Anda di halaman 1dari 22

2015

HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN


KEBIJAKAN PUBLIK

GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA

RISALAH KULIAH
HUKUM KEBIJAKAN PUBLIK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
03-Mar-15
FOKUS BAHASAN

 Pendahuluan ______[]
 Tipe Instrumen Kebijakan Publik _______ []
 Instrumen Untuk Pengaturan Aktivitas-Aktivitas Warga Negara
______ []
 Instrumen Untuk Pengaturan Hubungan Antara Pemerintah dan
Yang Diperintah _______ []
 Instrumen Untuk Pengaturan Tindakan-Tindakan Dari Hubungan
Antara Badan-Badan Pemerintahan _______ []
 Keterbatasan Hukum Sebagai Instrumen Kebijakan Publik
_______ []
 Memampukan Hukum Sebagai Instrumen Kebijakan Publik
_______ []
 Penutup _______ []
HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

[I] PENDAHULUAN
Fungsi sentral dari negara di zaman sekarang adalah
menyiapkan, menentukan, dan menjalankan kebijakan atas nama
dan untuk keseluruhan masyarakat di daerah kekuasaannya.
Kebijakan yang dibuat oleh negara –kebijakan publik– memuat
tujuan-tujuan. Tujuan-tujuan penting kebijakan publik pada
umumnya adalah: memelihara ketertiban umum (negara sebagai
stabilisator), melancarkan perkembangan masyarakat dalam
berbagai hal (negara sebagai stimulator), menyesuaikan berbagai
aktivitas (negara sebagai koordinator), memperuntukakan dan
membagi berbagai materi (negara sebagai alokator) (Hoogerwerf
1983).
Untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan tersebut diperlukan
instrumen atau sarana. Sebagaimana dikemukakan oleh A.
Hoogerwerf (1983), bahwa sarana dapat diuraikan sebagai segala
sesuatu yang dipergunakan atau dapat dipergunakan oleh seorang
aktor untuk memperlancar terjadinya tujuan atau tujuan-tujuannya.

[II] TIPE INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK


B.G. Peters mengidentifikasi beberapa tipe instrumen
kebijakan, yakni: hukum/undang-undang; pelayanan, uang; pajak;
instrumen ekonomi; suasi (dalam Wayne Parsons, 2005). Lebih
lengkap dan terklasifikasi, Howlett dan Ramesh (dalam AG
Subarsono, 2005) mengemukakan sepuluh jenis instrumen
kebijakan, sebagaimana tampak dalam ragaan berikut:
Spektrum Instrumen Kebijakan
Organisasi
- Rumah tangga

- Pengaturan hak

- Pajak & ongkos


- Pasar swasta

- Perusahaan
- Informasi &
& komunitas

- Kebijakan
- Regulasi

langsung
- Subsidi
sukarela

nasihat

publik
milik
-

rendah Tingkat keterlibatan Pemerintah tinggi


Instrumen Instrumen Instrumen
Sukarela Gabungan Wajib

Sumber: Howlett dan Ramesh, 1995:82 sebagaimana dikutip AG Subarsono, 2005.

Pertama, instrumen sukarela (voluntary instruments).


Karakteristik dari instrumen ini adalah sangat kecil atau hampir

hlm. 1|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

tidak ada intervensi dari pemerintah. Pemerintah sering dengan


sengaja tidak akan melakukan sesuatu atau tidak membuat
kebijakan terhadap suatu masalah publik, sebab pemerintah percaya
bahwa itu dapat dilakukan secara baik oleh rumah tangga dan
komunitas, organisasi sukarela, dan pasar swasta (private market).
Instrumen sukarela adalah alat yang penting untuk implementasi
kebijakan ekonomi dan sosial. Penggunaan instrumen ini semakin
mendapat posisi yang baik ketika pemerintah melakukan proses
privatisasi. Ada beberapa alasan digunakan instrumen ini, seperti:
efisiensi biaya, sesuai dengan norma-norma suatu komunitas, dan
mendapat dukungan dari rumah tangga dan komunitas. Impelentasi
pengambilan sumpah rumah tangga dalam sebuah kompleks
perumahan yang diorganisir oleh ketua RT dan model siskamling
oleh komunitas tertentu untuk menjaga keamanan lingkungannya
adalah sebuah contoh konkrit. Instrumen sukarela ini terdiri dari:
rumah tangga dan komunitas, organisasi sukarela, dan pasar
swasta.
Rumah tangga dan komunitas; dalam masyarakat, teman dan
tetangga sering memberikan sejumlah pelayanan jasa dan barang,
dan ini dapat dipandang sebagai perluasan dari pelayanan yang
seharusnya diberikan oleh negara.
Organisasi sukarela; adalah alat yang efisien untuk
memberikan pelayanan ekonomi, sosial, kesehatan, dan pendidikan
pada masyarakat. Mereka terkadang lebih cepat dan responsif dalam
membantu para kurban bencana alam, misalnya.
Pasar; adalah instrumen yang sangat diperlukan untuk
lingkungan tertentu. Ia merupakan alat yang efektif dan efisien
untuk menyedialan barang-barang privat yang dibutuhkan
masyarakat. Pasar juga akan menjamin adanya kompetisi dalam
menyediakan barang dan jasa kemudian masyarakat dapat memilih
barang dan jasa dengan harga yang paling murah.
Kedua, instrumen wajib (compulsary instruments). Sering juga
disebut instrumen instruksi atau tindakan langsung ke sasaran baik
individu maupun perusahaan. Pemerintah memiliki otoritas untuk
memberikan instruksi kepada warga negara untuk melakukan
tindakan tertentu, dan mengawasi perusahaan untuk menaati
hukum atau menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan oleh
masyarakat. Instrumen wajib terdiri dari: regulasi, perusahaan
negara, dan kebijakan langsung.

hlm. 2|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

Regulasi; dimaksudkan membatasi perilaku individu,


masyarakat, dan perusahaan swasta maupun perusahaan publik.
Yang tidak taat pada regulasi akan dikenai sanksi oleh pemerintah.
Untuk implementasi regulasi ini memerlukan keterlibatan polisi dan
sistem peradilan. Regulasi ini dapat di sektor ekonomi, sosial,
keamanan dan sebagainya. Regulasi di sektor ekonomi, seperti,
regulasi penentuan harga dasar gabah, ongkos tarif angkutan darat.
Regulasi juga dapat berbentuk penentuan standar, prosedur
perizinan, larangan perilaku tertentu, dan perintah untuk
melakukan tindakan.
Perusahaan publik; juga dikenal sebagai BUMN/BUMD. Pada
umumnya, asetnya sekitar lima puluh persen sampai seratus persen
dimiliki oleh pemerintah, dan manajemennya di bawah kontrol
pemerintah, serta menghasilkan barang dan pelayanan publik.
Perusahaan publik menyediakan barang dan jasa yang tidak
dihasilkan oleh sektor swasta atau pasar.
Kebijakan langsung; pemerintah memberikan pelayanan jasa
dan barang secara langsung yang dibiayai dan dikelola oleh
pemerintah pusat, seperti Banpres untuk Desa-desa, Inpres untuk
Desa Tertinggal (IDT), Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Ketiga, instrumen gabungan, terdiri dari informasi, subsidi,
pengaturan hak milik, dan pajak. Pemberian informasi pada individu
dan perusahaan diharapkan dapat mengubah perilaku mereka.
Informasi sering bersifat umum, dan ini dimaksudkan untuk
menambah pengetahuan masyarakat agar memiliki cukup informasi
sebelum membuat keputusan. Sebagai contoh, informasi tentang
pariwisata, informasi tentang berbagai program pemerintah, dan
informasi yang berhubungan dengan statistik sosial dan ekonomi
perlu disebarluaskan oleh pemerintah pada masyarakat, agar
masyarakat dapat meresponnya.
Subsidi, adalah semua bantuan finansial pemerintah kepada
individu, perusahaan, dan organisasi. Maksud subsidi adalah untuk
memberikan bantuan pembiayaan terhadap berbagai aktivitas.
Pengaturan hak milik; ini dimaksudkan untuk mengontrol
segala bentuk aktivitas yang dapat merugikan masyarakat, seperrti
polusi air dan limbah, jumlah kendaraan di kota. Melalui kontrol
tersebut diharapkan kepentingan publik dapat dilindungi.
Pajak merupakan pembayaran wajib dari individu dan
perusahaan kepada pemerintah yang berfungsi sebagai pendapatan

hlm. 3|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

pemerintah guna membiayai pengeluaran pemerintah. Pajak juga


dapat digunakan untuk mengatur perilaku masyarakat. Sebagai
contoh, pajak dengan tarif tinggi dapat dikenakan pada minuman
keras dengan maksud mengurangi jumlah masyarakat yang
menggunakan minuman keras. Sementara itu, tarif pajak ekspor
produk kerajinan dapat dikurangi dengan maksud untuk
meningkatkan volume sekspor barang kerajinan dan
mengembangkan industri kecil.
Terdapat sejumlah kesamaan antara tipe instrumen kebijakan
dari Peters dengan Howlett dan Ramesh, yakni mengenai instrumen
hukum/undang-undang atau regulasi, pajak, dan pelayanan atau
kebijakan langsung. Kesamaan ini terdapat juga pada tipe instrumen
kebijakan dari Hoogerwef (1983), sebagaimana diuraikan berikut ini.
Dalam pemerintahan umum sarana-sarana penerangan
“inspraak” (partisipasi politik), subsidi, anggaran, perundang-
undangan, keputusan-keputusan, ijin, larangan, keharusan, sanksi,
pungutan-pungutan, pengawasan dan masih banyak lagi sampai
kepada kekerasan dalam skala perang besar. Mengenai sarana-
sarana yang bersifat yuridis pemerintahan, dapat dibedakan, antara:
1. sarana untuk pengaturan aktivitas-aktivitas warga negara
(undang-undang, ketentuan administrasi dan sanksi);
2. sarana untuk pengaturan hubungan antara pemerintah dan
yang diperintah (perlindungan hukum, antara lain dalam
bentuk banding atau apel administratif dan pengadilan
administratif, dan perlindungan kepentingan-kepentingan,
antara lain dalam bentuk “inspraak” dan keterbukaan);
3. sarana untuk pengaturan tindakan-tindakan dari
hubungan antara badan-badan pemerintahan (antara lain
pengawasan, perencanaan berjangka dan analisis-analisis
kebijakan).
Untuk pemahaman lebih jelas mengenai tipe instrumen
kebijakan publik menurut Hoogerwerf dapat disimak dalam tabel
berikut:
Ragaan : Sarana Yuridis Pemerintahan
NO KLASIFIKASI BENTUK
1 Pengaturan aktivitas-  Undang-undang,
aktivitas warga negara  Ketentuan administrasi, dan
 Sanksi

hlm. 4|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

2 Pengaturan hubungan  Perlindungan hukum, antara lain


antara pemerintah dan dalam bentuk:
yang diperintah o Banding administratif , dan
o Pengadilan administratif,
 Perlindungan kepentingan-
kepentingan, antara lain dalam
bentuk:
o Inspraak, dan
o Keterbukaan
3 Pengaturan tindakan- antara lain:
tindakan dari hubungan  Pengawasan,
antara badan-badan  Perencanaan berjangka, dan
pemerintahan  Analisis-analisis kebijakan.
Sumber: diolah dari A. Hoogerwerf, 1983.

Uraian selanjutnya akan dipusatkan instrumen kebijakan


publik dalam konteks Indonesia. Uraian mengikuti tipe instrumen
kebijakan publik yang dikemukakan oleh Hoogerwerf. Sebab, tipenya
lebih bersifat yuridis sehingga ada kedekatan dengan materi hukum
kebijakan publik.

[III] INSTRUMEN UNTUK PENGATURAN


AKTIVITAS-AKTIVITAS WARGA NEGARA
Instrumen kebijakan publik yang termasuk dalam instrumen
untuk pengaturan aktivitas-aktivitas warga negara, menurut
Hoogerwerf terdiri dari: Undang-undang, Ketentuan administrasi,
dan Sanksi.
Undang-Undang salah satu jenis peraturan perundang-
undangan, dan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk
hukum yang tertulis.Di samping hukum tertulis, terdapat hukum
yang tidak tertulis. Peraturan perundang-undangan merupakan juga
salah bentuk hukum positif, bentuk lainnya adalah yurisprudensi.
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan (Pasal 1 angka 2 UU 12/2011). Ada dua
karakter yang melekat pada peraturan tertulis agar dapat disebut
peraturan perundang-undangan, yakni: 1) dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang (-di bidang perundang-
undangan/legislasi), dan 2) mengikat secara umum.

hlm. 5|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

Peraturan perundang-undangan terdiri atas beberapa jenis,


sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, bahwa jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Ayat (2) menentukan kekuatan hukum Peraturan Perundang-
undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat
(1). Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah
penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang
didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi (Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 12/2011).
Ketetapan MPR kembali ditetapkan sebagai peraturan
perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,
tanggal 7 Agustus 2003 (Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU
12/2011).
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah

hlm. 6|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,


Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat (Pasal 8 ayat (1)
UU 12/2011).
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan
(Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011). Yang dimaksud dengan “berdasarkan
kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
(Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011).
Hanya Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat materi muatan mengenai
ketentuan pidana (Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011). Pasal 15 ayat (2)
UU 12/2011 dan Pasal 238 ayat (2) UU 23/2014 memberikan
persyaratan materi muatan mengenai ketentuan pidana yang dapat
dimuat dalam Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, yakni:
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 15 ayat (3) UU 12/2011 dan Pasal 238 ayat (2) UU


23/2014 memberikan alternatif terhadap materi muatan mengenai
ketentuan pidana yang dapat dimuat dalam Peraturan Daerah
Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yakni:
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan
atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-
undangan lainnya.

Selain materi muatan mengenai ketentuan pidana yang dapat


dimuat dalam Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, juga dapat memuat sanksi administartif. Pasal 238
ayat (1) UU 23/2014 menentukan: Perda dapat memuat ketentuan
tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda
seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan

hlm. 7|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi administratif lain


yag dapat dimuat dalam Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota, antara lain, pencabutan izin, pembubaran,
pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau
daya paksa polisional (angka 66 Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, Lampiran II UU 12/2011). Pembebanan biaya
paksaan penegakan/pelaksanaan Perda merupakan konsekuensi
dari daya paksa polisional.
Peraturan Perundang-undangan merupakan instrumen
kebijakan publik. Ini merupakan bawaan dari karakter hukum
modern, sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo. Salah satu
ciri hukum modern, demikian Satjipto Rahardjo (2000: 90-91),
adalah penggunaan hukum secara aktif dan sadar untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu. Yang dimaksud dengan hukum dalam
konteks hukum yang bersifat instrumental itu adalah peraturan
perundang-undangan, terutama dalam hal ini adalah Undang-
Undang. Dalam perkembangan negara-negara modern, di mana
hukum modern itu tumbuh dan berkembang, setiap kebijakan yang
ingin dilaksanakan harus melalui satu atau lain bentuk peraturan
perundang-undangan. Tanpa prosedur yang demikian itu,
keabsahan kebijakan publik pun dipersoalkan.
Sebagai contoh, dengan pertimbangan antara lain, bahwa
korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah
perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau
masyarakat agar terhindar dan terbebas dari dari kekerasan atau
ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat kemanuasiaan, maka negara mengambil
kebijakan untuk penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,
dengan tujuan antara lain: a) mencegah segala bentuk kekerasan
dalam rumah tangga; b) melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga; c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Untuk
itu telah disahkan dan diundangkan UU 23/2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Dengan demikian UU 23/2004 merupakan instrumen
kebijakan dalam upaya memperlancar mencapai tujuan atau
mewujudkan tujuan: a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam
rumah tangga; b) melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga; c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

hlm. 8|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

Tentunya, pencapaian tujuan tersebut tidak hanya ditentukan


oleh adanya UU 23/2004, namun tergantung pula pada
implementasinya. Dalam kaitan ini, relevan mengutip pandangan
Muhadjir M. Darwin (2005), bahwa UU 23/2004 merupakan langkah
maju dan jika terimplementasi dengan baik, seharusnya dapat
melindungi perempuan dari perlakuan dan ancaman kekerasan yang
dialaminya. Namun, dalam prakteknya UU tersebut belum cukup
terimplementasi karena aparat penegak hukum pada umumnya
belum cukup sensitif gender dan banyak dari perempuan yang
menjadi korban kekerasan di rumah tangga memilih untuk diam.

[IV] INSTRUMEN UNTUK PENGATURAN HUBUNGAN


ANTARA PEMERINTAH DAN YANG DIPERINTAH
Instrumen kebijakan publik yang termasuk dalam instrumen
untuk pengaturan hubungan antara pemerintah dan yang
diperintah, menurut Hoogerwerf, terdiri dari: 1) instrumen dalam
rangka perlindungan hukum, antara lain dalam bentuk banding
administratif dan pengadilan administratif, 2) instrumen dalam
rangka perlindungan kepentingan-kepentingan, antara lain dalam
bentuk Inspraak dan keterbukaan.
Pertama, instrumen dalam rangka perlindungan hukum,
antara lain dalam bentuk banding administratif dan pengadilan
administratif. Instrumen ini dapat dicermati dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(selanjutnya disebut UU 5/1986).
Pasal 47 UU 5/1986 menentukan, “Pengadilan bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara.” Pasal 53 UU 5/1986 menentukan:
(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa
disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

hlm. 9|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu


bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.

UU 5/1986 mengatur pula upaya administratif, yang terdiri


dari keberatan dan banding administratif. Pasal 48 UU 5/1986
menentukan:
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/administratif yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa,memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif
yang bersangkutan telah digunakan.
Penjelasan Pasal 48 Ayat (1) UU 5/1986 menjelaskan
pengertian upaya administratif dan pembagiannya, serta
perbedaannya dengan prosedur di peradilan tata usaha negara,
yakni:

1. Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat


ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila
ia tidak puas terhadap suatu KTUN. Prosedur tersebut
dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan
terdiri atas dua bentuk.
2. Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh
instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan
keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut
dinamakan "banding administratif. Contoh banding
administratif antara lain:1
a. Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan
ketentuan-ketentuan dalam staatsblad 1912 Nr 29

1 Perlu diperiksa eksistensi dari peraturan-peraturan yang menjadi dasar hukum


banding administratif. dengan diundangkannya undang-undang baru yang terkait, seperti UU
Pengadilan Pajak.

hlm. 10|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

(Regeling van het beroep in belastings zaken) jo.


Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang
perubahan "Regeling van het beroep in belastings
zaken".
b. Keputusan badan Pertimbangan Kepegawaian
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
c. Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Keputusan Gubernur berdasarkan Pasal 10 ayat (2)
Undang-undang Gangguan Staatsblad 1926 Nr. 226.
3. Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara
tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu,
maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut "keberatan".
Contoh Pasal 25 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan-ketentuan Umum Perpajakan. 2
4. Berbeda dengan prosedur di Peradilan Tata Usaha Negara,
maka pada prosedur banding administratif atau prosedur
keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi
penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh
instansi yang memutus.
5. Dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan dapat dilihat apakah terhadap
suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu terbuka atau tidak
terbuka kemungkinan untuk ditempuh suatu upaya
administratif.
Penjelasan Pasal 48 Ayat (21) UU 5/1986 menjelaskan:
“Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan
ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap

2 Perlu diperiksa eksistensi dari peraturan-peraturan yang menjadi dasar hukum


keberatan. dengan diundangkannya undang-undang baru yang terkait.

hlm. 11|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

belum merasa puas, barulah persoalannya dapat digugat dan


diajukan ke Pengadilan.
Peradilan tata usaha negara dan upaya administratif
merupakan instrumen kebijakan publik yang termasuk dalam
instrumen untuk pengaturan hubungan antara pemerintah dan yang
diperintah (Hoogerwerf, 1983), yakni instrumen untuk memberikan
perlindungan hukum kepada warga negara (yang diperintah) dari
badan atau pejabat administrasi negara (yang memerintah).

Kedua, instrumen dalam rangka perlindungan kepentingan-


kepentingan, antara lain dalam bentuk Inspraak dan keterbukaan.
Mengenai keterbukan, dapat dicermati dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU
14/2008 memiliki tujuan (Pasal 3):
a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana
pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik,
dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan
pengambilan suatu keputusan publik;
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan kebijakan publik;
c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan
kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang
transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat
dipertanggungjawabkan;
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi
hajat hidup orang banyak;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan/atau
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di
lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan
informasi yang berkualitas.

Untuk terlaksananya tujuan tersebut, UU 14/2008, antara lain


mengatur hak memperoleh informasi publik (Pasal 4), yakni:
(1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Setiap Orang berhak:
a. melihat dan mengetahui Informasi Publik;
b. menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum
untuk memperoleh Informasi Publik;

hlm. 12|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

c. mendapatkan salinan Informasi Publik melalui


permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini;
dan/atau
d. menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan
permintaan Informasi Publik disertai alasan permintaan
tersebut.
(4) Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan
gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh Informasi
Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini.

Mengenai partisip-asi masyarakat pengaturannya tersebar


dalam berbagai undang-undang, sesuai dengan objek partisipasinya.
Berikut dikemukakan peran masyarakat dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009). Pasal 70
menentukan:
(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Peran masyarakat dapat berupa:
a. pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul,
keberatan, pengaduan; dan/atau
b. penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3) Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat,
dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat
untuk melakukan pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan
lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Keterbukaan dan partisipasi atau peran masyarakat


merupakan instrumen dalam rangka perlindungan kepentingan-
kepentingan (Hoogerwerf, 1983), yakni menjamin perlindungan
kepentingan dalam proses kebijakan publik.

hlm. 13|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

[V] INSTRUMEN UNTUK PENGATURAN TINDAKAN-


TINDAKAN DARI HUBUNGAN ANTARA BADAN-BADAN
PEMERINTAHAN
Instrumen kebijakan publik yang termasuk dalam instrumen
untuk pengaturan tindakan-tindakan dari hubungan antara badan-
badan pemerintah, menurut Hoogerwerf, terdiri dari: pengawasan,
perencanaan berjangka, dan analisis-analisis kebijakan.
Risalah Kuliah ini akan membahas salah satu saja dari tiga
instrumen pengaturan tindakan-tindakan dari hubungan antara
badan-badan pemerintah, yakni pengawasan. Pembahasan
pengawasan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (selanjutnya
disebut UU 23/2014). Salah satu bentuk pengawasan dimuat dalam
Pasal 7 dan Pasal 8 UU 23/2014 memuat ketentuan sebagai berikut.

1. Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan


terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh
Daerah.
2. Presiden memegang tanggung jawab akhir atas
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
3. Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat
terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh
Daerah provinsi dilaksanakan oleh menteri/kepala lembaga
pemerintah nonkementerian.
4. Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat
terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh
Daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
5. Pembinaan dan pengawasan secara nasional
dikoordinasikan oleh Menteri.

Ketentuan tersebut di atas menunjukkan pengawasan sebagai


instrumen pengaturan tindakan-tindakan dari hubungan antara
badan-badan pemerintah (Hoogerwerf, 1983), dalam hal ini adalah
hubungan antara pemerintahan daerah dengan pemerintah pusat.

hlm. 14|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

Bentuk pengawasan lain dalam UU 23/2014 adalah


“Pembatalan Perda dan Perkada”. Pasal 251 memuat ketentuan:
(1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan
dibatalkan oleh Menteri.
(2) Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota
yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,
dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan
bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda
Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota.
(4) Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota
dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(5) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD
bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya
kepala daerah mencabut Perkada dimaksud.
(7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi
tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
Provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan
pembatalan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur
dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling
lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan
Perda atau peraturan gubernur diterima.
(8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan bupati/wali kota
tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan

hlm. 15|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4)


dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan, bupati/wali kota dapat
mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat 14
(empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda
Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota diterima.

Ketentuan “Pembatalan Perda dan Perkada” dalam Pasal 251


UU 23/2014 juga hubungan antara pemerintahan daerah dengan
pemerintah pusat, yang dalam hubungan itu Negara (pembentuk UU)
menggunakan pengawasan sebagai instrumen pengaturan tindakan-
tindakan dari hubungan antara badan-badan pemerintah
(Hoogerwerf, 1983), dalam hal ini adalah pengawasan produk hukum
daerah oleh pemerintah pusat.

[VI] KETERBATASAN HUKUM


SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK
Antony Allot (dalam Agus Rahardjo 2008) menyebutkan bahwa
hukum memiliki keterbatasan kemampuan dalam menjalankan
fungsinya. Studi Allott ini dilakukan terhadap hukum negara yang
ternyata tidak berfungsi di masyarakat-masyarakat sederhana di
Afrika.
Tidak berfungsinya atau ditolaknya hukum negara di
masyarakat juga terjadi di Indonesia. UU Pornografi ditolak
keberlakuannya di Bali. Contoh lainnya adalah Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Bali Nomor: 10/D.P.R.D. (Peraturan
Penghapusan Adat "Manak Salah" Atau "Buncing")3 dan Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Bali Nomor: 11/D.P.R.D. (Peraturan
Perhubungan Perkawinan Antara Catur Wangsa Di Bali),4 tidak

3 Peraturan Penghapusan Adat "Manak Salah" Atau "Buncing", Pasal 1


memuat ketentuan, apabila ada orang yang melahirkan anak laki perempuan yang
menurut Adat Bali Hindu dulu disebut "manak salah" atau "buncing" maka setelah
berlakunya peraturan ini orang-orang bersangkutan tiada dianggap bersalah dan
tiada boleh dikenai hukuman apa juapun. Pasal 2 menentukan, dengan
berlakunya peraturan ini adat yang disebut "manak salah" atau buncing"
dihapuskan.
4 Peraturan Perhubungan Perkawinan Antara Catur Wangsa Di Bali, Pasal 4

memuat ketentuan, Hukum adat yang disebut Asu Pundung dan Anglangkahi
Karang Hulu, termuat pada pasal 2 dan 3 dihapuskan. Pasal 2 menentukan: Yang
disebut Asu Pundung ialah: Gadis (wanita) dari kasta Brahmanawangsa dikawini
oleh laki-laki dari kasta Ksatrya, Wesya dan Sudrawangsa. Pasal 3 menentukan:

hlm. 16|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

berfungsi di masyarakat, dalam pengertian masih ada yang


mempraktikkan yang sudah dilarang itu.
Allott (dalam Agus Rahardjo 2008) mengemukakan ada
beberapa hal yang membuat hukum seringkali terlihat tidak efektif.
Pertama, sudah menjadi nasibnya bahwa hukum melemahkan
dirinya pada kelahirannya, ini merupakan hukuman atas ambisi
pembuat undang- undang dan sebuah ketetapan diperlukan untuk
persyaratan suatu hukum yang efektif, seperti survey yang cukup,
komunikasi, penerimaan dan mesin pelaksananya. Kedua, hukum
dapat menjadi tidak efektif, bahkan ketika hukum itu mencapai
keberhasilan objek mereka, karena terjadi perubahan konteks dari
sikap dan perilaku sosial.
Ketidakefektivan hukum, dengan demikian, terjadi karena (1)
pembuatan undang-undang yang ambisius tanpa didukung oleh
agen pelaksana yang memadai dan sarana pelaksanaannya; dan (2)
perubahan konteks sosial pada saat undang-undang diterapkan.
Terhadap keterbatasan kemampuan hukum dalam mengatasi
persoalan masyarakat yang timbul, menurut Allott, adopsi atau
penerimaan mayoritas terhadap hukum baru tidak menjamin
kemampuan hukum. Allot memberi dua argumen sebagai jalan
keluar, yaitu pendekatan pragmatis sebagai jalan terbaik agar
hukum efektif dan pendekatan moral. Selanjutnya ia menekankan
penggunaan customary law yang didasarkan pada prinsip konsensus
dengan dukungan dari sanksi sosial dinilai akan lebih efektif dalam
pelaksanaan hukum.

[VI] MEMAMPUKAN HUKUM


SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK
Hukum yang memilik keterbatasan tetap digunakan sebagai
instrumen mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan. Untuk itu
pembentukan hukum maupun pelaksanaan hukum penting
mendapat perhatian, baik secara praktikal maupun teoritikal.
Merujuk pada Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin
Abeyesekere tentang model sistem hukum, hukum dapat

Yang disebut Anglangkahi Karang Hulu ialah: a. Gadis (wanita) dari Ksatryawangsa
dikawini oleh laki-laki dari kasta Wesya, Sudrawangsa. b. Gadis (wanita) dari kasta
Wesyawangsa dikawini oleh laki-laki dari kasta Sudrawangsa.

hlm. 17|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

dimampukan untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan. Adapaun


model sistem hukum Seidman memuat prinsip-prinsip:
1. Lembaga-lembaga pembuat undang-undang membuat
Undang-undang selalu ditujukan kepada dua pihak: (1)
pihak utama yang dituju suatu undang-undang dengan
maksud perilakunya akan berubah; dan (2) orang-orang
yang bekerja pada lembaga yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan undang-undang.
2. Badan-badan pelaksana menerapkan berbagai langkah
yang mendorong kepatuhan. Beberapa diantaranya
menerapkan secara langsung terhadap pihak utama yang
dituju undang-undang tersebut (sebagai contoh: sanksi
pidana atau pemberian hadiah). Langkah yang lainnya,
menerapkan secara tidak langsung, dengan mengubah
batasan-batasan yang bersifat nonhukum yang dapat
mempengaruhi pihak yang dituju (sebagai contoh: dalam
upaya mendorong petani memproduksi untuk dijual
daripada sekedar bertani untuk tetap hidup, dengan cara
membangun jalan masuk ke daerah mereka yang akan
mampu membawa hasil produksi mereka ke pasar, atau
mengajarkan mereka mengelola hasil dari penjualan
hasilpertanian mereka).
3. Dalam mematuhi peraturan atau tidak, pihak yang dituju
oleh undang-undang akan memperhitungkan segala
kemungkinan dan tidak hanya pada batasan-batasan
yang bersifat “hukum” saja. Mereka juga
mempertimbangkan batasan-batasan dan sumber daya
nonhukum, semua sifat-sifat sosial dan fisik dalam
lingkungan mereka yang hampir tidak terbatas.
4. Bekerjanya hukum tidaklah sebatas pada bekerjanya
peraturan-peraturan, akan tetapi juga bekerjanya
berbagai faktor sosial ekonomi politik kultural dan
sebagainya yang terangkum dalam “aneka pilihan” yang
mempengaruhinya bekerjanya pembentuk undang-
undang dalam membuat undang-undang, agen pelaksana
dalam memastikan pemegang peran mematuhi undang-
undang, dan pemegang peran dalam mematuhi undang-
undang (atau tidak mematuhi undang-undang).

hlm. 18|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

5. Terjadinya proses umpan-balik dari pemegang peran


kepada agen pelaksana dan/atau lembaga pembuat
undang-undang, dan dari agen pelaksana kepada lembaga
pembuat undang-undang.

Gambar model sistem hukum Seidman sebagai berikut:

aneka pilihan

LEMBAGA-LEMBAGA PEMBUAT
UNDANG-UNDANG

PERATURAN PERATURAN
umpan balik umpan balik

sanksi-sanksi
LEMBAGA PEMEGANG
PELAKSANA PERAN

umpan balik

aneka pilihan aneka pilihan

Model sistem hukum tersebut dapat digunakan untuk


menjelaskan bekerjanya hukum atau menjelaskan aktivitas
memampukan hukum sebagai instrumen kebijakan publik.

[VIII] PENUTUP
Dari sisi kebijakan publik, hukum merupakan salah satu
instrumen kebijakan publik, yakni digunakan secara sadar untuk
mewujudkan tujuan kebijakan publik.
Dari sisi hukum, dalam perkembangan yang mutakhir,
pembentukan hukum bersifat instrumentalis, yakni hukum dibentuk
secara sadar untuk digunakan sebagai sarana mewujudkan tujuan
kebijakan publik.
Hukum memiliki keterbatasan sebagai sarana mewujudkan
tujuan kebijakan publik. Sekalipun memiliki keterbatasan, hukum
tetap merupakan pilihan sebagai instrumen kebijakan publik.

hlm. 19|Marhaendra Wija Atmaja|2015


HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK

BAHAN BACAAN
Agus Rahardjo, “Model Hibrida Hukum Cyberpace (Studi Tentang
Model Pengaturan Aktivitas Manusia Di Cyberspace dan
Pilihan Terhadap Model Pengaturan Di Indonesia)”, Ringkasan
Disertasi, (Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, 2008).
Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere,
Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan
Masyarakat Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Pembuat
Rancangan Undang-Undang, terjemahan, (Proyek ELIPS
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta,
2001).
Darwin, Muhadjir M., 2005, Negara dan Perempuan: Reorientasi
Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Wacana.
Hoogerwerf, A., 1983, “Isi dan Corak-Corak Kebijaksanaan” dalam A.
Hoogerwerf, Ilmu Pemerintahan, terjemahan (judul asli: Over
Heids Beleid), Jakarta: Penerbit Erlangga.
Parsons, Wayne, 2005, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik
Analisis Kebijakan, terjemahan (judul asli: An Introduction to
the Theory and Practice of Policy Analysis), Jakarta: Kencana.
Subarsono, AG., 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan
Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

hlm. 20|Marhaendra Wija Atmaja|2015

Anda mungkin juga menyukai