Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MATA KULIAH

EPIDEMIOLOGI NUTRISI DAN INTERVENSINYA

MAKALAH
HUBUNGAN ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA
KEHAMILAN TERHADAP KEJADIAN PERDARAHAN POST
PARTUM

Disusun Oleh:
Dinda Anindita Salsabilla
S021902013

Dosen Pengampu:
Dr. Yulia Lanti Retno Dewi, dr., MSi

PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah jumlah kematian ibu selama masa
kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan,
dan nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti
kecelakaan atau terjatuh di setiap 100.000 kelahiran hidup. AKI pada tahun
2007 sebesar 228 namun pada tahun 2012 menunjukkan peningkatan AKI
yang signifikan yaitu menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
AKI kembali menujukkan penurunan menjadi 305 kematian ibu per 100.000
kelahiran hidup berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS)
2015 (Kemenkes RI, 2017).
Jumlah kasus kematian ibu di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2017
sebanyak 475 kasus, mengalami penurunan dibandingkan jumlah kasus
kematian ibu tahun 2016 yang sebanyak 602 kasus. Penyebab angka kematian
ibu tertinggi kedua di Jawa Tengah adalah dikarenakan perdarahan yaitu
sebanyak 21, 23 % (Dinkes Provinsi Jateng, 2018).
Peran bidan dalam mencegah perdarahan postpartum yaitu mengurangi
faktor resiko dengan melakukan deteksi dini faktor resiko, memberi konseling
kepada ibu untuk mengatur umur reproduksi sehat ibu (20-35 tahun), paritas
(2-3 anak), jarak kehamilan ≥2-5 tahun, mengendalikan kadar Hb pada saat
kehamilan (≥ 11 gr%), dan memberikan pemeriksaan ANC minimal 4 kali
(TM I = 1 kali, TM II = 1 kali, dan TM III= 2 kali), akan tetapi masih banyak
ibu hamil yang kurang memanfaatkan pelayanan pra-persalinan, khususnya di
daerah pedesaan (Kemenkes RI, 2015).
Salah satu masalah gizi yang banyak terjadi pada ibu hamil adalah
anemia gizi, yang merupakan masalah gizi mikro terbesar dan tersulit diatasi
di seluruh dunia.World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa
terdapat 52% ibu hamil mengalami anemia di negara berkembang. Di
Indonesia berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) dan Survei Departemen kesehatan bersama United Nations
Emergency Children's Fund (UNICEF) dilaporkan bahwa dari sekitar 4 juta
ibu hamil, separuhnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya
mengalami kekurangan energi kronis (Fatimah, 2011).
Anemia sering terjadi akibat defisiensi zat besi karena pada ibu hamil
terjadi peningkatan kebutuhan zat besi dua kali lipat akibat peningkatan
volume darah tanpa ekspansi volume plasma, untuk memenuhi kebutuhan ibu
(mencegah kehilangan darah pada saat melahirkan) dan pertumbuhan janin.
Hal ini telah dibuktikan di Thailand bahwa penyebab utama anemia pada ibu
hamil adalah karena defisiensi besi sebanyak 43,1% (Sukrat, 2006). Demikian
pula dengan studi di Tanzania memperlihatkan bahwa anemia ibu hamil
berhubungan dengan defisiensi zat besi (p = 0,03), vitamin A (p =0,004) dan
status gizi (LILA) (p = 0,003).
Capaian distribusi tablet Fe3 (90 tablet) tahun 2014 di Kota Surakarta
sebesar 98,78%, melampaui target Kementerian Kesehatan sebesar 95%, di
seluruh wilayah Puskesmas, bahkan 3 (tiga) puskesmas diantaranya yaitu
Puskesmas Kratonan, Ngoresan dan Sibela telah menditribusikan Fe3 sebesar
100% kepada seluruh ibu hamil yang ada di wilayah masing-masing. Secara
keseluruhan di tingkat Kota, capaian distribusi tablet Fe tahun 2014
mengalami peningkatan dibanding tahun 2013 (97,50 %). Jika dilihat dari
angka Bumil Anemia untuk Kota Surkarta tahun 2014 sebesar 5,7%, dengan
angka tertinggi terjadi di puskesmas Ngoresan. Hal ini tidak sejalan dengan
angka capaian distribuasi tablet Fe3.
Terdapat korelasi yang erat antara anemia pada saat kehamilan dengan
kematian janin, abortus, cacat bawaan, berat bayi lahir rendah, cadangan zat
besi yang berkurang pada anak atau anak lahir dalam keadaan anemia gizi
(Hinderaker, 2002).Pengaruh anemia pada masa kehamilan yaitu berat badan
kurang, plasenta previa, eklamsia, ketuban pecah dini, anemia pada masa
persalinan dapat terjadi tenaga untuk mengedan lemah, perdarahan post
partum, shock, dan pada masa pasca melahirkan dapat terjadi subinvolusi
rahim. Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi pada bayi baru lahir yaitu
premature, apgar scor rendah, gawat janin (Manuaba, 2010).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan anemia defisiensi besi pada kehamilan terhadap
kejadian peradarahan post partum ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Anemia Defisiensi Besi


Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar
hemoglobin di bawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar hemoglobin
< 10,5 gr% pada trimester II (Depkes RI, 2009). Anemia adalah kondisi
dimana sel darah merah menurun atau menurunnya hemoglobin (Hb),
sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan organ-organ vital
pada ibu dan janin menjadi berkurang. Selama kehamilan, indikasi anemia
adalah jika konsentrasi hemoglobin kurang dari 10,50 sampai dengan 11,00
gr/dl (Varney, 2007). Fungsi Hb merupakan komponen utama eritrosit yang
berfungsi membawa oksigen dan karbondioksida. Warna merah pada darah
disebabkan oleh kandungan Hb yang merupakan susunan protein yang
komplek yang terdiri dari protein, globulin dan satu senyawa yang bukan
protein yang disebut heme. Heme tersusun dari suatu senyawa lingkar yang
bernama porfirin yang bagian pusatnya ditempati oleh logam besi (Fe). Jadi
heme adalah senyawa-senyawa porfirin-besi, sedangkan hemoglobin adalah
senyawa komplek antara globin dengan heme (Masrizal, 2007).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan
zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang
karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya
kadar zat besi dalam darah. Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang
sudah sangat rendah.berarti orang tersebut mendekati anemia walaupun
belum ditemukan gejala-gejala fisiologis. Simpanan zat besi yang sangat
rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel-sel darah merah di
dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah
batas normal, keadaan inilah yang disebut anemia gizi besi (Masrizal, 2007).
Menurut Evatt dalam Masrizal (2007) anemia defisiensi besi adalah
anemia yang disebabkan oleh berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini
ditandai dengan menurunnya saturasi transferin, berkurangnya kadar feritin
serum atau hemosiderin sumsum tulang. Secara morfologis keadaan ini
diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan
kuantitatif pada sintesis hemoglobin.Defisiensi besi merupakan penyebab
utama anemia. Wanita usia subur sering mengalami anemia, karena
kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi
sewaktu hamil.
Anemia defisiensi zat besi (kejadian 62,30%) adalah anemia dalam
kehamilan yang paling sering terjadi dalam kehamilan akibat kekurangan zat
besi. Kekurangan ini disebabkan karena kurang masuknya unsur zat besi
dalam makanan, gangguan reabsorbsi, dan penggunaan terlalu banyaknya zat
besi. Anemia megaloblastik (kejadian 29,00%), dalam kehamilan adalah
anemia yang disebabkan karena defisiensi asam folat. Anemia hipoplastik
(kejadian 8, 0%) pada wanita hamil adalah anemia yang disebabkan karena
sumsum tulang kurang mampu membuat sel-sel darah merah. Dimana
etiologinya belum diketahui dengan pasti kecuali sepsis, sinar rontgen, racun
dan obat-obatan. Anemia hemolitik (kejadian 0,70%), yaitu anemia yang
disebabkan karena penghancuran sel darah merah berlangsung lebih cepat,
yaitu penyakit malaria (Wiknjosastro, 2009).

B. Penyebab Anemia Defisiensi Besi


Penyebab anemia umumnya adalah kurang gizi, kurang zat besi,
kehilangan darah saat persalinan yang lalu, dan penyakit – penyakit kronik
(Mochtar, 2004). Dalam kehamilan penurunan kadar hemoglobin yang
dijumpai selama kehamilan disebabkan oleh karena dalam kehamilan
keperluan zat makanan bertambah dan terjadinya perubahan-perubahan dalam
darah : penambahan volume plasma yang relatif lebih besar daripada
penambahan massa hemoglobin dan volume sel darah merah. Darah
bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut hidremia atau
hipervolemia.
Namun bertambahnya sel-sel darah adalah kurang jika dibandingkan
dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Di mana
pertambahan tersebut adalah sebagai berikut plasma 30%, sel darah 18%, dan
hemoglobin 19%. Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri
secara fisiologi dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita hamil
tersebut.Pengenceran ini meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih
berat dalam masa hamil, karena sebagai akibat hipervolemia tersebut,
keluaran jantung (cardiac output) juga meningkat. Kerja jantung ini lebih
ringan apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang pula,
sehingga tekanan darah tidak naik (Wiknjosastro, 2009).
Selama hamil volume darah meningkat 50 % dari 4 ke 6 L, volume
plasma meningkat sedikit menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai
hematokrit. Penurunan ini lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat
besi.Kenaikan volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi
dari uteroplasenta. Ketidakseimbangan antara kecepatan penambahan plasma
dan penambahan eritrosit ke dalam sirkulasi ibu biasanya memuncak pada
trimester kedua (Smith dkk., 2010).

C. Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi


Selama kehamilan terjadi peningkatan volume darah (hipervolemia).
Hipervolemia merupakan hasil dari peningkatan volume plasma dan eritrosit
(sel darah merah) yang berada dalam tubuh tetapi peningkatan ini tidak
seimbang yaitu volume plasma peningkatannya jauh lebih besar sehingga
memberi efek yaitu konsentrasi hemoglobin berkurang dari 12 g/100 ml.
(Prawirohardjo,2008). Pengenceran darah (hemodilusi) pada ibu hamil sering
terjadi dengan peningkatan volume plasma 30%-40%, peningkatan sel darah
18%-30% dan hemoglobin 19%.Secara fisiologis hemodilusi untuk
membantu meringankan kerja jantung.Hemodulusi terjadi sejak kehamilan 10
minggu dan mencapai puncaknya pada kehamilan 32-36 minggu. Bila
hemoglobin ibu sebelum hamil berkisar 11 gr% maka dengan terjadinya
hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis dan Hb ibu akan
menjadi 9,5-10 gr% (Smith dkk., 2010).
D. Epidemiologi Anemia Defisiensi Besi Pada Ibu Hamil
Diketahui bahwa 10% -20% ibu hamil di dunia menderita anemia
pada kehamilannya.Di dunia 34 % terjadi anemia pada ibu hamil dimana 75%
berada di negara sedang berkembang (WHO, 2005). Prevalensi anemia pada
ibu hamil di negara berkembang 43 % dan 12 % pada wanita hamil di daerah
kaya atau negara maju. Berdasarkan Riskesdas 2013, terdapat 37,1% ibu
hamil anemia, yaitu ibu hamil dengan kadar Hb kurang dari 11,0 gram/dl,
dengan proporsi yang hampir sama antara di kawasan perkotaan (36,4%) dan
perdesaan (37,8%) (Depkes, 2013).
Di Indonesia prevalensi anemia kehamilan relatif tinggi, yaitu 38%
-71.5% dengan rata-rata 63,5%, sedangkan di Amerika Serikat hanya 6%
(Saifudin, 2006). Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil sebagian besar
penyebabnya adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan
hemoglobin (Saifudin, 2006).Kematian ibu akibat anemia di beberapa negara
berkembang berkisar 27 per 100.000 kelahiran hidup di India, dan 194 per
100.000 kelahiran hidup di Pakistan. Menurut WHO 40% kematian ibu di
negara berkembang berkaitan dengan anemia dalam kehamilan.(Saifudin,
2006).Masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah masih tingginya
prevalensi anemia pada ibu hamil dan sebagian besar penyebabnya adalah
kekurangan zat besi untuk pembentukan haemoglobin. Keadaan kekurangan
zat besi pada ibu hamil akan menimbulkan gangguan atau hambatan pada
pertumbuhan baik sel tubuh maupun sel otak janin (Depkes , 2009) .

F. Klasifikasi Anemia Defisiensi Besi Pada Ibu Hamil


Klasifikasi menurut WHO dalam Waryana (2010)
1. Tidak anemia : 11 gr %
2. Anemia ringan : 9-10 gr %
3. Anemia sedang : 7-8 gr %
4. Anemia berat : < 7 gr %

Pengobatannya yaitu terapi oral adalah dengan memberikan preparat


besi yaitu ferosulfat, feroglukonat atau Natrium ferobisitrat. Pemberian
preparat besi 60 mg/hari dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr% tiap
bulan. Saat ini program nasional menganjurkan kombinasi 60 mg besi dan 50
nanogram asam folat untuk profilaksis anemia (Saifuddin, 2006).Untuk
menegakkan diagnosa anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan
anamnesa.Hasil anamnesa didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing,
mata berkunang-kunang dan keluhan mual muntah pada hamil muda.Pada
pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan minimal 2 kali selama
kehamilan yaitu trimester I dan III. Kebutuhan zat besi pada wanita hamil
yaitu rata-rata mendekati 800 mg. Kebutuhan ini terdiri dari, sekitar 300 mg
diperlukan untuk janin dan plasenta serta 500 mg lagi digunakan untuk
meningkatkan massa haemoglobin maternal, kurang lebih 200 mg lebih akan
dieksresikan lewat usus, urin dan kulit. Makanan ibu hamil setiap 100 kalori
akan menghasilkan sekitar 8–10 mg zat besi. Perhitungan makan 3 kali
dengan 2500 kalori akan menghasilkan sekitar 20–25 mg zat besi perhari.
Selama kehamilan dengan perhitungan 288 hari, ibu hamil akan
menghasilkan zat besi sebanyak 100 mg sehingga kebutuhan zat besi masih
kekurangan untuk wanita hamil (Manuaba, 2010).

G. Faktor Risiko Anemia Defisiensi Besi Pada Ibu Hamil


Kekurangan zat besi akan berisiko pada janin dan ibu hamil sendiri.
Janin akan mengalami gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel
tubuh maupun sel otak. Selain itu, mengakibatkan kematian pada janin dalam
kandungan, abortus, cacat bawaan, dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
(Waryana, 2010).Pada ibu hamil, anemia defisiensi besi yang berat dapat
menyebabkan kematian (Basari, 2007).
Hasil penelitian oleh Indriyani dan Amirudin (2006) di RS Siti
Fatimah Makasar menunjukkan bahwa faktor risiko anemia defisiensi besi
pada ibu hamil mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian partus
lama.Ibu yang mengalami kejadian anemia memiliki risiko mengalami partus
lama 1,681 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia tapi
tidak bermakna secara statistik.Ibu hamil yang anemia bisa mengalami
gangguan his/gangguan mengejan yang mengakibatkan partus lama. Kavle
dkk pada tahun 2008 pada penelitiannya menyatakan bahwa perdarahan pada
ibu setelah melahirkan berhubungan dengan anemia pada kehamilan 32
minggu. Pertumbuhan plasenta dan janin terganggu disebabkan karena
terjadinya penurunan Hb yang diakibatkan karena selama hamil volume darah
50 % meningkat dari 4 ke 6 L, volume plasma meningkat sedikit yang
menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit. Penurunan ini
akan lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan
volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari plasenta dan
untuk penyediaan cadangan saat kehilangan darah waktu melahirkan. Selama
kehamilan rahim, plasenta dan janin memerlukan aliran darah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
Pertumbuhan janin yang lambat, kekurangan gizi pada janin,
persalinan preterm dan berat badan bayi lahir yang rendah, yaitu sebesar
38,85%, merupakan penyebab kematian bayi. Sedangkan penyebab lainnya
yang cukup banyak terjadi adalah kejadian kurangnya oksigen dalam rahim
(hipoksia intrauterin) dan kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada
saat lahir atau beberapa saat setelah lahir (asfiksia lahir), yaitu 27,97%. Hal
ini menunjukkan bahwa 66,82% kematian perinatal dipengaruhi pada kondisi
ibu saat melahirkan. Jika dilihat dari golongan sebab sakit, kasus obstetri
terbanyak pada tahun 2005 adalah disebabkan penyulit kehamilan, persalinan
dan masa nifas lainnya yaitu 56,09% (Depkes, 2009 ).

H. Pengaruh Anemia Defisiensi Besi Terhadap Kehamilan, Persalinan dan


Nifas
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu,
baik dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya.
Penyulit-penyulit yang dapat timbul akibat anemia adalah : keguguran
(abortus), persalinan preterm, persalinan yang lama akibat kelelahan otot
rahim di dalam berkontraksi (inersia uteri), perdarahan pasca melahirkan
karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik saat
bersalin maupun pasca bersalin, serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat
menyebabkan dekompensasi kordis. Hipoksia akibat anemia dapat
menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan (Wiknjosastro, 2009;
Saifudin, 2006 ).
Pengaruh anemia pada kehamilan.Risiko pada masa antenatal berat
badan kurang, plasenta previa, eklampsia, ketuban pecah dini, anemia pada
masa intranatal dapat terjadi tenaga untuk mengedan lemah, perdarahan
intranatal, syok, dan masa pascanatal dapat terjadi subinvolusi. Sedangkan
komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus antara lain prematur, apgar
score rendah, gawat janin. Bahaya pada trimester II dan trimester III, anemia
dapat menyebabkan terjadinya partus prematur, perdarahan antepartum,
gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai
kematian, gestosis dan mudah terkena infeksi, dan dekompensasi kordis
hingga kematian ibu (Mansjoer, 2010).
Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan, dapat menyebabkan
gangguan his primer, sekunder, janin lahir dengan anemia, persalinan dengan
tindakan-tindakan tinggi karena ibu cepat lelah dan gangguan perjalanan
persalinan perlu tindakan operatif (Mansjoer, 2010). Anemia kehamilan
dapat menyebabkan kelemahan dan kelelahan sehingga akan mempengaruhi
ibu saat mengedan untuk melahirkan bayi. Bahaya anemia pada ibu hamil
saat persalinan: gangguan his-kekuatan mengejan, Kala I dapat berlangsung
lama dan terjadi partus terlantar, kala II berlangsung lama sehingga dapat
melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi kebidanan, kala III dapat
diikuti retensio plasenta, dan perdarahan post partum akibat atonia uteri, kala
IV dapat terjadi perdarahan post partum sekunder dan atonia uteri. Pada kala
nifas terjadi subinvolusi uteri yang menimbulkan perdarahan post partum,
memudahkan infeksi puerperium, pengeluaran ASI berkurang, dekompensasi
kosrdis mendadak setelah persalinan, anemia kala nifas, mudah terjadi infeksi
mammae (Saifudin, 2006).

I. Perdarahan Post Partum


Perdarahan pasca persalinan didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml
atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih
setelah seksio sesaria (Kenneth, 2009).
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian (Manuaba, 2010):
a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) ialah
perdarahan >500 cc yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir.
Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) ialah
perdarahan >500 cc setelah 24 jam pascapersalinan. Penyebab utama
perdarahan postpartum sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa
plasenta.
Penyebab perdarahan pasca persalinan akibat anemia yaitu atonia uteri
dimana uterus tidak mampu untuk berkontraksi sebagaimana mestinya setelah
plasenta lahir. Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya
oksigen yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak.Sehingga dapat
memberikan efek buruk pada ibu itu sendiri maupun pada bayi yang
dilahirkan (Manuaba, 2010).Hal ini disebabkan karena oksigen yang dikirim
ke uterus kurang. Jumlah oksigen dalam darah yang kurang menyebabkan
otot-otot uterus tidak berkontraksi dengan adekuat sehingga timbul atonia
uteri yang mengakibatkan perdarahan banyak.
Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-
serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang
mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta.Atonia uteri terjadi ketika
myometrium tidak dapat berkontraksi (Wiknjosastro, 2009).

J. Angka Kejadian Perdarahan Post Partum


Jumlah kasus kematian ibu di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2017
sebanyak 475 kasus dengan penyebab kematian ibu yang terbesar kedua di
Jawa Tengah sebesar 21,23 % karena perdarahan post partum. dalam
penelitian Wahyuni dan Endang (2019), menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh signifikan anemia defisiensi besi terhadap kejadian perdarahan post
partum di RSI Sultan Agung Semarang. Dari penelitian tersebut didapatkan
OR 4,930 yang bermakna ibu bersalin dengan anemia mempunyai risiko
mengalami perdarahan post partum 4,930 kali lebih besar dibandingkan
dengan ibu yang tidak anemia. Didapatkan pula berdasarkan penelitian ini,
anemia juga berpengaruh secara multivariate terhadap kejadian perdarahan
post partum. Anemia pada ibu hamil adalah kondisi dengan kadar hemoglobin
(Hb) dalam darahnya kurang dari 11 gr%. Volume darah ibu hamil bertambah
lebih kurang sampai 50% yang menyebabkan konsentrasi sel darah merah
mengalami penurunan. Keadaan ini tidak normal bila konsentrasi turun terlalu
rendah yang menyebabkan hemoglobin sampai <11 gr% (Winkjosastro,
2008). Hal sejalan disampaikan oleh Prawirohardjo (2008) bahwa anemia
dapat mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan frekuensi
komplikasi kehamilan serta persalinan. Anemia juga menyebabkan
peningkatan risiko perdarahan pasca persalinan. Rasa cepat lelah pada
penderita anemia disebabkan metabolisme energi oleh otot tidak berjalan
secara sempurna karena kekurangan oksigen. Selain itu, penelitian lain
menyebutkan bahwa anemia mempengaruhi kejadian perdarahan post partum
di RSUP H. Adam Malik Medan. Anemia memiliki peluang sebesar 7,128
kali daripada yang tidak anemia untuk mempengaruhi kejadian perdarahan
post partum (Sembiring, 2011).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi. Terutama yang
disebabkan oleh perdarahan post partum. Banyak penelitian menunjukkan
terdapat hubungan signifikan antara anemia defisiensi besi terhadap kejadian
perdarahan post partum. Ibu hamil yang anemia akan mengalami
pengenceran darah dan kekurangan Hb dalam darah yang berdampak secara
fisiologis kurangnya aliran oksigen dalam darah menuju uterus saat proses
persalinan sehingga otot-otot uterus tidak berkontraksi secara adekuat dan
menyebabkan perdarahan banyak hingga kematian ibu.

B. Saran
1. Program pemberian suplementasi TTD sebaiknya digencarkan pada usia
yang lebih dini/usia remaja putri. Karena anemia pada saat remaja dapat
berdampak panjang terutama pada masa kehamilan dan persalinan.
2. Program pemberian suplementasi TTD yang telah dilaksanakan di
Puskesmas di seluruh Indonesia harus dievaluasi karena angka anemia
pada ibu hamil yang masih tinggi. Evaluasi yang dapat dilakukan
meliputi dosis dan umur kehamilan mendapatkan suplementasi TTD.
3. Ibu hamil harus mengonsumsi TTD sejak kehamilan trimester I jika
tidak mengalami mual dan muntah disertai dengan asupan nutrisi yang
adekuat,mengandung zat gizi mikro maupun makro karena suplementasi
TTD saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan Fe selama hamil.
DAFTAR PUSTAKA

Arief Mansjoer (2010), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta : Media


Aesculapius
Depkes RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Jakarta: Dirjen
Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
http://www.depkes.go.id. Diakses: 10 Desember 2016.
Depkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Departemen Kesehatan
RI: Badan Litbangkes RI.
Dinas Kesehatan Kota Surakarta (2014). Profil Kesehatan Kota Surakarta Tahun
2014. Surakarta : Dinas Kesehatan Kota Surakarta
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2017). Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Fatimah S, Veni H, Burhanuddin B, dan Zulkifli A. (2011). Pola Konsumsi dan
Kadar Hemoglobin Pada Ibu Hamil Di Kabupaten Maros Sulawesi
Selatan. Makara Jurnal Kesehatan 15(1): 31-36
Hinderaker, S. G., Olsen, B. E., Lie, R. T., Bergsjø, P. B., Gasheka, P., Bondevik,
G. T., et al. (2002). Anemia in pregnancy in rural Tanzania: associations
with micronutrients status and infections. Eur. J. Clin. Nutr, 56(3):192-199
Kemenkes RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta:
Kemenkes RI:2015
Kemenkes RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta:
Kemenkes RI:2017
Manuaba,IBG.,(2010). Ilmu Kebidanan, Edisi 2. Jakarta:EGC
Manuaba IBG, IA Chandranita M, dan IBG Fajar M. (2013). Pengantar Kuliah
Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC
Masrizal, Khaidir. 2007. Anemia Defisiensi besi. Jurnal Kesehtan Masyarakat FK.
Unand II (1)
Prawirohardjo, S (2008). Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Hal.
213
Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal, Jakarta: Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo.
Sukrat, B., & Sirichotiyakul, S. (2006). The prevalence and causes of anemia
during pregnancy in Maharaj Nakorn Chiang Mai Hospital. J. Med. Assoc.
Thai, 89(Suppl 4):S142-146
Varney H, Kriebs JM, and Gegor CL. (2007). Buku Ajar Konsep Kebidanan.
Edisi 4. Edisi bahasa Indonesia. Ed: Esty Wahyuningsih dkk. Jakarta:
EGC
Wahyuni, Sri dan Endang Surani. (2018). Analisis Determinan yang
Mempengaruhi Kejadian Perdarahan Postpartum Di RSI Sultan Agung
Semarang. Prodi Kebidanan Fakultas Kedokteran, Universitas Islam
Sultan Agung Semarang. ISSN:2503 – 0388
Waryana, 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihama Widayanti

Anda mungkin juga menyukai