Anda di halaman 1dari 2

Nama : Dea Melrisa Agnesia/19180059

Mata Kuliah : Sosiologi Gender

Gender Dalam Perspektif Agama


Kesetaraan gender merupakan suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam
hak secara hukum dan kondisi atau kualitas hidupnya sama. Kesetaraan gender merupakan
salah satu hak asasi setiap manusia. Gender itulah yang pembedaan peran, atribut, sifat, sikap
dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Peran gender terbagi menjadi
peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan. Akan tetapi pada ken-
yataannya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok
pelengkap. Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja
di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya peran di luar itu men-
jadi tidak penting. Istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah diskriminasi ter-
hadap perempuan, subordinasi, penindasan, perilaku tidak adil dan semacamnya. Diskrimi-
nasi gender, menyebabkan kerentanan terhadap perempuan dan/atau anak perempuan serta
berpotensi pada terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bidang kehidupan.

Dalam berbagai agama, masih banyak kalangan yang menolak dengan kehadiran wacana
keperempuanan atau yang kini dikenal dengan wacana feminism yang masih menjadi kontro-
versial kehadirannya, tetapi disisi lain juga banyak kalangan yang menerima. Kontroversi ini
lebih banyak dipicu oleh kontruksi feminism yang dibangun diatas kesadaran ketertindasan
kaum perempuan. Kesadaran ketertindasan inilah yang menjadikan feminism memiliki karak-
ter memihak dan tidak jarang menggugat. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa keber-
pihakan feminism terhadap nasib kaum perempuan itu diterjemahkan sebagai ancaman bagi
kaum laki-laki, dan pada ranah kolektif utamanya pada otoritas akses terhadap control ideol-
ogis, politis dan wacana. Ranah ini secara tradisional telah diklaim secara otoritas laki-laki,
termasuk otoritas wacana keagamaan.

Dalam sejarah, eksistensi kaum perempuan dalam perputaran waktu pada masa peradaban-
peradaban serta agama-agama yang ada memiliki nuansa tersendiri. Hal tersebut secara khu-
sus dapat dilihat dari sisi kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan, baik dalam hal
public maupun domestic. Dalam peradaban masyarakat Yunani yang terkenal dengan kea-
gungan ilmu filsafat, tidak menjadikan masalah hak dan kewajiban perempuan sebagai topik
pembicaraan. Bagi kalangan elit, kaum perempuan dikurung dalam istana-istana, dan ka-
langan bawah nasib perempuan sangat menyedihkan, mereka diperjual belikan di pasar-pasar
dan dalam urusan berumah tangga mereka sepenuhnya berada dibawah kekuasaan para suami
(kaum laki-laki). Hak-hak sipil kaum perempuan sama sekali tidak diakui, misalnya kaum
perempuan tidak dipandang sebagai ahli waris dari keluarganya yang meninggal. Selanjutnya
dalam peradaban masyarakat Romawi, kaum perempuan sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan ayahnya dalam kedudukannya sebagai kepala rumah tangga. Ketika kaum per-
empuan telah berkekluarga maka kekuasaan dalam rumah tangga beralih kepada sang suami.
Oleh karena itu, kekuasaan pemilikan buka kekuasaan pengayoman. Kekuasaan yang di-
tunjukan oleh kaum laki-laki bersifat kekuatan mutlak yang tidak disandingkan dengan kasih
saying sehingga eksistensi kaum perempuan selalu dalam dunia kecaman yang berkepanjan-
gan. Adapun tentang hak dan kewajiban wanita dalam agama Yahudi dan Nasrani,
dikemukakan bahwa dalam ajaran Yahudi, martabat wanita itu adalah sama dengan pemban-
tu. Sedangkan dalam ajaran Nasrani menganggap kaum perempouan sebagai senjata iblis un-
tuk menyesatkan manusia dan kaum perempuan dikategorikan sama dengan status anak di
bawah umur dan orang-orang gila yang tidak mempunyai hak public. Ketika agama Islam
datang, masyarakat pertama yang bersentuhan dengan dakwahnya adalah masyarakat Arab.
Kedudukan wanita dalam masyarakat ini tergambar dari sikap umum masyarakatnya yang
tidak merasa bangga ketika para isteri melahirkan anak perempuan. Bahkan ada sebagian dari
mereka langsung mengubur hidup-hidup anak perempuan yang baru lahir. Dan hukum jahili-
yah tidak mengakui hak kewarisan anak perempuan, kaum perempuan sama sekali tidak
mempunyai hak dalam kehidupan rumah tangga. Laki-laki mempunyai hak tidak terbatas un-
tuk memiliki sejumlah istri yang diinginkan dan juga mempunyai hak yang tidak terbatas un-
tuk menceraikan istri-istri mereka.

Kedatangan ajaran Islam membawa angin segar bagi kaum perempuan, ajaran Islam menjadi
rahmat bagi kaum perempuan karena Islam mengajarkan persamaan antara manusia, baik an-
tara laki-laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang han-
ya dapat terlihat dari tinggi rendahnya nilai pengabdian dan ketakwaannya manusia kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Kedudukan perempuan dalam ajaran Islam tidak seperti yang diprak-
tekkan oleh sebahagian masyarakat. Ajaran Islam pada hakekatnya memberikan perhatian
yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.Oleh karena itu, mulai mun-
cu gerakan-gerakan yang menginginkan dan menuntut kesetaraan dan persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan. Gerakan feminism menjadi pintu keluar keterkungkungan perempu-
an terhadap segala bentuk penindasan dari berbagai aspek, dari sosial, budaya, bahkan agama.

Sekalipun islam diyakini telah mereformasi pandangan-pandangan dan kehidupan kaum per-
empuan, tetapi terdapat juga pandangan yang menganggap bahwa agama, tidak terkecuali
islam, berkontribusi terhadap pelanggengan ketidakadilan gender. Agam dijadikan alat legit-
imasi untuk membelenggu perempuan. Misalnya soal kepemimpinan perempuan, yang selalu
dibenturkan dengan tafsir al-Quran surah an-Nisa: 34, yang menganggap bahwa laki-lakilah
yang harus menjadi pemimpin. Penjelasan ayat tersebut secara tekstual, terkesan diskrimi-
natif, berkaitan dengan status laki-laki (suami) sebagai kepala rumah tangga, serta hak dan
kewajibannya. Tentu, ketentuan laki-laki menjadi pemimoin bagi perempuan menimbulkan
persepsi negative terhadap kedudukan perempuan, menjadikan laki-laki leboh superior
dibanding perempuan.

Pada titik ini, feminism bukan untuk menentang agama. Sebab agama dan feminism memiliki
benang merah yang sama, yaitu terbinanya kesetaraan dan keadilan bagi seluruh umat manu-
sia. Pada aspek gender, Islam juga mengajarkan kepada pemeluknya bahwa laki-laki dan per-
empuan setara di hadapan Allah. Relasi antara laki-laki dan perempuan yang dianjurkan oleh
islam adalah dalam posisi setara, tidak ada superioritas dan subordinasi, masing-masing
memiliki potensi, fungsi, peran dan kemungkinan pengembangan diri. Perbedaan fitrah laki-
laki dan perempuan, menampakan adanya kekhususan yang dimiliki laki-laki dan perempuan
agar keduanya saling melengkapi dalam melaksanakan fungsi dan perannya, baik diranah
domestic maupun public.

Anda mungkin juga menyukai