Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

KIMIA LINGKUNGAN

KIMIA TOKSIKOLOGI

KELOMPOK II

1. LALU ARJU ARIA YUSMA (E1M019042)

2. NADIRATUL KHAIRAH (E1M019056)

3. RIEKE OKTAVIA FANFIANA (E1M019074)

4. SPIR SENYUM REKASAWIJI (E1M019084)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nyalah,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kimia Toksikologi” sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. Kami menyadari bahwa yang diungkapkan dalam
makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan
yang dimiliki oleh kami, sehingga akan menjadi suatu kehormatan besar bagi kami apabila
mendapatkan kritikan dan saran yang membangun makalah ini sehingga selanjutnya akan
lebih baik dan sempurna. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
mata kuliah Kimia Lingkungan pada program studi pendidikan kimia Unversitas Mataram.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bermanfaat bagi semua
pihak dan sebagai media pembelajaran kimia lingkungan khususnya dalam segi teoritis
sehingga dapat membuka wawasan ilmu pengetahuan serta akan menghasilkan yang lebih baik
di masa yang akan datang.

Mataram, 31 Agustus 2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia
(Casarett and Doulls, 1995). Selain itu toksikologi juga mempelajari atau kerusakan
(cedera) pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh suatu
materi substansi (energy), mempelajari racun, tidak saja efeknya, tetapi juga
mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja kimia yang
merugikan terhadap organisme. Banyak sekali peran toksikologi dalam kehidupan
sehari-hari, tetapi bila dikaitkan dengan lingkungan dikenal istilah toksikologi
lingkungan dan ekotoksikologi.

Toksikologi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik
yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan menimbulkan pencemaran lingkungan
(Cassaret, 2000) dan Ekotoksikologi adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan
fisik pada mahluk hidup, khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem,
termasuk jalan masuknya agen dan interaksi dengan lingkungan (Butler, 1978). Dengan
demikian ekotoksikologi merupakan bagian dari toksikologi lingkungan. Adanya
proses modernisasi yang akan menaikan tingkat konsumsi masyarakat sehingga
produksi juga akan meningkat dan akan mengakibatkan industrialisasi serta
penggunaan energi akan meningkat yang tentunya akan meningkatkan resiko
toksikologis.

Proses industrialisasi akan memanfaatkan bahan baku kimia, fisika, biologi


yang akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair, dan padat yang meningkat.
Buangan ini tentunya akan menimbulkan perubahan kualitas lingkungan yang
mengakibatkan resiko pencemaran, sehingga resiko toksikologi juga akan meningkat.
Oleh karena itulah perlu adanya perhatian khusus terhadap toksikologi itu sendiri, maka
dari itu kami melakukan pembahasan yang lebih mendalam tentang toksikologi.

Secara farmakologis, obat menawarkan terapi lengkap dengan paket sifat-sifat


kimia dan karakteristiknya, mekanisme tindakan, respon fisiologis terhadap obat, dan
penggunaannya secara klinis. Farmakologi bersimpangan dengan toksikologi saat
respon fisiologis terhadap obat menyebabkan terjadinya efek samping. Toksikologi
sering dianggap sebagai ilmu yang mempelajari tentang racun atau keracunan, namun
toksikologi ini mengembangkan suatu definisi yang ketat sehubungan dengan masalah
racun atau keracunan tersebut. Toksikologi adalah cabang ilmu yang mempelajari
segala hal yang berkaitan dengan zat-zat kimia(racun), tidak hanya berkaitan dengan
sifat-sifat zat kimia saja namun juga mempelajaribagaimana pengaruh zat kimia
tersebut di dalam tubuh atau dikenal dengan istilah xenobioti(xeno = asing).Menurut
Casarett and Doulls, 1995,Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari
bahan kimia.Selain itu toksikologi juga mempelajari jelas/kerusakan/ cedera pada
organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh suatu materi
substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme
terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja kimia yang merugikan
terhadap organisme. Banyak sekali peran toksikologi dalam kehidupan sehari-hari
tetapi bila dikaitkan dengan lingkungan dikenal istilah toksikologi lingkungan dan
ekotoksikologi.

Racun adalah setiap zat, termasuk obat yang memiliki kapasitas membahayakan
organisme. Paracelsus (1493-1541) seorang dokter pada masa Renaissance
mendefinisikan istilah racun dengan sebuah pertanyaan "Apa ada yang bukan termasuk
racun?, pada dasarnya semua hal/zat adalah racun dan tidak ada satu zat pun yang tidak
dapat menyebabkan keracunan. Dosislah yang semata-mata membedakan suatu zat itu
racun atau bukan". Keracunan menunjukan adanya efek fisiologis yang merusak akibat
paparan zat atau obat tertentu. Jadi secara umum dapat dinyatakan bahwa semua obat
adalah racun yang potensial, dosis, kondisi individu, lingkungan dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan gen yang akan berkontribusi menentukan apakah obat tersebut
memberikan efek racun atau tidak.

Beberapa senyawa kimia secara inheren dapat menjadi racun, seperti timah,
yang tidak diketahui bagaimana peran fisiologisnya dalam tubuh namun dapat
menyebabkan cedera neural bahkan pada tingkat paparan yang sangat rendah.
Kebanyakan obat-obatan adalah racun pada ambang batas tertentu, pada dosis terapi
obat memberikan efek yang menguntungkan, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dapat
menyebabkan keracunan. Sebagai contoh, besi merupakan nutrisi yang penting untuk
sintesis heme dan berbagai fungsi fisiologis enzim, tetapi over dosis besi sulfat dapat
menyebabkan disfungsi berbagai organ yang mengancam jiwa.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan pengertian Toksikologi?
2. Jelaskan jenis-jenis efek toksik!
3. Jelaskan fase kinetik dan fase dinamis beracun dalam tubuh!
4. Jelaskan respon fisiologis terhadap racun!
5. Analisis penyebab terjadinya Teratogenesis, Mutagenesis, dan Karsinogenesis!
6. Analisis toksisitas logam, senyawa anorganik, dan senyawa organik!

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian Toksikologi.
2. Mengetahui jenis-jenis efek toksik.
3. Mengetahui fase kinetik dan fase dinamis beracun dalam tubuh.
4. Mengetahui respon fisiologis terhadap racun.
5. Mengetahui penyebab terjadinya Teratogenesis, Mutagenesis, dan
Karsinogenesis.
6. Mengetahui toksisitas logam, senyawa anorganik, dan senyawa
organik.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TOKSIKOLOGI
Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang
racun. Dan racun dapat didefinisikan sebagai zat yang dapat menyebabkan efek
yang berbahaya bagi makhluk hidup; racun merupakan zat yang bekerja di
dalam tubuh secara kimiawi dan fisiologis yang dalam dosis toksik akan
menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian. Sifat bahan
kimia dari racun apabila masuk ke jaringan tubuh manusia akan mampu
merusak sel darah merah dan sistem saraf. Mengikuti postulat Paracelsus, suatu
zat dikatakan beracun atau tidak bergantung pada seberapa banyak bahan atau
zat tersebut. Sehingga di dalam toksikologi industri yang penting adalah
menyatakan seberapa banyaknya sebagai taksiran beracun tidaknya suatu zat
tertentu. Toksikologi juga mencakup studi mengenai efek-efek berbahaya yang
disebabkan oleh fenomena fisik (Hodgson, 2004: 3).

Toksikologi adalah studi mengenai efek yang tidak diinginkan dari zat-
zat kimia terhadap organisme hidup. Jadi, kalau dilihat dari definisi tersebut
tidak perlu lagi kata kimia dituliskan sesudah toksikologi seperti yang dituliskan
dalam judul makalah ini, meskipun zat toksik bisa juga berasal dari tumbuhan
dan binatang.

Gabungan antara berbagai efek potensial yang merugikan serta


terdapatnya keanekaragaman bahan kimia dilingkungan membuat toksikologi
sangat luas cakupannya. Toksikologi meliputi penelitian toksisitas bahan-bahan
kimia yang digunakan, misalnya:(1). Dibidang kedokteran untuk tujuan
diagnostik, pencegahan, dan terapeutik, (2). Dibidang industri makanan sebagai
zat tambahan lansung maupun tidak langsung. (3). Sebagai pestisida , zat
pengatur pertumbuhan, penyerbuk buatan, dan (4). Dibidang industry kimia
sebagai pelarut, reagen, dan sebagainya.

Pencegahan keracunan memerlukan perhitungan terhadap toksisitas


(toxicity), hazard (bahaya), risk (resiko), dan safety (keamanan). Hazard zat
kimia berarti kemungkinan zat kimia tersebut membuat cedera, sedangkan
dalam bahasa Indonesia hazard diterjemahkan sebagai “bahaya”. Hazard
berbeda pengertiannya dengan toksisitas, yang berarti deskripsi dan
kuantifikasi sifat-sifat toksik suatu zat kimia. Hazard dapat berbeda tergantung
cara pemaparan zat kimia tersebut. Zat X dalam bentuk cairan misalnya akan
lebih berbahaya (hazardous) daripada bentuk butiran karena lebih mudah
menempel dikulit dan diserap. Suatu zat kimia dalam bentuk gas akan
menimbulkan hazard lebih besar daripada bentuk cair, karena dapat menyebar
luas di udara dan mengenai banyak orang sekaligus. Namun, bila gas disimpan
dalam tangki dengan baik dan diruang sejuk maka hazard akan menjadi lebih
kecil.

Risk didefinisikan sebagai besarnya kemungkinan suatu zat


kimia untuk menurunkan keracunan. Hal ini terutama tergantung dari besarnya
dosis yang masuk dalam tubuh. Peningkatan dosis ditentukn oleh tingginya
konsentrasi, lama dan seringnya pemaparan serta cara masuknya zar tersebut
masuk kedalam tubuh. Semakin besar pemaparan terhadap zat kimia maka
semakin besar pula resiko keracunan.

Keamanan suatu xenobiotik perhitungannya sukar dipahami. Hal


ini disebabkan perlu memperhitungkannya keamanan dan menerapkan faktor
keamanan, yang kadang kala merupakan estimasi yang sering berlebihan.
Manusia tidak dapat dipakai sebagai hewan percobaan untuk menilai xenobiotik
seperti biasanya yang dilakukan terhadap obat karena tidak etis. Oleh karena
itu,terpaksa perhitungan harus didasarkan estimasi toksisitas dan bahaya
terhadap suatu zat kimia melalui data yang diperoleh melaui hewan percobaan.
Karena ada perbedaan antara sifat manusia dan hewan maka percobaan harus
memperhitungkan faktor keamanan yang menurut consensus ilmiah sebesar
100. Hal ini menyebabkan diterimanya standar pemaparan seperti: Acceptable
Daily Intake (ADI), Tolerable Weekly Intake ( TWI), Maximal Allowable
Concentration, Tolerence Level, dan sebagainya.

Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai


kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai
bahan kimia terhadap makhluk hidup dan system biologik lainnya. Ia dapat juga
membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut
sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi. Toksikologi
merupakan studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zatzat kimia
terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian secara
kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang di
timbulkannya.

Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak
akan dihasilkan oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk
biotransformasinya mencapai tempat yang sesuai di dalam tubuh pada
konsentrasi dan lama waktu yang cukup untuk menghasilkan manifestasi toksik.
Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi
pemaparan (pemajanan) terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk ke
dalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan. Pemaparan bahan-bahan
kimia terhadap binatang percobaan biasanya dibagi dalam empat kategori: akut,
subakut, subkronik, dan kronik. Untuk manusia pemaparan akut biasanya terjadi
karena suatu kecelakaan atau disengaja, dan pemaparan kronik dialami oleh
para pekerja terutama di lingkungan industriindustri kimia.

Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme dan


efek dari dua atau lebih bahan kimia yang diberikan secara bersamaan akan
menghasilkan suatu respons yang mungkin bersifat aditif, sinergis, potensiasi,
dan antagonistik. Karakteristik pemaparan membentuk spektrum efek secara
bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal dengan hubungan
dosis-respons. Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan
diartikan sebagai zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap
mekanisme biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu
senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”,
sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan
terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan.

B. JENIS-JENIS ATAU KLASIFIKASI TOKSIKOLOGI

(BAHAN TOKSIK DAN PEMAPARAN)

1. Jenis-jenis keracunan dapat dibagi atas :


a. Cara terjadinya
• Self poisoning

Pada keadaan ini pasien memakan obat dengan dosis yang


berlebih tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tak
membahayakan. Pasien tidak bermaksud bunuh diri tetapi hanya
untuk mencari perhatian saja.

• Attempted Suicide

Pada keadaan ini pasien bermaksud untuk bunuh diri, bisa


berakhir dengan kematian atau pasien dapat sembuh bila salah
tafsir dengan dosis yang dipakai
• Accidental poisoning

Keracunan yang merapukan kecelakaan, tanpa adanya factor


kesengajaan

• Homicidal poisoning

Keracunan akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan


sengaja meracuni oorang lain

b. Mula waktu terjadi


• Keracunan kronik

Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama setelah


pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setalah pemajanan
brkali-kali dalam dosis relative kecil cirri khasnya adalah zat
penyebab diekskresikan 24 jam lebih lama dan waktu paruh
lebih panjang sehingga terjadi akumulasi.
• Keracunan akut

Biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu, sering


mengenai banyak orang (pada keracunan dapat mengenai
seluruh keluarga atau penduduk sekampung ) gejalanya seperti
sindrom penyakit muntah, diare, konvulsi dan koma.
c. Menurut alat tubuh yang terkena

Pada jenis ini, keracunan digolongkan berdasarkan orang yang


terkena contohnya racun hati, racun ginjal, dan racun jantung.

d. Menurut jenis bahan kimia


Golongan bahan kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat toksis
yang sama, biasanya golongan alcohol, fenol, logam berat,
organoklorin dan sebagainya.
2. Klasifikasi Bahan Toksik

Bahan-bahan toksik dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara,


tergantung dari minat dan tujuan pengelompokkannya. Sebagai contoh
pengklasifikasian berdasarkan:

Sejumlah klasifikasi bahan-bahan toksik:

a. Berdasarkan organ targetnya: hati, ginjal, sistem hematopoetik, dlsb.


b. Berdasarkan penggunaannya: pestisida, solven/pelarut, zat aditif
makanan, dll.
c. Berdasarkan sumbernya: toksin tumbuhan, zootoksin, polutan,
kontaminan, dll.
d. Berdasarkan efeknya: kanker, mutasi, kerusakan hati, dll.
e. Berdasarkan keadaan fisiknya: gas, debu, cair logam-logam, radiasi,
panas, getaran, dll.
f. Berdasarkan keperluan labelnya: mudah meledak, mudah terbakar,
menyebabkan iritasi, radioaktif, mudah menyala, oksidiser, dll.
g. Berdasarkan kandungan kimianya: aromatic amine, halogenated
hydrocarbon, dll.
h. Berdasarkan mekanisme biokimiawi: sulfhydril inhibitor, prosedur
methemoglobin.
3. Karakteristik Pemaparan

Efek merugikan (toksik) pada sistem biologis dapat disebabkan oleh


bahan kimia yang mengalami biotransformasi dan dosis serta susunannya
cocok untuk menimbulkan keadaan toksik. Respon terhadap bahan toksik
tersebut antara lain tergantung kepada sifat fisik dan kimia, situasi paparan,
kerentanan sistem biologis, sehingga bila ingin mengklasifiksikan toksisitas
suatu bahan harus mengetahui macam efek yang timbul dan dosis yang
dibutuhkan serta keterangan mengenai paparan dan sasarannya.

Perbandingan dosis lethal suatu bahan polutan dan perbedaan jalan


masuk dari paparan sangat bermanfaat berkaitan dengan absorbsinya. Suatu
bahan polutan dapat diberikan dalam dosis yang sama tetapi cara masuknya
berbeda. Misalnya bahan polutan pertama melalui intravena, sedangkan
bahan lainnya melalui oral, maka dapat diperkirakan bahwa bahan polutan
yang masuk melalui intravena memberi reaksi cepat dan segera. Sebaliknya
bila dosis yang diberikan berbeda maka dapat diperkirakan absorbsinya
berbeda pula, misalnya suatu bahan masuk kulit dengan dosis lebih tinggi
sedangkan lainnya melalui mulut dengan dosis yang lebih rendah maka,
dapat diperkirakan kulit lebih tahan terhadap racun sehingga suatu bahan
polutan untuk dapat diserap melalui kulit diperlukan dosis tinggi.

Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui karakteristik lengkap


tentang bahaya potensial dan toksisitas dari suatu bahan kimia tertentu perlu
diketahui tidak hanya tipe efek yang dihasilkan dan dosis yang yang
diperlukan untuk menghasilkan efek tersebut, tetapi juga informasi
mengenai sifat bahan kimianya sendiri, pemaparannya, dan subjek. Faktor
utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi
pemaparan terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk kedalam tubuh
dan frekuensi pemaparan.
4. Jalur Masuk dan Tempat Pemaparan
Jalur masuk bahan toksik untuk dapat masuk kedalam tubuh
manusia adalah melalui saluran pencernaan atau gastro intestinal
(menelan/ingesti), paru-paru (inhalasi), kulit (topikal), dan jalur parental
lainnya (selain saluran usus/intestinal). Jalur lain tersebut diantaranya
daalah intra muskuler, intra dermal, dan sub kutan. Jalan masuk yang
berbeda ini akan mempengaruhi toksisitas bahan polutan. Bahan paparan
yang berasal dari industri biasanya masuk ke dalam tubuh melalui kulit dan
terhirup, sedangkan kejadian “keracunan” biasanya melalui proses tertelan.
Bahan toksik umumnya menyebabkan respon yang paling cepat apabila
diberikan melalui jalur intravena. Di samping itu, jalur masuk dapat
mempengaruhi toksisitas dari bahan kimia. Sebagai contoh, suatu bahan
kimia yang didetoksifikasi di hati di harapkan akan menjadi kurang toksik
bila diberikan melalui sirkulasi sitematik (inhalasi). Pemaparan bahan-
bahan toksik di lingkungan industri seringkali sebagai hasil dari pemaparan
melalui inhalasi dan topical, sedangkan keracunan akibat kecelakaan atau
bunuh diri seringkali terjadi melalui ingesti oral.

D. FASE KINETIK DAN FASE DINAMIS BERACUN DALAM


TUBUH

Terdapat tiga fase dalam proses toksik senyawa racun di dalam lingkungan,
yakni (1) fase eksposur/pendedahan (exposure phase), (2) fase kinetik (kinetic phase),
(3) fase dinamik (dynamic phase). Fase pendedahan adalah fase dimana zat racun mulai
keluar dari sumbernya. Fase ini meliputi cara bagaimana lingkungan terkontaminasi
oleh bahan pencemar, termasuk kondisi sumber pencemar (racun). Fase kinetik
didefinisikan sebagai fase ketika zat racun mulai menyebar pada medium fisik, seperti
tanah, air dan udara. Fase dinamik adalah fase dimana zat racun sudah mulai
berinteraksi dengan traget serta menimbulkan efek terhadap target atau reseptor (flora,
fauna, ataupun manusia). Adapun parameter tiap fasenya adalah:

1. Fase Eksposur
a. Apakah sumber racun tersebar atau tidak.
b. Kondisi sumber tercemar (static sources: industri dan pemukiman
penduduk; mobile sources: transportasi—e. mobil, motor, kereta
api, bus, kapal laut, dll.).
c. Jenis emisi (zat yang dikeluarkan).
d. Jumlah emisi—termasuk frekuensi dan luas yang tertutup oleh
emisi.
2. Fase Kinetik (Beberapa kondisi yang dialami polutan pada fase
kinetik)
a. Pengikatan di dalam tanah.
b. Tingkat kelarutan di dalam air (pelarutan bahan pencemar).
c. Konversi senyawa secara fisiko-kimiawi.
d. Konversi oleh biologis.
e. Parameter iklim/cuaca (peruraian polutan oleh alam)

3. Fase Dinamik (Meliputi efek toksisitas [akut dan kronik] dari bahan
pencemar)
a. Mengenai efek toksisitasnya.
b. Penyerapan polutan oleh organisme.
c. Perpindahan polutan dalam tubuh organisme.
d. Transformasi polutan dalam tubuh organisme.
e. Pengeluaran polutan dari tubuh organisme.

E. RESPON FISIOLOGIS TERHADAP RACUN

Efek toksik dalam sistem biologis tidak akan terjadi jika bahan kimia tersebut
tidak mencapai tempat yang sesuai didalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu
yang cukup untuk menghasilkan manifestasi toksik. Terjadi tidaknya respons toksik
tergantung pada sifat kimia dan fisik dari bahan tersebut, situasi paparan, dan
kerentanan sistem biologis dari subjek. Oleh karena itu untuk mengetahui karakteristik
lengkap tentang bahaya potensial dan toksisitas dari suatu bahan kimia tertentu, maka
perlu diketahui tidak hanya efek-efek dan dosis yang diperlukan untuk mengahsilkan
efek tersebut, tetapi juga informasi mengenai sifat bahan kimianya sendiri,
pemaparannya, dan subjeknya. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang
berhubungan dengan situasi pemaparan terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur
masuk (route of entry) kedalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan.

Ada 3 jalur utama bahan toksik masuk kedalam tubuh manusia yaitu melalui
saluran pencernaan atau makanan (gastro intestinal), jalur pernapasan (inhalasi) dan
melalui kulit (topikal). Bahan toksik masuk kedalam saluran pencernaan umunya
melalui makanan atau minuman dan kemudian diserap didalam lambung. Bahan toksik
yang masuk melalui saluran pernapasan menuju paru-paru akan diserap oleh alveoli
paru-paru. Pada umumnya kulit lebih impermeabel dan karenanya merupakan barier
(penghalang) yang baik bagi bahan toksik masuk kedalam tubuh. Namun beberapa
bahan kimia dapat diserap oleh kulit dalam jumlah yang cukup banyak sehingga
menimbulkan efek sistemik. Suatu zat kimia dapat diserap lewat folikel rambut atau
lewat sel-sel kelenjar keringat. Setelah bahan toksik tersebut diserap dan masuk
kedalam darah, kemudian didistribusikan keseluruh tubuh dengan cepat. Namun
demikian sebagian bahan toksik dapat dikeluarkan oleh mekanisme tubuh secara alami
melalui urine, empedu dan paru-paru. Dan sebagian lagi bisa mengalam
biotransformasi dan bioaktivasi. Yang lebih berbahaya adalah jika terjadi proses
bioaktivasi dimana bahan toksik diubah menjadi bahan yang lebih toksik oleh
metabolisme tubuh.

Karakteristik pemaparan dan spectrum efek secara bersamaan membentuk


hubungan korelasi yang dikenal sebagai hubungan dosis-respons. Respons timbul
karena adanya bahan kimia yang diberikan dan respons berhubungan dengan dosis.
Dalam penggunaan dosis-respon harus ada metode kuantitatif untuk mengukur secara
tepat toksisitas dari suatu bahan kimia. Dosis-respons dinyatakan dengan suatu indek
Lethal Dosis (LD50) dan Lethal Concentration (LC50). LD50 adalah dosis tunggal dari
suatu zat yang secara statistik diharapkan dapat menyebabkan kematian sebanyak 50%
dari binatang percobaan selama 14 hari paparan. Sebagai contoh LD50 dari Acrylamid
adalah 124 ppm, artinya pada konsentrasi 124 ppm 50% dari binatang percobaan mati
selama masa percobaan 14 hari. Secara lebih spesifik OSHA mendefiniskan LD50 dan
LC50 sebagai berikut:
1. LD50 means lethal dose expressed in mg/kg body mass, which is likely
to cause death within 14 days for 50% of the tested
animals,administrated by mouth or bare skin.
2. LC50 means the lethal concentration expressed in mg/L or mL/m3,
which is likely to cause death within 14 days for 50% of the tested
animals, administrated by inhalation of dusts or mists or vapour.

Bahan kimia yang masuk ke badan dapat mempengaruhi fungsi tubuh manusia
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya gangguan kesehatan atau keracunan, bahkan
dapat menimbulkan kematian. Adapun proses fisiologi yang berlangsung adalah:

1. Penyebaran racun ke dalam tubuh:

Racun masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, misal pada jalan
pencernaan, pernapasan atau mata. Kemudian melalui peredaran darah akhirnya
dapat masuk ke organ-organ tubuh secara sistematik. Organ-organ tubuh yang
biasanya terkena racun adalah paru-paru, hati (hepar), susunan saraf pusat (otak dan
sumsum tulang belakang), sumsum tulang, ginjal, kulit, susunan saraf tepi, dan
darah.
Efek racun pada tubuh juga akan memberikan efek local seperti iritasi, reaksi alergi,
dermatitis, ulkus, jerawat, dan gejala lain. Gejala-gejala keracunan sistematik juga
tergantung pada organ tubuh yang terkena.
2. Fungsi detoksikasi hati (hepar):

Racun yang masuk ke tubuh akan mengalami proses detoksikasi (dinetralisasi)


didalam hati oleh fungsi hati (hepar). Senyawa racun ini akan diubah menjadi
senyawa lain yang sifatnya tidak lagi beracun terhadap tubuh. Jika jumlah racun
yang masuk kedalam tubuh relatif kecil/sedikit dan fungsi detoksikasi hati (hepar)
baik, dalam tubuh kita tidak akan terjadi gejala keracunan. Namun apabila racun
yang masuk jumlahnya besar, fungsi detoksikasi hati (hepar) akan mengalami
kerusakan.

F. EFEK TOKSIK
Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran, maupun mekanisme
kerjanya. Pengertian yang mendalam mengenai ciri-cirinya berguna untuk menilai
bahayanya bagi kesehatan, dan untuk mengembangkan upaya pencegahan dan terapi.
Semua efek toksik terjadi karena interaksi biokimiawi antara toksikan (dan/atau
metabolitnya) dengan struktur reseptor tertentu dalam tubuh. Struktur itu dapat bersifat
non-spesifik, seperti jaringan yang berkontak langsung dengan bahan korosif. Tetapi
pada umumnya struktur itu spesifik, misalnya struktur subseluler tertentu. Berbagai
struktur, termasuk reseptor dapat juga dipengaruhi. Sifat efek toksik pun dapat berbeda.

Spektrum Efek Toksik


Berbagai jenis efek toksik dapat dikelompokkan menurut organ sasarannya, mekanisme
kerjanya, atau ciri-ciri lain.

1. Efek lokal dan Sistemik


Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan itu
bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh senyawa
kaustik, misalnya pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta iritasi
gas atau uap pada saluran napas. Efek lokal ini menggambarkan perusakan
umum pada sel-sel hidup. Efek sistemik terjadi hanya setelah toksikan diserap
dan tersebar ke bagian lain tubuh. Pada umumnya toksikan hanya
mempengaruhi satu atau beberapa organ saja. Organ seperti itu dinamakan
“organ sasaran”. Kadar toksikan dalam organ sasaran tidak selalu yang paling
tinggi. Contohnya, organ sasaran metil merkuri adalah SSP, tetapi kadar metil
merkuri di hati dan ginjal jauh lebih tinggi. Atau organ sasaran DDT adalah
SSP, tetapi DDT terkumpul di jaringan lemak.
2. Efek berpulih dan Nirpulih
Efek toksik disebut berpulih (reversibel) jika efek itu dapat hilang dengan
sendirinya. Sebaliknya, efek nirpulih (ireversibel) akan menetap atau justru
bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek nirpulih diantaranya
karsinoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati. Beberapa efek digolongkan
nirpulih walaupun kadang dapat hilang beberapa waktu setelah pajanan
toksikan dihentikan. Misalnya efek insektisida golongan penghambat
kolinesterase yang disebut “ireversibel”, karena menghambat aktivitas enzim
untuk jangka waktu yang sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk sintesis
dan mengganti enzim tersebut. Efek toksikan dapat berpulih bila tubuh terpajan
pada kadar yang rendah atau untuk waktu yang singkat. Sementara, efek
nirpulih dapat dihasilkan pada pajanan dengan kadar yang lebih tinggi atau
waktu yang lama.
3. Efek Segera dan Tertunda
Banyak toksikan menimbulkan efek segera, yaitu efek yang timbul segera
setelah satu kali pajanan. Contohnya, keracunan sianida. Sedangkan efek
tertunda timbul beberapa waktu setelah pajanan. Pada manusia, efek
karsinogenik pada umumnya baru nyata jelas 10-20 tahun setelah pajanan
toksikan. Pada hewan pengerat pun dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk
timbulnya efek karsinogenik.
4. Efek Morfologis, Fungsional, dan Biokimia
Efek morfologis berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan mikroskopis pada
morfologi jaringan. Berbagai efek jenis ini, misalnya nekrosis dan neoplasia,
bersifat nirpulih dan berbahaya. Efek fungsional biasanya berupa perubahan
berpulih pada fungsi organ sasaran. Oleh karena itu pada penelitian toksikologi,
fungsi hati dan ginjal selalu diperiksa (misalnya, laju ekskresi zat warna). Oleh
karena efek fungsional biasanya berpulih, sedangkan efek morfologis tidak,
beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui apakah perubahan fungsional
dapat diketahui lebih dini, atau dapat dideteksi pada hewan dalam dosis yang
lebih rendah daripada dosis yang menyebabkan perubahan morfologis.
Walaupun semua efek toksik berkaitan dengan perubahan biokimiawi, pada uji
toksisitas rutin, yang dimaksud dengan “efek biokimiawi” adalah efek toksik
yang tidak menyebabkan perubahan morfologis. Contohnya, penghambatan
enzim kolinesterase setelah pajanan insektisida organofosfat dan karbamat.
5. Reaksi Alergi dan Idiosinkrasi
Reaksi alergi (reaksi hipersensitivitas atau sensitisasi) terhadap toksikan
disebabkan oleh sensitisasi sebelumnya oleh toksikan itu atau bahan yang mirip
secara kimiawi. Bahan kimia itu bekerja sebagai hapten dan bergabung dengan
protein endogen membentuk antigen yang akan merangsang pembentukan
antibodi. Pajanan berikutnya akan menghasilkan interaksi antigen-antibodi
berupa reaksi alergi. Jadi reaksi ini berbeda dengan efek toksik biasa. Pertama,
karena dibutuhkan pajanan awal, dan kedua, karena kurva dosis-respons yang
khas, yang berbentuk sigmoid, tidak muncul pada reaksi alergi. Walaupun
demikian, pada sensitisasi kulit, dapat diperlihatkan adanya dosis ambang untuk
induksi (pajanan awal) maupun untuk pajanan kedua. Pada umumnya, reaksi
idiosinkrasi didasari oleh faktor keturunan yang menyebabkan reaktivitas
abnormal terhadap bahan kimia tertentu. Contohnya, pada orang yang
kekurangan NADH methemoglobinemia reduktase yang sangat peka terhadap
nitrit dan bahan kimia lain sehingga terjadi methemoglobinemia.
6. Respon Bertingkat dan Respon Kuantal
Pengaruh terhadap berat badan, konsumsi makanan, dan pengambatan enzim
merupakan contoh respon bertingkat. Sedangkan mortalitas dan pembentukan
tumor adalah contoh respon kuantal (ada atau tidak sama sekali). Reaksi ini
mengikuti kurva hubungan dosis-respons. Jadi jika dosisnya naik, begitu pula
responsnya, baik dari segi proporsi populasi yang bereaksi, maupun dari segi
keparahan respon bertingkat tadi. Bahkan efek toksik tambahan akan timbul
kalau dosisnya meningkat. Contohnya kekurangan vitamin C akan
mengakibatkan gejala defisiensi, tetapi kelebihan vitamin akan segera dibuang
melalui urin.

Organ Sasaran

a. Kepekaan Organ
Neuron dan otot jantung sangat bergantung pada adenosis trifosfat (ATP), yang
dihasilkan oleh oksidasi mitokondria; kapasitasnya dalam metabolisme
anaerobik juga kecil, dan ion bergerak dengan cepat melalui membran sel. Maka
jaringan itu sangat peka terhadap kekurangan oksigen yang timbul karena
gangguan sistem pembuluh darah atau hemoglobin (misalnya, keracunan CO).
Sel-sel yang membelah cepat, seperti sel-sel di sumsum tulang dan mukosa
usus, sangat peka terhadap racun yang mempengaruhi pembelahan sel.
b. Penyebaran
Saluran napas dan kulit merupakan organ sasaran bagi toksikan yang berasal
dari industri dan lingkungan karena di sinilah terjadi penyerapan. Berdasarkan
satuan berat, volume darah di hati dan ginjal paling tinggi. Akibatnya mereka
paling banyak terpajan toksikan. Lagi pula, fungsi metabolisme dan ekskresi
pada kedua organ ini lebih besar, sehingga keduanya lebih peka terhadap
toksikan.
c. Ambilan Selektif
Beberapa sel tertentu mempunyai afinitas yang tinggi terhadap zat kimia
tertentu. Contohnya, pada saluran napas, sel-sel epitel alveolus tipe I dan II yang
mempunyai sistem ambilan aktif untuk poliamin endogen, akan menyerap
parakuat, yang struktur kimianya mirip. Proses ini dapat menyebabkan
kerusakan jaringan alveoli walaupun parakuat masuk secara oral.
d. Biotransformasi Akibat bioaktivasi, terbentuk metabolit yang reaktif. Proses ini
biasanya membuat sel-sel di dekatnya menjadi lebih rentan. Karena merupakan
tempat utama biotransformasi, hati rentan terhadap pengaruh bermacam-macam
toksikan. Untuk beberapa toksikan, bioaktivasi pada tempat-tempat tertentu
mempengaruhi efeknya. Contohnya, berbagai insektisida organofosfat, seperti
paration. Mereka terutama mengalami bioaktivasi di hati, namun banyaknya
enzim detoksikasi di tempat itu serta banyaknya tempat pengikatan yang reaktif,
mencegah munculnya tanda-tanda keracunan yang nyata. Di sisi lain, jaringan
otak memiliki enzim-enzim bioaktivasi yang jauh lebih sedikit, akan tetapi
karena bioaktivasi tersebut terjadi di dekat tempat sasaran yang kritis, yakni
sinaps, manifestasi toksik yang paling menonjol dalam kelompok toksikan ini
tampak pada sistem saraf.
e. Mekanisme pemulihan Suatu toksikan dapat mempengaruhi organ tertentu
akibat tidak adanya mekanisme pemulihan. Contohnya MNU menyebabkan
berbagai tumor pada tikus terutama di otak, kadang-kadang di ginjal, tetapi tidak
di hati.

G. PENYEBAB TERJADINYA TERATOGENESIS, MUTAGENESIS,


DAN TERATOGENESIS

Kanker tidak dapat berkembang pada sel yang tidak berproliferasi. Oleh karena
itu satu tahap inisiasi saja belum cukup untuk menimbulkan neoplasma. Diperlukan
gena promotor untuk dapat melewati tahap selanjutnya, yaitu tahap promosi. Pada tahap
ini terjadi perubahan siklus sel sehingga sel aktif berproliferasi dengan demikian mutasi
yang terjadi akan tersebar pada sel-sel baru dan terbentuklah jaringan tumor (King,
2000). Pada fase progresi, gena-gena pertumbuhan yang diaktivasi oleh kerusakan
DNA mengakibatkan mitosis dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas.
Tumor menjadi manifers (Tjay dan Rahardja, 2002). Kemudian jaringan asalnya akan
rusak (destruksi) dan pada bagian tubuh lainnya akan membentuk sel anak (metastasis)
(Mutschler, 1999).

1. Teratogenesis

Teratogenesis adalah suatu proses perubahan struktur DNA pada tahap


embrional, sehingga mengakibatkan cacat pada mutasi gena yang spesifik.
Sedangkan tumor terjadi karena mutasi spontan atau pengaruh mutasi sel
somatik dari organisme (Mulyadi, 1997).

Teratogen adalah agen asing yang dapat menyebabkan bayi cacat lahir
akibat terjadinya kelainan perkembangan pada janin selama dalam kandungan.
Teratogen dapat berupa zat kimia, infeksi, bahan asing, atau obat-obatan
tertentu, bahkan penyakit yang dialami pada ibu hamil. Penyebab utama
munculnya teratogenik telah diklasifikasikan disebabkan oleh:

a. Zat beracun. Zat veracun pada manusia berasal dari obat-obatan ketika
dalam masa kehamilan dan berbagai racun yang bersumber dari lingkungan
pada saat kehamilan.
b. Kalium iodida atau suplemen makanan dapat menyebabkan munculnya
teratogenik, dan paparan ini akan menyebabkan terjadinya iritasi ringan dan
harus segera ditangani dengan menggunaka sarung tangan.
c. Infeksi vertikal. Infeksi vertikal ialah infeksi yang disebabkan oleh patogen,
seperti bakteri dan virus, yang penularannya melalui ibu ke anak, ketika
dalam masa kehamilan atau persalinan. Kekurangan nutrisi dapat
menyebabkan risiko infeksi perinatal.
d. Kekurangan nutrisi. Kekurangan nutrisi bisa merupakan kekurangan asam
folat, dan kekurangan asam folat dapat menyebabkan terjadinya spina bifida
pada manusia atau cacat lahir akibat gangguan pada tabung saraf.
e. Pengekangan fisik. Terjadi sindrom potter akibat adanya Oligohidramnion
pada manusia.
f. Kelainan genetik
g. Alkohol. Mengonsumsi alkohol selama masa kehamilan.

2. Mutagenesis

Mutagenesis adalah suatu proses perubahan pada struktur DNA yang


dapat kembali menjadi normal (perubahan yang reversible)

Peristiwa terjadinya mutasi disebut mutagenesis. Makhluk hidup yang


mengalami mutasi disebut mutan dan factor penyebab mutasi disebut mutagen
(mutagenic agent). Perubahan urutan nukleotida yang menyebabkan protein
yang dihasilkan tidak dapat berfungsi baik dalam sel dan sel tidak mampu
mentolerir inaktifnya protein tersebut, maka akan menyebabkan kematian
(lethal mutation). Penyebab mutasi disebut dengan mutagen (agen mutasi).
Kebanyakan mutagen adalah bahan fisika, kimia atau biologi yang memiliki
daya tembus yang kuat sehingga dapat mencapai bahan genetis dalam inti sel.
Contohnya: zat radioaktif, zat kimia yang keras dan virus.

➢ Kesalahan dalam Replikasi DNA

Dilansir dari Understanding Evolution, salah satu penyebab mutasi


adalah kesalahan dalam replikasi DNA. Pada gambar terlihat bahwa
salah satu basa nitrogen hasil replikasi berbeda dengan DNA asalnya,
hal ini terjadi secara tiba-tiba. Jika kesalahan dalam replikasi DNA
adalah mutasi yang disebabkan secara alami dan tiba-tiba, mutasi juga
dapat dipicu dari luar.

Ada beberapa faktor penyebab mutasi (mutagen) dapat kita bedakan menjadi:

• Fisik yaitu suhu, radiasi sinar ultraviolet, alfa, beta, gamma, sinar-X dan
juga radioaktif.
• Kimiawi yaitu asam nitrat, hidroksil amino, kolkisin dan digitonin.
• Biologis yaitu berupa virus.
3. Karsinogenesis

Karsinogenesis adalah suatu proses yang memberikan hasil suatu


transformasi sel normal menjadi sel neoplastik yang disebabkan oleh perubahan
genetik yang menetap atau mutasi (Underwood, 1999). Karsinogenesis dapat
diartikan pula sebagai proses terjadinya kanker merupakan suatu proses
perubahan struktur DNA, senyawa yang bersifat elektrofilik dapat membentuk
ikatan kovalen dengan nukleofilik pada makromolekul (DNA, RNA, protein)
(Mulyadi, 1997).

Karsinogenesis dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu inisiasi dan


promosi yang kemudian dapat diikuti terjadinya tahap progesi dan metastatis
(King, 2000). Pada tahap inisisasi, senyawa karsinogen berikatan dengan
kompleks DNA supressor (Mulyadi, 1997). Pada tahap ini, terjadi pemaparan
sel oleh karsinogen yang dapat berupa virus, bahan kimia maupun radiasi. Di
dalam sel akan terjadi perubahan genetik (mutasi) atau terjadi kekacauan fungsi
dari protein pengatur daur sel. Supressor gena seperti pS3 dan pRb mengalami
mutasi sehingga protein yang terekspresi tidak dapat menjalankan fungsinya.
Dalam hal ini, terjadinya mutasi gena menyebabkan down regulasi atau
inaktivasi total dari protein prosuknya (Teich, 1997).

Karsinogenesis, juga disebut onkogenesis atau tumorigenesis, adalah


proses pembentukan kanker. Proses ini terjadi ketika sel normal berubah
menjadi sel kanker. Karsinogenesis memiliki ciri berupa perubahan di tingkatan
seluler, genetik, dan epigenetik, serta pembelahan sel yang tidak normal.
Pembelahan sel merupakan proses fisiologis yang berlangsung di dalam semua
jaringan. Dalam keadaan normal, terdapat kesetimbangan antara pembelahan
sel baru dengan kematian sel lama (dalam proses apoptosis). Berdasarkan teori
karsinogenesis yang paling banyak diterima (yaitu teori mutasi somatik), mutasi
pada DNA dan epimutasi yang mengakibatkan kanker merusak kesetimbangan
tersebut. Akibatnya, pembelahan sel berlangsung secara tidak terkendali. Hanya
beberapa mutasi yang dapat menyebabkan kanker, sementara sebagian besar
tidak mengakibatkan hal tersebut. Ragam-ragam gen tertentu yang diwarisi
seseorang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kanker. Selain itu,
faktor lingkungan seperti karsinogen dan radiasi dapat menyebabkan mutasi
yang memicu kanker. Ditambah lagi kesalahan secara acak pada proses
replikasi DNA dapat menghasilkan mutasi pemicu kanker. Beberapa waktu
sebelum sel biasa berubah menjadi sel kanker Sebelumnya, biasanya
dibutuhkan serangkaian mutasi menjadi gen tertentu. Sebagai contoh, rata-rata
terdapat 15 "mutasi pendorong" dan 60 mutasi "penumpang" pada kanker usus
besar.

Pada dasarnya karsinogenesis disebabkan oleh adanya perubahan basa


DNA dalam sel target yang biasa disebut mutasi (Susilowati 2010).

H. TOKSISITAS LOGAM, SENYAWA ANORGANIK, DAN


SENYAWA ORGANIK

Toksisitas logam merupakan terjadinya keracunan dalam tubuh manusia yang


diakibatkan oleh bahan berbahaya yang mengandung logam beracun. Zat-zat beracun
dapat masuk ke dalam tubuh manusia menempuh pernapasan, kulit, dan mulut. Pada
umumnya, logam terdapat di dunia dalam bentuk batuan, bijih tambang, tanah, cairan,
dan udara. Macam-macam logam beracun merupakan raksa/merkuri (Hg), kromium
(Cr), kadmium (Cd), tembaga (Cu), timah (Sn), nikel (Ni), arsene (As), kobalt (Co),
aluminium (Al), besi (Fe), selenium (Se), dan zink (Zn). Walaupun kadar logam dalam
tanah, cairan, dan udara rendah, namun dapat meningkat apabila manusia
memanfaatkan produk-produk dan peralatan yang mengandung logam, pabrik-pabrik
yang memanfaatkan logam, pertambangan logam, dan pemurnian logam. Contohnya
penggunaan 25.000-125.000 ton raksa per tahun pada pabrik termometer,
spigmanometer, barometer, baterai, saklar elektrik, dan peralatan elektronik.

Faktor penyebab:

• Tingkatkan Konsumsi dan Banyaknya Logam di Alam


Umumnya, makin tinggi kadar logam yang terdapat di alam, makin tinggi pula
efek keracunan yang ditimbulkan oleh logam tersebut. Contohnya, kadmium
dalam satu dosis tunggal dan besar dapat menginduksi gangguan saluran
pencernaan. Asupan kadmium yang berjumlah lebih kecil dapat mengakibatkan
gangguan fungsi ginjal.
• Bentuk Kimia
Senyawa anorganik merkuri berpengaruh pada ginjal, sedangkan senyawa metil
merkuri dan etil merkuri akan berpengaruh pada susunan saraf. Pada saat ini,
senyawa merkuri bersifat lipofitik, sehingga meracuni darah dan otak. Senyawa
tetraetil timbal juga dapat memengaruhi susunan saraf.
• Kompleks Protein-Logam
Berbagai kompleks protein - logam dibentuk dalam tubuh. Contohnya,
kompleks protein-logam yang dibentuk dengan timbal, bismut, dan raksa-
selenium secara mikroskopik dapat terlihat sebagai badan inklusi dalam sel
yang tercemar logam. Besi dapat bergabung dengan protein untuk membentuk
feritin yang bersifat larut dalam air atau hemosiderin yang tidak larut dalam air.
Kadmium dan beberapa logam lain, seperti tembaga dan zink bergabung dengan
metalotionein, suatu protein dengan bobot molekul rendah. Kompleks protein
kadmium (Cd) tidak begitu beracun, jika dibandingkan dengan Cd2+. Tetapi,
dalam sel tubulus ginjal, kadmium-metalotionein melepaskan Cd2+ dan
menyebabkan keracunan.
• Faktor Usia dan Berat Badan
Pada orang yang usianya muda,seperti anak-anak, biasanya lebih rentan
diserang keracunan logam daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena
kepekaan dan tingkat penyerapan dalam saluran pencernaan pada mereka lebih
besar. Selain itu, pada anak-anak yang mempunyai berat badan sangat kecil,
lebih mudah diserang oleh racun logam. Faktor-faktor diet yang menyebabkan
defisiensi protein, vitamin C, dan vitamin D dapat meningkatkan keracunan
logam. Logam timbal dan merkuri, dapat melintasi plasenta dan memengaruhi
janin.Dari penelitian, bayi yang terkena racun logam dalam kandungan ibunya,
akan dipengaruhi secara berlebihan daripada ibunya

Proses Keracunan Logam Pada Manusia

• Pada Saraf
Uap logam merkuri dan metil merkuri dengan mudah dapat memasuki susunan
saraf dan menambah efek racun. Senyawa merkuri anorganik tidak dapat
memasuki susunan saraf dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga tidak
menimbulkan keracunan (neurotoksik). Senyawa organik timbal bersifat
neurotoksik, sedangkan senyawa timbal anorganik memengaruhi sistem hem.
Sistem hem merupakan sistem yang mengandung zat penting bagi hemoglobin
dan sitokrom. Pada tingkat pemakaian yang tinggi, senyawa-senyawa ini dapat
menambah ensefalopati yang mengakibatkan gangguan fungsi kejiwaan pada
anak-anak kecil, seperti gangguan kesadaran dan kelakuan.Logam lain yang
bersifat neurotoksik adalah tembaga, trietiltimah, emas, litium, dan mangan.
• Pada Ginjal
Sebagai organ ekskresi utama dalam tubuh, ginjal menjadi organ sasaran
keracunan logam. Kadmium memengaruhi sel tubulus proksimal ginjal,
sehingga menyebabkan ekskresi protein molekul kecil, asam amino, dan
glukosa bersama urin. Kadmium terkumpul dalam lisosom sel tubulus
proksimal ginjal. Dalam lisosom, kompleks kadmium melepaskan Cd2+. Ion
kadmium menghambat enzim proteolitik dalam lisosom dan menyebabkan
cedera sel.
• Pada Pernapasan
Sistem pernapasan merupakan organ sasaran utama bagi sebagian besar logam.
Banyaknya logam menyebabkan iritasi dan radang saluran pernapasan, bagian
yang dipengaruhi bergantung pada jenis logam dan tingkat pemakaian. Pada
tingkat pemakaian yang tinggi, kromium memengaruhi lubang hidung, arsen
memengaruhi bronki, dan berilium memengaruhi paru-paru.

Akibat Keracunan Logam

• Karsinogenisitas
Karsinogenisitas merupakan pembengkakan pada jaringan tubuh (tumor).
Tumor diakibatkan oleh peningkatan zat-zat kimia yang beracun. Beberapa
logam bersifat karsinogenik pada manusia dan hewan. Logam-logam tersebut
adalah arsen, kromium, berilium, kadmium, dan sisplatin.
• Gangguan Fungsi Imun
Konsumsi makanan yang mempunyai bahan logam beracun dapat
mengakibatkan penghambatan berbagai fungsi imun. Logam-logam lain, seperti
berilium, kromium, nikel, emas, merkuri, platina, dan zirkonium dapat
menginduksi reaksi hipersensitivitas.

Logam Beracun

• Aluminium (Al)
• Barium (Ba)
• Berilium (Be)
• Kadmium (Cd)
• Merkuri (Hg)
• Besi (Fe)
• Arsene (As)
• Timbal Pb)
• Kromium (Cr)
• Kobalt (Co)
• Nikel (Ni)
• Selenium (Se)
• Zink (Zn)

Bahan kimia umum yang sering menimbulkan keracunan:

• Golongan pestida, yaitu organo klorin, organo fosfat, karbamat, arsenik.


• Golongan gas, yaitu Nitrogen (N2), Metana (CH4), Karbon Monoksida (CO),
Hidrogen Sianida (HCN), Hidrogen Sulfida (H2S), Nikel Karbonil (Ni(CO)4),
Sulfur Dioksida (SO2), Klor (Cl2), Nitrogen Oksida (N2O; NO; NO2), Fosgen
(COCl2), Arsin (AsH3), Stibin (SbH3).
• Golongan metalloid/logam, yaitu timbal (Pb), Posfor (P), air raksa (Hg), Arsen
(As), Krom (Cr), Kadmium (Cd), nikel (Ni), Platina (Pt), Seng (Zn).
• Golongan bahan organic, yaitu Akrilamida, Anilin, Benzena, Toluene, Xilena,
Vinil Klorida, Karbon Disulfida, Metil Alkohol, Fenol, Stirena, dan masih banyak
bahan kimia beracun lain yang dapat meracuni setiap saat, khususnya masyarakat
pekerja industri.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Toksikologi adalah studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-zat kimia
terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian secara kuantitatif
tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang di timbulkannya.
Efek merugikan/ toksik pada sistem biologis dapat disebabkan oleh bahan kimia yang
mengalami biotransformasi dan dosis serta susunannya cocok untuk menimbulkan keadaan
toksik. Respon terhadap bahan toksik tersebut antara lain tergantung kepada sifat fisik dan
kimia, situasi paparan, kerentanan sistem biologis, sehingga bila ingin mengklasifiksikan
toksisitas suatu bahan harus mengetahui macam efek yang timbul dan dosis yang dibutuhkan
serta keterangan mengenai paparan dan sasarannya.

SARAN

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun agar dalam pembuatan
makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta : Andi.
Bird, Tony. 1993. Kimia Untuk Universitas. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Cotton dan Wilkinson . 2009 . Kimia Anorganik Dasar . Jakarta : UI-Press
Darmono.2006. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungannya
Dengan ToksikologiSeyawa Logam . Jakarta . UI-Press
Darmono . 2009 . Farmasi Forensik dan Toksikologi . Jakarta : UI-Press
Alifia, U, 2008. Apa Itu Narkotika dan Napza. Semarang: PT Bengawan Ilmu.
Abdul. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalamProses Penyidikan.
Jakarta: Sagung Seto.
Mun’im Idries. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bina Rupa Aksara
Brady, James. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta : Binaputra
Aksara.
Cotton dan Wilkinson . 2009 . Kimia Anorganik Dasar . Jakarta : UI-Press.
Gunawan, Adi. dan Roeswati. 2004. Tangkas Kimia. Surabaya : Kartika.
Sukartono. 1993. Ilmu Kimia. Jakarta : Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai