Anda di halaman 1dari 7

REVIEW

TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL HI A

TUGAS REVIEW 3

DOSEN PENGAMPU: Bima Jon Nanda. S.IP, MA

Muhammad Yusra. S.IP, MA

OLEH : ANDINI VALENTINA PUTRI (2010853003)

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS ANDALAS
China’s Rise: Offensive or Defensive Realism

Ghazala Yasmin Jalil

Seperti yang kita lihat beberapa tahun terakhir, China bangkit dengan kekuatan besarnya yang dipandang
sebagai ancaman bagi negara-negara besar saingannya, seperti kekuatan Barat terutama Amerika Serikat. Di jurnal
ini disampaikan bahwa ada salah satu ahli yang menganggap kebangkitan China ini juga sebagai ancaman yaitu
Johm Mearsheimer, ia mengatakan bahwa kebangkitan China sebagai ancaman langsung terhadap supremisasi AS.
Mearseimer melalui teori realism ofensif memprediksi bahwa persaingan yang ketat diantara China dan para
persaingnya adalah ancaman perang diantara kekuatan-kekuatan negara yang bersaing. Kemudian makalah ini
membahas teori realsime ofensif Mearsheimer dan mencoba untuk menentukan apakah teori ini dapat menjelaskan
perilaku China dengan kekuatannya yang meningkat. Kemudian jika teori ini tidak dapat dijelaskan, apakah ada
teori alternative yang dapat menjelaskan perilaku China. Hal-hal yang dibahas didalam makalah ini adalah melihat
prinsip dasar teori realism ofensif Mearsheimer, menilai perilaku China sebagai kekuatan yang meningkat dengan
menampilkan unsur-unsur realism ofensif, dan teori lain yang dapat menjelaskan perilaku China.

Hal pertama yang akan dibahas adalah prinsip dasar teori realisme ofensif Mearsheimer. Teori ini berdasar
pada teori yang ada sebelumnya yaitu realism klasik Morgenthaou dan realism defensive Waltz. Mearsheimer
mengambil asumsi yang ddisampaikan Morgenthau bahwa negara berusah untuk mengumpulkan kekuatan
maksimum untuk diri merek sendiri dengan alasan karena adanya karakteristik sistem internasional bukan karna
sifat manusia itu. Faktor yang paling penting menurut Mearsheimer adalah faktor geografi untuk menjelaskan
perilaku kekuatan besar dari perang revolusi Prancis, startegi besar AS, dan memprediksi kekuatan besar politik di
masa depan abad ke-21. Mearsheimer mengatakan bahwa sistem anarkis memaksa kekutan besar untuk terlibat
dalam kompetisi kekuasaan dan bertindak agresif. Kekuatan besar takut satu sama lain dan akan tersu menenrus
bersaing untuk mendapatkan kekuasaan hal ini didorong oleh nafsu manusia. Teori yang disampaikan Mearsheimer
ini didasarkan pada lima asumsi yaitu sistem internasional dicirkan dengan anarki, kekuatran besar memiliki
kemampuan untuk saling menghacurkan, kekuatan besar tidak pasti tentang niat seseorang, kelangsungan hidup
suatu negara adalah tujuan tertinggi negara, dan kekuata besar pada dasarnya rasional. Asumsi dasar ini diartikan
menjadi kekuatan, swadaya, dan pemaksimalan kekuasaan.

Teori tambahan yamg disampaiakn Mearsheimer sebagai tambahan memprtimbangkan kekuatan air dan
efeknya yaitu bahwa kekuatan air atau yang dimaksud disini adalah laut membatasi proyeksi kekuatan besar.
Mearsheimer menggunakan teorinya untuk memprediksi masa depan politik abad ke-21 yaitu melihat program
modernisasi militer China dengan sangat prihatin dan menganggap Taiwan sebagai titik nyala yang hebat di mana
China dan AS dapat berbenturan. Dia juga mengkhawatirkan pertumbuhan ekonomi China dan memperkirakan
bahwa, pada tingkat pertumbuhan saat ini, hal itu akan menyalip Jepang dalam hal kekayaan selama dua dekade
mendatang. kekhawatiran Mearsheimer dengan China adalah bahwa China akan menjadi hegemon yang menyaingi
AS. Ini bertentangan dengan argumen Mearsheimer sendiri di mana dia mengatakan bahwa hanya mungkin untuk
menjadi hegemon regional dan bukan hegemon global. Jika itu masalahnya dan AS adalah hegemon regional,
seharusnya tidak peduli dengan apa yang terjadi di wilayah lain di dunia. Singkatnya, teori ofensif realisme
merupakan perilaku kekuatan besar yang ditujukan untuk memaksimalkan kekuatan dengan tujuan menjadi
kekuatan yang paling dominan dalam sistem.

Hal kedua yang akan dibahas adalah menilai perilaku China sebagai kekuatan yang meningkat dengan
menampilkan unsur-unsur realism ofensif atau realism difensif. Cina telah berkembang pesat dalam hal ekonomi
dalam 30 tahun terakhir. Hal yang membuat kebangkitan China adalah pertumbuhan ekonominya yang luar biasa.
China adalah salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan memiliki hak untuk memveto.
Pertumbuhan ekonomi China juga berarti memiliki kekuatan pertahanan yang semakin besar dan beragam.
Pengeluaran pertahanan China merupakan indikator kekuatan pertahanan China yang berkembang. China
diperkirakan memiliki persenjataan nuklir sebanyak 260 senjata, terbesar keempat di dunia setelah Rusia, AS, dan
Prancis. Disini teori realism ofensif ditantang untuk menentukan apakah China menampilakn kecendrungan
revisionis, bertindak agresif terhadap negara lain, dan menunjukkan perilaku memaksimalkan kekuasaan. Dimasa
Mao 1949-1976, Cina memiliki kebijakan untuk menjungkirbalikkan semua rezim imperialis di Asia dan dunia.
Cina mendukung revolusi di negara berkembang yang dianggap sebagai proksi imperialis. China memiliki tujuan
dasar yaitu untuk mengekspor ideology sosialisnya ke negara lain. China beroperasi dengan kemampuan terbats
dilingkungan internasioanl yang ditandai oleh bipolaritas, yaitu dilingkungan dimana politik global didorong oleh
persaingan perang dingin.

Di Global, Cina berpartisipasi dalam organisasi perdagangan dunia WTO, Cina juga memainkan peran
yang sangat aktif di PBB. Cina juga menandatangani kurang dari 30% perjanjian pengendalian snejata yang
memnuhi syarat untuk bergabung. Kemudian Cina juga ikut berpartisipais dalam mengambil bagian pada perjanjian
rezim non-prilifersai nuklir, serta perjanjian non-proliferasi senjata bilogi dan kimia. Hal ini merupakan ketersediaan
China untuk berpatisipasi dalam lembaga dan rezim internasionaluntuk meningkatkan kenyamanan terhadap norma-
norma perilaku yang saling bergantung diantara negara-negara di dunia. Mengejar hubungan baik dengan
tetangganya adalah dasar dari strateginya untuk pembangunan ekonomi China. China telah bergerak untuk
mendukung norma-norma perdagangan bebas global. Keanggotaan China di WTO pada tahun 2001 merupakan
bukti dukungannya terhadap perdagangan bebas. Pada tahun 1996, China menandatangani Perjanjian Pelarangan Uji
Komprehensif, yang belum dilakukan oleh pendukung non-proliferasi nuklir utama seperti AS.

Masalah Taiwan adalah contoh kebijakan China dipandang Barat sebaagai non-status quo. Dapat dilihat
bahwa baru-baru ini Amerika terus menjual senjata canggihnya ke Taiwan, China menganggap ini sebagai
perkembangan yang mendorong Taiwan untuk kemerdekaan dan ancaman tehadap kepentingan China. China
melihat langkah ini sebagai upaya untuk mengubah distribusi kekuasaan di wilayah tersebut. Kita dapat mengatakan
bahwa tindakan yang dilakukan China bersifat defensive. AS juga telah meningkatkan kegaduhan di daerah China.
AS juga mengirim ratusan inteligen, pengawasan, dan misi Reconnaissance (ISR) ke laut China selatan. Dapat kita
simpulkan bahwa China sejauh ini China berperilaku leboh sebagai kekuatan status quo daripada agresif terhadap
kekuatan revisionis.
Teori alternatif lain yang dapat menjelaskan perilaku China yaitu teori kebangkitan China dalam Realisme
defensif. Kebijakan China saat ini tampaknya berakar kuat pada realisme defensif. Seperti yang telah dikemukakan
di bagian sebelumnya, Cina bukanlah kekuatan revisionis tetapi status quo. Para analis seperti Shiping Tang yakin
bahwa strategi keamanan China mengalir keluar dari realisasi dilema keamanan di mana para pemimpin China telah
memahami bahwa strategi ekspansionis yang agresif hanya akan mengarah pada aliansi penyeimbang. Selain itu,
modernisasi militer China, kebijakan Taiwan dan peningkatan kebijakannya di Laut China Selatan juga lebih masuk
akal jika dilihat melalui lensa realisme defensif. Kebijakan Taiwan China mungkin lebih diarahkan untuk mencegah
redistribusi kekuasaan di wilayah tersebut. AS memberikan bantuan senjata ke Taiwan, Cina mungkin menolak AS
membantu kemerdekaan Taiwan masalah terakhir adalah di mana Cina telah menjelaskan bahwa kemerdekaan tidak
dapat diterima oleh Cina. Demikian pula, terdapat bukti yang baik bahwa program modernisasi militer China dan
latihan sejak Krisis Selat Taiwan tahun 1996 sebagian ditujukan untuk menangani masalah pemisahan Taiwan.

KESIMPULAN

Jauh dari negara yang memaksimalkan kekuatan revisionis, perilaku China tampaknya lebih merupakan
kekuatan status quo. Alih-alih menjadi ancaman dan sumber ketidakstabilan, China dapat menjadi sumber stabilitas
di kawasan. Kebijakan luar negeri China tampaknya didorong oleh realisme defensif daripada prinsip-prinsip
realisme ofensif seperti yang dikatakan Mearsheimer. Konflik antara China sebagai kekuatan baru dan AS sebagai
kekuatan status quo tidak bisa dihindari. Kebangkitan China bukanlah ancaman seperti perdebatan Barat. Cina itu
akan menjadi ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya di mana konflik akan terwujud antara kedua kekuatan.
Defensive realism and the Concert of Europe

MATTHEW RENDALL

Pada artikel ini kita dapat melihat bahwa Mearsheimer mengepalai aliran pemikiran yang dikenal sebagai
realisme ofensif, yang berpendapat bahwa anarki internasional mendorong negara untuk berkembang setiap kali ada
peluang, 'Tidak ada kekuatan status quo dalam sistem internasional', klaim Mearsheimer, 'kecuali hegemon sesekali
yang ingin mempertahankan posisi dominannya atas saingan potensial'. Alih-alih menggantungkan harapannya pada
efek menenangkan perdagangan, penyebaran demokrasi atau lembaga internasional, Amerika Serikat harus mencoba
menyabot pertumbuhan China sekarang. Berkomitmen pada penjelasan struktural agresi internasional, realis ofensif
tidak akan memiliki semua ini. Artikel ini berpendapat bahwa bukti Mearsheimer menunjukkan bias seleksi, dengan
fokus pada keadaan agresif dalam periode agresif. Realisme struktural dapat menjelaskan Napoleon dan Hitler hanya
dengan mengasumsikan bahwa mereka bukan pemaksimal keamanan, tetapi penjudi rakus yang luar biasa yang
bahkan risiko besar tidak dapat mencegahnya. Tetapi realisme defensif memperoleh kekuatan ini dengan
menyelundupkan liberalisme melalui pintu belakang, yang mengekspos serangan dari realis ofensif dan kritikus
liberal. Jeffrey Legro dan Andrew Moravcsik, secara eksplisit mengakui bahwa 'realisme' defensif adalah sintesis
dari teori realis dan non-realis.

Dalam situasi 'multipolaritas yang tidak seimbang' ini, biasanya terjadi hegemoni regional. Sebagian besar
kekuatan terlalu lemah untuk dicoba, tetapi ini 'masih bertindak ofensif untuk mengumpulkan kekuatan sebanyak
mungkin, karena negara hampir selalu lebih baik dengan lebih banyak daripada lebih sedikit kekuatan'. Bahkan
pertaruhan kolosal seperti Hitler bisa masuk akal, karena koalisi pemblokiran mungkin tidak terbentuk pada
waktunya, dan 'manfaat keamanan dari hegemoni sangat besar' jika mereka berhasil. Mearsheimer tidak hanya
mengatakan bahwa negara mengambil kesempatan untuk memperluas dengan murah. Perdebatan antara realis
ofensif dan defensif sering dilemparkan sebagai apakah negara berusaha untuk memperluas atau mencoba untuk
mempertahankan status quo, tetapi deskripsi realisme defensif ini - atau setidaknya harus - manusia jerami. Tidak
ada dalam logika realisme defensif yang menghalangi ekspansi oportunistik terbatas, khususnya ke dalam
kekosongan kekuasaan. Berbeda dengan realis defensif, Mearsheimer tetap konsisten struktural dalam teorinya. Tes
yang tidak memihak akan memeriksa semua negara bagian yang berpotensi menjadi kekuatan militer, menangkap
negara-negara revisionis yang membeli senjata, dan negara-negara yang tidak berstatus-quo.

Rusia dan krisis Polandia-Saxon. Kekuatan-kekuatan besar berselisih di Kongres Wina pada musim gugur
1814 atas nasib Eropa tengah. Rusia ingin mendirikan kerajaan baru Polandia, yang secara nominal merdeka, tetapi
diperintah oleh seorang raja Rusia. Saxony. Polandia, bertekad untuk menjaga setidaknya sebagian Sachsen dari
tangan Prusia. Beberapa penulis berpendapat bahwa dihadapkan dengan koalisi pemblokiran, Prusia dan Rusia
mundur. Namun, seperti yang ditunjukkan Paul Schroeder, Rusia sebenarnya memenangkan konfrontasinya atas
Polandia, sementara Prusia tidak dapat melawannya sendiri. Benar, menurut kriteria Mearsheimer, Rusia bukanlah
hegemon potensial, yang harus menjadi kekuatan militer dan ekonomi. Namun sementara kasus Rusia tidak menguji
teorinya secara langsung, kita dapat menguji asumsinya bahwa hegemoni regional sangat diinginkan sehingga
negarawan akan menghadapi risiko besar jika mereka yakin mereka memiliki kesempatan untuk mendapatkannya.
Castlereagh memasang wajah berani di depan umum, dan berargumen bahwa dia bisa menghentikan invasi Rusia
selama Negara-Negara Rendah dibentengi. Publik Inggris akan mendukung perang hanya jika Negara-Negara
Rendah berada di bawah ancaman. Bagaimanapun, 'Austria dan Bavaria. Peluang Rusia dan Prusia tampaknya sama
bagusnya dengan Triple Alliance seabad kemudian. Aliansi itu berhasil, kata Griewank, bukan karena menghadapi
Rusia dan Prusia, tetapi karena Rusia tidak memiliki kepentingan langsung dalam masalah Saxon, dan Prusia tidak
siap atau tidak mau berperang sendiri. Castlereagh tampaknya tidak yakin dengan hasil perang disis lain, ia menilai
keseimbangan secara berbeda, tetapi para pemimpin Rusia yang bertekad untuk ekspansi, terutama ketika
menjanjikan hegemoni Eropa, mungkin akan gagal.

Jika kekuatan-kekuatan besar seagresif yang diklaim Mearsheimer, Rusia seharusnya mengambil semua
yang bisa diambil dari tetangganya yang bertahan dengan kekaisaran Ottoman. Memang, banyak yang berpikir
bahwa itulah yang coba dilakukan Rusia. Kenyataannya, antara tahun 1821 dan 1833 Rusia melewatkan tiga peluang
untuk merebut Konstantinopel. Beberapa bukti bahwa Alexander khawatir bahwa perang penaklukan dapat
menyatukan Eropa untuk melawannya. Meskipun dia mungkin telah tergoda dengan gagasan tentang pembagian
kekuasaan yang besar dari kekaisaran Ottoman, dia memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan dengan Turki.
Kesempatan berikutnya Rusia untuk menggulingkan kekaisaran Ottoman datang pada tahun 1829, ketika
pasukannya mendekati Konstantinopel pada akhir Perang Rusia-Turki. Beberapa orang berpikir Rusia tidak
mengambil Konstantinopel karena takut akan pembalasan Barat, tetapi pejabat yang paling penting tidak
mengantisipasi serangan langsung. Petersburg juga berhenti karena tidak percaya Rusia dapat mengambil seluruh
Turki jika kekaisaran runtuh. Sebaliknya, itu harus berbagi sisa-sisa dengan kekuatan lain, beberapa di antaranya
mungkin membuat keuntungan relatif. Nicholas dan Nesselrode tidak mengantisipasi perlawanan langsung. Pada
tahun 1834 Rusia setuju untuk mempercepat evakuasi provinsi Moldavia dan Wallachia di Turki, yang telah
didudukinya sejak 1829, dengan imbalan sepotong kecil wilayah di sepanjang perbatasan dengan Georgia. Di antara
kekuatan besar lainnya, hanya Inggris dan Prancis yang memprotes intervensi tersebut, dan bahkan mereka tidak
menawarkan oposisi yang kuat. Ketika Catherine II berkuasa, Rusia menghadapi ancaman dari Polandia dan Turki,
yang terakhir juga memblokir aksesnya ke Laut Hitam.

Pemberontakan Belgia melawan kekuasaan Belanda pada tahun 1830 menyebabkan apa yang disebut oleh
seorang sejarawan sebagai 'krisis besar pertama periode pasca-Napoleon yang sebenarnya mengancam akan
berkembang menjadi perang besar Eropa'. Persiapan militer Petersburg tampaknya lebih ditujukan untuk menekan
kekuatan-kekuatan lain, dan mempersiapkan intervensi multilateral daripada bertindak sendiri. ' Dalam kiriman ke
duta besarnya di Wina, Nesselrode menulis bahwa oposisi Paris telah memaksa Nicholas untuk bernegosiasi. Prancis
telah mengindikasikan akan menolak intervensi, dan Prusia tahu akan menanggung beban bentrokan. Para pejabat
Prusia percaya bahwa masyarakat akan menentang perang kecuali Prancis menyerang mereka terlebih dahulu.
Sementara keseimbangan kekuatan yang tidak menguntungkan sudah cukup untuk menjelaskan pengekangan Prusia
pada tahun 1830. Pada bulan Juli 1840, Austria, Inggris, Prusia dan Rusia memerintahkan raja muda Mesir,
Mehemet Ali, untuk mundur dari Suriah utara karena intervensi militer. Keputusan ini membuat marah Prancis,
Sebagian besar Prancis menuntut perang. Seperti yang dijelaskan Louis-Philippe, Prancis tidak siap untuk
'perjuangan satu lawan empat'. Para menteri angkatan darat dan angkatan laut berpendapat bahwa Prancis tidak siap,
dan bahkan Thiers pada akhirnya mengakui bahwa Prancis tidak dapat melawan seluruh Eropa. Jika Mehemet Ali
bisa bertahan, 'setelah menyelesaikan persenjataan kita, kita akan berunding sebagai kepala pasukan kita, dan kita
mungkin akan membuat perdamaian yang menguntungkan. Kebencian Louis-Philippe terhadap perang, ketakutan
akan ketidakstabilan domestik dan keinginan agar rezimnya diakui di luar negeri membuat kebijakan Prancis pada
dasarnya konservatif.

KESIMPULAN

Rusia membutuhkan sekutunya, terutama London, jika harus berhadapan dengan Prancis. Namun negara-
negara besar juga dengan mudah menanggapi kendala-kendala eksternal. Kebanyakan dari mereka disibukkan oleh
masalah domestik dan kebanyakan dari mereka adalah negara yang kenyang secara teritorial. Hal ini terjadi di
Austria dan Prusia. Prancis, di sisi lain, untuk waktu yang lama terisolasi secara diplomatik dan tidak bisa berbuat
banyak untuk mengganggu keseimbangan Eropa. Rusia, yang akan jauh lebih mampu melakukannya, memilih untuk
tidak melakukannya. Dalam kasus Rusia, ini sebagian karena telah mencapai perbatasan yang dapat dipertahankan.
Dalam sebuah memorandum tahun 1828 yang disetujui oleh tsar, Nesselrode berpendapat bahwa penaklukan Eropa
'dalam memperluas wilayah akan melemahkan kekuatannya. Seiring berjalannya waktu, kekuatan besar Eropa
semakin tidak setuju pada nilai-nilai. Tapi empat dari lima pada dasarnya tetap puas dengan status quo, dan bahkan
Prancis tidak begitu ingin membalas dendam seperti Jerman pasca-Perang Dunia I. Kekuatan besar tidak kehilangan
minat dalam ekspansi, tetapi mereka mudah dihalangi. Realis ofensif benar bahwa negara menghadapi insentif untuk
ekspansi, dan sering dibatasi oleh sistem internasional. Namun, realis defensif sudah mengakui ini, sementara
mengakui bahwa faktor tingkat unit terkadang membuat negara bertindak dengan cara yang tidak diprediksi oleh
struktur. Faktor domestik tidak akan hilang begitu saja. Kaum realis defensif salah tidak dalam menggabungkan
teori struktural dan tingkat unit, tetapi dalam bersikeras menyebut seluruh amalgam 'realis'. Pada kenyataannya, para
pemimpinnya sebagian besar puas untuk menegakkan status quo Eropa. Ini akan menjadi tragedi sejati jika asumsi
yang berakar pada determinisme struktural menyebabkan Cina menjadi Rusia abad kedua puluh satu.

Anda mungkin juga menyukai