Anda di halaman 1dari 19

Makalah Thaharah

Wudhu, Tayamum, Mandi Junub dan Istinja

Disusun

Chindy Natalie

Indah Mustika

M.Kausar Rassali

Smt/Unit : 5/1

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktek Ibadah dengan dosen
pengampu

Muhammad Iskandar Anshar,M.Pd

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dengan judul Thaharah dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar isi dalam makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Langsa, 31 oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................


DAFTAR ISI ................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................
A. Latar Belakang .................................................................................................................
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................
C. Tujuan ..............................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................
A. Pengertian Thaharah ........................................................................................................
B. Pengertian Wudhu, landasan hukum, pembagian dan hikmahnya ..................................
C. Tayamum .........................................................................................................................
D. Pengertian Mandi Junub ..................................................................................................
E. Pengertian Istinja’ ............................................................................................................
BAB III PENUTUP .....................................................................................................................
A. Kesimpulan ......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bersuci merupakan hal yang sangat erat kaitannya dan tidak dapat dipisahkan
dengan ibadah. Shalat dan haji misalnya, tanpa bersuci orang yang hadats tidak dapat
menunaikan ibadah tersebut.
Banyak orang mungkin tidak tahu bahwa sesungguhnya bersuci memiliki tata cara
atau aturan yang harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, tidak akan sah bersucinya dan
secara otomatis ibadah yang dikerjakan juga tidak sah. Terkadang ada problema
ketika orang itu tidak menemukan air, maka Islam mempermudahkan orang tersebut
untuk melakukan tayamum sebagai ganti dari mandi, yang mana alat bersucinya
dengan mengunakan debu.
Tetapi bagaimana jika ada orang yang tidak menemukan kedua alat bersuci?
Lalu bagaimana orang tersebut bersuci? Tidak hanya orang yang tidak menemukan
kedua alat bersuci, yang dalam istilah fiqihnya disebut dengan faaqiduth thohuuroini.
Bagaimana tata cara bersuci yang benar bagi orang sakit, misal kakinya diperban atau
pasien rawat inap di rumah sakit yang biasanya tidak boleh terkena air?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin sering kita jumpai di kalangan masyarakat,
dan bukan tidak mungkin kita pun akan mengalaminya. Tanpa adanya kajian khusus
tentang hal-hal di atas bukan tidak mungkin kita sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi
Islam berbasis pesantren tidak dapat menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Berawal dari deskripsi di atas ditambah dengan tugas mata kuliah
Pengembangan Materi PAI, kami mencoba menguraikan hal-hal di atas, walau pun
tidak dapat dikatakan menyeluruh. Minimal dengan adanya makalah ini, kita
mengetahui gambaran status hukum kasus-kasus tersebut, semoga tergerak untuk
melaksanakan studi yang mendalam tentang hukum peribadatan Islam ini atau
menarik hal positif lain yang nanti akan berguna di kehidupan kita nanti.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan


beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari thaharah, wudhu’, tayamum, mandi wajib dan Istinja?
2. Sebutkan landasan hukum dan hikmah mengenai thaharah, wudhu’ tayamum,
mandi wajib dan istinja ?
3. Jelaskan pembagian mengenai thaharah, wudhu’ tayamum, mandi wajib,
istinja?

C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari thaharah, wudhu’, tayamum, mandi wajib
dan istinja.
2. Untuk mengetahui landasan hukum mengenai thaharah, wudhu’,tayamum,
mandi wajib dan istinja.
3. Untuk mengetahui pembagian mengenai thaharah, wudhu’, tayamum, mandi
wajib dan istinja
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah
1. Pengertian Tahahrah
Thaharah adalah merupakan salah satu syarat dalam melakukan suatu amal
ibadah, terutama dalam shalat, haji, dan sebagainya baik itu bersuci dari hadats kecil
maupun bersuci dari hadats besar, karena setiap amal ibadah yang kurang salah satu
syaratnya, maka amal ibadah itu kurang sempurna sahnya.
Thaharah menurut bahasa artinya “bersih”. Dalam Hadits Pilihan Shahih
Bukahri, thaharah artinya bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata
maupun yang tidak kasat mata seperti aib dan dosa. Sedangkan pengertian thaharah
secara terminologi syara’ berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan
najis dengan menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan
yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Sedangkan menurut istilah, thaharah berarti membersihkan diri dari hadats dan
najis. Yaitu mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis dengan
menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan yang sesuai
dengan ajaran agama Islam. Menurut istilah para ulama Ahli Tasawuf ialah
membersihkan diri dari segala perbuatan yang dilarang oleh Syara’ atau dari
perbuatan yang akan menimbulkan dosa dan dari budi pekerti yang buruk atau
perangai yang jahat. Sedangkan menurut istilah ulama Fikih ialah membersihkan diri
dari najis dan hadas.

Begitulah pentingnya thaharah (bersuci) bahkan ada hadits yang menyebutkan


bahwasannya kebersihan adalah sebagian daripada iman. Namun banyak ulama
berbeda pendapat tentang makna bersuci merupakan separuh iman. Dua pendapat
yang paling masyhur adalah:
1. Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa
batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan
melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi
separuh iman.
2. Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam,
yaitu bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan dengan suci
dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah shalat.
Jadi bersuci itu separuh dari shalat. Shalat dikatakan sebagai iman karena merupakan
pokok amalan iman.

2. Landasan Hukum Thaharah


Dalam pandangan Islam, masalah bersuci dan segala yang berkaitan dengannya
merupakan kegiatan yang sangat penting, karena diantara syarat syahnya shalat
ditetapkan agar orang yang mengerjakannya suci dari hadats, suci badan, pakaian dan
tempatnya dari najis. Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan sunah. Allah
Ta’ala berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan
salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah
kepala kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah:
6).
Allah juga berfirman, “Dan, pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Mudatstsir: 4).
Rasulullah bersabda: “Kunci shalat adalah bersuci.” Dan sabdanya, “Shalat
tanpa wudhu tidak diterima.” (HR Muslim). Rasulullah SAW bersabda, “Kesucian
adalah setengah iman.” (HR Muslim).
Dalil tentang thaharah 3, yaitu:
a) Firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 222
ُّ ‫ْي َوحُِي‬
‫ب الن حمتَطَ ِِّه ِرينن‬ َ‫َّوابِ ن‬ ُّ ‫إِ َّن هللاَ حُِي‬
َّ ‫ب الت‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-
orang yang menyucikan diri”
b) Hadits Nabi SAW yang berbunyi:
)‫ ( رواه املسلم‬.‫صالَةً بِغَ نِْي طَ حه نوًرا‬
َ ‫الَ يَ نقبَ حل هللاح‬
Artinya: “Allah tidak menerima shalat seseorang yang tidak dalam keadaan suci”.
(HR. Muslim)
c) Ijma’

Para ulama menjelaskan bahwa ayat-ayat dan hadits di atas memberi


penegasan bahwa thaharah (bersuci) wajib hukumnya, tidak saja karena orang muslim
akan mendirikan shalat melainkan juga wajib dalam semua keadaan, terutama bersuci
dari najis dan hadats besar.1

3. Pembagian Thaharah

Kita bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian
yang besar, yaitu:
a) Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan
kebersihan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa
thaharah secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis.
Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air
kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara
hakiki. Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang
menempel, baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual.
Caranya bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup
dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu
berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu
pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilang
warna najisnya. Dan juga hilang bau najisnya. Dan juga hilang rasa najisnya.

b) Thaharah Hukmi
Sedangkan thaharah secara hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats,
baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak
terlihat kotornya secara fisik. Bahkan boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran pada diri
kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu
dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual.
Seorang yang tertidur batal wudhu’nya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran
yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu’ bila
ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya. Demikian pula
dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan bersih, lalu
mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar
hingga selesai dari mandi janabah.

1 Moh.Rifai.Fiqh Islam Lengkap. (Semarang: CV. Toha Putra,1987),hlm 44-46


Jadi thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik
memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk
melakukan ritual ibadah. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan berwudhu’ atau mandi
janabah.

B. Pengertian Wudhu, landasan hukum, pembagian dan hikmahnya


1. Pengertian Wudhu
Wudhu menurut bahasa berarti “baik” dan “bersih”. Sedangkan menurut
istilah, wudhu adalah membasuh muka, kedua tangan sampai siku, mengusap
sebagian kepala, dan membasuh kaki yang sebelumnya didahului dengan niat serta
dilakukan dengan tertib.
Wudhu adalah membasuh bagian tertentu yang boleh ditetapkan dari anggota
badan dengan air sebagai persiapan bagi seorang Muslim untuk menghadap Allah
SWT (mendirikan shalat) dan suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan
sebelum seseorang mengerjakan shalat.
2
2. Landasan Hukum wudhu
Perintah wudhu diwajibkan kepada orang yang akan melaksanakan shalat
salah satu syarat sahnya shalat. Adapun disyari’atkannya wudhu ditegaskan
berdasarkan 3 macam alasan:
a) Firman Allah dalam surat Al-Maidah: 6 :
ِ ِ
ِ ‫وس حكم وأ نَر حجلَ حكم إِ ََل الن َك نعبَ ن‬
…‫ْي‬ ِِ ِ ِ ِ ِ َّ ‫َي أَيُّها الَّ ِذين آمنحوا إِذَا قحمتحم إِ ََل‬
‫ن‬ َ ‫وه حك نم َوأَينديَ حك نم إ ََل الن َمَرافق َو نام َس ححوا بحرءح ن‬
َ ‫الصالة فَا نغسلحوا حو حج‬ ‫نن‬ َ َ َ َ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
b) Hadits Nabi SAW yang berbunyi:
‫يتوضأ‬
ِّ ‫حّت‬
ِّ ‫ال يقبل هللا صالة أحدكم إذا أحدث‬
Artinya: ” Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu bila ia
berhadats, sehingga ia berwudhu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
c) Ijma’

2 Hafsah.Fiqh.(Bandung;Ciptapustaka Media Perintis,2011).hlm 66


Menurut ijma’ ulama berpendapat bahwa wudhu hukumnya wajib bagi
Muslim yang sudah dewasa dan berakal, telah masuk waktu shalat atau ketika akan
melaksanakan suatu perbuatan yang disyaria’tkan wudhu terlebih dahulu.

3. Pembagian Rukun wudhu


1. Pembagian Wudhu:
1. Wajib, sebagai syarat sahnya shalat, sujud tilawah, thawaf, dan
menyentuh mushaf.
2. Sunnah, ketika akan melakukan segala amal kebaikan (berdzikir, tidur,
melakukan hubungan suami istri, setelah berbuat kemaksiatan, marah,
membaca Al-Qur'an, memandikan jenazah dsb)
3. Makruh, jika wudhu yang sudah dilaksanakan belum digunakan untuk
beribadah sehingga makruh jika mengulangi wudhu.
4. Haram, jika berwudhu dengan air hasil ghoshob, atau hasil mencuri dan
semisalnya.

b. Syarat-syarat Wudhu
1. Islam,
2. Mumayiz (dapat mmbdakan mana nilai-nilai yang baik dan buruk atau sudah
berakal),
3. Airnya suci,
4. Tidak ada halangan dari agama seperti haid atau nifas.

c. Rukun (Fardu) Wudhu’


1. Niat,
2. Membasuh muka,
3. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku,
4. Mengusap sebagian kepala,
5. Membasuh kaki sampai mata kaki,
6. Menertibkan rukun-rukun di atas.

d. Yang Membatalkan Wudhu’

1. Sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur,


2. Tidur nyenyak shingga pinggul tidak tetap lagi di atas lantai,
3. Hilang akal karena mabuk, gila dan pingsan yang disebabkan obat-obatan
atau sakit,
4. Bersentuh kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrimnya dan
tanpa lapis,
5. Menyentuh kemaluan tanpa alas.3

C. Tayamum
1. Pengertian Tayamum

Menurut bahasa, tayamum berarti menuju ke debu. Sedangkan


menurut pengertian syari’at, tayamum adalah mengusapkan debu ke wajah dan
kedua tangan dengan niat untuk mendirikan shalat atau lainnya. Menurut para
ulama Fikih, ada beberapa pengertian tentang tayamum, yaitu:
a) Menurut Hanafiah, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan
dengan debu yang suci.
b) Menurut Malikiyah, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan
dengan debu yang suci disertai niat.
c) Menurut Syafi’iyah, tayamum adalah mendatangkan debu pada wajah dan
kedua tangan atau anggota dari keduanya sebagai ganti dari wudhu’ atau mandi
dengan syarat-syarat tertentu.
d) Menurut Hanabilah, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan
dengan debu yang suci dengan cara yang ditentukan.
Menurut Hanafiyah, tayamum merupakan pengganti yang mutlak dari wudhu,
maksudnya tayamum dapat menghilangkan hadats selama tidak ada air ketika
seseorang akan menunaikan shalat. Dengan keterangan ini bisa kita ambil kesimpulan
bahwa dengan sekali tayamum, kita dapat melaksanakan shalat fardhu lebih dari
sekali, waktu bertayamum tidak harus menunggu masuknya waktu shalat, serta hal-
hal lain sebagaimana wudhu.
Pernyataan ini berbeda dengan jumhur, yakni kedudukan tayamum
menghilangkan hadats. Maka bila telah masuk waktu shalat orang yang hadats tidak
menemukan air atau karena sebab lain yang memperbolehkan seseorang bertayamum ia

3 Ali Imran Sinaga.FIKIH.(Bandung;Citapustaka Media Perintis,2011)hlm 11-15


dapat menunaikan shalat walau dalam keadaan hadats dengan bertayamum karena
darurat, sebagaimana kasus mustahadhoh (orang perempuan yang istihadho).
Ulama telah sepakat bahwa tayamum menjadi pengganti dari thaharah kecil
(berhadats kecil), tetapi mereka berbeda pendapat mengenai tentang tayamum sebagai
pengganti thaharah besar (hadats besar).
Jadi tayamum adalah suatu rukhshah/keringanan bagi orang yang tidak
diperkenankan menggunakan air karena sakit atau kesulitan untuk mendapatkan air.

2. Landasaan Hukum Tayamum

Dalil disyariatkannya tayamum ada 3, yaitu:


a) Firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43:
‫صعِ ًيدا‬ ِ ِ
َ ‫الم نستح حم النِّ َساءَ فَلَ نم ََت حدوا َماءً فَتَ يَ َّم حموا‬
ِِ ِ ِ ‫ضى أَو علَى س َف ٍر أَو جاء أ‬
َ ‫َح ٌد من حك نم م َن النغَائط أ نَو‬ َ َ َ ‫… َوإ نن حكن تح نم َم نر َ ن َ َ ن‬
ِ
َّ ‫وه حك نم َوأَين ِدي حك نم إِ َّن‬
‫اَللَ َكا َن َع حف ًّوا َغ حف ًورا‬ ِ ‫طَيِبا فَامسحوا بِوج‬
‫ًِّ ن َ ح ح ح‬

Artinya: “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.”

b) Hadits Nabi SAW dari Abu Hurairah r.a berkata:


Artinya: “Rasulullah SAW bersabda, “seluruh bumi dijadikan bagiku dan
bagi umatku sebagai mesjid dan alat bersuci, maka dimana juga shalat itu ditemui
salah seorang di antaramu, disisinya terdapat-terdapat alat untuk bersuci.” (HR.
Ahmad)

c) Ijma’

Ijma’ ulama membolehkan tayamum, tetapi khusus bagi orang sakit dan Musafir
yang ktiadaan air. Namun mereka berselisih dalam persoalan, yaitu:

1) Orang sakit yang khawatir terhadap pnggunaan air pada penyakitnya,


2) Keadaan normal yang tidak menemukan air,
3) Musafir yang sangat yang menghemat atau memerlukan air bawaanya, dan
4) Orang yang khawatir terhadap kesehatannya dengan menggunakan air yang sangat
dingin.
Jumhur ulama berpendapat bahwa keempat golongan tersebut boleh
bertayamum, sedangkan Atha’ tidak membolehkan tayamum baik orang sakit maupun
sehat jikamenemukan air.sementara itu, mahzab Syafi’i dan Maliki membolehkan
tayamum bagi orang yang bukan berada dalam perjalanan dan tidak sakit.

3. Pembagian Tayamum
A. Syarat-Syarat Tayamum:

1. Adanya halangan seperti tidak mendapatkan air, sakit dan lain-lain,

2. Sudah masuk waktu shalat, tetapi tidak mendapatkan air,

3. Debu yang dipergunakan untuk tayamum harus suci.

b. Rukun (Fardu) Tayamum:


1. Niat untuk melaksanakan shalat
2. Mengusap muka
3. Mengusap dua tangan sampai siku
4. Tertib

c. Yang Membatalkan Tayamum:


1. Segala sesuatu yang membatalkan wudhu’,

2. Menemukan air jika tayamum disebabkan ketiadaan air,

3. Riddah, keluar dari agama Islam. 4

4 Sayid Sabiq. Fiqh Al Sun.(Beirut; Dar Al-Fikr,1995)hlm 77-80


D. PENGERTIAN MANDI JUNUB

Mandi dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-ghusl ( ‫) الغسل‬. Kata ini memiliki
makna yaitu menuangkan air ke seluruh tubuh. Sedangkan secara istilah, para ulama
menyebutkan definisinya yaitu : Memakai air yang suci pada seluruh badan dengan tata cara
tertentu dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya.

Adapun kata Janabah dalam bahasa Arab bermakna jauh ( ُ ‫ ) البُ ْعد‬dan lawan dari dekat
( ‫ضد‬
ِ ‫القرابَة‬
َ ) Sedangkan secara istilah fiqih, kata janabah ini menurut Al-Imam An-
Nawawi rahimahullah berarti Janabah secara syar'i dikaitkan dengan seseorang yang keluar
mani atau melakukan hubungan suami istri, disebut bahwa seseorang itu junub karena dia
menjauhi shalat, masjid dan membaca Al-Quran serta dijauhkan atas hal-hal tersebut.

Mandi Janabah sering juga disebut dengan istilah 'mandi wajib'. Mandi ini merupakan
tatacara ritual yang bersifat ta`abbudi dan bertujuan menghilangkan hadats besar.

Adapun hadis-hadis tentang mandi junub antaranya ialah

a. Hadis yang menjadi topik

‫ت َعائِ َشةَ َع ْن‬ ْ َ‫قَال‬: ‫سو ِل كَا َن‬ ُ ‫ فَيَ ْغ ِس ُل يَ ْبدَأ ُ ْال َجنَابَ ِة ِم َن ا ْغت َ َس َل اِذَا ص للاِ َر‬،‫ َعلَى بِيَ ِميْنِ ِه يُ ْف ِرغُ ثُم يدَ ْي ِه‬،‫ فَيَ ْغ ِس ُل ِش َما ِل ِه‬،ُ‫ثُم فَ ْر َجه‬
ُ ‫ يَأ ْ ُخذ ُ ثُم يَت ََوضأ‬،‫صابِعَه ُ فَيُد ِْخ ُل ْال َما َء‬ ُ ُ ‫ث َرأْ ِس ِه َعلَى َحفَ َن ا ْستَب َْرأ َ قَ ِد ا َ ْن َراَى اِذَا َحتى–الش ْع ِر ا‬
َ َ ‫ص ْو ِل فِي ا‬ َ َ‫ ثَال‬،ٍ‫اض ثُم َحفَنَات‬ َ َ‫اَف‬
َ ُ
‫ َسائِ ِر َعلى‬،ِ‫ِر ْجل ْي ِه َغ َس َل ثم َج َس ِده‬ َ

Dari aisyah ra. Berkata “apabila Rasulullah saw mandi karena junub, maka beliau
memulainya dengan membasuh kedua tangan. Beliau menuangkan air dengan menuangkan
air dengan tangan kanan ke atas tangan kiri, kemudian membasuh kemaluan, kemudian
berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau menyiram rambut sambil
memasukkan jari ke pangkal rambut sehingga rata. Hingga ketika selesai, beliau membasuh
kepala sebanyak tiga kali, lalu beliau membasuh seluruh tubuh kemudian (terakhir)
membasuh kedua kaki.

b. Ayat yang terkait

Firman Allah Q.S. al-Maidah:6

‫ام َس ُحوا ْال َم َرا ِف ِق ِإ َلى َوأ َ ْي ِد َي ُك ْم ُو ُجو َه ُك ْم َفا ْغ ِسلُوا الص َال ِة ِإ َلى قُ ْمت ُ ْم ِإذَا آ َمنُوا الذِينَ أَي َها َيا‬ ْ ‫ْال َك ْع َبي ِْن ِإ َلى َوأ َ ْر ُج َل ُك ْم ِب ُر ُءو ِس ُك ْم َو‬
ۚ ‫ضى ُك ْنت ُ ْم َو ِإ ْن ۚ فَاطه ُروا ُجنُبًا ُك ْنت ُ ْم َو ِإ ْن‬ َ ‫الن َسا َء ََل َم ْست ُ ُم أ َ ْو ْالغَا ِئ ِط ِمنَ ِم ْن ُك ْم أ َ َحد َجا َء أ َ ْو َسف ٍَر َعلَى أ َ ْو َم ْر‬ ِ ‫َما ًء ت َِجد ُوا فَلَ ْم‬
‫ص ِعيدًا فَت َ َيم ُموا‬َ ‫ط ِيبًا‬َ ‫ام َس ُحوا‬ ْ َ‫ج ِم ْن َعلَ ْي ُك ْم ِل َي ْج َع َل ّللا ُ ي ُِريد ُ َما ۚ ِم ْنه ُ َوأ َ ْيدِي ُك ْم ِب ُو ُجو ِه ُك ْم ف‬
ٍ ‫ط ِه َر ُك ْم ي ُِريد ُ َولَ ِك ْن َح َر‬َ ُ‫ِن ْع َمتَه ُ َو ِليُ ِتم ِلي‬
‫َعلَ ْي ُك ْم‬

‫ت َ ْش ُك ُرونَ لَعَل ُك ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
5(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.”

Penjelasan :

Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan tentang kedudukan dan cara bersuci. Bersuci atau
disebut juga thaharah untuk melaksanakan shalat, secara garis besarnya, terdiri dari dua;
yakni wudhu dan mandi. Sedangkan tayammum merupakan cara bersuci yang bersifat
rukhshah (keringanan) dari Allah SWT tatkala seseorang tidak memungkinkan untuk
berwudhu atau mandi

c. Kndungan hadis

1. Disyariatkan mandi junub karena sebab keluarnya mani

2. Wajib menyampaikan air keseluruh tubuh sehingga tidak ada bagian dari anggota tubuh
yang tersentuh air.

3. Cara mandi junub yang benar adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis ini.
Mulai dengan mencuci kedua tangan, berwudhu, menyela-nyela rambut semuanya dilakukan
secara tertib, kemudian mencuci seluruh badan.

4. Dalam membasuh anggota tubuh didahulukan bagian yang kanan atas bagian yang
kiri.6

E. PENGERTIAN ISTINJA’

Istinja’ yaitu membasuh dubur dan qubul dari najis (kotoran) dengan menggunakan
air yang suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati
kedudukan air dan batu, yang dilakukan setelah kita buang air. Air adalah seutama-utama alat
bersuci, karena ia lebih dapat mensucikan tempat keluarnya kotoran yang keluar dari dubur
dan qubul, dibandingkan dengan selainnya

Allah swt berfirman yang artinya: “Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-
lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba), sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang
yang ingin membersihkan diri. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bersih.”
(QS. at Taubah :108)

Istinja’ dengan menggunakan batu, kayu, kain dan segala benda yang menempati
kedudukannya (yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dibur dan qubul)

5. Dipl, Moh. Zuhri, Dkk, Terjemahan Sunan At-Tirmidzi,Semarang: Cv. Asy-Syifa, 1992, Cet.1

6 . Mardani, Hadis Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, cet.1


diperbolehkan menurut kebanyakan ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
membolehkan istinja’ dengan menggunakan batu dan benda-benda lain yang dapat
membersihkan najis yang keluar dari dubur dan qubul. Seseorang dikatakan suci dengan
menggunakan batu dan benda lain yang suci apabila telah hilang najis dan basahnya tempat
disebabkan najis, dan batu terakhir atau yang selainnya keluar dalam keadaan suci, tidak ada
bekas najis bersamanya.

Beristinja’ dengan menggunakan batu dan selainnya tidaklah mencukupi kecuali


dengan menggunakan tiga batu. Salman al Farizi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan tangan kanan
atau kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim)

Rasulullah saw tidak memperbolehkan seseorang untuk beristinja` dengan


menggunakan tulang ataupun suatu benda yang dimuliakan. Salman al-Farisi radhiallahu
‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan
menggunakan kotoran binatang dan tulang.” (HR. Muslim)7

Tata Cara Istinja

Tata cara seorang pemeluk suatu agama dalam beribadah kepada Tuhannya
mempunyai aturan yang berbeda. Orang Jahiliyah misalnya, mereka menghadap sesuatu yang
dipertuhankan dalam keadaan telanjang bulat, sebab keyakinan mereka pakaian itu
memberikan kesan tidak baik. Lantaran pakaian sudah dipergunakan berbuat dosa sehingga
tidak layak dipakai untuk beribadat kepada Tuhan.

Tetapi lain halnya dengan agama Islam yang justru mensyariatkan kesucian luar-
dalam (dzahiran wa batinan) untuk melakukan ibadah. Aspek luar (dzahir) meliputi badan,
pakaian dan tempat yang harus suci dari najis. Sedangkan sisi dalam (batin) harus juga suci
dari hadats basar atau kecil (al-hadats al-ashghar wa al-akbar). Hukum pelaksanaan
penyucian ini wajib, karena menjadi pintu dari keabsahan ibadah yang hukum wajib, seperti
shalat, sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqih: “Sesutu yang menyempurnakan perkara
wajib, maka sesutu itu hukumnya wajib”

Kalau hukum shalat wajib, maka wudlu hukumnya juga wajib karena menjadi sesuatu
yang menyempurnakan pelaksanaan ibadah shalat. Sebagaimana untuk mensucikan diri dari
hadats dengan wudlu, maka cara mensucikan diri dari najis yang keluar dari dua lubang
depan dan belakang (qubul wa dubur) dengan istinja’ (membersihkan diri).

Pada suatu hari Nabi Muhammad saw, memberikan pengajaran tentang tata cara
istinja’ yang benar, “jika kalian membuang hajat (membuang air besar/kecil), maka ber-
istinja’-lah dengan tiga batu !” Begitulah tata cara membersihkan diri dari kotoran yang
keluar dari dua jalan dalam tubuh kita pada periode pertama. Pada masa berikutnya Allah
swt, memberikan isyarat tentang kebersihan dan kesucian dengan menurunkan wahyu-Nya

7 Faisal Abdi. 2008. Thaharah dari Hadats dan Najis (online)


yang artinya “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah swt,
mnyukai orang-orang yang bersih.” (QS. Taubah:109).8

Dalam ayat ini Allah swt, memuji penduduk Quba’ dalam hal tata cara bersuci.
Tatkala Rasulallah saw, menanyakan tentang prihal tersebut kepada mereka, orang-orang
Quba’ itu menjawab bahwa tata cara bersuci yang dilaksanakan ialah dengan menggunakan
batu terlebih dahulu kemudian dengan air. Sejarah ini lalu dijadikan sumber ketetapan hukum
dalam hal tata cara bersuci yang lebih baik (afdhal) dalam Islam.

Dari peristiwa inilah, sesuatu yang digunakan untuk membersihkan diri (istinja’)
adalah air dan batu. Apabila air tidak ada, maka diperbolehkan dengan batu atau yang
semakna dengan batu. adapun syarat-syarat penggunaan istinja’ dengan batu sebagai berikut:

4. harus terdiri dari tiga batu atau satu batu dengan tiga sudut, meski umpama kebersihan
sudah diperoleh tanpa tiga batu atau satu batu dengan tiga sudut.
5. harus bisa membersihkan najis dari tempat keluar kotoran.
6. najis yang akan disucikan tidak boleh sampai kering. Karena apabila sampai kering,
maka batu tidak dapat menghilangkan najis dengan seketika. Jika najis itu kering
seluruhnya atau sebagian, maka cara bersuci dengan menggunakan air.
7. najis tidak boleh berpindah dari tempat asalnya (tempat keluarnya kotoran).
8. tidak ada sesuatu yang lain, seperti najis lain atau sesuatu yang suci (misalnya air)
selain keringat.
9. sesuatu yang keluar itu tidak melapaui/mengenai tampat sekitar keluarnya kotoran
(dubur, saat buang air besar atau ujung dzakar/qubul, ketika buang air kecil).
10. najis tidak terkena air (yang bisa mensucikan) atau cairan, walaupun air/cairan itu
suci, setelah dan atau sebelun ber-istinja’. Dari ketetapan ini, maka dengan batu yang
basah tidak sah, karena batu tersebut menjadi najis.
11. batu yang digunakan harus suci, bukan yang terkena najis (al-mutanajjis).9

Adapun istinja’ dengan sesuatu yang semakna dengan batu memiliki syarat-syarat sebagai
berikut:

1. sesuatu itu suci.

2. harus bisa menghilangkan najis secara efektif dari tempatnya keluarnya kotoran menurut
pendapat yang sahih.

3. bukan sesuatu yang dimuliakan secara syariat, seperti sesuatu yang di makan, menurut
pendapat yang sahih.

8 Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Jilid 1-2. Bandung: PT Al- Ma’arif, Cet 3.

9 Dr. H. Nasrun Harun, MA. 2000. Fiqh Muamalat. Jakarta: Gaya Media Pratama.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Thaharah adalah merupakan salah satu syarat dalam melakukan suatu amal ibadah, terutama
dalam shalat, haji, dan sebagainya baik itu bersuci dari hadats kecil maupun bersuci dari
hadats besar, karena setiap amal ibadah yang kurang salah satu syaratnya, maka amal ibadah
itu kurang sempurna sahnya.

Wudhu menurut bahasa berarti “baik” dan “bersih”. Sedangkan menurut istilah, wudhu
adalah membasuh muka, kedua tangan sampai siku, mengusap sebagian kepala, dan
membasuh kaki yang sebelumnya didahului dengan niat serta dilakukan dengan tertib.

tayamum merupakan pengganti yang mutlak dari wudhu, maksudnya tayamum dapat
menghilangkan hadats selama tidak ada air ketika seseorang akan menunaikan shalat.

Mandi Janabah sering juga disebut dengan istilah 'mandi wajib'. Mandi ini merupakan
tatacara ritual yang bersifat ta`abbudi dan bertujuan menghilangkan hadats besar.

Istinja’ yaitu membasuh dubur dan qubul dari najis (kotoran) dengan menggunakan air yang
suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati kedudukan
air dan batu, yang dilakukan setelah kita buang air. Air adalah seutama-utama alat bersuci,
karena ia lebih dapat mensucikan tempat keluarnya kotoran yang keluar dari dubur dan qubul,
dibandingkan dengan selainnya
DAFTAR PUSTAKA

Ali Imran Sinaga. FIKIH .Bandung;Citapustaka Media Perintis,2011


Dipl, Moh. Zuhri, Dkk, 1992. Terjemahan Sunan At-Tirmidzi,Semarang: Cv. Asy-Syifa,
Cet.1
Dr. H. Nasrun Harun, MA. 2000. Fiqh Muamalat. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Faisal Abdi. 2008. Thaharah dari Hadats dan Najis (online)
Hafsah. 2011. Fiqh.Bandung ; Ciptapustaka Media Perintis
Mardani, 2012. Hadis Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers, , cet.1
Moh.Rifai. 1987. Fiqh Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra
Sayid Sabiq. 1995. Fiqh Al Sun.Beirut; Dar Al-Fikr,
Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Jilid 1-2. Bandung: PT Al- Ma’arif, Cet 3.

Anda mungkin juga menyukai