OLEH :
5. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
1) Haloperidol (HPD)
a) Indikasi, Berdaya berat dalam kemampuan, menilai realitas dalam
fungsi internal serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari.
b) Mekanisme kerja, Obat anti psikosi dalam memblokade dopamine
pada reseptor pasca sinoptik neuron di otak khususnya system limbik
dan system ekstra piramidal.
c) Efek samping, Sedasi gangguan otonomik, gangguan endokrin.
d) Kontra indikasi, Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, dan kelainan
jantung.
2) Trihexipenidyl (THP)
a) Indikasi, Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca encephalitis
dan idiopatik
b) Mekanisme kerja, Sinergis dengan kinidine, obat anti depresi dan anti
kolinergik lainnya.
c) Efek samping, Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual,
muntah, binggung, takikardi, retensi urine.
d) Kontra indikasi, Hipersensitif terhadap trihexipenidyl, psikosis berat,
psikoneurosis, dan obstruksi saluran cerna.
3) Risperidone
a) Indikasi, Untuk skizofreniaakut dan kronik, keadaan psikotik lain
dengan gejala (halusinasi, delusi, curiga, gangguan emosi) atau
mengurangi gejala afektif berhubungan dengan skizofrenia.
b) Efek samping, Insomnia, agitasi, cemas, sakit kepala, somnolen,
lelah, takikardi.
c) Kontra indikasi, Hipotensi, penyakit ginjal, lanjut usia, Parkinson,
epilepsi.
b. Terapi somatic
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan
gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi
perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik
klien. Walaupun yang diberikan perlakuan fisik adalah fisik klien, tetapi target
terapi adalah perlakuan klien. Jenis terapi somatik adalah meliputi pengikatan,
ECT, isolasi, dan fototerapi
c. Pengikatan
Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk
membatasi mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk melindungi cedera fisik
pada klien sendiri atau orang lain.
d. Terapi Kejang Listrik/Elektro Convulsive Therapy (ECT)
Adalah bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang
(Grandmal) dengan mengalirkan arus listrik kekuatan rendah (2-3 joule)
melalui electrode yang ditempelkan di bebrapa titik pada pelipis kiri/kanan
(lobus frontalis) klien.
e. Isolasi
Isolasi adalah bentuk terapi dengan menempatkan klien sendiri di
ruangan tersendiri untuk mengendalikan perilakunya dan melindungi klien,
orang lain, dan lingkungan dari bahaya potensial yang mungkin terjadi.
f. Fototerapi
Fototerapi adalah terapi yang diberikan dengan memaparkan klien pada
sinar terang 5-10 x lebih terang daripada sinar ruangan dengan posisi klien
duduk, mata terbuka, pada jarak 1,5 meter di depan klien diletakkan lampu
setinggi mata.
g. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Tetapi ini
diberikan dalam upaya mengubah perilaku klien dari perilaku yang maladaptif
menjadi perilaku adaptif. Jenis-jenis terapi modalitas antara lain:
1) Aktifitas Kelompok
Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) adalah suatu bentuk terapi yang
didasarkan pada pembelajaran hubungan interpersonal. Fokus terapi
aktifitas kelompok adalah membuat sadar diri (self-awereness),
peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.
2) Terapi keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien. Perawat
membantu keluarga agar mampu melakukan lima tugas kesehatan yaitu
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan,
memberi perawatan pada anggota keluarga yang sehat, menciptakan
lingkungan yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada dalam
masyarakat.
h. Terapi Rehabilitasi
Program rehabilitasi dapat digunakan sejalan dengan terapi modalitas lain
atau berdiri sendiri, seperti Terapi okupasi, rekreasi, gerak, dan musik.
i. Terapi Psikodrama
Psikodrama menggunakan struktur masalah emosi atau pengalaman klien
dalam suatu drama. Drama ini memberi kesempatan pada klien untuk
menyadari perasaan, pikiran, dan perilakunya yang mempengaruhi orang lain.
j. Terapi Lingkungan
Terapi lingkunagan adalah suatu tindakan penyembuhan penderita dengan
gangguan jiwa melalui manipulasi unsur yang ada di lingkungan dan
berpengaruh terhadap proses penyembuhan. Upaya terapi harus bersifat
komprehensif, holistik, dan multidisipliner.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA KLIEN
ISOS
1. PENGKAJIAN
a. Identitas
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama,
tangggal MRS , informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat
klien.Sering ditemukan pada usia dini atau muncul pertama kali pada masa
pubertas.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa ke rumah sakit biasanya
akibat adanya kemunduran kemauan dan kedangkalan emosi. Keluhan biasanya
berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau tidak ada ,
berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain ,tidak melakukan
kegiatan sehari – hari, tergantung pada orang lain.
c. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi sangat erat kaitannya dengan faktor etiologi yakni
keturunan, endokrin, metabolisme ,ssp ,dan kelemahan ego. Kehilangan,
perpisahan, penolakan orang tua ,harapan orang tua yang tidak realistis
,kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur
sosial. Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai
suami, putus sekolah ,PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi ( korban
perkosaan, tituduh kkn, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak
menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
d. Aspek Fisik/ biologi
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan keluhan
fisik yang dialami oleh klien.
e. Aspek Psikososial
1) Genogram
Orang tua menderita skizofrenia,salah satu kemungkinan anaknya 7-16 %
skizofrenia,bila keduanya menderita 40-68%,saudara tiri kemungkinan 0,9-
1,8 %,saudara kembar 2-15 %,dan saudara kandung 7-15 %.
2) Konsep diri
Kemunduran kemauan dan kedangkalan emosi yang mengenai pasien akan
mempengaruhi konsep diri pasien.
a) Citra tubuh :
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak
menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan
terjadi.Menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatif tentang
tubuh. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan
keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.
b) Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan tidak
mampu mengambil keputusan.
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses
menua, putus sekolah, PHK.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya: mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri ,
gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan
kurang percaya diri.
3) Hubungan sosial
Klien cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan, suka melamun,dan
berdiam diri.
4) Spiritual
Aktivitas spiritual menurun seiring dengan kemunduran keinginan
beraktivitas.
5) Status mental
a) Penampilan diri
Pasien terlihat lesu, tidak bergairah, rambut acak-acakan, kancing baju
tidak tepat, resleting tak terkunci,baju tak dikancing,baju terbalik sebagai
manifestasi kemunduran kemauan pasien .
b) Pembicaraan
Nada suara rendah,lambat,kurang bicara,apatis.
c) Aktivitas motorik
Kegiatan yang dilakukan tidak bervariatif, kecenderungan
mempertahankan pada satu posisi yang dibuatnya sendiri (katalepsia).
d) Emosi
Emosi dangkal
e) Afek
Tumpul, tak ada ekspresi muka
f) Interaksi selama wawancara
Cenderung tidak kooperatif, kontak mata kurang, tidak mau menatap
lawan bicara, diam.
g) Persepsi
Tidak terdapat halusinasi atau waham
h) Proses berpikir
Gangguan proses berpikir jarang ditemukan
i) Kesadaran
Kesadaran berubah, kemauan mengadakan hubungan serta pembatasan
dengan dunia luar dan dirinya sendiri sudah terganggu pada taraf tidak
sesuai dengan kenyataan (secara kualitatif)
j) Memori
Tidak ditemukan gangguan spesifik, orientasi tempat, waktu dan orang.
k) Kemampuan penilaian
Tidak dapat mengambil keputusan, tidak dapat bertindak dalam suatu
keadaan, selalu memberikan alasan meskipun tidak jelas dan tidak tepat.
l) Tilik diri
Tidak ada yang khas.
6) Kebutuhan sehari-hari
Pada permulaaan, penderita kurang memperhatikan diri dan
keluarganya,makin mundur dalam pekerjaan akibat kemunduran kemauan.
Minat untuk memenuhi kebutuhan sendiri sangat menurun dalam hal makan,
BAB/BAK, mandi, berpakaian, dan istirahat tidur.
2. Pohon Masalah
3. Masalah keperawatan
a. Kerusakan interaksi sosial: menarik diri.
b. Harga diri rendah
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
d. Resiko perilaku kekerasan
e. Defisit perawatan diri
Data yang perlu dikaji:
Data objektif: klien hanya mengatakan ya dan tidak
Data objektif:
a. Gangguan pola makan: tidak ada nafsu makan/minum berlebihan.
b. Berat badan menurun/meningkat drastis
c. Kemunduran kesehatan fisik
d. Tidur berlebihan
e. Tinggal di tempat tidur dalam waktu yang lama.
f. Banyak tidur siang, kurang bergairah, tidak memperdulikan lingkungan.
g. Aktivitas menurun, mondar-mandir/ sikap mematung, mekakukan gerakan secara
berulang (jalan mondar-mandir).
h. Menurunnya kegiatan seksual.
i. Kurang responsif dan minat terhadap orang lain.
j. Kegagalan untuk membina suatu hubungan.
k. Krangnya kontak mata.
4. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan interaksi social : menarik diri ( core problem )
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah ( etiologi )
c. Perubahan sensori persepsi :halusinasi (akibat)
d. Deficit perawatan diri
1. Rencana tindakan keperawatan pada klien dengan isolasi sosial : menarik diri
Isolasi social
SP 1 PASIEN SP 1 KELUARGA
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi social 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga
2. Berdikusi dengan pasien tentang manfaat berinteraksi dalam merawat pasien.
dengan orang lain 2. Menjelaskan pengertian,tanda dan gejala isolasi
3. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak social yang dialami pasien beserta proses
berinteraksi dengan orang lain terjadinya.
4. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak 3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien dengan
berinteraksi dengan orang lain isolasi social
5. Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan
berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan
harian
SP 2 PASIEN SP 2 KELUARGA
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien 1. Melatih keluarga mempraktikan cara merawat
2. Memberikan kesempatan kepada pasien mempratikan cara pasien dengan isolasi social.
berkenalan dengan satu orang 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat
3. Membantu pasien memasukkan kegiatan bercakap-cakap langsung pada pasien isolasi sosial
dengan orang lain sebagian salah satu kegiatan harian
SP 3 PASIEN SP 3 KELUARGA
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien 1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas
2. Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan dirumah termasuk minum obat (perencanaan
dengan dua orang atau lebih pulang)
3. Menganjurkan pasien memasukkan kedalam jadwal 2. Menjelaskan tindakan tindak lanjut pasien setelah
kegiatan harian pulang.
3. Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang sudah dirumuskan.
4. Evaluasi
Selanjutnya, setelah dilakukan tindakan keperawatan, evaluasi dilakukan terhadap kemampuan pasien menarik diri serta kemampuan
perawat dalam merawat pasien dengan menarik diri
DAFTAR PUSTAKA
Ayu Candra Kirana, S. (2018) ‘Gambaran Kemampuan Interaksi Sosial Pasien Isolasi Sosial
Setelah Pemberian Social Skills Therapy Di Rumah Sakit Jiwa’, Journal of Health
Sciences, 11(1). doi: 10.33086/jhs.v11i1.122.
Berhimpong, E., Rompas, S. and Karundeng, M. (2016) ‘PENGARUH LATIHAN
KETERAMPILAN SOSIALISASI TERHADAP KEMAMPUAN BERINTERAKSI
KLIEN ISOLASI SOSIAL DI RSJ Prof. Dr. V. L. RATUMBUYSANG MANADO’,
Jurnal Keperawatan UNSRAT, 4(1), p. 109471.
Wakhid, A. et al. (2013) ‘Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi
Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan Interpersonal
Peplau Di Rs Dr Marzoeki Mahdi Bogor’, Mei, 1(1), pp. 34–48.
Keliat,Budi Ana. 2016. Proses keperawatan kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta, EGC
RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2017. Workshop Standar Asuhan & Bimbingan
Keperawatan Jiwa RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Magelang
Santosa, Budi. 2015. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, 2005 – 2006. Jakarta : Prima
Medika.
Stuart & Sundeen, 2016. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC
Sujono & Teguh , 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Yogyakarta : Graha Ilmu.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN
GANGGUAN HARGA DIRI RENDAH
2. Rentang Respon
Keterangan:
a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang
pengalaman nyata yang sukses diterima.
b. Konsep diri positif adalah individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri.
c. Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan konsep diri
maladaptif.
d. Kerancuan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan aspek
psikososial dan kepribadian dewasa yang harmonis.
e. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis terhadap diri sendiri yang
berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan
dirinya dengan orang lain.
3. Klasifikasi
Menurut Fitria (2019), harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang
sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif mengenai
diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan, perubahan).
b. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami evaluasi
diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu lama.
4. Etiologi
Harga diri rendah dapat terjadi secara :
a. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu
karena sesuatu (korban perkosaan, dituduh korupsi, dipenjara tiba-tiba). Pada
klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah, karena :
1) Privacy yang harus diperhatikan, misalnya : pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan (pencukuran pubis,
pemasangan kateter, pemeriksaan perineal).
2) Harapan akan struktur bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena
dirawat/sakit/penyakit.
3) Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya berbagai
pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai tindakan tanpa
persetujuan.
b. Kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu
sebelum sakit/dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang negatif.
Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya.
Kondisi ini mengakibatkan respons yang maladaptif.
5. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronik adalah penolakan orang
tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis
(Fitria, 2019).
Faktor predisposisi citra tubuh adalah harga diri rendah (Herman, 2015)
a. Penolakan
b. Kurang penghargaan, pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu
dituruti, dan terlalu dituntut.
c. Persaingan antar saudara
d. Kesalahan dan kegagalan berulang
e. Tidak mampu mencapai standar yang terlalu tinggi
6. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya
sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami
kegagalan, serta menurunnya produktivitas (Fitria, 2019).
8. Penatalaksanaan Medis
Terapi pada gangguan jiwa, khususnya skizofrenia dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga klien tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya
lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Penatalaksanaan medis pada
gangguan konsep diri yang mengarah pada diagnosa medis skizofrenia, khususnya
dengan perilaku harga diri rendah, yaitu:
a. Psikofarmakologi
Menurut Hawari (2015), jenis obat psikofarmaka, dibagi dalam 2
golongan yaitu:
1) Golongan generasi pertama (typical)
Obat yang termasuk golongan generasi pertama, misalnya: Chorpromazine
HCL (Largactil, Promactil, Meprosetil), Trifluoperazine HCL (Stelazine),
Thioridazine HCL (Melleril), dan Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).
2) Golongan kedua (atypical)
Obat yang termasuk generasi kedua, misalnya: Risperidone (Risperdal,
Rizodal, Noprenia), Olonzapine (Zyprexa), Quentiapine (Seroquel), dan
Clozapine (Clozaril).
b. Psikotherapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada klien, baru dapat diberikan
apabila klien dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana
kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah
baik.
Psikotherapi pada klien dengan gangguan jiwa adalah berupa terapi
aktivitas kelompok (TAK).
c. Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu
atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak
mempan denga terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik
4-5 joule/detik.
d. Therapy Modalitas
Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana pengobatan untuk
skizofrrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan klien. Teknik
perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan
kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis
dalam komunikasi interpersonal. Therapi kelompok bagi skizofrenia biasanya
memusatkan pada rencana dan masalah dalam hubungan kehidupan yang
nyata.
Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas
kelompok stimulasi kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok stimulasi
sensori, therapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan therapy aktivitas
kelompok sosialisasi (Keliat dan Akemat,2005,hal.13). Dari empat jenis
therapy aktivitas kelompok diatas yang paling relevan dilakukan pada individu
dengan gangguan konsep diri harga diri rendah adalah therapyaktivitas
kelompok stimulasi persepsi. Therapy aktivitas kelompok (TAK) stimulasi
persepsi adalah therapy yang mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan
terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam
kelompok, hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau
alternatif penyelesaian masalah
e. Terapi somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan
melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik (Riyadi dan Purwanto,
2019).
Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
1) Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien
2) Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan
khusus
3) Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan
dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih terang dari sinar
ruangan)
4) ECT (Electro Convulsif Therapie)
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik
f. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu kelompok atau komunitas dimana terjadi
interaksi antara sesama penderita dan dengan para pelatih (sosialisasi).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan harga diri
rendah adalah:
a. Harga diri rendah kronik
b. Koping individu tidak efektif
c. Isolasi sosial
d. Gangguan sensori persepsi: halusinasi
e. Risiko perilaku kekerasan
Sedangkan data yang perlu dikaji pada pasien dengan harga diri rendah
adalah:
a. Data subyektif
1) Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna.
2) Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu
3) Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk beraktivitas atau bekerja.
4) Mengungkapkan dirinya malas melakukan perawatan diri (mandi, berhias,
makan atau toileting).
b. Data obyektif
1) Mengkritik diri sendiri
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimistis
4) Tidak menerima pujian
5) Penurunan produktivitas
6) Penolakan terhadap kemampuan diri
7) Kurang memperhatikan perawatan diri
8) Berpakaian tidak rapi
9) Berkurang selera makan
10) Tidak berani menatap lawan bicara
11) Lebih banyak menunduk
12) Bicara lambat dengan nada suara lemah.
2. Pohon Masalah
Pohon masalah pada pasien dengan harga diri rendah kronik adalah sebagai
berikut:
Isolasi Sosial
3. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah berhubungan dengan koping individu
tidak efektif.
4. Intervensi
Perencanaan
No
Tgl Dx Dx keperawaatan Tujuan Kreteria Evaluasi Intervensi
Klien dapat menilai kemampuan 3. Klien mampu menyebutkan 1. Diskusikan dengan klien
yang dimiliki untuk dilaksanakan kemampuan yang dapat kemampuan yang dapat dilaksanakan
dilaksanakan. 2. Diskusikan kemampuan yang
dapat dilanjutkan pelaksanaanya.
Klien dapat melakukan kegiatan 5. Klien dapat melakukan 1. Anjurkan klien untuk
sesuai rencana yang dibuat. kegiatan sesuai jadwal yang melaksanakan kegiatan yang telah
dibuat. direncanakan.
2. Pantau kegiatan yang dilaksanakan
klien.
3. Beri pujian atas usaha yang
dilakukan klien.
4. Diskusikan kemungkinan
pelaksanaan kegiatan setelah pulang.
Klien dapat memanfaatkan sistem 6. Klien mampu memanfaatkan 1. Beri pendidikan kesehatan kepada
pendukung yang ada sistem pendukung yang ada keluarga tentang cara merawar klien
dikeluarga dengan harga diri rendah.
2. Bantu keluarga memberikan
dukungan selama klien dirawat.
3. Bantu klien menyiapkan
lingkungan dirumah.
5. Intervensi Berdasarkan SP Pasien Dan Keluarga
Harga Diri Pasien Keluarga
Rendah
SP I SP I
1. Mengidentifikasi kemampuan 1. Mendiskusikan masalah yang
dan aspek positif yang dimiliki dirasakan keluarga dalam
pasien merawat pasien.
2. Membantu pasien menilai 2. Menjelaskan pengertian,
kemampuan pasien yang masih tanda dan gejala harga diri
dapat digunakan. rendah yang dialami pasien
3. Membantu pasien memilih beserta proses terjadinya.
kegiatan yang akan dilatih sesuai 3. Menjelaskan cara-cara
dengan kemampuan pasien. merawat pasien harga diri
4. Melatih pasien sesuai rendah.
kemampuan yang dipilih
5. Memberikan pujian yang wajar
terhadap keberhasilan pasien.
6. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
SP II
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan SP II
harian pasien. 1. Melatih keluarga
2. Melatih kemampuan kedua. mempraktekkan cara
3. Menganjurkan pasien merawat pasien dengan harga
memasukkan dalam jadwal diri rendah.
kegiatan harian. 2. Melatih keluarga melakukan
cara merawat langsung
kepada pasien harga diri
rendah.
SP III
1. Membantu keluarga
membuat jadwal aktivitas di
rumah termasuk minum obat
(discharge planning).
2. Menjelaskan follow up
setelah pulang.
SP III SP III
1. Evaluasi SP 1,2 1.Evaluasi kemampuan Keluarga
2.Latih hubungan social secara 2.Evaluasi Kemampuan Pasien
bertahap 3.RTL Keluarga (follow
3.Masukkan ke jadwal kegiatan up,rujukan)
5. Evaluasi
Adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada
klien
Evaluasi dibagi 2 :
1. Evaluasi proses (Formatif) dilakukan setiap selesai melakukan tindakan
2. Evaluasi hasil (Sumatif) dilakukan dengan membandingkan respon klien pada
tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan dengan perawatan SOAP
Hasil yang ingin dicapai pada klien dengan kerusakan interaksi sosial (menarik diri)
yaitu:
1. Dapat menunjukkan peningkatan harga diri.
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, N. 2019. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
Hawari, D. 2013. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa: Skizofrenia. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Keliat, B.A. 2016. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Riyadi, S. Dan Purwanto, T. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yosep, I. 2019. Keperawatan Jiwa. Jakarta: Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN
GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI
3. Etiologi
Faktor penyebab halusinasi yaitu:
a. Predisposisi
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stres.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted
child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
3) Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami seorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu
zat yang dapat bersifat halusiogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan
acetylcholin dan dopamin.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak tanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini.
b. Faktor Presipitasi
1) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian,
tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan
nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan mencoba memecahkan masalah
halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai
makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual
sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima simensi yaitu :
a) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang
lama.
b) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hinnga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namu merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang
akan mengontrol semua prilaku klien.
d) Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata
sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol
diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
e) Dimensi Spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya
secara spiritual untuk mengucilkan dirinya. Irama sirkardiannya terganggu,
karena ia sering tidur larut malam dan bangun saat siang. Saat terbangun
terasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memakai takdir
tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
4. Tanda dan gejala
Adapun Tanda dan gejala halusinasi menurt Direja, 2015 sebagai berikut :
a. Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,
mengarahkan telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif: Mendengar suara atau kegaduhan, mendengarkan suara yang
mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang menyuruh
melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu
yang tidak jelas.
Data Subjektif: Melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk kortoon,
melihat hantu atau monster.
c. Halusinasi Penghidungan
Data Objektif : menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu,
menutup hidung.
Data Subjektif : membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-
kadang bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi Pengecapan
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subjektif : Merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
e. Halusinasi Perabaan
Data Objektif : Menggaruk- garuk permukaan kulit.
Data Subjektif : menyatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa
tersengat listrik.
5. Jenis-jenis
Menurut Kusumawati & Hartono (2015) membagi halusinasi menjadi 10
jenis, antara lain sebagai berikut :
a. Halusinasi Pendengaran (auditory-hearing voices or sounds)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising yang
tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau
kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditunjukkan pada penderita
sehingga tidak jarang penderita bertengkar dan berdebat dengan suara-suara
tersebut. Suara tersebut dapat dirasakan berasal dari jauh atau dekat bahkan
mungkin datang dari tiap bagian tubuhnya sendiri. Suara bisa menyenangkan,
menyuruh berbuat baik, tetapi dapat pula berupa ancaman, mengejek, memaki
atau bahkan yang menakutkan dan kadang-kadang mendesak atau memerintah
untuk berbuat sesuatu seperti membunuh atau merusak.
b. Halusinasi Penglihatan (visual-seeing persons or thinks)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya
sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut
akibat gambaran-gambaran yang mengerikan.
c. Halusinasi Penciuman (olfaktory-smelling odors)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan
tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan
sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral.
d. Halusinasi Pengecapan (gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman
penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi gastorik lebih jarang dari
halusinasi gustatorik.
e. Halusinasi Raba (taktile-feeling bodily sensation)
Merasa diraba , disentuh, ditiup atau seperti ada ulat, yang bergerak di
bawah kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis dan skizofrenia.
f. Halusinasi kinestetik
Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruangan, atau anggota badannya
bergerak (umpamanya anggota badan bayangan atau “phantomlimb”).
g. Halusinasi visceral
Perasaan tertentu timbul di dalam tubuhnya.
1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah
tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada
2) Direalisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala sesuatu yang dialami
seperti impian.
h. Halusinasi hipnagogik :
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum tertidur
persepsi sensorik berkerja salah.
i. Halusinasi hipnopompik
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum terbangun
sama sekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula pengalaman halusinatorik
dalam impian yang normal.
j. Halusinasi histerik
Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.
k. Halusionis
Paling sering adalah halusinasi dengar yang berhubungan dengan
penyalahgunaan alcohol dan terjadi dalam sensorium yang jernih berbeda
6. Fase-fase halusinasi
Halusinasi berkembang menjadi empat fase, yaitu sebagai berikut (Yoseph, 2016) :
a. Fase pertama : Sleep Disorder
Fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi. pada fase ini klien merasa
banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang lain
bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karena berbagai
stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dihianati
kekasih, masalah di kampus, PHK di tempat kerja penyakit, utang, nilai di
kampus, drop out dan sebagainya. Masalah terasa menekan karena terakumulasi
sedangkan support system kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk.
Sulit tidur berlangsung terus menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien
menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
b. Fase kedua : Comforting
Disebut juga fase comporting yaitu fase yang menyenangkan. Pada tahap ini
masuk dalam golongan nonpsikotik. Pasien mengalami emosi yang berlanjut
seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan
mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan
bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia control bila kecemasannya
diatur, dalam tahp ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan
halusinasinya.
c. Fase ketiga : Condemning
Disebut denga fase condemming atau anisietas berat yaitu halusinasi
menjadi menjijikan, termasuk dalam psikotik ringan. Pengalaman sensori klien
menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien mulai tidak mampu lagi
mengontrolnya dan mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek
yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain dengan intensitas
waktu yang lama.
d. Fase keempat : Controlling
Adalah fase controling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori menjadi
berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Klien mencoba melawan suara-
suara atau sensory abnormal yang datang. Klien dapat merasakan kesepian bila
halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan Psychotic.
e. Fase kelima : Conquering
Adalah fase conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya.
Termasuk dalam psikotik berat. Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai
merasa terancam dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat
menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi
dapat berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak
mendapatkan komunikasi terapeutik.
7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan dengan halusinasi:
a. Regresi, menjadi malas beraktivitas sehari-hari
b. Proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan
tanggung jawab kepada orang lain atau suatu benda
c. Menarik diri, sulit mencari orang lain dan asik dengan stimulus internal
d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada halusinasi di bagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan
medis dan penatalaksanaan keperawatan, yaitu :
a. Penatalaksanaan Medis
1) Psikofarmakoterapi
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/ skizofrenia biasanya
diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain :
a) Golongan butirefenon : Haldol, Serenace, Ludomer. Pada kondisi akut
biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3x5 mg, im. Pemberian injeksi
biasanya cukup 3x24 jam. Setelahnya klien bisa diberikan obat per oral
3x1,5 mg atau 3x5 mg.
b) Golongan Fenotiazine :Chlorpramizine/ Largactile/ Promactile. Biasanya
diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3x 100mg. Apabila
kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi 1x100 mg pada malam hari saja
(Yosep, 2011).
2) Psikoterapi
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode
yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan
pada skizoprenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
3) Rehabilitasi
Terapi kerja baik untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang
lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak
mengasingkan diri lagi karena bila menarik diri dia dapat membentuk
kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan penderita untuk mengadakan
permainan atau pelatihan bersama.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Terapi Aktivitas Kelompok yang diberikan pada pasien dengan Halusinasi
yaitu (Keliat, 2015):
1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang
pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada
tiap sessi. Dengan proses ini, diharapkan respon klien terhadap berbagai
stimulus dalam kehidupan menjadi adatif. Aktivitas berupa stimulus dan
persepsi. Stimulus yang disediakan: baca artikel/majalah/buku/puisi, menonton
acara TV (ini merupakan stimulus yang disediakan), stimulus dari pengalaman
masa lalu yang menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptive atau
distruktif, misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan
negative pada orang lain dan halusinasi. Kemudian dilatih persepsi klien
terhadap stimulus.
2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulus Sensori
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Kemudian
diobservasi reaksi sensori klien terhadap stimulus yang disediakan, berupa
ekspresi perasaan secara nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh). Biasanya
klien yang tidak mau mengungkapkan komunikasi verbal akan testimulasi
emosi dan perasaannya, serta menampilkan respons. Aktivitas yang digunakan
sebagai stimulus adalah : musik, seni menyanyi, menari. Jika hobby klien
diketahui sebelumnya, dapat dipakai sebagai stimulus, misalnya lagu kesukaan
klien, dapat digunakan sebagai stimulus.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Dalam keperawatan, pengkajian merupakan pengumpulan data subjektif dan
objektif secara sistematis dengan tujuan membuat penentuan tindakan keperawatan
bagi individu, keluarga dan komunitas (Damaiyanti, 2012).
a. Identitas klien dan penanggung
b. Keluhan utama atau alasan masuk
c. Faktor predisposisi
d. Aspek fisik atau biologis
e. Aspek psikososial
f. Status mental
g. Kebutuhan persiapan pulang
h. Mekanisme koping
i. Masalah psikososial dan lingkungan
j. Pengetahuan
k. Aspek medik
1) Kemudian data yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi dua macam
sebagai berikut :
a) Data Objektif
Ialah data yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui
observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.
b) Data Subjektif
Ialah data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini
diperoleh melalui wawancara perawat kepada klien dan keluarga. Data yang
langsung didapat oleh perawat disebut sebagai data primer, dan data yang di
ambil dari hasil catatan tim kesehatan lain sebagai data sekunder.
2) Menurut Damaiyanti, (2012) adapun format atau data fokus pada pengkajian
klien dengan gangguan pesepsi sensori : halusinasi :
a) Jenis halusinasi
b) Isi halusinasi
c) Waktu halusinasi
d) Frekuensi halusinasi
e) Situasi halusinasi
f) Respon klie
2. Rumusan Masalah
a. Isolasi sosial
b. Gangguan persepsi sensori : Halusinasi
c. Resiko Prilaku kekerasan
3. Pohon Masalah
Pohon masalah adalah tehnik atau diagram untuk mengidentifikasi masalah dalam
Core Problem
Perubahan persepsi Defisit Perawatan
sensori : halusinasi Diri
Cause
Isolasi Sosial
Keterangan :
4. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan dari pohon masalah diatas dapat ditegakkan diagnosa keperawatan
sesuai prioritas masalah pada klien dengan halusinasi menurut Fitria, (2015 ) yaitu :
a. Resiko tinggi perilaku kekerasan.
b. Perubahan persepsi sensori : halusinasi.
c. Kerusakan interaksi sosial.
d. Harga diri rendah kronis
e. Defisit perawatan diri
5. Rencana Keperawatan
Hari/Tgl/ Diagnosa Perencanaan
Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
Jam Keperawatan
Gangguan TUM : Setelah diberikan asuhan 1. Sapa klien dengan Hubungan saling
persepsi Klien dapat mengontrol keperawatan selama 15 nama baik verbal percaya
sensori : halusinasi yang menit dengan 1 kali maupun non verbal merupakan dasar
Halusinasi dialaminya. pertemuan pasien 2. Perkenalkan diri untuk kelancaran
TUK 1 : diharapkan: dengan sopan hubungan
Pasien dapat membina Kriteria Evaluasi : 3. Tanyakan nama interaksi
hubungan saling 1. Ekspresi wajah lengkap klien dan selanjutnya
percaya bersahabat nama panggilan
2. Menunjukan rasa yang disukai klien
senang 4. Jelaskan tujuan
3. Ada kontak mata pertemuan
4. Mau berjabat tangan, 5. Jujur dan menepati
mau menyebut nama, janji
mau menjawab salam 6. Tunjukan sikap
5. Mau duduk empati dan
berdampingan dengan menerima klien apa
perawat adanya
6. Mau mengutarakan 7. Berikan perhatian
masalah yang kepada klien
dihadapi.
TUK 2 : Setelah diberikan 1. Adakah kontak 1. Kontak
Klien mengenal asuhan keperawatan sering dan singkat sering tapi
halusinasinya selama 15 menit dengan secara bertahap singkat
1 kali pertemuan pasien selain
diharapkan: membina
Kriteria Evaluasi : hubungan
1. Klien dapat saling
menyebutkan waktu, 2. Observasi tingkah percaya, juga
isi, frekuensi laku klien terkait dapat
timbulnya halusinasi dengan memutuskan
2. Klien dapat halusinasinya; bicara halusinasi
mengungkapkan dan tertawa terhadap 2. Mengenal
peran terhadap stimulus, perilaku pada
halusinasi. memandang ke kiri saat
atau ke kanan atau halusinasi
ke dean seolah-olah timbul
ada teman bicara memudahkan
3. Bantu klien perawat
mengenal dalam
halusinasinya. melakukan
intervensi
3. Mengenal
4. Diskusikan dengan halusinasi
klien situasi yang memungkink
menimbulkan atau an klien
tidak menimbulkan untuk
halusinasi , waktu menghindark
dan frekuensi an factor
terjadinya halusinasi pencetus
timbulnya
halusinasi
5. Diskusikan dengan 4. Dengan
klien apa yang mengetahui
dirasakan jika terjadi waktu, isi,
halusinasi, beri dan frekuensi
kesempatan munculnya
mengungkapkan halusinasi
perasaannya mempermuda
h tindakan
keperawatan
klien yang
akan
dilakukan
perawat.
5. Untuk
mengidentifi
kasi pengaruh
halusinasi
klien
Ade Herman, S.D. 2015. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.
Damaiyanti, M. Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika
Aditama
Direja, A. Herman., 2015, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha Medika
Fitria, Nita. 2019. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba
Medika.
Maramis F. Willy., 2015, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya : Airlangga University
Press.
Suliswati, dkk. 2015. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Tim Pengembangan MPKP RSJ Provinsi Bali. 2019. Pedoman Manajemen Asuhan
Keperawatan (7 Masalah Utama Keperawatan Jiwa). Bangli.
Videbeck, S.L. 2018. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep, I., 2019, Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN
3) Faktor Biologis
Neorobilogical Faktor (Montague, 1979) bahwa dalam susunan
persyarafan ada juga yang berubah pada saat orang agresif. Sistem limbik
berperan penting dalam meningkatkan dan menurunkan agresifitas.
Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif yaitu;
serotonin, dopamim, norepinephrin, acetikolin, dan asam amino GABA
(gamma aminobutiric acid). GABA dapat menurunkan agresifitas,
norepinephrin dapat meningkatkan agresifitas, serotonin dapat menurunkan
agresifitas dan orang yang epilepsi.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum, sesorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya
terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal
dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang marasa
terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber
kemarahanya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal. Contoh stressor
internal adalah tidak berprestasi kerja, kehilangan orang yang dicintai, respon
terhadap penyakit kronis. Contoh stressor ekternal adalah serangan fisik, putus
hubungan, dikritik orang lain. Marah juga bisa disebabkan perasaan jengkel yang
menumpuk di hati atau kehilangan kontrol terhadap situasi. Marah juga bisa timbul
pada orang yang dirawat inap.
5. Penatalaksaan Medis
Penatalaksanaan gangguan jiwa dengan dengan perilaku kekerasan (Yosep,
2010) adalah sebagai berikut:
a. Psikofarmakologi
Obat-obatan yang diberikan adalah antiaanxiety dan sedative-hipnotics. Obat
ini dapat mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepines seperti lorazepam dan
clonazepam, sering digunakan dalam kedaruratan psikiatri untuk menenangkan
perlawanan pasien.
b. Terapi Kejang Listrik atau Elektro Compulsive Therapy (ECT)
ECT merupakan suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada pasien baik tonik maupun klonik.
6. Penatalaksaan Keperawatan
Seorang perawat harus berjaga-jaga terhadap adanya peningkatan agitasi
pasien, hirarki perilaku agresif dan kekerasan. Disamping itu, perawat harus mengkaji
pula afek pasien yang berhubungan dengan perilaku agresif. Kelengkapan pengkajian
dapat membantu perawat dalam membina hubungan terapeutik dengan pasien,
mengkaji perilaku yang berpontensi kekerasan, mengembangkan suatu perencanaan,
mengimplementasikan perencanaan, dan mencegah perilaku kekerasan. (Yosep, 2015).
Perawat dapat mengimplementasikan berbagai intervensi untuk mencegah dan
mengelola perilaku agresif. Intervensi dapat melalui rentang intervensi keperawatan.
a. Kesadaran Diri
Perawat harus menyadari bahwa stress yang dihadapi dapat mempengaruhi
komunikasinya dengan pasien. Bila perawat tersebut merasa letih, cemas, marah,
atau apatis maka akan sulit baginya membuat pasien tertarik. Untuk mencegah
semua itu, maka perawat harus terus menerus meningkatkan kesadaran dirinya dan
melakukan supervise dengan memisahkan antara masalah pribadi dan masalah
pasien.
b. Pendidikan Pasien
Pendidikan yang diberikan mengenai cara berkomunikai dan cara
mengekpresikan marah yang tepat. Banyak pasien yang mengalami kesulitan
mengekpresikan perasaan, kebutuhan, hasrat, dan bahkan kesulitan
mengkomunikasikan semua ini pada orang lain. Jadi dengan perawat berkomunikasi
yang terapeutik diharapkan agar pasien mau mengekpresikan perasaannya, lalu
perawat menilai apakah respon yang diberikan pasien adaptif atau maladaptif.
c. Latihan Asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki perawat yaitu mampu
berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang, mengatakan tidak untuk
sesuatu yang tidak beralasan, sanggup melakukan komplain, dan mengekpresikan
penghargaan dengan tepat.
d. Komunikasi
Strategi berkomunikasi dengan pasien agresif adalah bersikap tenang, bicara
lembut, bicara tidak dengan menghakimi, bicara netral dengan cara yang kongkrit,
tunjukkan sikap respek, hindari kontak mata langsung, fasilitasi pembicaraan,
dengarkan pembicaraan, jangan terburu-buru menginterpretasikan, dan jangan
membuat janji yang tidak dapat ditepati.
e. Perubahan Lingkungan
Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas seperti: membaca,
kelompok program yang dapat mengurangi perilaku pasien yang tidak sesuai dan
meningkatkan adaptasi sosialnya seperti terapi aktivitas kelompok. Terapi aktivitas
kelompok (TAK) merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat
kepada sekelompok pasien yang mempunyai masalah yang sama. Aktivitas
digunakan sebagai terapi sedangkan kelompok digunakan sebagai target sasaran
(Keliat dan Akemat, 2015). TAK yang sesuai dengan perilaku kekerasan adalah
terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: perilaku kekerasan.
f. Tindakan Perilaku
Tindakan perilaku pada dasarnya membuat kontrak dengan pasien mengenai
perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, konsekuensi yang
didapat bila kontrak dilanggar.
b. Analisa data
Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data untuk
merumuskan masalah-masalah yang dihadapi klien. Data tersebut diklasifikasikan
menjadi data subyektif dan obyektif:
1) Data Subyektif
Data subyektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh pasien dan
keluarga. Data ini diperoleh melalui wawancara perawat kepada klien dan
keluarga
Data subyektif yang mungkin didapat yaitu, klien mengeluh perasaan
terancam, marah dan dendam. Perasaan tak berguna, jengkel atau
mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar, dada sesak dan
bingung.
2) Data Obyektif
Data obyektif yaitu data yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan
melalui observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat seperti, wajah
tegang, mudah tersinggung saat diajak berbicara, tatapan mata tajam, muka
tampak merah, posisi tubuh condong kedepan dengan tangan mengepal.
c. Pohon Masalah
Effect ...... Resiko Mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
2. Diagnosa keperawatan
Masalah keperawatan yang mungkin muncul untuk maslah prilaku kekerasan adalah:
a. Perilaku Kekerasan
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
c. Harga diri rendah.
3. Rencana Keperawatan Perilaku Kekerasan
SP4 PASIEN
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Mengevaluasi SP 1,2&3
harian klien (SP 1,2&3) 2. Melatih langsung keluarga ke
2. Melatih klien mengontrol prilaku pasien
kekerasan dengan cara spiritual 3. RTL keluarga: Follow up dan
3. Menganjurkan klien memasukan ke rujukan
dalam kegiatan harian.
5. Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan pada asuhan keperawatan klien dengan perilaku kekerasan
adalah :
a. Klien membina hubungan saling percaya.
b. Klien dapat mengidentifikasikan penyebab perilaku kekerasan.
c. Klien dapat mengidentifikasikan tanda dan gejala perilaku kekerasan.
d. Klien dapat mengidentifikasikan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
e. Klien dapat mengidentifikasikan akibat perilaku kekerasan.
f. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan.
g. Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku kekerasan.
h. Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah perilaku kekerasan.
i. Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk untuk mencegah
perilaku kekerasan.
j. Klien dapat mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan.
k. Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan perilaku
kekerasan
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, N. 2019. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nurjannah, I. 2018. Penangan Klien Dengan Masalah Psikiatri Kekerasan. Yogyakarta:
MocoMedika.
Maramis, W.F. 2015 Catatan Ilmu Keperawatan Jiwa. Surabaya: Airlangga Universitas
Press.
Stuart, G.W. and Laraia. 2015. Principles and Praktice of Psychiatric Nursing, St. Louis:
Mosby Year B
Stuart dan Sundeen, 2015. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Videbeck, S. L. 2018. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Yosep, I. 2015. Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN
PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM
7. Penatalaksanaan Medis
Terapi pada gangguan jiwa, khususnya skizofrenia dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga klien tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih
manusiawi daripada masa sebelumnya. Penatalaksanaan medis pada gangguan proses
pikir yang mengarah pada diagnosa medis skizofrenia, khususnya dengan gangguan
proses pikir: waham, yaitu:
g. Psikofarmakologi
Menurut Hawari (2013), jenis obat psikofarmaka, dibagi dalam 2 golongan
yaitu:
3) Golongan generasi pertama (typical)
Obat yang termasuk golongan generasi pertama, misalnya: Chorpromazine
HCL (Largactil, Promactil, Meprosetil), Trifluoperazine HCL (Stelazine),
Thioridazine HCL (Melleril), dan Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).
4) Golongan kedua (atypical)
Obat yang termasuk generasi kedua, misalnya: Risperidone (Risperdal,
Rizodal, Noprenia), Olonzapine (Zyprexa), Quentiapine (Seroquel), dan
Clozapine (Clozaril)
h. Psikotherapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada klien, baru dapat diberikan apabila
klien dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan
menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikotherapi
pada klien dengan gangguan jiwa adalah berupa terapi aktivitas kelompok (TAK).
i. Terapi somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan
melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik (Riyadi dan Purwanto, 2019).
Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
5) Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien (Riyadi dan Purwanto, 2019).
6) Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan khusus
(Riyadi dan Purwanto, 2019).
3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Proses Pikir: Waham
b. Risiko perilaku kekerasan
c. Isolasi sosial
d. Harga diri rendah kronik
4. Rencana Keperawatan
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
GANGGUAN ISI PIKIR: WAHAM
DIAGNOSA PERENCANAAN
TGL/ JAM INTERVENSI
KEPERAWATAN TUJUAN KRITERIA EVALUASI
Gangguan proses pikir: TUM :
waham Klien dapat berpikir sesuai dengan
realitas
TUK
1. Klien dapat membina hubungan 1. Setelah ....x interaksi klian : 1. Bina hubungan saling percaya
saling percaya dengan perawat. a. Mau menerima kehadiran dengan klien :
perawat di sampingnya. a. Beri salam
b. Menyatakan mau menerima b. Perkenalkan diri, tanyakan nama
bantuan perawat. serta nama panggilan yang
c. Tidak menunjukkan tanda- disukai.
tanda curiga. c. Jelaskan tujuan interaksi
d. Yakinkan dia dalam keadaan
aman dan mendampinginya.
e. Yakinkan bahwa kerahasiaan
klian akan tetap terjaga.
f. Tunjukkan sikap terbuka dan
jujur
g. Perhatikan kebutuhan dasar dan
beri bantuan memenuhinya
2. Klien dapat mengidentifikasi 2. Setelah...x.... interaksi klien dapat 2.1 Beri pujian pada penampilan dan
kemampuan yang dimiliki mengidentifikasi kemampuan kemampuan klien yang realistis.
yang dimilikinya. 2.2 Diskusikan dengan klien
kemampuan yang dimiliki pada
waktu lalu dan saat ini yang
realistis.
2.3 Tanyakan apa yang biasa klien
lakukan kemudian anjurkan untuk
melakukannya saat ini.
2.4 Jika klien selalu bicara tentang
wahamnnya, dengarkan sampai
kebutuhan wahamnya tidak ada.
Perawat perlu memperlihatkan
bahwa klien penting.
3. Klien dapat mengidentifikasi 3. Setelah ....x......klien dapat 3.1 Observasi kebutuhan klien sehari-
kebutuhan yang tidak terpenuhi. mengetahui kebutuhannya yang hari.
tidak terpenuhi. 3.2 Diskusikan kebutuhan klien yang
tidak terpenuhi baik selama
dirumah maupun dirumah sakit.
3.3 Hubungan kebutuhan yang tidak
terpenuhi dan timbulnya waham.
3.4 Tinngkatkan aktivitas yang dapat
memenuhi kebutuhan klien.
3.5 Atur situasi agar klien mempunyai
waktu untuk menggunakan
wahamnnya.
4. Klien dapat berhubungan dengan 4. Setelah .....x..... klien dapat 4.1 Berbicara dengan klien dengan
realistis. berhubungan dengan realistis konteks realitas (diri,orang
lain,tempat, dan waktu).
4.2 Sertakan klien dalam aktivitas
kelompok orientasi realitas.
4.3 Berikan pujian pada setiap
kegiatan positif dilakukan klien.
5. Klien mendapat dukungan keluarga 5. Setelah ....x....interaksi klien 5.1 Diskusikan dengan keluarga
mendapat dukungan keluarga tentang :
a. Gejala waham
b. Cara merawatnya
c. Lingkungan keluarga
d. Follow up obat
5.2 Anjurkan keluarga melaksanakan
5.1 dengan bantuan perawat.
6. Klien dapat menggunakan obat 6. Setelah ....x....klien dapat 6.1 Diskusikan dengan klien dan
dengan benar. mengetahui meminum obat yang keluarga tentang obat, dosis,
benar. frekuensi, dan efek samping
akibat penghentian.
6.2 Diskusikan perasaan klien setelah
minum obat.
6.3 Berikan obat dengan prinsip 5
benar
5. Intervensi berdasrkan SP pasien dan keluarga
Masalah Tindakan Perawatan Untuk Tindakan Keperawatan
Keperawatan Pasien Untuk Keluarga
Waham SP I SP I
1. Membantu orientasi 1. Mendiskusikan
realita masalah yang
2. Mendiskusikan dirasakan keluarga
kebutuhan yang tidak dalam merawat
terpenuhi pasien
3. Membantu pasien 2. Menjelaskan
memenuhi pengertian, tanda dan
kebutuhannya gejala waham, dan
4. Menganjurkan pasien jenis waham yang
memasukkan dalam dialami pasien beserta
jadwal kegiatan proses terjadinya
harian 3. Menjelaskan cara-
cara merawat pasien
SP II waham
1. Mengevaluasi jadwal
kegiatan harian SP II
pasien 1. Melatih keluarga
2. Berdiskusi tentang mempraktekkan cara
kemampuan yang merawat pasien
dimiliki dengan waham
3. Melatih kemampuan 2. Melatih keluarga
yang dimiliki melakukan cara
merawat langsung
kepada pasien waham
SP III
1. Mengevaluasi jadwal SP III
kegiatan harian 1. Membantu keluarga
pasien membuat jadwal
2. Memberikan aktifitas dirumah
pendidikan kesehatan termasuk minum
tentang penggunaan obat.
obat secara teratur 2. Mendiskusikan
3. Menganjurkan pasien sumber rujukan yang
memasukkan dalam bisa dijangkau oleh
jadwal kegiatan keluarga
harian
6. Evaluasi
Adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada
klien
Evaluasi dibagi 2 :
3. Evaluasi proses (Formatif) dilakukan setiap selesai melakukan tindakan
4. Evaluasi hasil (Sumatif) dilakukan dengan membandingkan respon klien pada
tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan dengan perawatan SOAP
Hasil yang ingin dicapai pada klien dengan kerusakan interaksi sosial
(menarik diri) yaitu : Klien dapat berpikir sesuai dengan realitas
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M. 2015. Keperawatan Jiwa: Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Direja, A.H.S. 2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Medikal Book.
Fitria, N. 2019. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, B.A. 2016. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yosep, I. 2019. Keperawatan Jiwa. Jakarta: Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN RISIKO BUNUH DIRI
6. Pengobatan
Semua kasus percobaan bunuh diri harus mendapat perhatian yang serius.
Pertolongan pertama dilakukan di rumah sakit, dilakukan pengobatan terhadap luka
ataupun keracunan. Bila luka atau keracunan sudah dapat diatasi maka dilakukan
evaluasi psikiatri. Untuk pasien depresi bisa diberikan terapi elektrokonvulsi, obat-
obatan berupa antidepresan dan psikoterapi.
7. Prognosa
Faktor yang mempengaruhi prognosa yaitu :
a. Pasien : bila pasien dapat menyesuaikan diri dengan baik dan stress yang
menjadi faktor pencetus untuk percobaan bunuh diri cukup besar maka
prognosanya lebih baik.
b. Lingkungan : bila lingkungan memberi dukungan dan banyak orang yang
memperhatikan penderita serta banyak hal yang dapat memberi arti dalam
kehidupan pasien, maka prognosanya akan lebih baik.
8. Rentang respon
c. Destruktif diri tak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang kurang
mempertahankan dirinya.
e. Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
POHON MASALAH
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko bunuh diri
b. Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan
c. Harga diri rendah
5. Evaluasi
Selanjutnya, setelah dilakukan tindakan keperawatan, evaluasi dilakukan terhadap
kemampuan pasien risiko bunuh diri serta kemampuan perawat dalam merawat pasien
dengan risiko bunuh diri.
DAFTAR PUSTAKA
2. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
- Pola perawatan - Kadang perawatan diri - Tidak melakukan
diri seimbang kadang tidak perawatan saat stress
Keterangan :
a. Pola perawatan diri seimbang, saat pasien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan pasien
seimbang, pasien masih melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak, saat pasien mendapatkan stresor kadang
– kadang pasien tidak memperhatikan perawatan dirinya,
c. Tidak melakukan perawatan diri, pasien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stresor.
3. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri
Menurut Nanda-I (2012),jenis perawatan diri terdiri dari :
a. Defisit perawatan diri : Mandi/ Kebersihan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri
b. Defisit perawatan diri : Berpakaian/Berhias
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
c. Defisit perawatan diri : Makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri
d. Defisit perawatan diri : Toileting/Eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri
8. Mekanisme Koping
a. Regresi
Regresi adalah kemunduran akibat stress terhadap perilaku dan merupakan
cirri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini
b. Penyangkalan
Penyangkalan merupakan mekanisme koping / pertahanan untuk mengurangi
kesulitan untuk menegakkan diagnosis.
c. Isolasi diri, menarik diri
Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau
menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka
sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri.
Penyangkalan kenyataan juga mengandung unsur penipuan diri.
d. Intelektualisasi
Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, maka dia menghadapi
situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat menekan dengan
cara analitik, intelektual dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan kata lain,
bila individu menghadapi situasi yang menjadi masalah, maka situasi itu akan
dipelajarinya atau merasa ingin tahu apa tujuan sebenarnya supaya tidak
terlalu terlibat dengan persoalan tersebut secara emosional. Dengan
intelektualisasi, manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya
tidak menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada dirinya
untuk meninjau permasalah secara obyektif
Defisit Perawatan Diri
Core Problem
Keterangan :
3. Diagnosa keperawatan
Defisit Perawatan Diri
4. Rencana Keperawatan
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI
SP II K
SP II P 1. Melatih keluarga
1. Mengevaluasi jadwal mempraktekkan cara merawat
kegiatan harian pasien pasien dengan defisit perawatan
2. Menjelaskan cara makan diri
yang baik 2. Melatih keluarga melakukan
3. Membantu pasien cara merawat langsung kepada
mempraktekkan cara pasien defisit perawatan diri
makan yang baik
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam SP III K
jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas di rumah
SP III P termasuk minum obat
1. Mengevaluasi jadwal 2. Menjelaskan follow up pasien
kegiatan harian pasien setelah pulang
2. Menjelaskan cara
eliminasi yang baik
3. Membantu pasien
mempraktekkan cara
eliminasi yang baik dan
memasukkan dalam
jadwal
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP IV P
1. Mengevaluasi jadwal
kegiatan harian pasien
2. Menjelaskan cara
berdandan
3. Membantu pasien
mempraktekkan cara
berdandan
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
5. Evaluasi
Adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada
klien.
Evaluasi dibagi 2 :
1. Evaluasi proses (Formatif) dilakukan setiap selesai melakukan tindakan
2. Evaluasi hasil (Sumatif) dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan
khusus dan umum yang telah ditentukan dengan perawatan SOAP
3. Hasil yang ingin dicapai pada klien dengan kerusakan interaksi sosial (menarik diri )
yaitu Klien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri.
DAFTAR PUSTAKA