Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebijakan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah
merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah merupakan jawaban atas
permasalahan lokal bangsa Indonesia, berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan dan
ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat dan masalah pembangunan
sumber daya manusia. Kedua, otonomi daerah merupakan langkah strategis bangsa Indonesia
untuk menyongsong era globalisasi ekonomi, dengan memperkuat basis perekonomian daerah
(Abilawa & Marlina, 2019). Disisi lain, pelaksanaan wewenang daerah sering kali berbenturan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan masyarakat secara
keseluruhan dan juga kepentingan nasional. Maka dari itu sering kali prinsip-prinsip yang
menjadi tujuan dari otonomi daerah sering kabur dalam proses pelaksanaannya. Padahal, demi
terwujudnya perkembangan suatu daerah yang masif memerlukan adanya anggaran yang cukup
besar.

Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, beberapa daerah mengalami masalah


keuangan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pembangunan
daerah sangat terkait dengan kemampuan pembiayaan daerah dan ketersediaan sarana dan
prasarana yang dimiliki pemerintah daerah. Pemerintah daerah senantiasa menyediakan anggaran
untuk pembangunan daerah, tetapi karena keterbatasan penerimaan daerah maka perlu dicari
sumber-sumber yang lain (Dwiyono, 2009). Beberapa alternatif untuk mengatasi masalah
keuangan daerah adalah dengan melakukan pinjaman daerah dan mengoptimalkan investasi
daerah.

Pinjaman daerah diatur dalam PP No 107 tahun 2000 yang telah direvisi dengan PP No
54 tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah. Pinjaman daerah dapat bersumber dari dalam seperti
pemerintah pusat, lembaga keuangan bank dan bukan bank, masyarakat, maupun pinjaman luar
negeri yang berupa pinjaman bilateral maupun multilateral. Pinjaman daerah dapat digunakan
untuk membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan
penerimaan bagi daerah, dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Pengelolaan pinjaman
daerah yang baik sangat diperlukan karena pinjaman daerah merupakan alternatif pembiayaan
bagi pemerintah. Kegiatan-kegiatan yang dibiayai melalui pinjaman daerah merupakan investasi
di bidang publik berupa perbaikan dan penambahan infrastruktur sosial ekonomi.

DKI Jakarta adalah salah satu daerah yang telah menggunakan pinjaman daerah sebagai
sumber pembiayaan pembangunan daerah. Pendanaan pembangunan MRT Jakarta Fase I dari
Lebak Bulus sampai dengan Bundaran HI berasal dari pinjaman Pemerintah Jepang (JICA)
dengan pengaturan komposisi berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
selaku Ketua Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur No 1 Tahun 2013 tentang
Komposisi Pembebanan Pinjaman Untuk Membiayai Pembangunan Mass Rapid Transit di
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahap I (Lebak Bulus – Bundaran HI), sebesar 51%
ditanggung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (on-lending) dan 49% ditanggung oleh
Pemerintah yang selanjutnya dihibahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (on-granting).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mengajukan pinjaman dana kepada Pemerintah Pusat
melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp12 triliun untuk memulihkan
kondisi perekonomian yang terdampak pandemi Covid-19.

Selain pinjaman daerah, investasi daerah juga harus dioptimalkan sebagai alternatif
pembiayaan daerah. Sumber anggaran daerah bukan hanya sekedar berasal dari dana hibah atau
dana lain yang sifatnya diberikan melalui subsidi pemerintah pusat kepada daerah.
Ketergantungan pemerintah daerah oleh dana subsidi pemerintah pusat akan menyebabkan
daerah tersebut tidak atau bahkan gagal berkembang akibat dari terlalu sempitnya ruang gerak
untuk mengimplementasikan konsep-konsep yang telah disusun sebelumnya. Pengalaman selama
ini menunjukan bahwa hampir di semua daerah, prosentase PAD relatif kecil terhadap total
APBD (Abilawa & Marlina, 2019). Ke depan, daerah tidak bisa lagi hanya mengandalkan
pendanaan dari APBN, APBD dan perbankan saja. Namun, terobosan pendanaan dari pasar
modal harus mulai dipertimbangkan. Pasalnya, potensi dana masyarakat di daerah saat ini masih
cukup tinggi. Hal ini terlihat dari dana simpanan di Bank Pembangunan Daerah per Agustus
2020 tumbuh sekitar 12% secara bulanan menjadi Rp625 triliun. Daerah dituntut lebih kreatif
dan inovatif untuk bisa menggiring dana simpanan ke investasi langsung untuk membiayai
pembangunan di daerah (Sumarlin, 2021).

Sebagai pusat pemerintahan, bisnis, politik, dan budaya, DKI Jakarta adalah kantor pusat
bagi BUMN, perusahaan swasta nasional maupun perusahaan multinasional. Jakarta merupakan
pusat aktivitas ekonomi dan keuangan nasional maupun internasional di mana banyak Investasi
Asing/Foreign Direct Investment (FDI) di berbagai sektor yang diinvestasikan di Jakarta, seperti
sektor transportasi, pergudangan, telekomunikasi, pertambangan, listrik, gas dan air, perumahan,
industri dan perkantoran, makanan dan industri lainnya. Optimalisasi investasi daerah di DKI
Jakarta tertuang dalam misi kedua RPJMD DKI Jakarta Periode 2017-2022 yang berbunyi:

Menjadikan Jakarta kota yang memajukan kesejahteraan umum melalui


terciptanya lapangan kerja, kestabilan dan keterjangkauan kebutuhan
pokok, meningkatnya keadilan sosial, percepatan pembangunan
infrastruktur, kemudahan investasi dan berbisnis, serta perbaikan
pengelolaan tata ruang.

Oleh karena itu, fokus dalam urusan penanaman modal DKI Jakarta terletak pada pertumbuhan
investasi. Di era perdagangan bebas, pemerintah dituntut untuk lebih kompetitif dalam
menggiatkan investasi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya memacu pertumbuhan
investasi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menyerap tenaga kerja dan
memberdayakan sumber daya lokal, meningkatkan pelayanan publik, serta melaksanakan alih
teknologi. Realisasi nilai investasi di Provinsi DKI Jakarta periode 2013-2017 digambarkan
sebagai berikut:

Jumlah nilai investasi di DKI Jakarta pada tahun 2013 tercatat sebesar Rp 30,194 Triliun. Pada
tahun 2014 nilai investasi PMDN berskala nasional mengalami peningkatan hingga mencapai
Rp66,17 Triliun, namun pada tahun 2015 mengalami penurunan hingga mencapai RP60,75
Triliun. Nilai investasi kembali turun di tahun 2016 menjadi Rp58,09 Trilun. Pada tahun 2017,
nilai investasi kembali meningkat menjadi Rp81,5 Triliun. Berdasarkan paparan tersebut, penting
dilakukan kajian mengenai investasi dan pinjaman daerah DKI Jakarta sebagai alternatif sumber
pembiayaan pembangunan daerah.

Referensi

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 tahun 2018 tentang RPJMD
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017-2022

Sumarlin, A. W. (2021). Harapan Baru Iklim Investasi Daerah. Diakses pada 19 November 2021
dari: https://ekonomi.bisnis.com/read/20210104/9/1338300/harapan-baru-iklim-investasi-daerah

Dwiyono. (2009). Analisis Pinjaman Daerah Sebagai Salah Satu Alternatif Pembiayaan
Pembangunan Daerah Studi Kasus Di Pemerintah Kabupaten Sleman. Skripsi

Abilawa, D. B., & Marlina, N. (2019). Strategi Investasi Dalam Pembangunan Daerah
Kabupaten Banyuwangi. Journal of Politic and Government Studies, 8(4), 121-130

Anda mungkin juga menyukai