Anda di halaman 1dari 4

Nama : Noviar Maharani

NIM : 121911133001
Kelas : Linguistik Bandingan C

RESUME METODE PERBANDINGAN

1. SEJARAH METODE PERBANDINGAN

Pada abad XIX sarjana bahasa telah menggunakan teknik untuk membandingkan antar
bahasa guna menemukan kesamaan antar bahasa kerabat. Dalam hal ini, biasanya disebut
dengan metode klasik yang meliputi: hukum bunyi, rekonstruksi fonemis, dan rekonstruksi
morfemis. Pada hakikatnya, suatu metode menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang
bunyi bahasa. Teknik penetapan korespondensi bunyi antar bahasa lebih lanjut untuk
menyusun hipotesa mengenai bunyi proto dalam bahasa kerabat. Penetapan sebuah fonem
proto dilakukan melalui rekonstruksi atas pemulihan berulang-ulang untuk menemukan
fonem proto tingkat perkembangannya. Karena penetapan fonem proto harus melalui bentuk,
yang akan menghasilkan morfem proto yang dianggap bahasa proto dari jumlah bahasa
kerabat.

Para peneliti telah mengembangkan berbagai metode untuk menentukan bahasa proto dengan
mencari kesamaan antar dua bahasa. Metode tersebut dikenal sebagai metode klasik. Metode
perbandingan klasik dalam Keraf (1996) terbagi atas Hukum Bunyi (Grimm’s Law),
rekonstruksi fonemis, dan rekonstruksi morfologis. Perbandingan dalam bidang fonologi juga
dilakukan untuk menemukan kata-kata atau morfem mana yang dapat dipergunakan sebagai
bahan perbandingan. Maka dari itu, linguistik bandingan mempersoalkan kata-kata kerabat
yang dianggap dimiliki bersama oleh bahasa-bahasa keraat yang diwariskan bersama dari
bahasa proto.

2. PENGERTIAN HUKUM BUNYI

Menurut paget, menyatakan bahwa teori-teori yang menjelaskan proses lahirnya bahasa itu
benar. Bahasa timbul dari bunyi-bunyi tertentu yang mengalami perkembangan tertentu (pra-
morfem) pada kelompok hominid. Dengan adanya berbagai asumsi, maka dapat dimengerti
bahwa warisan sekelompok asal tersebut akan diturunkan dan dikembali melalui kata-kata
kerabat dewasa ini. Hukum bunyi mulai dirumuskan seorang ahli bahasa bernam Jakob
Grimm (1787-1863), yang menemukan kenyataan bahwa ada pergeseran bunyu yang teratur
antara bahasa-bahasa German di satu pihak dan bahasa Yunani Latin di pihak lain.
Pergeseran bunyi tersebut diuraikan dalam bukunya Deutsche Gramatik pada tahun 1819.
Ahli Junggraatiker memberi status yang kuat bagi hukum bunyi dang mengatakan bahwa
hukum ini berlaku tanpa kecuali, karena hukum berlangsung seara buta. Bila ada
penyimpangan itu akan dirumuskan kembali dalam hukum tertentu yang lain. Bila tidak dapat
dijelaskan hal itu merupakan akibat dari analogi.

3. PENERAPAN HUKUM BUNYI PADA BAHASA AUSTRONESIA


Sarjana bahasa seperti, Brandes, Van Der Tuuk, dan Brandstatter mencoba menerapkan
metode perbandingan dengan menyimpulkan bahasa sebagai penerapan hukum bunyi pada
bahasa Austronesia, sebagai berikut:

a. UMUM
Fonem /ə/
Fonem trill uvular /R/ menjadi /g/ dalam bahasa Bisaya, menjadi /h/ dalam bahasa Dayak.
Sedangkan dalam bahasa Jawa Kuno mulanya menjadi /h/ lalu menghilang /Ø/. Selanjutnya
trill apical /r/ berkembang lebih jauh memantulkan fonem /r/, /d/, /l/ dalam bahasa-bahasa
Austronesia kontemporer.

Fonem Trill
Fonem trill uvular /R/ menjadi /g/ dalam bahasa Bisanya, menjadi /h/ dalam bahasa Dayak.
Sedangkan dalam bahasa Jawa Kuno mulanya menjadi /h/ lalu menghilang /Ø/. Selanjutnya
trill apical /r/ berkembang lebih jauh memantulkan fonem /r/, /d/, /l/ dalam bahasa-bahasa
Austronesia kontemporer.

Fonem /k/ dan /h/


Fonem Austronesia Purba /k/ dipantulkan secara linear dalam bahasa Karo, Melayu, dan
Gayo. Dalam bahasa Toba berubah menjadi /h/.

Diftong /uy/ dan /ay/Diftong /uy/ dalam bahasa Austronesia Purba bertahan dalam bahasa
Jawa Kuno, Formosa, tetapi berubah menjadi /i/ dalam bahasa Karo, dan /c/ dalam bahasa
Lamalera.

Penghilangan Konsonan antar Vokal

Penghilangan fonem /h/ antar vokal dalam bahasa Bugis

Penghilangan fonem /s/ antar vokal dalam bahasa Malagasi

Penurunan kata /wā/ menjadi wara dalam bahasa Jawa Kuno

Kata /fā/ dalam bahasa Lamalera merupakan kerabat kata /wā/

Bahasa Aceh menekankan kata pada suku kata akhir dan menyebabkan penghilangan suku
kata kedua dari akhir.

b. PERUBAHAN FONEM PADA BAHASA BUGIS DAN MAKASSAR

Keraf (1996) mengemukakan beberapa korespondensi khusus antara bahasa Austronesia lain
dengan bahasa Bugis dapat disebut antara lain:
Semua konsonan eksplosif pada akhir kata bahasa-bahasa lain akan berubah menjadi
konsonan glottal dalam bahasa Bugis. Misalnya kata /apit/ Melayu, Gayo /səpit/ akan menjadi
/pipiɁ/ dalam bahasa Bugis.

Semua konsonan sengau dalam bahasa-bahasa lain akan menjadi /ŋ/ dalam bahasa Bugis:
/pohom/ Melayu menjadi /poŋ/ dalam bahasa Bugis.

Konsonan pada suku kedua dari akhir yang mengikuti /ə/ akan mengalami geminasi,
misalnya kata /pədəm/ dalam bahasa Karo akan menjadi /pəddəŋ/, kata /səsal/ dalam bahasa
Melayu, /basol/ dalam bahasa Bisaya menjadi /səssəɁ/ dalam bahasa Bugis.

Konsonan /l/ pada akhir kata dalam bahasa Bugis berubah menjadi konsonan glottal, tetapi
akan menjadi /rr/ --geminasi, kalau diikuti akhiran, misalnya /səssəɁ/ tetapi akan menjadi
/pasəssərrəŋ/

Konsonan /s/ pada akhir kata dalam bahasa Bugis akan berubah menjadi konsonan glottal,
tetapi /s/ itu akan Kembali kalau mendapat akhiran, misalnya /nipiɁ/, tetapi karena akhiran -i,
konsonan /s/ akan Kembali /nipisi/

c. BAHASA MALAGASI

Keraf (1996) mengemukakan beberapa korespondensi bahasa Malagasi


sebagai berikut:
1. Dalam bahasa Austronesia terdapat konsonan /h/, namun dalam bahasa Malagasi konsonan
tersebut hilang.

2. Bunyi nasal pada akhir kata bahasa-bahasa lain akan menjadi /na/ dalam bahasa Malagasi.

3. Bunyi /I/ yang didahului oleh vokal /i/ dalam bahasa-bahasa Austronesia lainnya akan
menjadi /d/ dalam bahasa Malagasi.

4. Konsonan /t/ akhir pada bahasa Austronesia Purba atau bahasa-bahasa Austronesia
Kontemporer lainnya akan menjadi /tră/ dalam bahasa Malagasi.

Kritik atas hukum bunyi mempunyai prosedur perbandingan seperti yang dilakukan pada
abad lampau yang didasarkan pada aspek fonologis dengan membandingkan pasangan kata
yang tercatat, yang dilihat memiliki kesamaan bunyi dan makna atau tidak. Sehingga
penyimpulan tersebut, terutama di Amerika menerima rumusan Junggramatiker sebagai
dasar, dengan menambahkan perbaikan tertentu, agar segala yang dipakai dapat
dipertanggungjawabkan.

5. KORESPONDENSI BUNYI
Korespondensi bunyi merupakan segmen-segmen yang berkorespondensi bagi glos yang
sama , baik dilihat dari segi bentuk maupun makna, dalam bermacam-macam bahasa,
diperbandingkan satu sama lain. Hal ini, disusun menjadi perangkat korespondensi. Setelah
mendata sejumlah kata, mulailah diadakan perbandingan fonem dalam tiga segmen. Tiap
fonem yang terdapat dalam posisi yang sama dimasukkan dalam satu.

6. PEMBENTUKAN KORESPONDENSI FONEMIS


Suatu indikator mengenai kemungkinan adanya korespondensi fonemis antara sejumlah
bahasa, maka perlu adanya persyaratan lain yang harus dipenuhi untuk menyusun atau
menetapkan suatu korespondensi bunyi yang absah. Sesudah indikator semua tercatat kuat
adapun prosedur yang diperlukan korespondensi dalam mencari perangkat fonemis.

Anda mungkin juga menyukai