Anda di halaman 1dari 7

Abed Al-Jabiry Epistemologi Burhani

Oleh : Zaenal Abidin Sahrawi / 200303029

Abstrak :

Muhammad Abed Al-Jabiry adalah seorang filsuf muslim yang berasal dari Timur, tepatnya
Maroko. Ia termasuk salah satu pemikir Arab islam yang terkemuka dalam hal pemikiran nya
akan sebuah relevansi tradisi (turats) dizaman yang penuh dengan kemajuan (modernitas).
Epistemologi (teori pengetahuan) berasal dari bahasa Yunani, yaitu epistem, pengetahuan dan
logo, teori. Adapaun secara etimologi, epistemologi yaitu teori pengetahuan. Landasan dari
epistemologi adalah metode ilmiah, yakni cara yang dilakukan oleh ilmu dalam menyusun
pengetahuan yang benar. Bagi al-Jabiri Metode burhani bertumpuh sepenuhnya pada
seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik melalui panca indera, pengalaman, maupun
daya rasional, dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang semesta, bahkan juga sampai
menghasilkan kebenaran yang bersifat pospulatif.
Kata Kunci : Epistemologi, Epistemologi Burhani

A. Pendahuluan
Muhammad Abed Al-Jabiry lahir di kota figuig, Maroko tenggara pada tahun
1936. Al-Jabiry biasa ia dipanggil adalah seorang dosen filsafat dan pemikiran islam di
Fakultas Sastra Universitas Muhammad V, Rabat,Maroko. Al-Jabiry pertama kali masuk
sekolah agama, kemudian sekolah swasta Nasional (Madrasah Hurrah Wathaniah) yang
di dirikan oleh gerakan kemerdekaan. Mulai tahun 1958 Al-Jabiry memulai study filsafat
di Universitas Damaskus, Syria, tetapi satu tahun kemu dian beliau masuk di Universitas
Rabat yang baru didirikan. Kemudian pada tahun 1967 Al-Jabiry menyelesaikan ujian
Negara dengan thesis yang berjudul, “the philosophy of history of Ibn Khaldun”, dan
menyelesaika gelar Doktor nya pada almamater yang sama pada tahun 1970, dengan
disertasi yang berjudul “Fikr Ibn-Khaldun Asabiyyah wa ad-daulah: Ma’alim
Nazariyyah Khalduniyyah fi at-Tarikh al-Islami. 1
Muhammad Abed Al-Jabiry adalah seorang filsuf muslim yang berasal dari
Timur, tepatnya Maroko. Ia termasuk salah satu pemikir Arab islam yang terkemuka

1
Yandi Hafizallah, “Pemikiran Muhammad Abed Al-Jabiry terhadap Nalar Arab : Konsep dan Relevansi”, Jurnal
Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, (Vol 10, No 1, 2019), hlm 62-63
dalam hal pemikiran nya akan sebuah relevansi tradisi (turats) dizaman yang penuh
dengan kemajuan (modernitas). 2
Abed al-Jabiry banyak bergerak di bidang pendidikan. Ia telah mengajar filsafat
disekolah menengah dari tahun 1964, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan
nasional. Al-Jabiry juga aktif dalam menulis buku-buku,seperti tentang pemikiran islam,
tentang filsafat, isu social, teologi dan lain sebagainya. Selain aktif di dunia pendidikan
Al-Jabiry juga merupakan aktifis politik berideologi sosialis. Di anatara karya-karya
yang telah di terbitkan oleh Al-Jabiry ini adalah trilogy Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (A
Critique of Arab Reason) yang merupakan karya utama nya, dan telah mempengaruhi dan
menimbulkan perdebatan di Dunia Arab. Sedangkan untuk buku pertama nya Al-Jabiry
3
sendiri adalah Fikr Ibn Khaldun, Al-Abasiyyah wa al-Daulah.
Muhammad abed al-jabiry mencoba menyelesaikan persoalan epistemologis ini
dengan melakukan kritik terhadap nalar arab serta mengembangkan epistemology bayani,
irfani dan burhani. Pandangan ini dibangun untuk memberikan pondasi bagi
4
pengembangan penikiran islam kontemporer.
Proyek kritik nalar arab yang digagas oleh Al-Jabiri dilatar belakangi oleh
kegelisahan dan keprihatinan atas kegagalan kebangkitan islam pasca persinggungan nya
dengan kolonialisme barat sejak abad 19. Pembaruan pemikiran yang diharapkan mampu
membangkitkan peradaban islam tidak kunjung datang. Dunia arab bahkan semakin
dikagetkan dengan kekalahan perang melawan Israel pada tahun 1948 dan 1967. Abed
Al-Jabiri kemudian mengagas apa yang disebutnya sebagai “Kritik Nalar Arab”. Kritik
nalar arab diperlukan dalam rangka kembali pada prinsip-prinsip dasar sebagai landasan
kebangkitan umat islam5

B. Epistemologi
Epistemologi (teori pengetahuan) berasal dari bahasa Yunani, yaitu epistem,
pengetahuan dan logo, teori. Adapaun secara etimologi, epistemologi yaitu teori
2
Hardiono, “Epistemologi Postrukturalisme Objek Pemikiran Islam Abed Al-Jabiry dan Implikasinya Bagi Ilmu-Ilmu
dan Pemikiran Keislaman”, Tajdid, (Vol 19, No 1, 2020), hlm 111
3
Ibid, hlm 116
4
Bagus Mustakim, “Pemikiran Islam Abed Al-Jabiri: Latar Belakang, Konsep Epistemologi, Urgensitas dan
Relevasinya Bagi Pembaruan Kurikulum Pendidikan Agama Islam”, Journal of Research and Thought of Islamic
Education, (Vol 2, No 2, 2019), hlm 194
5
Ibid, hlm 196-197
pengetahuan. Landasan dari epistemologi adalah metode ilmiah, yakni cara yang
dilakukan oleh ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Objek material dari
epistemologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakikat
pengetahuan itu sendiri.
Oleh karena itu, persoalan yang dikaji dalam epistemology ialah dalam hal
mengenai asal-usul pengetahuan, pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan
antara pengetahuan dan keniscayaan,hubugan antara pengetahuan dan kebenaran,
kemungkinan skeptisime universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang
berasal dari konseptualisasi baru mengenai dunia.
Oleh karena nya pengetahuan manusia itu terbagi ke dalam tiga bagian:
1. Pengetahuan sains adalah pengetahuan logis dan di dukung oleh bukti empiris.
2. Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang kebenaran nya dapat
dipertanggung jawabkan secara logis, akan tetapi tidak secara empiris.
3. Pengetahuan mistik adalah pengetahuan yang kebenaran nya tidak dapat
dibuktikan secara logis dan tidak pula secara empiris.6
Dalam lingkungan studi islam, istilah epistemology sering dipertukarkan dengan
pemikiran. Pemikiran berasal dari kata pikir yang berarti akal budi, ingatan, angan-angan
sehingga ingatan berarti proses, cara, perbuatan memikir. Dengan demikian pemikiran
juga termasuk studi yang yang menekuni hal-hal yang fundamental dalam pengetahuan
yaitu peradigma kefilsafatan yang menyangkut asumsi dasar yang yang dissusun sebagai
landasan dan kerangka dari suatu bangunan keilmuan. 7
C. Epistemology Burhani
Tawaran nalar burhani yang dikemukakan oeh Al-Jabiry adalah untuk melengkapi
epistemology yang ada dalam kedua nalar sebelumnya, yaitu bayani dan irfani. Dalam
pengamatan Al-Jabiry burhani ini adalah merupakan jalan keluar dari pandangan tidak
rasional tersebut, dan itu berarti, dengan mengamati sejauh mana kalangan umat Islam
mengapresiasi tradisi filsafat Aristoteles. Tapi perkembangan nalar burhani di wilayah
timur dunia islam tidak menarik perhatian Al-Jabiry, terutama sejak periode Al-Farabi
dan ibnu sina yang orientasinya lebih didominasi oleh persoalan-persoalan ilmu kalam

6
Hardiono, “Epistemologi postrukturalisme…, hlm 126
7
Anwar Mujahidiin, “Epistemologi Islam: Kedudukan Wahyu Sebagai Sumber Islam”, Jurnal Studi Keislaman, (Vol
17, No 1, 2013), hlm 42
(dalam arti dibatasi oleh ruang lingkup pemikiran bayani), sehingga pemecahan yang
ditawarkan berasal dari tradisi irfani yang membenarkan penyatuan agama dan filsafat
dan pengakuan terhadap ajaran emanasi (al-faid).
Karena itu epistemology burhani berbeda dengan epistemology bayani dan irfani
yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri
terhadap teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyandarkan diri kepada kekuatan
rasio, akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa
diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistemology
ini, seperti dijelaskan oleh Al-Jabiry, bayani menghasilkan pengetahuan melalui analogis
non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses
penyatuan rohani kepada tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan
pengetahuan melalui prinsi-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah
diyakini kebenaran nya. 8
Pondasi epistemology burhani dibangun oleh al-kindi. Menurut al-kindi ada 2
macam pegetahuan. Pertama, pengetahuan para rasul yang diperoleh melalui ilham dan
risalah kenabian. Kedua, pengetahuan manusia umum yang di dapatkan dari usaha
penalaran inderawi. Bagi al-kindi alam bersifat baru. Allah menciptakan nya dari
ketiadaan dan tanpa perantara. Akal dan indera manusia dapat digunakan untuk
mengonstruk pengetahuan tentang alam. 9
Bagi al-Jabiri Metode burhani bertumpuh sepenuhnya pada seperangkat
kemampuan intelektual manusia, baik melalui panca indera, pengalaman, maupun daya
rasional, dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang semesta, bahkan juga sampai
menghasilkan kebenaran yang bersifat pospulatif. Dengan demikian, sumber pengetahuan
burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika,
memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat
panca indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah proses
pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedang tasdiq adalah proses
pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut.

8
Hardiono, “Epistemologi Postrukturalisme…, hlm 132
9
Bagus Mustakim, “Pemikiran Islam.., hlm 203
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, epistemologi burhani
menggunakan silogisme. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas atau
al-Qiyas al-qiyas yang mengacu kepada makna asal. Secara istilah, silogisme adalah
suatu bentuk argumen dimana dua proposisi yang disebut premis, dirujukan bersama
sedemikian rupa. Sehingga sebuah keputusan pasti menyertai. Namun karena
pengetahuan burhani tidak murni bersumber kepada rasio objek-objek eksternal, maka ia
harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme :
Pertama, tahap pengertian (ma`qulat). Tahap ini adalah tahap proses abstraksi
atas objek-objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran, dengan merujuk pada sepuluh
kategori yang diberikan Aristoteles. Kedua, tahap pernyataan (ibarat). Adalah tahap
proses pembentukan kalimat atau proposisi atas pengertian-pengertian yang ada.
Propossisi ini harus memuat subjek (maudu`) dan predikat (mahmul) serta adanya relasi
keduanya. Untuk memperolah pengertian yang tidak diragukan , sebuah proposisi harus
mempertimbangkan al-lafz alkhamsah (lima kriteria), yakni spesies (nau`), genus (jins),
diferensia (alfashl), dan aksidentia (arad). Ketiga, tahap penalaran (tahlilat). Pada tahap
ini proses pengambilan keputusan berdasakan hubungan di antara premis-premis yang
ada, disinilah terjadi silogisme. Menurut Al-Jabiri, dalam penarikan kesimpulan dengan
silogisme harus memenuhi beberapa syarat: (1) mengetahuai latar belakang dari
penyusunan premis; (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan; (3)
kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar.
Karena epistemologi burhani bersumber pada realitas atau al-waqi` baik realitas
alam, sosial humanitas maupun keagamaan, sehingga ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi
ini disebut sebagai al-Ilm al-Husuli, yaitu ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematis
kan oleh lewat premis-premis logika atau mantiq. Premis-premis logika tersebut disusun
lewat kerjasama antar proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih atau dengan
menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti
alat-alat laboratorium, dan lain sebagainya. Peran akal pikiran sangat menentukan, karena
fungsi akal selalu diarahakan untuk mencari sebab-akibat (idrak alsabab wa al-musabab).
Fungsi dan peran akal pada epistimologi ini tidak untuk mengukuhkan kebenaran teks
seperti dalam nalar bayani, tetapi lebih ditekankan untuk melakukan analisis dan menguji
terus menerus (heuristik) kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori yang dirumuskan
lewat premis-premis logika keilmuan. 10
D. Penutup
Dalam epistemologi burhani, untuk memperoleh pengetahuan tidak terfokus
terhadap teks suci layak nya epistemology bayani dan Irfani. Metode burhani bertumpuh
sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik melalui panca
indera, pengalaman, maupun daya rasional, dalam upaya memperoleh pengetahuan
tentang semesta, bahkan juga sampai menghasilkan kebenaran yang bersifat pospulatif.
Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi.
Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan
terhadap informasi-informasi yang masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah
tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-
data dari indera, sedang tasdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran konsep
tersebut.

10
Wira Hadi Kusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk
Resolusi Konflik dan Peacebuilding”, jurnal Syiar, (Vol 18, No 1, 2018), hlm 11-12
Daftar Pustaka

Yandi Hafizallah, “Pemikiran Mhammad Abed Al-Jabiry terhadap Nalar Arab : Konsep dan Relevansi”,
Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, (Vol 10, No 1, 2019)

Hardiono, “Epistemologi Postrukturalisme Objek Pemikiran Islam Abed Al-Jabiry dan Implikasinya Bagi
Ilmu-Ilmu dan Pemikiran Keislaman”, Tajdid,(Vol 19, No 1, 2020)

Bagus Mustakim, “Pemikiran Islam Abed Al-Jabiri: Latar Belakang, Konsep Epistemologi, Urgensitas dan
Relevasinya Bagi Pembaruan Kurikulum Pendidikan Agama Islam”, Journal of Research and Thought of
Islamic Education, (Vol 2, No 2, 2019)

Anwar Mujahidiin, “Epistemologi Islam: Kedudukan Wahyu Sebagai Sumber Islam”, Jurnal Studi
Keislaman, (Vol 17, No 1, 2013)

Wira Hadi Kusuma, “Epistemologi Bayanai, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi
Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding”, jurnal Syiar, (Vol 18, No 1, 2018)

Anda mungkin juga menyukai