16.buku Strategi Pengelolaan Lahan
16.buku Strategi Pengelolaan Lahan
Penyusun
M. TUFAILA
SYAMSU ALAM
SITTI LEOMO
Editor
MUHIDIN
M. TUFAILA
SYAMSU ALAM
SITTI LEOMO
STRATEGI
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan
Editor
MUHIDIN
Unhalu Press
Kendari, 2014
STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL :
Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan
Penulis :
M. Tufaila, Syamsu Alam dan Sitti Leomo
Editor :
Muhidin
Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat
(1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iv
STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
I. PENDAHULUAN 1
II. KONSEP LAHAN MARGINAL DAN PERTANIAN 3
BERKELANJUTAN
A. Lahan Marginal 3
B. Pertanian Berkelanjutan 4
III. STRATEGI PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN 7
A. Zonasi Lahan 7
1. Zonasi lahan menurut LREP 8
2. Zonasi lahan berdasarkan agroekologi 9
3. Zonasi lahan berdasarkan karakteristik lahan 13
B. Evaluasi Kesesuaian Lahan 14
1. Tingkat evaluasi kesesuaian lahan 15
2. Klasifikasi kesesuaian lahan 15
3. Metode evaluasi kesesuaian lahan 17
4. Kesesuaian lahan aktual (A) dan potensial (P) 18
IV. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING 22
A. Pengertian dan Potensi Lahan Kering 22
B. Karakteristik Tanah 24
C. Pertanian di Lahan Kering 27
1. Pengelolaan air 29
2. Budidaya organik 30
V. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT 39
A. Pengertian dan Potensi Lahan Gambut 39
B. Pembentukan dan Klasifikasi Gambut 40
1. Pembentukan gambut 40
2. Klasifikasi gambut 42
DAFTAR TABEL
Tabel
1. Zona wilayah berdasarkan kelerengan 12
2. Kualitas dan karakteristik lahan untuk tanaman 18
3. Jenis usaha perbaikan kualitas/karakteristik lahan 20
berdasarkan tingkat pengelolaannya
4. Asumsi tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk 21
menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya
5. Luas total lahan gambut dan yang layak untuk pertanian 40
serta sebarannya di Indonesia
6. Kriteria pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan 49
lapisan, bahan di bawah gambut dan hidrologi
7. Dosis anjuran dan manfaat pemberian amelioran pada 58
Tanah gambut
8. Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut 60
9. Jenis dan pemanfaatan tanaman perkebunan di lahan 62
gambut
10. Jenis dan pemanfaatan tanaman sayuran di lahan gambut 63
11. Jenis dan pemanfaatan tanaman buah di lahan gambut 66
12. Tipe luapan lahan sulfat masam yang berada di wilayah 75
rawa pasang surut
13. Kriteria dan tipologi lahan sulfat masam berdasarkan 76
jeluk dan kondisi pirit
14. Jenis dan varietas tanamn palawija, sayur, buah-buahan 86
dan tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat
masam
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1. Penggunaan mulsa jerami (a) dan mulsa plastik (b) pada 30
pertanian lahan kering
2. Tanaman cabai (a) dan tanaman kubis (b) hasil budidaya 38
organik
3. Contoh gambut fibrik (mentah) (a) dan gambut hemik 43
(setengah matang) (b)
4. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan 44
basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan
basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c.
pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen
5. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran 45
drainase
6. Akar tanaman yang menggantung menunjukkan 46
Terjadinya subsiden (penurunan permukaan)
7. Denah tata air sistem handil 51
8. Pembuatan tabat pada handil 52
9. Tata air sistem garpu UGM 53
10. Contoh tata air mikro pada lahan sawah dan tegalan 54
11. Pintu stoplog di saluran tersier (a. tampak depan; 55
b. tampak samping)
12. Persiapan lahan gambut untuk budidaya tanaman 59
13. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan 70
gambut
14. Pintu air otomatis pada saluran irigasi tersier dalam 80
sistem aliran satu arah
15. Pintu air otomatis pada saluran drainase tersier dalam 81
sistem aliran satu arah
16. Denah sistem aliran satu arah 81
17. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan sulfat 87
masam
M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam
STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 1
PENDAHULUAN
I
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sekitar 237 juta jiwa dan
diperkirakan menjadi 380 juta jiwa pada tahun 2050 dengan laju
pertumbuan penduduk sekitar 1,5% per tahun atau terjadi pertambahan
penduduk 3,5 juta per tahun. Jumlah penduduk yang sedemikian
besarnya tersebut, termasuk peringkat ke empat jumlah penduduk
terbanyak dunia, satu sisi menunjukkan sedemikian besarnya potensi
sumberdaya manusia tetapi di sisi lain jika tidak mampu dikelola
dengan baik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya justru akan menjadi
bencana bagi bangsa Indonesia. Jumlah penduduk dengan peningkatan
sebesar itu harus didukung oleh sejumlah pangan yang cukup. Namun
produksi pangan saat ini masih jauh lebih rendah dari kebutuhan
konsumsi nasional. Sementara lahan pertanian yang produktif,
luasannya sangat terbatas dan semakin berkurang. Setiap tahunnya
sekitar 110.000 hektar beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian.
Jumlah sawah baru yang dicetak pemerintah (dengan dukungan dana
APBN) hanya mencapai 20.000 hingga 40.000 hektar per tahun, tidak
sebanding dengan lahan sawah yang terkonversi (Ihsan, 2013).
Akibatnya, produksi pangan semakin terbatas dibandingkan dengan
permintaan yang terus meningkat. Beberapa produk pangan strategis
seperti beras, kedelai, bawang merah, cabai, dan buah-buahan segar
semakin langka. Untuk mengatasinya, pemerintah mengambil langkah
yang kurang bijak yaitu mengimpor berbagai komoditas pangan
strategis tersebut. Kebijakan seperti ini tidak sejalan dengan upaya
mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Jika hanya mengandalkan produksi pertanian pada lahan yang
subur maka dapat dipastikan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan
pangan nasional yang semakin meningkat. Pilihannya untuk
mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan adalah perluasan lahan
pertanian pada lahan-lahan marginal seperti pada lahan kering, lahan
gambut dan lahan sulfat masam atau lahan pasang surut. Hal ini sangat
dimungkinkan karena potensi lahan marginal di Indonesia cukup tinggi
yaitu dapat melebihi 100 juta hektar. Produksi pertanian pada lahan
marginal seperti tanaman padi dan palawija, tanaman perkebunan, dan
tanaman hortikultura cukup menjajikan dan telah memberikan
kontribusi yang sangat signifikan terhadap kebutuhan pangan nasional.
Pengelolaan lahan marginal untuk memenuhi kebutuhan
produksi pertanian harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian
karena dihadapkan dengan permasalahan lahan marginal yang
sedemikian kompleksnya. Kendalanya mencakup sifat fisik, kimia,
fisikokimia, biologi tanah, kehadiran bahan-bahan beracun baik
organik maupun anorganik, dan kondisi hidrologi lahan yang
memerlukan penataan khusus. Akibatnya lahan marginal sangat rentan
terhadap perubahan. Jika terjadi kesalahan atau kelalaian dalam
pengelolaannya maka akan berdampak besar terhadap kerusakan
lingkungan. Oleh karena itu untuk meningkatkan harkatnya menjadi
lahan yang berproduktivitas memadai diperlukan teknologi pertanian
yang bekerja serbacakup. Teknologi pertanian yang diandalkan selama
ini yaitu teknologi pertanian yang bertumpu pada prodak kimiawi dan
rekayasa lingkungan terbukti telah memberikan dampak yang
merugikan terhadap lingkungan. Teknologi pertanian di lahan marginal
yang diharapkan adalah teknologi yang mengedepankan pertimbangan
kualitas dan kelestarian lingkungan untuk mewujudkan pertanian yang
berkelanjutan. Teknologi pertanian yang dimaksud seperti teknologi
masukan rendah, budidaya organik, dan sistem gizi tanaman terpadu.
Pengelolaan lahan marginal seperti itu diharapkan sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan produksi pertanian dalam rangka mewujudkan
ketahanan dan kedaulatan pangan nasional yang berkelanjutan.
A. Lahan Marginal
Lahan marginal adalah lahan yang mempunyai potensi rendah
sampai dengan sangat rendah untuk menghasilkan tanaman pertanian
atau dapat disebut sebagai lahan yang mempunyai mutu rendah karena
memiliki beberapa faktor pembatas. Menurut Strijker (2005)
menyebutkan bahwa lahan marginal dicirikan oleh penggunaan lahan
yang mempunyai kelayakan ekonomi yang kurang menguntungkan.
Namun demikian dengan penerapan teknologi dan sistem pengelolaan
yang tepat guna, potensi lahan tersebut dapat ditingkatkan menjadi lebih
produktif.
Potensi yang sangat rendah pada lahan marginal ini disebabkan
oleh sifat tanah, lingkungan fisik, atau kombinasi dari keduanya yang
kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Lahan yang telah
mengalami atau dalam proses kerusakan fisika, kimia, dan biologi, yang
akhirnya membahayakan fungsi hidrologis dan pertanian serta
kehidupan sosial ekonomi masyarakat disebut dengan lahan kritis.
Pengertian lahan marginal dan lahan kritis pada dasarnya sama.
Istilah marginal digunakan untuk mengacu pada makna potensi dari
lahan. Adapun istilah kritis digunakan untuk menunjukkan aspek
kerusakan dan kerugian akibat perubahan yang terjadi dari sifat tanah
dan lingkungannya.
Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah
maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat
masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering
berupa tanah ultisol 47,5 juta ha dan oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2002).
Prospek lahan marginal ini cukup besar untuk pengembangan pertanian
namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut
kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi
untuk memperbaiki produktivitasnya.
B. Pertanian Berkelanjutan
Paradigma pembangunan berkelanjutan menurut Bank Dunia
diterjemahkan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan
berkelanjutan (Environmentally Sustainable Development Triangle)
yang bertumpu pada keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial.
Berkelanjutan secara ekonomis mengandung pengertian bahwa suatu
kegiatan pembangunan harus mampu menghasilkan pertumbuhan
ekonomi, pemeliharaan kapital, penggunaan sumberdaya, serta investasi
secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis berarti bahwa kegiatan
tersebut mampu mempertahankan integritas ekosistem, memelihara
daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk
keanekaragaman hayati (biodiversity). Keberlanjutan secara sosial
diartikan bahwa pembangunan tersebut dapat menciptakan pemerataan
hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi
masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan
pengembangan kelembagaan (Dahuri, 1998).
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah
pemanfaatan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable
resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable
resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak
negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang
dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas
produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang
berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati
yang ramah terhadap lingkungan.
Pertanian berkelanjutan tidak identik dengan anti teknologi dan
kembali ke model pertanian tradisional. Pertania berkelanjutan tidak
menghendaki pupuk kimiawi dan pestisida karena kedua input bahan
STRATEGI PERENCANAAN
III
PENGGUNAAN LAHAN
A. Zonasi Lahan
Lahan adalah bagian dari bentang alam yang mencakup
pengertian fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, geologi,
hidrologi, keadaan vegetasi alami bahkan hasil aktivitas manusia baik
saat sekarang maupun masa yang akan datang yang semuanya secara
potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976).
Pengertian ini menunjukkan bahwa berdasarkan konteks keruangan,
lahan sangat bervariasi sehingga dapat dibedakan zona lahan yang satu
dengan zona lahan yang lain. Zona lahan merupakan suatu kawasan
yang penggunaan utama dan penggunaan lahan yang diperbolehkan
adalah penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan untuk
mendukung maksud-maksud penggunaannya secara berkelanjutan dan
sejalan dengan praktek pengelolaan lahan yang benar serta rumusan
kebijaksanaan penggunaannya, untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan dan pelestariannya (LREP II, 1996; Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007).
Untuk keperluan perencanaan penggunaan lahan sangat
diperlukan zonasi lahan. Zonasi lahan merupakan suatu proses untuk
mengidentifikasi lahan (zona lahan) yang memiliki kesamaan syarat-
syarat dalam penggunaannya, guna menentukan langkah-langkah
pengelolaan lahan dan cara penggunaan lahan secara berkelanjutan
dalam arti memperhatikan kelestarian sumberdaya lahan serta
merumuskan langkah-langkah tindakan yang menjamin bahwa
penggunaan lahan dapat diawasi berdasarkan prinsip-prinsip
pengelolaan lahan yang benar.
Zonasi lahan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan
seperti: zonasi lahan menurut LREP (Land Resources Evaluation and
Planning), zonasi lahan berdasarkan agroekologi, dan zonasi lahan
berdasarkan karakteristik lahan.
peta wilayah administrasi, data iklim berupa curah hujan dan suhu
minimal selama 10 tahun terakhir.
(2) Tahap interpretasi dan pengolahan data
Tahap interpretasi dan pengolahan data yaitu menginterpretasi data
iklim dan sumberdaya lahan untuk mendapatkan zonasi agroekologi.
Zonasi agroekologi dibedakan berdasarkan perbedaan regim
iklim (suhu dan kelembaban) dan relief (kisaran lereng), dengan kriteria
sebagai berikut :
a. Regim suhu
Regim suhu yaitu perbedaan rata-rata suhu udara terpanas dan
terdingin. Regim suhu dapat menggunakan pendekatan ketinggian
tempat dari permukaan laut, yang dibedakan menjadi :
Panas yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin
harian > 50C atau wilayah dengan ketinggian < 750 m dpl (a), regim
suhu ini disebut isohipertermik.
Sejuk yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin
harian < 50C atau wilayah dengan ketinggian > 750-2000 m dpl (b),
regim suhu ini disebut isotermik.
Sejuk yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin
harian < 50C atau wilayah dengan ketinggian > 2000 m dpl (c).
regim suhu ini disebut juga isotermik.
b. Regim kelembaban
Regim kelembaban suatu wilayah dibedakan berdasarkan jumlah
bulan kering (curah hujan rata-rata < 60 mm) dalam satu tahun, dengan
pembagian sebagai berikut :
Lembab yaitu jumlah bulan kering < 3 dalam satu tahun (x).
Agak kering yaitu jumlah bulan kering antara 4-7 dalam satu tahun
(y).
Kering yaitu jumlah bulan kering > 7 dalam satu tahun (z).
1. Keadaan iklim yang kering dalam arti istilah Inggris arid land
menurut salah satu difinisi: (a) daerah dengan curah hujan tahunan
kurang dari 250 mm (USA), (b) daerah yang jumlah hujannya tidak
mencukupi untuk menghidupi vegetasi sedikitpun, (c) daerah yang
jumlah hujannya tidak mencukupi untuk memapankan (estabish)
pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi
potensial melebihi jumlah curahan (precipitation) aktual
(Monkhouse and Small, 1978).
2. Keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar
(bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan
lahan basah alamiah lain).
3. Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.
Pengertian kering yang pertama terkait dengan istila daerah
kering atau kawasan iklim kering. Untuk pengertian yang kedua dapat
dipilih istilah lahan atasan (upland). Untuk pengertian yang ketiga dapat
diterapkan istilah lahan kering. Jadi, pertanian lahan kering ialah
pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan lahan garapan. Maka
padi sawah dan perikanan kolam (air tawar dan tambak) tidak termasuk,
akan tetapi padi gogo, palawija, perumputan pakan, perkebunan dan
pekarangan termasuk pertanian lahan kering. Ini berarti bahwa irigasi
tetap dapat diberikan, asal tidak dimaksudkan untuk menggenangi
lahan.
Pengertian lahan kering Notohadiprawiro (1988) mengajukan
postulat lahan tadah hujan (raindfed) yang dapat diusahakan secara
sawah (lowland/wetland) atau secara tegal atau ladang (upland).
Pengertian tersebut yang menjadi kriteria pokok adalah hujan sebagai
sumber asasi air yang membedakan dengan lahan irigasi. Lahan kering
adalah lahan yang dalam keadaan alami tidak jenuh air hampir
sepanjang tahun atau tidak tergenang. Kelengasan tanahnya hampir
sepanjang tahun selalu di bawah kapasitas lapang. Fluktuasi kelengasan
tanah dipengaruhi oleh cuaca, keadaan fisiografi, dan pengelolaan.
Diantara faktor tersebut, hujan merupakan faktor penentu utama. Proses
biologi dan kimia dalam tanah terjadi dalam keadaan aerob. Pendapat
lain mengatakan bahwa lahan kering adalah lahan yang pada periode
tertentu dalam tiap tahun terdapat curah hujan yang tidak mencukupi
B. Karakteristik Tanah
Berdasarkan uraian sebelumnya menunjukkan bahwa sebagian
besar lahan kering didominasi lahan kering masam (70%). Lahan kering
masam seluas tersebut sebagian besar didominasi oleh tanah ultisol dan
mempunyai karakteristik (Buol et al., 2003; Buring, 1979; Certini and
Scalenghe, 2006; Faning and Faning, 1989; Tufaila et al., 2011);
sebagai berikut :
1. Mempunyai pH rendah, berarti kemasaman tinggi. Hal ini
menyebabkan ketersediaan hara pada umumnya menurun,
perombakan bahan organik terhambat sehingga proses humifikasi
kurang lancar, kegiatan biologi menurun, dan kemungkinan
peracunan Al, Fe, dan Mn meningkat.
2. Kejenuhan Al tinggi dan kemungkinan besar Fe dan Mn aktif juga
tinggi. Unsur-unsur ini dalam jumlah yang tinggi meracuni tanaman.
1. Pengelolaan air
Konservasi lengas tanah menjadi faktor yang paling menentukan
keberhasilan pertanian di lahan kering. Air hujan harus
ditransformasikan terlebih dahulu menjadi lengas tanah agar dapat
dimanfaatkan atau diserap akar tanaman. Proses transformasi tersebut
berlangsung di dalam tanah dan efektifitasnya ditentukan oleh tekstur
tanah, struktur tanah, macam mineral lempung, kandungan bahan
organik tanah, dan jeluk mampan tubuh tanah. Konservasi lengas tanah
berarti menahan lengas tanah lebih lama dalam tanah dengan jalan
menekan kehilangan air lewat evaporasi dan atau perkolasi. Jumlah air
limpasan juga perlu dikendalikan untuk memperbesar jumlah hujan
efektif, yaitu bagian air hujan yang meresap ke dalam tanah. Dengan
kata lain memperbesar bagian air hujan yang tersedia untuk
ditransformasikan menjadi lengas tanah.
Beberapa teknik pengendalian erosi juga efektif menekan laju
aliran limpas, berarti meningkatkan hujan efektif, yaitu menahan dengan
pola pagar resah garis tinggi, penanaman berjalur, dan teras.
Penekanan evaporasi dapat dilakukan dengan mulsa (Gambar
1a). Bahan mulsa yang paling mudah diperoleh adalah limbah pertanian,
tetapi ada kemungkinan pertentangan kepentingan penggunaan limbah
ini. Suatu cara yang efektif namun mahal adalah menutup permukaan
tanah dengan lembaran plastik (Gambar 1b). Laju evaporasi dapat
ditekan juga dengan mengolah lapisan tanah atasan menjadi bongkah-
bongkah kasar atau menerapkan sistem pengolahan tanah minimum.
Jumlah evaporasi dapat dikurangi dengan jalan melancarkan
infiltrasi air ke dalam tanah dan menahan air dalam bagian tubuh tanah
yang tidak terlalu dekat dengan permukaan tanah. Lebih baik lagi bila
sebagian besar air tersipan dalam mintakan utama perakaran tanaman
untuk memudahkan tanaman memperoleh air. Melancarkan infiltrasi ini
harus diikuti dengan memperbesar kemampuan tubuh tanah menyimpan
(a) (b)
Gambar 1. Penggunaan mulsa jerami (a) (http://alamtani.com/pupuk-
hijau.html) dan mulsa plastik (b) pada pertanian lahan
kering (http://budidayausaha.blogspot.com/2014/04/cara-
pengolah-an-lahan-budidaya-melon.html)
2. Budidaya organik
Penyelesaian tanah berkedala ganda diperlukan teknologi yang
mempunyai kemampuan ganda pula. Budidaya organik adalah teknologi
produksi pertanian semacam itu. Semua upaya yang diperlukan untuk
menanggulangi berbagai kendala lahan kering masam seperti tanah
ultisol tersedia dalam budidaya organik. Selain itu, yang lebih penting
lagi ialah semua upaya tersebut saling bernasabah dalam bentuk suatu
sistem. Hal ini berbeda sama sekali dengan budidaya kimiawi yang
sampai saat sekarang diandalkan sebagai teknologi produksi pertanian
utama. Untuk dapat menyelesaikan kedala ganda tanah, budidaya
kimiawi mencampurkan sejumlah kimiawi yang pada asasnya tidak
saling bernasabah secara sistem. Misalnya, pengapuran diterapkan
untuk menanggulangi persoalan peracunan Al, Fe, dan Mn. Akan tetapi
(a)
(b)
Gambar 2. Tanaman cabai (a) dan tanaman kubis (b) hasil budidaya
organik (http://patih-madrim.blogspot.com/2011/08/ budida-
ya-cabai-organik.html;http://mitrapetani.blogspot.com/2012/
10/ mitra-petani-potensi-pertanian-organik.html)
Tabel 5. Luas total lahan gambut dan yang layak untuk pertanian serta
sebarannya di Indonesia
Layak untuk
Pulau/Provinsi Luas total (ha)
pertanian (ha)
Sumatra 6.244.101 2.253.733
Riau 4.043.600 774.946
Jambi 716.839 333.936
Sumatera Selatan 1.483.662 1.144.851
Kalimantan 5.072.249 1.530.256
Kalimantan Tengah 3.010.640 672.723
Kalimantan Barat 1.729.980 694.714
Kalimantan Selatan 331.629 162.819
Papua dan Papua Barat 7.001.239 2.273.160
Total 18.317.589 6.057.149
Catatan: Apabila lahan gambut di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Kalimantan Timur diperhitungkan, maka luas
total lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 21 juta ha.
2. Klasifikasi gambut
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut
pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan
dan posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya,
gambut dibedakan menjadi:
(1) Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut
dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam,
dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.
(2) Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk,
sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan
bila diremas bahan seratnya 15-75%. Contoh gambut hemik (Agus
dan Subiksa, 2008) disajikan pada Gambar 3a.
(3) Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas
>75% seratnya masih tersisa. Contoh gambut fibrik (Agus dan
Subiksa, 2008) disajikan pada Gambar 3b.
(a)
(b)
2. Karakteristik kimia
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan
oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di
dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral
gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah
pada lahan gambut yang tersisa, dan menyulitkan restorasi lahan gambut
yang telah rusak. Oleh karena itu, selain harus mempertimbangkan
aspek budaya masyarakat dan aspek pasar, Limin (2000) mengajukan
kriteria pemanfaatan gambut seperti diperincikan pada Tabel 6.
2. Pengelolaan air
Pengelolaan air (water management) atau sering disebut tata air
di lahan rawa bertujuan tidak hanya untuk menghindari terjadinya
banjir/genangan yang berlebihan di musim hujan tetapi juga untuk
menghindari kekeringan di musim kemarau. Hal ini penting disamping
untuk memperpanjang musim tanam, juga untuk menghindari bahaya
kekeringan lahan sulfat masam dan lahan gambut. Pengelolaan air yang
hanya dimaksudkan untuk mengendalikan banjir di musim hujan dengan
Sistem Handil
Sistem handil atau sistem parit sudah dikembangkan sejak lama
oleh petani lahan gambut pasang surut di Kalimantan dan Sumatera.
Handil dibuat tegak lurus sungai selebar 5-7 m dan semakin menyempit
ke arah hulu.
Panjang handil berkisar antara 0,5 km hingga 4 km atau sampai
kedalaman gambut maksimum 1 meter. Handil ini sering pula
digunakan sebagai prasarana transportasi air, karena jalan darat
umumnya tidak tersedia. Selanjutnya dibuat saluran yang lebih kecil dan
tegak lurus handil. Saluran ini sering menjadi batas kepemilikan lahan.
Pada kanan kiri handil dan saluran dibuat tanggul dan ditanami buah-
buahan untuk menahan erosi. Handil dan saluran tersebut ketika pasang
berfungsi sebagai saluran irigasi dan ketika surut berfungsi sebagai
saluran drainase. Denah air sistem handil disajikan pada Gambar 7.
Parit cacing
Parit
Parit kongsi
Tanggul/
pematang
Sungai
Sungai Tanggul
sungai
Sistem Garpu
Pengaturan tata air dengan sistem garpu dikembangkan oleh
Universitas Gajah Mada pada lahan pasang surut dengan membuat
saluran yang dilengkapi dengan pintu-pintu air. Saluran primer,
sekunder, dan tersier dibuat saling tegak lurus sehingga menyerupai
gambar garpu. Pintu air dibuat otomatis (flapgate) yang ketika pasang
dapat membuka lalu menutup ketika surut. Sistem garpu disajikan pada
Gambar 9.
Keterangan :
A : Saluran drainase tersier B : Saluran irigasi kuarter C : Saluran drainase kuarter
D : Saluran kolektor E : Saluran cacing F : Pintu air drainase stoplog
Gambar 10. Contoh tata air mikro pada lahan sawah dan tegalan
(Najiyati et al., 2005)
(a) (b)
Gambar 11. Pintu stoplog di saluran tersier (a. tampak depan; b. tampak
samping) (Najiyati et al., 2005)
lurus saluran kolektor. Saluran ini dibuat setiap jarak 9-10 m dengan
ukuran lebar 30 cm dan dalam 25-30 cm.
a. Tanaman pangan
Tanaman pangan adalah tanaman yang hasil/produksinya
merupakan bahan konsumsi manusia sebagai sumber karbohidrat atau
protein. Dari jenis tersebut, yang banyak dibudidayakan secara intensif
di lahan gambut antara lain jagung, kacang tanah, kedele, padi,
singkong, dan bengkoang. Sedangkan jenis lainnya dipelihara untuk
sekedar mencukupi kebutuhan sendiri atau diambil dari tumbuhan liar di
hutan. Dalam kelompok ini, juga terdapat jenis tanaman pangan tahunan
yaitu sagu yang umumnya belum dibudidayakan secara intensif di lahan
gambut. Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Lanjutan
Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan
Sorgum (Sorguhm Bijinya merupakan Membutuhkan tanah berdrainase
bicolor Moench) bahan makanan dan baik, relatif toleran pada
Gramineae pakan ternak. Daunnya keasaman (4,5 - 5). Ditanam
Nama lain : cantel untuk pakan ternak dengan menggunakan biji.
(jawa). dan pupuk hijau.
b. Tanaman perkebunan
Tanaman perkebunan adalah tanaman yang umumnya
diusahakan oleh perusahaan perkebunan dalam skala luas. Pada
kenyataannya, tanaman perkebunan juga banyak diusahakan oleh
rakyat, tetapi produksinya dipasarkan ke perusahaan untuk diproses
lebih lanjut. Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di lahan
gambut diantaranya adalah kelapa sawit, karet, dan kelapa. Hal yang
perlu diperhatikan dalam penanaman tanaman tersebut di lahan gambut
adalah kemungkinan tanaman mudah tumbang setelah mencapai
ketinggian tertentu, terutama pada lahan gambut tebal. Hal ini terjadi
Tabel 9. Lanjutan
Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan
Teh (Cemellia Daunnya sebagai bahan Jarang dibudidayakan di lahan
sinensis L.) baku indutri bahan gambut tropis dataran rendah, tetapi
Theaceae minuman. telah diuji coba di Malaysia dan
mutunya kurang baik. Dapat
tumbuh di lahan gambut dangkal
hingga sedang yang berdrainase
baik. Diperbanyak melalui stek
batang.
c. Tanaman sayuran
Tanaman sayuran adalah tanaman yang produksinya biasa
dikonsumsi manusia sebagai sayuran. Sebagian besar tanaman sayuran
tergolong semusim. Sebagian sayuran juga diproduksi oleh tanaman
tahunan, diantaranya adalah keluwih dan petai. Bagian yang digunakan
untuk sayuran berupa batang, daun, atau buah. Jenis sayuran yang dapat
diusahakan di lahan gambut sebagaimana disajikan pada Tabel 10.
d. Tanaman buah-buahan
Tanaman buah-buahan adalah tanaman yang menghasilkan buah
untuk dikonsumsi manusia dalam keadaan segar atau diolah terlebih
dahulu, sebagai sumber vitamin dan serat. Dalam kelompok ini, terdapat
tanaman buah sebanyak 22 jenis. Sebagian besar tanaman tersebut
merupakan tanaman tahunan, dan hanya tiga jenis yaitu nenas, melon
dan semangka yang merupakan tanaman semusim. Jenis tanaman buah-
buahan yang diusahakan di lahan gambut sebagaimana disajikan pada
Tabel 11.
e. Tanaman lainnya
Tanaman lainnya yang dapat diusahakan di lahan gambut
seperti:
(1) Tanaman rempah dan minyak aksiri : cengkeh, jahe, kayu manis,
kunyit, kencur, mint, nila, pala, pinang, lada, serai, dan temu lawak.
(2) Tanaman serat : kapas, pisang abaka, agave, rami, kapuk randu,
kenaf, dan rosela.
(3) Tanaman bunga matahari, jarak, jelutung, kesumba, mengkudu,
meranti rawa, pulai, rengas manuk, belangeran, ramin, sungkai,
kemiri, rotan, murbei, lantoro, turi, saga, pacar kuku, purun tikus,
dan sengon.
hektar di pulau Kalimantan, dan 625 ribu hektar di pulau Papua. Hasil
survei yang dilakukan oleh PPT-Bogor tahun 1990 menyatakan bahwa
luas lahan sulfat masam di Indonesia sekitar 6,70 juta hektar atau 20%
dari luas lahan rawa pasang surut dan rawa lebak atau 10% dari luas
lahan basah (Noor, 2004).
c. Jarosit
Jarosit adalah senyawa yang dihasilkan dari oksidasi pirit. Jadi
adanya jarosit memberikan gambaran suatu keadaan sekaligus proses
kimiawi dalam tanah yang berkaitan dengan terjadinya sentuhan oleh
udara atau reaksi oksigen terhadap lapisan pirit. Oksidasi pirit selain
menghasilkan jarosit juga menghasilkan ion-ion H+ dan asam sulfat
(SO42-) yang menyebabkan pemasaman tanah.
Tabel 12. Tipe luapan lahan sulfat masam yang berada di wilayah rawa
pasang surut
Tabel 13. Kriteria dan tipologi lahan sulfat masam berdasarkan jeluk
dan kondisi pirit
Jeluk pirit*)
No. Tipologi lahan Kondisi
(cm)
1. Aluvial bersulfida < 50 Menunjukkan adanya
dangkal bahan sulfida/pirit, pH
3,5-4,0.
2. Aluvial bersulfida 50-100 Menunjukkan adanya
dalam bahan sulfida, pH >4,0.
3. Aluvial bersulfida > 100 Menunjukkan adanya
sangat dalam bahan sulfida, pH >4,0-
4,5.
4. Aluvial bersulfat-1 < 100 Belum ada ciri horison
sulfurik, pH > 3,5 dan
tanpak bercak pirit.
5. Aluvial bersulfat-2 < 100 Menunjukkan adanya ciri
horison sulfurik, pH <
3,5.
6. Aluvial bersulfat-3 > 100 Menunjukkan adanya ciri
horison sulfurik, pH <
3,5.
*)
Diukur dari permukaan tanah mineral
1. Karakteristik fisik
Warna tanah sulfat masam umumnya coklat gelap untuk lapisan
atas dan abu-abu (grey) untuk lapisan bawah yang menunjukkan adanya
pirit. Warna coklat gelap menunjukkan tingginya kandungan bahan
organik sedangkan warna abu-abu menunjukkan tingginya kadar
mineral kaolinit (Breemen, 1982). Warna abu-abu gelap kehijauan
menunjukkan adanya pirit dan warna semakin gelap menunjukkan kadar
pirit yang semakin tinggi (Noor, 2004).
Nilai n (kematangan) tanah sulfat masam umumnya berkisar
antara < 0,7 (matang) dan > 2,0 (mentah). Tanah sulfat masam
mempunyai tekstur tanah yang bersifat lempungan, struktur tanah pejal
dan konsistensi tanah lekat apabila basah/lembab dan teguh apabila
kering. Oleh karena itu permeabilitas tanah sulfat masam umunya
lambat sampai sangat lambat. Pada kasus tertentu, seperti pada tanah
sulfat masam potensial yang mempunyai banyak saluran besar bekas
akar dan lubang-lubang bekas hewan, maka permeabilitas tanah nisbih
tinggi. Demikian juga tanah sulfat masam yang bersifat pasiran dan
bergambut mempunyai permeabilitas nisbi tinggi. Pelumpuran dapat
menurunkan permeabilitas tanah, tetapi tidak mungkin dilakukan pada
tanah yang bersifat pasiran dan bergambut.
2. Karakteristik kimia
Reaksi tanah sulfat masam tergolong masam sampai luar biasa
masam, berkisar pada pH 4 (untuk ordo entisol) dan pH < 3,5 (ordo
inceptisol). Kemasaman merupakan kendala paling hakiki dalam
pengembangan pertanian di lahan sulfat masam. Tanaman tumbuh
normal umumnya pada pH 5,5 untuk tanah gambut dan pH 6,5 untuk
tanah mineral karena pada pH < 4,5 terjadi peningkatan Al, Fe, dan Mn
dan pada pH < 6,5 terjadi kahat Ca, Mg, dan K. Kemasaman yang tinggi
di lahan sulfat masam setelah reklamasi mengimbas terhadap pening-
katan kelarutan Al, Fe, asam-asam organik, dan diiringi dengan kahat P,
Cu, dan Zn. Lahan sulfat masam yang terletak dengan muara sungai
atau pesisir pantai umumnya mengandung salinitas tinggi. Kelarutan
sulfat yang dihasilkan dari oksida pirit pada lahan yang telah
direklamasi akan diikuti oleh peningkatan salinitas (Noor, 2004).
Kadar Al pada tanah sulfat masam berkaitan dengan oksidasi
pirit. Suasana yang sangat masam mempercepat pelapukan mineral
alumino-silikat dengan membebaskan dan melarutkan Al yang lebih
banyak (Notohadiprawiro, 1998). Kelarutan Al tanah sulfat masam
selain dalam bentuk kation yang dapat tukar (Al3+), juga dalam bentuk
koloidal sebagai hidroksil atau basic sulfat. Kadar Al meningkat pada
pH 4,0-4,5 (Dent, 1986). Hasil penelitian Breemenn (1976)
menunjukkan aktivitas Al3+ meningkat hampir 10 kali lipat dengan
penurunan satuan unit pH.
Besi (Fe) dalam tanah sulfat masam yang sering menimbulkan
masalah adalah dalam bentuk ferro (Fe 2+) yang menyebabkan keracunan
bagi tanaman, khususnya dalam kondisi tergenang. Kadar Fe 2+ dan
Mn2+ pada tanah sulfat masam tergenang (tereduksi) mempunyai
kisaran sangat lebar antara 0,007 sampai 6.600 ppm Fe dan 1 sampai
100 ppm Mn. Kadar Fe2+ dipengaruhi oleh pH, bahan organik, kadar
Fe3+, dan reaktivitas Fe3+ (Ponnamperuma, 1977). Pada tanah sulfat
masam tua sebagian berubah bentuk menjadi mudah teroksidasi menjadi
besi bermartabat tiga atau ferri (Fe 3+) yang menimbulakn kerak karatan
pada permukaan tanah.
Asam sulfida (H2S) sebagai hasil dari reduksi sulfat dapat
menimbulkan keracunan, terutama pada padi dengan kondisi tanah
tergenang. Keracunan H2S berasosiasi dengan kadar bahan organik
tinggi dan besi rendah. Bakteri pereduksi sulfat tidak bekerja pada
kondisi masam sehingga keracunan H2S hanya muncul apabila
penggenangan menaikan pH mencapai 5 (Dent, 1986).
Gambar 14. Pintu air otomatis pada saluran irigasi tersier dalam sistem
aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995)
2) Bagian muara saluran drainese tersier (yang berhubungan dengan
saluran kuarter) diberi pintu stoplog yang bisa diputar dan diatur
menjadi dua posisi. Posisi pertama, pintu hanya bisa membuka keluar
sehingga air drainase dapat keluar tetapi air pasang tidak dapat
masuk. Posisi ini diperlukan pada musim hujan terutama pada pasang
besar sehingga kelebihan air harus dikeluarkan. Posisi kedua,
diperoleh bila pintu diputar. Pada posisi ini, pintu akan menutup
sehingga air bisa ditahan di dalam lahan. Posisi ini diambil ketika
musim kemarau atau musim pasang kecil. Alternatif lainnya
menggunakan pintu otomatis yang membuka ketika surut dan
menutup ketika pasang. Pintu air otomatis pada saluran drainase
tersier dalam sistem aliran satu arah disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. Pintu air otomatis pada saluran drainase tersier dalam
sistem aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995)
Varietas-varietas padi lokal ini bersifat peka fotoperiod. Sifat padi lokal
ini disenangi petani karena antara lain (1) mudah mendapatkan bibitnya
karena petani masing-masing membibitkan sendiri dan menyimpannya
dari panen sebelumnya, (2) mudah memasarkan hasilnya karena rasa
nasi yang pera (karau) banyak disenangi oleh masyarakat setempat
seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatra Barat, Aceh,
dan Biak, (3) memerlukan pupuk sedikit bahkan jarang dan
pemeliharaan mini antara lain penyiangan hanya seadanya, (4) tidak
mudah rontok, berdaun lebar dan terkulai, menyebabkan hama burung
pipit sukar bertengger, dan (5) bentuk tanaman nisbih lebih tinggi (140-
170 cm) sehingga memudahkan memanen. Panen umumnya masih
menggunakan ani-ani. Hanya saja hasil produktivitas padi varietas lokal
ini rata-rata hanya mencapai 2-3 ton gabah keringgiling per hektar
dengan intensitas tanam sekali setahun (Noor, 2004).
Adapun padi varietas unggul introduksi seperti IR 42, IR 50, IR
64, IR 66 dan sejenisnya kurang disenangi petani lokal rawa karena
selain sukar dipasarkan (harga lebih murah) juga dikenal manja karena
memerlukan pupuk nisbih lebih banyak dan perawatan lebih intensif
termasuk penggunaan pestisida, insektisida lebih banyak dibandingkan
varietas lokal peka fotoperiod. Hanya saja keuntungan dari varietas
unggul instroduksi memiliki umur pendek (3-4 bulan) dan poduktivitas
lebih tinggi (4,5-5,5 ton.ha-1) (Noor, 2004).
Beberapa hasil penyaringan dan seleksi khususnya tanamn
pangan (padi dan palawija) telah mendapatkan varietas-varietas padi
unggul baru spesifik lahan sulfat masam yang sudah dilepas ke petani.
Varietas padi unggul rawa yang sudah dilepas melebihi 18 varietas.
Varietas Margasari dan Martapura merupakan hasil persilangan antara
varietas lokal peka fotoperiod (Siam Unus) dengan padi sawah varietas
unggul introduksi (Cisokan dan Dodokan) menunjukkan preferensi rasa
sedang dan hasil nisbi tinggi dibandingkan varietas lokal pada
umumnya.
Varietas kedelai yang dilepas untuk lahan pasan surut yaitu
varietas Lawit dan Manyapa dengan rata-rata umur 82 hari dan hasil
sekitar 2,0-2,4 ton biji kering per hektar. Varietas unggul jagung untuk
lahan pasang surut yaitu varietas Sukmaraga dan Padmaraga dengan
rata-rata umur 90 hari dan hasil 4,0-5,0 ton pipilan kering per hektar.
Berikut disajikan jenis dan varietas tanaman palawija, sayur, buah-
buahan dan tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat masam
(Balitra, 2003) sebagimana disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Jenis dan varietas tanamn palawija, sayur, buah-buahan dan
tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat masam
Hasil
Jenis tanamn Varietas Ketahanan
(ton.ha-1)
Palawija dan umbi-umbian
Jagung Arjuna, Kalingga, wiyawa, Bisma, Sedang 4,0-5,0
Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar,
H6, Bisi Dua, dan Sukmaraga
Kedelai Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Sedang 1,5-2,4
Galunggung, Slamet, Lawit, dan
Manyapa
Kacang tanah Gajah, Pelandak, Kelinci, Singa, Tahan 1,8-3,5
Jerapah, Komodo, dan Mahesa
Kacang hijau Betel, Walet, dan Gelatik Tahan 1,5
Ubi kayu Anjir (lokal) Tahan 13-25
Ubi jalar Kiyai (lokal) Tahan 14-25
Tanaman Sayur-buahan
Tomat Intan, Permata, Berlian, Mirah, AV- Sedang 10-15
22, dan Ratna
Cabai Tanjung-1,-2, Barito, Bengkulu, Sedang 4-6
Tampar, Keriting, Rawit Hijau, dan
Rawit Putih
Terong Mustang, Kopek Ungu, Ungu Tahan 30-40
Panjang, dan No. 4000 KK
Kubis Cros, KY Cross, dan Grand 33 Sedang 20-25
Kacang panjang Super King, Pontianak, KP-1, dan Tahan 15-28
KP-2
Buncis Horti-1, Horti-2, Prosesor, Farmer Sedang 6-8
early, dan Green Leaf
Timun Saturnus, Mars, dan Pluto Sedang 34-40
Bawang merah Ampenan, Bima, Menteng, Sedang 4-8
Sumenep, dan Kuning
Sawi Asveg, Sangihe, Talaud, Tosakan, Tahan 15-20
Putih Jabng, Sawi Hijau, Sawi
Huma, dan No. 82-157
Selada New Grand Rapid Sedang 12-15
Bayam Maestro, Giti Hijau dan Merah, Sedang 10-12
Cimangkok, dan Kakap Hijau
Hasil
Jenis tanamn Varietas Ketahanan
(ton.ha-1)
Kangkung LP-1, LP-2, dan Sutera Sedang 25-30
Semangka Sugar Baby dan New Dragon Sedang 15-25
Nenas Madu, Bangk, dan Paun Tahan 40
Pepaya - Sedang 12-30
Tanaman Industri
Lada Petaling-I, Petaling-II, dan LDK Sedang 3-4
Jahe Merah Sedang 20-24
Kelapa Dalam Riau Tahan 2,5-4,1
Kelapa sawit - Tahan 19
Kopi Exelsa dan Arabika Tahan 1,7-2,0
Sumber : Balitra (2003)
DAFTAR PUSTAKA
Moormann, E.N. and N.V. Breemen, 1976. Rice, soil, water and land.
IRRI. Philippines.
Moore, W.G., 1977. Adictionary of geography. Fifth Ed. Penguin Books
Ltd. Harmondsworth.
Mulyani, A., 2006. Perkembangan potensi lahan kering masam. Sinar
Tani.
Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai, 1991.
Characterization, distribution and utilization of peat in Malaysia.
Proc. International Symposium on tropical peatland. 6-10 May
1991. Kuching, Serawak, Malaysia.
Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra, 2005.
Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian
berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in
Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
Nelson, A. , and K.D. Nelson, 1973. Dictionary of water and water
engineering. The Butterworth Group. London.
Nelvia, 2009. Kandungan fosfor tanaman padi dan emisi karbon tanah
gambut yang diaplikasi dengan amelioran Fe3+ dan fosfat alam
pada beberapa tingkat pemberian air. J. Tanah Trop. 14(3):195-
204.
Noor, M., 2001. Pertanian lahan gambut: potensi dan kendala. Penerbit
Kanisius. Jakarta.
Noor, A., 2013. Teknologi budidaya di lahan pasang surut. BPTP
Kalimantan Selatan. http://kalsel.litbang.pertanian.go.id/ind/
index.php?option=com_content&view=article&id=81:tanaman&
catid=4:info-aktual (Diakses tanggak 7 September 2014).
Noor, M., 2004. Lahan rawa : sifat dan pengelolaan tanah bermasalah
sulfat masam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Notohadiprawiro, T., 1989. Pertanian lahan kering di Indonesia:
Potensi, prospek, kendala dan pengembangannya. Lokakarya
Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija
SFCDPUSAID. Bogor.
Notohadiprawiro, T., 1998. Tanah dan lingkungan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Tie, Y.L. and J.S. Esterle, 1991. Formation of lowland peat domes in
Serawak, Malaysia. Proc. International Symposium on Tropical
Peatland. 6-10 May 1991. Kuching, Serawak, Malaysia.
Tie, Y.L. and J.S. Lim, 1991. Characteristics and classification of
organic soils in Malaysia. Proc. International Symposium on
tropical peatland. Kuching, Serawak, Malaysia.
Tim Institut Pertanian Bogor, 1974. Laporan survai produktivitas tanah
dan pengembangan pertanian daerah Palangka Raya, Kalimantan
Tengah. IPB. Bogor.
Tufaila, M., B.H. Sunarminto, D. Shiddieq, and A. Syukur, 2011.
Characteristics of soil derived from ultramafic rocks for
extensification of oil palm in Langgikima, North Konawe,
Southeast Sulawesi. J. Agrivita 33 (1):93-102.
Tufaila, M., Yusrina dan S. Alam, 2014a. Pengaruh pupuk bokasi
kotoran sapi terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah
pada ultisol Puosu Jaya Kecamatan Konda, Konawe Selatan.
Agroteknos 4(1):18-25.
Tufaila, M., Dewi D. L., dan S. Alam, 2014b. Aplikasi kompos kotoran
ayam untuk meningkatkan hasil tanaman mentimum (Cucumis
sativus L.) di tanah masam. Agroteknos 4(2): 119 - 126.
Van der Heide, J., S. Setijono, E.N. Syekhfani, Flach, K. Hairiah, S.
Ismunandar, S.M. Sitompul, M. Van Noordwijk, 1992. Can low
external input cropping systems on acid upland soils in the humid
tropics be sustainable? Backgrounds of the Unibraw/IB Nitrogen
management project in Bunga Mayang (Sungkai Selatan,
Kotabumi N. Lampung, S. Sumatera, Indonesia).Agrivita 15:1-10.
Waston, G., and M. Willis, 1985. Famers’ local and traditional rice crop
protection techniques: some examples from coastal swamps,
Kalimantan Indonesia. IARD Journal (7) 1&2:25-30.
Widjaja-Adhi, I P.G., 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan
lebak. J. Litbang Pertanian 5. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama,
1992. Sumber daya lahan rawa: potensi, keterbatasan dan
pemanfaatannya. In Partohardhono dan M. Syam (Ed.).
Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut
dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor.
M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam
STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 98
INDEKS
Anjasmara, 34
A anorganik, 2, 31, 37, 92
abu, 56, 58, 63, 64, 77 APBN, 1
Aceh, 40, 85 Argomulyo, 34
Adat istiadat, 8 arid, 22, 23, 74, 88
Aeric Hydraquents, 75 asam, 41, 48, 50, 56, 58, 60, 61,
aerob, 23, 73 68, 71, 73, 78, 82, 95
Agak kering, 11 asam organik, 41, 48, 56, 82
agave, 70 Aspergillus, 35
agen hayati, 35 asumsi, 18, 21
agregasi, 26, 32 atmosfer, 27
agregat, 32, 35 Azospirillum, 34
agroekologi, 7, 9, 10, 11, 12, 14, Azotobacter, 34, 35
88
Agroforestri, 12 B
agroindustri, 5 Bacillus, 35
air limpasan, 29 back swamp, 39
air tanah, 32 bahan induk, 72
akar, 25, 26, 29, 34, 41, 46, 61, bahan organik, 25, 31, 32, 34,
65, 77 40, 41, 83
alami, 4, 7, 23, 32, 47, 68, 72 bahan sulfida, 20, 71, 72, 76
aliran limpas, 25, 29 bakteri, 35, 72
aliran masa, 25 Baluran, 34
alley cropping, 28 banjir, 4, 20, 21, 23, 49, 50
Alpukat, 66 basic sulfat, 78
aluvial bersulfat-1, 76 basis, 9
aluvial bersulfat-2, 76 batuan fosfat, 35
aluvial bersulfat-3, 76 Bawang daun, 63
aluvial bersulfida, 76 Bawang kucai, 63
amelioran, 48, 56, 57, 58, 82, Bawang merah, 1, 63, 84, 86, 98
83, 91, 93, 95, 96 Bayam, 64, 86
ameliorasi, 36, 56 Bayar, 84
amonium acetat, 47 belangeran, 70
amonium klorida, 48 Belimbing, 67
anaerob, 72, 73 Bengkoang, 59, 60
ani-ani, 85
Duku, 67 Flufaquents, 76
Durian, 67 Fluvaquents, 75
fosfat, 25, 34, 35, 57, 83, 90, 91,
E 93
efektivitas, 25, 34 fosfat alam, 35, 57
efisiensi usahatani, 27 fotoperiod, 85
ekologi, 4, 26 fungi, 35
ekonomi, 3, 4, 14, 18, 19, 27, Fungus, 35
28, 56, 58, 60, 61
ekosistem, 4, 33, 36, 40 G
ekstensifikasi, 13 gagal panen, 5
emisi, 6, 56, 93 Galunggung, 34, 86
endapan lumpur, 79 gambut, 12, 20, 39, 40, 41, 42,
Endoaquents, 75 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
Endoaquepts, 75 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,
entisol, 77 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 77,
erosi, 5, 6, 20, 24, 25, 26, 29, 79, 88, 91, 92, 93, 94, 95, 96,
31, 32, 33, 35, 46, 51 98
eutropik, 47 Gambut pantai, 43
evaluasi, 14, 15, 17, 90, 94 Gambut pedalaman, 43
evaporasi, 23, 29, 41 Gambut transisi, 44
evapotranspirasi, 82 gambut tropika, 39
Gandaria, 67
F Ganyong, 60
fauna, 32, 33, 35 garam, 12, 50
fenol, 47 Garut, 34
fero sulfat, 73 Gembili, 60
ferri (Fe3+), 72, 78 gempa bumi, 4
fibrik (mentah), 42, 43 genangan, 4, 49, 60, 61, 66, 84
fiksasi, 34 geokimia, 72
fisik, 2, 3, 7, 10, 11, 24, 26, 34, geologi, 7, 10, 13
36, 41, 45, 77 geologis, 4
fisika, 3 Gepak Kuning, 34
fisikokimia, 2, 26 glaukopit, 74
fisiografi, 10, 13, 23 granit, 49
fisiokimiawi, 25 Grobogan, 34
flapgate, 52, 80 gulma, 5, 6, 31, 82
fleksibel, 14 gunung berapi, 4
flora, 32, 33
H inceptisol, 73, 77
indikator, 35, 45
hama, 5, 6, 31, 85
industri, 5, 6, 35, 37, 60, 61, 62,
Haplic, 75
66, 67, 68, 69, 86, 96
hara, 5, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
infiltrasi, 26, 29
24, 25, 26, 30, 31, 32, 33, 34,
inkonvesional, 27
36, 37, 39, 48, 50, 56, 57, 58,
inokulan, 34
82, 83
inovasi, 3
hara mikro, 25, 34
input, 4, 5, 10, 97
hayati, 4, 31, 33, 34, 35, 36, 37,
insektisida, 85
84
integritas, 4
hemik (setengah matang), 42,
intensifikasi, 13
43
intensitas, 14, 15, 17, 24, 85
hemiselulosa, 47
intesif, 58
hidroksil, 47, 78
introduksi, 85
hidrologi, 2, 7, 13, 14, 49
irigasi, 20, 23, 51, 53, 54, 55,
hifa, 34
79, 80, 82
hilir, 54, 55
isohipertermik, 11
histosols, 42
isotermik, 11
holosin, 40
horison, 25, 72, 73, 76
J
Hortikultura, 12
hujan efektif, 29 jagung, 57, 59, 60, 85, 86, 92
humifikasi, 24 jahe, 70, 87
humus, 41 Jambu air, 67
hutan, 5, 13, 24, 39, 40, 58, 59, Jambu biji, 67
65, 68, 69, 92 jarak, 53, 55, 70, 82
hutan lindung, 13, 24 jaringan, 50, 62
hutan sempadan, 24 jarosit, 71, 72, 73, 74
hutantani, 28 jasad, 26, 31, 34, 35, 36
hydronium jarosit, 74 jasad renik, 26, 34, 35, 36
Jeluk, 25, 76
I Jeluk efektif, 26
jeluk mampan, 29
identitas sosial, 4
jelutung, 70
Ijen, 34
jenis mineral, 46
ikatan koordinasi, 48
jenis unggul, 26
iklim, 6, 7, 10, 11, 13, 14, 22,
jenuh air, 23, 39
23, 28, 41, 74, 88, 98
jerosit, 73
impor, 6
improved management, 19
kimia, 2, 3, 23, 24, 26, 28, 33, lahan gambut, 1, 3, 39, 40, 46,
37, 41, 46, 48, 72, 74, 77, 96 49, 53, 56, 59, 61, 63, 71, 79,
kimiawi, 2, 4, 25, 30, 31, 33, 34, 80, 82
36, 37, 73 lahan kering, 1, 3, 22, 23, 24,
kohesi sosial, 4 27, 28, 29
kolektif, 50 lahan kritis, 3
komoditas, 1, 10, 14, 15, 33, 59 lahan marginal, 1, 2, 3, 4
kompos, 36, 84, 96, 97 lahan pasang sutut, 1
komprehensif, 14 lahan sulfat masam, 1, 3, 49, 53,
konservasi, 4, 5, 12, 13, 20, 24, 71, 72, 74, 76, 78, 79, 86
28 landform, 13
konsistensi tanah, 77 lantoro, 70
konversi, 39 lapuk, 42, 74
Kopi, 62, 87 Lawit, 85, 86
kotoran ternak, 31 legum, 31, 32
KPK, 17, 47, 57 Lembab, 11
kualitas lahan, 17, 79 lempung, 25, 26, 29, 32, 49, 71,
kuantitatif, 13 72
kuarter, 53, 54, 55, 80, 82 lengas, 29, 32, 33
kubis, 38, 65, 86 lestari, 16
kuning pucat, 71 ligan, 48
kunyit, 70 lignin, 47
kwarsa, 12 lilin, 47
limbah organik, 31, 36
L lingkungan, 2, 3, 4, 5, 9, 10, 11,
Labu, waluh, 65 14, 15, 19, 27, 28, 33, 36, 39,
lada, 70, 84, 87 42, 56, 74, 84, 88, 93, 98
ladang, 23 LISA, 27, 28
lahan, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, Lobak, 65
11, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, logam berat, 33, 35
20, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, longsor, 4, 26
29, 30, 35, 39, 40, 44, 46, 48, lowland, 22, 23, 90, 97
49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, LREP, 7, 8, 14, 92
58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, lumpur sungai, 56
66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74,
75, 76, 77, 79, 81, 82, 84, 85, M
86, 87, 90, 91, 92, 93, 94, 95, makro, 35, 36, 50, 58, 79
96, 97, 98 Malabar, 34
lahan basah, 3, 23, 40, 44, 72 mangan sulfat, 57
Mangga, 68
piasan, 27, 29 R
pinang, 70 radio isotop, 41
pintu otomatis, 81 rainfed farming, 22
pirit, 50, 71, 72, 73, 74, 75, 76, ramah, 4
77, 78, 82, 83 rambutan, 69, 84
pisang abaka, 70
rami, 70
polivalen, 48, 56, 57 ramin, 70
posisi pembentukannya, 42 Ranti, 65
potensi, 1, 3, 27, 38, 47, 56, 73, rasional, 56
83, 88, 91, 93, 97 rawa, 3, 23, 27, 39, 49, 50, 65,
potensial, 7, 18, 19, 20, 21, 23, 70, 72, 75, 84, 85, 88, 92, 93,
73, 75, 77, 96, 98
95, 96, 97, 98
potential suitability, 19 realistik, 14
precipitation, 23 Reconnaissance, 15
present land use, 13 redoks, 72, 73
primer, 52, 82 reduksi, 72, 78, 83, 84
produksi, 1, 2, 4, 5, 6, 10, 15, Regim suhu, 11
16, 19, 27, 30, 31, 33, 35, 40, rehabilitasi, 13
48, 56, 96, 97 rekayasa, 2, 27
produktif, 1, 3, 5, 15, 33 reklamasi, 50, 78
produktivitas, 5, 8, 19, 31, 32, relief, 11, 13
82, 85, 91, 92, 95, 96, 97 renewable resources, 4
protein, 47, 59, 64, 66 rengas manuk, 70
provinsi, 8, 15, 39 rentan, 2, 25, 26
Pseudomonas, 35 resin, 47
pulai, 70 restorasi, 49
pupuk, 4, 26, 28, 30, 31, 33, 34, rhizobium, 34, 35, 36, 94
35, 36, 37, 56, 57, 58, 61, 63, rosela, 70
64, 65, 66, 67, 68, 69, 83, 84, rotan, 70
85, 91, 92, 96, 97 RTRW, 9
pupuk anorganik, 37
rumusan, 7
pupuk hayati, 34, 36, 37
pupuk hijau, 31, 33, 37, 61, 92 S
pupuk kandang, 31, 37, 56, 63,
64, 92 saga, 70
pupuk mineral, 37 sagu, 59, 60
pupuk organik, 32, 36, 37 Salak, 69
purnama, 75 salinitas, 62, 78, 84
purun tikus, 70 saluran cacing, 55, 82
saluran kolektor, 55