Anda di halaman 1dari 4

Komentar Netizen Perkeruh Diplomasi Publik Vanuatu-RI

Yohanes Maharso Joharsoyo / 190907136

Sepekan terakhir, ruang publik dipadati dengan berbagai pembahasan mengenai negara
Vanuatu. Negara kecil di Pasifik Selatan ini mendadak menjadi perbincangan publik setelah
Perdana Menteri Vanuatu, Bob Loughman, menyinggung isu pelanggaran HAM di Papua dalam
Sidang Umum PBB. Menurut Loughman, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia
kepada masyarakat asli Papua Barat terus dilakukan hingga saat ini.

Pernyataan Vanuatu mengenai isu pelanggaran HAM di Papua, tidak hanya terjadi satu
kali saja. Beberapa tahun terakhir, Negara Vanuatu secara konsisten menyerukan isu ini dalam
berbagai forum internasional. Bahkan, Vanuatu dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap
gerakan Papua Merdeka.

Pernyataan Perdana Menteri Vanuatu ini ditanggapi diplomat muda Indonesia di PBB,
Silvany Austin Pasaribu. Silvany menggunakan hak jawab dengan menyampaikan bahwa
Vanuatu bersikap berlebihan dengan terlalu mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
Tanggapan tegas dari diplomat muda Indonesia ini, sebenarnya sudah cukup mampu
menjungkirbalikkan tuduhan Vanuatu terhadap Indonesia. Setidaknya, negara-negara PBB
lainnya akan berfikir dan tidak percaya begitu saja pada tuduhan itu.

Akan tetapi, tanggapan tegas Silvany dalam sidang umum PBB, ternyata belum cukup
membalaskan kemarahan masyarakat Indonesia pada Vanuatu. Netizen Indonesia berbondong-
bondong menyerang berbagai media sosial Vanuatu. Salah satu akun media sosial yang diserang
adalah Facebook dan Instagram milik Kantor Pariwisata Vanuatu.

Sayangnya, berbagai tanggapan netizen di kolom komentar Facebook dan Instagram


Vanuatu ini, sangat rasis, seksis, dan menghina budaya Vanuatu. Alih-alih mempertahankan citra
diri Indonesia yang coba dijatuhkan Vanuatu, netizen Indonesia malah semakin meyakinkan
dunia bahwa Indonesia sangat rasis. Citra mengenai Indonesia yang bertoleransi tinggi di mata
dunia, berpotensi luntur. Parahnya, komentar netizen ini juga berpotensi untuk memperkeruh
diplomasi publik yang mulai dirajut oleh para diplomat kita dalam beberapa tahun terakhir.
Sebelum kita melihat bentuk-bentuk diplomasi publik Vanuatu-RI yang telah terjalin
beberapa tahun terakhir, kita perlu menyamakan persepsi mengenai diplomasi publik. Menurut
Mcphail, diplomasi publik adalah proses global untuk mempromosikan kepentingan nasional
melalui kegiatan menginformasikan, memengaruhi, dan memahami publik global. Komunikasi
dua arah dan pemahaman yang sama antar dua pihak merupakan kunci dalam diplomasi publik.

Di tengah berbagai isu separatisme yang gencar dituduhkan Vanuatu kepada Indonesia,
diplomasi publik Vanuatu-RI sebenarnya sudah mulai dirajut beberapa tahun terakhir ini.
Diplomasi publik dilakukan untuk meluruskan kesalahan persepsi Vanuatu dan juga publik
internasional.

Diplomasi publik Indonesia dilakukan melalui pendekatan dengan memanfaatkan


instumen kerja sama di bidang ekonomi, teknologi, pelatihan, beasiswa pendidikan,
pembangunan, dan lain-lain. Salah satu bentuk konkret diplomasi publik yang nyata yaitu
bantuan luar negeri senilai USD 2 juta yang diberikan Indonesia ketika Vanuatu terkena dampak
yang cukup parah dari Badai Pam Pam di tahun 2015.

Selain pendekatan tersebut, Indonesia juga melakukan diplomasi publik dengan


menanggapi secara langsung berbagai isu mengenai separatisme yang dialamatkan pada
Indonesia. Terdapat beberapa diplomasi publik Indonesia yang secara langsung menanggapi isu
mengenai separatisme.

Pertama, dalam sidang umum PBB, diplomat Indonesia setiap tahunnya selalu
menegaskan dan membantah tuduhan Vatuatu dengan menyatakan bahwa tuduhan itu tanpa
bukti dan bersifat politis. Kedua, Kementrian Luar Negeri mengeluarkan sebuah laporan yang
berjudul 'No Genocide in West Papua' pada tahun 2016. Laporan ini bertujuan untuk
menunjukkan bagaimana kondisi masyarakat Papua dan pembangunan yang ada. Ketiga,
Indonesia memberikan penjelasan kepada Vanuatu yang menganggap hanya Papua memiliki ras
yang sama, yaitu Melanesia. Indonesia menegaskan bahwa ras Melanesia di Indonesia tidak
hanya orang Papua, tetapi ada juga etnis Maluku dan Timor.

Meskipun demikian, berbagai diplomasi publik yang telah dilakukan Indonesia ini,
rupanya belum berhasil. Vanuatu masih konsisten mengangkat isu separatisme dalam berbagai
forum internasional hingga saat ini. Semestinya, kita perlu segera merefleksikan kekurangan
diplomasi publik yang selama ini kita lakukan.

Sayangnya, alih-alih merefleksikan kekurangan diplomasi publik Vanuatu-RI, netizen


Indonesia malah semakin memperkeruh diplomasi publik Vanuatu-RI. Keadaan rasisme yang
dituduhkan Vanuatu kepada Indonesia seakan ditunjukkan secara gamblang oleh netizen melalui
berbagai komentar rasisme di media sosial Vanuatu. Hal ini memberikan peluang kepada publik
Internasional untuk berfikir bahwa pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua memang
benar-benar terjadi di Indonesia.

Aksi reaktif netizen Indonesia yang sangat ceroboh dan tidak elegan ini, tentu sangat
disayangkan dalam diplomasi publik Vanuatu-RI. Usaha keras para diplomat Indonesia untuk
memperjuangkan kepentingan nasional dengan cara-cara yang elegan, seakan tercoreng dengan
berbagai komentar rasisme dari netizen.

Padahal, di era globalisasi ini semestinya media sosial dapat digunakan sebagai salah satu
sarana bagi setiap orang untuk melakukan diplomasi publik. Diplomasi publik yang secara
sederhana dapat dilakukan netizen Indonesia di media sosial diantaranya menunjukkan toleransi
dan penghargaan akan masyarakat Papua, menunjukkan sikap perjuangan untuk
mempertahankan kesatuan bangsa, dan juga menunjukkan pembangunan di Papua yang maju
dengan sangat pesat.

Menurut saya, jika diplomasi publik yang saya contohkan sebelumnya benar-benar
dilakukan masyarakat Indonesia, ini merupakan lembar baru diplomasi publik Vanuatu-RI.
Diplomasi publik Vanuatu-RI yang selama ini hanya terbatas antar organisasi pemerintahan saja,
sudah semestinya dilakukan juga oleh masyarakat Indonesia melalui berbagai instrument.
Dengan demikian, harapannya diplomasi publik Vanuatu-RI akan semakin membaik.
DAFTAR PUSTAKA

McPhail, T. (2014). Global Communication Theories, Stakeholders and Trends. Fourth (4th) Ed.
Willey-Blackwell: West Sussex (Wiley Vital Source)

Sabir, A. (2018). Diplomasi Publik Indonesia terhadap Vanuatu dalam Upaya Membendung
Gerakan Separatisme Papua. Jurnal Hubungan Internasional, 11(1), 91-108.

Utomo, A. (2020, September 30). Vanuatu Tanggapi Komentar Rasis dari Indonesia: Terlihat
Terkoordinasi Halaman all. Retrieved December 15, 2020, from
https://www.kompas.com/global/read/2020/09/30/163321370/vanuatu-tanggapi-
komentar-rasis-dari-indonesia-terlihat-terkoordinasi?page=all

Anda mungkin juga menyukai