandingkan dengan proses demokratisasi
negara-negara bangsa di Timur Tengah, yang penuh dengan
gelimangan darah dan air mata. Sebelum reformasi
menggema di seluruh pelosok Tanah Air, setiap anggota
TNI telah diwajibkan untuk selalu menghormati HAM,
dengan dibekali sebuah buku saku HAM sebagai pedoman
dalam pelaksanaan tugas mereka sebagai prajurit.
Namun intelijen negara sekarang ini, tetap masih selalu
diidentikkan dengan TNI masa lalu yang militeristik.
Mereka lupa bahwa hari kemarin adalah untuk kemarin, hari
depan adalah untuk hari depan, dan hari ini adalah untuk
hari depan bangsa kita sendiri. Kita memang harus sering
melirik ke kaca spion mobil yang sedang kita kemudikan,
agar selalu waspada. Namun, melirik kaca spion itu bukan
untuk memandangnya berlama-lama, sehingga
membahayakan kemudi mobil yang melaju ke depan. Itulah
prinsip pokok yang harus kita pegang teguh, dalam
menghadapi musuh-musuh negara Pancasila.
Ilmu intelijen negara mengajarkan kepada kita berbagai
teori dalam menghadapi musuh eksternal. Sebagai contoh
adalah bagaimana CIA melakukan operasi intelijen tempur,
terhadap kita di masa lampau yang pernah dianggap sebagai
musuhnya. Operasi intelijen mereka bermaksud, agar
terlihat seolah-olah aksi subversif tersebut bukan
dikendalikan Oleh pemerintah negaranya. Dengan
demikian, pemerintah Amerika Serikat (AS) itu tidak perlu
harus tunduk kepada konvensi Jenewa, dalam
usahausahanya menggulingkan pemerintahan Bung Karno.

87
FILSAFAT INTELIJEN

Namun konsep intelijen itu juga tetap dapat disusul


dengan penyerbuan fisik oleh kekuatan militer, jika operasi
intelijen tidak berhasil. Contohnya adalah operasi-operasi
intelijen tempur untuk menggulingkan Presiden Libya
Moammer Khadaffi. Penggunaan Angkatan Perang selalu
didahului dengan "legitimasi" dari Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Risiko politik dan biaya
perang militer yang harus dipikul AS tetap saja sangat
mahal. Perang fisik yang demikian selalu mengandung
teror, walaupun perang tidak sama dengan teror. Artinya,
secara universal operasi intelijen negara yang relatif murah
semakin lama semakin diperlukan, guna mengurangi risiko
politik dan tingginya biaya yang dibutuhkan pemerintah
dibandingkan dengan menggunakan tentara reguler.
Keberhasilan menyergap Osama Bin Laden di Abotabad,
misalnya, juga merupakan hasil operasi intelijen tempur
yang efisien, dibandingkan dengan mahalnya ongkos untuk
mengejar Osama sebelumnya melalui pengerahan Angkatan
Perang AS dan sekutunya di Afganistan.
Tentang efisiensi dan efektivitas intelijen kita sadari
terutama pada suatu saat ketika kita menghadapi ruang
"hampa hukum". Situasi "hampa hukum" terdapat dalam
kehidupan manusia, yang dikenal dengan istilah
"kedaruratan". Saat kedaruratan bukan selalu berarti negara
dalam keadaan darurat, tetapi kedaruratan itu kemudian
diusahakan oleh hukum untuk didekati dengan
mengumumkan negara atau bagian dari negara (daerah)
dalam keadaan darurat. Namun, hal tersebut tidak dapat
berlaku dalam setiap peristiwa hukum.
Perkembangan konstelasi geopolitik dan geostrategi
Indonesia sangat kompleks, terlebih lagi demokratisasi
negara yang masih berada di 2/3 jalan ke batas aman

88
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

berdemokrasi ini. Perkembangan dalam geopolitik


menyangkut Indonesia yang secara geografis berdekatan
dengan Malaysia. Kita menjadi penadah utama para pelarian
politik fundamentalisme agama. Terlebih lagi
perkembangan dari geostrategi dalam konteks terorisme
internasional, dewasa ini mulai menjepit kita karena
demokratisasi politik yang dipaksakan sedang terjadi di
Timur Tengah. Para pengusung fundamentalisme politik
agama dari kawasan tersebut selalu menunggu saat yang
tepat, untuk masuk ke sini jikalau demokrasi di Indonesia
berada dalam keadaan goyah. Mereka dapat memindahkan
pusat komando pengendaliannya ke negeri kita ini,
manakala Indonesia berada dalam keadaan chaos (kacau).
Inilah yang menjadi isu sentral dalam aspek ideologi, yang
harus tertuang dalam Perkiraan Keadaan Intelijen Strategis
(Kirka Intelstrat) Indonesia dalam lima tahun berjalan.
Namun, apabila Kirka Intelstrat tersebut tidak berlanjut
dengan tindakan politik pemerintah yang cepat dan tepat,
maka perkembangan fundamentalisme agama akan semakin
meluas dalam kalangan masyarakat kita. Masyarakat
fundamentalis agama merupakan habitat, bagi tumbuh
berkembangnya terorisme. Hal tersebut disebabkan social
behaviour (perilaku sosial) mereka yang temperamental,
sehingga hatinya mudah terbakar dan menghanguskan nalar
sehat yang sejatinya ada pada diri mereka sendiri. Bahaya
lain dari fundamentalisme adalah rawan terhadap politik adu
domba (devide et impera). Masyarakat fundamentalis sunni
di Sampang Madura begitu mudah diadu dengan golongan
syi'ah, menyusul konflik global internal umat Islam yang
berlangsung di Timur Tengah. Langkah intelijen yang
diperlukan untuk menetralisasi masyarakat fundamentalis,

89
FILSAFAT INTELIJEN

adalah membebaskan individu manusia dari


ketidakdewasaannya.
Usaha pemerintah telah dilakukan melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 30 Tahun 2000, di mana
kewenangan Bakin sebagai koordinator ditambah dengan
kewenangan operasional dan namanya berubah menjadi
Badan Intelijen Negara (BIN). Namun, diskursus tentang
Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen Negara sejak
awal kemunculannya telah penuh dengan kontroversi,
antara BIN sebagai koordinator dan BIN sebagai operator
intelijen negara. Beberapa dari pemangku kepentingan
akhirnya terjebak semakin jauh ke dalam diskursus yang
cenderung menyusun Undang-Undang BIN, bukan Undang-
Undang Intelijen Negara atau intelijen nasional yang
fungsinya terdapat di berbagai sektor adminisrasi negara
Republik Indonesia. Kewenangan operasional dapat
diartikan bahwa di samping melakukan pendekatan cerdas
dan lunak dalam operasi penggalangan intelijen, dalam
keadaan tertentu BIN dapat menggunakan pendekatan
kekerasan walau dengan "meminjam" tangan reserse
kriminal Polri.
Di satu pihak, orang ingin agar BIN boleh bertindak
dengan cara memecahkan botol kaca (yaitu dengan cara
kekerasan), sehingga lalat (kaum fundamentalis) yang
tersesat di dalamnya dapat bebas ke udara dan menikmati
indahnya pluralitas dunia. Artinya, orang ingin agar
golongan masyarakat anarkis yang mengharamkan
pluralisme, bisa disadarkan oleh intelijen dengan cara
kekerasan. Namun di lain pihak, orang menginginkan
bahwa untuk membebaskan lalat tetap harus digiring
melalui mulut botol, tidak boleh memecahkan botolnya.
Artinya, walaupun sulit di negara demokrasi Indonesia ini

90
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

untuk menyadarkan golongan masyarakat yang


berpandangan picik sekalipun, sebagian masyarakat ingin
intelijen mampu memberikan tuntunan tanpa kekerasan.
Mengeluarkan lalat melalui lubang botol merupakan
operasi intelijen yang memang sangat sulit, namun harus
dilakukan karena memecahkan botol merupakan tindakan
yang di luar etika demokrasi. Namun, harus juga diingat
bahwa etika demokrasi iłu juga menyangkut terlindunginya
mereka yang lemah dari penindasan mereka yang lebih kuat.
Jika yang di dałam botol iłu bukan lalat, tetapi kalajengking
yang berbisa, yang jika dikeluarkan dari mulut botol lalu
membunuh manusia, maka morał intelijen membenarkan
untuk menutup botol rapat-rapat sampai binatang berbisa iłu
mati. Membunuh kalajengking berbisa melalui peniadaan
oksigen untuk bernapas, sehingga anarkisme yang
sewenang-wenang iłu mati. la mati karena lingkungan untuk
dia hidup tidak memberinya kehidupan lagi. Botol tetap
tidak pecah, berarti masyarakat umum tetap terjamin
kehidupannya yang penuh dengan etika.
Berpegang teguh pada etika bukan berarti kita
melupakan, bahwa intelijen negara bukanlah aparat penegak
hukum, tetapi alat negara untuk melindungi masyarakat
bangsa Indonesia. Banyak orang kerap kali tidak mengingat
hal ini, sehingga setiap diskursus tentang operasi intelijen
(Opsintel) selalu saja mereka kaitkan dengan penegakan
hukum (Opsgakum). Akibatnya, RUU Intelijen Negara
mengalami kesulitan untuk lolos menjadi undang-undang
yang dapat memayungi praktik operasi intelijen.
Pertimbangan Presiden Abdurrahman Wahid mengubah
sifat BIN dari koordinator menjadi operator, karena pada
saat iłu negara kita sedang menghadapi ancaman terorisme
yang memerlukan sinergisitas dari segala usaha, pekerjaan

91
FILSAFAT INTELIJEN

dan kegiatan untuk memenangkan perang psikologi


(PsyWar). Intelijen negara selalu berhadapan dengan situasi
kedaruratan (ancaman teror), yang harus diatasi secara
akurat, namun juga cepat. Kedaruratan bukan situasi khusus
yang memaksa hukum harus membuat perkecualian.
Kedaruratan adalah sumber hukum itu sendiri.25
Ketika situasi darurat menjadi permanen, maka perlu
disusun hukum yang memberikan kewenangan ekstra bagi
intelijen, untuk mampu menunaikan tugasnya dengan baik.
Ini bukan berarti praktik intelijen dapat dilaksanakan secara
semena-mena. Basis etis praktik intelijen sangat jelas dan
gamblang. Ini termaktub dalam Pembukaan UUD 1945
yang berbunyi: "... melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Di balik frase "segenap bangsa Indonesia" tersembunyi
sebuah etika utilitarianisme yang menilai baik-buruk
tindakan berdasarkan manfaat pada sebanyak mungkin
orang. Praktik penahanan, penyadapan dan bahkan pada
kondisi ekstrim, penghilangan nyawa musuh26 tidak bernilai
pada dirinya, melainkan bernilai sejauh untuk mampu
melindungi segenap bangsa Indonesia. Penahanan tersangka
teroris dengan bukti-bukti minim, misalnya, dapat
dibenarkan demi melindungi nyawa warga sipil dari
ancaman serangan bom bunuh diri. Ditembaknya seorang
pelaku bom bunuh diri yang berlari menuju keramaian
dibenarkan dengan alasan yang sama.
Hukum yang mengatur praktik intelijen harus bersandar
pada basis etis utilitarianistik tersebut. Perlindungan bagi
segenap bangsa Indonesia harus dijadikan fondasi normatif,
bagi penyusunan undang-undang intelijen. Alasannya,
karena hukum disusun bagi kemaslahatan

92
FILSAFAT INTELIJEN BERASAS PANCASILA

25 Santo Romano, seorang hakim asal Italia, mengatakan bahwa kedaruratan harus
dimengerti sebagai kondisi yang tidak dapat diatur Oleh norma terdahulu, Oleh karena
itu, dia harus melahirkan hukum baru dengan landasan normatif yang baru pula.
26 Definisi tentang siapa itu musuh yang menjadi sasaran intelijen, harus jelas tertera di
dalam undang-undang intelijen negara. Perumusan tentang siapa itu musuh, harus
dilakukan dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan Zaman.
orang banyak dan hanya dengan itu dia memiliki kekuatan
dan rasionalitas hukum (vim et rationem legis) dan bahkan
kegagalan menjaga kemaslahatan orang banyak, dapat
membuat hukum kehilangan kekuatan untuk mengikat
(virtutem obligandi non habet). Karena itu, maka sebagian
orang memandang intelijen beraliran pragmatisme dan
sebagian Iain menilai sebagai utilitarisme. Secara membumi
filsafat intelijen negara Republik Indonesia menyiratkan
basis etisnya di kedua aliran itu, di tengah suasana
kedaruratan (iustitium) yang bersifat "hampa hukum". O

93
Teori intelijen mengandung roh kerja, yai
eamanan nasional. Keamanan nasional kerapka
ipertentangkan dengan kebebasan individu, yan
merupakan salah satu dari sendi- sen
emokrasi. Hal ini sesungguhnya tidak per
terjadi apabila kita memaham
transformasi konsep keamanan yang buk
eamanan rezim, melainkan keamanan insani

(human security)....
FILSAFAT INTELIJEN

BERTINDAK CEPAT
(VELOX) DAN TEPAT
(EXACTUS)
egara kita berusaha keras untuk menggusur kemiskinan,
Nbukan menggusur orang miskin. Untuk itu, maka
pemerintahan negara harus membangun Indonesia, bukan
hanya membangun di Indonesia. Globalisasi harus dijaga agar
jangan hanya memberi dampak bagi para pengusaha
mancanegara, untuk menguasai konsesi usahausaha ekonomi
strategis Indonesial. Sebab, hal yang demikian itu dalam jangka
panjang hanya akan membuat bangsa kita menjadi kacung, yang
berarti tidak merdeka, sama dengan saat kita dulu dijajah oleh
kolonialis Belanda.
Pancasila yang mengandung nilai dasar, harus dijabarkan
secara konsekuen dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan
negara, harus teruji secara materiil terhadap

I Sri-Edi Swasono, 2010. Kembali ke pasal 33 UI-JD 1945, Menolak Neoliberalisme. Halaman
ix. Penerbit Yayasan Hatta, Jakarta.
UUD 1945 tersebut. Perkembangan keadaan lingkungan
strategis intelijen pada tataran nasioanal kita saat ini, semakin
cenderung kepada ekonomi pasar bebas yang realitasnya
memenangkan yang kuat daripada mereka yang miskin akan
sumber daya. Demikian pendapat yang makin meluas di antara
masyarakat bangsa kita, sehingga menyebabkan terbelahnya
aspirasi sosial ke depan. Di satu pihak masyarakat ingin agar
negara secara konsekuen kembali kepada UUD 1945, di Iain
pihak akan terus mengikuti liberalisme dan neoliberalisme yang

96
dibawa oleh globalisasi. Hanya ada kemungkinan titik temu,
yaitu melakukan amandemen ulang terhadap UUD 1945.
Ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT)
yang perlu diantisipasi oleh intelijen negara adalah tarik
menarik yang akan terjadi di antara ke dua pihak tersebut, yang
satu akan kembali ke UUD 1945 dengan menambahkan
adendum agar sesuai dengan tuntutan zaman, sedangkan yang
Iain akan menarik negara Iebih jauh lagi ke neoliberalisme.
Neoliberalisme dalam aspek ekonomi merupakan konsekuensi
logis, dari sistem politik demokrasi yang kita anut sekarang.
Namun, konstruksi sosial masyarakat kita di negara yang
berekonomi kekeluargaan ini, masih belum dapat sepenuhnya
menerima kenyataan yang ada.
Oleh karena itu, selama masa transisional, di sana-sini masih
terdapat perlawanan dari para elite masyarakat. Kita bersyukur
bahwa reformasi nasional di Indonesia telah berlangsung
dengan lancar, tanpa gejolak sosial yang berarti. Berbeda
dengan di Timur Tengah, perlawanan terhadap sistem yang
tidak dikehendaki oleh tatanan politik di sana, telah ditindas
dengan kekuatan militer oleh negara-negara adikuasa Barat.
Penindasan dengan

97
FILSAFAT INTELIJEN

kekuatan militer dan perlawanan terhadapnya telah


menimbulkan bentrokan fisik, yang tentu saja berarti
pengabaian etika dan pelanggaran HAM. Ketiadaan etika
seperti itu, sejatinya menyalahi hakikat demokrasi itu
sendiri.
Namun, walaupun implementasi demokratisasi
tersebut diwarnai dengan kekerasan yang dilakukan oleh
Amerika Serikat bersama sekutu Baratnya, kepercayaan
sebagian besar masyarakat dunia atas kesempurnaan teori
politik tersebut terus ber-metastasi (menjalar) ke seluruh
belahan bumi dengan sangat cepat. Kedudukannya yang
semakin sentral di era globalisasi ini karena teori politik
tersebut telah dilengkapi dengan konsep-konsep
individualistik Iainnya, seperti konsep The human rights,
Civil society, dan good governance. Dikatakan oleh
Nurtjahjo (2006) bahwa dengan kelengkapan tersebut
akhirnya globalisasi telah membawa teori demokrasi
menjadi suatu konsep yang dianggap terbaik, yang pernah
dicapai sebagai hasil pemikiran manusia.53
Perkembangan konsep liberalisme yang mengusung
individualisme tersebut kini telah merupakan suatu
realitas, pada lingkungan strategis dari negara-bangsa
Indonesia, baik global, regional, maupun nasional. Pada
tataran nasional, individualisme kini berhadapan dengan
kolektivisme yang diusung oleh empat pilar kebangsaan,
yaitu Pancasila, UUD 1945, NKR1, dan Bhinneka Tunggal
Ika. Di antara kedua aliran yang antagonistik inilah bangsa
Indonesia sekarang berada, yaitu dalam suatu impitan
imajiner, untuk memilih metode mana yang paling tepat
untuk menghadapi tantangan terhadap kehidupannya.

53
Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi. Penerbit Aksara, Jakarta.

98
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

Bangsa Indonesia terutama rakyat jelata, saat ini


sedang bingung, karena pilihan yang begitu dilematis.
Kedua pilihan itu bahkan terasa merupakan suatu himpitan
imajiner, yang semakin lama semakin ketat menjepit
bangsa kita. Oleh karena itu, selain dalam ketepatan
memilih metode, kita juga membutuhkan kecepatan dalam
bertindak. Tindakan itu sama seperti, misalnya, jika kita
sedang berada di sebuah medan pertempuran yang dihujani
oleh konsentrasi tembakan artileri musuh. Tindakan yang
paling tepat hanyalah bergerak maju dengan cepat
meninggalkan tempat tersebut, menuju sasaran serangan
kita.
Begitu pula jika kita sedang berada dalam deraan
kemiskinan, tindakan yang paling benar bahkan mungkin
satu-satunya adalah maju dengan cepat, meninggalkannya
ke sasaran yang telah kita rencanakan dengan baik, yaitu
kesejahteraan dalam keadilan dan keadilan dalam
kesejahteraan rakyat Indonesia. Tentu saja masalah
nasional itu merupakan domain dari pemerintahan negara,
yang membutuhkan kerja keras intelijen untuk menjamin
keamanannya. Kecepatan yang dalam bahasa Latin disebut
velox, mendampingi ketepatan yang disebut exactus —
bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang— merupakan
landasan filsafat dari berbagai teori intelijen pada
umumnya.
Teori intelijen mengandung roh kerja, yaitu keamanan
nasional. Keamanan nasional kerapkali dipertentangkan
dengan kebebasan individu, yang merupakan salah satu
dari sendi-sendi demokrasi. Hal ini sesungguhnya tidak
perlu terjadi apabila kita memahami transformasi konsep
keamanan yang bukan keamanan rezim, melainkan
keamanan insani (human security).

99
FILSAFAT INTELIJEN

Keamanan insani adalah jenis keamanan yang berfokus


pada berbagai kebebasan manusia, dalam mengakses
kebutuhan dasarnya. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan
dasar manusia akan mendatangkan kemiskinan, yang
berarti ketidakamanan hidup manusia sebagai insan
anggota masyarakat. Dengan demikian, kemiskinan yang
diakibatkan oleh, misalnya, perilaku para spekülan bangsa
asing terhadap fondasi perekonomian nasional kita, harus
menjadi perhatian dari intelijen negara. Keamanan
nasional pun menjadi lebih luas daripada sekadar
perlindungan dari ancaman kekuatan bersenjata.
Sumber ancaman terhadap keamanan negara atau
keamanan nasional meluas, dari sekadar ancaman
eksternal ke internal. Kodrat ancaman pun melebar dari
militer ke budaya, ekonomi, politik, dan ideologi.
Globalisasi turut memicu proliferasi ancaman terhadap
keamanan nasional. Globalisasi mengancam negara-
bangsa secara institusional dan kultural. Secara
institusional negara dilemahkan kendalinya pada
perekonomian oleh kekuatan ekonomi global. Secara
kultural negara diancam oleh identitas dan ideologi
subnasional dan supranasional yang merusak sendi-sendi
ketahanan kultural. Globalisasi membuat kapabilitas
ekonomi, informasi, militer, dan diplomasi aktor non-
negara menguat dan bahkan mengatasi negarabangsa itü
sendiri.
Perubahan demografis akibat mobilitas manusia yang
masif juga memengaruhi keamanan nasional.
Pertumbuhan populasi yang tidak terkendali meningkatkan
peluang instabilitas, radikalisme, dan ekstremisme.
Pembengkakan populasi yang melampaui daya dukung
ekologis dan politis sebuah negara-bangsa dapat

100
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

menjerumuskan sebuah negara ke dalam situasi negara


gagal (failed state). Negara gagal adalah lahan subur bagi
konflik horizontal, separatisme, sektarianisme, dan
radikalisme. Konflik bernuansa demikian dalam waktu
singkat dapat berkembang menjadi isu SARA (Suku,
Agama, Ras dan Antargolongan). Di samping itu
pembengkakan populasi dapat menimbulkan persoalan
seiring merosotnya ketersediaan air, energi, dan pangan.
Kelangkaan air, energi dan pangan diperumit dengan
ketidakadilan global dalam urusan perubahan iklim.
Negara dunia ketiga mengalami kesusahan akibat
keras-kepalanya negara maju untuk tidak mengubah pola
konsumsi dan menurunkan tingkat emisi. Berbagai dana
bantuan negara maju untuk rehabilitasi lingkungan harus
dibaca sebagai konservasi sumber ekonomi dan energi
mereka. Perubahan iklim juga mengancam kualitas
kesehatan warga dengan meningkatnya intensitas penyakit
tropis. Keamanan bukan sekadar patok teritorial yang
dijaga militer, melainkan sejauh mana warga negara
mampu terbebaskan dari penyakit, polusi, kemiskinan,
kelaparan, dan terorisme. Dengan demikian, demokrasi
membutuhkan kerja intelijen yang terukur dan akuntabel,
untuk melindungi berbagai kebebasan dasar manusia
Indonesia.

Hedonisme, Ketegasan, Kekerasan


Kebebasan dasar manusia bukan berarti bahwa
manusia lalu bisa bebas berbuat semau-maunya.
Kelompok masyarakat yang hanya mencari kepuasan demi
kenikmatannya sendiri, disebut sebagai kaum hedonis.
Hedonisme yang egoistis itu tentu saja bertentangan
dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,

101
FILSAFAT INTELIJEN

sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila. Agama dan


filsafat bangsa kita mengamanatkan, agar kita menyadari
realitas perbedaan yang merupakan takdir dari Allah SWT
terhadap seluruh makhluknya di dunia. Allah SWT telah
menciptakan kita, makhluk-Nya ini demikian bertingkat-
tingkat dan bersuku-suku (su'uban wa kobaila). Kemudian
memerintahkan kita untuk bersilaturahmi atau
berhubungan satu sama lain dengan sebaik-baiknya (li-
taaraftı).
Dalam masyarakat beragama yang heterogen dan
bermotto "Bhinneka Tunggal İka”, tidak mungkin takdir
İlahi terhadap seorang anak yang lahir dari penganut
agama yang berbeda, diberantas oleh manusia yang
beragama lain dengan kekerasan fisik. Allah SWT telah
menciptakan alam berikut hukumnya, untuk diikuti oleh
sekalian umat manusia. Karenanya, maka sejak masa
kebangkitan nasional pada 1908 bangsa Indonesia telah
memberontak, untuk meruntuhkan segala perbedaan yang
bersifat feodalistik-hierarkis di dalam tata-jenjang
masyarakat yang primordial-paternalistik.
Kemudian pada tahun 1998 secara sadar kita bersama
telah menyempurnakannya lagi dengan suatu tatanan
masyarakat bangsa Indonesia dan pemerintahannya yang
demokratis. Sistem masyarakat demokratis juga tidak
mungkin dapat ditolak —dengan kekuasaan atau kekuatan
yang sebesar apa pun— oleh karena antusiasi kebebasan
individü itü sangat dahsyat, terutama di dalam menggilas
segala jenis rintangan yang bersifat otoritarian. Sistem
demokrasi akan terus bergulir secara bekelanjutan dan
bergerak majü untuk kemudian menyatu, di dalam suatu
kekuatan global. Kekuatan ini tentü saja akan menuai
benturan dengan berbagai konsep otoritarian, yang telah

102
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

terlebih dahulu eksis di dalam sejarah kebangsaan kita


sebagaimana juga di Timur Tengah dan berbagai tempat
Iain.
Namun, ternyata globalisasi sistem politik demokrasi
di Indonesia sebagaimana telah kita bahas, berhasil
diadopsi secara damai tanpa pertumpahan darah. Hal
tersebut karena kita mempunyai Pancasila, sebagai filosofi
bangsa dan negara. Kini pekerjaan rumah Indonesia yang
harus diselesaikan adalah menyusun instrumen, berupa
peraturan perundang-undangan yang mampu untuk
mengakulturasikan keterbukaan dan kebebasan individu
dengan baik, di berbagai aspek kehidupan kebangsaan
yang komunal tanpa mengabaikan keamanan nasional.
Hanya dengan perangkat yang dibangun oleh para
legislator yang Pancasilais, para pemimpin eksekutif dan
judikatif bangsa di segala tataran dapat melaksanakan
tugas-tugas mereka, sesuai dengan sistem politik
demokrasi yang kita anut.54
Demokrasi Pancasila tidak mengenal diktator
mayoritas ataupun juga tirani minoritas, sehingga
musyawarah untuk mufakat yang bernapaskan demokrasi
harus lebih diutamakan daripada hanya sekedar kuantitas
dalam 50% tambah 1. Demokrasi Pancasila harus juga
mendengarkan dengan sungguh-sungguh suara rakyat
melalui perwakilan golongan dan fungsional, bukan hanya
perwakilan partai politik. Demokrasi Pancasila secara
hukum dan sosiologis membatasi keterbukaan untuk tidak
menjurus kepada penelanjangan, serta membatasi
kebebasan untuk tidak menjurus kepada anarkisme.
Adapun pembatasan tersebut dilakukan melalui peraturan

54
Ada empat Pilar politik demokrasi kontemporer, yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif, dan
media massa.

103
FILSAFAT INTELIJEN

perundang-undangan yang secara materiil teruji dalam


nilai dasar, yang terkandung di dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk itu intelijen senantiasa harus berpegang teguh
pada adagium: Lex superiori derogat legi inferiori.
Artinya, hukum yang lebih tinggi selalu membawahi
hukum yang lebih rendah. Dalam konteks ini lahirnya
Perda-Perda (Peraturan-Peraturan Daerah) yang
bertentangan dengan undang-undang terkait yang berada
di atasnya terlebih Iagi dengan UUD 1945, tidak boleh
dibiarkan terus berlarutlarut. Kondisi lingkungan strategis
intelijen menjadi tidak kondusif, jika birokrasi
pemerintahan negara melepaskan diri dari tanggung
jawabnya sebagai pelaksana tertib hukum. Tanggung
jawab yang dimaksud hanya akan muncul, jika Pancasila
dan tiga pilar kebangsaan lainnya telah tersosialisasi
dengan baik di kalangan para elite kekuasaan terlebih
dahulu, seperti para menteri, anggota legislatif dan
yudikatif dan para penyelenggara negara pada umumnya.
Pelaksanaan Pancasila belum memasukkan sistem
kontrol dan ancaman sanksi, terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh para penyelenggara negara sendiri.
Misalnya, pernyataan seorang Menteri Negara bahwa ia
harus membela kaum mayoritas, ternyata telah berlalu
begitu saja tanpa gugatan. Bagi intelijen pernyataan
Menteri tersebut seharusnya bukan saja hanya digugat,
tetapi justru harus dikriminalisasikan 55 . Artinya,
pelanggaran terhadap nilai dasar yang terkandung dalam
Pancasila, harus dinilai sebagai suatu tindakan kriminal
dengan sanksi hukum. Kepada golongan minoritas yang

55
As'ad Said Ali, 2009, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, LP3ES
Indonesia, Jakarta.

104
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

dinilai sesat, harus dilakukan penggalangan secara cerdas


dan lunak, karena hasilnya akan jauh lebih besar dan
bersifat permanen.

105
FILSAFAT INTELIJEN

Oleh karena itu, pada awal reformasi, intelijen telah


berani mengambil langkah yang tidak populer, yaitu
mendorong Presiden Republik Indonesia untuk
membebaskan para narapidana politik kasus Gerakan
Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi, yang pernah terjadi di
Lampung pada 1989. Usaha tersebut kemudian diikuti
dengan pembebasan mereka yang terlibat dalam kasuskasus
politik seperti Imron, Woyla, Warman, Candi Borobudur,
peledakan BCA, dan Iain-Iain. Dasar langkah intelijen
tersebut adalah filsafat negara Pancasila, yang menjunjung
tinggi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Dengan selalu berpegang teguh pada nilai dasar yang
terkandung dalam Pancasila, keuntungan yang nyata bagi
intelijen adalah dapat menggunakan mereka sebagai
sasaran strategis operasi penggalangan. Dengan
penggalangan yang lunak dan cerdas, dari pendirian mereka
semula yang memusuhi Pancasila, telah berbalik menjadi
pejuang gigih pembela ideologi bangsa kita. Contohnya,
antara Iain adalah Yani Wahid (almarhum), salah seorang
teroris Jemaah Imron, yang terlibat dalam kasus
pembajakan pesawat Garuda "Woyla". 56 Dalam interaksi
kehidupan masyarakat setelah bebas pada 1998, ia dikenal
sangat aktif dalam partai politik Republik. la menjadi teman
dekat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang kemudian
menjadi Presiden Republik Indonesia ke-6.
Walaupun intelijen telah mendukung pembebasan
narapidana politik tersebut, namun intelij en tetap konsisten
untuk membendung ideologi agama (teokratisme) dan
ideologi Marxisme-Leninisme (komunisme) bersemi di

56
Hendro Subroto, 2009, Biografi Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para
Komando, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

Indonesia. Alasannya, karena di dalam kedua ideologi itu


terdapat dua unsur yang bertentangan dengan Pancasila,

102
yaitu totaliterisme dan penolakan terhadap demokrasi.
Untuk komunisme ditambah lagi dengan ateisme, yang
jelas bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Opini umum yang menyatakan bahwa komunisme telah
mati, tidak mengandung kebenaran, karena suatu ideologi
tidak mungkin dimatikan selama manusia masih dapat
berpikir. Malahan semua ideologi, tidak terkecuali, harus
bebas dipelajari di sekolah-sekolah tinggi sebagai objek
pengkajian dan pembahasan akademik yang terbuka.
Dengan kebebasan akademik terhadapnya, maka
penangkalan terhadap ideologi yang bertentangan dengan
Pancasila dapat dilakukan bukan dengan cara isolasi, tetapi
dengan memahami hakikat penentangan yang terkandung
di dalam tiap-tiap ideologi tersebut. Dengan metode ini,
maka langkah-langkah "cegah dini" intelijen, terhadap
bangkitnya lagi "bahaya laten" dapat lebih efektif dan
efisien.
Karena berpedoman teguh kepada nilai dasar yang
terkandung dalam falsafah bangsa, operasi intelijen masa
lalu kerap kali di masa kini mendapat tudingan sebagai
pelanggaran HAM. Tudingan itu terjadi karena di era
demokrasi liberal, semua peristiwa kenegaraan harus
ditinjau dari persepsi etika universal. Berdirinya Komnas
HAM merupakan konsekuensi logis dari perkembangan
keadaan lingkungan strategis pada tataran global.
Perubahan lingkungan tersebut membuat seluruh sistem
kehidupan manusia juga berubah, karena tidak ada satu pun

107
FILSAFAT INTELIJEN

hal di dunia ini yang tidak berubah kecuali perubahan itu


sendiri.
Kekeliruan orang awam dalam mengusut berbagai
peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, terletak pada teknik
investigasinya. Investigasi dengan cara interogasi atau
wawancara terhadap individu mengenai peristiwa masa lalu
tentu saja tidak akurat, karena manusia juga ikut berubah
sesuai perubahan lingkungan mereka. Perubahan melanda
setiap individu manusia, karena fisiknya (tua, lupa),
kepentingannya (uang) atau gentar dan lain-lain. Belum
lagi jika yang diwawancarai iłu salah, bukan orang yang
sebenarnya tahu masalah yang dimaksud. Tentu saja hasil
investigasi iłu menjadi void (sia-sia).
Hasil investigasi yang dicapai dari wawancara terhadap
sasaran yang keliru makin tersesat, jika yang diwawancarai
adalah manusia yang berkarakter dasar oportunistik. Dałam
investigasi (pengusutan) kasus-kasus lama, misalnya kasus
Warsidi 1989 57, yang niscaya tidak pernah berubah adalah
dokumen, kecuali jika dokumen iłu palsu. Setiap barang
mati secara relatif merupakan konstanta dan setiap barang
yang bernyawa merupakan variabel yang nyata di luar
lingkungan yang hampa perubahan. Dari dokumen-
dokumen asli di jajaran Polri, Kejaksaan, dan Lembaga
Pengadilan terkait, dapat ditelusuri bagaimana sebenarnya
duduk perkara peristiwa tersebut. Sasaran yang tepat untuk
diwawancarai adalah mereka yang membuat dokumen iłu,
jika ditemukan adanya keganjilan tertera dałam dokumen
yang bersangkutan.
Informasi yang dikumpulkan dengan cara
mewawancąrai seorang jemaah Warsidi misalnya, tidak

57
Widjiono Wasis, 2001. Geger Talangsari, Jakarta. Lihat: Sukardi, 2006. Pertempuran
Talangsari, Jakarta. Lihat juga: Riyanto, 2005. Tragedi Lampung, Peperangan Yang
Direncanakan , Jakarta.
108
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

mungkin akurat untuk dapat menjadi intelijen, karena


mereka adalah orang-orang oportunis. Dałam peristiwa
1989, salah seorang dari antara mereka yang bernama Jayus
adalah informan Korem 143 Garuda Hitam Sriwijaya di
Lampung, yang memberikan banyak informasi tentang
Warsidi. Aktivitasnya antara Iain juga melakukan
pembersihan fisik, dengan menangkapi jemaah Warsidi
sendiri yang berusaha melarikan diri kembali ke Jawa
dengan menggunakan angkutan feri di Bakauhuni.
Pascaperistiwa Warsidi, ia meminta kepada Korem untuk
mengembalikan tanah milik yang pernah ia wakafkan
kepada Warsidi. Padahal, sebelumnya ia telah menerima
sejumlah uang dari intelijen Korem sebagai pengganti,
karena tanah tersebut demi keperluan pengusutan harus
dikuasai sementara oleh Korem. Artinya, orang tersebut
telah menerima, baik uang maupun tanahnya kembali, yang
semula ia wakafkan dengan sukarela kepada Warsidi.
Sosok seperti itu jika dinilai, baik dari Sisi jemaah Warsidi
maupun dari Sisi Korem, adalah seorang pengkhianat yang
oportunistik. Namun karena kesesatan informasi dari suatu
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), justru ia kemudian
muncul sebagai narasumber yang dipercaya.
Dari kasus Warsidi ini dapat ditarik suatu pelajaran
berharga, bahwa untuk melakukan pengusutan terhadap
suatu peristiwa, terlebih lagi peristiwa yang telah lama
terjadi, diperlukan langkah-langkah awal untuk dapat
mengolah informasi menjadi intelijen. Langkah-langkah
awal tersebut adalah memberi nilai dahulu kepada objek
pengusutan, baik yang variabel (berubah, misalnya
manusia) ataupun objek yang berupa konstanta (tidak
berubah, misalnya dokumen). Manusia sebagai sumber
informasi, jika akan dipercaya harus mempunyai nilai A
dan informasi yang disampaikannya harus mempunyai nilai
109
FILSAFAT INTELIJEN

1. Dengan demikian, informasi yang kita dapat akan


bernilai Al, yang berarti mempunyai nilai
58
intelijen. Intelijen harus menginventarisasi berbagai
peristiwa masa lampau dengan benar, agar dapat menarik
benang merahnya dengan peristiwa masa kini.
Saat ini kita berada pada zaman globalisasi modern
yang arusnya didominasi oleh tesis universal Demokrasi
Barat. Tesis yang seharusnya penuh dengan etika itu
ternyata tidak selalu hadir di dalam praktik, sehingga
melahirkan antitesis berupa ekstrimisme politik Islam
kontemporer. Kedua tesis universal yang saling bertolak-
belakang itu kini sedang saling berbenturan dengan keras
secara resiprokal, sehingga artikulasi politik yang santun,
yang mendahulukan dialog negosiasi, serta saling
kompromi, tidak lagi mendapat tempat (Arubusman, 2001).
Terorisme kontemporer bagaikan binatang Unslayable
Hydrag atau juga Chanda Bhirawa9 yang tidak akan pernah
mati. Binatang Hydra dan jimat Chanda Bhirawa telah
digunakan oleh para pihak yang berhadapan, yaitu negara-
negara Barat dan kaum fundamentalis agama di era
sekarang ini secara resiprokal, untuk menggantikan
komunikasi global yang telah demikian terdistorsi.
Dalam menghadapi metode kekuasaan keras (hard
power) yang diterapkan oleh negara-negara Barat, terutama
Amerika Serikat semasa kepemimpinan Presiden George
Walker Bush, jajaran organisasi Al-Qaeda menggunakan
dalih patriotisme dan spirit keagamaan sebagai metode
perjuangan. Dengan metode itu mereka dapat menggalang
kekuatan semesta masyarakat Islam beraliran ekstrim guna
memperoleh dukungan, baik fisik maupun psikologis.
Kekuatan semesta tersebut membuat Al-Qaeda yang hanya

58
Cara penilaian terhadap informasi tertera juga di halaman 68, 158 dan 170 buku ini.
110
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

8 Hydra adalah binatang yang tidak dapat mati, yang terdapat dalam dongeng rakyat
Yunani. Baca: Diaz Hendropriyono (2006) dalam AI Qaeda Network: lts Origin,
Structure and Vulnerabilities. Virginia Tech University, USA.
9 Chanda Bhirawa yang didongengkan sebagai jimat sakti milik Raden Narasoma
dalam legenda wayang Jawa. Chanda Bhirawa merupakan raksasa yang tidak dapat
mati, kecuali menghilang dan kemudian muncul kembali.
merupakan suatu jaringan amorphous (tidak mempunyai
bentuk yang tetap), menjadi omnipotent (sangat perkasa)
untuk berhadapan dengan negara berdaulat, bahkan dengan
Amerika Serikat yang adidaya sekalipun.
Akar terorisme dari kedua pihak itu tumbuh dan
berkembang subur di dalam tanah yang merupakan
habitatnya masing-masing. Jika "terorisme negara" Israel
berakar di masyarakat ekstrim Yahudi global, maka
"terorisme jaringan" Al-Qaeda berakar di masyarakat
ekstrem Islam dunia. Bagian dari akar terorisme Al-Qaeda
—dengan ideologi fundamentalis— yang tersisa kini di
Indonesia adalah jaringan yang dibangun oleh Noordin
Mohammad Top (NMT), sedangkan habitatnya semula
adalah masyarakat ekstrem yang berada di bawah naungan
organisasi Jemaah Islamiyah (JI).
Namun, habitat yang telah melahirkan 12 orang suicide
bombers (para pelaku bom bunuh diri) tersebut kini tidak
Iagi terkoordinasi dengan baik. Dari sekitar 430 orang
anggota JI yang berhasil ditangkap, kira-kira 200 orang di
antaranya telah bebas kembali ke masyarakat. Sebelum
NMT membangun jaringannya sendiri, langkah untuk
memotong akar terorisme yang dilakukan intelijen adalah
melakukan pendekatan agamis dan sosial-ekonomis
terhadap mereka. Hal tersebut dilakukan karena kebebasan
mereka dari penjara, selalu diikuti oleh masalah sosial
ekonomi keluarga. Mereka sulit sekali mendapat lapangan
kerja sebagai mantan teroris.

111
FILSAFAT INTELIJEN

Gerakan klandestin (rahasia/bawah tanah) di masa


lampau yang pernah dilakukannya mengharuskan mereka
menggunakan nama-nama samaran —juga berbagai nama
alias— yang kini tidak mudah untuk dikembalikan Iagi
kepada nama sebenarnya, untuk berbagai keperluan seperti
mendapat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kebanyakan para
lurah dan para pejabat setempat khawatir, akan tersangkut
paut dalam masalah terorisme. Dampaknya, surat kawin
mereka juga void (tidak berlaku) dan status sosial anakanak
mereka menjadi tidak jelas secara administratif.10
Tidak ada usaha yang melembaga dari pemerintah
untuk menyelesaikannya, walau terdapat juga usaha
swadaya masyarakat dalam bentuk yayasan nirlaball
nonpemerintah. Di yayasan-yayassan tersebut juga
dilakukan usaha untuk menggalang para mantan terpidana
terorisme, agar sadar terhadap kekeliruannya yang telah
mendatangkan korban-korban manusia yang tak bersalah.
Usaha menyadarkan orang dari kekeliruan pemahaman atau
keyakinannya ini dikenal dalam intelijen sebagai
penggalangan cerdas,
Penggalangan cerdas yang dilakukan itu bertujuan
untuk menghapus pemahaman dan pemikiran yang keliru,
sebagai akibat brain washed atau cuci otak terhadap mereka
sebelumnya, yang dilakukan oleh organisasi teroris JI.
Terapi psikologis seperti itu disebut deradikalisasi, yang
mengharapkan setelah mereka kembali ke masyarakat,
selain tidak akan mengulangi perbuatannya, juga tidak akan
menjadi anggota kelompok masyarakat yang merupakan
habitat bagi tumbuh berkembangnya akar terorisme.
Namun sayangnya terhadap usaha swadaya seperti ini,
pemerintah Indonesia belum juga dapat memberikan
dukungan secara proporsional. Misalnya, dengan segera

112
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

IO Abbas Nasir, 2009. Wawancara pada 27 Agustus di Jakarta.


II Yayasan-yayasan nirlaba antara lain didirikan dan kemudian dipimpin oleh Brigjen Pol
(Purn.) Suryadharma Salim, mantan DanSatgas Bom dari Satuan Anti Teror Polri.
Demikian pula Yayasan Prasasti Perdamaian yang didirikan oleh Nurhuda Ismail,
seorang alumnus pondok persantren Ngruki, Solo. Pesantren Ngruki didirikan dan
pernah diasuh oleh Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba'asyir, para tokoh AIJama'ah
Al-lslamiyah (JI), yang beberapa mantan santrinya pernah terlibat di dalam
serangkaian tindak pidana terorisme.
memasukkan pembiayaan bagi upaya deradikalisasi
yayasan-yayasan itu ke dalam sistem Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Akibatnya, kerja keras
sukarela masyarakat yang serba minim tersebut masih
menyisakan antara lain, orang yang bernama Air Setyawan
(mantan narapidana terorisme), untuk kembali melakukan
teror, sampai ia tertembak dalam penyerbuan polisi di Jati
Asih, Bekasi, pada Jumat (7 Agustus 2009) dini hari.
Demikian pula halnya dengan Urwah alias Bagus
(mantan narapidana terorisme yang pernah divonis 3,5
tahun penjara) kembali masuk ke dalam Daftar Pencarian
Orang (DPO) Polri. la dan mereka yang seperti ini akan
selalu kembali bergabung, dengan ideologi keras dari NMT
setelah ke luar dari penjara. Tidak ada cara yang lebih
efektif untuk menyelesaikan masalah yang patah tumbuh
hilang berganti ini, selain memberantas terorisme dengan
meniadakan habitatnya. Caranya antara lain dengan
mempertajam fungsi Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT), melalui konsep strategi yang Velox et
Exactus (cepat dan tepat) serta sasaran-sasaran yang jelas,
di dalam suatu sistem intelijen strategis fungsional yang
terintegrasi. Penggunaan BNPT tidak bisa terlepas dari
aspek-aspek perencanaan, pengorganisasian, administrasi,
termasuk dukungan keuangan dan kontrol yang bersifat
semesta. Sebagai subjek yang bersifat semesta, fungsi
BNPT harus dibantu oleh alat-alat negara lain, seperti

113
FILSAFAT INTELIJEN

aparat teritorial dan intelijen TNI serta berbagai yayasan


atau lembaga swadaya masyarakat.
Langkah-langkah mobilisasi dan organisasi bagi para
dai, secara nasional merupakan kebutuhan yang mendesak,
untuk memberikan dakwah yang menyejukkan. Dakwah-
dakwah yang menyejukkan bukan hanya yang berorientasi
vertikal (Hablum-min-Allah) saja, tetapi harus juga
berorientasi horizontal (Hablum-min-nan-Nas) secara
harmonis 59 . Dengan netralnya masyarakat luas terutama
umat Islam dari sifat yang dapat menjadikannya habitat
bagi tumbuh berkembangnya terorisme, maka ideologi
keras yang berbasis apa pun termasuk agama tidak akan
Iagi mendapat tempat berpijak di setiap pelosok wilayah
Indonesia.
Masyarakat paguyuban yang akomodatif terhadap
perubahan zaman merupakan lingkungan strategis yang
diperlukan oleh intelijen, agar dapat menerapkan berbagai
alternatif cara bertindak untuk bersama-sama dengan
fungsi-fungsi lain negara secara efektif, efisien, dan etis
mencapai tujuan nasional. Tentu saja sebagai persyaratan
utama adalah suri teladan, dari para penyelenggara negara
kita sendiri. Para penyelenggara negara tidak boleh
gegabah dalam menggunakan kekerasan, sebab pendekatan
dengan kekerasan akan dengan mudah ditiru oleh
masyarakat yang mereka pimpin.
Sebagai contoh yang tidak baik, terjadi di Pekanbaru
Riau tahun lalu. Wakil Menteri Hukum dan HAM pada
Senin dini hari 3 April 2012 yang lalu, melakukan inspeksi
mendadak (Sidak) ke Lembaga Pemasyarakatan (LP)
Pekanbaru. Pendadakan (surprise) memang merupakan

59
Mustari Mustafa, 2010, Dakwah Sufisme Syekh Yusuf a/-Makasari,Pustaka Refleksi,
Makasar.
114
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

salah satu dari cara untuk menerapkan fungsi kontrol dalam


manajemen publik, untuk mendapatkan objektivitas
menghadapi masalah birokrasi yang kusut. Surprise
memerlukan maksimal kerahasiaan, karenanya faktor yang
diutamakannya adalah kecepatan (Velox).
Rombongan Wakil Menteri tersebut menitik beratkan
velox, dengan menggedor pintu LP di Riau itu di tengah
malam buta. Seorang sipir penjara mengintip melalui
lubang kecil pintu utama, untuk meyakinkan diri apakah
yang datang benar rombongan Wakil Menteri atau
gerombolan bersenjata yang akan melakukan penyergapan
(raid) pembebasan tahanan, yang biasa dilakukan oleh
pasukanpasukan komando gerakan bawah tanah
(clandestine). Karena itu ia memerlukan waktu, untuk
memenuhi ketepatan keyakinannya (exactus).
Benturan peristiwa terjadi, karena masalah waktu.
Rombongan Wamen ingin cepat, sedangkan sipir penjara
ingin tepat. Benturan dalam masalah seperti itu biasa
terjadi, jika kedua belah atau salah satu pihak ingin
memaksakan kehendaknya. Pemaksaan kehendak
dilakukan secara fisik, karena salah satu merasa diri lebih
kuat dari yang lain. Dalam aspek intelijen negara, apa yang
dilakukan oleh Wamen Hukum dan HAM itu, dikenal
sebagai "Operasi Penggalangan". la ingin menggalang tiga
tahanan untuk membongkar transaksi narkotika di LP, yang
terus saja main patpat-gulipat dengan anak buah dalam
jajaran Kementeriannya. Yang terabaikan olehnya adalah
adagium bahwa suatu kerahasiaan boleh saja bocor, asalkan
terlambat. Demikian pula operasi penggalangan tidak harus
dilakukan dengan pendekatan kekerasan, karena justru
lebih efektif dan efisien jika dilakukannya dengan
pendekatan "lunak” atau "cerdas”.

115
FILSAFAT INTELIJEN

Wamen tidak perlu harus melakukan raid di tengah


malam buta, tetapi cukup datang secara tiba-tiba pada jam
berkunjung umum dan menuju administrator LP untuk
minta langsung diantar ketiga orang tahanan yang menjadi
sasarannya. Dengan cara begitu saja para sipir penjara yang
"dicurigainya" pasti terlambat, untuk membocorkan
kerahasiaan dari "sidak" Wamen. Kekuatan fisik apalagi
dengan bersenjata terbuka ala pasukan raiders, tidak pernah
disertakan secara langsung dalam operasi penggalangan
dengan pendekatan "keras" sekalipun.
Pengabaian terhadap berbagai prinsip "operasi
penggalangan", telah mengakibatkan terjadinya peristiwa
konyol yang sempat marak diberitakan berbagai media
massa. Peristiwa konyol tersebut sangat berbahaya, karena
dapat dijadikan isu sentral untuk makin menyudutkan
pemerintah, yang sedang dijadikan bulan-bulanan karena
kenaikan harga BBM. Syukurlah pemberitaan mereda
karena kedua orang sipir yang ditampar ikhlas memaafkan
dan langkah cepat Menkum dan HAM membentuk tim
pencari fakta telah dapat menetralisasi bergulirnya isu,
sehingga peristiwa konyol itu hanya cukup menjadi
pelajaran yang mahal bagi para penyelenggara negara untuk
sadar bahwa kekerasan tidak pernah mampu menuntaskan
masalah apa pun, bahkan cenderung dapat memunculkan
masalah baru.
Ketegasan Wamenkum dan HAM dalam memberantas
narkoba di kalangan lembaga pemasyarakatan tentu saja
harus didukung penuh oleh intelijen negara, namun
peristiwa ini juga dapat menunjukkan bahwa kita sering
kali tidak dapat membedakan antara ketegasan dengan
kekerasan, sebagaimana halnya keberanian yang harus
dibedakan dengan kenekatan.

116
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

Ideologi Keras
Ideologi "keras" berbasis agama sesungguhnya bukan
monopoli Islam, karena agama Shinto di Jepang juga telah
melahirkan suicide pilots yang terbukti dari para pilot
pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara mereka dalam
Perang Dunia II, yang melakukan serangan Kamikaze
berjibaku (bunuh diri). Mereka terbang dan menukik
masuk ke dalam cerobong asap kapal-kapal perang
Amerika Serikat.
Lingkungan aktual merupakan kondisi yang strategis,
untuk melahirkan ideologi keras yang berbasis agama.
Kondisi di arena global saat ini adalah berkembangnya
fundamentalisme dalam keyakinan, yang berhadapan visa-
vis dengan geniusitas otak atau rasio manusia yang
melahirkan demokrasi. Teori politik demokrasi tersebut
nyata telah mampu, untuk menggilas teori-teori politik
lainnya yang menyangkut tatanan kekuasaan yang baik,
sebagaimana pernah ditawarkan oleh berbagai kalangan
filsuf, ahli hukum dan para pakar ilmu politik hingga awal
milenium ketiga Ini. 60
Tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa situasi paradoksal
antara keyakinan dan rasionalitas telah memicu terjadinya
benturan yang pada akhirnya menuai ideologi keras, yang
penuh dengan terorisme. Ketertiban dan kedamaian umat
manusia terancam dan hanya mungkin akan tercapai jikalau
tesis individualisme yang mengusung demokrasi liberal,
dapat terimplementasi secara etis. Sebaliknya, konsep
politik Islam universal dapat terlaksana secara moderat
sesuai dengan fitrahnya. Hanya dengan dialog antara tesis
dan antitesis yang demikian, maka proses dialektika filsafat
universal dapat melahirkan suatu sintesis berupa

60
Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hlm 1.
117
FILSAFAT INTELIJEN

perdamaian dunia, yang berdasarkan persamaan hak


manusia di atas bumi ini. Peradaban —sebagaimana
kebudayaan— harus terbuka, agar selalu valid (berlaku)
pada setiap perubahan, karena tidak ada sesuatu yang abadi
di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri.
Menurut Hegel dalam proses tesis, antitesis, dan sintesis
yang menjadi tesis baru, masing-masing pihak saling
menyangkal atau saling mengoreksi. Tetapi saling
menyangkal itu bukan berarti saling meniadakan.
Dialektika berarti bahwa kebenaran masing-masing posisi
dibersihkan dari segi-segi yang tidak benar. Contohnya,
para teroris mengumandangkan nilai-nilai yang
menyangkal atau antimodernisasi, namun pada
kenyataannya terbukti mereka selalu menggunakan
handphone, komputer, dan Iain-lain sarana teknologi maju
yang merupakan hasil dari modernisasi masyarakat dunia.
Antitesis hidup dari kebenaran tesis yang disangkalnya dan
sintesis mempertahankan kebenaran posisi antitesis yang
ditolaknya. 61
Untuk itu, maka diperlukan perubahan dalam pola pikir
masyarakat dunia, terutama masyarakat bangsa Indonesia,
demi keamanan diri mereka sendiri. Perubahan baik apa
pun tidak akan terwujud, bila tidak dilakukan oleh
masyarakat sendiri. Dalam upaya menghambat
pertumbuhan habitat terorisme, misalnya, langkah yang
cukup mendesak saat ini adalah melakukan penggalangan
yang terencana, bertahap dan berlanjut terhadap aliran
keras ala Wahabi 62 yang sedang berada dalam tahap

61
Franz Magnis-Suseno, 2006, Berebut Jiwa Bangsa, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.
62
Wahabi yang dimaksud di sini adalah aliran kontemporer yang mengaku sebagai
pengikut Muhammad lbnu Abdul Wahab yang menafsirkan ayat-ayat suci secara
mutlak (100 persen) literal dan menumpas tradisionalisme dengan kekerasan.
118
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

pembentukan dan pengembangan (TukBang)-nya di negara


kita.
Latar belakang kelompok kontemporer Wahabi atau
Salafi diawali oleh lahirnya seorang ideolog tauhid yang
bernama Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab pada tahun
1703/1115 H di Uyaynah. Karenanya, entitas ini disebut
juga sebagai pengikut Wahabi. Namun yang berkembang
sekarang ini ajaran-ajaran Muhammad Ibnu Abdul Wahab
telah dipelintir menjadi suatu pemahaman yang ekstrem,
kaku, dan keras. Secara epistemologis hal ini merupakan
hasil dari pemahaman secara literal atau harfiah terhadap
teks-teks suci ayat-ayat Al Quran dan As-Sunnah. Sikap
tersebut menolak rasionalisme, tradisi dan berbagai
khazanah intelektual Islam yang sangat kaya. Literalisme
Wahabi telah membuat teks-teks suci tersebut menjadi
suatu corpus tertutup, sehingga pemahaman terhadapnya
menjadi terlepas dari konteks masa risalah dan masa
pembacaannya.
Dalam perspektif kaum Wahabi yang ini, mengamalkan
Islam harus sesuai dengan arti harfiah, yang berarti
menolak realitas kebudayaan nasional dan lokal kaum
muslimin yang terdiri dari berbagai macam bangsa dengan
masing-masing kebudayaannya di dunia ini (TWI, 2009).
Sikap ekstrem dari kaum Salafi/Wahabi yang ini tecermin
dari dakwah yang mereka lakukan, yang berlebihan dalam
memberikan stigma kafir kepada mereka yang bukan
pengikutnya. Analisis bahwa kaum yang mengaku
Wahabi/Salafi masa kini atau kaum Wahabi kontemporer
tersebut merupakan lingkungan yang akomodatif terhadap
terorisme.
Di Arab Saudi baru terdeteksi eksistensinya, ketika pada
akhir tahun 2003 terjadi pengeboman di Riyadh. Kejadian

119
FILSAFAT INTELIJEN

tersebut baru menyadarkan pemerintah Arab Saudi, untuk


membersihkan lingkungan yang merupakan habitat dari
terorisme itu, dengan meluruskan ajaran agama Islam yang
berkembang di negara Arab Saudi. Abuya Sayyid
Muhammad, seorang ulama dan intelektual besar Islam
menganalisis, bahwa akar penyebab terorisme adalah sikap
ekstrem dalam pemikiran agama, yang muncul dari suatu
entitas radikal yang menisbatkan sendiri diri mereka pada
salafush sholeh (Ulumiddin, 2008) 63. Padahal Muhammad
Ibnu Abdul Wahab sendiri menyangkal, bahwa ia pernah
mengajarkan aliran yang demikian ekstrim, fundamentalis
dan keras64.
Wahabi/Salafi kontemporer merupakan aliran serba
kekerasan yang datang dari mereka yang bukan ahlinya.
Mereka adalah orang-orang yang berfatwa secara
individual tanpa dasar yang terpercaya, yang terlontar
begitu saja tanpa adanya batasan, kaidah-kaidah, bahkan
asal usulnya. Mereka beranggapan bahwa hanya merekalah
yang berada dalam jalan kebenaran, sedangkan orang yang
selain mereka adalah sesat. Orang yang tidak sependapat
dengan mereka dinyatakan sebagai "perusak, dajjal dan ahli
bidah, musyrik dan kafir". Kemudian mereka mengaku
pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, untuk
menjadikannya sebagai pintu atas segala perilaku mereka
dan mengajak umat seraya menakut-nakuti mereka dengan
berlindung di bawah nama besarnya.
Al-Imam Syekh Muhammad bin Abdul Wahab pernah
menulis surat kepada orang-orang Al-Qashim sebagai

63
K.H.
M. Ihya Ulumiddin, 2008, "Pengantad' dalam Al-Hasani, Abuya Prof. Dr. As
Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, 2003: Ekstrem Dalam Pemikiran Agama.
Pengaruhnya Pada Kemunculan Tindakan Teror dan Anarki. Surabaya.
64
A.M. Hendropriyono, 2009, Terorisme dalam Perspektif Filsafat Analitika, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, hlm. 109.
120
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

berikut: "Telah kalian ketahui bahwasanya aku mendengar


Sulaiman bin Suhaim telah mengirim surat kepada kalian.
Bahkan kalangan mereka yang berilmu di daerah kalian
menerima dan membenarkan isi surat itu. Sungguh Allah
SWT mengetahui bahwa Sulaiman bin Suhaim telah
berbohong mengatasnamakan diriku dalam beberapa
perkara yang aku tidak pernah mengucapkannya, bahkan
tidakjuga terlintas dalam hatiku. Di antara suratyang dia
tulis itu dikatakan aku telah mengingkari kitab-kitab empat
madzhab yang ada dan aku berkata bahwa sesungguhnya
manusia selama 600 tahun telah hidup dengan sia-sia dan
aku mengaku sebagai mujtahid, tidak bertaqlid dan aku
berkata bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama
adalah bencana. Bahwa aku telah mengafirkan ulama yang
bertawasul dengan orang yang sholeh. Katanya aku telah
mengafirkan Al-Bushiri karena dia berkata: 'Wahai
makhluk termulia. Bahwa aku berkata juga andai aku
mampu menghancurkan kubah Rasulullah SAW niscaya
akan aku hancurkan, andai aku mampu akan mengambil
talang emas kabah dan menggantinya dengan talang kayu'.
Katanya aku mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah
SAW dan aku mengingkari ziarah kepada orangtuaku, aku
mengafirkan Ibnu Al-Faridl dan Ibnu Al Arobiy. Katanya
aku telah membakar kitab 'Dalailul Khoirot' dan kitab
'Roudur Royyadin' dan menamainya Roudus Syaithan'.
Aku jawab semua masalah ini seraya mengatakan:
"Mahasuci Engkau ya Allah, ini merupakan kedustaan yang
besar dan sebelumnya sudah ada orang yang mendustakan
Nabi Muhammad SAW, juga ada yang menghina Isa bin
Maryam dan orang-orang yang soleh sehingga hati mereka
menjadi serupa dalam kedustaan'.
Ada lagi surat dari Syekh Muhammad bin Adul Wahab
yang dikirimkan kepada As-Suwaidi, seorang ulama di
121
FILSAFAT INTELIJEN

Iraq. Surat tersebut berbunyi: "Sungguh menebarkan


kebohongan merupakan hal yang memalukan bagi orang
yang berakal. Adapun yang anda katakan bahwa aku
mengafirkan semua orang yang bukan pengikutku adalah
sangat mengherankan. Bagaimana hal seperti ini dapat
terpikirkan oleh orang yang berakal? Apakah pantas
seorang muslim berkata demikian? Anda juga mengatakan
bahwa aku berkata akan menghancurkan kubah Nabi SAW,
melarang orang bersalawat ke sana dan menghancurkan
kitab Dalailul Khoirot. Semua itü duşta belaka dan seorang
muslim tidak akan berkeyakinan adanya hal yang lebih
mulia daripada kitab Allah (Al-Quran)”. (Hasani,
2003:48).65Pemerintah Arab Saudi menilai, bahwa di antara
performa-performa (mazhoohir) tindakan ghuluw
(ekstrem) adalah serangan sadis terhadap ulama İslam yang
berhaluan Asyariah, Maturidiyyah, Syiah, ibadhiyyah, dan
Shuufiyyah dengan tuduhan kafir, syirik atau sesat. Hasani
mendukung rencana langkah pemerintahnya untuk
memberi peringatan keras kepada kaum ekstremis
fundamental tersebut, agar tidak lagi mengafirkan
kelompok lain. Hal yang mereka waspadai adalah dampak
dari pengkafiran ini, yaitu munculnya aksi teror (irhaab)
dan perusakan (ifsaad) di seantero bumi ini.
Aksi -aksi perusakan yang telah dilakukan oleh
kekuatan anarkis, sampai membakar buku-buku ilmiah.
Mengaku berjihad demi İslam, tetapi membakar kitab-kitab
dan ensiklopedi penting adalah perbuatan jahat yang bodoh.
Kitab penting yang mereka bakar di antaranya adalah
Fathul Baari Syarah Shohih Bukhori milik Al-Hafizh ibnu
65
Hasani, Al, Abuya Assayid Muhammad bin Alawi AI Malikiy, 2003, Ekstrim Dalam
Pemikiran Agama. Pengaruhnya pada Kemunculan Tindakan Teror dan Anarki,
Terjemahan KH M İhya' Ulumiddin, 2008. Judul asli: Al-ghuluw wa Atsaruhu fil
Irhab wa İfsad AIMujtama', Editor HM Junaedi Sahal, Sag dan M. İlyas Spd,
Penerbit Jama'ah Da'wah Al Haromain, Surabaya.
122
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

Hajar, hanya karena alasan bahwa penulis berhaluan


Asyariyah. Dalam menafsirkan hadis-hadis tentang sifat-
sifat-Nya yang terdapat dalam Shohih Bukhori, kaum
ekstremis seolah-olah ahli pembuat kunci. Kemudian ia
memberikan kunci tersebut kepada para teroris, untuk
membuka pintu dan maşuk ke ruang kejahatan terorisme.
Namun tadi ketika pintu terorisme baru terbuka, mereka
dengan cepat berpaling dan mencuci tangan.
Mereka telah mengajarkan ekstremisme, dengan
mengkafir-kafirkan orang lain, sehingga membakar
semangat permusuhan. Ketika rasa kebencian menggelora
di hati para pemuda dan dengan tegap melangkah masuk ke
perangkap terorisme, kaum aliran keras yang mengaku
sebagai salafi/ wahabi tidak mau mengakui bahwa
masyarakatnya itu yang kerap melaknat dengan
mengkafirkan orang lain, merupakan penyebab suburnya
tindak kejahatan terorisme. Syekh Ibnu Taimiyah berkata:
"Barang siapa melaknat orangyang tidak layak untuk
dilaknat, maka laknat itu akan menimpa diri mereka
sendiri".
Secara normatif, teks-teks agama apa pun bersifat
ambivalen, karena bisa menebar kedamaian karena pesan-
pesan suci perdamaiannya. Namun, ia juga bisa rentan
memicu konflik dan kekerasan karena pesan-pesan
tekstualitasnya mengandung kekerasan. Dalam konteks
Islam beberapa teks yang memicu dan melahirkan perilaku
kekerasan pada kelompok gerakan radikal, antara lain pada
teks tentang "jihad" yang kemudian disistemisasi sebagai
ideologi "perang' sehingga sarat dengan kekerasan. Namun,
bagi gerakan radikal, jihad dilakukan atas dasar keyakinan
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan

123
FILSAFAT INTELIJEN

dapat diuji otentisitas sumber hukumnya. 66 Dengan


demikian, epistemologi Jihad sangat tergantung kepada
nilai praksis, yang terkandung dalam praktik di lapangan.
Intelijen negara Arab Saudi sangat beruntung karena
mempunyai pedoman kebijakan yang jelas dari para
penggunanya, dalam menghadapi paham radikalisme atau
ekstrem para fundamentalis ini. Langkah nyata pemerintah
Arab Saudi adalah melakukan evaluasi dan koreksi
terhadap sebagian kurikulum di SD, SMP, dan SMA,
khususnya yang mengenai materi tauhid. Koreksi yang
dilakukan bersifat besar-besaran, karena ternyata banyak
sekali materi yang memuat pengafiran, tuduhan syirik, dan
sesat terhadap berbagai kelompok Islam lain yang ada di
negara itu.
Upaya pemerintah Arab Saudi untuk melibatkan ulama
dalam penanggulangan masalah terorisme dilakukan, agar
jangan sampai perang melawan terorisme diseret menjadi
perang melawan Islam dan mengadu-domba antarumat
Islam.20
Ancaman (tahdiid) nasional saat ini adalah kondisi
instabilitas yang menyuburkan sifat ghuluw (ekstrem) dan
tathorruf (berlebihan) di kalangan masyarakat kita. Konsep
kaum muslimin Indonesia yang membangun toleransi
dalam ukhuwah wathoniyyah, basyariyyah dan islamiyyah,
mengandung nilai praksis dari Pancasila. Bom bunuh diri
hanya diperbolehkan dalam keadaan dhorurat (terdesak) di
saat perang. Misalnya, seorang pejuang yang tertangkap
musuh dan terancam dibunuh secara menyakitkan, ia boleh
melakukan bom bunuh diri, sehingga mati bersama musuh
yang mau menangkapnya. 21 Bukan ditafsirkan di masa

66
Agus Purnomo, SAg, 2009, Ideologi Kekerasan. Argumentasi Teologis-Sosial
Radikalisme Islam, Pustaka Pelajar Yogyakarta, hlm 10.
124
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

damai ini ia tiba-tiba lari membawa bom, kemudian bunuh


diri dengan meledakkannya dalam kerumuman kaum
muslimin yang sedang shalat Jumat, seperti yang terjadi di
sebuah masjid di Cirebon atau orang-orang di pasar yang
tidak tahu apa-apa. Itu adalah perbuatan kaum hedonis yang
secara sesat memimpikan sorga, untuk kenikmatan dirinya
sendiri. Itulah namanya egois, bukan

20 Adian Hussaini, 2005. "Simpang Siur Radikalisme", dalam harian Republika, edisi
Kamis I Desember, Jakarta.
21 Hasil Munas NU tahun 2006 di Surabaya.
individualisme sebagaimana yang dimaksudkan dalam
demokrasi yang beretika.
Egoisme tentu saja sangat bertentangan dengan
Pancasila. Kebebasan berbicara sebagai hak asasi manusia
telah dimanfaatkan oleh para oportunis ini, untuk
memancing di air keruh. Ketika intelijen negara Republik
Indonesia mengajukan saran dalam sidang kabinet, untuk
meninjau kurikulum agama di sekolah-sekolah termasuk di
pesantren-pesantren dan pesantren-pesantren kilat, reaksi
dari kelompok masyarakat fundamentalis begitu keras
menolak. Penolakan itu bahkan datang dari kalangan para
pemimpin rakyat di jajaran eksekutif sendiri.
Sebaliknya, yang diakomodasi sebagai narasumber, dan
bahkan cenderung dibiarkan di era demokrasi liberal ini
adalah bermunculannya orang, yang diberi predikat sebagai
pakar, pengkaji, atau pengamat yang tidak jelas latar
belakangnya. Sampai sekarang tidak ada kriteria yang jelas
dan baku dari masyarakat media massa nasional, untuk para
narasumber tersebut. Padahal mereka kerap kali
ditampilkan untuk menyajikan analisis keadaan kepada
publik kita, yang kua-edukasinya terbilang masih jauh dari
memadai. Hanya dari kalangan media massa yang

125
FILSAFAT INTELIJEN

bonafide67 dan berwawasan netral saja, yang menggunakan


para pakar dan lain-lain yang tepercaya (credible).
Penggunaan sumber yang tidak credible pada akhirnya
hanya menjatuhkan kepercayaan publik terhadap media
massa yang bersangkutan.
Namun yang lebih berbahaya adalah opini publik yang
tersesat, dapat menghancurkan kehidupan bangsa kita
sendiri. Kesesatan opini publik biasanya diawali dengan
kesesatan informasi, yang masuk kepada mereka.
Kesesatan informasi yang dibawa oleh media massa secara
tidak selektif, juga banyak sekali terjadi akibat kepiawaian
iklan yang ditebarkan kepada rakyat yang serba awam.
Iklan yang sangat menarik dapat membuai masyarakat,
sehingga menempatkan orang yang berperangai paling
buruk pada ranking yang paling atas, dalam kampanye
pemilihan para calon Presiden Republik Indonesia. Untuk
dapat memaparkan karakter sebenarnya dari seorang calon
pemimpin bangsa, diperlukan kerja sama yang erat antara
partai-partai politik dengan media massa di bawah
koordinasi intelijen negara.
Pada tahun 1991 di era yang serba totaliter, penulis
sebagai Direktur A dan D Bais ABR1 68 memprakarsai
lahirnya forum "Editors Club" yang terdiri dari antara lain,
para tokoh media massa seperti Karni Ilyas, Susanto
Pudjomartono, Parni Hadi, Agus Parengkuan, Atmadji
Sumarkidjo, Daud Sinyal, Sudarsono, dan Amran Nasution.
Kerja sama antara intelijen dengan media massa merupakan
cara terbaik, untuk menerapkan fungsi penggalangan
terhadap rakyat dengan pendekatan cerdas. Tokoh-tokoh

67
Bona fide [bouna 'faidi], bahasa Latin, artinyadapat dipercayai sepenuhnya.
68
Direktur A adalah urusan Intelijen Dalam Negeri dan Direktur D adalah urusan
pengamanan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia serta VVIP (terdiri
dari para anggota Kabinet dan para Ketua Lembaga Tinggi Negara RI).
126
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

nasionalis dari kalangan media massa tersebut akhirnya


merupakan para dinamisator reformasi nasional terkemuka.
Untuk itu Karni Ilyas mendapat anugerah "Bintang
Mahaputera Utama Indonesia" di era pemerintahan kabinet
reformasi 69 , Susanto Pudjomartono dilantik sebagai Duta
Besar Republik Indonesia di Selandia Baru pada era kabinet
Gotong Royong dan Parni Hadi menjadi Direktur Utama
Kantor Berita Nasional "Antara".
Fungsi intelijen perlu lebih banyak ditampilkan di
media massa, sebagai sarana pendidikan intelijen kepada
masyarakat awam. Hal ini tentu bertentangan dengan
pendapat para pengemban fungsi intelijen di masa
otoritarian, yang menganggap semua hal tanpa kecuali
merupakan rahasia yang tertutup bagi informasi publik.
Akibat sindrom sosial inteligence phoby dan "buta
intelijen", maka sekarang ini bermunculan dengan bebas
pengamatpengamat yang sekonyong-konyong mengaku
juru bicara DI/NII. Dengan mendadak pula kemudian
mereka dijadikan narasumber utama dalam mengulas
berbagai peristiwa nasional yang terjadi, dalam kaitannya
dengan terorisme dan NII. Padahal orang tersebut tidak ada
kaitannya sama sekali dengan DI/NII dan hanya mengaku
diri di depan publik untuk mendapatkan identitas semata-
mata.
Di negara demokrasi di mana rakyatnya sudah dalam
taraf pendidikan yang memadai, ulasan picik dari
pakarpakar atau para pengamat seperti itu tentu saja hanya

69
Karni Ilyas pernah akan penulis ajukan kepada calon Presiden Megawati
Soekarnoputeri sebagai calon Jaksa Agung, namun ia menolak dengan alasan belum
siap untuk masuk ke birokrasi pemerintahan dan masih ingin berjuang di bidang
media massa. Demikian pula Yusuf Kartanegara tidak bersedia, karena alasan baru
saja kembali ke jajaran TNI dari jabatan Jaksa Agung Muda (JAM) bidang
Intelijen. Akhirnya Megawati Soekarnoputeri menunjuk Rahman sebagai Jaksa
Agung RI. Perlu juga dicatat bahwa Jaksa Agung di Kabinet Persatuan saat ini Basri
Arief adalah mantan JAM Intelijen.
127
FILSAFAT INTELIJEN

merupakan komedi yang tidak berpengaruh apa pun bagi


opini publik. Namun, bagi rakyat Indonesia yang taraf
pendidikan sosialnya masih jauh dari memadai dan secara
kultural bersifat paternalistik, suguhan seperti itu
cenderung menyesatkan. Rakyat menjadi bingung misalnya
tentang masalah NII.
Sebagai contoh aktual, sejumlah "mantan" anggota NII
dan beberapa orangtua masyarakat remaja Indonesia pernah
menuduh Syekh Pandji Gumilang —Ketua Komando
Wilayah (KW) IX NII di Indramayu— menipu dengan
melakukan pencucian otak (brainwashing) anakanak
remaja. Riuh rendah perang opini merebak bahwa
bangunan pesantren Al-Zaitun merupakan suatu Islamic
Village yang beraliran NII atau dalam istilah yang ngetrend
N-11. Beberapa orang yang sebelumnya tidak pernah
mengumumkan diri kepada publik, bahwa mereka adalah
anggota NII, tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai mantan
menteri NII.
Dalam perspektif intelijen, seorang mantan teroris
seperti Nasir Abbas misalnya, memang telah diketahui
sebagai anggota Jemaah Islamiyah 01), namun kemudian ia
berbalik ikut melakukan operasi penumpasan terhadap JI
bersama-sama dengan Densus 88 Polri70. Oleh karena itu,
Nasir Abbas layak diberi label sebagai seorang "mantan
teroris".
Tapi, oknum-oknum yang sebelumnya tidak pernah
mengaku sebagai anggota apalagi menteri NII, tibatiba
sekarang mengaku sebagai mantan menteri NII dan tidak

70
Dengan memanfaatkan para mantan teroris, Ketua Satgas Bom Polri Brigjen (Pol.)
Suryadharma dan Kepala Densus 88 Bekto Sudarto, yang dikoordinasi oleh Irjen
(Pol.) Gories Mere (sekarang Komjen Pol) berhasil dengan gemilang membongkar
jaringan teroris dan juga berhasil mencegah/menggagalkan beberapa kali teror bom
terjadi di Indonesia.
128
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

pernah kita ketahui telah berbalik melawan NII. Analisis


intelijen: la tetap adalah seorang menteri NII.
Pengakuannya secara sepihak itu hanyalah untuk
mendapatkan identitas diri di hadapan publik, sehingga
langkah-langkahnya memperoleh bobot yang credible.
Dari perspektif intelijen, masalah NII atau N11 [N
sebelas] yang sedemikian hiruk-pikuk itu dapat
dikategorikan sebagai berikut:
Ideologi NII tidak boleh eksis di negara demokrasi Pancasila.
Sebab, ideologi teokratis itu (sebagaimana halnya dengan
komunisme), tidak termasuk ke dalam alternatif paham untuk
melakukan pendekatan kepada Pancasila sebagai ideologi
terbuka. Artinya, pendekatan terhadap Pancasila hanya
dimungkinkan oleh pendekatan kolektivisme atau pendekatan
individualisme. Tidak ada tempat bagi pendekatan teokratisme
atau negara-agama di negara Pancasila. Siapa pun yang mengaku
warga NII tidak ada tempat baginya di negara Pancasila. NII
selalu memicu perdebatan klasik menyangkut hubungan antara
negara dengan agama. Beragam isu keagamaan umumnya selalu
berpulang pada soal klasik itu. Pencerahan Nurcholish Madjid
dengan gagasan desakralisasi dan Gus Dur dengan gagasan
pribumisasi Islam yang mempesona itu, justru kini tenggelam di
mata publik oleh perdebatan yang tidak perlu tentang Islam
versus negara.71

Kasus Al-Zaitun yang dituduh menipu, karena telah


menggunakan nama NII untuk mencuci otak, sehingga
banyak remaja yang tertarik dan kemudian
menyumbangkan uang kepada Al-Zaitun. Kesalahan yang
dituduhkan oleh para "pembesar" NII (yang kini mengaku
mantan) terhadap Pandji Gumilang dalam membangun
AlZaitun di Indramayu, karena yang diperbuatnya itu
bukan untuk kepentingan DI/NII, melainkan untuk
71
As'ad Said Ali, 2009, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa , LP3ES
Indonesia, Jakarta, hlm.153.
129
FILSAFAT INTELIJEN

keperluannya sendiri. Dari hasil pengamatan intelijen sejak


era Presiden Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati
Soekarnoputeri, tidak ditemukan gejala penyimpangan
dalam ajaran agama Islam, demikian pula penyimpangan
yang baik dalam aspek ideologi Pancasila maupun sistem
pendidikan nasional. Jika para "mantan" NII merasa tertipu
oleh Al-Zaitun, karena Al-Zaitun telah menggunakan nama
NII untuk memeras, mereka dapat melaporkannya kepada
polisi NII atau Intelijen NII, bukan kepada Polri atau BIN.
Intelijen kita tidak bisa melayani Warga Negara Asing
(NII) yang hidup di Indonesia tapi memusuhi Pancasila
sebagai filsafat negara bangsa kita. Ringkasnya, Pandji
Gumilang telah menghianati NII, bukan menghianati
Republik Indonesia. Bagi intelijen dalam konteks ini: Our
enemy's enemy is our friend (musuhnya musuh adalah
kawan kita). Namun demikian, tidak sedikit masyarakat
Indonesia yang merasa telah ditipu oleh Pandji Gumilang,
karena anak-anak remaja mereka mencuri barang-barang di
rumah untuk disumbangkan kepada Al-Zaitun. Dalam
kasus penipuan terhadap para orangtua tersebut, barulah
mereka (para orangtua ini) layak melaporkannya kepada
kepolisian kita dan Polri wajib mengusutnya sampai tuntas.
Tuduhan sementara orang bahwa kelakuan Pandji
Gumilang atau Al-Zaitun merupakan buah rekayasa
intelijen, adalah tuduhan palsu yang bertujuan untuk
melindungi para penuduh dari keterlibatan mereka sendiri
di dalam NII. Nama NII dan kredibilitasnya di publik
menjadi hancur, karena ulah Pandji Gumilang. Intelijen
negara Republik Indonesia tidak pernah menjadikan Al-
Zaitun sebagai substansi dalam setiap serah-terima jabatan
Kepala Intelijen Negara. Artinya, Al-Zaitun bukan hasil
karya intelijen yang harus diinventarisasi oleh
pemerintahan negara dari kabinet ke kabinet. Tuduhan-
130
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

tuduhan palsu bernada fitnah yang sempat membuai pikiran


sebagian elite bangsa kita itu menunjukkan, betapa besar
pengaruh ketakutan terhadap intelijen (intelligence phoby)
telah melekat dalam masyarakat Indonesia.
Masalah NII muncul kembali karena absennya kegiatan
teritorial TNI yang biasa hadir di masjid-masjid dan
forumforum pengajian. Intelijen tidak mungkin
mengambil-alih tugas teritorial, karena ia tidak
berkompeten untuk selalu hadir secara terbuka, melebur ke
dalam massa sambil mengawasi para khatib dan para dai
atau para pendeta di forum-forum keagamaan yang
menyimpang. Forumforum sosial dan keagamaan tersebut
merupakan sasaran strategis pembinaan dan penggalangan
kita, karena sangat efektif bagi musuh dalam menebarkan
rasa kebencian, di samping forum-forum lainnya seperti
organisasiorganisasi massa mereka dan semacamnya.
Dengan kedok (camouflage) organisasi sosial atau
keagamaan, mereka jadi lebih aman dari kecurigaan kita.
Permasalahan lainnya bagi intelijen sekarang ini adalah
bermunculannya suara-suara nyaring yang dimotori oleh
LSM-LSM tertentu, untuk membubarkan aparat teritorial
(Kodam, Kodim, dan Koramil). Padahal, kegiatankegiatan
teritorial untuk melakukan upaya deradikalisasi terhadap
kelompok masyarakat fundamentalis tidak dapat
dilimpahkan kepada aparat negara mana pun juga.
Deradikalisasi sebagaimana telah dijelaskan merupakan
usaha, pekerjaan, dan kegiatan untuk menetralkan
masyarakat radikal sebagai habitat bagi tumbuh dan
berkembangnya akar terorisme.
Radikalisme suatu kelompok masyarakat nampak dari
berbagai kejadian, yang antara lain pada hari Minggu, 6
Februari 2011, kelompok minoritas dari umat beragama
131
FILSAFAT INTELIJEN

yang berakidah Ahmadiyah, telah diserbu oleh kekuatan


fisik massa dari suatu kelompok umat mayoritas yang
berbeda. Kedua kelompok tersebut sama-sama mengaku
sebagai umat Islam dan sama-sama mengaku bagian dari
bangsa Indonesia. Mereka adalah para ahli waris dari nenek
moyang yang di masa lalu mungkin juga sama-sama
berjuang dan bahu-membahu dalam mendirikan bangsa ini.
Penyerbuan tersebut terjadi di Desa Umbulan
Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang. Tiga orang
tewas dan lima orang luka-luka. Dua kendaraan roda empat
dan dua unit sepeda motor, serta sebuah rumah telah
terbakar hangus. Peristiwa tersebut direkam dałam video
dan tersebar melalui youtube, sehingga dapat disaksikan
oleh masyarakat di seluruh dunia sebagai tontonan yang
mengerikan, tentang penyiksaan manusia terhadap manusia
lain di dałam masyarakat yang beradab. Mereka sama-sama
memastikan bahwa keyakinan yang mereka anut adalah
yang paling benar.
Bagi para penonton yang bukan termasuk kelompok
tersebut, tontonan iłu diberi predikat sebagai perbuatan
"super brutal” yang sulit dipercaya bisa terjadi di kalangan
umał beragama. Kejadian seperti iłu mungkin terbiarkan,
sehingga terjadi dan terjadi lagi hal yang sama terus -
menerus. Aparat keamanan negara tidak dapat berbuat apa-
apa, dengan alasan massa yang mengamuk terlalu banyak.
Kalau begitu berarti pemerintah tidak mampu melindungi
rakyat, dan cepat atau lambat rakyat dapat berpaling kepada
preman untuk meminta perlindungan atau mereka yang
senasib akan berkumpul dan menyusun kekuatan, persis
seperti sejarah lahirnya Tanzim-Tanzim Mujahidin atau
War Lords (Para penguasa Perang Swasta Sipil) di
Afganistan, sebelum Taliban menyerbu dan mendepak

132
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

rezim pemerintahan negara Islam yang semula dipimpin


Mujaddidiy dan kemudian Burhanuddin Robbani27.
Penetapan Majelis Ułama Indonesia (MUI) dan
Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem)
Kejaksaan Agung yang menyatakan Ahmadiyah sebagai
aliran sesat, telah membingungkan orang yang selama ini
merasa hidup tenang tinggal bersama dałam masyarakat
Pancasila. Filsafat intelijen tidak membenarkan terjadinya

27 Nasir Abas, 2006, Membongkar Jama'ah Islamiyah. PT Grafindo Khasanah limu,


Jakarta, him. 72- 74.
pelanggaran terhadap nilai-nilai, yang dijunjung di dalam
Pancasila dengan lahirnya penetapan tersebut. Akibatnya,
opini umum bergulir bahwa pembiaran oleh pemerintah
merupakan sebab, sehingga menimbulkan bencana
terhadap kaum minoritas Ahmadiyah pada tanggal 20 April
2012 di Tasikmalaya. Fungsi deteksi dini oleh intelijen
yang telah dimulai sejak keluarnya penetapan MUI yang
nonpemerintah dan Pakem Kejagung yang aparat
pemerintah, telah diikuti dengan kegagalan dalam "cegah
dini" oleh pemerintahan negara Republik Indonesia, yang
mengaku masih berfalsafah Pancasila ini.
Pada 8 Februari 2011 terjadi lagi kerusuhan bernuansa
SARA di Temanggung, Jawa Tengah. Sekelompok massa
tidak puas terhadap vonis lima tahun terhadap Antonius
Richmond Bawengan, terdakwa penistaan agama di
Pengadilan Negeri Temanggung. Sekelompok orang yang
hadir dalam persidangan mengamuk karena menilai vonis
tersebut terlalu ringan. Sesaat setelah jaksa penuntut umum
mengajukan hukuman lima tahun penjara terhadap
terdakwa, sekonyong-konyong kelompok tersebut menjadi
kekuatan massa yang dengan beringas menyerbu terdakwa
dan meja sidang pengadilan.
133
FILSAFAT INTELIJEN

Intelijen seharusnya dengan mudah dapat meramalkan


akan terjadinya keributan, jika mereka membuat analisis
keadaan secara terus-menerus terhadap potensi ancaman
dari sidang ke sidang yang diselenggarakan selama ini. Di
Temanggung intelijen Polri sibuk dengan berbagai macam
masalah sosial kriminal, namun ada intelijen teritorial TNI
yang menganggur dan tidak dimanfaatkan. Selain itu, ada
pula barisan RT dan RW serta jajaran kelurahan lainnya
yang tidak terorganisasi, tapi sejatinya dapat difungsikan
sebagai agen intelijen non-organik untuk keselamatan
rakyat.
Dalam kebekuan kekuatan-kekuatan tersebut, massa
dari luar gedung sidang mengamuk dan secara liar
memecahkan kaca-kaca jendela kemudian membakar
kendaraan di sekitar gedung pengadilan. Sidang kasus
Antonius tersebut terlepas dari kemungkinan terdakwa
adalah seorang psikopat, orang gila, paranoid atau orang
yang tidak percaya kepada "kebenaran” agama lain, selalu
menarik kehadiran pengunjung dalam bentuk
kesatuankesatuan organisasi massa (Ormas) dan oleh
karenanya sudah nyata sering kali menimbulkan kericuhan.
Sistem keamanan sidang yang seharusnya terjamin
dengan penjagaan ketat dari aparat keamanan, telah dengan
bebas diruntuhkan oleh para pengunjung tetap persidangan
sejak November 2010. Hakim dan jaksa yang menangani
perkara tersebut akhirnya harus lari tungganglanggang
dengan penuh ketakutan dari ruang sidang. Para hakim
dicekam ketakutan, karena ancaman dirasakan akan
membayangi mereka sampai ke rumah tinggal
masingmasing. Dalam sidang pengadilan yang mulia dan
terbuka di hadapan publik, mereka seharusnya
mendapatkan perlindungan keamanan. Tapi ternyata
mereka merasa terancam, apalagi pada saat mereka berada
134
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

di rumah, bercengkerama dengan keluarga, yang jauh


terlepas dari perhatian aparat keamanan.
Massa yang mengamuk kemudian merusak tiga gereja,
antara lain membakar Gereja Bethel Indonesia. Di halaman
gereja tersebut, sebuah sekolah juga dibakar, termasuk
enam unit sepeda motor. Demikian pula gereja Pantekosta
dihanguskan, sementara bagian depan gereja Katolik Santo
Petrus dan Paulus mengalami kerusakan, karena dilempari
massa dengan batu. Toko-toko yang menjual berbagai
barang kebutuhan hidup di pusat kota tutup. Para pedagang
kaki lima bubar. Lalü lintas menjadi kacau balau, dan
diikuti oleh rasa takut manusia yang mencekam di negara
berdaulat Republik Indonesia.
Kedua konflik sosial seperti itü pada awal kemerdekaan
dulu sangat jarang terjadi, karena kesatuan hati setiap
individü yang bertekad membangun negara Pancasila.
Untuk mengawal tekad kita, maka ditegakkan disiplin
sosial, yang dibina oleh pemerintahan negara berdaulat
yang berdasarkan atas hukum. Namun ternyata, setelah kita
memilih untuk mendekati Pancasila dari individualisme
liberal, pemerintahan Presidensial silih berganti yang diberi
mandat telah larut dalam kepentingan individunya sendiri,
daripada kepentingan rakyat sebagai makhluk komunal
maupun individu. Hal tersebut disebabkan liberalisme
memberikannya kebebasan untuk memilih, darimana ia
akan mendekati Pancasila.
M emang kita telah sepakat untuk menetapkan
Pancasila, sebagai suatu ideologi terbuka. Namun,
keterbukaan itü harus dikawal dengan penegakan disiplin
sosial yang tinggi oleh pemerintahan yang berdaulat, yang
mempunyai legalitas moral selain legalitas hukum. Di

135
FILSAFAT INTELIJEN

sanalah letak fungsi intelijen pengamanan, yang tidak boleh


diartikan sebagai alat kekuasaan semata-mata.
Konflik masa kini bukan hanya bernuansa antaragama,
tetapi juga antarsekte di dalam agama. Pada 15 Februari
2011 massa beringas yang menyatakan diri sebagai Ahlus
Sunnah Wal Jama'ah (Aswaja), menyerang pesantren Al-
Ma'had Al-lslami milik Yayasan Pondok Pesantren Islam
(Yapi) di deşa Kenep, Kecamatan Beji, Kabupaten
Pasuruan. Alasannya, karena pesantren tersebut beraliran
Syi'ah. Aswaja merasa superior sehingga tidak memberi
kesempatan yang inferior untuk hidup. Tingkah-laku
kelompok radikal ini seolah ingin meniru praktik para
pengikut Wahabi di zaman kepemimpinan Muhammad bin
Abdul Wahab pada abad ke-18. Walaupun di hari tuanya
Muhammad bin Abdul Wahab menyatakan bahwa ia tidak
pernah mengajarkan kekerasan yang membabi buta, tapi
kaum fundamentalis yang mengaku sebagai pengikutnya
telah mengekspor paham ekstrimitas itu ke seluruh dunia.
Di Indonesia, ulah mereka kerap mengakibatkan jatuhnya
korban manusia awam yang innocent (tak bersalah).
Dalam menghadapi musuh masyarakat, yaitu mereka
yang digerakkan oleh organisasi yang terkadang berkedok
agama, yang seharusnya moralis, pemerintahan negara
adakalanya memilih jalan pintas dengan membubarkan
oganisasi massa (Ormas) bersangkutan. Padahal,
pembubaran atau pelarangan orang untuk berorganisasi
atau berserikat merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Dalam menghadapi masalah seperti ini
pemerintah dapat menggunakan intelijen untuk melakukan
penggembosan.
Metode yang dipakai intelijen dalam hal ini disebut
penetrasi, yaitu perembesan dari dalam organisasi menuju
136
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

ke luar. Artinya, intelijen menarik kader-kader musuh


(sasaran) yang kita pilih untuk ke luar dari organisasinya.
Setelah dilakukan brainwashing atau mungkin counter
brainwashing, mereka dilepas dan dimasukkan kembali ke
dalam organisasinya semula, namun pada saat itu mereka
telah bekerja untuk intelijen. Dengan pendekatan yang
cerdas tersebut pemerintahan negara dapat mengendalikan
kebrutalan tingkah-laku dari organisasi fundamentalis
tersebut, untuk kemudian menggemboskannya.
Praktik intelijen yang demikian itu dapat dilakukan
dengan dua cara. Pertama, melakukan penggalangan
berpendekatan lunak kepada organisasi yang bersangkutan.
Namun bila pendekatan itu gagal, dapat digunakan strategi
yang kedua, yaitu penetrasi "keras dan senyap" yang
berbahaya, yang secara hukum dapat dituduh sebagai
tindak pidana penculikan. Namun sejatinya hal itu berbeda,
karena "penculikan" intelijen —walaupun dilakukan secara
senyap— tetap harus terbuka kepada keluarga
bersangkutan dan intelijen harus bertanggung jawab penuh
terhadap "ketepatan" sasaran, keselamatan, dan
keamanannya, baik fisik maupun psikis.
Dengan segala kerendahan hati intelijen harus mampu
meyakinkan keluarga yang bersangkutan, bahwa suaminya
yang berada di tangan intelijen akan segera dibebaskan dan
bekerja untuk intelijen negara. Jika pihak keluarga akan
membocorkan rahasia itu, maka besar kemungkinan yang
bersangkutan tersebut kelak dibunuh oleh kawan-kawan
seorganisasinya sendiri, karena dicurigai atau dituduh
berkhianat. Setelah orang tersebut dan keluarganya
dirasakan cukup kooperatif, yang biasanya memakan waktu
paling lama empat hari, ia harus segera dibebaskan untuk
kembali masuk dan bergaul seperti biasa di dalam
organisasinya semula.
137
FILSAFAT INTELIJEN

Penggalangan dengan pendekatan seperti ini tentu saja


tidak dibenarkan secara hukum, selama Undang-Undang
Intelijen masih berada di bawah sistem peradilan kriminal.
Di Sini intelijen harus memilih sebagai intelijen yang baik/
buruk ataukah yang benar/salah, karena moral mengatur
baik/buruk sedangkan hukum mengatur benar/salah. Etika
di dalam negara demokrasi merupakan landasan moral,
bukan hukum. Karena itu yang diperlukan bagi negara
Pancasila adalah keadilan sosial, bagi seluruh rakyat
Indonesia. Tidak ada kata "Hukum" dalam sila-sila
Pancasila, namun terdapat kata "Keadilan" untuk menjadi
pedoman bagi tegaknya hukum.
Demokrasi memang merupakan teori terbaik untuk
memenuhi keinginan orang mendapatkan hak asasinya,
dalam rangka mencapai kesejahteraan. Namun, tetap
tergantung kepada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
lingkungan dari masyarakat yang bersangkutan. Dalam
lingkungan masyarakat yang terdiri dari orang-orang
sederhana yang kurang berpendidikan, kesejahteraan tidak
mungkin dapat dicapai hanya melalui demokratisasi negara,
sebagaimana halnya nilai-nilai yang dijunjung oleh
orangorang di dunia Barat. Kemakmuran menuju
kesejahteraan bangsa-bangsa di negara berkembang justru
dapat dicapai lebih cepat melalui kepiawaian pemimpin
yang karismatik. Contohnya Singapura, negara tanpa
potensi sumber daya alam yang telah berhasil membangun
lebih cepat daripada negara-negara berkembang lain yang
lebih demokratis. Bahkan, bangsa Singapura mengaku telah
berubah dari "Bangsa Dunia Ketiga", menjadi "Bangsa

138
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

Dunia Pertama", sebagaimana dinyatakan oleh Lee Kuan


Yew72 :
With few exceptions, democracy has not brought good
government to new developing countries... What Asians value
may not necessarily be what Americans or Europeans value.
Westerners value the freedoms and liberties of the individual...
As an Asian of Chinese cultural background, my values are for a
govemment which is honest, effective and efficient..." (...Dengan
beberapa pengecualian, demokrasi tidak pernah membawa
pemerintahan yang baik bagi negara-negara berkembang. Apa
yang merupakan nilai-nilai bagi orangorang Asia tidak selalu
harus sama dengan nilai-nilai yang dimiliki Oleh orang-orang
Amerika atau Eropa. Kemerdekaan bagi orang-orang Barat
adalah kebebasan manusia sebagai individu. Sebagai orang Asia
dengan Iatar belakang budaya Cina, nilai-nilai saya adalah
pemerintahan yang jujur, efektif, dan efisien...).

Setelah manusia mencapai tingkat kemakmuran yang


memadai, barulah sistem demokrasi dapat mempercepat
pencapaian kesejahteraan. Kemakmuran lebih bersifat
materi individual yang kompetitif, sedangkan kesejahteraan
bersifat lahir dan batin secara komunal yang berkeadilan.
Dalam perjalanan menuju batas aman berdemokrasi, setiap
bangsa dibayang-bayangi oleh ancaman instabilitas politik.
Ancaman yang dihadapi Indonesia adalah krisis
kepercayaan, karena masyarakat tidak cukup sabar
menantikan tercapainya kesejahteraan sosial.
Dalam hal masyarakat tidak sabar yang cenderung
anarkis, maka peran intelijen jadi mengemuka, karena
situasi yang rentan demikian merupakan peluang emas bagi
para demagog 73 dan provokator, untuk menghasut

72
Lee Kuan Yew, 1992. Dalam pidato berjudul "Democracy, Human Rights and the
Realities" di Tokyo.
73
Demagog adalah orang yang hanya pandai bicara untuk menghasut rakyat, agar
mempunyai opini sesuai tujuannya.
139
FILSAFAT INTELIJEN

masyarakat guna melampiaskan ketidaksabaran mereka.


Para provokator tersebut adalah kaum ultra-nasionalis dan
kaum sektarian, yang antikemapanan dan memusuhi
negara. Musuh dari negara Pancasila adalah kaum komunis,
para ideolog agama yang menawarkan sistem totalitarian
teokratis dan juga kaum fasis yang menawarkan diktator
militer. Mereka adalah kelompok masyarakat negara
bangsa kita, yang layak merupakan sasaran bagi
berfungsinya intelijen penyelidikan, pengamanan dan
penggalangan. Sasaran intelijen negara di samping mereka,
juga adalah para oportunis ambisius yang haus terhadap
kursi kekuasaan politik.
Akibat lengahnya segenap jajaran pemerintahan negara
terhadap isu (permasalahan) SARA, terjadilah peristiwa
Sambas di Kalimantan Barat, peristiwa Ambon, peristiwa
Poso dan peristiwa-peristiwa di berbagai tempat yang
berupa konflik antarsuku, golongan, ras dan agama. Ketika
terjadi isu silang pendapat antar (internal) umat beragama
Islam, yang tergabung dalam organisasi Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama, pada tahun 2000, penulis telah
mengundang kedua Ketua Umum organisasi terbesar para
pendiri bangsa kita itu ke "Hendropriyono Law Office" di
Jalan Dr. Supomo, Tebet, Jakarta. Kedua pemimpin
tersebut duduk untuk makan bersama, dengan diiringi oleh
senda gurau yang menyejukkan 74 . Tidak terlihat sama
sekali adanya konflik di antara mereka, sehingga intelijen
dapat menyimpulkan bahwa konflik berintensitas rendah di
antara mereka hanya merupakan suatu gejala sosial biasa.
Analisis intelijen tentang isu-isu lain dalam intensitas
tinggi yang berkembang, adalah bahwa bentrok-bentrok

74
Ketua IJmum Muhammadiyah pada waktu itu adalah Prof. Dr. Achmad Syafi'i Ma'arif,
dan Ketua IJmum PB NU adalah KH. Hasyim Muzadi.
140
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

horizontal yang terjadi di era kini, bukan sebagai akibat dari


aksi pembungkaman politik pemerintahan totaliter masa
lalu terhadap masyarakat. Kebijakan rezim totaliter yang
berkuasa selama puluhan tahun, hanya mungkin berdampak
kepada mereka yang kini sudah berusia uzur. Adapun
massa beringas yang terus saling berbenturan fisik kini
telah terbukti, hampir seluruhnya terdiri dari kaum muda
usia yang sebelum reformasi masih kanakkanak, bahkan di
antaranya malah belum Iahir. Oleh karena itu, sulit bagi
intelijen untuk dapat memaklumi, bahwa anarkisme di
masa kini merupakan konsekuensi dari hükum sebab-akibat
masa lampau.
Kita harus membuang masa lampau, tapi bukan berarti
harus membuang semua hal yang kita perlukan untuk masa
kini dan masa depan. Itulah yang dimaksud dengan antitesis
masa kini, yang hidup dari tesis masa lampau yang
ditolaknya. Di sinilah letak ontologi intelijen yang dengan
pemahaman itü maka keber-ada-annya memayungi ilmu
intelijen. limu intelijen terdiri atas berbagai teori
penyelidikan (observation/detection), teori pengamanan
(security/concealment) dan teori penggalangan
(conditioning/pre-conditioning). Berbagai teori intelijen
tersebut terjabarkan lagi atas teknik-teknik, misalnya teknik
pengamatan dan penggambaran, teknik spionase, teknik
pengusutan (investigation), teknik penyesatan (deception),
teknik interdiksi, teknik interogasi, teknik wawancara,
teknik sabotase, dan lain-lain. Pelaksanaan teknis ketiga
fungsi intelijen tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai pendekatan, yaitu lunak (misalnya
memberi uang), cerdas (mengalahkannya via diskusi), dan
keras (dengan kekuatan militer atau fisik).

141
FILSAFAT INTELIJEN

Ontologi intelijen menyangkut being atau keberada-an


intelijen dalam kehidupan, sebagaimana halnya otak dan
panca indera manusia. Sebagai panca indera, intelijen
berfungsi untuk melihat, mendengar, mencium, merasa,
meraba, dan kemudian menyampaikan kesankesannya
kepada otak, untuk berpikir dengan segenap
kecerdasannya. "Saya berpikir, maka saya ada", demikian
kata filsuf Rene Descartes. Kecerdasan membuat intelijen
bebas dari segala macam bentuk mistik atau logika gaib.
Intelijen tidak boleh bersandar pada takhayul, yang kerap
bersumber dari "orang pinter", dukun, mantra, sesajen
ataupun doa-doa ritual. Bahkan, logika metafisika itu justru
merupakan predator yang dapat meniadakan eksistensi
intelijen.
Sebagai suatu proses, intelijen berangkat dari logika
materiel dan ilmu pengetahuan (sains). Yang dimaksud
dengan logika materiil di sini bukan berarti
"materialismefilosofis" —bahwa segala yang ada itu adalah
materi atau berasal dari materi31— melainkan hanya suatu
penjelasan, bahwa intelijen cenderung bersifat empirik.
Kecerdasan itu pula yang membuat intelijen kepada
keberadaannya (ontologis) dan sumber pengetahuannya
(epistemologis). Secara ontologis, intelijen dihadapkan
kepada pilihan, sebagaimana halnya pilihan-pilihan
manusia pada umumnya dalam kehidupan ini.
Jika manusia sebagai individu dan makhluk sosial
dihadapkan pada pilihan antara yang suci dan yang profan,
maka dalam dualisme ontologisnya itu manusia akan
memilih pengabdian total kepada Allah SWT. Dalam
konteks intelijen negara, pilihan terhadap dualisme
ontologis sebagai pengabdi kepada manusia Indonesia
selaku individu atau makhluk sosial, intelijen memilih
totalitas pengabdian kepada negara, di mana segenap
142
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

individu manusia Indonesia berada di dalamnya. Artinya,


jiwa intelijen adalah pengabdian total kepada negara,
karena tanpa pengabdian total tersebut intelijen negara
tidak ada dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Pengabdian total merupakan keyakinan terhadap takdir
Ilahi tentang baik-buruk, melebihi pemikiran terhadap
konsensus sosial tentang benar-salah. Contohnya, jika
seorang intelijen melihat teroris berlari membawa bom
31 Lihat: Catatan kuliah Ilmu Filsafat Oleh dosen Pasca Sarjana IJGM Dr.Mukhtasar
Syamsuddin, juga sebagai Dekan Fakultas Filsafat UGM pada tahun 2006 di
Yogyakarta.
bunuh diri menuju sebuah masjid, yang saat itu kaum
muslimin sedang shalat Jumat, dengan cepat intelijen
menembak teroris tersebut hingga mati. Secara hukum
intelijen itu patut dipersalahkan, karena teroris belum
melakukan tindakan yang mengakibatkan kerugian apa
pun. Dalam bahasa hukum, perbuatan pidana yang
dilakukannya belum selesai, sehingga ia belum patut
diadili, apalagi langsung dieksekusi dengan hukuman
tembak mati.
Namun, intelijen terpaksa melakukan hal itu demi
menyelamatkan banyak orang yang sedang shalat Jumat.
Secara hukum ia bisa dinyatakan salah, karena hukum
memang menentukan benar atau salahnya seseorang, tapi
secara aksiologis ia tetap seorang intelijen yang baik,
karena derajat pengabdian total kepada negaranya yang
menentukan apakah dia seorang intelijen yang baik atau
buruk. Keadaan di saat teroris tadi berlari menuju
sasarannya, menurut Adian (2011) dinamakan iustitium
atau kedaruratan (bukan keadaan darurat). 75 Kedaruratan
dalam teori Giorgio Agamben adalah suatu keadaan hampa

75
Donny Gahral Adian, 2011, Teori Kedaruratan Giorgio Agamben. Penerbit FHLJI,
Jakarta, hlm. 2.
143
FILSAFAT INTELIJEN

hukum76, paralel dengan keadaan di dalam lingkupnya yang


lebih besar dengan suasana himpitan imajiner yang serba
dilematis. Dalam suasana impitan imajiner yang dilematis
antara kolektivisme dan individualisme, maka intelijen di
arena global saat ini berada dalam peranan sentral untuk
memerangi terorisme jaringan.
Adapun di arena nasional idealisme masyarakat
Indonesia sedang berubah dari idealisme kolektif ke arah
individualisme yang liberal, tanpa melalui proses akulturasi
yang terencana, bertahap (bertingkat), dan berlanjut.
Akibatnya, praktik intelijen negara kita kini lebih berat,
karena lebih dinilai publik dari perspektif individualisme.
Mereka tidak lagi mengingat bahwa hak asasi manusia yang
harus dijamin adalah hak yang tidak melanggar hak asasi
manusia lainnya.
Masih banyak peraturan perundang-undangan yang
secara konstitusional tidak taat kepada Pancasila, masih
berlaku sebagai suatu iusconstitutum. 77 Para elite
masyarakat masih banyak yang berpikir, berbicara, dan
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan semangat
persatuan bangsa Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal
Ika. Pluralisme sebagai asas pergaulan hidup masyarakat
kita yang heterogen telah dibiarkan tersesat ke pemahaman
dalam aspek akidah, sehingga mendorong pemikiran publik
ke arah segregasi sosial. Masyarakat transisional Indonesia
saat ini cenderung menafikan fungsi pemerintahan, dengan
membiarkan penyerobotan yang terus-menerus terhadap
fungsi perlindungan terhadap masyarakat oleh organisasi-
organisasi massa yang dengan liar telah memanipulasi

76
Giorgio Agamben, 2005, State Of Exception. University of Chicago Press,
Chicago,hlm. 23.
77
lusconstitutum adalah hukum positif, yaitu hukum yang berlaku saat ini.
144
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

simbol-simbol agama. Kelompok masyarakat inilah


sebenarnya yang memicu eksisnya habitat terorisme.
Terorisme global masa kini ada dua macam, yaitu
terorisme negara dan terorisme jaringan. Terorisme negara
nampak dari adanya serangan-serangan militer yang
dilakukan oleh AS dan NATO di Timur Tengah, yang
berdampak kepada berseminya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap etika sistem politik demokrasi yang
seharusnya dijunjung tinggi. Adapun terorisme jaringan
yang dilakukan oleh jaringan supranasional, menurut Tito
Karnavian (2011) 78 merupakan para teroris generasi
ketiga. Generasi pertama adalah jaringan supra nasional Al-
Qaeda dan segenap jajarannya, yang tersebar di berbagai
negara. Generasi kedua adalah mereka yang direkrut oleh
jaringan tersebut, dan generasi ketiga adalah mereka yang
terobsesi oleh ideologi Islam politik. Metode yang
digunakan para teroris generasi ketiga ini adalah bergerak
secara sendiri-sendiri, tanpa kendali organisasi yang
signifikan. Ideologi yang menjadi akar terorisme jenis ini
tumbuh dan berkembang dalam habitat masyarakat muslim
yang menyukai kekerasan.
Tumbuh dan berkembangnya ideologi ditentukan oleh
seberapa dalam pengaruh yang diberikan oleh kaum
fundamentalis, dalam menebarkan rasa kebencian
(spreading hatred). Semula kebencian tersebut terarah
kepada dunia Barat (terutama AS), yang disebarluaskan di
berbagai forum keagamaan. Pada perkembangan
selanjutnya, kebencian dapat berkembang pada masyarakat
nonmuslim sebagai sasaran, dan terus bergulir sehingga
muncul klaim-klaim kafir, bahkan terhadap kaum seagama

78
Tito Karnavian, 2011, "Terorisme Generasi ke-lll", dalam Majalah Gatra, him. 23, edisi
Maret 2011, Jakarta.
145
FILSAFAT INTELIJEN

(seiman) di luar kelompok mereka. Kelompok seperti ini


dikenal sebagai kelompok takfiriyah yang berkembang dan
meluas dalam masyarakat muslim fundamentalis.
Perlawanan masyarakat muslim-mayoritas terhadap
mazhab yang menyukai kekerasan tersebut saat ini sedang
berada di panggung perang psikologi (perang pikiran atau
psychological warfare).
Terorisme adalah "setan" yang merupakan musuh umat
manusia. Tidak peduli siapa dan bagaimana tindakan yang
mereka lakukan, jika korbannya adalah manusia yang tidak
tahu-menahu, itulah terorisme. Oleh karena itu, terorisme
adalah musuh umat manusia atau hostis humani generis.
Ketidaksamaan pengertian tentang terorisme terus bergulir
terutama di kalangan elite, yang tidak dibatasi oleh definisi
dari pakar dan pengamat (pemerhati). Masyarakat awam
kerap dibuat bingung oleh kesimpangsiuran makna
terorisme, sehingga mereka tidak kunjung menemukan akar
penyebabnya.
Untuk mempermudah kita dalam merumuskan
pengertian bersama, perlu dibangun suatu model analitik
yang merujuk pada argumen kosmologis. Banyak teroris
yang telah ditangkap, dihukum, bahkan di antaranya ada
yang tertembak mati, namun terorisme masih saja
berlangsung di mana-mana, hampir di setiap belahan bumi.
Orang Yunani mengibaratkan terorisme laksana unslyable
hydra (binatang imajiner dalam dongeng Yunani kuno,
yang tidak dapat mati), 79 sementara orang Jawa
mengibaratkan terorisme bagai Chanda Bhirawa (senjata
Narasoma dalam lakon wayang Jawa yang esa hilang dua
terbilang).

79
Diaz Faisal Malik Hendropriyono, 2006, Al Qaeda Network: Its Origin, Structure
and Vulnerabilities, Virginia Tech University, USA.
146
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

Terorisme di Indonesia bak patah tumbuh hilang


berganti. Jika para teroris kita umpamakan sebagai
dedaunan, maka yang mengikat mereka dalam susunan
organisasi adalah dahan, ranting, cabang, dan batang dari
suatu pohon. Pohon itu tumbuh di atas tanah tertentu. Pohon
jeruk tumbuh subur dan manis buahnya di Kalimantan
Barat, mangga di Pasuruan dan apel di Malang. Pohon
tersebut tumbuh sesuai dengan habitatnya, sesuai dengan
lingkungan yang membuatnya bisa tumbuh dan
berkembang dengan subur. Para teroris layaknya daun-daun
dari sebatang pohon yang selalu bertunas dan berkembang
kembali dengan subur, setiap kali daun-daun terdahulu
gugur ataupun ditebas.
Kerap kita mendengar ulasan dari sejumlah pakar yang
menyatakan bahwa penyebab terorisme adalah
ketidakadilan dalam kehidupan sosial (social injustice).
Apakah itu berarti jika keadilan di dunia ini tercapai, maka
terorisme tidak akan muncul lagi? Barangkali mereka lupa
bahwa keadilan yang sesungguhnya di dunia ini tidak akan
ada. Keadilan abadi hanya ada kelak di hari kemudian, yang
akan ditentukan oleh Allah SWT sebagai Yang Maha Adil.
Keadilan empirik di dunia ini bak sinar matahari yang
memberikan kesempatan kepada dedaunan untuk hidup.
Itupun melalui proses hukum alam yang disebut reaksi
photosynthesa. Samuel Huntington dalam The Clash of
Civilization menyatakan bahwa benturan antarperadaban
telah melahirkan terorisme aktual. Barangkali dia lupa
bahwa benturan antarperadaban manusia selalu terjadi
bagai atmosphere di udara terbuka sejak zaman dahulu kala.
Franz Magnis-Suseno pernah mengisahkan bahwa
dalam peradaban suatu suku bangsa Eskimo di kutub utara,
demi cinta seorang anak kepada orangtuanya yang sudah
147
FILSAFAT INTELIJEN

renta, daripada mereka nantinya mati sakit, Iebih baik


diletakkan saja di luar rumah agar orangtua mereka itu mati
kedinginan. Peradaban demikian tentu saja clash
(berbenturan) dengan peradaban kita yang mikul dhuwur
mendhem jer0 80 kepada orangtua kita dengan penuh
kecintaan. Apakah keadaan demikian itu menyebabkan
terjadinya terorisme? Tentu saja tidak.
Oleh karena itu, untuk memahami terorisme layak
kiranya jika kita membangun suatu model analitik melalui
sebuah pohon yang disebut "Pohon Terorisme”.

UNTING,CABANG,

Terarisma

Beberapa pakar mensinyalir bahwa konstelasi


geopolitik global di Timur Tengah dalam masalah Palestina
merupakan sebab dari terorisme. Apakah kalau masalah
Palestina selesai, terorisme akan tidak ada lagi? Sejarah
menulis bahwa pada awal abad ke-20 sebelum ada masalah
80
Mikul dhuwur mendhem jero (falsafah Jawa), yang bermakna menghargai
setinggitingginya segenap jasa-jasanya dan melupakan jauh-jauh kesalahan-
kesalahannya.
148
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

Palestina, terorisme sudah ada. Hanya saja di masa dahulu


para terorisnya adalah orang-orang Yahudi. Menachem
Begin, Perdana Menteri Israel, adalah teroris dari organisasi
Stern Gang, yang jika saja dulu ia tertangkap, pasti akan
dihukum mati oleh kolonialis Inggris.
Akar terorisme jaringan adalah ideologi politik yang
didukung oleh penetrasi dengan menggunakan
simbolsimbol agama (sebagai tudung akarnya). Akar ini
tidak akan mati selama tanahnya (kelompok masyarakat
fundamentalis) masih subur. Masalahnya adalah kaum
muslim mayoritas di Indonesia yang Pancasilais,
kebanyakan merupakan silent majority (mayoritas diam)
yang enggan bergerak, untuk menertibkan gangguan sosial
dari segelintir kaum fundamentalis.
Bagi intelijen dapat kiranya dianalisis bahwa rakyat kita
di Indonesia ini kerapkali mengalami malapetaka bukan
karena ulah segelintir orang jahat itu, tetapi karena
pendiaman oleh mayoritas bangsa kita sendiri. Dalam hal
ini fungsi intelijen penggalangan menjadi sentral, karena
menghadapi terorisme yang patah tumbuh hilang berganti
itu, jawaban yang tepat (exactus) adalah perlawanan rakyat
semesta. Perlawanan Rakyat Semesta harus dilancarkan
untuk menetralisasi "habitat" terorisme, yaitu kelompok
masyarakat fundamentalis yang menyukai kekerasan.
Mobilisasi kekuatan rakyat semesta harus dilakukan Iebih
cepat (velox) daripada perkembangan habitat mereka.

Perang: Simetrik dan Asimetrik


Metode penanggulangan terhadap terorisme jaringan
adalah pernyataan perang secara semesta terhadapnya.
Perang zaman sekarang bukan lagi perang fisik, tapi perang
adu kuat konsep dan pikiran manusia. Perang tidak lagi
149
FILSAFAT INTELIJEN

simetris di mana jelas diketahui siapa melawan siapa. Perang


masa kini bersifat asimetris yang tidak jelas siapa melawan
siapa, apa lawan apa, bilamana waktunya, di mana, dari
mana dan bagaimana wujud atau bentuk konkretnya.
Perang asimetrik yang sedang ramai dibahas oleh para
akademisi akhir-akhir ini tidak Iain adalah perang
inkonvensional antara teror dan kontrateror yang saling
berhadapan. Komplikasi dari perang itü berwujud terorisme
dan kontra terorisme. Secara umum, perang dapat disimak
dalam empat generasi, yaitu , perang teknologi, perang
mobil, dan perang psikologis.
Perang massal, merupakan perang generasi pertama
yang mengadu kekuatan jumlah prajurit yang majü ke
medan laga. Puncak perang generasi ini adalah perang
zaman Napoleon Bonaparte, sehingga terumuskan secara
matematis kekuatan penyerang terhadap yang bertahan
minimal harus 3 : 1 (tiga berbanding satu).
Perang teknologi, yang mengadu kekuatan dalam
teknologi persenjataan. Andalan dalam perang generasi ini
adalah daya tembak. Puncak dari perang jenis ini adalah
Perang Dunia pertama.
Perang mobil, yang mengadu kekuatan dalam daya
tembak, daya gerak dan daya gempur. Pasukan tentara yang
berhadapan tidak lagi mengandalkan kendaraan lapis baja
yang tebai serta tank-tank yang beşar dan berat, tetapi tank-
tank kecil dan ringan dengan daya manuver (kecepatan
bergerak) yang maksimal. Senjata pemusnah massal seperti
bom atom menjadi andalan, yang diikuti oleh Perang
Nubika (Nuklir, Biologi dan Kimia). Puncak perang
generasi ini adalah Perang Dunia II.
Perang psikologis, adalah perang masa kini, yang
dikenal juga sebagai perang urat syaraf (PUS), yang
150
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

ditandai dengan beradunya pikiran manusia, bukan untuk


memperebutkan teritorial, tapi hegemoni kultural. Perang
generasi keempat ini bersifat üniversal (global). Dalam
perang urat syaraf, kekuatan masing-masing pihak berada
pada konsistensi keberpihakan opini masyarakat, yaitu
opini massa pendukung masing-masing. Untuk
memperoleh opini publik tersebut, dilakukan
operasioperasi penggalangan massa oleh intelijen dan
pembinaan teritorial oleh aparat teritorial dari kedua belah
pihak yang berperang (belligrend). Dalam perang ini media
massa memegang peran yang paling strategis.
Dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan ke-bhinneka-an masyarakatnya, agar
tidak larut ke salah satu belligrend, diperlukan pembinaaan
terhadap konsistensi kesetiaan bangsa Indonesia terhadap
Pancasila. Dislokasi musuh kita tidak Iagi seperti zaman
dulu, yang dibatasi dengan berbagai pengertian seperti
FEBA (Front Edge of Battle Area) atau BDDT (Batas
Depan Daerah Tempur), daerah penyangga, daerah
komunikasi dan garis belakang.
Semua batasan tersebut kini tidak ada Iagi. Musuh ada
di mana-mana, di depan, di belakang, di luar, dan di dalam
negara kita sendiri. Berbagai sarana perang yang dulu tak
dikenal kini telah mulai digunakan dalam perang urat
syaraf, sehingga terorisme di masa depan (jika dibiarkan
terus meluas), akan lebih dikenal publik dalam bentuk
cyber-terorism dan bio-terorism, yang menyebarkan virus
dan baksil serta berbagai hasil rekayasa genetik. Tidak
kalah pentingnya untuk diamati akan kemungkinan
berkembangnya narco terorism, yaitu teror dengan senjata
narkotika yang melumpuhkan segenap sistem urat saraf
(nerve) manusia.

151
FILSAFAT INTELIJEN

Dalam menghadapi penyakit narkotika, rakyat di


berbagai negara berkembang atau demokratis transisional
kebanyakan telah sadar untuk bersatu sikap, sebagaimana
menghadapi penyakit sosial lain, seperti korupsi dan
terorisme. Kesadaran rakyat tersebut terlihat dengan
banyaknya tuntutan, agar mereka yang terlibat dijatuhi
hukuman seberat-beratnya. Adapun hal yang harus
diwaspadai oleh intelijen, bahwa aparat keamanan di
banyak negara berkembang kerapkali salah tangkap. Di
samping itu nuansa politisnya sangat kental, sehingga
hukum sering hanya dijadikan alat bagi penguasa untuk
kepentingan mereka.
Filsafat intelijen mengacu kepada rumusan kata, bahwa
lebih baik melepaskan orang yang bersalah daripada
menghukum orang yang tidak bersalah. Berpegang kepada
hukum merupakan suatu sikap moral, yang didambakan
rakyat untuk mendapatkan keadilan. Namun, aparat
penegak hukum banyak sekali yang menggunakan
kesempatan tersebut demi popularitas diri, dengan
menjatuhkan hukuman yang semena-mena kepada
terdakwa yang belum pasti salah.
Secara kontekstual perkiraan intelijen harus cenderung
kepada presumption ofinnosence (perkiraan tak bersalah),
yang merupakan filsafat dalam memeriksa seseorang
tersangka dan terdakwa. Secara dini intelijen mendeteksi
akan terjadinya krisis kewibawaan pemerintah, yang
diawali dengan krisis kepercayaan terhadap sistem
peradilan. Intelijen harus curiga jika vonis hukuman yang
dijatuhkan dalam sidang kasasi atau banding, sering kali
lebih berat daripada yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Negeri.

152
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

Filsafat intelijen harus mempertanyakan, mengapa


pemeriksaan sidang di Pengadilan Negeri yang bersifat
judex factie, yaitu memeriksa fakta, sering kali disalahkan
oleh Pengadilan Banding dan Kasasi yang bersifat judex
jurist atau memeriksa penerapan hukumnya. Pasalnya, hal
tersebut berarti bahwa sidang Pengadilan Negeri kerapkali
tidak beres dalam penerapan hukum. Ketidakberesan yang
menyangkut keadilan terhadap manusia, yang waktu
menjalani hidupnya sangat terbatas ini, merupakan SOS
bagi eksistensi suatu negara. Dari sini dapat muncul
frustrasi sosial, yang berpotensi pada riot atau huruhara.
Fenomena ini harus menyadarkan intelijen untuk
mempertajam peranannya, di berbagai lembaga penegak
hükum terkait.
Jajaran Polri dan Kejaksaan Republik Indonesia sejak
lama telah dilengkapi secara struktural dengan institusi
intelijen, namun belum diimbangi oleh efektivitas intelijen
di jajaran lembaga pengadilan Republik Indonesia tempat
berbaktinya para hakim Pancasilais. Para hakim, terutama
para Hakim Agung, merupakan teladan bangsa di garda
terdepan, karena mereka merupakan derivat langsung di
tataran operasional dari filsafat bangsa Indonesia.
Berlarutnya ketiadaan intelijen secara institusional pada
tataran Mahkamah Agung Republik Indonesia, dapat
berakibat sistem peradilan nasional kita selalu rawan
terdistorsi oleh berbagai kepentingan yang di luar hukum,
sehingga semakin lama semakin jauh dari hadirnya
keadilan yang didambakan rakyat. Keadilan merupakan
kunci bagi terwujudnya rasa aman, bagi setiap warga di
negara Pancasila. Keamanan merupakan kebutuhan primer
bagi setiap makhluk untuk mempertahankan hidupnya.
Karena itu, sangat ironis jika di zaman ini kita
mendikotomikan antara keamanan dengan pertahanan.
153
FILSAFAT INTELIJEN

Keamanan niscaya mengandung arti pertahanan dan juga


ketertiban masyarakat bangsa Indonesia. Dengan
pemahaman itü maka pertahanan dan keamanan merupakan
suatu aspek yang menentukan keselamatan rakyat, baik
individü maupun sebagai anggota masyarakat bangsa
Indonesia. Intelijen pertahanan dan keamanan (Hankam)
harus mampu memberi dukungan, sehingga pemerintahan
negara dapat menyelamatkan rakyatnya dengan menumpas
musuh sejak dini, yaitu sejak konsep yang anti-Pancasila
hidup secara embrional di dalam pikiran masyarakat.
Hukum kita sampai sekarang belum dapat secara efektif
menjangkau kejahatan terhadap keselamatan negara
Republik Indonesia, yang melalui penebaran kebencian
(spreading hatred) ke masyarakat luas. Ceramah para
agitator dan para demagog yang menebarkan kebencian dan
permusuhan, seharusnya sudah dapat dihukum berat
dengan tujuan menghentikan dan mencegah meluasnya
pengaruh.
Dari pemahaman hakikat musuh dan sifat perang masa
kini, penebaran kebencian dapat digolongkan pada
pernyataan keinginan, untuk meniadakan atau mengganti
Pancasila. Namun dalam KUHP kita, kejahatan baru dapat
dihukum jika memenuhi syarat telah melawan hukum,
dilakukan di muka umum, ada pernyataan keinginan untuk
meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar
negara, Iisan maupun tertulis, dan sudah berakibat
timbulnya kerusuhan, korban jiwa serta kerugian harta
benda.
Bagi intelijen kalimat-kalimat hukum yang seperti itu
tidak relevan sama sekali, untuk terciptanya suatu deteksi
dini. Misalnya, kesadaran intelijen bahwa terorisme
jaringan yang mengancam ketertiban dan keamanan negara
kini, dapat datang dari luar negeri tetapi dapat juga dari
154
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

dalam negeri kita sendiri. Mereka selalu berada dan hidup


di antara kita, yaitu di lingkungan kelompok masyarakat
fundamentalis. Habitat terorisme jaringan adalah
masyarakat yang ekstrem. Sebagaimana dijelaskan pada
bagian sebelumnya, habitat terorisme dianalogikan dengan
tanah, jika terorisme diumpamakan sebagai pohon yang
mempunyai akar, batang, ranting dan daun.
Untuk membahas jenis pohon, kita harus membahas
tanahnya dulu, karena menyangkut pohon apa yang dapat
hidup di sana. Dengan mengetahui tanahnya, dengan
mudah intelijen dapat menyelidiki jenis pohon apa yang
subur untuk hidup. Tanah yang berupa fundamentalisme
dalam masyarakat, merupakan habitat untuk tumbuh
berkembangnya pohon terorisme. Adapun perkembangan
kondisi geopolitik global hanya merupakan faktor
penyubur (pupuk) bagi pohon terorisme. Dengan model
analitis ini, maka pemilihan terhadap berbagai alternatif
cara bertindak, dalam menghadapi ancaman terorisme,
dapat lebih mudah ditentukan.
Menghadapi terorisme di negara Pancasila Indonesia ini
tidak selalu harus menggunakan pendekatan hukuman,
apalagi hukuman mati. Lex est perire, non poena (mati
adalah sebuah hukum, bukan hukuman). Para teroris yang
mati dapat diganti dengan tidak terlalu sukar oleh daundaun
baru. Para teroris yang menderita brain washed harus
ditolong, untuk memperoleh kembali kesadarannya melalui
usaha, pekerjaan, dan kegiatan deradikalisasi. Usaha-usaha
tersebut perlu melibatkan berbagai personel dan organisasi
sosial keagamaan dalam operasi-operasi penggalangan
dengan pendekatan cerdas di bawah payung Undang-
Undang Intelijen yang baru saja diberlakukan. Kelak
undang-undang tersebut perlu direvisi sedemikian rupa,
sehingga jelas kedudukannya berada di luar the criminal
155
FILSAFAT INTELIJEN

justice system. Alasannya sederhana saja, karena intelijen


bukan aparat penegak hukum.
Para teroris yang ditangkap, terutama sebelum
melakukan aksi teror bukan untuk dihukum, tapi untuk
disadarkan dan kemudian digunakan dalam operasi
intelijen, membongkar seluruh organisasi dan meredam
rencana kegiatan-kegiatan. Kebanyakan teroris yang telah
sadar dari ”cuci otak” yang dideritanya, siap untuk
melakukan dialog filsafati, sehingga memerlukan bantuan
eksternal yang positif. Peran umat Islam moderat menjadi
semakin sentral untuk memobilisasi dan mengorganisasi
mereka, guna menanduskan tanah kaum fundamentalis agar
akarnya mati. Para dai Pancasilais perlu diwadahi untuk
digelar di berbagai forum, menggalang masyarakat luas,
terutama kaum muslimin, untuk menjauhi berbagai jenis
praktik kekerasan mengatasnamakan agama Islam yang
rahmatan-lil-alamin.
Dengan cara seperti itu, habitat terorisme akan musnah
dan ideologi sebagai akarnya akan mati dengan sendirinya.
Kematian akar terorisme akan berakibat langsung kepada
matinya keseluruhan pohon. Daun-daun (para teroris) tidak
lagi dapat ber-patah tumbuh hilang berganti. Kesaktiannya
sebagai The Unslayable Hydra akan tetap tinggal sebagai
binatang imajiner Yunani. Demikian pula aji Chanda
Bhirawa yang ada pada Raden Narasoma, akan tinggal
dalam dongeng wayang Jawa.
Dalam sejarah kebangsaan kita, banyak sekali ancaman
yang telah berhasil dilalui, antara Iain teror dalam serangan
Belanda yang dikenal sebagai Clash I (1947) dan II (1948).
Teror dalam pemberontakan bersenjata PKI Madiun 1948
pimpinan Muso, pemberontakan bersenjata Oleh
DI/TII/NII pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
156
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

(1949), pemberontakan PRRI dan Permesta (1958), teror


yang dilakukan Oleh Allan Lawrence Pope (1958) dan
Michael Powers (pada tahun yang sama) yang didalangi
oleh CIA.
Teror intelijen asing yang menggerakkan penembakan
terhadap Presiden Republik Indonesia oleh seorang perwira
penerbang MIG- 17 AURI (1958), usaha asassination
(pembunuhan dengan sasaran VIP) terhadap Presiden
Republik Indonesia di Sekolah Rakyat Cikini Raya pada
tanggal 30 November 1957, yang telah menyebabkan
banyak orang, terutama anak-anak kecil, tewas dan cacat.
Demikian pula halnya dengan peristiwa G-30-S 1965.
Semua bentuk teror itu mempunyai berbagai macam tujuan,
namun secara empirik terbukti bahwa korbannya adalah
manusia yang tidak tahu apa-apa tentang hal yang
dipersengketakan.
Di era globalisasi kini, kita justru menyaksikan
terorisme semakin marak. Terorisme yang nilai
kebenarannya terletak hanya pada dirinya sendiri itu telah
dilakukan, baik oleh negara berdaulat AS beserta negara-
negara NATO dan sekutunya, maupun oleh jaringan
supranasional Al-Qaeda. Konsep Barat terhadap negara-
negara Timur Tengah dalam rangka demokratisasi sistem
politik memang tidak dapat dikatakan sebagai terorisme,
tapi serangan militer fisik yang mereka lakukan
mengandung terorisme. Serangan militer tidak mungkin
menghindar dari jatuhnya korban orang-orang tak bersalah.
Tujuan manusia untuk membangun demokrasi sebagai
tatanan sosio-politik yang ideal dan tujuan manusia untuk
mencapai sistem politik kekhalifahan yang agamis, sama-
sama tidak bisa digunakan untuk menghalalkan terorisme.

157
FILSAFAT INTELIJEN

Kita harus memandang suatu perbuatan itu dari sisi


objektif atau dari sisi sasarannya (objeknya). Jika
korbannya adalah innocent person atau manusia yang tidak
terlibat apa pun dengan persoalan-persoalan,
masalahmasalah yang sedang dipersengketakan, maka
perbuatan itu menjadi bagian dari definisi "terorisme". Para
korban aksi terorisme tidak akan pernah peduli siapa yang
telah merenggut nyawa orang-orang yang mereka kasihi,
apakah orang itu penjahat atau pahlawan. Mereka yang
melakukan kejahatan terhadapnya adalah teroris, musuh
kemanusiaan: Hostis Humani Generis. Musuh kemanusiaan
tersebut merupakan sasaran yang akan ditanggulangi
bersama-sama, demi keamanan nasional dan keselamatan
individu bangsa Indonesia.
Jika geng motor81 kaum muda yang beraksi di berbagai
kota besar selama ini melakukan teror, karena berakibat
jatuhnya korban orang yang tidak tahu apa-apa, cara
intelijen-keamanan mengatasinya tidak boleh melalui
tindakan yang juga bisa mengakibatkan jatuhnya korban
orang yang tak bersalah. Hal tersebut mengandung arti,
bahwa teror tidak dapat diatasi dengan teror. Teror harus
diatasi dengan meniadakan habitatnya, sehingga dapat
dicegah sebelum terjadi.
Namun harus diingat, bahwa mencegah terorisme bukan
hanya dengan jalan menghukum berat teroris saja.
Narapidana terorisme harus dapat digunakan oleh intelijen
untuk menguak tabir rahasia, yang menyangkut
81
Geng motor adalah sekumpulan orang yang kebanyakan terdiri dari kaum muda, yang
akhir-akhir ini sering kebut-kebutan dengan mengendarai sepeda motor di tengah
kota di malam hari. Ketika mereka sudah menggerombol seperti halnya para Cross
Boys di era 1960-an, mereka kehilangan kepribadiannya. Massa yang tidak
berpribadi ini kerapkali kehilangan nalar etisnya, sehingga rawan terseret ke dalam
anarkisme. Jika anarkisme kemudian mengakibatkan jatuhnya korban terhadap
orang yang tak bersalah, maka hal tersebut dapat digolongkan sebagai tindak pidana
terorisme.
158
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

persekongkolan atau jaringan organisasi teroris yang ada di


Indonesia. Dengan membongkar jaringan atau organisasi
teror secara keseluruhan dan menjalankan fungsi
penggalangan intelijen dalam upaya deradikalisasi
golongan masyarakat fundamentalis, maka bangsa
Indonesia secara keseluruhan akan dapat terlindung dari
ancaman terorisme.
Secara ontologis di era ini intelijen menemukan bentuk
ancaman terhadap negara-negara bangsa yang telah
berubah, yaitu dari perang fisik menjadi perang nonfisik
dan perang metafisik sekaligus. Perang baru ini adalah
perang teror melawan kontrateror. Kampanye militer versus
kampanye militer, kini telah berubah menjadi perang teror
melawan teror yang serba kompleks dan rumit. Perang
konvensional yang bersifat simetrik (antara dua pihak yang
berhadap-hadapan) telah berubah menjadi perang
asimetrik.
Paradigma perang masa kini telah berubah menjadi
perang nonteritorial. Objek perang bukan lagi negara, tapi
otak manusia. Subjek perang bukan lagi tentara, tapi
segenap kekuatan semesta masing-masing pihak, baik
berwujud negara yang berdaulat ataupun jaringan nasional,
bahkan supranasional. Metode perang bukan lagi
mengandalkan daya tembak, daya gerak, dan daya gempur,
yang dibatasi Oleh berbagai konvensi internasional, tetapi
telah berubah menjadi pemusnahan massal tanpa batas
apapun.
Perang melawan terorisme adalah perang melawan
sebuah konsep yang tidak berteritori dan tidak beraturan
hukum apa pun. Adian (2011) mengatakan bahwa perang
nonkonvensional memerlukan pemikiran yang

159
FILSAFAT INTELIJEN

nonkonvensional pula 82 . Ancaman terhadap keamanan


nasional mengambil bentuk yang tak terbayangkan
sebelumnya. Adian juga mencatat:
'Keamanan nasional umumnya dipahami dalam kerangka negara
'Westphalian' yang berfokus pada pengakuan resiprokal
antarnegara. Resiprositas tersebut pada gilirannya menghasilkan
konsep kedaulatan yang terbatas secara teritorial. Tulisan-tulisan
lama tentang keamanan nasional bersandar pada gagasan tentang
perlindungan fisik terhadap teritori fisik sebuah negara
berdaulat. Sebab itu, monopoli terhadap penggunaan kekerasan
yang absah mutlak berada di tangan negara dalam wujud
angkatan bersenjata. Persoalannya, negara berdaulat tidak
sekadar hadir sebagai protektor teritori fisik, melainkan untuk
sebuah tujuan yang lebih luas.
Dalam tulisan filsuf-filsuf kontinental seperti Locke, Hobbes,
dan Adam Smith, negara tidak hanya berfungsi sebagai penjaga
malam melainkan membangun masyarakat yang berkeadaban.
Negara adalah sebuah proyek etis untuk (bahasa Pembukaan
IJUD 1945) melindungi segenap bangsa, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Negara
bukan sekadar makhluk politik melainkan juga kultural yang
bersendikan nilai atau prinsip hidup bersama secara berkeadaban.
Negara-kultural biasa disebut sebagai 'bangsa'. Konsep 'negara-
bangsa' pun harus dibaca dalam kerangka fungsi ganda negara
melindungi teritori fisik (batas wilayah) dan non-fisik (kultur,
keadaban)".

Globalisasi yang merupakan keadaan aktual yang


mengandung sifat paradoksal, karena selain memobilisasi
pikiran lokal menjadi universal, juga sebaliknya, telah
memobilisasi pikiran-pikiran primordial dan sektarian.
Globalisme paradoks telah menggerakkan separatisme dan
radikalisme, yang mengancam kultur moderat sebuah
negara-bangsa, baik secara institusional maupun kultural.

82
Donny Gahral Adian. (2011 Ancaman Baru, Perang Non Konvensional. Jurnal
Universitas Pertahanan, Jakarta, Hlm. 10.
160
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

Secara institusional, negara-negara di dunia semakin


dilemahkan kendalinya pada perekonomian oleh kekuatan
ekonomi global. Secara kultural negara diancam oleh
identitas dan ideologi subnasional dan supranasional yang
merusak sendi-sendi ketahanan kultural. Globalisasi
membuat kapabilitas teknologi informasi, ekonomi, militer
dan diplomasi aktor non-negara menguat dan bahkan
mengatasi kapabilitas negara-bangsa itu sendiri.
Konsep internasionalisme "Pasar Bebas" ekonomi Barat
yang mengusung demokrasi liberal, berhadapan bukan
secara fisik-empirik, tetapi di arena metafisis, dengan
internasionalisme Islam radikal yang mengusung
Khilafiyah Islam Universal. Situs-situs radikal saat ini
dapat diakses dengan bebas. Teknik pembuatan bom
rakitan dapat ditemukan dengan sangat mudah di dunia
maya.
Terorisme abad ini merupakan ancaman aktual, yang
juga adalah penumpang haram di dalam gerbong teknologi
informasi. Teknologi informasi juga memperluas perang
militer ke perang ideologi, politik, ekonomi, keuangan,
sosial, seni dan budaya. Perubahan demografis akibat
mobilitas manusia yang masifjuga memengaruhi keamanan
nasional. Pertumbuhan populasi yang tidak terkendali
meningkatkan peluang instabilitas, radikalisme dan juga
ekstremisme. Pembengkakan populasi yang melampaui
daya dukung secara ekologis dan politis di dalam sebuah
bangsa di dunia, dapat menjerumuskan negara itu ke dalam
situasi negara gagal (failed state). Negara gagal merupakan
habitat bagi konflik horizontal, separatisme, sektarianisme,
dan radikalisme.
Ancaman terhadap peradaban atau kebudayaan manusia
adalah perang generasi keempat (fourthgeneration
161
FILSAFAT INTELIJEN

warfare), yaitu perang teror yang memperebutkan


hegemoni peradaban manusia antara Barat atau Timur
Tengah. Panggung perang juga bukan Iagi "medan tempur"
atau "mandala perang" seperti Perang Dunia II di Eropa
atau Pasifik. Panggung perang kini adalah ideologi, politik,
ekonomi, keuangan, sosial, seni budaya dan militer
sekaligus.
Perang peradaban menggunakan media elektronik
maupun cetak. Adian (2011) menggambarkan, acapkali
Israel mengebom basis-basis Hizbullah di Lebanon, media
milik Hizbullah, al-Mannar, cepat merekam kejadian itu
dan meyebarluaskannya ke seantero wilayah Lebanon,
bahkan luar negeri, ke dunia internasiona183. Sayap medis
Hizbullah merawat mereka yang luka. Sayap pelayanan
sosial Hizbullah memberikan bantuan keuangan kepada
keluarga para martir. Para perekrut pun bersiap-siap untuk
merekrut anak-anak muda yang marah, untuk bergabung
dalam perlawanan bersenjata. Kegiatan seperti ini
merupakan pelaksanaan fungsi penggalangan intelijen,
dengan sasaran psikologi masyarakat dunia.
Perang yang dilancarkan Hizbullah bertujuan merebut
legitimasi yang mengubah kekejaman Israel menjadi
keuntungan politik bagi pihak mereka melalui pemanfaatan
media. Jika dikatakan kemudian di belakang Hizbullah
adalah Suriah, maka intelijen Barat pun memainkan operasi
intelijennya untuk menggemboskan para pendukung
Bashar al-Assad, pemimpin karismatik Suriah. Pemimpin
karismatik hanya akan terpental, jika ditendang dari
tahtanya oleh kekuatan rakyatyang merindukan kebebasan
individu sebagai suatu bentuk kebutuhan rohani.

83
Ibid. hlm. 12
162
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

Dorongan untuk memenuhi kebutuhan rohani ternyata


berada di atas segala-galanya, termasuk di atas kebutuhan
terhadap kesejahteraan jasmani. Karakter kodrati manusia
yang demikian itulah, yang menyebabkan aspirasi untuk
memenuhi kebutuhan rohani, merupakan sasaran intelijen
asing dalam melakukan aksi subversifl. Perkiraan para
pemimpin totaliter Tunisia, Irak, Mesir, Libya, dan Yaman,
bahwa memenuhi kesejahteraan fisik merupakan
segalagalanya bagi rakyat ternyata tidak cukup. Rakyat
yang semula meminta, kini menuntut kebebasan non-
fisiknya dengan paksa. Tuntutan inilah yang merupakan
potensi bagi intelijen asing, untuk melancarkan gerakan
subversif. Kemenangan gerakan tersebut membawa konsep
liberalisme merebut hegemoni politik dan kultural di
seluruh negara bangsa berkembang.
Permintaan yang semula etis kepada rezim yang telah
mengenyampingkan etika, telah berubah bentuk menjadi
suatu revolusi yang juga tanpa etika. Etika hanya dapat
bekerja sebelum suatu revolusi terjadi, sehingga jika
revolusi sudah meletus, maka seluruh aspek kehidupan
manusia berada di dalam ruang hampa etika. Revolusi
diikuti oleh perubahan keadaan lingkungan strategik dari
masyarakat yang semula tenteram dan damai menjadi
kehidupan yang chaos dan penuh huru-hara. Negaranegara
bangsa (Nation States) yang terlibat dalam situasi
demikian, disebut berada dalam situasi "Perang Subversi".

41 Subversif berasal dari kata Latin Subversus, yang artinya "menggembosi" kekuasaan
politik pemerintahan suatu negara dari dalam negerinya sendiri. Dalam Ilmu Perang,
subversi diartikan sebagai hal yang berhubungan dengan penggulingan pernerintahan
dan konflik yang terjadi karenanya dinamakan "Perang Subversi". Teori perang
subversi meliputi, antara Iain: I) Tujuannya menggulingkan pemerintahan negara
sasaran secara inkonstitusional. 2) Metode yang digunakan adalah penggalangan
berpendekatan keras, dengan memutuskan urat nadi sistek (sistem senjata teknik) dan
sisos (sistem senjata sosial) negara sasaran. 3) Pemerintah sebagai pengguna intelijen
memberikan tugas kepada pasukan khusus (Special Forces), untuk melakukan
operasi intelijen strategis (Intelstrat). Dalam konteks Indonesia, operasi

163
FILSAFAT INTELIJEN

penggalangan dengan pendekatan keras tersebut hanya dilakukan Oleh Pasukan


Sandi Yudha (Passandha), yang dikendalikan Oleh Bais (Badan Intelijen Strategis,
yang merupakan jajaran TNI). Tanggungjawab pembinaan Passandha secara
administratif dan profesionalitasnya berada pada Kopassus (Komando Pasukan
Khusus). Hubungannya dengan BIN adalah dalam dukungan pembinaan profesi
lanjutan atau latihan khusus, bukan dalam bidang operasional ataupun administrasi.
BIN mengkoordinir dan mengawasi kemampuan intelijen semua aspek dalam jajaran
birokrasi, termasuk aspek pertahanan keamanan. Karena itu secara periodik BIN
mengirimkan intelijen dari berbagai sektor ke lembaga-lembaga pendidikan, baik di
dalam maupun di Iuar negeri.
Dalam perang subversi faktor eksternal menjadi faktor
yang determinan84 . Karena itu baik AS dan negara-negara
Barat yang mendukung oposisi, maupun Iran, Rusia, dan
China yang mendukung rezim penguasa Suriah pimpinan
Bashar al-Assad, sama-sama mengaku melakukan
"intervensi positif'.
Pengertian "intervensi positif' bagi Kant 85 adalah
membebaskan manusia dari ketidakdewasaannya.
Masyarakat terbelakang yang hidup di hutan sekitar puncak
Jayawijaya misalnya, yang belum mengenal pantalon selain
koteka apalagi huruf, wajib dibantu untuk mengerti apa dan
siapa yang harus mereka lakukan dan pilih sebagai
presiden, ketika mereka harus ikut memberikan suara
dalam pemilihan umum. Itulah arti dari "intervensi positif'
untuk membebaskan mereka, dari ketiadaan akses terhadap
pengetahuan.
Namun, chaos yang terjadi di negara Suriah, justru
merupakan akibat dari ketidakdewasaan faktor eksternal
dalam cara mendemokratisasikan negara-negara bangsa
Timur Tengah. Dengan demikian maka "intervensi positif'
yang dicanangkan mereka bersifat void (tidak berlaku),
bahkan secara empirik dapat terverifikasi jatuhnya korban

84
Zuhairi Misrawi, "Antiklimaks Revolusi Suriah", harian Kompas, Selasa, 17 April
2012, Jakarta, him 7.
85
Imannuel Kant adalah seorang mahafilsufberkebangsaan Jerman yang mengajarkan,
bahwa norma susila urnum mengandung perintah tanpa syarat bagi manusia
sebagai makhluk rasional. Hati nurani manusia mengandung pengetahuan tentang
kewajiban, sehingga manusia dapat mengerjakannya karena wajib.
164
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

manusia yang tidak tahu apa-apa. Berjatuhannya korban


manusia yang tidak tahu apa-apa menunjukkan, bahwa
realitas yang terjadi di Suriah adalah perang antara teror
melawan teror. Negara bangsa Suriah merupakan medan
perang terorisme, yang hanya dapat dihentikan oleh
rakyatnya sendiri secara semesta, untuk mengembalikan
keamanan dan ketertiban dalam negeri. Perang menghadapi
terorisme adalah perang untuk memperebutkan legitimasi.
Rakyat Suriah harus disadarkan bahwa hanya mereka
sendiri yang sebenarnya mempunyai legitimasi untuk
mengembalikan ketenteraman dan kedamaian hidup yang
penuh dengan etika.
Di Indonesia pengetahuan dan kesadaran rakyat tentang
ancaman teror terhadap keamanan masyarakat, dapat
dijadikan teladan yang baikbagi negara-negara berkembang
di seluruh dunia. Dalam mewaspadai terorisme, berbagai
organisasi utamanya organisasi massa Anshor dan Banser
yang berada di bawah naungan organisasi muslim terbesar
NU, telah mengamankan acara ritual kaum Nasrani pada
hari besar Paskah April 2011. Hal terebut merupakan bukti
empirik bahwa hanya nasionalisme yang dapat tahan
menghadapi teror, baik yang datang dari Barat maupun dari
kaum fundamentalis agama.
Intelijen harus mewaspadai agar fenomena
nasionalisme tidak terus-menerus digerus Oleh ideologi
yang membonceng globalisasi. Gejala ini terlihat di
kalangan kaum muda masa kini, antara Iain terbukti,
bahkan pada kalangan mahasiswa semester 8 di universitas
terkemuka. Sri-Edi Swasono seorang Guru Besar Ul sangat
kecewa ketika mahasiswa yang diajarnya tidak tahu di
mana Bima, Waingapu, Maumere, Ende, Larantuka, dan
Rote. Terdapat mahasiswa Jakarta yang tidak tahu di mana

165
FILSAFAT INTELIJEN

Pameungpeuk, apalagi untuk menyebut 20 suku bangsa di


Indonesia 44.
Jika tidak ada usaha penggalangan "cerdas", bagaimana
dapat kita harapkan hakikat kebangsaan dan persatuan
Indonesia dapat mereka hayati, sebagai para pemimpin

44 Sri-Edi Swasono, 2012, Membangun Karakter Bangsa, Menemukan Kemba/i


Republik Indonesia Kita. Penerbit, Jakarta.
masa depan. Yang akan kita tuai kelak mungkin hanya
riwayat, bahwa pernah ada bangsa negara Indonesia, yang
sirna karena tergerus oleh impitan dua ideologi besar
teroris. Ideologi tersebut adalah liberal kapitalisme
kontemporer, yang telah menyimpang dari ideologi aslinya
serta teokrasi (negara agama), yang juga telah menyimpang
dari ideologi aslinya.
Ideologi asli keduanya di arena global, antara lain
sebagaimana tecermin dalam kata-kata: Noble Globalism
(Kebersamaan Global) yaitu global environment
(lingkungan global); global brotherhood dan muslim
brotherhood (persaudaraan global dan persaudaraan
muslim); global solidarity (solidaritas global) dan global
security (keamanan global). Kedua ideologi global tersebut
yang berslogan kedamaian dan ketenangan hidup bagi para
pengikutnya, telah saling berbenturan dan menimbulkan
kebingungan pada kaum muda bangsa kita.
Filsafat bangsa kita Pancasila, merupakan satu-satunya
alternatif bagi mereka, untuk menentukan masa depan di
titik yang dilematis sekarang ini. Namun, kondisi mereka
yang buta geografi dan buta budaya bangsa sendiri, dapat
melarutkan peradaban (civilization) bangsa Indonesia ke
arah yang tanpa arah. Tanpa usaha-usaha "cegah dini" para
penyelenggara negara Republik Indonesia, hari depan
Indonesia untuk mereka akan sirna. Bahkan yang lebih
166
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

parah lagi, mereka dapat terjerembab ke dalam ideologi


teror.
Membunuh akar terorisme harus dengan cara
menetralkan habitatnya yang dalam konteks aktual
Indonesia saat ini, menetralisasi pikiran dari golongan
masyarakat ekstrem. Masyarakat ekstrem dikenal dalam
interaksi sosial masa kini, sebagai masyarakat yang
menyukai kekerasan. Kekerasan yang nyata sekarang ini
dimiliki Oleh dua warna ideologi dunia, baik Barat maupun
Islam fundamentalis. Secara kontekstual kontemporer di
Indonesia ini terorisme dari Barat belum bermain,
sedangkan serentetan peledakan bom sejak malam Natal
tahun 2000 membuktikan terorisme dari kaum ekstrem atau
fundamentalis agama sudah bermain. Upaya deradikalisasi
terhadap masyarakat fundamentalis muslim, harus
dilakukan Oleh masyarakat muslim sendiri.
Tahapan deradikalisasi didahului dengan
disengagement, yaitu melepaskan diri dari ikatan psikis dan
metapsikis dari lingkungan para teroris. Perang psikologi
telah memberikan hasil empirik berupa gerakan rakyat
Cirebon pada Kamis 21 April 2011, yang menolak jasad
almarhum teroris Muhammad Syarif (pelaku bom mesjid
Ad-Dzikro Polresta Cirebon) dimakamkan di sana.
Penggalangan cerdas yang sempurna telah menggerakkan
opini rakyat, sehingga berhasil merebut legitimasi di
kalangan masyarakat setempat. Suatu penggalangan
intelijen86 dapat dikatakan sempurna, jika dilakukan bukan

86
Penggalangan adalah suatu fungsi untuk mengubah opini sasaran, menjadi kondusif
bagi pihak sendiri (pihak kita). Fungsi Penggalangan biasanya dilakukan Oleh intelijen,
yang dibedakan dengan fungsi Pembinaan yang dilakukan Oleh aparat teritorial.
Pembinaan merupakan fungsi untuk mempertahankan atau meningkatkan kondisi yang
telah kondusif. Adapun Penggalangan bertujuan mengubah keadaan yang semula tidak
kondusif, menjadi kondusif bagi kita. "Penggalangan" biasanya dilakukan baik secara
tertutup (senyap) ataupun terbuka, sedangkan 'Pembinaan” biasanya dilakukan secara
167
FILSAFAT INTELIJEN

hanya secara cepat dan tepat, tetapi juga berlangsung secara


senyap. Penggalangan merupakan senjata paling ampuh di
dalam perang teror yang berlangsung dewasa ini.
Filsuf Antonio Negri menyebut perang dewasa ini
memasuki perang berkelanjutan, yang terus menciptakan
bentuk kehidupan tertentu 87 . Perang melawan terorisme
sejatinya bertujuan menyingkirkan bentuk kehidupan
radikal dan membangun bentuk kehidupan baru yang pro
kemajemukan dan antikekerasan. Perang bukan lagi soal
destabilisasi struktur kekuasaan, melainkan mekanisme
aktif untuk terus menciptakan tertib sosial baru dan merebut
legitimasi. Adapun yang diperebutkan adalah keyakinan
masyarakat dunia, bahwa perjuangan yang dilakukan
pihaknya adalah absah secara moral.
Kenyataan ini menunjukkan betapa perang sudah
beranjak jauh dari bentuk militeristik dan menjadi lebih
ideologis, politis, sosial, dan kultural. Pengetahuan
mengenai keadaan dan sifat peperangan yang berkembang
di era global ini, secara epistemologis menuntut jawaban
dari bingkai paradigma pemikiran baru tentang perubahan
sifat perang. Perang saat ini bukan lagi hanya perlu prajurit
berotot atau misil berpandu laser, melainkan intelijen yang
cerdas dan lunak dalam memperoleh legitimasi moral.
Perang sekarang adalah siasat untuk memanfaatkan ruang
(media) dan waktu (momen atau peristiwa), dalam

terbuka. Penggalangan "senyap" biasanya dilakukan Oleh intelijen klandestin (Gerakan


bawah tanah/Organisasi Rahasia, termasuk Al-Qaeda).
87
Negri mengatakan, "war against a concept or set ofpractices, somewhat like a warof
religion, has no definite spatial or temporal boundaries. Such wars can potentially
extend anywhere for any period of time. Indeed, when U.S. leaders announced the 'war
against terrorism' they emphasized that it would have to extend throughout the world and
continue for an indefinite period, perhaps decades or even generations. A war to create
and maintain social order can have no end." (Antonio Negri, 2004,
Multitude: War and Democracy in the Age of Empire, hlm. 14)
168
BERTINDAK CEPAT (VELOX) DAN TEPAT (EXACTUS)

memenangkan hati publik dan mematahkan jus ad bellum


dari musuh (Adian, 2011).0

169
'+FILSAFATINTELIJ
EDU
Dalam situasi chaos dan anarkis, yang
diperlukan adalah kecepatan (velox)
dan ketepatan exactus) dalam
memutuskan dan bertindak untuk
menyelamatkan manusia. Keselamatan
sesama manusia harus selalu lebih
diutamakan, karena situasi darurat tidak
mengenal hukum: necessitas non habet
lege....
"NECESSITAS ANTE
RATIONEM EST"
edaruratan dapat memunculkan tindakan yang tidak
masuk akal. Oleh karena itu, dalam suasana kedaruratan,
hukum tidak lagi dikenal. Untuk mengatasi hal ini intelijen
tidak perlu bergantung secara kaku kepada hukum positif
(iusconstitutum) yang dibuat untuk negara dalam keadaan
normal. Dalam situasi chaos dan anarkis, yang diperlukan
adalah kecepatan dan ketepatan dalam memutuskan dan
bertindak untuk menyelamatkan manusia. Langkah
demikian merupakan cikal bakal hukum baru, yang dapat
langsung berlaku demi menyelamatkan jiwa manusia.
Keselamatan sesama manusia harus selalu lebih
diutamakan, karena situasi darurat tidak mengenal hukum:
necessitas non habet legem. l

I Adagium necessitas non habet legem dikokohkan oleh Santo Romano, Hakim asal Italia
yang termasyhur di awal abad ke-20. Romano menolak pendasaran kedaruratan pada
hukum. Kedaruratan bukan sesuatu yang asing sehingga perlu diberi pendasaran
hukum sehingga masuk akal. Baginya, kedaruratan adalah

171
FILSAFAT INTELIJEN

Pada tahun 1997 intelijen telah menyarankan agar


pemerintah cepat memberlakukan keadaan darurat di
daerah Sampit yang waktu itu sedang dilanda konflik
antarkelompok masyarakat. Demikian pula ketika terjadi
konflik horizontal serupa di Sambas, yang disusul dengan
konflik tahun 1999 di Ambon, Poso, dan Iain-Iain tempat.
Dalam kondisi anarkis yang demikian, bangsa
Indonesia di sana berada dalam ruang hampa hukum.
Kekuatan hukum tidak dapat lagi mengikat manusia yang
bagaikan serigala terhadap sesamanya, larut dalam situasi
yang tak terkendali. Keadaan negara di Ambon, Poso, dan
Iain-Iain tempat itu berada dalam ruang hampa hukum.
Velox atau kecepatan merupakan ontologi intelijen,
yang tanpa sifat itu berarti intelijen tidak ada. Hakikat
sasaran intelijen di saat yang sedemikian itu adalah
menghentikan pembantaian, perkosaan, pembakaran
rumah, manusia saling serang begitu kejam bagaikan
serigala. Sasaran intelijen bukan hanya mempelajari sebab
akibat konflik, yang niscaya memakan waktu karena
memerlukan hasil pengusutan yang mendalam. Intelijen
harus menghentikan dahulu dengan segera kondisi hampa
hukum itu, agar alat-alat negara Yang Iain dapat memulai
usaha pengakhiran konflik.
Dalam kondisi hampa hukum, tindakan politik
pemerintah merupakan hukum baru yang sangat
diperlukan. Tindakan itu legal dan hukum baru yang
berlaku pada saat demikian bukan diktatorial, karena
hanya berlaku pada situasi darurat Kedaruratan adalah
suatu keadaan yang semua tatanan telah tiada atau semua
aturan telah

172
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'

sumber mula-mula hukum itu sendiri. Sebagai sumber hukum ia tidak memerlukan
pendasaran pada norma tertentu. Meminjam istilah Aristoteles, kedaruratan adalah
penggerak pertama (prime mover). Kedaruratan tidak perlu dicarikan pendasaran
hukum karena sedari awal ia sudah berwatak hukum.
menjadi beku. Kedaruratan tidak mengenal hukum
apapun, sehingga melahirkan hukumnya sendiri.
Menurut Donny Gahral Adian (2010): "Hukum
bersumber pada norma yang mengusung kesejahteraan
umum. Kedaruratan pun dipahami sebagai situasi khusus
yang mana hukum telah kehilangan daya ikatnya (vis
obligandi). Kedaruratan disini lantas disandingkan dengan
"dalam keadaan darurat".
Kedaruratan memang tidak berada di bawah hukum,
karena ia melampaui hukum positif. Namun eksistensi
kedaruratan harus diakui oleh keadaan darurat, yang tentu
saja hanya berlaku dalam konteks ruang dan waktu karena
keadaan darurat tidak dapat diberlakukan tanpa batas
waktu dan keadaan. Tidak ada undang-undang yang
bersifat darurat diberlakukan tanpa pembatasan waktu dan
tempat diberlakukannya. Pemerintah tidak dapat
mengajukan rancangan undang-undang darurat, dalam
keadaan yang bukan merupakan kedaruratan.
Sebelum mengajukan rancangan undang-undang
keadaan darurat, perlu disahkan dahulu undang-undang
keamanan nasional. Berdasarkan undang-undang tersebut
Dewan Keamanan Nasional (DKN) menyusun analisis
kontijensi, yang menyangkut kemungkinan ancaman,
gangguan, hambatan dan tantangan yang dihadapi.
Analisis kontijensi disusun berdasarkan perkiraan keadaan
intelijen strategis (Kirintelstra) atau strategic intelligence
estimate dari BIN.
Kirintelstra ini merupakan produk dari proses
perputaran roda inteijen (intelligence cycle), terhadap

173
FILSAFAT INTELIJEN

berbagai data intelijen yang masuk dari Badan-Badan


Nasional terkait. Misalnya, analisis terhadap AGHT
terorisme dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT), analisis terhadap AGHT narkoba dari Badan
Narkotika Nasional (BNN) dan Iain-Iain. Dengan
kelengkapan itu, maka langkah-langkah pemerintah untuk
mengumumkan curfew (jam malam) dapat diberlakukan di
mana pun, sehingga fungsi intelijen pengamanan dengan
pendekatan represif juga dapat dibenarkan secara sosial.
Dalam konteks ini Franz Magnis-Susen0 88
menyatakan: "...Jangan menabukan penetapan keadaan
darurat. Situasi sudah darurat, dong! Jelas harus ada jam
malam, harus ada tindakan keras .... Di mana masih ada
massa bergerak, pasukan yang diberi sarana untuk
bergerak cepat langsung diterjunkan dan seperlunya
mereka bisa bertindak represif Pakailah keadaan darurat
untuk menangkap semua yang dicurigai sebagai
provokator. Usutlah kalau ada pihak asing campur tangan,
dan jangan pandang bulu. Di mana Kristen mengancam
muslim, Kristen direpresi, di mana muslim mengancam
Kristen, muslim direpresi. Dan jangan omong kosong
tentang hak asasi manusia, seakan-akan aparatyang
menundukkan massa yang beringas melanggar hak asasi
manusia. Tentu harusproporsional. Tetapi, bertindak
dengan keras, termasuk penggunaan senjata tajam,
terhadap massa yang mengancam membunuh, membakar,
memperkosa, merusak, dan tidak mau mundur apabila
diperingatkan, bukannya melanggar hak asasi manusia,
melainkan aparat melanggar hak asasi manusia apabila
tidak dihadang... Negara wajib memakai kekerasan

88
Franz Magnis-Suseno, 2006, Berebut Jiwa Bangsa, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
Cetakan I, hlm 120.

174
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'

apabila itu satu-satunya cara untuk mencegah pelanggaran


hukum. Perlindungan itu adalah hak asasi segenap warga
masyarakat..."
Untuk menghentikan konflik SARA di Maluku,
pasukanpasukan "jihad" yang terlibat langsung dalam
benturan horizontal tersebut, baru berhenti setelah mereka
sendiri membubarkan diri. Penggalangan intelijen dengan
pendekatan "lunak" dan "cerdas" yang diiringi dengan
pendekatan "keras", berhasil menghentikan kebiadaban
tindakan manusia yang berlangsung cukup lama.
Pendekatan keras terpaksa harus mengiringi, untuk
melindungi warga masyarakat menjadi korban lebih lanjut
dari bantai membantai yang biadab. Penggalangan dengan
pendekatan keras, dalam disiplin ilmu sosial dikenal pula
sebagai tindakan represif
Konflik di Poso mulai mereda dan akhirnya berhenti
setelah pemerintah Republik Indonesia —melalui Menteri
Koordinator Kesejahteraan Sosial, Jusuf Kalla— turun
sampai ke tataran operasional. Ketika itu rombongan Jusuf
Kalla mendatangi, baik kantong-kantong umat Islam
maupun kantong-kantong umat Kristen yang saling
bermusuhan. Semua pimpinan mereka menyatakan,
bahwa kelompoknya dizalimi oleh lawannya. Jusuf Kalla
dalam dialog publiknya mengatakan, di sana umat Islam
merasa dizalimi, sedangkan di sini umat Kristen juga
merasa dizalimi. Lalu siapakah sebenarnya yang
menzalimi itu? Yang menzalimi adalah "setan", yang terus
saja membakar nafsu binatang pada manusia untuk saling
bunuh membunuh.
Dalam hal terjadinya anarkisme demikian yang
kebanyakan bernuansa SARA terbukti, ketiadaan wibawa
pemerintah sebagai pelindung rakyat. Melindungi jiwa

175
FILSAFAT INTELIJEN

dan harta benda warga negara Indonesia dari ancaman


terhadap keselamatan mereka, merupakan kewajiban
negara Pancasila yang paling esensial. Oleh karenanya,
tidak akan ada tuduhan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia bagi prajurit, yang melindungi manusia dari
pembunuhan manusia lain. Membiarkan rakyat saling
bunuh, merupakan political crime (tindak kriminal politik)
pemerintah.
Pemerintah yang terlambat apalagi tidak berbuat apa-
apa, berarti telah melakukan tindak kriminal karena
pembiaran (crime by omission). Kegagalan dalam
mencegah konflik sosial merupakan kegagalan negara.
Kegagalan tersebut bukan dalam hal deteksi dini tetapi
lebih pada kegagalan dalam cegah dini, yang merupakan
kewenangan alat negara yang bersifat konkret. Namun
masyarakat awam selalu menjatuhkan vonis kegagalan
tersebut kepada intelijen. inilah permasalahan intelijen
yang menyangkut moral politik.
Berlarut-larutnya konflik horizontal dan
gerakangerakan anarkis dalam masyarakat, karena
pemerintahan transisional dilanda kebingungan politik di
tengah kerancuan filsafati. Negara masih menjunjung nilai
dasar yang terkandung dalam Pancasila yang sifatnya
kolektivisme, namun perkembangan keadaan lingkungan
strategis semakin menjunjung nilai dasar yang terkandung
dalam liberalisme yang sifatnya individualistis. Itulah akar
penyebab mengapa kebanyakan pemerintah demokrasi
baru, kerapkali gamang dalam bertindak.
Kegamangan pemerintah dirasakan oleh para
pelaksana di lapangan, seolah-olah alat negara yang di
zaman totaliter boleh berbuat apa pun, di era reformasi
sekarang ini tidak boleh berbuat apa pun. Pemerintah tidak

176
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'

cukup hanya mengeluarkan statement (pernyataan) klasik,


misalnya dalam peristiwa Sampang, bahwa para pelaku
harus segera diambil tindakan tegas atau bahwa hükum
harus ditegakkan. Hükum yang mana? Untuk
melaksanakan fungsi operasional keamanan Republik
Indonesia, aturan perundang-undangan yang tepat tidak
juga kunjung lahir —khususnya menyangkut apa yang
harus diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat oleh
alat-alat negara di bidang intelijen, keamanan dan
hukum— dihadapkan pada ancaman aktual yang terus
berubah dalam sifat dan bentuknya.
Undang-undang yang tepat tentu saja yang aplikatif,
dalam arti memayungi segala macam siasat atau metode
operasionalnya di lapangan sesuai dengan filsafat
Pancasila. Di antara para Legislator yang kerjanya lebih
sering menghujat pemerintah ternyata tidak berbuat
banyak, terhadap aturan perundang-undangan di era
reformasi yang tidak berdaya dalam menghadapi hakikat
ancaman terhadap negara bangsa Indonesia. Di atas semua
itu adalah kewajiban bagi pemerintah untuk segera
melakukan tindakan cepat, yaitu mengumumkan Sampang
dalam keadaan darurat tidak dilakukan.
Para elite bangsa Indonesia terlalu sibuk dengan alasan
trauma masa lalu, sehingga secara gegabah menuduh
intelijen negara kita lemah atau tumpul, kemudian
membandingkannya dengan intelijen zaman Orde Baru
yang lebih kuat dan tajam. Mereka lupa bahwa personel
intelijen yang bekerja di era reformasi sekarang ini lebih
dari 2/3 bagian adalah personel intelijen zaman Orde Baru.
Mereka juga lupa, bahwa yang berbeda adalah sistem
politik yang digunakan (dulu totaliter, sekarang
demokratis), perkembangan lingkungan strategis nasional

177
FILSAFAT INTELIJEN

(dulu penuh rahasia, sekarang dituntut transparansi, yang


di masa transisi ini cenderung berlebihan), administrasi
kenegaraan (dulu keputusan cepat dari tangan satu
pemutus kebijakan, sekarang bertele-tele dan sangat
birokratis), perbedaan metode (dulu pintu represifterbuka
lebar, sekarang hampir tidak ada) dan keadaan
sasaransasaran yang dikehendaki (dulu boleh saja
dihancurkan dengan mudah, sekarang tidak jelas boleh
atau tidak).
Yang paling penting lagi adalah aksiologi morał
kepemimpinan bangsa kita, yang terdapat pada jiwa para
penyelenggara negara sebagai pengguna intelijen negara.
Dałam leadership (kepemimpinan), manajemen, dan
administrasi pemerintahan negara Pancasila, tanggung
jawab atas kesalahan anak buah harus diambil alih secara
konsekuen oleh para pemimpin atasannya. Namun di
zaman reformasi Indonesia saat ini, banyak pemimpin
yang justru lebih rajin dałam mencuci tangannya sendiri
dari segala kekeliruan yang terjadi.
Dałam hal ini Franz Magnis Suseno (2006)3
mengatakan: "...Kalau para prajurit di lapangan bingung,
hal iłu dapat dimengerti. Apalagi kita sudah mempunyai
cukup kasus yang memperlihatkan sikap tidak ksatria
eselon atas yang membiarkan orang di bawah diseret ke
pengadilan karena pelanggaran hak asasi manusia,
sedangkan dia sendiri cuci tangan. Tetapi di mulutpara
komandan, apalagi eselon atas, dalih iłu sama dengan
pernyataan kebangkrutan morał dan intelektual. Masak
tidak tahu bahwa aparat iłu bertugas untuk menegakkan
hukum, untuk melindungi masyarakat dari tindak
kejahatan? Perlindungan rumah dan hak milik orang
termasuk di situ. Sedangkan melindungi nyawa warga

178
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'

masyarakat terhadap ancaman merupakan kewajiban


negara paling dasar sejak ribuan tahun. Masak melindungi
orang terhadap pembunuhan dianggap melanggar hak-hak
asasi manusia...”
Seni kepemimpinan harus siap untuk mengambil
tindakan yang tidak populer dałam memikul tanggung
jawab terhadap keputusannya. Seorang pemimpin harus
berani menanggung risiko tidak populer, bukan justru

3 Ibid. 133.
hanya mencari popularitas seperti pemain sandiwara yang
memang merindukan tepuk tangan publik.
Dalam kewajibannya untuk melindungi rakyat yang
terancam jiwanya, para pemimpin harus cepat
memaklumkan suatu daerah berada dalam keadaan
darurat. Pemerintahan yang indecisive, lamban, tidak
dapat diharapkan untuk mencerahkan rakyatnya yang
sedang dilanda kegelapan.
Merupakan kewajiban pemerintahan negara untuk
menghadirkan kecerahan opini awami, tentang berbagai
hal yang membahayakan keselamatan publik. Masyarakat
awam cenderung menyalahkan intelijen, ketika terjadi
peledakan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, bom di Hotel
Marriot Jakarta pada 5 Agustus 2003, bom di Jalan
Kuningan (Kedubes Australia) Jakarta pada 9 September
2004, bom di Bali yang ke II pada 1 Oktober 2005, bom di
Hotel Marriot II pada 17 Juli 2009.
Dalam Ilmu Militer, berbagai kejadian yang tak
terduga sebelumnya atau yang merupakan surprised
(pendadakan), merupakan kesalahan taktis, bukan teknis.
Serangkaian bom yang terjadi di Indonesia, berlangsung

179
FILSAFAT INTELIJEN

tidak pada saat penanggungjawab intelijen di tangan orang


yang sama. Sejak reformasi bergulir hampir setiap BIN
dipimpin oleh Kepala BIN yang berbeda, terjadi peledakan
bom. Bahkan juga ketika era Soeharto di mana Bais
nampak lebih berperanan.
Kejadian pada Bom Bali I di era kabinet Megawati
Soekarnoputri misalnya, tidak terlepas dari bom yang
berledakan di sebelas gereja pada malam menjelang Natal 24
dan 25 Desember dini hari tahun 2000 di era pemerintahan Gus
Dur. "Bom Natal" tersebut juga terkait dengan bom yang
meledak sebelumnya di Jakarta Stock Exchange pada 14
September tahun 2000 dan juga di Ramayana Departement
Store Jalan Sabang Jakarta pada Januari 1999. Bahkan, para
pelakunya ternyata kemudian merupakan penganut ideologi
yang sama, yaitu Islam politik yang hidup subur dalam
masyarakat fundamentalis global. Hanya pada era Presiden
Soeharto ketika penulis sebagai Direktur D (Pengamanan VIP)
pelaku peledakan bom yang bernama Shirosaki
Tsutomu89adalah orang yang berideologi Marxis komunis.
Dalam model analitis yang menggunakan pohon
terorisme, para pelaku hanyalah laksana daun-daun dari
pohon besar terorisme internasional, yang melakukan
surprised attack (serangan pendadakan) ke Menara
Kembar New York 11 September 2001. Mereka
merupakan kelompok masyarakat dunia dalam network
(jejaring) supra-nasional Al-Qaeda pimpinan Osama bin
Laden. Secara terstruktur dalam aspek ideologis, jejaring

89
Pada tanggal 14 Mei 1986, dua mortir (roket) ditembakkan ke kompleks Kedutaan
Besar AS di Jakarta, Indonesia. Kemudian, dua roket ditembakkan dari sebuah
kamar hotel menuju Kedutaan Besar Jepang. Pada hari yang sama, sebuah bom
mobil meledak di tempat parkir Kedutaan Besar Kanada menyebabkan cedera tiga
orang. Sebuah kelompok yang menamakan dirinya Anti-Imperialis Internasional
Brigade (AllB) mengaku bertanggung jawab atas tindakan. Serangan itu
merupakan respon atas KTT G7 di Tokyo.

180
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'

Al-Qaeda mempunyai cabang-cabang dan ranting-ranting


yang mendunia.
Di Indonesia dikenal jejaring Jemaah Islamiyah (JI)
yang dipimpin oleh Abdullah Sungkar (alm.) dan
Abdussalam (nama palsu), dua orang keturunan Arab asal
Solo. Kedua orang itu merupakan buronan politik di era
Presiden Soeharto sejak tahun 1971, yang melarikan diri
ke Malaysia kemudian memisahkan diri dari Darul Islam
(DI)/Negara Islam Indonesia (NII). Ketika pemerintah
Malaysia melakukan razia besar-besaran menangkapi
"kaum militan" dan di Indonesia terjadi reformasi, mereka
kembali ke Indonesia dan mengoperasikan JI yang telah
disebar dalam beberapa mantiqi. 90
Serangan mendadak 11 September 2001 oleh Al-
Qaeda di New York Amerika Serikat yang diikuti Oleh
peledakanpeledakan bom di Indonesia merupakan
suatusecurityfailure (kegagalan pengamanan) 91 intelijen
dunia, bukan intelligence failure (kegagalan intelijen)
Indonesia. Kegagalan fungsi keamanan dunia itu justru
memberikan akses, bagi kegiatan terorisme di Indonesia
selama ini. Jika tidak ada terorisme global, tidak akan
terjadi teror di Indonesia.
Objek kontemplasi yang menarik bagi kita adalah,
mengapa sasaran terorisme di Indonesia kerap kali rakyat
Indonesia sendiri, sehingga korbannya selalu anak-anak
bangsa kita sendiri? Karena itu sangat tepat apa yang
dikatakan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati
Soekarnoputeri di New York pada 2002, bahwa Indonesia

90
Nasir Abas, 2005, Membongkar Jemaah Islamiyah. Pengakuan Mantan Anggota JI,
PT Grafindo Khasanah Ilmu, Jakarta.
91
Security atau Keamanan dunia merupakan tanggungjawab politik internasional
negaranegar adikuasa, yang memegang hegemoni politik dan kultural di tataran
global.

181
FILSAFAT INTELIJEN

bukan negara teroris tetapi justru adalah negara korban


terorisme. Mengapakah ini dapat terjadi, padahal tujuan
para teroris adalah menyerang kepentingan para pemegang
hegemoni dunia? Jawabannya adalah karena ada
kepentingan politik kaum fundamentalis yang
membonceng terorisme global, yaitu mengganti Pancasila
dengan ideologi Islam dan mengganti UUD 1945 dengan
syariat Islam.
Kaum fundamentalis menyadari jikalau penggantian
itu mereka lakukan sekarang secara demokratis,
kemungkinannya untuk berhasil memang tidak ada. Oleh
karena itu, mereka melakukan penggalangan keras dalam
wujud terorisme, sehingga mengorbankan bangsa
Indonesia sendiri. Hal ini yang tidak disadari Oleh
kebanyakan kaum teroris muda, sehingga dalam
ketidaksadarannya kemudian sebagian besar
berkesimpulan, bahwa korban yang berjatuhan di antara
bangsa mereka sendiri adalah karena sesuatu yang tidak
sengaja. Padahal kesimpulan itu sama sekali keliru! Sebab
justru di sinilah letak perbedaan pemikiran antara para
teroris, dengan kaum fundamentalis yang memanfaatkan
mereka.
Kaum fundamentalis memang sengaja menyesatkan
kaum muda yang frustrasi, dengan meyakinkan bahwa
tujuan terorisme mereka adalah Amerika dan Barat, tetapi
dengan terencana mengarahkan sasarannya ke rakyat
Indonesia sendiri.
Merupakan fungsi pemerintah untuk melindungi
segenap rakyat dan tumpah darah Indonesia. Oleh
karenanya, intelijen negara kita harus yakin, bahwa
ancaman terhadap bangsa Indonesia setidaknya pada
dekade ini adalah tetap terorisme. Terorisme yang mana?

182
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'

Dua-duanya, yaitu terorisme nasional dan terorisme


internasional, karena terorisme nasional menghancurkan
bangsa kita sendiri dan terorisme internasional diboncengi
oleh kaum fundamentalis nasional. Dengan
pemboncengan itu akhirnya bangsa kita sendiri juga Yang
menjadi korbannya.92
Selama ini fungsi penyelidikan dan penggalangan
intelijen Indonesia sudah berjalan dengan baik, karena
telah mampu memberikan informasi tentang kegiatan
Jama'ah Islamiyah secara dini, bahkan yang mengarah
pada terorisme internasional jauh sebelum terjadinya
serangan 11 September 2001 di New York (Lampiran 4).
Dokumen yang melekat pada lampiran 4 buku ini,
diterima oleh BIN dari Teuku Hasbi alias Abu Jihad. Abu
Jihad adalah Presiden Republik Islam Aceh (RIA) yang
tertangkap oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat dan digunakan untuk operasi penggalangan oleh
Satgas-Satgas Operasi militer TNI di Aceh93.
Dokumen tersebut dikonfirmasi oleh Gaus Taufik, seorang
mantan tokoh DI/NII yang berdomisili di Medan. Namun,
informasi yang tersirat dalam dokumen tersebut gagal
kegunaannya, karena tidak dianalisis secara velox (cepat) dan
exactus (tepat) oleh para pengguna. Kegagalan itu diawali dari
modus penilaian intelijen, yang disamakan dengan modus
penilaian hukum. Hukum menilai dokumen yang hanya berupa
fotocopy selebaran itu tidak berlaku untuk di pengadilan,

92
Terorisme nasional dilakukan Oleh para teroris yang dipimpin Oleh kaum
fundamentalis bangsa sendiri dan bertujuan untuk mengganti Pancasila sebagai
dasar filsafat negara dengan ideologi Iain, yang bertentangan dengan Pancasila.
Adapun terorisme internasional dipimpin Oleh kaum fundamentalis global yang
tergabung dalam suatu jaringan supra nasional dan bertujuan merebut hegemoni
peradaban dunia.
93
Teuku Hasbi alias Abu Jihad digunakan dalam operasi intelijen penggalangan berturut-
turut oleh Satgas-Satgas Kopassus pimpinan Mayor Ilyas Yusuf dan juga Mayor
Syafri Syamsuddin pada dasawarsa 1990-an.

183
FILSAFAT INTELIJEN

sedangkan intelijen seharusnya menilai informasi di dalam


dokumen tersebut berlaku untuk penyelidikan.
Penyelidikan oleh intelijen harus dilakukan, karena
sumber informasi adalah Abu Jihad dan Gaus Taufik, yang
mempunyai nilai A sebagai sumber informasi. Artinya,
sebagai sumber informasi mereka itu berkualifikasi
"Dipercaya" oleh intelijen. Jika hasil penyelidikan
ternyata benar atau tepat, maka aparat keamanan (bukan
hanya intelijen) dapat dengan cepat melakukan berbagai
langkah "cegah dini". Menganggap enteng informasi
merupakan penyebab, mengapa fungsi keamanan di dunia
ini gaga194.
Pada awal reformasi nasional harus diakui, bahwa kerja
sama internal intelijen antarlembaga di Indonesia tidak begitu
baik, karena berkembangnya sifat arogansi sektoral Yang
datang seiring dengan liberal individualisme. Pemerintahan
reformasi Indonesia terlalu Iamban dalam membuat
undangundang yang mengatur, siapa yang harus
mengkoordinasi intelijen negara dan apa serta sampai dimana
kewenangan dan tanggung jawab masing-masing. Beruntung
kerja sama intelijen ASEAN malah jauh lebih baik, sehingga
ketika tiga dari para teroris yang menjadi biang keladi
kekacauan di Poso tertangkap, dua dari buronan internasional
itu berhasil kita depak keluar dari Republik Indonesia. Dalam
konteks kasus Poso, intelijen telah bersandar pada legalitas
moral, ketimbang legalitas hukum.

94
Intelijen Indonesia menerima informasi dari Abu Jihad alias Tengku Hasbi mantan
Presiden RIA (Republik Islam Aceh, yang menyatakan, bahwa terdapat penawaran
berupa surat edaran yang ditujukan kepada para ulama NII dan tokoh-tokoh
fundamentalis, untuk bertemu dengan Osama bin Laden 3 (tiga) tahun sebelum
peristiwa 11 September 2001 (Copy surat terlampir di buku ini). Deteksi dini dari
intelijen Indonesia tersebut tidak dinilai sebagai intelijen oleh sistem peradilan
Indonesia, karena edaran itu hanya berupa fotokopi. Sistem peradilan kita sekarang
yang merupakan kendala bagi pemerintahan dalam melindungi negara, juga terlihat
dari salah satu sidang terhadap orang yang diadili masih sebagai warganegara

184
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'

Kita harus berbuat apa pun yang bisa diperbuat, untuk


menghentikan saling bunuh di antara bangsa kita sendiri
yang tidak berkesudahan. Karena itu di tengah carut
marutnya hukum yang mengatur masalah keamanan
nasional, BIN mengambil inisiatif untuk menangkap Umar
Farouk dan Mugeni, kemudian juga Siam Redha, demi
menyelamatkan umat manusia di sana yang terus-menerus
saling bunuh membunuh. Hanya Siam Redha yang
terpaksa kita serahkan kepada Polri dan diadili di
Indonesia, dengan hasil dihukum enam bulan karena
terbukti hanya melakukan pelanggaran imigrasi saja.
Sebelumnya, intelijen kita telah menyampaikan informasi
tentang adanya kem (camp) pelatihan militer di Poso pasca

Indonesia, padahal ia sudah lama kehilangan kewarganegaraannya karena


meninggalkan Indonesia lebih dari 5 (lima) tahun dan telah memegang paspor
Malaysia. Sistem peradilan Indonesia juga tidak cukup lentur terhadap dinamika
ancaman, sehingga mengabaikan kedudukan pentingnya sebagai imam Jama'ah
Islamiyah, hanya karena tidak ada surat keputusan resmi yang tertulis. Padahal
gerakan klandestin (rahasia atau bawah tanah) tidak pernah dalam prosedur dan
disiplin organisasinya, menggunakan pernaskahan apa pun (seperti misalnya
dokumen-dokumen atau surat menyurat).
masuknya sekelompok orang asing ke sana. Orang-orang asing
tersebut adalah Omar Bandon, Yusuf Gallan, dan lainlain
berjumlah sebelas orang, termasuk penunjuk jalannya yang
bernama Pandiangan Siregar. Mereka terbang dari Spanyol
menuju Poso melalui Bali. Para infiltran-infiltran asing itulah
yang mendinamisasi bentrokan fisik antarbangsa kita, dalam
peristiwa Poso. Bentrokan massal tersebut terus berlarut hingga
terjadi saling bunuh, saling bakar dan saling siksa antarmanusia
penganut umat beragama, yang seharusnya bermoral, tapi
ternyata begitu mudah tenggelam dalam kebiadaban yang
mengerikan.
Mengetahui kenyataan ancaman demikian, BIN telah
mengerahkan tim khusus dengan status BKO dari
Kopassus di bawah pimpinan Letkol Andika Perkasa.

185
FILSAFAT INTELIJEN

Namun, hal tersebut ternyata tidak berkenan pada oknum


aparat penegak hukum di Indonesia, yang merasa
'dilangkahi' kewenangannya dalam penyelesaian kasus
biadab tersebut. Mereka lupa bahwa dalam situasi apa pun,
hukum hanya dapat menyatakan apakah langkah intelijen
itu salah atau benar, tetapi moral dalam kedaruratan yang
menyatakan langkah intelijen itu baik atau buruk.
Meskipun hukum positif menyatakan intelijen telah
melanggar hukum karena tidak mempunyai wewenang
penangkapan, tetapi moral mewajibkan intelijen untuk
berbuat baik bagi rakyat Poso yang sedang terancam dan
terus dibayangi oleh bahaya maut. Kewajiban moral dari
hatinurani inilah, yang dimaksud oleh Imannuel Kant
sebagai Imperative Category. Dengan demikian, maka
dunia, termasuk Indonesia, perlu secara terencana,
terkoordinasi dan terus-menerus, meningkatkan kerja
sama intelijen bilateral dan multilateral, baik lokal maupun
regional dan internasional.
Alhamdulillah, sekarang DPR Republik Indonesia
sedang membahas RUU Konvensi untuk mengesahkan
Konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme.
Kerja sama ASEAN harus dibakukan dan harus dibuat
secara melembaga, yang dikaitkan dengan undang-undang
intelijen negara. Dengan demikian, tidak terjadi lagi tuduh
menuduh atau saling curiga mencurigai, ketika terjadi
suatu peristiwa yang mendadak.
Analisis pengamat yang menyesatkan seolah Bom Bali
I merupakan ledakan mini-nuklir, serta-merta menggiring
opini umum bahwa peledakan bom tersebut merupakan
buah "rekayasa" intelijen. Secara internal intelijen
memang perlu segera memperbaiki kinerjanya dalam
fungsi pengamanan, melebihi fungsi-fungsi lainnya.

186
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'

Kegagalan dunia intelijen dalam kasus Al-Qaeda


misalnya, lebih condong pada security failure (kegagalan
pengamanan) daripada fungsi-fungsi intelijen lainnya.
Tuduhan awami bahwa telah terjadi intelligence failure
(kegagalan intelijen) di Indonesia merupakan hal yang
keliru, karena kegagalan intelijen bukan semata-mata
kegagalan Badan atau Lembaga Intelijen mana pun.
Subjek intelijen negara adalah pemerintah negara
Republik Indonesia sendiri, karena nilai intelijen sangat
tergantung kepada pemerintah. Jika intelijen mensinyalir
ada latihan di Poso seperti yang disampaikan pada tahun
2000, tetapi pemerintah tidak berbuat apa-apa maka
informasi penting itu ternyata tidak ada gunanya. "...Badan
Intelijen yang ada dalam suatu negara merupakan
pelaksana daripada intelijen negara...

10 Lihat: Pidato Presiden Republik Indonesia dalam pelantikan Laksamana (Tituler) Dr.
Soebandrio sebagai Kepala Badan Pelaksana Intelijen (BPI) pada tahun 1963 di
Jakarta.
Badan-badan pelaksana intelijen tersebut merupakan
alat negara, yang kebenaran atau keberhasilan dalam
melaksanakan fungsinya sangat tergantung kepada
penggunanya yaitu pemerintah. Jika kita gagal
menggergaji kayu, tidak benar jika kita membanting atau
memaki-maki alat gergajinya. Kalau alatnya tersebut
tumpul, pemerintah harus mengasahnya apalagi jika sudah
karatan atau usang, segera saja diganti dengan alat baru.
Pemerintah harus mengerti dan piawai dalam
menggunakan semua alat-alatnya, bukan malah larut
bahkan ikut pihak lain memaki-maki alatnya sendiri.
Perkembangan keadaan lingkungan strategis juga
memberi pengaruh terhadap kinerja Badan-Badan intelijen

187
FILSAFAT INTELIJEN

kita itu. Intelijen yang berfungsi melakukan "deteksi dini",


kerapkali dipersalahkan atas kegagalan mencegah
terjadinya suatu peristiwa. Padahal fungsi "cegah dini"
merupakan tanggung jawab pemerintah melalui alat
negara lainnya yang mempunyai fungsi sebagai tangan
dan kaki ( Lampiran 5).
Intelijen hanya berfungsi sebagai mata dan telinga,
kecuali intelijen tempur ketika menghadapi musuh negara
(bukan musuh pemerintah negara). Kegagalan itu terletak
pada kecerdasan (intelligence) pengguna di antara deteksi
dini dan tindakan dini, yaitu ketika para pengguna terkait
menilai hasil deteksi dini intelijen yang masuk kepadanya.
Para pengguna dapat percaya dan dapat pula tidak, atau
dapat juga ragu-ragu. Akhirnya terjadi terorisme di
Indonesia berupa serangkaian bom yang berledakan sejak
reformasi, yang diawali dengan bom Natal pada tahun
2000.
Pendadakan bukan saja oleh serangan bom, tetapi
dapat juga oleh amok massa yang beringas. Kelompok
masyarakat tersebut menyukai kekerasan, yang
merupakan habitat dari terorisme. Persiapan amok
biasanya lebih mudah terdeteksi oleh aparat tertorial TNI,
yang seharihari berinteraksi sosial secara terbuka. Karena
iłu, peran teritorial TNI di negara demokrasi justru harus
dipertajam, dengan mengaturnya dałam suatu undang-
undang teritorial. Hasil deteksi dini dari berfungsinya
pembinaan teritorial, dapat membuat berfungsinya
pengamanan intelijen menjadi lebih baik.
Sebagai contoh berfungsinya intelijen teritorial,
terlihat dałam peristiwa benturan fisik di Tarakan yang
terjadi pada tahun 2010. Para pengguna intelijen ragu-ragu
pada laporan hasil deteksi intelijen teritorial, karena

188
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'

menilai laporan dini intelijen sebagai informasi biasa.


Laporan intelijen yang meyakinkan harus lengkap memuat
SIABIDIBAM (siapa, apa, bilamana, di mana, bagaimana,
dan mengapa). Laporan lengkap tersebut, meskipun
derajatnya hanya berupa "memo intelijen” yang singkat,
namun harus diakhiri dengan suatu rekomendasi dari
berbagai kemungkinan cara bertindak (alternative courses
ofaction).
Kegagalan dałam Perkiraan Keadaan Intelijen (Kirka
Intel) berakibat pada tidak jelasnya ramalan intelijen bagi
para penggunanya. Kirka Intel tidak selalu harus tertulis,
karena kerap kali demi kecepatannya, ramalan kejadian
justru harus disampaikan secara lisan. Hanya intelijen
teritorial yang paling ampuh dałam menggalang
masyarakat agar sadar dan bergerak. Masyarakat secara
mayoritas niscaya menginginkan hidup dałam kedamaian,
tetapi apa yang mereka kerjakan kerap kali tidak
menunjukkan usaha untuk mencapai keinginan iłu.
Mereka hanya tinggal sebagai kekuatan besar yang
membisu (silent majority) dan apa yang mereka kerjakan
sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka sebenarnya
mendambakan kedamaian iłu. Pembinaan teritorial di
Republik Indonesia

189
"NECESSITAS ANTE RATIONEM
ESV

bertujuan untuk menyadarkan masyarakat, sehingga


mereka mengetahui apa yang sebenarnya harus dikerjakan
dan kemudian bagaimana cara mengerjakannyall
Peranan negara dalam resolusi konflik seperti di
Kalimantan Barat relatif amat kurang, kecuali aktivitas
negara pada tahapan awal berupa usaha de-eskalasi
konflik yang juga ternyata gagal. Aksi pemerintahan
negara dalam pembinaan wilayah/teritorial pada
pascakonflik, hanya terbatas pada tahapan intervensi
kemanusiaan, khususnya hanya mengurus relokasi
pengungsi dan melakukan inventarisasi aset, khususnya
tanah-tanah milik suku yang terdepak dari daerah itu. Para
pengguna intelijen pada tahap de-eskalasi konflik telah
gagal dalam melaksanakan operasi teritorial jangka
pendek: Terhadap upaya mencegah eskalasi yang bersifat
masif dan destruktif. Di damping itu negara terlihat tidak
mampu secara cepat, menghentikan berlanjutnya
kekerasan12 .
Konflik horizontal dalam catatan intelijen, tidak
pernah dapat diselesaikan pemerintah dari rezim ke rezim
sejak era totaliter sekalipun. Di era demokrasi sekarang,
kemampuan negara justru semakin lemah. Negara bahkan
tidak mampu mengatasi amok preman berjubah, yang
hanya berjumlah ratusan orang menantang kewibawaan
negara untuk melindungi rakyatnya. Untuk
kejadiankejadian demikian pemerintah negara sebagai
pengguna intelijen, harus dengan cepat melakukan
tindakan represif yang legal, konstitusional dan legitimasi.
Pemberlakuan keadaan darurat sipil, misalnya, yang jika
situasinya

190
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'

II Kodiklat TNI AD, 1995. Petunjuk Lapangan Teritorial TNI AD, Bandung.
12 Heru Cahyono (Ed.), 2008, Heru Cahyono, Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Asvi
Warman Adam, Septi Satriani, Konflik Kalbar dan Kalteng: Jalan Panjang Meretas
Perdamaian. LIPI, Jakarta, hlm. 181.
meningkat menjadi lebih berbahaya, dapat ditingkatkan
Iagi menjadi keadaan darurat militer.
Pengguna intelijen sering kali takut terhadap
kemungkinan akan goyahnya perekonomian nasional,
karena para investor (terutama para pemodal asing)
melarikan diri. Peraturan perundangan di Indonesia yang
demokratis harus dapat memberlakukan secara setempat
(lokal) keadaan darurat, bahkan kalau perlu dapat berlaku
di desa yang bersangkutan saja.
Dalam keadaan daruratmiliter atau keadaan bahaya
atau bahaya perang atau apa pun istilah yang dipakai di
negaranegara demokrasi liberal, dimungkinkan
penggunaan kekuatan militer secara terbatas, untuk
melindungi rakyat dari bahaya maut. Di dalam peperangan
yang berlaku adalah hukum perang atau hukum
humaniter95, yang mengatur berbagai hal, terutama terkait
dengan hak asasi manusia.
Peristiwa seperti pengepungan terhadap hanya satu
orang teroris di Temanggung pada 2009, yang bertele-tele
dan memakan waktu sampai 23 jam, merupakan tontonan
yang menggoyahkan kepercayaan publik terhadap sistem
keamanan negara kita. Ini beban moral yang cukup
beratbagi intelijen, karena intelijen yang brilian 96 telah

95
Yang dimaksud adalah perang konvensional atau perang yang harus tunduk kepada
hukum internasional atau konvensi-konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa. Perang
inkonvensional yang tidak tunduk kepada hukum internasional seperti Insurgency
Waffare ataupun revolusi bersenjata yang mengabaikan hukum, yang berlaku dalam
kenyataan adalah To kili or to be killed (membunuh atau dibunuh). Dalam kondisi
yang demikian itu, peran Pancasila sebagai pedoman moral dan perilaku intelijen
negara Republik Indonesia semakin sentral.
96
Brilian karena merupakan produk terbaik intelijen selama era reformasi, yang
ditunjukkan oleh Satgas Bom dan Densus 88 Polri. Sejarah intelijen negara perlu
mencatat prestasi gemilang Gories Mere, Suryadharma Salim, Bekto Sudarto, Beny

191
FILSAFAT INTELIJEN
ditindaklanjuti dengan suatu raid (penyergapan) fisik oleh
pasukan yang tidak terlatih untuk melakukannya. Dalam
kondisi darurat demikian, undang-undang keadaan darurat
militer melegalkan penggunaan pasukan raiders
(penyergap) TNI.
Namun, alergi terhadap TNI telah berkembang
menjadi ketakutan masyarakat terhadap intelijen negara.
Sikap apriori seperti itu membuat TNI sebagai aset mahal
negara Republik Indonesia menjadi kekuatan yang
mubazir. Dikotomi penggunaan Polri dan TN I, perlu
dipertimbangkan kembali. Realitas keadaan lingkungan
global dan lokal saat ini, telah membawa perbedaan antara
"pertahanan” dengan ”keamanan” menjadi kabur dan
bahkan lenyap.
Operasi militer dengan penegakan hukum adalah dua
sisi dari mata uang logam (coin) yang sama. Tidak ada lagi
perbedaan antara musuh luar dan musuh dalam. Pelaku
teror dalam negeri ternyata telah disusupi Oleh ideologi
asing. Pelaku teror yang melarikan diri ke negara tetangga,
terus berkontribusi terhadap aksi teror di dalam negeri.
Dalam disiplin hukum dan intelijen, apa yang mereka
kerjakan dikenal sebagai kegiatan subversif, sedangkan
dalam ilmu perang dikenal sebagai perang ber”intensitas
rendah” (Iow intensity warfare). Perang jenis ini
memerlukan upaya penegakan hukum, yang berintensitas
tinggi (high intensity law enforcement).

Ontologi, Epistemologi, Etika Intelijen


Ontologi adalah filsafat tentang ada. Ontologi intelijen
berarti bahwa keber-ada-an atau the Philosophy of Being

Mamoto, Tito Karnavian beserta para anggota timnya, yang didampingi oleh Ansyad
Mbay. Sejarah intelijen diperlukan sebagai referensi praktik, yang relevan dengan
filsafat intelijen negara RI.

192
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'
intelijen Negara Republik Indonesia bukan saja dibatasi
Oleh hukum positif, tetapi juga Oleh hukum moral dan
etika. Intelijen di negara demokrasi ini mempunyai
nilainilai dasar sebagaimana yang terkandung di dalam
filsafat Pancasila. Postur intelijen negara mengandung tiga
hal pokok, yaitu kemampuan, kekuatan, dan gelar.
Kemampuan, yaitu secara intelektual dapat
berkontemplasi baik induktifmaupun deduktif dan
menguasai ilmu serta berbagai teori intelijen. Secara fisik
terampil dalam praktik, sehingga dapat bekerja sendiri
dan/atau dalam tim yang kompak.
Kekuatan, yaitu menyangkut jumlah anggota baik
organik maupun non-organik, dalam jajaran organisasi
dan perlengkapannya.
Gelar, yaitu berkaitan dengan penempatan fisik. Untuk
penempatan ini banyak kesempatan yang baik bagi
intelijen, dalam menempatkan para agennya di seluruh
dunia. Misalnya, kebanyakan Presiden pada akhir termin
ke II pemerintahannya menempatkan kawan-kawannya,
sebagai duta besar atau para konsul di luar negeri.
Kesempatan itu sangat baik bagi intelijen negara untuk
menggelar agen-agennya di seluruh dunia15. Sejarah
intelijen mencatat banyaknya karier diplomatik, yang
dijalani oleh para agen intelijen negara.
Tiga hal pokok tersebut harus dipahami dari Sisi
ontologis, epistemologis, aksiologis dan etika. Ontologi
intelijen atau keber-ada-an intelijen dalam kehidupan,
dapat diumpamakan seperti Otak dan pancaindera
manusia. Sebagai pancaindera, intelijen berfungsi melihat,
mendengar, mencium, merasa, meraba, dan kemudian

193
FILSAFAT INTELIJEN
15 Pada termin II pemerintahannya di AS Presiden Ronald Reagan misalnya,
menempatkan para sahabatnya, antara Iain seorang guru besar UNCLA sebagai
Duta Besar di India, temannya sesama artis Shirley Temple Black sebagai Duta
Besar di Ghana Afrika kemudian di Czekoslovakia, juga temannya di Georgetown
University dijadikannya Konsul Jenderal AS di Kepulauan Bahamas, para
pendukungnya ketika kampanye pemilihan dirinya sebagai Presiden dan Iain-Iain
di berbagai jabatan yang bersifat political appointees (penunjukan politis, bukan
profesional).
menyampaikannya kepada otak, untuk dipikir dengan
segenap kecerdasannya.
Kecerdasan membuat intelijen bebas dari segala
macam bentuk mistik atau logika gaib. Sumber
pengetahuan intelijen adalah dari kecerdasan otak
manusia, bukan dari dukun yang mengaku mendapat
wangsit. Logika metafisik justru merupakan predator yang
dapat membunuh eksistensi intelijen.
Intelijen secara ontologis dapat dirangkum dalam dua
kata: velox (kecepatan) dan exactus (keakuratan).
Keakuratan fisik duniawi tidak mungkin diterima dari
metafisika, karena seluruh aktivitas intelijen negara harus
transparan dan akuntabe197. Yang dimaksud "transparan”
di sini adalah nyata suatu aktivitas intelijen, bukan suatu
rekayasa yang diolah secara sembunyi-sembunyi. Namun
”transparan” di sini juga bukan berarti metode intelijen
harus selalu terbuka (putih) atau merupakan rahasia
umum.17
Ancaman terhadap keamanan nasional bukan sesuatu
yang periodik melainkan berlanjutan. Situasi tenang dapat
dirobek tiba-tiba oleh bom bunuh diri, yang memakan
korban tidak berdosa. Sebab itu intelijen tidak dapat
bertindak layaknya aparat penegak hukum. Apabila aparat
penegak hukum mengumpulkan bukti-bukti yang
mencukupi sebelum memutuskan, apakah terdapat
indikasi perbuatan melawan hukum, maka aparat intelijen

97
Andi Wijayanto, 2006, Velox et Exactus, Penerbit Pacivis, Jakarta.
17 Rahasia umum artinya bukan rahasia lagi.

194
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'
harus berkejaran dengan waktu dalam mengumpulkan
informasi. Intelijen harus mampu mendeteksi sejak awal
sebuah ancaman terhadap keamanan nasional sebelum itu
mewujud.
Namun, deteksi dini tersebut tidak dapat keluar dari
rambu-rambu aksiologis yang diturunkan dari dasar
negara Pancasila. Artinya, kodrat intelijen tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari batas-batas etis yang ada.
Apabila tidak, intelijen dapat terjebak ke dalam perangkap
"intelijen liar" yang melanggar rambu-rambu etika.
Berikut ini adalah kerangka teoretik Intelijen Ideal:

Intelijen

Velox et Exactus
Cara memperoleh informasi tertutup
Tunduk pada kebebasan sipil, prinsip-prinsip HAM
Pengumpulan Memiliki kewenangan khusus yang diatur secara jelas dan
tegas di dalam UU
Otorisasi penggunaan wewenang khusus
Informasi
Ada prosedur tetap
Validitas dan reliabilitas bisa diuji
Mengkombinasikan penggunaan teknologi intelijen dan
intelijen manusia
Objektif
Komprehensif
Penggunaan metode-metode ilmiah
Berbasis data
Validitas dan reliabilitas bisa diuji
Informasi terkini
Harus mampu menghasilkan skenario
Preskriptif-analisis; mendalam Need-to-know
principle
Public right-to-know principle
(pertanyaan ada atau tidak mekanisme terminasi
kerahasiaan dalam kaitannya dengan UU Rahasia Negara
dan UUKMIP; dan ada tidaknya mekanisme deklasifikasi
informasi sebelum masa terminasi berakhir)

195
FILSAFAT INTELIJEN
Harus berdasarkan pada informasi dan analisa informasi
yang objektif, akurat dan komprehensif
Mengutamakan metode persuasi dan propaganda
Hanya untuk sasaran ke luar/pihak asing atau target
yang spesifik Otorisasi
Baru bisa dilakukan apabila: didasarkan pada hasil
analisa informasi secara objektif; harus ada otorisasi;
harus dapat dipertanggungjawabkan; harus mampu
berhadapan dengan hukum

Otorisasi: hasil keputusan politik


Kontrol dari atau pemberitahuan kepada sub atau select
committee
Dilakukan oleh satgas intelijen
Non-partisan
Untuk sasaran dalam negeri, hanya dapat dilakukan
Penggalangan
jika memenuhi salah satu dari empat syarat spesifik:
Bekerja bagi kepentingan negara asing atau musuh
Menunjukkan permusuhan terhadap keseluruhan
bangunan konstitusi dan sendi-sendi ketatanegaraan
yang diwujudkan melalui cara-cara kekerasan
Mendorong terjadinya konflik kekerasan primordial
Menggunakan cara-cara kekerasan untuk melakukan
suatu perubahan sosial-politik
Timeframe dan kewenangan jelas
Mekanisme pelaporan. Baru bisa dilakukan, bila:
Didasarkan pada hasil analisa informasi secara objektif
Harus ada otorisasi
Harus dapat dipertanggungjawabkan
Harus mampu berhadapan dengan hukum: tidak boleh
melanggar HAM
(Sumber: Andi Wijayanto, 2006)

Epistemologi adalah filsafat pengetahuan. Pengetahuan


intelijen tentang realitas perang masa kini merupakan
"deteksi dini" dan hasilnya bersifat "peringatan dini".
Tindak lanjut pengguna setelah "peringatan dini" adalah
mengambil langkah "cegah dini". Artinya, mencegah
ancaman potensial terhadap masyarakat agar tidak berubah

196
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'
menjadi ancaman nyata. Pencegahan tersebut dapat
dilakukan oleh:
Pertama, intelijen negara yang dikoordinir oleh BIN
dan terdiri dari Polri, TNI, serta intelijen lintas departemen
untuk menanggulangi ancaman, gangguan, hambatan dan
tantangan musuh yang rumit, kompleks, dan multi
dimensional. Dałam administrasi Presiden Susiło
Bambang Yudoyono, terdapat BNPT yang berfungsi
sebagai koordinator intelij en, kh usus untuk
menanggulangi terorisme. Secara kontekstual, metode
yang digunakan oleh intelijen adalah operasi
penggalangan dengan pendekatan lunak dan cerdas.
Kedua, Sandi Yudha, yaitu suatu kemampuan intelijen
strategis yang berada dałam jajaran Komando Pasukan
Khusus (Kopassus). Pendekatan yang digunakan oleh
operasi Sandi Yudha adalah pendekatan dengan
kekerasan. 98 Kopassus dapat diperkuat oleh pasukan-
pasukan khusus dari TNI-AL dan TNI-AU, yang telah
dilatih khusus dan diperlengkapi khusus, untuk
melaksanakan operasi intelijen strategis. Operasi intelijen
strategis 99dilakukan sepanjang spektrum perang100
Kesesatan epitemologis pemerintahan otoriter dan juga
pemerintah negara-negara Barat pada umumnya, yang
dipelopori oleh AS sampai dekade awal abad XXI, telah
mengakibatkan rancunya antarfungsi intelijen. Rancu
antara intelijen yang sebagai fungsi BIN, dengan intelijen

98
Pendekatan dengan kekerasan bukan berarti tidak menggunakan pendekatan lunak
dan cerdas. Kerapkali Passandha Kopassus harus melakukan ketiga macam
pendekatan iłu secara terkombinasi.
99
Operasi intelijen strategis adalah operasi intelijen dengan sasaran key point (titik kunci),
yaitu tempat yang menentukan keberhasilan operasi intelijen tersebut. Metode yang
digunakan adalah putih, kelabu dan hitam secara terkombinasi.
100
Spektrum perang adalah waktu sebelum perang (persiapan perang), pada saat perang
dan sesudah perang, di mana negara sedang berada dałam kegiatan konsolidasi
nasional. Operasi intelstrat di saat negara sedang melakukan konsolidasi pasca
perang adalah kontra intelijen strategis, yang bertujuan menangkal kemungkinan
serangan balas strategis dari musuh (operasi interdiksi).

197
FILSAFAT INTELIJEN
strategis yang sebagai fungsi dari Sandi Yudha Kopassus
(di AS disebutSpecial Forces). Kesesatan epistemologis
intelijen AS dan banyak negara Barat tersebut, bahkan
berlanjut hingga melahirkan badan-badan baru yang
niscaya akan terus menerus melaksanakan praktik intelijen
secara value free (bebas-nilai). Praktik intelijen yang tidak
mengandung nilai praksis, tidak akan mengandung
kebenaran apapun. Akibatnya, terjadi terorisme negara
yang semakin jauh dari etika.
Kebenaran yang bersandar kepada ilmu pengetahuan
(science) sebagai sumbernya dan menolak metafisika,
merupakan epistemologi intelijen. Kebenaran dalam
intelijen ditentukan pertama kali Oleh tinggi atau
rendahnya derajat kebenaran, yang dikandung oleh
sumber pengetahuan tersebut.
Misalnya, sumber pengetahuan adalah "orang kita
sendiri" yang menyusup (melakukan infiltrasl) ke dalam
organisasi teroris, maka derajat kebenaran dia sebagai
sumber pengetahuan lebih tinggi (bernilai A) daripada
seorang informan (bernilai B atau C). Apalagi jika hanya
dari sumber seperti pemerhati dengan posisi di luar
organisasi teroris terkait (dapat bernilai C atau D).
Kebenaran sumber pengetahuan harus
berkorespondensi dengan pengetahuan yang telah
disampaikannya, dan kebenaran itu bersifat koheren, yaitu
diperkuat oleh kebenaran pengetahuan yang telah datang
sebelumnya (bernilai 1). Akhirnya, semua pengetahuan
yang dikandung oleh intelijen, harus dapat diverifikasi
secara empirik.
Kebenaran intelijen merupakan kebenaran otoritas,
karena intelijen merupakan pihak, badan, orang, kegiatan
atau pengetahuan yang mempunyai kompetensi untuk
melaksanakan intelijen. Atas dasar kebenaran itu, intelijen

198
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'
bertujuan untuk mencapai keselamatan dan keamanan
umum atau masyarakat, di mana individu-individu
manusia berada di dalamnya. Berbeda dengan kebenaran
hukum yang bertujuan untuk mencapai keadilan. Hukum,
menurut kaum positivis, merupakan suatu kepastian yang
tidak memerlukan penafsiran apapun. Dengan teks-teks
yang dipahami secara literal, seorang hakim dapat
menentukan seseorang benar atau salah.
Adian (2011) yang merujuk pada filsuf Derida,
menjelaskan bahwa keadilan berjalan setapak di depan
hukum tertulis. Kebenaran filosofis intelijen tidak selalu
harus berdasarkan hukum. Pengetahuan diperoleh melalui
penarikan kesimpulan dari sederet informasi yang
diterima. Penarikan kesimpulan intelijen tidak dapat
bekerja secara induktif. Artinya, intelijen tidak dapat
mengumpulkan bukti-bukti khusus secara signifikan,
sebelum menarik kesimpulan umum. Pengumpulan bukti-
bukti khusus terkadang memakan waktu yang cukup lama,
sementara materialisasi ancaman tidak dapat menunggu
kelengkapan bukti-bukti.
Proses penarikan kesimpulan intelijen harus memakai
logika penyimpulan, menuju penjelasan terbaik (inference
to the best explanation). Penyimpulan menuju penjelasan
yang terbaik bermula dari sebuah premis, tentang kondisi
atau kenyataan tertentu. Premis di sini berupa proposisi
mengenai hasil observasi intelijen. Penjelasan adalah
sebuah klaim mengenai: mengapa sampai muncul kondisi
atau kenyataan seperti itu. Penyimpulan menuju
penjelasan terbaik dimaksudkan, untuk menerangkan
suatu kenyataan tertentu tanpa berpretensi menjadi
O

199
FILSAFAT INTELIJEN
absolut. Sebuah penjelasan disebut paling baik karena
didukung oleh argumen yang paling kokoh, paling tidak
untuk sementara. Pola penalaran penyimpulan menuju
penjelasan terbaik memiliki kemiripan, dengan dua pola
penalaran induktif, yaitu penalaran induktifenumeratifdan
induktifanalogis.

Pola Induktif Enumeratif:


X persen anggota grup A memiliki properti P
Maka X persen semua anggota grup A kemungkinan besar
memiliki properti P

Pola Induktif Analogis:


Benda A memiliki properti Pl, P2, P3 dan P4
Benda B memiliki properti Pl, P2, P3
Maka, benda B kemungkinan besar memiliki properti P4
Pola penyimpulan menuju penjelasan terbaik sendiri
sebagai berikut:
Fenomena Q
E menyediakan penjelasan paling baik untuk Q
Maka, kemungkinan besar E adalah benar

Misalnya, fenomena perampokan toko emas dengan


senjata api dalam jumlah besar dan dilakukan tidak
menjelang hari besar keagamaan. Penjelasan terbaik dari
fenomena tersebut adalah uang hasil rampokan akan
dipakai untuk membiayai tindak terorisme. Hal ini
disimpulkan dari penggunaan senjata api dalam jumlah
besar dan waktu tindak perampokan yang tidak berdekatan
dengan hari besar keagamaan (tidak ada kebutuhan
ekonomi mendesak). Dengan demikian, penyimpulan
menuju penjelasan terbaik akan sampai pada kesimpulan,

200
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'
bahwa perampokan toko emas tersebut terkait dengan
pembiayaan rencana tindak terorisme.
Demi kesadaran moral dan hati nurani seorang warga
negara yang bertanggung jawab kepada keselamatan
masyarakat, dalam praktiknya terkadang intelijen terpaksa
harus "melanggar" hukum. Apabila karena pelanggaran itu
intelijen yang bersangkutan harus dihukum, sama sekali
tidak berarti intelijen tersebut buruk. Setiap intelijen harus
ingat bahwa hukum dibuat tidak untuk menentukan
baikburuknya seseorang sebagai manusia, tetapi semata-
mata untuk menjamin terciptanya keselamatan, keamanan,
dan ketertiban masyarakat umum. Pengorbanan intelijen
yang sampai menjadi seorang terhukum adalah semata-
mata demi tercapainya tujuan hukum sendiri, yaitu
menjamin keadilan untuk keselamatan, keamanan dan
ketertiban
semua orang.
Dalam hal ini Franz Magnis Suseno (1987)21
menyatakan: "Setiap masyarakat mengenal hukum.
Norma-norma hukum adalah norma-norma yang dituntut
dengan tegas Oleh masyarakat, karena dianggap perlu
demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma
hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar.
Orang yang melanggar hukum pasti akan dikenai
hukuman sebagai sanksi. Tetapi norma hukum tidak sama
dengan norma moral. Demi tuntutan suara hati dan
kesadaran moral, bisa saja kita harus melanggar hukum.
Kalaupun kita kemudian dihukum, itu tidak berarti bahwa
kita orang buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur
baik-buruknya seseorang

21 Franz Magnis Suseno, 1987. Etika Dasar. Masa/ah-MasaIah Pokok Filsafat Moral.
Kanisius, Yogyakarta. Cetakan ke-21 tahun 2010, Hlm. 19.

201
FILSAFAT INTELIJEN
sebagai manusia, melainkan untuk menjamin ketertiban
umum'.
Di dalam hukum, keadilan seorang hakim dalam
memutuskan sebuah perkara sangat tergantung pada
kebijakannya sebagai pribadi manusia biasa, sehingga
tidak terlepas dari kemungkinan adanya bias. Oleh karena
itu, tidak jarang keputusan seorang hakim bertentangan
dengan rasa keadilan masyarakat. Keputusan seorang
hakim dalam perkara yang menyangkut keamanan dan
ketertiban masyarakat tetap mengingat bahwa keadilan
harus mengandung legalitas moral. Tanpa legalitas moral,
hükum tidak berarti sama sekali bagi ketenteraman hidup
manusia.
Dalam menafsirkan hukum, seorang hakim harus
memahami prinsip moral apa yang melatarbelakangi
lahirnya teks hükum yang terkait dalam perkara itu.
Jangankan hükum buatan manusia, dalam hal menafsirkan
kitab suci pun kita harus memperhatikan asbabun nuzul
atau kondisi saat turunnya wahyu Allah SWT. Tanpa
memperhatikan pesan moral yang tersirat pada saat
kelahirannya, teks-teks hükum akan menjadi jasad
(corpus) yang mati.
Bagaimanapun luhurnya suatu hukum, namun jika ia
sudah berupa bangkai, tidak ada lagi gunanya bagi
kehidupan manusia. Legalitas moral yang
melatarbelakangi teks-teks hükum adalah jaminan
keadilan demi ketertiban masyarakat kitap di mana banyak
individü manusia Indonesia berhimpun di dalamnya.
Hükum yang diberlakukan di negara hükum Republik
Indonesia yang demokratis harus legitimate, dalam arti
filosofis. Legitimasi filosofis menyangkut keabsahan
pemberlakuan hukum, oleh karena itu intelijen tidak benar

202
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'
jika hanya merujuk kepada hukum positif tanpa legitimasi
filosofis.
Di negara-negara demokrasi maju sekalipun, ternyata
hukum masih banyak dijadikan sebagai alat bagi
pemerintah demi kepentingan kekuasaan politik.
Buktinya, demi mendemokrasikan negara-negara Timur
Tengah, AS dan NATO tanpa legitimasi moral telah
memanipulasikan hukum internasional untuk
mengabsahkan seranganserangan fisik militer dan
mengorbankan banyak jiwa manusia yang tak bersalah.
Oleh karena itu, kegiatan intelijen yang legitimate bukan
hanya harus berada di bawah payung hukum positif di
suatu negara, tetapi juga harus berada di bawah payung
yang lebih besar Iagi, yaitu payung hukum moral. Payung
besar hukum moral universal adalah etika, yang eksis
secara inheren dalam hati nurani manusia, dan pada
manusia Indonesia diisi oleh kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Etika terdiri atas etika umum dan etika khusus22. Etika
umum membahas tentang prinsip-prinsip moral dasar,
sedangkan etika khusus seperti etika intelijen, misalnya,
menurut penulis menerapkan prinsip-prinsip moral dasar
tersebut di bidang intelijen.
Etika intelijen memerlukan jawaban atas pertanyaan,
mengapa intelijen harus selalu mengacu kepada prinsip
etika umum. Etika umum yang terkandung dalam
Pancasila menuntut penataan intelijen, agar tetap dapat
menjamin terpeliharanya harkat dan martabat orang
Indonesia sebagai manusia di tengah lingkungan global.
Etika khusus terdiri dari etika individual dan etika
sosial. Etika individual memuat kewajiban manusia
terhadap dirinya sendiri, sedangkan etika sosial memuat

203
FILSAFAT INTELIJEN
22 Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi. Bumi Aksara, Jakarta, hlm. Il.
kewajiban manusia sebagai bagian dari bangsa Indonesia
dan umat manusia secara keseluruhan. Etika individual
tidak memberi legitimasi kepada teroris untuk melakukan
bom bunuh diri (suicide bomber), apapun keyakinan yang
dianutnya dan apapun alasan yang mendasarinya. Etika
menuntun manusia untuk berani menghadapi hidup
dengan moralitas sikap yang terpuji. Bukan sikap untuk
lari dari kenyataan, dengan cara bunuh diri.
Adapun etika sosial menyangkut kritik terhadap
pandangan-pandangan dunia dan tanggung jawab manusia
terhadap alam serta lingkungan hidupnya. Oleh karena itu
etika sosial sama sekali tidak memberikan legitimasi
kepada teroris yang melakukan pengeboman, sehingga
menimbulkan korban manusia dan harta bendanya yang
tidak bersalah dan tidak tersangkut paut atau tidak tahu
apa-apa (innocent person). Hal tersebut mengandung
makna bahwa kewajiban terhadap diri sendiri bagai satu
sisi dari mata uang (koin) logam yang sama, dengan
kewajiban sebagai umat manusia di sisi lainnya. Kesatuan
dua sisi dari koin yang sama itu menandakan keterkaitan
yang erat. Keterkaitan tersebut dapat secara langsung,
namun dapat pula dalam bentuk kelembagaan, seperti
keluarga, masyarakat, negara atau dunia.
Etika sosial secara langsung terkait dengan struktur
sosial dan tindakan kolektif. Etika sosial bagi masyarakat
yang berperadaban didasarkan atas prinsip motivasi
penerimaannya terhadap fakta empirik, yang juga
merupakan takdir Ilahi. Realitas kehidupan manusia
bersifat heterogen (majemuk), sehingga harus diterima
oleh etika intelijen negara RI yang Pancasilais.
Etika sosial •masyarakat Indonesia yang berfalsafah
Pancasila didasarkan atas penerimaannya terhadap tatanan
sosial di bawah sesanti Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti
204
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'
berbeda-beda tetapi bersatu. Ini menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia telah berikrar untuk menerima
kemajemukan atau pluralisme, dalam tata pergaulan
kehidupan masyarakatnya (social interaction). Tanpa nilai
dalam simbol yang diterima oleh sebagian besar orang,
motivasi normatif masih berorientasi pada etika
individual. Motivasi normatif tersebut hanya akan
membantu individu dalam mengorganisasi tindakannya,
demi tujuan yang ditetapkannya secara pribadi.
Dalam etika sosial, aturan-aturan bertindak individu
berkaitan langsung dengan kepentingan umum, oleh
karena itu prinsip etika sosial adalah legitimasi. Legitimasi
berarti absah (sah) diterima oleh sebagian besar anggota
masyarakat yang berhati nuram.101
Refleksi filosofis dari etika intelijen dapat
menjernihkan persepsi yang keliru selama ini, yang
dengan semenamena mengklaim intelijen sebagai alat
kekuasaan atau kepentingan kaum imperialis.
Mengandalkan intelijen semata-mata pada hukum positif
dapat mereduksi kemampuan intelijen dalam melakukan
deteksi dini, apalagi cegah dini terhadap bahaya yang
mengancam masyarakat.
Moral adalah habitat intelijen negara RI, karena moral
menilai apakah seorang intelijen baik atau buruk. Moral
tidak sekadar menilai benar atau salah, sebagaimana
penilaian hukum. Aksiologi intelijen merupakan nilai bagi
suatu negara yang bersifat pragmatis. Kegunaan dalam
artian filosofis merupakan nilai tertinggi bagi suatu
eksistensi. Oleh karena itu, intelijen senantiasa hidup

101
Franz Magnis Suseno, 1987, Etika Dasar. Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,
Kanisius, Yogyakarta. Lihatjuga: Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi,Bumi
Aksara, Jakarta.

205
FILSAFAT INTELIJEN
dalam kehidupan setiap bangsa, tempat hidupnya
individuindividu dan masyarakatnya.
Realitas politik di Irak, Afghanistan, Mesir, Libya,
Suriah, Yaman, dan berbagai negara di wilayahTimur
Tengah yang sedang berada dalam keadaan darurat,
memerlukan legitimasi untuk mempertahankan
eksistensinya sebagai negara-negara bangsa. Dalam
konteks ini, intelijen yang bekerja sebagai panca indera
negara, melakukan proses analisis sebagaimana kerja otak,
sehingga dapat menyimpulkan, bahwa negara berada
dalam suasana darurat.
Kedaruratan yang berlangsung di Pakistan pada masa
Presiden Pervez Musharraf, merupakan akibat dari bahaya
fundamentalisme yang menurut intelijen sedang
mengancam negara itu. Demi menyelamatkan Pakistan
yang berkemampuan nuklir, tidak jatuh ke tangan Taliban,
maka Pervez Musharraf kemudian membubarkan
Mahkamah Agung Pakistan. Secara pragmatis berarti
bahwa kedaruratan telah memperoleh pembenaran, dalam
hukum dasar negara Pakistan.
Menurut Adian102, dalam konstitusi Prancis Pasal 92
Constitution of 22 Frimaire Year 8 yang berbunyi: "Saat
terjadi pemberontakan bersenjata atau gangguan lainnya
yang mengancam keamanan negara, hukum dapat
membekukan konstitusi." Apa sebab? Karena kepentingan
atas keamanan negara membuat hukumnya sendiri.
Eksistensi negara yang melahirkan hukum, bukan hukum
yang melahirkan negara. Siapakah yang akan tunduk
kepada hukum, dari suatu negara yang sudah bubar?
Walaupun Italia, Jerman, AS, dan Inggris memilih
untuk tidak mengatur kedaruratan secara eksplisit dalam
102
Donny Gahral Adian. 2011, Teori Kedaruratan Giorgio Agamben, FHUI, Jakarta,
hlm.

206
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'
konstitusi negara mereka, namun dari berbagai macam
konsep negara-negara bangsa itu dapat disimpulkan,
bahwa kedaruratan merupakan keadaan yang pasti akan
dialami oleh setiap negara hukum manapun di dunia.
Anggota Taliban Yang tertangkap tidak mempunyai
status sebagai tawanan perang, sebagaimana yang diatur
dalam konvensi Jenewa. Mereka telah telanjang bulat dari
baju juridis yang dalam keadaan biasa selalu
dikenakannya. Apa yang terjadi di Pakistan juga berlaku
di AS, terhadap para teroris yang tertangkap dan kemudian
dihukum di Guantanamo.
Peniadaan hukum pada situasi kedaruratan di AS,
menurut Adian (2011), bisa dilacak arketipnya pada
hukum Romawi. Arketip itu biasa disebut dengan
iustitium. Ketika intelijen mengetahui bahwa situasi
mengancam republik, senat segera mengumumkan apa
yang disebut senatus consultum ultimum. "Senatus
consultum" berimplikasi pada dekrit yang melaluinya
tumultus diumumkan. Tumultus sendiri adalah keadaan
darurat yang disebabkan Oleh ancaman terhadap
keamanan dan ketertiban masyarakat internal atau
pemberontakan fisik terhadap pemerintahan yang sah
(legitimate). Kata iustitium sendiri secara literal berarti
"pembekuan ius atau tatanan".
Cicero sebagai salah satu konsul Romawi pernah
meminta pemberlakuan iustitium, ketika pasukan Anthony
yang diketahui bergerak menuju ibukota. la mengatakan:
"Menurutku kita harus segera mengumumkan tumultus,
memproklamirkan iustitium dan bersiap maju perang".
Berdasarkan iustitium tersebut hukum yang melarang
membunuh warganegara Romawi tanpa persetujuan
publik, dibekukan. Pemerintahan negara yang bertindak
pada masa iustitium bukan sedang mengeksekusi hukum

207
FILSAFAT INTELIJEN
dan bukan pula sedang melanggarnya. Pemerintahan
negara itu sesungguhnya sedang melakukan proses
penciptaan hukum baru, yang oleh karenanya terhadap
hukum yang ada sedang dilakukan "de-eksekusi".
Tindakan pemerintah tidak tergolong sebagai langkah
diktatorial, karena dilakukan di masa iustitium: ruang
hampa hukum. Sebuah adagium bergaung memantulkan
semangat iustitium: necessitas non habet legem. Artinya,
kedaruratan tidak mengenal hukum apa pun. Kedaruratan
membuat hukumnya sendiri.
Di sisi lain, filsuf Thomas Aquinas memiliki gagasan
berbeda tentang kedaruratan. Kedaruratan bukan prinsip
pembentuk hukum. Hukum bersumber pada norma yang
mengusung kesejahteraan umum. Kedaruratan pun
dipahami sebagai situasi khusus, yang mana hukum telah
kehilangan daya ikatnya (vis obligandl). Kedaruratan di
sini lantas disandingkan dengan keadaan darurat.
Adagium necessitas non habet legem dikokohkan oleh
Santo Romano, hakim asal Italia yang termasyur di awal
abad 20. Menurut Romano, kedaruratan adalah sumber
mula-mula dari hukum itu sendiri. Sebagai sumber hukum,
ia tidak memerlukan pendasaran pada norma tertentu.
Meminjam istilah Aristoteles, kedaruratan adalah
penggerak pertama (prime mover). Kedaruratan tidak
perlu dicarikan pendasaran hukum, karena sejak awal
kedaruratan sudah berwatak hukum.
Menurut Carl Schmitt, kedaruratan tidak melekat pada
hukum melainkan keputusan dalam ruang hampa hukum.
Kedaruratan sendiri adalah pembekuan total terhadap
tatanan juridis yang ada dan sekaligus melepaskan diri dari
pertimbangan juridis apapun di suatu negara. Kedaruratan,
kata Schmitt, berwatak legal meski bukan termasuk tata
legal.

208
"NECESSITAS ANTE RATIONEM EST'
Berwatak legal menurut Derrida, artinya kekuatan
hukum adalah kapasitas untuk mengikat orang lain secara
hukum. Dari sudut pandang teknis, kekuatan hukum tidak
merujuk pada hukum itu sendiri, tetapi pada dekrit
eksekutif yang pada situasi tertentu dapat dikeluarkan,
khususnya pada situasi darurat.
Konsep "kekuatan hukum" sebagai istilah teknis legal
memisahkan antara keefektifan hukum dan substansi
formalnya. Dekrit atau keputusan eksekutif yang secara
formal bukan hukum, tetap mengandung kekuatan hukum.
Ini bukan hal baru. Dalam demokrasi kontemporer,
pembuatan hukum oleh dekrit eksekutif yang kemudian
diratifikasi parlemen merupakan hal yang biasa.
Menurut Agamben dalam kedaruratan tindakan yang
tidak memiliki nilai hukum, justru dapat memperoleh
kekuatan hukum. Sebab kedaruratan telah memindahkan
kekuatan hukum dari hukum yang sudah dilumpuhkan ke
pundak yang berdaulat. Kekuatan hukum adalah semacam
roh bebas yang tidak membutuhkan baju hukum formal
untuk memperoleh kekuatannya. Meski satu norma telah
dilucuti kekuatan hukumnya, sang kekuatan itu tidak
hilang, melainkan berpindah atau mewujud menjadi
sesuatu yang lain. Menurut Adian (2011) hal ini mirip
dengan hukum kekekalan energi dalam fisika modern.
Kekuatan hukum mengambang bebas selaku elemen
yang tak tentu dan dapat diklaim, baik oleh otoritas negara
maupun jaringan teroris. Jika otoritas negara mengklaim
elemen hukum yang sedang mengambang bebas itu, maka
intelijen mempunyai nilai pragmatik yang penuh dengan

209
FILSAFAT INTELIJEN
ESV

kekuatan hukum. Dengan kekuatan hukum tersebut, dalam


konteks Undang-Undang Intelijen, pemberlakuan hukum
intelijen harus berada di luar sistem peradilan kriminal.
Ontologi intelijen memberikan implikasi adanya etika
intelijen, sebagaimana teori Plato yang mengandaikan "Sang
Maha Baik" (summum bonum) di dunia idea, yang mendahului
(menjadi sumber) nilai-nilai baik (etika) yang ada di dunia ini.
Etika intelijen eksis sebagaimana pula teori Hukum Kodrat,
yang mengandaikan ontologi untuk mendasari etikanya.25
Permasalahan dalam intelijen yang tanpa etika di alam
totaliter, telah menyebabkan sirnanya kepercayaan masyarakat
terhadap kejujuran intelijen. Sirnanya kepercayaan membuat
bentrokan antarsuku, agama, ras, dan golongan dalam
masyarakat demokratis terjadi terus menerus, sehingga
mengancam pluralisme (majemuk) masyarakat bangsa kita.
Negara adalah yang wajib mempertahankan bahkan
meningkatkan amal, tentang pluralitas dalam masyarakat
bangsa yang berfalsafah Pancasila ini. Di atas heterogenitas
tersebut harus terbangun persatuan, untuk hidup berdampingan
secara damai (peaceful coexistency). Di sanalah pula etika
intelijen ini berada.
Menurut Rawls26, masyarakat yang majemuk itu dapat
tercipta karena terdapatnya keadilan, yang dapat diterima oleh
semua pihak. Semua pihak menerima, karena konsepnya
mengandung keadilan sosial bagi keseluruhan orang. Sejak
kelahiran bangsa Indonesia, Pancasila telah diterima sebagai
dasar yang merupakan

25 G.P Sindhunata, "Terang Yang Tersembunyi dalam Kegelapan", dalam buku Wibowo I &
Harry Priyono (eds.), 2006, Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz Magnis
Suseno,Kanisisus, Yogyakarta.
26 John Rawls, 1993. Political Liberalism, Columbia University Press, New York,

210
"NECESSITAS ANTE RATIONEM
overlapping consensus atau kesamaan dalam perbedaan
keyakinan, kepercayaan, nilai, dan moral masing-masing. Jika
sekarang terdapat indikasi tentang sikap generasi penerus yang
mulai berpaling dari Pancasila, hal tersebut disebabkan oleh
banyaknya penyimpangan atau kegagalan yang terjadi di masa
lalu.
Namun apakah kesalahan masa lalu dapat menjadi alasan
untuk menyalahkan BIN? Tentu saja tidak, karena ini sama
halnya dengan kebencian orang, terhadap serbuan militer AS ke
Irak: apakah adil jika orang kemudian menyalahkan
demokrasi? Tidak, yang salah tetap para pemimpin AS yang
berperan, bukan teori politik demokrasi yang sarat dengan
etika.
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila, yang
Iahir dari kebudayaan bangsa yang majemuk. Kemajemukan
tersebut merupakan dasar untuk bergaul, berinteraksi sosial
agar dapat hidup bersama dengan tenteram dan damai103. Untuk
dapat hidup bersama dengan tenang, masyarakat Indonesia
sejak kelahirannya telah bersedia untuk saling berkompromi.
Kompromi itu yang melahirkan Pancasila, yang bertujuan agar
setiap manusia Indonesia dapat hidup bersama manusia
Indonesia yang Iain, yang memang ditakdirkan Allah SWT
bertingkattingkat, bersuku-suku dan berbeda-beda.
Hal tersebut tidak sama dengan akidah, yang membenarkan
dipertahankannya perbedaan dalam iman keagamaan masing-
masing. Artinya, pluralisme merupakan pedoman untuk
pergaulan, bukan dalam artian akidah. Tanpa dasar yang dapat
dipedomani untuk pergaulan hidup, masyarakat bangsa kita
akan tetap berada dalam bayang-bayang anarkisme.
EST'

103
Achmad Sujadi, 1999. Pancasila, Penerbit: Lukman Offset, Yogyakarta.

211
FILSAFAT INTELIJEN
Pemerintah sebagaipenggunaintelijen harusmengambil
tindakan terhadap menteri-menterinya yang melakukan praktik
politik, yang bertentangan dengan filsafat Pancasila. Kehidupan
dalam Pancasila harus mengandung nilai praksis, bukan hanya
sekedar praktik belaka. Praktik kerap merupakan suatu
pelaksanaan intelijen yang bebas nilai, sedangkan praksis
adalah pelaksanaan yang terikat pada nilai dasarnya. Praksis ini
yang kerapkali absen dalam keseharian kerja para politisi
pemimpin bangsa kita di era reformasi, namun hal tersebut
tidak berarti dihalalkan di dalam kehidupan intelijen. Dengan
berpedoman kepada nilai dasar itu, dengan mudah dapat kita
memahami secara benar hakikat intelijen yang universal
sekalipun.
Ahli strategi Cina, Sun Tzu, mencetuskan suatu kalimat
yang tertoreh dalam rumus 10 kata, yaitu: "Mengetahui diri
sendiri dan mengetahui musuh, seribukali perang seribukali
menang".
Rumus yang sangat sederhana tersebut merupakan hakikat
dari ilmu intelijen, karena merupakan inti dari berbagai macam
teorinya. Dengan tujuan untuk mencapai kemenangan, teori-
teori intelijen secara sistematik terbagi dalam fungsi
penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Implementasi
dari ketiga fungsi tersebut merupakan cara intelijen untuk
mengetahui diri sendiri, mengamankannya dan mengetahui
musuh, kemudian menjadikannya kekuatan yang
menguntungkan pihak sendiri demi mencapai tujuan.
Penyelidikan (detection) adalah suatu kegiatan untuk
memperoleh keterangan-keterangan mengenai keadaan dan
tindakan apa yang akan dilakukan oleh pihak lawan.
Keterangan-keterangan tersebut setelah diolah dan dinilai
dinamakan "intelijen".
Pengamanan (security) adalah kegiatan untuk mencegah
pihak lawan, mengetahui keadaan dan rencanarencana kita.

212
"NECESSITAS ANTE RATIONEM
Kegiatan pengamanan dapat dilakukan secara aktif atau pasif.
Tindakan pengamanan secara aktif adalah melakukan kegiatan
lawan intelijen (contra intelligence), misalnya melakukan
survei tentang kemungkinan lawan mengetahui keadaan kita.
Adapun pengamanan secara pasif adalah melakukan
kegiatan-kegiatan preventif terhadap kemungkinan pihak lawan
menjadikan kita sasaran intelijen mereka. Misalnya dengan
melakukan camouflage atau penyamaran. Pengamanan
dilakukan terhadap personil, materil, dan keterangan (termasuk
dokumen). Pengamanan personil berarti mencegah personil
kita, dijadikan sasaran oleh intelijen lawan. Pengamanan
materiel berarti mencegah materiel kita menjadi sasaran untuk
dipalsukan, dicuri atau dirusak oleh kekuatan intelijen lawan.
Pengamanan terhadap keterangan berarti mencegah bocornya
informasi tentang kita.
Penggalangan (conditioning) adalah kegiatan intelijen
dengan sasaran psikologis. Oleh karena itu perang antara
kekuatan intelijen penggalangan kita dengan kekuatan
penggalangan intelijen lawan, dinamakan psychological
warfare (Perang Psikologi) atau Perang Urat Syaraf (PUS).
Tujuan penggalangan adalah menggarap sasaran (lawan)
sedemikian rupa, sehingga mau berbuat sesuai dengan
keinginan kita. O

213
Filsafat intelijen negara ini bermaksud
untuk memberikan koridor ontologis,
epistemologis dan aksiologis bagi intelijen
negara Republik Indonesia, di tengah
kebingungan bangsa kita menghadapi
perkembangan keadaan yang serba
dilematis
KEBERMANFAATAN
INTELIJEN
ADALAH KECEPATAN DAN
KETEPATAN MEMPREDIKSI
AGHT

ilsafat Intelijen bukan merupakan proyek skolastik, tapi


merupakan hasil kontemplasi untuk menemukan, bagaimana
tindakan yang cepat (velox) dan tepat (exactus). Hal tersebut
merupakan hakikat sebagaimana semua disiplin ilmu, sehingga
mampu menciptakan kerangka paradigmatik yang mengokohkan
intelijen sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.
FILSAFAT INTELIJEN
Konsekuensi dari refleksi tersebut intelijen harus menyusun
siasat dalam berbagai tatarannya, agar penerapannya sesuai
dengan realitas politik global yang saat ini tengah dan akan terus
berubah. Perubahan makin mengarah ke pengertian bahwa negara
bukan hanya teritori fisik semata-mata, melainkan juga teritori
nonfisik.
Seiring dengan itü ancaman terhadap negara juga berbentuk
nonfisik berupa pemaksaan kultural, sehingga bangsa kita akan
tidak lagi nyata berdaulat terhadap kebudayaan Indonesia sendiri.
Karena itü di era globalisasi yang serba terbuka dan serba bebas
ini, kita perlu mengambil langkah-langkah keamanan yang
dengan keterbukaan dan kebebasan itü tidak dipertengkarkan.
Keamanan insani juga mengandung makna perlindungan
terhadap keterbukaan dan kebebasan warga negara, sehingga
mereka dapat menikmati hak-hak dasarnya. Hak-hak dasar bagi
setiap warga negara adalah kebebasan dari rasa takut (freedom of
par), kebebasan dalam memilih agama atau kepercayaannya,
kebebasan di dalam berserikat, kebebasan dalam menyatakan
kehendak atau menentukan nasibnya sendiri (self determination).
Bapak bangsa Indonesia, Bung Karno, menambahkannya dengan
kebebasan untuk merdeka (freedom to be free).
Namun, hak-hak dasar itü dipahami oleh intelijen, sebagai
bukan kebebasan untuk berbicara semau-maunya dan bertindak
sekehendaknya sendiri, sehingga melanggar hak-hak asasi (dasar)
dari orang lain. Untuk mempertahankan keamanan atas hak-hak
dasar yang demikian itu, kita harus berperang menghadapi
ancaman bentuk baru yang dalam sifatnya juga baru, yaitu perang
masa kini yang bersifat asimetrik.
Dengan demikian, maka perbedaan antara "pertahanan”
dengan "keamanan” menjadi semakin kabur, bahkan akan lenyap
sama sekali. Juga tidak akan ada lagi perbedaan antara musuh dari

216
luar dan musuh dari dalam. Pelaku teror dari dalam negeri sendiri,
misalnya, yang disusupi oleh ideologi asing, memerlukan
bantuan penyadaran
KEBERMANFAATAN INTELIJEN ADALAH KECEPATAN DAN KETEPATAN MEMPREDIKSI
AGHT

dari ketidakdewasaannya itu melalui operasi intelijen


penggalangan.
Wacana operasi penggalangan dengan pendekatan lunak,
cerdas dan keras, sangat dibutuhkan guna melunakkan simpul-
simpul radikalisme, yang berhabitat pada kelompok anarkis dan
yang menyukai kekerasan di antara masyarakat kita sendiri.
Wacana ini berperan untuk menumbuhkan konsep "jihad sosial",
yang dapat menggeser pemaknaan jihad sebagai bom bunuh diri.
Jihad sosial yang dimaksud adalah perlawanan rakyat
semesta, dengan partisipasi aktif dari para alim ulama dan para
pemuka lintas agama yang berwawasan kebangsaan. Perlawanan
rakyat semesta sangat memerlukan dukungan intelijen, yang
harus bersifat cepat (velox) dan akurat (exactus).
Sifat yang melekat itu merupakan substansi yang
membedakan intelijen dengan penegakan hukum, yang selalu
harus bergumul dengan bukti-bukti. Hal ini bukan berarti
mempertentangkan intelijen dengan hukum, tetapi hanya untuk
menjelaskan bahwa ranah intelijen berbeda dengan ranah hukum.
Karenanya maka watak intelijen akan terasa Iebih nyata pada
masa kedaruratan (iustitium), yaitu suatu ruang yang hampa
hukum.
Di dalam ruang yang hampa hukum, berbagai tindakan pada
masa iustitium adalah proses penciptaan hukum baru. Hukum
baru yang Iahir di ruang yang hampa hukum, sama sekali tidak

217
FILSAFAT INTELIJEN
berwatak diktatorial. Kedaruratan tidak menciptakan pejabat
untuk berkuasa, melainkan zona anomali ketika semua
determinasi legal ternyata berhenti bekerja.
Kedaruratan juga tidak perlu lagi dicarikan pendasaran
hukumnya, karena sejak awal ia sudah berwatak hukum.
Kedaruratan memiliki basis etika yang khusus, yaitu
utilitarianisme dengan prinsip yang berbunyi: "Kebahagiaan
Terbesar Adalah Bagi Sebanyak Mungkin Orang". Artinya,
kebenaran intelijen bersifat pragmatis (kebermanfaatan),
dibandingkan dengan korespondensi (kesesuaian).
Kebermanfaatan intelijen harus selalu diukur berdasarkan
kecepatan dan ketepatannya dalam memprediksi ancaman,
gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) terhadap negara-
bangsa Indonesia sekarang dan di masa depan. Oleh karena itu,
intelijen termasuk dalam dimensi individu (personal) dan
sekaligus sosial, yang selama ini kerapkali terabaikan dalam
kebenaran ilmiah.
Karenanya, maka filsafat intelijen negara ini bermaksud untuk
memberikan koridor ontologis, epistemologis, dan aksiologis
bagi intelijen negara Republik Indonesia, di tengah kebingungan
bangsa kita menghadapi perkembangan keadaan yang serba
dilematis.
Selain itu, filsafat intelijen negara juga mengandung nilai-
nilai dasar bagi kontra-intelij en, untuk menghindarkan dirinya
secara permanen dari serangan intelijen musuh dan praktik-
praktik intelijen liar pihak sendiri. Praktik intelijen liar terhadap
pihak sendiri tersebut merupakan predator, bagi eksistensi
intelijen negara Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila.
O

218
AMPIRA
Lampiran 1

SUMPAH INTELIJEN
1. SETIA KEPADA PEMERINTAH DAN NEGARA REPUBLIK INDONES[A YANG
DEMOKRATIS, BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANGUNDANG DASAR
1945.

2, MEMEGANG TEGUH DİSİPLİN, PATIJH DAN TAAT KEPADA PIMPINAN, DENGAN

TIDAK MEMBANTAH PERİNTAH ATAU KEPUTUSAN DINAS.

3. MENJUNJUNG KEHORMATAN KORPS INTELIJEN SETINGGI-TINGGINYA Dl SETIAP TEMPAT,


WAKTU DAN DALAM KEADAAN BAGAIMANAPUN JUGA.

4. MENINGKATKAN KEMAMPUAN INTELIJEN, DAN PANTANG MENYERAH


DALAM MENJALANKAN SEGALA TUGAS DAN KEWAJIBAN JABATAM

5. MEMEGANG SEGALA RAHASIA NEGARA SEKERAS-KERASNYA.


JAKARTA,7 MEİ 2002

AM HENDROPRIYONO

Dengan berbagai pertimbangan dalam pergantian kepemimpinan di BİN,


bunyi lafal itü kini berubah menjadi demikian:

Demi Allah saya bersumpah:

ı. BAHWA SAYA AKAN SETIA KEPADA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA


YANG BERDASARKAN KEPADA PANCASILA DAN UUD NEGARA REPUBLIK

INDONESIA TAHUN 1945.

z BAHWA SAYA AKAN MENJUNJUNG TINGGI HAK ASASI MANUSIA, DEMOKRASİ

DAN SUPREMASI HUKUM


FILSAFAT INTELIJEN
3. BAHWA SAYA AKAN MENJALANKAN TUGAS DAN WEWENANG DALAM

JABATAN SAYA DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH, SEKSAMA, OBYEKTIF, BERANI

DAN PROFESIONAL

4. BAHWA SAYA AKAN MENJUNJUNG TINGGI KODE ETİK INTELIJEN NEGARA Dl

SETIAP TEMPAT, WAKTU DAN DALAM KEADAAN BAGAIMANAPUN JUGA.

5. BAHWA SAYA PANTANG MENYERAH DALAM MENJALANKAN SEGALA


TUGAS DAN KEWAJIBAN JABATAN.

6. BAHWA SAYA AKAN MEMEGANG TEGUH SEGALA RAHASIA INTELIJEN NEGARA


DALAM KEADAAN BAGAIMANAPUN JUGA.
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 2
MARS INTELIJEN

GELORA SEMANGAT JIWAKU ,


MEMBELA NUSA, BANGSA DAN BAHASA

LAKSANA BADAI YANG MENDERU

MENGEMPAS MUSUH NUSANTARA

SETIAP LANGKAH KU UNTUK MU KULIHAT SERTA KU

DENGAR SEMUA

LAKSANA ANGIN YANG BEREMBUS MENGISI

SETIAP RUANG DI DONIA

REFF 3x :
JIWAKU UNTUK MU INDONESIA RAGAKU UNTUK

MU INDONESIA

VELOX-ET EXACTUS, INTELIJEN


220
JAKARTA,7 MEI 2002

AM HENDROPRIYONO

221
FILSAFAT INTELIJEN

222
FILSAFAT INTELIJEN

Lampiran 4 • Dalam hubungannya deagan Taliban dan


Mujahidin. beliau tidak menetang kedu••
duanya, tetapi beliau tengah betusaha
menjndi orang tencah untuk
mcndckatkan kdua kelompok itu agar
• Dari tempat ini memuçttk*ti perhatian
untuk membuat progtaill dan
Arabia. Inilah pesan beliau yang kami langkah.langkah untuk mengusir
Amerika dad Jazitah Arabia antara Inin
sampaikan.
dcngan cara mcngajak pata
Syaikh Usamah bin Ladin s&mrnya
ulanWmubalIigh di manamana di bumi
sangat menginginkan untuk kepada para
Allah inig Sc)ain itu Wiau suatu camp di
ulama dan muballigh di mana mana untuk
tempat itu. tempat bezkumpul para
bermudzakarah agar wujud kuelabaman
mujahidin dati negara•negata Arab
mengenai peduangan ini sehinga bolch
tcnltama yang berjihad di Afghanistan
mcwujudkan gerak iangkah *tagarn dan
pada masa yang lalu.
tetapi kerarta keadaan yang sedang beliau
tengah menwsáapkan mcmbcntuk Jabhah
hadapi memungkinkan beliau keluar dari
Jihadiyah Alam Islami ontnk melawan
tempatnya. Maka dengan rasa rendah hati dan
Amerikw
pnuh hormat beiiaii mengharap dan
Demikianlah hat ihwal Syaikh Usamah bcn
menanti•nanti kedatangan Antom ke tempat
Ladin yang pedu kami khabarkat) kepada
Wituagar mudzakarah boleh diamalkan.
AntUm„
Dcmikianlah amanah lisan dari beliau
kepadâ Antum yang periu kami sampikan Apabila Antum ada kelapangatt dan
beraum untuk ke tempat
Dalam kescmpatan ini petlu kami
Usamah, insya Allah kami untuk mcmbantg
tetangkan kcadaan mengenai beliau
Antum menunjukkan jalan yang aman,
• Syaikh Usamah bin Ladinsekarang
tinggal di Afghanistan di kawasan
Kar4ahar di bawah prlindunpn Taliban.
Akhirnya atas perhatian dan ketjasama Antum kami panjatkan do'a

Akhukumfillah, Demi alasan etis, gama


dan tanda tangan salah satu
pembuat surat ini ditutup.
AB ULLAH SU
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 5

224
MEDIA INDÔNES
Cet" I forum t_diturial

BERITA
UMUM
24 2001

urnom
Terorisme Intemasional Marak
Organițași Dałam Negeri Diduga
Ekonomi eisnis JAKÂRȚA (Medi$: kopała Badan Irilelie-n Negata Letjen (Pum)
H.ndropriycna ra•nțiăyalir adanya organisasg atu kelompok ď dałam negeri

Nusăntort menampung internasjonag seł•iâgga kegiatan iłu mula marak


Jăbotabek di Indor,esłâ.
*Terofitme bisa masuk dan betopeOti *Pâbitâ atau kelompok di dałam rang
menarnpung untvk bekeja sama.• Hendro k epada seusai menpdi
pernbgc*ra d*JôțȚt rakor gubemut
dan Indonesiâ di Depdagti. kemam
Hendto kelompok Yang menarnpung international tetapi
tidak banyak Namon. tak bened.â menyeb.utkân kelornpok atau organisasi
dengan alasan kearnăn.n. dan saat ini sedang dałam proso: penyebdikan
intelȘe-n.
•kelompok.kelompok iłu eudâh ada dicungai dan kațau
sampai melakukan pelanggaran hukom. tentu akan langsung kita t indak.•
tegasnp
la j"agkan. faktor kuat.tidaknya penyawasan dan renta' komando dałam negeri
menjadi salâh satu sebab menjadi ajang aksi teorisme
Fokus intern.słonal Sefain Ńu. joga karena Indonesia metupakan newra transisi
To!ôh mentJju era demokratisasi Ruro
Karena iłu. kata Hendro. Indonesia harus mengambii langkăh cepat untuk
membatasi euforia dan lid* berbuat semaunya.
Ife *Kalau demoktasi kita kelitu. akibatnya kita lemah dan tetorisme menjadi SOS
Romadănî marak karena mudahnya Jalur.jalur terogisme internastonal 'tu
Menurut dia. teronsme internasional iłu masuk
pel abuhan dengan dokumen yâng masuk tanpabaik setara Esik—bisa melalui HAM 14
nonfsik. yaknł mewka
difengkapi dokumen
•Sernua iłu saat ini gedang dałam pembahasan
dan tidak bisa saya
ceritakan," tambahnya_
Oi Manila, Rabu Penasihat Keatnanan
mengatakan pertemuan antara Presiden
Nasional Ftipina Roiło Gole:
Megawati Presiden Filipina Gloria Arroyo Selasa Soekarnoputn dan
(21â) jugo membahas masalâh

225
Abdurrahman Wahid Badan Intelijen ABRI BIK 20
6, 14, 15, 19 BIN 14, 15, 16, 17,
32, 88 Badan Intelijen 18, 19, 20,
Abuya Sayyid Kepolisian 20 21, 22, 25
Muhammad Badan Intelijen 26, 31, 32
115 Negara 14, 15,
Agus Parengkuan 31, 32,
34, 57, 66
122 33, 57, 67,
Ahmadiyah 75, 127, 68, 87 68, 79, 82
128, 129 83, 87, 88,
Badan Intelijen
Alexander Finenko 44 Strategis 15, 19, 20, 125, 159,
Ali Moertopo 52, 68, 169, 175
65, 159 Badan
69 179, 180,
Nasional
Ali, Muhammad 18 181, 192
Penanggulangan
Al-Qaeda 106, 107, 193, 206
Terorisme 31,
141, 153, 216, 231
163, 176, 109, 169
B.J. Habibie 125
182 Amran Bais 19, 20, 31, 65, BKO 20, 31, 32,
Nasution 122 66, 122, 181 BNPT 31,
Antonio Negri 163 109, 169,
159, 175
Aristoteles xiv, 168, 192
Bakin 14, 15, 69,
203 Bom Suryanto 25 Budi
77, 86 bawah
Susilo Soepandji 72, 80
INDEKS kendali operasi 20,
Bung Karno 58, 59,
31
60, 67, 68,
Beny Rulyawan 18
84, 212, 230,
As'ad Said Ali 18, Bey Sofwan 18
231
21, 26, 101, Bhinneka Tunggal Ika
125 24, 40, 46, 95,
99, 140, c
AS Hikam 16
200 Charles Sanders
Atmadji Sumarkidjo
Pierce 62
122 BIA 19
Chotibul Umam
Bijah Soebijanto 18
Wiranu 4

227
FILSAFAT INTELIJEN

CIA 43, 45, 52, 57, Dewan Keamanan 207


58, 59, 60, Nasional 169 Franz Magnis-Suseno
61, 62, 67, Dl/Nil 123, 125, 50, 114,
84, 152, 231 179 Djoko suryo 143, 170
Cicero xii, 202 10, 24, fundamentalisme politik
231 agama
86 fundamentalis
Donny Gahral Adian vii,
radikal
cuci Otak 108, 139, 155,
36
152 169, 201
Dwight Eisenhower
58, 60
George Bush 52 Giorgio
Cumemu 38 Agamben xii,
139, 201,
ekstremis 118
230
ekstremisme 97,
DAS 16, 17, 18 Daud 119, 157 essential GRU 43
Sinyal 122 elements of intelligence
Gus Dur 14, 125,
David Hume 26 38 exactus xi,
demagog 135, 150 30, 64, 175
Demokrasi Pancasila 96, 111, 145,
Habibie, B.J. 125
100 166, 179,
Densus 88 Polri 31, 189, 211 Hadi Purnomo 16
36, 124, 186 213 Hankam 5, 149
deradikalisasi xi, 31, Harsudiono Hartas
108, 109, 127, 12
151, Haryatmoko 47
filsafat Pancasila 4,
154, 163 7, 24, 25,
Hedonisme 73, 98
Dewan Analis Hendro Subroto 102
173, 187,
Strategi 16

intelijen moneter dan intelijen pemasaran

keuangan 29 29

228
INDEKS
IIN 19 intelijen narkoba 29 intelijen
penerbangan
Imannuel Kant 160, intelijen nasional 8, dan ruang
181 10, 11, 15, angkasa 29
Institut Intelijen Nega- 16, 87 intelijen pertahanan
ra 19 intelijen negara 23, 29, 38
intel 17, 28, 37, 39, intelijen politik 29

46 10, 11, 14, intelijen seni dan


intelijen bea dan 15, 17 budaya 29
cukai 29 21, 22, 23 intelijen teknologi dan
intelijen diplomatik 24, 26, 27 informatika
29 31, 32, 33 29
intelijen dunia maya 34, 35, 36 intelijen tempur 29,
29 37, 38, 39 30, 52, 61,
intelijen ekonomi 29 41, 46, 48 62, 65, 84,
intelijen fiskal dan 49, 52, 53 85, 183
perpajakan 54, 57, 61 intelijen teritorial 23,
29 62, 64, 65 37, 39, 129,
intelijen hitam xv, 58 66, 68, 69 184
intelijen imigrasi 29 72, 74, 75 ipoleksosbudhankam
intelijen kejaksaan 76, 80, 83, 16
29 84, 85, 87 Ipoleksosbudhankam
intelijen kepolisian 88, 89, 90 11, 23
29, 30 94, 97, 111 Iriani Sophiaan 18
intelijen kesehatan 112, 121, Islam kebangsaan
Xi
29 122, 133 iustitium xii, xiii, 90,
intelijen kriminal 29 135, 138, 139, 202,
intelijen liar 80, 190, 140, 173 203, 213
214 174, 178,

intelijen media massa


180, 182

229
FILSAFAT INTELIJEN
29 186, 187, Jemaah Islamiyah
intelijen militer Il 188, 189 107, 124,
12, 13, 23 192, 199 176, 177
29, 38, 39 200, 214 jihad xi, 119, 170,
43
intelijen nonmiliter 12 213

jihad sosial xi, 213 Kedaruratan xii, xiii, Kurt M. Campbell


John Allison 60 xiv, 81, 89, 10
John Baron 43, 44 139, 167
John Dewey 62 168, 169
Jono Hatmodjo 38 201, 203 Lembaga Sandi
judex factie 148 Negara 15
judex jurist 148 204, 213
214, 230 KGB le'sprit de Corps 20
Jusuf Kaila 171 Lex superiori
7, 43, 44, 230
Juwono Sudarsono klandestin 35, 36, 37, derogat legi inferiori
10, 42 58, 61, 101 liberalisme 22,
63, 107, 163, 94,
180 95, 131, 159,
Kaelan MS 8, 230 Komando 172
Kardono 77 local genius 6
Pasukan Khusus
local wisdom
Karl Popper 81 30, 159, 192
6
Karni llyas 122 kontra-intelijen Ludwig Wittgenstein
kedaruratan xii, 32, 26
xiii, xiv, xv, 54, 85, 53, 70, 214
88, 89, Koordinasi
90, 139, 167, Intelijen mafia 73
168, 169, Negara Marciano Norman
181, 201, 14, 32, 69
18, 20
202, 203, Kopassus 30, 49,
Marciano Norman
204, 213 78, 159, 179,
Sasono 18
181, 192, Marxisme 6, 102
193 Marxisme-Leninisme

230
INDEKS

102 metode MS, Kaelan 8


Max Scheller 53 kelabu 35, 36, 38 Muhammad Ali 18
Megawati metode Muhammad Busyro
Soekarnoputeri 19 terbuka 38 Muqoddas
Megawati Michael E. O'Hanlon 52, 69, 71
Sukarnopute 10, 230 Muhdi PR 18
ri 19, 25, 52, Moammer Khadaffi Muqoddas,
122, 85 Muhammad
125, 177 Moammer Busyro 71
Menachem Begin Khadafi 74
144 metode Moehammad Jasin 77
hitam 38, 57 Moertopo, Ali 52
jen 32 Parni Hadi 122, 123
Pasukan Para
Komando 30
pasukan
Penanggulangan
Teror 30
Pasukan Sandi
Yudha 29, 30, 159
Pavl Stephanovich
Kuznetsov 44
penggalangan cerdas
42, 80, 108 perang ix,
x, xi, xii, xiv, 4, 13, 23,
28,
30, 33
42,
49,
52 58, 61,
63
65,
67, 71

231
FILSAFAT INTELIJEN

72, 78, 82
85, 88, 113
119, 120
123, 141
145, 146
147, 150
155, 157
158, 159
160, 161
163, 164,
186, 187
191, 192
202, 207
208, 212
perang massal
146 Perang
psikologis
146
N il 124 N-ll
124 o
narco terorism 147 operasi intelijen viii,
necessitas non 4, 5, 14, 29,
habet 30, 31, 37
legem 167, 203
neoliberalisme 94 Nil
123, 124, 125, 42, 49, 52
126, 152, 53, 60, 61
176, 179
62, 65, 66
Noordin Mohammad
67, 68, 69,
Top 107
Norman, Marciano 20 75, 76, 82 84, 85,
Nurcholish Madjid 87
125 88, 103, 152,
Nurhadi Jajuli 18
159, 179,

232
INDEKS

192, 213 150, 151


Operasi intelstrat 29, 162, 171,
192 operasi kontra-
172, 173,
inteli-
174, 177,
Operasi Sandi
178, 186
Yudha 29
Osama bin Laden 30, 188, 190
51, 52, 198, 200
176, 179 205, 206
207, 214,
p 230, 231
Pancasila xvi, 4, 5,
98, 100, 101, 6,
102, 103 120, 11, 21, 24
121 25, 26, 40
124, 125 41, 45, 46
128, 129
131, 134 57, 62
71, 74, 75
135, 140
84, 93, 95
147, 149,
Parako 30
Perang Subversi Presiden Soekarno Rene Descartes
159 58 137
Pierce, Charles PR, Muhdi 18
Rubianto 16
Sanders 62 PRRI 59, 152
pohon terorisme 51, Pusdik Passus 30
151, 176 s
Pohon Terorisme sabotase 30, 42,
144 59, 137
radikalisme xi, 97,
Presiden Soeharto salafi/wahabi 119
98, 119, 156,
15, 68, 125, Samuel Huntington
157, 213
176 143
Santo Romano xiii,

233
FILSAFAT INTELIJEN

89, 167, 203 suicide pilots 112 49, 50, 51


SARA 40, 41, 98, Sumpah Intelijen 21, 70, 71, 74
129, 136, 22 86, 88, 98
170, 171 Sumpah Intelijen
107, 108
Sekolah Tinggi Negara 21
Sun Tzu 72, 207 109, 110
Intelijen Negara
Suparto 18 113, 114
18 senatus
consultum Suryadharma Salim 115, 116
ultimum xii, 108, 186
118, 119,
202 Susanto
120, 123,
Pudjomartono 122
Sergei Egorov 44
Susilo Bambang 127, 139
Sintong Panjaitan
Yudhoyono
49, 102, 231 140, 141
68, 102
Soebandrio 67, 68, 142, 143
Sutanto 18, 20, 79
182, 231 144, 145,
Syekh Ibnu Taimiyah
Soeharto 15, 67,
119 146, 147
68, 125,
Syekh Muhammad 150, 151
175,
Ibnu Abdul
176 152, 153
Wahab 115
Soeharto, Presiden 154, 155,
15 160, 161
Soekarno,
Taktik Bertempur 162, 163,
Presiden
Infantri 12,
58 164, 169
25, 230
Sri-Edi Swasono 6, terorisme x, 176, 177
161 xi, xv, 178, 182
STIN 18, 19 31, 32, 35 183, 192
Sudarsono 122 40, 47, 48
193, 195, 18 w
196
Wahabi 114, 115,

234
INDEKS
the criminal justice 116, 132

system xii, velox xi, 30, 64, Wikileaks 79, 80,


xiv, 151 96, 111, 145, 231
Top, Noordin Moham- 166, 179, William James 62
mad 107 189, 211,

totaliterisme 103 213

tumultus xii, 202 Velox et Exactus 25, Yahya Assegaf 80


109, 189, Yoga Sugomo
190, 231 68
Usman Chatib Warsa

235
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Nasir, 2005, Membongkar Jama'ah Islamiyah, PT Grafindo Khasanah Ilmu, Jakarta.
Adams, Cindy, 1965, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Terjemahan Abul Bar
Salim, Diterbitkan atas kerjasama Ktut Masagung Corp. dan PT Tema Baru, Jakarta.
Adian, Donny Gahral, 2011, "Ancaman Baru, Perang Non-Konvensional", Jurnal Universitas
Pertahanan, Jakarta.
Adian, Donny Gahral, 2011, Teori Kedaruratan Giorgio Agamben, Bahan Kuliah Filsafat Hukum,
FHUI, Jakarta.
Agamben, Giorgio, 2005, State of Exception, University of Chicago Press, Chicago.
Ali Mudhofir, 2003, "Pengenalan Filsafat" dalam buku Tim Dosen IJGM, Filsafat 11mu, IJGM,
Yogyakarta.
Ali, As'ad Said, 2009, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, LP3ES Indonesia,
Jakarta.
Baron, John, 1985, KGB, Misteri di Balik Kegiatan Agen-Agen Rahasia Soviet, Laras Widya
Pustaka, Jakarta.
Baron, John, 1986, KGB, Dinas Rahasia Mata-Mata Uni Soviet, Mega Media, Jakarta.
Cahyono, Heru (Ed.), 2008, Konflik Kalbar dan Kalteng: Jalan Panjang Meretas Perdamaian, LIPI,
Jakarta.
Campbell, Kurt M dan Michael E. O'Hanlon, 2006, Hard Power, Basic Books, New York, USA.
Conboy, Ken, 2007, Intelijen. Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, Pustaka Primatama,
Jakarta.
Hartas, Harsudiono, 1965, "Taktik Bertempur Infantri (TBD", Dalam pelajaran di AMN,
Magelang.
Haryatmoko, "Hukum dan Moral dalam Masyarakat Majemuk", Harian Kompas, IO- Il Juli,
2001.
Hasani, Al, Abuya Assayid Muhammad bin Alawi Al Malikiy, 2003, "Ekstrim Dalam Pemikiran
Agama. Pengaruhnya pada Kemunculan Tindakan Teror dan Anarki", Terjemahan KH M
lhya' Ulumiddin, 2008. Judul asli: Al-ghuluw wa Atsaruhu fil Irhab wa Ifsad AIMujtama',
oleh HM Junaedi Sahal, Sag dan M. Ilyas (Eds.), Penerbit Jama'ah Da'wah Al Haromain,
Surabaya.
Hatmodjo, Jono, 2003, Intelijen Sebagai 11mu, Balai Pustaka, Jakarta.
Hendropriyono, A.M., 1980, "Strategi dan Taktik Militer", Catatan Kuliah dari TB Silalahi, 1975,
Dosen Sesko AD. Bandung.
Hendropriyono, A.M., 2009. Terorisme dalam Perspektif Filsafat Analitika, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta.
Hendropriyono, Diaz Faisal Malik, 2006, Al Qaeda Network: Its Origin, Structure and
Vulnerabilities, Virginia Tech. University, USA.
Hume, David, 1972, Enquiries Concerning Human Understanding and
Concerning the Principles of Morals, ed. L.A Selby-Bigge. Oxford University Press, Oxford.
Hussaini, Adian, 2005, "Simpang Siur Radikalisme", dalam Harian Republika, Kamis 1
Desember, Jakarta.
Jasin, Moehammad, 2005, Memoir Jasin Sang Polisi Pejuang, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Kaelan MS, 2008, Pancasila Bagi Generasi Penerus Bangsa, Penerbit Fakultas Filsafat LJGM,
Yogyakarta.
Kaelan MS, 2008, Pendidikan Pancasila, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Kaelan MS dan Achmad Zubaidi, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, untuk Perguruan Tinggi,
Penerbit Paradigma, Yogyakarta.

236
Karnavian, Tito, 2011, "Terorisme Generasi ke-lll", dalam Majalah Gatra, edisi Maret 2011,
Jakarta.
Kattsoff, Louis O. dalam Pengantar Filsafat, 2006, Alih bahasa: Soejono Soemargono, UGM,
Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, Cetakan ke-X.
Lasiyo, 2008, "Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah. Perspektif Filsafat Sosial pada
Komunitas Adat Pubian Di Lampung" dalam Lasiyo dan A, Fauzie Nurdin,
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Penelitian Agama, Volume XVII No. 3, September-Desember 2008, UGM,


Yogyakarta.
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,
Penerbit Gramedia, Jakarta.
Lee Kuan Yew, 1992. "Democracy, Human Rights and the Realities", Pidato di Tokyo.
Lemhannas, 1981 , Bunga Rampai Wawasan Nusantara, Lemhannas, Jakarta.
Lemhannas, 1989, Ekonomi Pancasila, PT Aries Lima, Jakarta.
Lemhannas, 2009, Index Kepemimpinan Nasional, PT Aries Lima, Jakarta.
Margana, Sri dan Widya Fitrianingsih (Eds.), 2010, Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan
Global. Persembahan untuk 70 tahun Prof. Dr. Djoko Suryo, Penerbit Ombak, Yogyakarta.
Misrawi, Zuhairi, "Antiklimaks Revolusi Suriah", Harian Kompas, Selasa, 17 April 2012, Jakarta.
Moerdiono,1992, Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP-7 Pusat, Jakarta.
Muqoddas, Muhammad Busyro, 2010. "Kasus Komando Jihad Ditinjau dari Perspektif
Independensi dan Transparansi Kekuasaan Kehakiman". Disertasi Program S3 Ilmu Hukum
di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Nasution, A. Haris, 1953, Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa Lalu
dan Akan Datang, Penerbit Angkasa, Bandung.
Negri, Antonio, 2004, Multitude: War and Democracy in the Age of Empire, New York, USA.
Nurtjahjo, Hendra, 2006, Filsafat Demokrasi, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Nye, Joseph, 2007, The Power To Lead, Harvard University, USA.
Oetojo Oesman dan Alfian (Eds.), 1990, Pancasila Sebagai Ideologi, Dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta.
Oltmans, Willem, 1999, Chaos in Indonesie. Uitgeverij Papieren Tijger, Breda, Nedherland.
Oltmans, Willem, 2001, Di Balik Keterlibatan CIA, Penerbit Aksara Karunia, Jakarta.
Pandjaitan, Sintong, 2008, Pengabdian Seorang Prajurit Komando. Penerbit Gramedia, Jakarta.
Purnomo, Agus, 2009, Ideologi Kekerasan. Argumentasi TeoIogis-Sosial Radikalisme Islam,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Rawls, John, 1993, Political Liberalism, Columbia University Press, New York.
Sekretariat Negara RI, 1975, Seri 30 Tahun Indonesia Merdeka 1955-1965, Jakarta.
Sindhunata, G.P., 2006, "Terang Yang Tersembunyi dalam Kegelapan", dalam Wibowo I & Harry
Priyono (eds.), Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz Magnis Suseno, Kanisisus,
Yogyakarta.
Soebandrio, 2006, Yang Saya Alami: Peristiwa G30S (Sebelum, Saat Meletus dan Sesudahnya),
Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta.
Subijanto, Bijah, 2004, Stratifikasi Kebijakan Nasional, Penerbit Lemhannas, Jakarta.
Subroto, Hendro, 2009, Biografi Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando,
Penerbit Kompas, Jakarta.
Sudarsono, Juwono , 2008, "Kekuatan 'Lunak', 'Keras' dan 'Cerdas'." Harian Kompas 25 Maret.
Sudarto, 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suhadi, 1995, Filsafat Pancasila IJntuk Perguruan Tinggi, UGM, Yogyakarta.
Sujadi, Achmad, 1999, Pancasila, Lukman Offset, Yogyakarta.

237
Suryo, Djoko, 2009, "Transformasi Masyarakat Indonesia". Dalam Historiografi Indonesia
Modern, ST PN Press, Yogyakarta.
Suryo, Djoko, 2009. " Nasionalisme di Indonesia", Program Studi Ketahanan Nasional, UGM,
Yogyakarta.
Suseno, Franz Magnis, 2006, Berebut Jiwa Bangsa, Penerbit Kompas, Jakarta.
Suseno, Franz Magnis, 1987. Etika Dasar. Masalah-MasaIah Pokok Filsafat Moral, Kanisius,
Yogyakarta, Cetakan ke-21.
Swasono, Sri-Edi, 2012, Membangun Karakter Bangsa, Menemukan Kembali Republik
Indonesia Kita, Jakarta.
Tribunnews.com, 2011, Bocoran Wikileaks: Mendanai FPI adalah Tradisi Polri dan BIN, Jakarta.
Wijayanto, Andi, 2006, Velox et Exactus, Penerbit Pacivis, Jakarta.
Yayasan Bung Karno, 2007, Otobiografi Bung Karno, Media Pressindo, Jakarta.

TENTANG PENULIS
Waji Abdullah Makhmud Hendropriyono, Jenderal TNI (Purn.), lahir İ İdi Yogyakarta,•
7 Mei 1945. Menempuh pendidikan umum: SR Muhammadiyah J]. Garuda 33
Kemayoran di Jakarta, SR Negeri JI. Lematang di Jakarta, SMP Negeri V Bag B (limu
Pasti) Jl. Dr. Sutomo di Jakarta, SMA Negeri II Bag B (limu Pasti) JI. Gajah Mada di
Jakarta.
Pendidikan militer diperoleh di Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang
(lulus 1967), Australian Intelligence Course di Woodside (1971), United States Army
General Staff College di Fort Leavenworth, Amerika Serikat (1980), Sekolah Staf dan
Komando (Sesko) ABRI, yang lulus terbaik pada 1989 bidang akademik dan kertas karya perorangan dengan
mendapat anugerah Wira Karya Nugraha. Pernah menjadi peserta KSA VI Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhannas) dengan predikat prestasi tertinggi. Beberapa latihan keterampilan militer yang pernah
diikutinya, antara lain adalah Para-Komando, terjun tempur statik, terjun bebas militer (Militan; Free Fall)
dan penembak mahir.
Karier militer AM Hendropriyono diawali sebagai Komandan Peleton dengan pangkat Letnan Dua
Infantri di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang kini bernama Komando Pasukan Khusus
(Kopassus) TNI AD. la kemudian menjadi Komandan Detasemen Tempur Para-Komando, Asisten Intelijen
Komando Daerah Militer Jakarta Raya/Kodam Jaya (1986), Komandan Resor Militer 043/Garuda Hitam
Lampung (1988), Direktur Pengamanan VIP dan Obyek Vital, Direktur Operasi Dalam Negeri Badan Intelijen
Strategis (Bais) ABRI (1991-1993). Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dan Komandan Kodiklat TNI AD.
Berbagai operasi militer yang diikutinya adalah Gerakan Operasi Militer (GOM) VI, dua kali terlibat dalam
Operasi şapu Bersih III dan dua kali dalam Operasi Seroja di Tımor Timur (sekarang bernama Timor Leşte).
Pendidikan umum AM Hendropriyono menjadikannya sebagai şarjana dalam Administrasi dari Sekolah
Tınggi limu Administrasi Negara (STIA-LAN), Sağana Hükum dari Sekolah Tinggi Hükum
Militer (STHM), Sarjana Ekonomi dari Universitas Terbuka (UT) Jakarta, Sağana Teknik Industrj darİ
Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Bandung, Magister Administrasi Niaga dari University of the City
of Manila Filipina, Magister di bidang hükum darİ STHM dan pada bulan Juli 2009 meraih gelar doktor filsafat
di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan predikat Cum Laude.
Dalam birokrasi pemerintahan R, AM Hendropriyono pernah memangkü berbagai jabatan yang
berturut-turut: Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan Republik Indonesia (19961998), Menteri
Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH) dalam Kabinet Pembangunan VII, Menteri
Transmigrasi dan PPH dalam Kabinet Reformasi yang kemudian merangkap Menteri Tenaga Kerja. Pada
periode tahun 2001-2004 sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BİN) di
Kabinet Gotong Royong. AM Hendropriyono merupakan penggagas lahirnya Sekolah Tınggi Intelijen Negara
(STIN) di Sentul Bogor dan Dewan Analis Strategis (DAS) Badan Intelijen Negara.
la juga penyandang berbagai kehormatan negara R], dalam wujud bintang dan tanda jasa antara lain:
Bintang Mahaputera Indonesia Adipradana, Bintang Kartika Eka Paksi Nararyaprestasi, Bintang Bhayangkara

238
Utama, Bintang Yudha Dharma, Bintang Dharma, Satya Lencana Bhakti untuk lüka-lüka di medan
pertempuran, serta anggota Legiun Veteran Pembela Republik Indonesia (Pembela/E, NPV : 21.157.220).
Dewasa ini AM Hendropriyono menjadi pengamat terorisme, yang kerap diminta untuk menjadi
narasumber oleh media massa dan berbagai Lembaga, giat menulis bermacam pemikirannya dalam artikel-
artikel di berbagai koran, majalah, radio, dan televisi. la mendedikasikan ilmunya dengan mengajar Filsafat
Hükum di Sekolah Tinggi Hükum Militer Jakarta dan berbagai perguruan tinggi lain. O

239
FILSAFAT
INTELIJEN
NEGARAREPUBLIKIND
ONESIA
Frasa "Filsafat Politik" atau "Filsafat Hukum"
sering kita dengar, tapi tidak "FiIsafat Intelijen".
Dalam kepustakaan dunia belum pernah ada buku
yang berjudul Filsafat Intelijen, seperti judul buku ini.
Hal ini, menurut A.M. Hendropriyono, karena
memang tidak ada negara lain yang punya filsafat
bangsa seperti negara Republik Indonesia.
Dalam buku ini Hendropriyono, doktor ilmu
filsafat yang dibesarkan di dunia militer dan intelijen,
mengungkapkan, secara universal filsafat intelijen
bersifat pragmatis, tapi secara nasional filsafat negara
Republik Indonesia bersifat etis. Pragmatisme berlaku
di Indonesia hanya jika Republik Indonesia diperangi
atau dirampas kemerdekaannya. Kita, bangsa
Indonesia, cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan.
Pancasila sebagai filsafat negara merupakan
sumber pedoman bagi intelijen negara untuk
menyusun berbagai siasat intelijen negara Republik
Indonesia.

JENDERAL TNI (PURN.) A.M.


HENDROPRIYONO, lulusan AMN
Magelang (1967), Australian Intelligence
Course di Woodside (1971), United
States Army General Staff College di Fort
Leavenworth, Amerika Serikat (1 980),
Sekolah Staf dan Komando (Sesko) ABRI. Tahun 2009 meraih
gelar doktor filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta dengan predikat Cum Laude. Saat ini menjadi
pengamat terorisme dan narasumber media massa dan
berbagai lembaga.

ISBN: 978-979-709-710-3

JI. Palmerah Selatan 26-28


Jakarta 10270 email:
buku@kompas.com 9 7 89797 0971 03
KOMPAS @bukukompas Filsafat Intelijen PENE R BIT BU KU penerbit buku kompas Negara KMN Repubük 20205130027Indonesia

Anda mungkin juga menyukai