Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

STANDAR INFORMASI KESEHATAN

Disusun Oleh :
Kelompok 7
1. Vicha Mardianti 1715301005
2. Cindy Sari Agustin 1715301015
3. Mutiara Jannah Azizah 1715301020
4. Lizia Palentari 1715301033

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG


PRODI DIV KEBIDANAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah
ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Bandar Lampung, 19 Juli 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................2
1.3 Tujuan..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Indonesia Sehat 2010.......................................................................3
2.2 Standar Pelayanan Minimal.............................................................4
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................................23
3.2 Saran.................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA
SOAL

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam Indonesia Sehat 2010, lingkungan yang diharapkan adalah yang
kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu lingkungan yang bebas dari
polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan
dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan
kesehatan, serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong
menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa.

Perilaku masyarakat Indonesia Sehat 2010 yang diharapkan adalah yang


bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah
resiko terjadinya penyakit serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan
masyarakat. Selanjutnya kemampuan masyarakat yang diharapkan pada masa
depan adalah yang mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu
tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi.

Standar Pelayanan Minimal adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur


mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib
daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.Sebagai sebuah
kebijakan, standar pelayanan minimal sudah selayaknya didukung oleh
peraturan perundang-undangan yang memadai mulai dari undangundang,
peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri terkait. Di sisi lain sebagai
sebuah kebijakan, standar pelayanan minimal sedang dalam proses pencarian
bentuk dan sosialisasi yang membutuhkan waktu tidak sedikit, mengingat
perlunya kesamaan pemahaman antara perumus kebijakan dengan pelaksana
kebijakan di lapangan, terlebih lagi seringnya terjadi proses penyesuaian
kebijakan yang disebabkan oleh dinamika masyarakat yang menjadi obyek
kebijakan. Oleh sebab itu pelembagaan suatu kebijakan tidak terlepas dari
proses perkembangan dalam rangka beradaptasi dengan lokus kebijakan.

1
Proses adaptasi kebijakan tersebut pada umumnya terwadahi dalam bentuk
ketentuan peralihan yaitu suatu periode waktu sebuah kebijakan
mempersiapkan lokus kebijakan. Di sisi lain obyek kebijakan diberi
kesempatan untuk melakukan adaptasi terhadap pemberlakuan kebijakan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Indonesia Sehat 2010?
2. Bagaimana jenis-jenis cara penyajian data?
3. Apa saja jenis table penyajian data ?
4. Bagaimana cara membuat table?
5. Bagaimana cara menyajikan table dalam bentuk table ?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Untuk mengetahui tentang pengertian penyajian data
2. Untuk mengetahui tentang jenis-jenis cara penyajian data
3. Untuk mengetahui tentang jenis-jenis cara penyajian data
4. Untuk Mengetahui Tentang Cara Membuat Table
5. Untuk Mengetahui Tentang Cara Menyajikan Table Dalam Bentuk Table

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Indonesia Sehat 2010


2.1.1 Pengertian
Dalam Indonesia Sehat 2010, lingkungan yang diharapkan adalah yang
kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu lingkungan yang bebas
dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai,
perumahan dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang
berwawasan kesehatan, serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang
saling tolong menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa.

Perilaku masyarakat Indonesia Sehat 2010 yang diharapkan adalah yang


bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah resiko terjadinya penyakit serta berpartisipasi aktif dalam
gerakan kesehatan masyarakat. Selanjutnya kemampuan masyarakat
yang diharapkan pada masa depan adalah yang mampu menjangkau
pelayanan kesehatan yang bermutu tanpa adanya hambatan, baik yang
bersifat ekonomi maupun non ekonomi. Pelayanan kesehatan bermutu
yang dimaksud di sini adalah pelayanan kesehatan yang memuaskan
pemakai jasa pelayanan serta yang diselenggarakan sesuai dengan
standar dan etika pelayanan profesi. Diharapkan dengan terwujudnya
lingkungan dan perilaku hidup sehat serta meningkatnya kemampuan
masyarakat tersebut di atas, derajat kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat dapat ditingkatkan secara optimal.

2.1.2 Dasar-Dasar Pembangunan Kesehatan


Pada hakekatnya adalah nilai kebenaran dan aturan pokok sebagai
landasan untuk berfikir atau bertindak dalam pembangunan kesehatan.
Dasar ini merupakan landasan dalam penyusunan visi, misi, dan strategi
kesehatan secara nasional yang meliputi:

3
1. Perikemanusiaan
2. Pemberdayaan dan Kemandirian
3. Adil dan Merata
4. Pengutamaan dan Manfaat

2.1.3 Visi & Misi


a. Visi
Gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai
melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa, dan
negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan
dan dengan perilaku hidup sehat secara adil dan merata, serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh
wilayah Republik Indonesia.
b. Misi
Untuk mewujudkan visi INDONESIA SEHAT 2010, ditetapkan
empatmisi pembangunan kesehatan sebagai berikut:
1. Menggerakan pembangunan nasional berwawasan kesehatan
2. Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat
3. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang
bermutu, merata dan terjangkau
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat berserta lingkungannya.

2.1.4 Arah
Arah pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 sesuai
dengan arah pembangunan nasional selama ini, yakni:
1. Pembangunan kesehatan adalah bagian integral dari pembangunan
nasional
2. Pelayanan kesehatan baik oleh pemerintah maupun masyarakat
harus diselengarakan secara bermutu, adil dan merata dengan
memberikan pelayanan khusus kepada penduduk miskin, anak-

4
anak, dan para lanjut usia yang terlantar, baik di perkotaan mapun di
pedesaan
3. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan strategi
pembangunan profesionalisme, desentralisasi dan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat dengan memperhatikan
berbagai tantangan yang ada saat ini.
4. Upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat
dilaksanakan melalui program peningkatan perilaku hidup sehat,
pemeliharaan lingkungan sehat, pelayanan kesehatan dan didukung
oleh sistem pengamatan, Informasi dan manajemen yang handal.
5. Pengadaan dan peningkatan prasarana dan sarana kesehatan terus
dilanjutkan.
6. Tenaga yang mempunyai sikap nasional, etis dan profesiona, juga
memiliki semangat pengabdian yang tinggi kepada bangsa dan
negara, berdisiplin, kreatif, berilmu dan terampil, berbudi luhur dan
dapat memegang teguh etika profesi.

2.1.5 Tujuan
Adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia
yang ditandai penduduk yang hidup dengan perilaku dan dalam
lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat
kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia.

2.1.6 Sasaran
1. Kerjasama lintas sektoral
2. Kemandirian masyarakat dan kemitraan swasta
3. Perilaku hidup sehat
4. Lingkungan sehat
5. Upaya kesehatan

5
6. Manajemen pembangunan kesehatan
7. Derajat kesehatan

2.1.7 Kebijakan
1. Pemantapan kerjasama lintas sektoral
2. Peningkatan perilaku, kemandirian masyarakat dan kemitraan
swasta
3. Peningkatan kesehatan lingkungan
4. Peningkatan upaya kesehatan
5. Peningkatan sumber daya kesehatan
6. Peningkatan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
7. Peningkatan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap
penggunaan sediaan farmasi, makanan dan alat kesehatan yang
tidak absah/illegal
8. Peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan

2.1.8 Strategi
1. Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan
2. Profesionalisme
3. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
4. Desentralisasi

2.1.9 Pokok Program


1. Pokok-pokok program pembangunan kesehatan, adalah:
a. Pokok Program Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat
b. Program Peningkatan Perilaku Sehat
c. Program Anti Tembakau, Alkohol dan Madat
d. Program Pencegahan Kecelakaan dan Rudapaksa
e. Program Pembinaan Kesehatan Jiwa Masyarakat
f. Program Kesehatan Olah Raga dan Kebugaran Jasmani
2. Pokok Program Lingkunan Sehat
a. Program Wilayah/Kawasan Sehat

6
b. Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja
c. Program Higiene dan Sanitasi Tempat-Tempat Umum
d. Program Pemukiman, Perumahan dan Bangunan Sehat
e. Program Program Penyehatan Air
3. Pokok Program Upaya Kesehatan
a. Program Pemberantasan Penyakit Menular dan Imunisasi:
b. Program Pencegahan Penyakit tidak Menular
c. Program Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
d. Program Pelayanan Kesehatan Penunjang
e. Program Pembinaan dan Pengembangan Pengobatan Tradisional
f. Program Kesehatan Reproduksi
g. Program Perbaikan Gizi
h. Program Kesehatan Matra
i. Program Pengembangan Survailans Epidemilogi
j. Program Penanggulangan Bencana dan Bantuan Kemanusiaan
4. Pokok Program Sumber Daya Kesehatan
a. Program Perencanaan, Pendayagunaan serta Pendidikan dan
Pelatihan Tenaga Kesehatan
b. Program Pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat
c. Program Pengembangan Sarana dan Perbekalan Kesehatan
5. Pokok Program Obat, Makanan dan Bahan Berbahaya
a. Program Pengamanan Bahaya Penyalahgunaan dan
Kesalahgunaan Obat, Narkotika, Psikotrapika, Zat Aditif lain
dan Bahan Berbahaya lainnya.
b. Program Pengamanan dan Pengawasan Makanan dan Bahan
Tambahan Makanan (BTM)
c. Program Pengawasan Obat, Obat Tradisional, Kosmetika dan
Alat Kesehatan.
d. Program Penggunaan Obat Rasional
e. Program Obat Esensial
f. Program Pembinaan dan Pengembangan Obat Asli Indonesia

7
g. Program Pembinaan dan Pengembangan Industri Farmasi
6. Pokok Program Kebijakan dan Manajemen Pembangunan
Kesehatan
a. Program Pengembangan Kebijakan Kesehatan Program
b. Program Pengembangan Manajemen Pembangunan Kesehatan
c. Program Pengembangan Hukum Kesehatan
d. Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan
7. Pokok Program Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kesehatan
a. Program Penelitian dan pengembangan Peningkatan Perilaku
dan Pemberdayaan Masyarakat
b. Program Penelitian dan pengembangan Peningkatan
Lingkungan Sehat
c. Program Penelitian dan pengembangan Peningkatan Upaya
Kesehatan
d. Program Penelitian dan pengembangan Peningkatan Sumber
Daya Kesehatan
e. Program Penelitian dan pengembangan Kebijakan dan
Manajemen Pembangunan Kesehatan
f. Program Penelitian dan pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar dan
Terapan Bidang Kesehatan

2.1.10 Program Kesehatan Unggulan


Menyadari keterbatasan sumber daya yang tersedia serta disesuaikan
dengan prioritas masalah kesehatan yang ditemukan dalam
masyarakat dan kecendrungannya pada masa mendatang, maka
untuk meningkatkan percepatan perbaikan derajat kesehatan
masyarakat yang dinilai penting untuk mendukung keberhasilan
program pembangunan nasional, ditetapkan 10 program kesehatan,
sebagai berikut:
a. Program Kebijakan Kesehatan, Pembiayaan Kesehatan dan
Hukum Kesehatan

8
b. Program Perbaikan Gizi
c. Program Pencegahan Penyakit Menular
d. Program Peningkatan Perilaku Hidup Sehat dan Kesehatan
Mental
e. Program Lingkungan Pemukiman, Air dan Udara Sehat
f. Program Kesehatan Keluarga, Kesehatan Reproduksi dan
Keluarga Berencana
g. Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja
h. Program Anti Tembakau, Alkohol dan Madat
i. Program Pengawasan Obat, Bahan Berbahaya, Makanan, dan
j. Program Pencegahan Kecelakaan Keselamatan Lalu Lintas

2.2 Standar Pelayanan Minimal (SPM)


2.2.1 Pengertian Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Pengertian Standar Pelayanan Minimal merupakan suatu istilah dalam
pelayanan publik (public policy) yang menyangkut kualitas dan
kuantitas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah sebagai
salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Menurut Oentarto, et al.
(2004:173) menjelaskan bahwa Standar pelayanan minimal memiliki
nilai yang sangat strategis baik bagi pemerintah (daerah) maupun bagi
masyarakat (konsumen). Adapun nilai strategis tersebut yaitu:

1. Pertama, bagi pemerintah daerah: standar pelayanan minimal dapat


dijadikan sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya
yang diperlukan untuk membiayai penyediaan pelayanan;
2. Kedua, bagi masyarakat: standar pelayanan minimal dapat dijadikan
sebagai acuan mengenai kualitas dan kuantitas suatu pelayanan
publik yang disediakan oleh pemerintah (daerah). Dengan demikian
pelayanan yang bermutu/berkualitas adalah pelayanan yang berbasis
masyarakat, melibatkan masyarakat dan dapat diperbaiki secara
terus menerus. Disisi lain, pemerintah dituntut untuk bekerja secara
efisien dan efektif dalam hal pelayanan kepada masyarakat.

9
SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang
merupakan urusan wajib pemerintah yang berhak diperoleh setiap
warga secara minimal.Pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik
yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Pengertian SPM
juga dapat dijumpai pada beberapa sumber, antara lain :

1. Undang-Undang 32 tahun 2004 penjelasan pasal 167 (3),


menyatakan bahwa SPM adalah standar suatu pelayanan yang
memenuhi persyaratan minimal kelayakan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan
dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pasal 20 (1) b
menyatakan bahwa APBD yang disusun dengan pendekatan kinerja
memuat standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya
satuan komponen kegiatan yang bersangkutan;
3. Lampiran Surat Edaran Dirjen OTDA Nomor 100/757/OTDA
tanggal 8 Juli 2002 menyatakan Standar Pelayanan Minimal adalah
tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan
wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada
masyarakat.
4. Peraturan Pemerintah RI No.65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan SPM.
5. Penerapan Standar Pelayanan Minimal. SPM adalah ketentuan
tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan
wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.
6. Permendagri No.6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal.

Dari berbagai pengertian tersebut, secara umum dapat diikhtisarkan


bahwa SPM merupakan standar minimal pelayanan publik yang harus
disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Adanya SPM
akan menjamin minimal pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat

10
dari pemerintah. Dengan adanya SPM maka akan terjamin kuantitas dan
atau kualitas minimal dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati
oleh masyarakat, sehingga diharapkan akan terjadi pemerataan
pelayanan publik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah.
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa pelaksanaan urusan wajib
merupakan pelayanan minimal sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh pemerintah. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa, SPM
ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini departemen teknis,
sedangkan pedoman penyusunan SPM ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 pasal 167 (3).

2.2.2 Tujuan Penyusunan SPM (Standar Pelayanan Minimal)


1. akuntabilitas BLU dalam penyelenggaraan layanannya;
2. Pedoman bagi BLU dalam penyelenggaraan layanan kepada
masyarakat;
3. Terjaminnya hak masyarakat dalam menerima suatu layanan;
4. Dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan alokasi anggaran
yang dibutuhkan;
5. Mendorong terwujudnya checks and balances;
6. Terciptanya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan layanan BLU

2.2.3 Manfaat Standar Pelayanan Minimal (SPM)


SPM mempunyai beberapa manfaat, antara lain :
1. Memberikan jaminan bahwa masyarakat akan menerima suatu
pelayanan publik dari pemerintah daerah sehingga akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat.
2. Dengan ditetapkannya SPM akan dapat ditentukan jumlah anggaran
yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik.
3. Menjadi dasar dalam menentukan anggaran berbasis kinerja.

11
4. Masyarakat dapat mengukur sejauhmana pemerintah daerah
memenuhi kewajibannya dalam menyediakan pelayanan kepada
masyarakat, sehingga hal ini dapat meningkatkan akuntabilitas
pemerintah daerah kepada masyarakat.
5. Sebagai alat ukur bagi kepala daerah dalam melakukan penilaian
kinerja yang telah dilaksanakan oleh unit kerja penyedia suatu
pelayanan.
6. Sebagai benchmark untuk mengukur tingkat keberhasilan
pemerintah daerah dalam pelayanan publik.
7. Menjadi dasar bagi pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh
institusi pengawasan. Manfaat Penerapan Standar Pelayanan
Minimal, menurut sumber lain:
a. Memberikan jaminan bahwa masyarakat
b. Dapat ditentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan
c. Sebagai landasan dalam menentukan perimbangan Keuangan
d. Menjadi dasar dalam menentukan anggaran berbasis Kinerja
e. Sebagai alat ukur penilaian kinerja
f. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pemerintah
g. Menjadi dasar bagi pelaksanaan pengawasan
h. dapat memperjelas tugas pokok Pemerintah
i. Mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat

2.2.4 Prinsip Penyusunan dan Penetapan

Standar Pelayanan Minimal (SPM) Dalam penyusunan dan menetapkan


SPM, perlu diperhatikan prinsip - prinsip sebagai berikut :

12
1. Konsensus, yaitu disepakati bersama oleh komponen-komponen
atau unit-unit kerja yang ada pada lembaga yang bersangkutan.
Sederhana, yaitu mudah dimengerti dan dipahami.

2. Nyata, yaitu memiliki dimensi ruang dan waktu serta persyaratan


atau prosedur teknis.

3. Terukur, yaitu dapat dihitung atau dianalisa.

4. Terbuka, yaitu dapat diakses oleh seluruh warga lapisan masyarakat.

5. Terjangkau, yaitu dapat dicapai bersama SPM jenis-jenis pelayanan


dasar lainnya dengan menggunakan sumber-sumber daya daan dana
yang tersedia.

6. Akuntabel, yaitu dapat dipertanggung jawabkan kepada public.

7. Bertahap, yaitu mengikuti perkembangan kebutuhan dan


kemampuan keuangan, kelembagaan, dan personil dalam
pencapaian SPM.

2.2.5 Prinsip-Prinsip Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)


Beragamnya kondisi daerah, baik kondisi ekonomi, sosial, budaya,
maupun kondisi geografis akan berdampak pada kemampuan daerah
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain
setiap daerah mempunyai kemampuan yang berbeda dalam
mengimplementasikan SPM. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dalam
penerapan SPM perlu dipahami. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. SPM diterapkan pada seluruh urusan wajib pemerintah daerah.
2. SPM dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah
pusat.
3. SPM bersifat dinamis, dalam arti selalu dikaji dan diperbaiki dari
waktu ke waktu sesuai dengan kondisi nasional dan perkembangan
daerah.

13
4. SPM harus dijadikan acuan dalam perencanaan daerah,
penganggaran, pengawasan, pelaporan dan sebagai alat untuk
menilai pencapaian kinerja.

Prinsip-Prinsip Penerapan Standar Pelayanan Minimal :


a. SPM disusun sebagai alat pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat
secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib;
b. SPM ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan untuk
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (provinsi, kabupaten/kota);
c. Penerapan Standar Pelayanan Minimal oleh Pemerintahan Daerah
merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional;
d. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau
dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mempunyai batas waktu
pencapaian;
e. SPM harus dijadikan acuan dalam perencanaan daerah,
penganggaran, pengawasan, pelaporan dan sebagai alat untuk
menilai pencapaian kinerja;
f. SPM harus fleksibel dan mudah disesuaikan dengan perkembangan
kebutuhan, prioritas dan kemampuan kelembagaan serta personil
daerah dalam bidang yang bersangkutan.

2.2.6 Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam SPM


1. Penyajian SPM
2. Kesesuaian SPM dengan perkembangan kebutuhan dan kemampuan
Satker
3. Rencana Pencapaian SPM
4. Indikator Pelayanan
5. Adanya tandatangan pimpinan Satker dan Menteri terkait

2.2.7 Standar Pelayanan Minimal (SPM)

14
BLU (Badan Layanan Umum) Sebagai salah satu lembaga pelayanan
kepada masyarakat umum, BLU perlu menetapkan standar pelayanan
minimal (SPM).
1. Untuk menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan kualitas
pelayanan umum yang diberikan oleh BLU, kepala daerah
menetapkan standar pelayanan minimal BLU dengan peraturan
kepala daerah.
2. Standar pelayanan minimal, dapat diusulkan oleh pemimpin BLU.
3. Standar pelayanan minimal, harus mempertimbangkan kualitas
layanan, pemerataan, dan kesetaraan layanan serta kemudahan untuk
mendapatkan layanan.
4. Standar pelayanan minimal harus memenuhi persyaratan :
a. Fokus pada jenis pelayanan; Mengutamakan kegiatan pelayanan
yang menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU.
b. Terukur; Merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
c. Dapat dicapai; Merupakan kegiatan nyata, dapat dihitung tingkat
pencapaiannya, rasional, sesuai kemampuan dan tingkat
pemanfaatannya.
d. Relevan dan dapat diandalkan; merupakan kegiatan yang sejalan,
berkaitan dan dapat dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi
BLU.
e. Tepat waktu. Merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan
pelayanan yang telah ditetapkan.

Dalam rangka memberikan layanan kepada masyarakat, diperlukan


biaya operasional maupun non operasional, oleh karena itu BLU
diperbolehkan memungut biaya tersebut kepada penerima layanan,
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan
atas barang dan/atau jasa layanan yang diberikan.

15
2. Imbalan atas barang dan/atau jasa layanan, ditetapkan dalam bentuk
tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya satuan per unit
layanan atau hasil perinvestasi dana.
3. Tarif, termasuk imbal hasil yang wajar dari investasi dana dan untuk
menutup seluruh atau sebagian dari biaya per unit layanan.
4. Tarif layanan, dapat berupa besaran tarif atau pola tarif sesuai jenis
layanan BLU yang bersangkutan.

2.2.8 Masalah Dalam Kualitas Dan Pelayanan Pendidikan


1. Lemahnya sistem pendidikan serta pelayanan dalam kegiatan belajar
mengajar
Sistem pendidikan di Indonesia sangat lemah dalam proses belajar
mengajar, ini bisa dilihat adanya pergantian mentri maka berganti
pula sistem pendidikan yang diterapakan. Tidak bakunya standar
pendidikan kita juga menyebabkan ketidapastian dalam usaha
peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan untuk menetapkan standar
kelulusan pun Indonesia masih sering kebingungan. Tidak hanya
sekedar masalah kurikulum, kualitas pengajar pun bisa dibilang tidak
sesuai dengan standar yang seharusnya. Kebanyakan para guru yang
ditugaskan oleh tiap sekolah untuk memberikan transfer ilmu seperti
kebingungan dalam mengajar. Entah karena bingung dengan standar
pendidikan yang selalu berubah atau karena memang tidak ahli
dalam bidang yang diajarkan.
2. Kinerja Tenaga Kependidikan belum maksimal
Berbeda dengan kebanyakan negara, Indonesia memperbolehkan
semua lulusan institusi pendidikan keguruan menjadi tenaga
pengajar, tanpa perlu melewati ujian dalam hal kesiapan untuk
memberikan ilmu pengetahuan dan keahlian mereka pada kondisi
sekolah yang beragam. Pada waktu yang sama terdapat kesulitan
untuk memberhentikan tenaga pengajar yang tidak mampu mengajar.
Saat ini, dari sekitar 2,7 juta guru ada 1,7 yang belum terkualifikasi
sarjana atau diploma 4. Dari jumlah itu, 1 juta guru mengajar di

16
Sekolah Dasar dan 173 ribu mengajar di Madrasah
Ibtidaiyah.Sebanyak 723 ribu guru yang belum terkualifikasi
berstatus guru swasta.Ini yang membuat kualitas pendidikan menjadi
rendah.
3. Kualitas pelayanan pendidikan pun bisa sangat memprihatinkan
Masih banyaknya bangunan sekolah yang sangat buruk
kondisinya.Sekolah- sekolah yang beratapkan langit pun sering kita
temui.Lantainya pun terbuat langsung dari tanah, serta tidak
cukupnya buku-buku yang seharusnya didapatkan oleh setiap
siswa.Belum lagi mahalnya biaya sekolah dan kuliah yang
menyebabkan banyak orangtua yang enggan untuk menyekolahkan
anak-anak mereka.Padahal kita semua tahu bahwa pendidikan
merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia.Inilah realita
yang dialami dunia pendidikan di Indonesia.

2.2.9 Langkah Penyelesaian Masalah Dalam Meningkatkan Kualitas


Pendidikan
Sejumlah permasalahan dalam pendidikan menunjukkan perlunya suatu
agenda reformasi yang didorong oleh keinginan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan dasar di Indonesia. Peningkatan kualitas pendidikan
ini dapat dilakukan melalui :
1. Menerapkan manajemen berbasis sekolah Diharapkan sekolah serta
masyarakat dapat ikut berkontribusi dalam peningkatan mutu
pendidikan dasar secara signifikan. Peningkatan manajemen
berbasis sekolah dapat ditempuh dengan cara:
a. Persiapkan tenaga pengajar yang lebih baik dalam mengelola
sekolah. Bangun dan kembangkan program pelatihan yang
efektif dalam perencanaan dan pembuatan anggaran,
pengelolaan keuangan, membuat suatu penilaian dan strategi
komunikasi bagi kepala sekolah dan anggota komite sekolah.

17
b. Menciptakan hibah pendidikan yang pro-orang miskin untuk
proyek-proyek yang didasarkan atas insiatif sekolah dan
masyarakat.
Beberapa hibah dapat merangsang munculnya inovasi serta
percobaan dalam mencari sistem pendidikan yang baik, terutama
dengan maksud untuk mengurangi ketimpangan yang terjadi di
daerah miskin.Bantuan khusus amat dibutuhkan bagi
sekolahsekolah dengan kualitas yang masih dibawah standar
minimal.
2. Membangun jaminan kualitas dan sistem pengawasan secara
nasional
Sistem pelaporan informasi pendidikan dengan cara lama yang
sentralistis telah berakhir. Sistem tersebut harus digantikan dengan
mekanisme yang lebih ditentukan oleh kebutuhan akan informasi
dan kemampuan daerah, sistem itu juga harus dapat melayani
kebutuhan manajemen di setiap jenjang pendidikan serta
menekankan standar kecakapan dan akuntabilitas. Pada tingkat
sekolah, informasi pendidikan merupakan alat untuk mengevaluasi
pemahaman murid dalam mata pelajaran tertentu, dan informasi ini
juga berperan sebagai alat komunikasi mengenai kebutuhan serta
keberhasilan yang telah dicapai oleh sekolah kepada orang tua
maupun kepada komunitas sekolah pada umumnya.
3. Meningkatkan kualitas pengajaran melalui reformasi jenjang karir
guru
Tenaga pengajar merupakan media utama dimana melalui mereka
murid-murid belajar dan alokasi dana untuk gaji guru memakan
sebagian besar anggaran publik. Para tenaga pengajar di Indonesia
sepakat mengenai perlunya kebutuhan untuk mereformasi profesi
guru. Reformasi ini dapat ditempuh melalui :
a. Memperkenalkan sistem akreditasi yang transparan. Sistem
akreditasi ini harus mencakup program pelatihan sebelum
mengajar selama dua tahun ke depan. Seluruh proses akreditasi

18
tersebut diselesaikan dalam waktu 4 tahun ke depan. Berbagai
program pelatihan tersebut juga diharuskan untuk mendapatkan
akreditasi ulang setiap lima tahun sekali. Kemudian
publikasikan secara lebih luas hasil dari proses akreditasi
tersebut, termasuk hasil dari akreditasi ulang. Untuk mendukung
sistem akreditasi ini, pihak pemerintahan daerah serta pihak
sekolah diharapakan agar mempekerjakan tenaga pengajar yang
hanya berasal dari program yang telah terakreditasi.
b. Tempatkan dan promosikan guru berdasarkan kualitas.
Mengentikan praktek pembelian posisi guru dan gantikan
dengan menciptakan suatu ujian praktek dan proses sertifikasi
untuk para guru di tingkat nasional, kemudian kemukakan
secara terbuka proses pendaftaran serta seleksinya. Publikasikan
hasil ujian praktek guru tersebut kepada media massa. Para guru
juga dituntut untuk selalu memperbarui sertifikat mereka secara
periodik dalam rangka promosi jabatan.
c. Memulai program pengembangan untuk seluruh jenjang karir
bagi guru dan kepala sekolah. Program tersebut harus meliputi
persiapan pra-mengajar, kemudian penempatan mengajar dan
terakhir pengembangan profesi yang berkelanjutan.
d. Meningkatkan kesejateraan guru Pemerintah harus
memperhatikan kesejahteraan guru, kita bias melihat banyak
guru yang berpenghasilan rendah namun tidak sebanding
dengan pengorbanan yang dilakukan dalam proses belajar
mengajar.
4. Restrukturisasi peran departemen pendidikan
Sebagai bagian dari pergantian pemerintahan, departemen
pendidikan dituntut untuk melakukan restrukturisasi dan
transformasi di masa yang akan datang. Tugas utama kementrian
pendidikan di era desentralisasi bukan lagi memberikan pelayanan
pendidikan secara langsung. Tugas kementrian harus meliputi
pembuatan kebijakan, mengatur standar pendidikan, mengukur

19
performa, pemberdayaan unitunit pendidikan yang telah
didesentralisasi untuk mencapai standar kualitas, merangsang
inovasi serta memperluas pembelajaran melalui eksperimen, dan
memberikan perhatian besar pada ketimpangan pendidikan diantara
daerah yang kaya dengan miskin serta fokus pada ketidakmampuan
daerah miskin untuk menyediakan pendidikan dengan kualitas yang
mencukupi. Lembaga yang sentralistis serta birokrasi yang besar
sudah tidak dibutuhkan lagi untuk menyelesaikan tantangan yang
dihadapi oleh Indonesia saat ini. Pada kenyataannya, hal itu malah
akan menghambat pembangunan. Penetapan sistem pendidikan
yang baku serta tidak harus berubah pada setiap pergantian menteri
harus bisa menjadi target pemerintah. Hal ini bisa memberikan
kepastian bagi setiap pengajar dan sekolah.

2.2.10 Keputusan Menteri Pendidkan dan Kebudayaan RI tentang Standar


Pelayanan Minimal (SPM)
1. Pasal 3
a. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Sekolah Dasar
(SD)/ Madrasah Ibtidaiyah (MI) terdiri atas :
1) 95 % anak dalam kelompok usia 7-12 tahun bersekolah di
SD/MI.
2) Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 % dari jumlah
sis-wa yang bersekolah.
3) 90 % sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai
dengan standar teknis yang ditetapkan secara nasional.
4) 90 % dari jumlah guru SD yang diperlukan terpenuhi.
5) 90 % guru SD/MI memiliki kualifikasi sesuai dengan
kompe-tensi yang ditetapkan secara nasional .
6) 95 % siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap
mata pelajaran.
7) Jumlah siswa SD/MI per kelas antara 30 – 40 siswa.

20
8) 90 % dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu
pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan”
dalam mata pelajaran membaca, menulis dan berhitung
untuk kelas III dan mata pelajaran bahasa, matematika, IPA
dan IPS untuk kelas V.
9) 95 % dari lulusan SD melanjutkan ke Sekolah Menengah
Pertama (SMP)/Madrasah Tsana-wiyah (MTs).

b. SPM Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah


Tsanawiyah (MTs) terdiri atas:
1) 90 % anak dalam kelompok usia 13 -15 tahun bersekolah di
SMP/MTs.
2) Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 % dari jumlah
siswa yang ber-sekolah.
3) 90 % sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai
dengan standar teknis yang di-tetapkan secara nasional.
4) 80 % sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk
melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non
mengajar lainnya.
5) 90 % dari jumlah guru SMP yang diperlukan ter-penuhi.
6) 90 % guru SMP/MTs memiliki kualifikasi, sesuai dengan
kompetensi yang ditetapkan secara nasional.
7) 100 % siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap
mata pelajaran.
8) Jumlah siswa SMP/MTs per kelas antara 30 – 40 siswa.
9) 90 % dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu
pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan”
dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika, IPA, dan IPS di kelas I dan II.
10) 70 % dari lulusan SMP/ MTs melanjutkan ke Sekolah
Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)/ Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK).

21
2. Pasal 4
a. SPM Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah
Aliyah (MA) terdiri atas :
1) 60 % anak dalam kelompok usia 16-18 tahun bersekolah di
SMA/MA dan SMK;
2) Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 % dari jumlah
siswa yang ber-sekolah.
3) 90 % sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai
dengan standar teknis yang ditetap-kan secara nasional.
4) 80 % sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk
melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar
lainnya.
5) 90 % dari jumlah guru SMA/MA yang diperlukan terpenuhi.
6) 90 % guru SMA/MA memiliki kualifikasi sesuai dengan
kompetensi yang ditetapkan secara nasional.
7) 100 % siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap
mata pelajaran.
8) Jumlah siswa SMA/MA per kelas antara 30 – 40 siswa.
9) 90 % dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu standar
nasional mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran
bahasa Inggris, Geografi, Matematika Dasar untuk kelas I dan
II.
10) 25 % dari lulusan SMA/ MA melanjutkan ke perguruan tinggi
yang ter-akreditasi.
b. SPM Pendidikan SMK terdiri atas :
1) Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 % dari jumlah
siswa yang ber-sekolah.
2) 90 % sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai
dengan standar teknis yang di-tetapkan secara nasional.
3) 80 % sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk
melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar
lainnya.

22
4) 90 % dari jumlah guru SMK yang diperlukan ter-penuhi.
5) 90 % guru SMK memiliki kualifikasi sesuai dengan
kompetensi yang ditetapkan secara nasional.
6) 100 % siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap
mata pelajaran.
7) Jumlah siswa SMK perkelas antara 30 – 40 siswa.
8) 20 % dari lulusan SMK melanjutkan ke Perguruan Tinggi yang
terakreditasi.
9) 20 % dari lulusan SMK diterima di dunia kerja sesuai dengan
keahliannya.
3. Pasal 5 (Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Non Formal)
a. SPM pendidikan keaksaraan terdiri atas :
1) Semua penduduk usia pro-duktif (15-44 tahun) bisa membaca
dan menulis.
2) Jumlah orang buta aksara dalam kelompok usia 15-44 tahun
tidak melebihi 7 %.
3) Jumlah orang buta aksara dalam kelompok usia di atas 44
tahun tidak melebihi 30 %.
4) Tersedianya data dasar keaksaraan yang diperbarui secara
terus menerus.
b. SPM kesetaraan Sekolah Dasar (SD) terdiri atas :
1) Sebanyak 85 % dari jumlah penduduk usia sekolah yang
belum bersekolah di SD/MI menjadi peserta didik Program
Paket A.
2) Peserta didik program paket A yang tidak aktif tidak melebihi
10 %.
3) Sebanyak 100 % peserta didik memiliki modul Program Paket
A.
4) Sejumlah 95 % peserta didik yang mengikuti ujian akhir
Program Paket A lulus ujian kesetaraan.

23
5) Sejumlah 95 % lulusan Program Paket A dapat melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMP, MTs, atau
Program Paket B).
6) Sejumlah 90 % peserta didik yang mengikuti uji sampel mutu
pendidikan men-dapat nilai memuaskan.
7) Sejumlah 100 % dari tutor Program Paket A yang diperlukan
terpenuhi.
8) Sebanyak 90 % tutor Program Paket A memiliki kualifikasi
sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan secara
nasional.
9) Sejumlah 90 % pusat kegiatan belajar masyarakat memiliki
sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis
pembelajaran.
10) Sebanyak 100 % peserta didik memiliki sarana belajar.
11) Tersedianya data dasar kesetaraan sekolah dasar yang
diperbarui secara terus menerus.
c. SPM Kesetaraan Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdiri atas :
1) Sebanyak 90 % dari jumlah penduduk usia sekolah yang
belum bersekolah di SMP/MTs menjadi peserta didik Program
Paket B.
2) Peserta didik Program Paket B yang tidak aktif tidak melebihi
10 %.
3) Sebanyak 100 % peserta didik memiliki modul Program Paket
B.
4) Sejumlah 80 % peserta didik yang mengikuti ujian akhir
Program Paket B lulus ujian kesetaraan.
5) Sejumlah 50 % lulusan Program Paket B dapat memasuki
dunia kerja.
6) Sejumlah 50 % lulusan Program Paket B dapat melanjutkan ke
jenjang pen-didikan yang lebih tinggi (SMA, SMK, MA, atau
Program Paket C).

24
7) Sejumlah 90 % peserta didik Program Paket B yang mengikuti
uji sampel mutu pendidikan mendapat nilai memuaskan.
8) Sejumlah 100 % tutor Program Paket B yang diperlukan
terpenuhi.
9) Sebanyak 90 % tutor Program Paket B memiliki kualifikasi
sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan secara
nasional.
10) Sejumlah 90 % pusat kegiatan belajar masyarakat memiliki
sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis
pembelajaran.
11) Tersedianya data dasar ke-setaraan Sekolah Menengah
Pertama (SMP) yang di-perbarui secara terus menerus.
d. SPM Kesetaraan Sekolah Menengah Atas (SMA) terdiri atas:
1) Sebanyak 70 % dari jumlah penduduk usia sekolah yang
belum bersekolah di SMA/MA, SMK menjadi peserta didik
Program Paket C.
2) Peserta didik Program Paket C yang tidak aktif tidak melebihi
5 %.
3) Sebanyak 60 % peserta didik memiliki modul Program Paket
C.
4) Sejumlah 80 % peserta didik yang mengikuti ujian akhir
Program Paket C lulus ujian kesetaraan.
5) Sejumlah 60 % lulusan Program Paket C dapat memasuki
dunia kerja.
6) Sejumlah 10 % lulusan Program Paket C dapat melanjutkan ke
jenjang pendidik- an yang lebih tinggi.
7) Sejumlah 90 % peserta didik Program Paket C yang mengikuti
uji sampel mutu pendidikan mendapat nilai memuaskan.
8) Sejumlah 100 % tutor Program Paket C yang diperlukan
terpenuhi.

25
9) Sebanyak 90 % tutor Program Paket C memiliki kualifikasi
sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan secara
nasional.
10) Sejumlah 90 % pusat kegiatan belajar masyarakat memiliki
sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis
pembelajaran.
11) Tersedianya data dasar ke-setaraan Sekolah Menengah Atas
(SMA) yang diperbarui secara terus menerus.
e. SPM Pendidikan Keterampilan dan Bermata pencaharian terdiri
atas:
1) Sebanyak 25 % anggota masyarakat putus sekolah,
pengangguran, dan dari keluarga pra sejahtera menjadi peserta
didik dalam kursus-kursus/pelatihan/kelompok be lajar
usaha/magang.
2) Sebanyak 100 % lembaga kursus memiliki ijin operasional dari
pemerintah atau pemerintah daerah.
3) 25 % lembaga kursus dan lembaga pelatihan terakreditasi.
4) Sebanyak 100 % kursus/ pelatihan/kelompok belajar
usaha/magang dibina secara terus menerus.
5) Sejumlah 90 % lulusan kursus, pelatihan, magang, kelompok
belajar usaha dapat memasuki dunia kerja.
6) Sejumlah 100 % tenaga pendidik, instruktur, atau penguji
praktek kursus-kursus/ pelatihan/kelompok belajar
usaha/magang yang diperlukan terpenuhi.
7) Sebanyak 90 % tenaga pendidik, instruktur, atau penguji
praktek kursus/ pelatihan/kelompok belajar usaha/magang
memiliki kualifikasi sesuai dengan standar kompetensi yang
di-persyaratkan.
8) Sejumlah 75 % peserta ujian kursus-kursus memperoleh ijazah
atau sertifikat.

26
9) Sejumlah 90 % kursus-kursus/pelatihan/kelompok belajar 24
usaha/magang memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai
dengan standar teknis yang ditetapkan.
10) Tersedianya data dasar kursus – kursus/pelatihan/kelompok
belajar usaha/magang yang diperbarui secara terus menerus.
f. SPM Pendidikan Taman Kanak-kanak terdiri atas :
1) 20 % jumlah anak usia 4-6 tahun mengikuti program TK/RA.
2) 90 % guru layak mendidik TK/RA dengan kualifikasi se-suai
dengan standar kom-petensi yang ditetapkan secara nasional.
3) 90 % TK/RA memiliki sarana dan prasarana belajar/ bermain.
4) 60 % TK/RA menerapkan manajemen berbasis sekolah sesuai
dengan manual yang ditetapkan oleh Menteri.
g. SPM Pendidikan pada Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain
atau yang sederajat terdiri atas :
1) 65 % anak dalam kelompok 0–4 tahun meng-ikuti kegiatan
Tempat Penitipan Anak, Kelompok Bermain atau yang
sederajat.
2) 50 % jumlah anak usia 4-6 tahun yang belum ter-layani pada
program PAUD jalur formal mengikuti program PAUD jalur
non formal.
3) 50 % guru PAUD jalur non formal telah mengikuti pelatihan di
bidang PAUD.
4. Pasal 6 (Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Kepemudaan)
a. SPM Pendidikan Kepemudaan terdiri atas :
1) Tersedianya 5 program ke- pemudaan oleh lembaga
kepemudaan untuk meningkatkan kapasitas kemampuan
pemuda di bidang kewirausahaan, kepemim-pinan, wawasan
kebangsaan, kebudayaan dan, pendidikan.
2) Partisipasi pemuda dalam kegiatan pembangunan,
pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan,
social ekonomi, dan kemasyarakatan meningkat 5 % setiap
tahun.

27
3) Angka pengangguran pemuda menurun 5 % setiap tahun.
5. Pasal 7 (Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Kegiatan Pendidikan
Olah Raga)
a. SPM Olahraga Pendidikan, Masyarakat dan Prestasi terdiri atas:
1) 65 % jumlah siswa yang mengikuti kegiatan cabang olahraga
yang beragam di luar mata pelajaran olahraga di sekolah.
2) 100 % terbukanya kesempatan bagi siswa untuk berpartisipasi
dan berkreasi dalam pendidikan jasmani yang tertuang dalam
kurikulum.
3) 70 % siswa yang memiliki tingkat kebugaran yang baik.
4) 15 Klub Olahraga Pelajar yang dibina di wilayah kabupaten/kota.
5) 10 siswa per satuan pendidikan yang terpilih mengikuti POPDA
(Pekan Olahraga Pelajar Daerah) tingkat provinsi.
6) Satu lapangan terbuka dapat digunakan 5 sekolah.
7) 1 orang guru pendidikan jasmani mengajar 9 rombongan belajar.
8) 75 % peralatan olahraga telah sesuai dengan cabang olahraga.
9) Berfungsinya BAPOPSI (Badan Pembina Olahraga Pelajar
Seluruh Indonesia) di Kabupaten/Kota.
10) 7 cabang olahraga yang di kompetisikan secara teratur minimal
setiap dua tahun sekali. k. 80 % berfungsinya Komite Olahraga
Nasional Daerah (KONIDA) tingkat Kabupaten/ Kota.

2.2.11 Kebijakan Standar Pelayanan Minimal Di Indonesia


Standar pelayanan minimal sebagai sebuah kebijakan memiliki
kedudukan yang kuat dan bersifat spesifik mengingat konsekuensi
hukum yang disandangnya karena bersifat mengikat seluruh
penyelenggara negara dan masyarakat, baik secara individual maupun
kelompok.Sebagai sebuah kebijakan, standar pelayanan minimal selalu
didukung oleh peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar
hukum pemberlakuannya dan memiliki arti yang spesifik sesuai dengan
pemaknaan istilah yang digunakan sesuai dasar hukumnya. 7 Di
Indonesia, kebijakan standar pelayanan minimal (SPM) secara nasional

28
muncul dalam upaya pelaksanaan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah, yaitu termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom pada Penjelasan Pasal 3 ayat (2). Secara lebih tegas
kebijakan SPM mulai efektif diberlakukan berdasarkan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri Nomor 100/757/OTDA/2002 yang ditujukan
kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesia mengenai
Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Pertimbangan yang dikemukakan dalam pemberlakuan SPM antara lain
adalah:

Pertama, Terwujudnya dengan segera penyelenggaraan kewenangan


wajib dan penentuan serta penggunaan standar pelayanan minimal dalam
rangka mendorong penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah;

Kedua, penyelenggaraan kewenangan wajib merupakan penyediaan


pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan standar pelayanan minimal
(SPM) sebagai tolok ukur yang ditentukan oleh Pemerintah;

Ketiga, dalam pemantauan penyelenggaraan SPM banyak ditemukan


permasalahan yang bervariasi baik di Pusat, Provinsi maupun
Kabupaten/Kota.Kebanyakan Daerah belum melaksanakan SPM karena
merupakan hal baru, dan konsep SPM belum lengkap sehingga sulit untuk
diterapkan. Namun di sisi lain SPM harus diterapkan secara tepat karena
berdampak terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Daerah baik dari
segi perencanaan dan pembiayaan maupun pertanggungjawaban.
Pendidikan dan Kesehatan, namun beberapa instansi pemerintah telah
menyusun standar pelayanan minimal sebagai respon dari PP No. 25/2000,
seperti Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah mengenai
Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang,
Perumahan dan Pemukiman dan Pekerjaan Umum berdasarkan Keputusan
Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001.

29
Hal ini seperti disinggung dalam SE Mendagri No. 100/757/OTDA/2002
yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa “Untuk itu Pemerintah,
dalam hal ini Departemen/LPND telah menerbitkan Pedoman Standar
Pelayanan Minimal (PSPM).

Dalam kurun waktu tiga tahun selanjutnya, beberapa instansi pemerintah


dan beberapa pemerintah daerah melaksanakan kegiatan penyusunan SPM
berdasarkan SE Mendagri tersebut.Namun sebelum kebijakan SPM
tersebut berlaku secara efektif, UU No. 22/1999 yang menjadi cantholan
kebijakan SPM telah diganti dengan UU No. 32/2004. Satu tahun
kemudian tepatnya tanggal 28 Desember 2005 telah diterbitkan ketentuan
baru mengenai SPM berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005 mengenai
Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal yang agak berbeda
dengan kebijakan SPM sebelumnya.

Perbedaan yang mendasar dari kedua kebijakan SPM tersebut adalah


sebagai berikut:

a. Pertama, dalam kebijakan SPM berdasarkan PP No. 65/2005, SPM


diartikan sebagai ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar
yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap
warga negara secara minimal, sedangkan menurut SE Mendagri No.
100/757/OTDA/2002, SPM diartikan sebagai tolok ukur untuk
mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang
berkaitan 9 dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Dengan
demikian pengertian SPM berdasarkan PP No. 65/2005 lebih tegas
menyebutkan “jenis dan mutu pelayanan dasar“ sebagai tolok ukur
kinerja penyelenggaraan urusan wajib daerah (kewenangan wajib
daerah) dan secara eskplisit menyebutkan arti kata minimal dari sudut
pandang rakyat dengan klausul “yang berhak diperoleh setiap warga
secara minimal.

30
b. Kedua, dalam kebijakan SPM berdasarkan PP No. 65/2005, SPM hanya
untuk Urusan Wajib Pemerintah yang menjadi tanggung jawab
Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) dan urusan pilihan tidak
menggunakan SPM tetapi standar kinerja, sedangkan pada kebijakan
SPM berdasarkan SE Mendagri No. 100/757/OTDA/2002, SPM
ditujukan untuk Kewenangan Wajib dan tidak dikenal istilah
Kewenangan Pilihan (kewenangan = urusan pemerintahan) ;
c. Ketiga, dalam ketentuan SPM yang baru (2005) hanya dikenal SPM
Nasional yang disusun oleh Departemen Teknis/LPND dan tidak
dikenal tingkatan SPM seperti: SPM Nasional yang disusun
Departemen Teknis/LPND, SPM Provinsi yang disusun oleh
Pemerintah Provinsi dan SPM Kabupaten/Kota yang disusun oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota seperti pada kebijakan sebelumnya;
d. Keempat, dalam ketentuan SPM yang sebelumnya Daerah mendapat
tugas untuk menyusun SPM sesuai dengan kondisi riil, potensi dan
kemampuan yang dimilikinya. Pada kebijakan yang baru, Daerah hanya
memiliki tugas untuk menerapkan SPM dengan menyusun rencana
pencapaian SPM berdasarkan SPM yang disusun oleh departemen
teknis/LPND yang telah mendapatkan rekomendasi dari DPOD (Dewan
Pertimbangan otonomi Daerah) dan telah dikonsultasikan dengan Tim
Konsultasi SPM;
e. Kelima, dalam ketentuan SPM tahun 2005, kegiatan pembinaan dan
pengawasan yang berupa kegiatan monitoring dan evaluasi
dilaksanakan secara berjenjang, yaitu: Pemerintah (Menteri/Pimpinan
LPND) melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penerapan SPM
oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Propinsi melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap penerapan SPM oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota sedangkan pada kebijakan SPM sebelumnya kegiatan
monitoring dan evaluasi dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil
pemerintah di Daerah terhadap pelaksanaan SPM oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.

31
Hal yang perlu dicatat dalam Kebijakan SPM berdasarkan PP No. 65/2005
adalah sebagai berikut: Pertama, semua peraturan perundangundangan yang
berkaitan dengan SPM dan tidak sesuai lagi dengan PP No. 65/2005 wajib
diadakan penyesuaian paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun sejak
ditetapkannya PP ini yaitu tanggal 28 Desember 2007; Kedua,
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah NonDepartemen menyusun SPM
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang bersangkutan paling lambat
dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak PP ini berlaku yaitu tanggal 28 Desember
2008.

Untuk memenuhi ketentuan tersebut di atas maka pada tanggal 7 Februari


2007 diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 6 Tahun 2007
tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan
Minimal. Peraturan Menteri Dalam Negeri ini mengatur mengenai empat hal
pokok mengenai penyusunan dan penetapan SPM yang meliputi: (a) jenis
pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM; (b) Indikator dan nilai SPM;
(c) Batas waktu perencanaan SPM, dan (d); Pengorganisasian
Penyelenggaraan SPM. Adapun keempat ruang lingkup pengaturan tersebut
meliputi hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM mengacu pada
kriteria:
1) Jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM merupakan bagian
dari pelaksanaan urusan wajib daerah;
2) Pelayanan dasar yang di-SPM-kan merupakan pelayanan yang sangat
mendasar yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal sehingga
dijamin ketersediaannya oleh konstitusi, rencana jangka panjang nasional,
dan konvensi internasional yang sudah diratifikasi, tanpa memandang
latar belakang pendapatan, sosial, ekonomi, dan politik warga;
3) Penyelenggaraan pelayanan dasar tersebut didukung dengan data dan
informasi terbaru yang Iengkap secara nasional serta latar belakang
pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan

32
pelayanan dasar dengan berbagai implikasinya, termasuk implikasi
kelembagaan dan pembiayaannya;
4) Pelayanan dasar yang di-SPM-kan terutama yang tidak menghasilkan
keuntungan materi.

Berdasarkan kriteria di atas maka jenis pelayanan yang berpedoman pada


SPM dapat ditentukan dengan melakukan analisis terhadap bidang urusan
wajib sesuai UU No. 32/2005 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan
Pemerintah No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kepada Masyarakat, dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah.

33
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam Indonesia Sehat 2010, lingkungan yang diharapkan adalah yang
kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu lingkungan yang bebas dari
polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan
dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan
kesehatan, serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong
menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa.

Perilaku masyarakat Indonesia Sehat 2010 yang diharapkan adalah yang


bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah
resiko terjadinya penyakit serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan
masyarakat. Selanjutnya kemampuan masyarakat yang diharapkan pada masa
depan adalah yang mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu
tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi.

SPM merupakan standar minimal pelayanan publik yang harus disediakan


oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Adanya SPM akan menjamin
minimal pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat dari pemerintah.
Pelayanan yang bermutu/berkualitas adalah pelayanan yang berbasis
masyarakat, melibatkan masyarakat dan dapat diperbaiki secara terus menerus.
SPM ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini departemen teknis,
sedangkan pedoman penyusunan SPM ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri
sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 167
(3).

3.2 Saran
Disadari oleh penulis bahwa makalah yang telah disusun oleh penulis yang
berjudul “Standar Informasi Kesehatan” masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

34
karena itu, penulis mengharapkan saran terhadap makalah yang bersifat
membangun agar makalah yang dibuat dapat menjadi lebih baik dan
bermanfaat bagi orang lain dan khususnya tim penulis.

35
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes. 2011. Pedoman Sistem Informasi Kesehatan. Jakarta: Kementrian


Kesehatan.
Depkes RI. 2001. Sistem Informasi Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Subarguna, Boy. S. 2004. Sistem Informasi Kesehatan Rumah Sakit. Yogyakarta:
RSU PKU Muhammadiyah.

36

Anda mungkin juga menyukai