Anda di halaman 1dari 3

Diagnosis kerja

Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan


anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi
dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis
yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Pemeriksaan penunjang akan sangat
membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan penatalaksanaan. Pemeriksaan
secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus. Palatum mole tampak
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak
detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong kearah kontra lateral.
Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan gejala klinisnya. Pemeriksaan laboratorium darah
berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis.
Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer.1

Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara
spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang
diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic.1

Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh abses
adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan lokasi abses yang
akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran
penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer.
Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu
dengan tomografi komputer. Bagaimanapun tomografi komputer dan ultrasonografi dapat
membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis tonsil. Kasus diagnosis
abses peritonsil bilateral di ruang gawat darurat dengan menggunakan intraoral sonografi.
Ultrasonografi juga dapat digunakan di ruang pemeriksaan gawat darurat untuk membantu
mengidentifikasi ruang abses sebelum dilakukan aspirasi dengan jarum.1
Diagnosis banding

Abses retrofaring

Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada anak dan
merupakan abses leher dalam yang terbanyak pada anak. Pada anak biasanya abses terjadi
mengikuti infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang
terdapat pada daerah retrofaring. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada
usia 3-4 tahun. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma
tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.1

Gejala klinis berupa demam, nyeri tenggorok, pergerakan leher terbatas, sesak nafas,
odinofagi maupun disfagi. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan dinding posterior
faring.1

Abses Parafaring

Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi, parotis, atau
kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan perluasan dari abses leher
dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring
maupun mastikator. Gejala abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok,
odinofagi dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah
parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus mandibula tidak
teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid akan memberikan gejala
trismus yang lebih jelas.1

Abses Submandibula

Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut, air liur banyak, Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, lidah
terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi
didapatkan pus. Ludwig’s angina merupakan sellulitis di daerah sub mandibula, dengan tidak
ada fokal abses. Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak,
trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula, sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh
lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.1
Sumber :

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Abses leher dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar


N, Bashiruddin J, Restuti RD editor. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung
tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2012:p. 204-8.

Anda mungkin juga menyukai