Anda di halaman 1dari 4

Ketaatan dalam Penderitaan sebagai Sumber Keselamatan

Christian Aldo-(196114038) Bonifatius Yuni Setyawan-(196114039) Andreas Subagya-


(196114090)

A. Pengantar-Situasi Umat di tengah Pandemi

Situasi pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini merupakan situasi yang tidak mudah bagi
manusia. Di Indonesia sendiri, situasi yang kacau memunculkan kegelisahan dan kecemasan
di dalam hati masyarakat. Kebutuhan akan uang, makanan, obat, dan bahan pokok lainnya
dirasakan sebagai penyebab utama terjadinya kecemasan di masyarakat (Kompas.com,Lusia-
Kus-Anna,Tingkat-Kecemasan-akibat-Wabah-Virus-Corona-Meningkat). Seperti yang telah
dijelaskan pada topik sebelumnya, menurut data survei angkatan kerja yang dikeluarkan oleh
Badan Pusat Statistik pada tahun 2019, dinyatakan sebanyak 74.093.224 orang di Indonesia
berstatus pekerja informal. Keadaan ekonomi masyarakat yang rendah membuat mereka tetap
menjalankan pekerjaannya meskipun telah dilarang demi mempertahankan kehidupan. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat belum siap menghadapi pandemi ini, yang
pada akhirnya menimbulkan suatu kerentanan sosial. Kerentanan sosial merupakan situasi
dimana posisi ketahanan masyarakat mengalami guncangan, seperti permasalahan pada mata
pencaharian, produktivitas menurun. (Tempo.co,Syaifudin,Covid-19:Kerentanan-Sosial-dan-
Gagalnya-Physical-Distancing).

Selain itu, melalui hasil wawancara dengan beberapa orang melalui media sosial, perasaan
dominan yang muncul sebagai akibat dari pandemi ini adalah perasaan sedih, cemas, was-
was, dan khawatir. Para responden rata-rata mengungkapkan bahwa situasi darurat ini
membuat mereka terkadang merasa takut tertular. Situasi semakin sulit karena mereka harus
menyesuaikan diri dengan keadaan yang tidak seperti biasanya, seperti kuliah online, bekerja
dari rumah, membatasi keluar rumah dan lainnya. Beberapa umat katolik juga
mengungkapkan kerinduan mereka akan Perayaan Ekaristi bersama yang belakangan tidak
bisa dirayakan secara langsung. Bagi mereka, Komuni Batin yang diterima dalam Perayaan
Ekaristi online tidak cukup untuk menggantikan kehadiran Allah dalam Sakramen
Mahakudus. Situasi tersebut secara tidak langsung membuat mereka bertanya-tanya tentang
kehadiran Allah yang Mahabaik dan Mahakuasa dalam hidup mereka.

Situasi penderitaan yang terjadi di tengah umat beriman saat ini agaknya mirip dengan apa
yang terjadi dalam sejarah keselamatan Allah bagi manusia yang terungkap dalam Kitab
Suci. Di sana dikisahkan proses perjuangan manusia yang berulang merasakan penderitaan
untuk sampai pada keselamatan yang dijanjikan Allah. Hingga pada akhirnya keselamatan itu
berpuncak dalam Diri Yesus yang bangkit, yang membuktikan peran Allah dalam penderitaan
dan kematian yang dialami-Nya. Maka pada topik kali ini, kelompok akan menjawab
kegelisahan hati umat yang muncul dalam situasi penderitaan, seperti “Apa yang menjadi
penyebab penderitaan yang dialami manusia?”, “Apa yang harus dilakukan manusia dalam
menghadapi penderitaan?”, dan “Apakah Allah hadir dalam penderitaan manusia?”. Jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan digali dari sumber Kitab Suci dan refleksi teologis.

B. Penderitaan sebagai Akibat dari Dosa

Pada hakikatnya, semua manusia tidak ingin merasakan penderitaan dan berusaha
menghindarinya dalam kehidupan. Akan tetapi, penderitaan merupakan suatu keniscayaan
dan menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Di dalam Kitab Suci,
khususnya Perjanjian Lama, penderitaan merupakan konsekuensi yang harus dihadapi oleh
orang-orang berdosa yang jauh dari Allah. “Tetapi jika engkau tidak mendengarkan suara
TUHAN, Allahmu, dan tidak melakukan dengan setia segala perintah dan ketetapanNya,
yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka segala kutuk ini akan datang kepadamu dan
mencapai engkau: Terkutuklah engkau di kota dan terkutuklah engkau di ladang. Terkutuklah
bakulmu dan tempat adonanmu. Terkutuklah buah kandunganmu, hasil bumimu, anak lembu
sapimu dan kandungan kambing dombamu.”(Ul. 28:15-18). Kutipan yang terdapat dalam
kitab Ulangan tersebut menunjukkan bahwa jemaat Perjanjian Lama memandang kutukan,
tulah/ wabah yang menimbulkan penderitaan merupakan hukuman dari Allah, sebagai akibat
dari kedosaan yang dibuat manusia. (catatan-selepas-kuliah,Rm.Galih,Pr-Pandemic-Derita-
dan-Keselamatan-Prespektif-Kitab-Suci).

C. Manusia Jatuh dalam Dosa

Kisah penderitaan manusia dalam Kitab Suci mula-mula dikisahkan dalam kitab Kejadian
bab 2. Bagian awal kitab Kejadian tersebut mengisahkan tentang pengalaman manusia (Adam
dan Hawa) yang berdosa karena tergoda untuk memakan buah terlarang yang berada di dalam
Taman Eden. Roh jahat yang hadir melalui ularlah yang menggoda manusia hingga jatuh
dalam dosa. Meskipun demikian, kejahatan yang terjadi bukanlah pertama-tama berasal dari
godaan roh jahat, melainkan dari keputusan bebas yang dibuat manusia untuk menentang
perintah Allah. Manusia ingin menjadi seperti Allah, dengan mengetahui tentang yang baik
dan jahat. Para ahli berpendapat bahwa dengan mengetahui apa yang terbaik baginya,
manusia menjadi seperti Allah. Hal ini sangatlah bertentangan dengan kehendak Allah yang
telah merancang segala hal yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian, manusia melewati
batas yang telah ditentukan Allah, yang berarti pemberontakkan melawan Sang Pencipta
(LBI-Dianne-Bergant,CSA-RobertJ.K,OFM-Tafsir-Perjanjian-Lama).

Akibat dosa yang dibuatnya, manusia diusir dari Taman Eden. “lalu Tuhan Allah mengusir
dia dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil.” (Kej 3:23).
Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa dosa membuat manusia terpisah dan jauh dari Allah.
Sama seperti yang dinyatakan di dalam kitab Ulangan, penderitaan akan ditimpakan bagi
manusia yang tidak menaati perintah Allah. Penderitaan digambarkan sebagai situasi dimana
manusia tidak lagi berada bersama-sama dengan Allah, sehingga manusia mesti
mengusahakan hidupnya sendiri. Penderitaan muncul ketika Allah tidak terlibat di dalam
hidup manusia.

D. Seruan kepada Allah

Dalam situasi pandemi Covid-19 ini, di dalam penderitaan, manusia merasa jauh dari Allah.
Situasi pandemi yang menimbulkan penderitaan membuat manusia mempertanyakan dimana
Allah. Situasi ini digambarkan dengan jelas dalam salah satu kutipan mazmur yang berbunyi
demikian: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi
Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku... Padahal Engkaulah yang Kudus yang
bersemayam di atas puji-pujian orang Israel.” (Mzm 22:2,4). Seruan tersebut menunjukkan
bahwa dalam situasi penderitaan yang kalut, manusia kesulitan dalam menemukan
kemahakuasaan Tuhan yang berkarya dalam hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa
penderitaan merupakan bagian yang integral dari manusia. Dalam surat apostoliknya, “The
Christian Meaning of Human Suffering” Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa
penderitaan merupakan bagian yang alami dari hidup manusia. Meskipun pengalamannya
berbeda, namun pada dasarnya, penderitaan yang dialami manusia memiliki unsur yang sama,
yaitu keterpisahan, kecelakaan (sakit), relasi yang retak, kegagalan, sekarat, dan kematian
(Rm.Galih,Pr-Pandemic-Derita-dan-Keselamatan-Prespektif-Kitab-Suci).

Situasi tersebut tidak hanya dialami oleh umat Israel, namun juga Yesus dalam sisi
kemanusiaan-Nya. Di dalam penderitaan-Nya di kayu salib menjelang wafat-Nya Ia berseru:
“AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46). Akan tatapi, dalam
seruan tersebut, yang muncul bukanlah sikap keraguan akan kehadiran Allah, melainkan
bentuk kepercayaan dan ketaatan-Nya yang utuh pada kehendak Allah. Rasa percaya itulah
yang membuat-Nya yakin bahwa Allah senantiasa hadir, bahkan dalam penderitaan sekalipun
(St.Eko-Riyadi,Pr.-Matius-Sungguh,Ia-ini-adalah-Anak-Allah!).

E. Ketaatan dalam Penderitaan sebagai Sumber Keselamatan

Ketaatan dan kerelaan Kristus untuk menanggung pendertiaan yang tidak adil inilah yang
menghadirkan keselamatan ke dalam dunia. Bahkan, seorang teolog abad XX, Schillebeeckx,
secara radikal menyatakan bahwa “pada tempat pertama kita mesti mengatakan bahwa kita
tidak diselamatkan oleh karena kematian Yesus, tetapi karena ketaatan-Nya.”(Christ,729-
dalam-Kirchberger-Teologi-Edward-Schillebeeckx,103). Demikianlah ketaatan Kristus,
Adam baru, menjadi antithesis dari ketidaktaatan Adam yang jatuh dalam dosa.

Pengertian ini pun sulit untuk dipahami oleh para murid pada mulanya. Keselamatan yang
Yesus wartakan sesungguhnya telah nyata selama dalam karya publiknya. Akan tetapi, seolah
mendapatkan sandungannya dalam peristiwa wafat Kristus. Para murid menjadi sangat
terpukul dengan keadaan yang tidak mereka harapkan. Kendatipun Yesus telah menyatakan
bahwa kematian tidak dapat dihindarkan dari konsekuensi pewartaan-Nya, para murid tidak
mampu memahami bahwa “Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada
hari yang ketiga.”(Luk.24:46). Oleh karena itu, peristiwa wafat Kristus harus dimaknai dalam
pengalaman kebangkitan. Kebangkitan Kristus menjadi tanda kemenangan akan kejahatan
dan penderitaan. Bahkan dalam kebangkitan itulah karya keselamatan Allah dinyatakan.

Dalam Perjanjian Baru, pandangan semacam ini sangat kentara, bahwa keselamatan adalah
pembebasan manusia dari kejahatan dan penderitaan seperti gaung dari kisah keluaran
Bangsa Israel(Robin-Ryan,Jesus-and-Salvation,37). Demikianlah dinyatakan sejak awal mula
kehadiran Kristus di dunia oleh para malaikat. “Jangan takut, sebab aku memberitakan
kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat yaitu
Kristus, Tuhan di kota Daud.”(Luk.2:10-11).

Kebersatuan Allah dengan manusia dinyatakan sebagai kesukaan besar, keselamatan yang
telah lama dinanti-nantikan. Seperti yang telah diungkapkan di awal bahwa sumber
kesengsaraan manusia adalah keterpisahan manusia dari Allah, maka sumber keselamatannya
adalah kebersatuan Allah dengan manusia. Untuk itulah, Septuaginta menggunakan kata
hilasterion (penebusan dosa) untuk menjelaskan kata kaporet dalam Bahasa Ibrani yang
berarti penutup emas dalam tabut perjanjian.(Robin-Ryan,Jesus-and-Salvation,41). Hal ini
secara nyata menyatakan bahwa keselamatan atau penebusan dosa dinyatakan dalam
kehadiran Allah di tengah jemaat.

F. Refleksi

Kecemasan dan ketakutan adalah sesuatu yang normal dan sangat manusiawi. Keinginan
untuk menghindari segala hal yang tidak menyenangkan adalah dorongan naluriah yang ada
pada manusia. Di tengah Pandemi Covid-19 ini tentu banyak orang menjadi cemas karena
merasa tidak berdaya untuk menangani situasi dan tentu berharap agar segera terbebas dari
penderitaan yang ada. Akan tetapi, penderitaan akibat pandemi Covid-19 ini juga perlu
dimaknai secara lain. Manusia diundang untuk tidak lari dari permasalahan atau penderitaan
namun menghadapi dengan setia sebagai sebuah perjuangan demi keselamatan bersama.
Seperti halnya Yesus Kristus yang dengan taat menanggung segala penderitaan-Nya demi
menyelamatkan umat manusia dari dosa.

Dalam penderitaan inilah Allah mengundang setiap manusia untuk semakin menyadari
kehadiran-Nya yang menyelamatkan. Manusia hanya perlu meninggalkan arogansi diri dan
memulai jalan ketaatan. Setiap orang perlu menyadari bahwa hanya dengan ketaatan kepada
Allah yang hadir dalam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah mereka dapat selamat. Oleh
karena itu, perayaan Ekaristi secara online menjadi saat bagi setiap orang kristiani untuk
tinggal dalam ketaatan dan kesadaran. Inilah saatnya menyadari betapa perayaan Ekaristi
menjadi bagian yang sangat bermakna dalam hidup Kristiani, yaitu perayaan akan
kebangkitan Yesus yang menyelamatkan.

Anda mungkin juga menyukai