Anda di halaman 1dari 17

Matakuliah Riset Akuntansi Kritis

Progam Akuntansi
Nama Mohamad Djasuli
NIM 177020300111009
No Urut Presensi 9
E-mail mdjasuli@gmail.com
Mobile 081249344836

Rencana Penelitian – Singkat/Ringkas

Judul MEMBANGUN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN


DAERAH DENGAN SURAT AL-BAQARAH, SANG “FUSTHAATHUL
QUR'AN” (PEMIKIRAN AWAL RISET DALAM BINGKAI KRITIS
KONSTRUKTIF)

Latar Konsep akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan


belakang pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan
Penelitian seseorang/lembaga/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau
berkewajiban untuk meminta pertanggungjawaban. Akuntabilitas dalam dunia
modern dan kapitalisme telah sarat dimasuki nilai-nilai rasionalitas. Dunia modern
dan kapitalisme mengalami krisis manajemen (pengelolaan) karena setiap hari
selalu terdapat skandal baik di sektor privat atau sektor publik, di mana para
pemimpin mengkhianati rakyat mereka sendiri dan berusaha untuk mencari
keuntungan duniawi. Mereka hanya peduli tentang kepuasan para penguasa dan
melupakan kewajiban moral dan etika lainnya untuk organisasi, ummah, dan
masyarakat pada umumnya.( Prasetio, 2017)
Akuntabilitas di sektor publik identik dengan pertanggungjawaban yang
diberikan entitas karena entitas menerima kepercayaan dan selanjutnya merumuskan
sejumlah kebijakan untuk mengelola sumber daya (anggaran). Makna akuntabilitas
yang dinyatakan pada PP 71/2010 tersebut masih samar, belum jelas siapa yang
memberikan kepercayaan dan kepada siapa pertanggungjawaban harus diberikan.
Ketika membicarakan akuntabilitas harus dikaitkan dengan apa yang
dipertanggungjawabkan, siapa yang mempertanggungjawabkan, serta kepada siapa
pertanggungjawaban tersebut diberikan (Sinclair, 1995; Ali, et al., 2014).
Disisi lain, Akuntabilitas yang kita kenal selama ini sebenarnya merupakan
salah satu poin penting dalam good governance. Ketika sebuah pemerintahan
memiliki akuntabilitas yang baik, masyarakat akan menganggap bahwa pemerintah
memiliki kualitas good governance yang baik pula. Apabila sebuah pemerintahan
dikatakan memiliki good governance, pemerintahan tersebut dianggap layak
mendapatkan apresiasi karena berhasil menyejahterakan masyarakatnya. Pada
mulanya, pembahasan mengenai good governance disebarluaskan oleh dunia Barat
sebagai sebuah konsep yang tepat untuk diterapkan di setiap negara, termasuk
negara-negara yang masih dalam masa transisi dan perkembangan. Hal ini didukung
oleh munculnya pedoman good governance oleh badan-badan yang dinaungi oleh
PBB (Sharma 2007). Konsep good governance diagungkan sebagai konsep yang
mampu memperbaiki kegagalan-kegagalan rezim pemerintahan sebelumnya yang
cenderung diktator dan korup sehingga agenda good governance dijadikan sebuah

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 1 of 17


alat untuk memasukkan ideologi Barat (yang dianggap lebih baik) kepada negara-
negara berkembang (Gisselquist 2012; Shivji 2003). Akan tetapi, di balik agungnya
konsep good governance, terdapat agenda lain yang tidak lebih baik dibandingkan
pemerintahan yang lama (biasa disebut pula sebagai poor governance). Lebih lanjut,
Abrahamsen (2004:76) menjelaskan bahwa,
“...sehingga struktur politik mereka sendiri dan juga praktik-praktik lembaga-
lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF bebas dari pengawasan
tajam seperti yang diarahkan pada negara-negara di Afrika. Dunia Pertama
menjadi simbol demokrasi, dan Dunia Ketiga akan dibuat menjadi mirip
dunia pertama melalui penerapan agenda good governance. Dengan
menempatkan wacana good governance dalam konteks perubahan....bukan
hanya merupakan ikhtiar kemanusiaan untuk mendorong pembangunan,
pertumbuhan, dan demokrasi semata, namun merupakan wacana
pembangunan yang secara intrinsik berkaitan dengan praktik diskursif yang
lebih luas, sebuah jalan untuk menerapkan kekuasaan dan dominasi global”.

Berkaca dari pemaparan tersebut, good governance dan akuntabilitas Barat


yang didasarkan pada nilai modernitas tidak mampu menyejahterakan masyarakat.
Semangat yang dibawa oleh good governance dan akuntabilitas Barat justru
melanggengkan hegemoni Barat terhadap negara-negara berkembang. Akuntabilitas
yang berakar pada nilai modernitas ini hanya terbatas memberikan pedoman praktis
dan cenderung materialistis. Hal tersebut secara tidak langsung telah menegasikan
nilai-nilai lainnya (Kusdewanti dan Hatimah 2016; Kholmi et al 2015).
Fenomena tersebut ada karena sesungguhnya konsep akuntabilitas bukanlah
sebuah konsep yang bebas nilai (value free). Oleh karena itu, terdapat nilai-nilai
modernitas yang menyatu di dalam konsep akuntabilitas. Meskipun hal ini tentu saja
tidak dapat diterima beberapa orang yang menganggap bahwa kebenaran merupakan
sesuatu yang objektif atau tidak terikat dengan nilai-nilai tertentu. Penelitian
Sinclair (1995:219) mengungkapkan bahwa,
“Accountability is subjectively constructed and changes with context...The
research shows that accountability changes: it exists in many forms and is
sustained and given extra dimensions of meaning by its context.
Accountability will be enhanced by recognising the multiple ways in which
accountability is experienced, rather than by attempting to override this
chameleon quality.”

Penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa akuntabilitas akan memiliki


makna yang berbeda sesuai dengan lingkungannya. Masing-masing individu
memiliki kepercayaannya tersendiri mengenai akuntabilitas. Cara terbaik untuk
menyikapi hal ini bukanlah dengan ‘memaksakan’ akuntabilitas praktis yang kaku,
namun cenderung untuk memperkaya pemaknaan akuntabilitas sesuai dengan
pengalaman yang dialami oleh individu. Oleh karena itu, nilai-nilai yang dimiliki
dan dipercaya oleh pengguna akuntabilitas akan melekat pada konstruksi
akuntabilitas yang diterapkan.
Sementara itu, akuntansi modern yang merupakan salah satu sarana untuk
menciptakan akuntabilitas modern tidak luput pula dari nilai modernitas.
Konsekuensi logis dari adanya semangat tersebut adalah terbentuknya akuntansi
yang bersifat menjajah pula. Hal ini dapat dilihat dari sifat akuntansi modern yang

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 2 of 17


materialistis, sekuler (Triyuwono 2013), cenderung egois dan mementingkan
kepentingan golongan tertentu (Triyuwono 2012). Akuntansi menjadi sebuah alat
yang sesungguhnya tidak seimbang karena hilangnya nilai-nilai yang penting di
dalamnya.
Akuntansi modern tetap dianggap sebagai kiblat terbaik dan dianggap
sebagai suatu kebenaran universal bagi seluruh penjuru dunia. Kondisi ini lazim
disebut sebagai rasialisme intelektualitas. Beberapa pemikiran yang dianggap tidak
normal dan berbeda dengan pandangan mainstream dianggap tidak layak untuk
digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Kamayanti 2016). Hal yang sama berlaku
pula pada kondisi akuntansi saat ini, pemikiran lokal dari negara-negara
berkembang yang sebenarnya lebih menyejahterakan masyarakat dianggap tidak
relevan dan akhirnya hilang ditelan kuasa akuntansi modern.
Akuntansi yang bersifat demikian akan membantu membentuk akuntabilitas
modern yang bersifat menjajah. Hal ini tampak pada beberapa upaya yang sudah
dilakukan oleh pihak-pihak pendukungnya seperti upaya harmonisasi standar
akuntansi, pensejajaran penerapan akuntansi akrual di sektor publik dengan sektor
privat, pengembangan sektor pasar modal dan derivatif, upaya privatisasi sektor
publik yang didasarkan pada keinginan pasar, pengembangan globalisasi ekonomi
secara masif dengan cara perluasan pasar bebas di dunia dan lain sebagainya. Upaya
tersebut pada akhirnya secara tidak langsung menyebabkan beberapa masyarakat
‘terbiasa’ (habituasi) dengan kondisi yang ada dan menganggap bahwa ‘realitas
terjajah’ tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan ‘normal’ dalam kehidupan.
Tidaklah mengherankan apabila tujuan utama dari adanya akuntansi dan
akuntabilitas saat ini tidak lain hanyalah untuk memudahkan dominasi Barat atas
negara-negara berkembang.
Dampak yang terlihat dalam pengelolaan akuntabilitas keuangan daerah atas
digunakannya akuntansi modern adalah penggunaan basis akrual dalam pembuatan
laporan keuangan sebagai bukti atas akuntabilitas keuangan daerah. Basis akrual
sendiri pada mulanya digunakan untuk sektor privat dimana tujuan utamanya adalah
untuk meningkatkan keuntungan bagi para pemegang kepentingan. Basis akrual
mengakui pendapatan dan beban berdasarkan waktu terjadinya transaksi dan tidak
memperhatikan apakah kas telah diterima atau tidak. Oleh karena itu, penggunaan
basis akrual akan menyebabkan income atau pendapatan terlihat lebih besar
meskipun kas belum diterima. Hal yang sama berlaku pula untuk akun beban.
Beban yang diakui hanyalah beban yang telah digunakan pada periode berjalan
tanpa memperhatikan apakah kas yang dikeluarkan lebih besar atau tidak.
Akumulasi atas pengakuan pendapatan dan beban tersebut akan tampak pada
laporan laba rugi. Pendapatan akan dihitung semaksimal mungkin dan beban akan
dihitung seminimal mungkin untuk memenuhi keinginan dari kepentingan tertentu
(Mulawarman 2014). Oleh karena itu, basis akrual yang digunakan dalam akuntansi
modern tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada di daerah. Masyarakat
tidak membutuhkan keuntungan atau profit yang besar. Kebutuhan masyarakat
disampaikan secara berkala melalui musyawarah perencanaan tingkat desa
(musrenbangdes), musrenbangcam dan musrenbangkab.
Selain itu, karakteristik masyarakat Indonesia tidak sesuai dengan nilai yang
dibawa oleh akuntansi dan akuntabilitas modern. Akuntabilitas dan akuntansi
modern memiliki nilai egois, materialistis dan sekuler, serta dominan maskulin.
Sementara itu, masyarakat di Indonesia memiliki karakteristik yang berkebalikan

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 3 of 17


dengan nilai-nilai yang ada dalam akuntabilitas dan akuntansi modern. Masyarakat
cenderung tidak mementingkan kepentingan dirinya sendiri, melainkan sebuah
kebersamaan dalam suasana kegotong royongan saling bahu membahu
(Mulawarman 2014).
Masyarakat di Indonesia terkenal karena sifat holistik yang dimilikinya.
Kesatuan antara manusia, Tuhan, dan alam tergambar dalam berbagai konsep di
Indonesia, antara lain konsep Tri Hita Karana di Bali (Pujaastawa 2004), konsep
gunungan di Jawa (Soetarno 2004), konsep boinah di Aceh (Abdullah 2004), serta
konsep-konsep kesatuan lainnya yang memiliki nama berbeda antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, nilai yang dimiliki oleh masyarakat
sesungguhnya kental akan nilai-nilai sosial dan religius yang mencakup keseluruhan
dimensi, baik material maupun imaterial.
Kekuatan memaksa yang dimiliki oleh akuntansi dan akuntabilitas modern
itulah yang meminggirkan nilai-nilai kearifan lokal yang sebetulnya dimiliki oleh
masyarakat di Indonesia. Sejauh ini, belum nampak ada konsep akuntabilitas yang
didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal masyarakat. Oleh karena itu, menjadi
sebuah hal yang penting untuk mengembangkan konsep akuntabilitas yang berpihak
pada kesejahteraan masyarakat.

Pengelolaan Keuangan Daerah dan Akuntabilitasnya


Pengelolaan Keuangan Daerah yang saat ini ada di tengah-tengah masyarakat
merupakan salah satu bentuk perwujudan dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah yang merupakan pengganti kedua dari UU No. 22 Tahun 1999.
Untuk lebih memperjelas teknis pengelolaan keuangan daerah, Undang-undang
tersebut diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah yaitu PP 58 Tahun 2005 dan
Peraturan Menteri yaitu Permendagri 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah. Pelaksanaan dari berbagai macam regulasi tersebut tersebut memunculkan
jenis akuntabilitas baru, yang dalam hal ini terdapat tiga jenis pertanggungjawaban
keuangan daerah yaitu (1) pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan
dekonsentrasi, (2) pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan pembantuan, dan
(3) pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Di
dalam APBD yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terdapat beberapa jenis
pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah.
Pendapatan Daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana
Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Pendapatan Asli Daerah
menurut regulasi tersebut terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan keuangan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dana
Perimbangan merupakan dana transferan dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari
Dana Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak, DAU (Dana Alokasi Umum) dan
Dana Alokasi Khusus. Sedangkan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah terdiri
dari hibah, dana darurat, dana bagi hasil pajak dari Provinsi atau Pemerintah Daerah
lainnya, dana penyesuaian dan otonomi khusus dan bantuan keuangan dari Provinsi
atau Pemerintah Daerah lainnya dan lain-lain penerimaan. (Permendagri 13 Tahun
2006)
Sementara itu Belanja Daerah terdiri dari Belanja Langsung (BL) dan
Belanja Tidak Langsung (BTL). Belanja Langsung terdiri dari Belanja Pegawai,
Belanja Barang dan Jasa dan Belanja Modal. Belanja Tidak Langsung terdiri dari
Belanja Pegawai, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 4 of 17


Sosial, Belanja Bagi Hasil, Belanja Bantuan Keuangan dan Belanja Tidak Terduga.
(Permendagri 13 Tahun 2006)
Sedangkan Pembiayaan Daerah terdiri dari Penerimaan Pembiayaan dan
Pengeluaran Pembiayaan. Penerimaan Pembiayaan Daerah terdiri dari Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran Daerah Tahun Sebelumnya (SILPA), Pencairan Dana
Cadangan, Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, Penerimaan
Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah, Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman
Daerah dan Penerimaan Piutang Daerah serta Penerimaan Kembali Investasi
Pemerintah Daerah. Adapun Pengeluaran Pembiayaan terdiri dari Pembentukan
Dana Cadangan, Penyertaan Modal Daerah, Pembayaran Pokok Utang dan
Pemberian Pinjaman Daerah. (Permendagri 13 Tahun 2006)
Adanya berbagai macam sumber pendapatan, pengeluaran belanja dan
pembiayaan menyebabkan pemerintah daerah perlu menyusun sebuah
pertanggungjawaban yang terarah sesuai dengan pedoman yang ada. Mekanisme
mengenai pengelolaan keuangan daerah berikut akuntabilitas
pertanggungjawabannya ditampilkan dalam undang-undang maupun peraturan yang
ada seperti telah disebutkan diatas. Sayangnya, akuntabilitas yang diatur dalam
peraturan masih berkutat pada dimensi materi saja. Penilaian terkait pengembangan
dan keberhasilan daerah hanya diukur berdasarkan penyerapan anggaran yang telah
ditetapkan, padahal daerah memiliki kekayaannya tersendiri yang tidak mampu
diukur menggunakan penilaian angka.
Sebagaimana alat akan memengaruhi penggunanya, akuntabilitas yang
berpusat pada tataran materi akan memengaruhi penggunanya. Pengelola keuangan
daerah mulai terpenjara dalam kepentingan materi saja. Akibatnya, pengelolaan
keuangan yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, justru
disalahgunakan oleh pihak-pihak yang terdorong atas nafsu materi semata. Setiawan
et al (2013) justru menemukan bahwa di lingkup pemerintah daerah, kecurangan-
kecurangan kerap dilakukan dengan cara melakukan pembenaran atas suatu hal
yang sebenarnya tidak diperbolehkan atau sering merasionalkan sesuatu hal yang
sebenarnya tidak rasional karena disebabkan oleh sistem dan faktor kebiasaan
(habitus).
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan
melakukan pembenaran bahwa mengambil selisih atas anggaran dan realisasi
sebagai dana taktis, dana saving (dana cadangan) diperbolehkan selama mampu
menyajikan laporan pertanggungjawaban yang dapat sesuai dengan peraturan.
Mereka pun menyiapkan beberapa stempel, nota, kwitansi bahkan faktur yang dapat
digunakan untuk membuat bukti transaksi fiktif agar laporan pertanggungjawaban
yang dihasilkan sesuai dengan anggaran. Pembenaran-pembenaran seperti ini yang
akan menimbulkan pembenaran lainnya sehingga dampak kerugian yang dirasakan
oleh masyarakat pun akan semakin besar.
Tidaklah mengherankan apabila akhir-akhir ini banyak kasus korupsi yang
menjerat pemerintah daerah (tertangkapnya gubernur, bupati, walikota, sekda,
kepala dinas dan anggota DPRD). Korupsi dapat dianggap sebagai sebuah
kegagalan dalam pengelolaan keuangan daerah karena pengelola keuangan daerah
tidak mampu menjaga amanah yang diberikan kepada mereka.
Kasus yang ada menunjukkan bahwa sikap dan perilaku manusia modern
yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat telah merugikan masyarakat itu
sendiri. Akuntabilitas yang saat ini ada seolah belum mampu untuk menghilangkan

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 5 of 17


praktik-praktik dan budaya tidak etis dari proses pengelolaan keuangan daerah.
Masyarakat yang masih lugu (masyarakat pedesaan) atau setengah modern dan
modern (masyarakat perkotaan) dianggap tidak mengerti apa-apa mengenai
pengelolaan keuangan daerah sehingga tidak mengerti bagaimana manfaat dari
pengelolaan keuangan yang ada. Oleh karena itu, penelitian mengenai akuntabilitas
atas keuangan daerah tidak akan lengkap apabila tidak disertai dengan pengetahuan
mengenai kondisi aktual daerah saat ini dan budaya yang ada di daerah setempat.
Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan mengenai bagaimana sebuah
budaya akan memengaruhi nilai dari akuntabilitas yang diterapkan, misalnya penelitian
mengenai akuntabilitas pada organisasi-organisasi keagamaan seperti lembaga zakat
ataupun gereja. Patty dan Irianto (2013) menemukan bahwa nilai-nilai religius dan
spiritual melekat dalam akuntabilitas yang dilaksanakan. Hasil penelitian Salle (2015)
pun menunjukkan bahwa nilai religius muncul dalam praktik akuntabilitas dari lembaga
zakat suatu komunitas adat. Oleh karena itu, nilai-nilai agama, budaya, dan sosial yang
ada dalam sebuah kelompok tertentu akan memengaruhi bagaimana sebuah praktik
akuntabilitas dilaksanakan.
Akhirnya penelitian ini nantinya akan melakukan pengamatan langsung ke
sebuah daerah yang telah menerapkan akuntabilitas seperti yang dituliskan di dalam
peraturan atau regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini daerah
yang dimaksud nantinya adalah Kabupaten Bangkalan yang terkenal unik dengan
nilai-nilai keagamaannya, gaya kepemimpinannya, budaya sosial masyarakatnya,
pendidikannya serta etos kerja dan kekerasan wataknya.

Al-Baqarah Sang Fusthaatul Quran dan Puncak Segala Sesuatu


Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui" (QS Al Baqarah:30)
Islam sebagai cara hidup, tentunya memiliki panduan serta petunjuk yang
harus dilakukan agar mencapai kesempurnaan sebagai seorang hamba Allah.
Sebagaimana dijelaskan dalam QS Al Baqarah ayat 30 tersebut bahwa manusia
merupakan makhluk Allah yang diciptakan sebagai seorang khalifah atau pemimpin
bagi seluruh semesta alam. Meskipun, dalam perjalanannya manusia sering
bertindak semaunya sendiri, Allah tetap memberi kepercayaan kepada manusia
untuk menjadi seorang khalifah. Sudah sewajarnya apabila manusia senantiasa patuh
terhadap ketetapan Allah atas dirinya. Seluruh aktivitas yang dilakukan manusia
tidak lain merupakan manifestasi atas pertanggungjawaban kepada Allah. Oleh
karena itu, manusia tidak boleh menyalahgunakan amanah yang telah diberikan
Allah demi kepentingan pribadinya sendiri.
Islam sendiri merupakan ajaran yang tidak hanya mengedepankan praktik
ritual semata. Islam hadir sebagai pembebas dengan Rasulullah Muhammad sebagai
aktor penyebar agama Islam. Islam mengedepankan kepentingan sesama serta
keadilan bagi seluruh makhluk di bumi. Engineer (2009:33) menyatakan bahwa,
“Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif
yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas pada saat
ini di dalam maupun di lua Arab. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 6 of 17


universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan sosial
(social justice).”

Berdasarkan pernyataan tersebut, merupakan sebuah hal yang salah dan tidak
patut dibenarkan apabila pemeluk Islam justru bertahan dalam status quo
kemapanan yang menindas manusia lainnya. Pada masa Rasulullah Muhammad,
akuntan (dan akuntansi) memiliki peranan yang penting sebagai penegak nilai-nilai
Islam. Pertanggungjawaban yang dilakukan tidak terbatas pada tataran teknis dan
finansial, namun menyeluruh hingga masuk ke dalam dimensi kesejahteraan sosial.
Aktivitas yang dilakukan oleh sebuah pemerintahan harus memenuhi asas keadilan
bagi masyarakatnya (Kamla et al 2006). Oleh karena itu, akuntabilitas menjadi
penting bagi sebuah pemerintahan yang menjalankan aktivitasnya berdasarkan nilai-
nilai Islam.
Sayangnya, beberapa praktik pengelolaan keuangan daerah yang peneliti
lihat dan tahu justru tidak dijalankan dengan mengedepankan nilai keadilan bagi
warganya. Saat ini, sistem pengelolaan keuangan daerah yang diterapkan adalah
pengelolaan keuangan yang terdesentralisasi. Artinya, sistem tersebut
memungkinkan pemerintah daerah untuk mengelola sendiri keuangan yang dimiliki
sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Akan tetapi, sistem
tersebut belum memberikan best practices. Sistem tersebut justru menyebarkan bibit
korupsi hingga ke wilayah pinggiran pedesaan (Rahman 2011). Hal ini didukung
pula dengan dorongan kepentingan pribadi (egoisme) yang sudah terinternalisasi ke
dalam diri pemerintah daerah. Akibatnya, dana yang seharusnya dapat digunakan
untuk kepentingan bersama justru tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat. Beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah telah
berhasil diungkap dan dilaporkan kepada pihak yang berwenang, bahkan ada yang
langsung kena Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Hal ini menunjukkan bahwa sistem pertanggungjawaban yang dilakukan
oleh pemerintah daerah belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Artinya, perlu
ditelaah kembali apakah konsep akuntabilitas yang digunakan sebagai alat
pertanggungjawaban sudah tepat ataukah tidak. Korupsi di tingkat daerah tentunya
bertentangan dengan amanah utama manusia sebagai seorang khalifah di muka
bumi. Seharusnya, pemerintah daerah mampu memahami tugas utama mereka
sebagai seorang khalifah yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat, bukan
menghambakan dirinya pada nafsu dan kepentingan pribadi semata.
Keringnya pemahaman manusia atas amanah sebagai khalifah mengajak
manusia untuk kembali kepada Allah sebagai sumber segala ilmu. Salah satu cara
untuk kembali pada Allah adalah dengan mempelajari wahyu yang telah diberikan
kepada Allah kepada manusia karena sejatinya ilmu Allah tidak berhenti pada
Rasulullah Muhammad saja. Ilmu Allah dapat diterima oleh seluruh manusia yang
bersedia untuk menerima dan mempelajarinya. Di tengah kehidupan yang serba
modern ini, seringkali manusia menjadi “sombong” karena merasa mampu
mengetahui segala hal hingga dapat memprediksi dengan pasti apa yang akan terjadi
di kemudian hari. Manusia menjadi lupa bahwa segala ilmu yang ada di dunia ini
adalah milik Allah semata (Nadjib 2017:26-29). Akibatnya, manusia-manusia yang
cenderung “sombong” ini akan mereproduksi ilmu-ilmu yang dianggap sebagai
miliknya dan mengedepankan egonya sebagai alat utama dalam memecahkan
permasalahan.

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 7 of 17


Berdasarkan pemaparan tersebut, sudah selayaknya apabila di dalam
pembentukan konsep pengelolaan akuntabilitas daerah menggunakan ilmu Allah
yang telah disusun dalam Al-Quran. Salah satu puncak surat-surat dan puncak
segala sesuatu di dalam Al-Quran adalah Al-Baqarah. Al-Baqarah sendiri sering
disebut sebagai Fusthaatul Quran atau Puncak Al-Quran. Al-Baqarah dinamai
Fusthaatul Qur'an (Puncak Al-Qur'an) karena memuat beberapa hukum yang tidak
disebutkan dalam surah yang lain. Dinamai juga surah Alif Lam Mim karena ayat
pertama di surah berisi tiga huruf arab yakni Alif, Lam, dan Mim. (Shihab 2005).
Salah satu ayat dari Surah Al-Baqarah yang akan digunakan oleh peneliti adalah
ayat 282, ayat tentang akuntabilitas (Sitompul, et. al, 2016) . Ayat ini menekankan
pentingnya fungsi kontrol dari masyarakat, juga dari para agamawan. Nilai lain
yang sangat terkait dalam ayat akuntabilitas ini adalah tentang keimanan,
pencatatan dengan benar, persaksian (Allah dan manusia), keadilan dan kebenaran,
ketidakberpihakan, kepedulian, kejujuran (tidak mengurangi atau menambah),
pertanggungjawaban, dan transparan serta takut kepada Allah (Sang Pengawas,
Sang Penilai serta Sang Maha Tahu). Nilai-nilai tersebut menjadi sebuah kesatuan
mutlak dalam penerapannya sehari-hari. Tidaklah menjadi baik apabila seseorang
berkuasa tanpa ada akuntabilitas di dalam hatinya untuk rakyatnya. Tidaklah
menjadi baik pula apabila seseorang yang “berjiwa akuntabel” tanpa mengenal
terlebih dahulu ilmu untuk mengelola “akuntabilitas” tersebut. Lebih lanjut, Nadjib
(2016: 48) mengungkapkan bahwa,
“Allah juga menyebut diri-Nya tidak sekedar ‘alim, tapi ‘alimul ghoib.
Bukan sekedar maha mengetahui, tapi maha mengetahui segala yang ghaib.
Ghaib itu simbol dari ketakterhinggaan. Cerminan dari kenyataan relativitas
dan keterbatasan ilmu yang dipinjamkan-Nya kepada manusia. Jadi, jabaran
keilmuan kata ghaib ialah keterbatasan terhadap ketakterhinggaan. Efek
moralnya bagi manusia, tentunya adalah kerendahhatian. Tawadlu. Yang
diasah terus-menerus dengan tradisi sujud.”

Apabila manusia yang menyadari tugasnya sebagai khalifah sekaligus


sebagai ‘abdullah dan bersedia untuk kembali membuka mata hatinya agar mampu
menerima ilmu Allah, konsep akuntabilitas modern yang cenderung mengubah
watak manusia menjadi jauh dari Allah dapat dikonstruksikan dengan nilai yang
terkandung dalam ayat 282 surat Al- Baqarah agar mampu menjadi sebuah konsep
yang diharapkan berada pada shiroth-al-mustaqim atau berada pada jalan yang
benar dan lurus. Konsep ini nantinya diharapkan mampu menyejahterakan seluruh
makhluk hidup sebagai manifestasi tugas pokok manusia sebagai seorang khalifah
di muka bumi dalam mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.

Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana konstruksi konsep


akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah berdasar pada nilai-nilai ayat 282 surat
Al-Baqarah?

Fokus Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah yang diangkat
Penelitian/ dalam penelitian ini adalah bagaimana konstruksi konsep akuntabilitas pengelolaan
Rumusan keuangan daerah berdasar pada nilai-nilai surat Al Fatihah?
Masalah

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 8 of 17


Manfaat Penelitian ini memiliki beberapa manfaat yaitu :
Penelitian 1. Manfaat teoritis yaitu penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
baru mengenai akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah yang berpihak pada
kesejahteraan masyarakat karena selama ini belum ada penelitian yang
membahas terkait konstruksi akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah.
2. Manfaat praktis yaitu penelitian ini diharapkan mampu menjadi pedoman di
dalam penyusunan pertanggungjawaban pemerintah daerah sehingga nilai yang
dijadikan pedoman praktis bukanlah nilai-nilai yang bersifat sekuler, namun
digunakan nilai-nilai yang mampu mendekatkan penggunanya kepada Allah.

Telaah TEORI YANG DIGUNAKAN


Literatur 1. Teori Akuntabilitas
(Teori dan 2. Teori Keuangan daerah
Riset 3. Teori Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan daerah
terdahulu) 4. Nilai-Nilai Suci Furthaatul Quran (Puncak Al-Quran) Surat Al-Baqarah
(ayat 282)
5. Kontruksi Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan daerah Berdasarkan ayat 282
Surat Al-Baqarah

Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian terdahulu yang menurut peneliti masih terkait dan
bisa dibuat sandaran di dalam melakukan penelitian ini. Patty dan Irianto (2013)
dalam penelitiannya “Akuntabilitas Perpuluhan Gereja” menemukan bahwa nilai-
nilai religius dan spiritual melekat dalam akuntabilitas yang dilaksanakan. Salle
(2015) yang meneliti “Akuntabilitas Manuntungi: Memaknai Nilai Kalambusang
pada Lembaga Amil Zakat Kawasan Adat Ammatoa” menunjukkan bahwa nilai
religius muncul dalam praktik akuntabilitas dari lembaga zakat suatu komunitas
adat. Oleh karena itu, nilai-nilai agama, budaya, dan sosial yang ada dalam sebuah
kelompok tertentu akan memengaruhi bagaimana sebuah praktik akuntabilitas
dilaksanakan.
Penelitian Sitompul, et. al (2016) dalam ” Implimentasi Surat al-Baqarah
Ayat 282 Dalam Pertanggungjawaban Mesjid Di Sumatera Timur” bertujuan ingin
mengungkapkan hubungan variabel sumber hukum Islam sebagai landasan utama
dalam menjalankan pertanggungjawaban keuangan dan akuntansi sebagai alat
pertanggungjawaban dan penyajian informasi yang akurat. Sebagai landasan atas
pertanggungjawaban keuangan menggunakan surah Al Baqarah 282 yang isinya
mengenai perintah untuk melakukan proses akuntansi atas setiap transaksi. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa sumber hukum Islam dan akuntansi berperan
dalam mewujudkan pertanggungjawaban pelaporan keuangan yang akuntabel dan
transparan. Secara statistik, sumber hukum Islam dan akuntansi dapat menjelaskan
tentang pertanggungjawaban/pelaporan keuangan sebesar 86,9%.
Begitupun juga penelitian dari Prasetio (2017) dalam “Tazkiyatun Nafs:
Kajian Teoritis Konsep Akuntabilitas” menemukan hasil Konsep akuntabilitas telah
sarat dimasuki nilai-nilai rasionalitas sehingga perlu dilakukan tazkiyatun nafs
(pensucian jiwa) berdasarkan Islam. Akuntansi adalah pusat Islam, karena
pertanggungjawaban kepada Allah dan masyarakat untuk semua kegiatan sangat
penting untuk iman seorang Muslim. Berdasarkan syariah hukum Islam, etika yang
komprehensif dapat menentukan bagaimana bisnis harus dilakukan, bagaimana

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 9 of 17


bisnis harus diatur, dan bagaimana pelaporan keuangan harus dibuat. Kewajiban
tersebut menimbulkan tantangan untuk pelaksanaan sistem akuntabilitas Islam.

Rancangan Pendahuluan
Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan
Penelitian studi kasus. Pendekatan studi kasus digunakan untuk memahami dinamika yang
terjadi dalam sebuah keadaan tertentu (Kamayanti 2016a). Studi kasus dapat
digunakan dalam berbagai macam penelitian dengan beragam paradigma.
Pendekatan ini dapat dipahami sebagai sebuah pendekatan yang memiliki beragam
cara untuk memeroleh pemahaman. Pada penelitian ini, peneliti akan terlibat
langsung dengan proses, sistem, dan pelaku di lapangan. Data yang diperoleh
peneliti akan diambil dengan menggunakan beragam teknik sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan dari peneliti, baik menggunakan wawancara, observasi,
maupun dokumentasi. Hal ini dikarenakan studi kasus tidak membatasi teknik
maupun maupun metode yang harus dilakukan oleh peneliti (Jonsson dan Lukka
2007; Cooper dan Morgan 2008).
Akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah menjadi perhatian utama dalam
penelitian ini. Pengelolaan keuangan daerah menjadi sebuah situs yang menarik
untuk diteliti karena posisi daerah yang berubah menjadi tempat yang memiliki
kekuasaan yang lebih besar dibandingkan sebelumnya (pasca otonomi daerah). Saat
ini, daerah memiliki kewenangan untuk mengelola keuangannya sendiri sesuai
dengan kebutuhan masing-masing. Hal inilah yang menjadi sebuah poin untuk
dicermati, apakah pengelolaan keuangan daerah tersebut sudah memiliki
akuntabilitas yang baik? Oleh karena itu, pendekatan studi kasus digunakan untuk
mengetahui kondisi dari daerah serta permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan
keuangan daerah, baik yang dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah daerah
sebagai pengelola keuangan daerah. Permasalahan yang menjadi temuan nantinya
akan dijadikan data untuk melakukan konstruksi akuntabilitas pengelolaan keuangan
daerah. Selain nantinya melakukan pengamatan langsung di daerah, peneliti pun
melakukan telaah tafsir Al-Fatihah sebagai dasar nilai kebenaran untuk melakukan
konstruksi akuntabilitas atas pengelolaan keuangan daerah. Temuan yang
didapatkan dari daerah akan dikonfirmasikan dengan surat Al Fatihah agar sesuai
dengan kebenaran Tuhan.
Penelitian dengan metode ini dilakukan karena peneliti melihat bahwa
selama ini belum ada penelitian lain yang melakukan konstruksi akuntabilitas
pengelolaan keuangan daerah menggunakan ayat Al-Quran. Hal ini dilakukan
semata-mata karena kesadaran peneliti sebagai manusia yang memegang perintah
Allah sebagai sebuah kebenaran meskipun peneliti masih memiliki berbagai
kekurangan sebagai seorang hamba Allah. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi
sebuah bukti upaya keberpihakan peneliti pada kebenaran. Hal ini serupa dengan
pernyataan Kamayanti (2016b) yang menjelaskan bahwa,
“Saat dihadapkan dengan temuan empiris, peneliti religius tidak akan
men‘dewa’kan temuan sebagai kebenaran. Di sisi lain, peneliti religius akan
selalu meng-afirmasi apakah temuan sesuai dengan kebenaran versi Tuhan
(dalam Islam, peneliti akan merujuk pada Al Quran dan Al Hadis). Jika
temuan empiris tidak sesuai dengan kebenaran versi Ilahiyah, maka mereka
akan melakukan usaha penyadaran dan rekonstruksi, agar ilmu yang mereka
sebarkan tidak akan menjadi ilmu yang menjerumuskan kepada kebenaran

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 10 of 17


fisik yang berwujud semata.”

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa manusia sudah sepantasnya terus


memegang teguh kebenaran Ilahiyah sebagai sebuah kebenaran mutlak. Salah satu
cara untuk mencapai kebenaran tersebut adalah dengan memulai untuk melakukan
tahapan menuju kebenaran tunggal atau Tuhan itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan
dengan menanggalkan dominasi akal sebagai kebenaran mutlak. Akal merupakan
salah satu sarana untuk mendapatkan kebenaran, namun bukanlah sesuatu yang
mendominasi kebenaran. Di dalam diri manusia terdapat perwujudan dari ‘sing
liyan’ yang dapat menjadi pembebas dalam pencapaian kebenaran (Triyuwono
2010). Oleh karena itu, tahapan di dalam penelitian ini nantinya akan berusaha
untuk menyeimbangkan antara penggunaan akal dan hati sebagai sarana mencapai
kebenaran tunggal, yakni Allah. Penelitian ini pun diharapkan mampu membawa
manfaat bagi ummat dan menjadi langkah awal perjuangan Peneliti untuk
menjalankan amanah dari Allah.

Tahapan Konstruksi Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah


Sebelumnya telah dipaparkan mengenai gambaran awal bagaimana
penelitian ini akan dilakukan. Secara umum, penelitian ini akan dilakukan dalam
tiga tahapan utama. Tahap pertama adalah melakukan penelusuran empiris dengan
melakukan studi kasus di Kabupaten Bangkalan yang menjadi situs penelitian untuk
mengetahui kondisi saat ini dari akuntabilitas atas keuangan daerah serta
menemukan permasalahan apa saja yang terjadi di situs penelitian.
Tahap kedua adalah melakukan telaah pada ayat 282 surat Al-Baqarah dengan
melakukan studi pada buku-buku tafsir yang ditulis oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan menafsirkan makna ayat 282 surat Al-Baqarah. Selain itu, dilakukan
pula berdoa dan munajat kepada Allah (olah rasa dan olah batin) untuk
mendapatkan pemahaman lebih dalam mengenai ayat 282 surat Al-Baqarah melalui
media muraqabah, dzikir, wirid dan sholat. Kemudian, peneliti akan mengambil
nilai-nilai dari ayat 282 surat Al-Baqarah untuk dijadikan sebagai dasar nilai untuk
melakukan konstruksi akuntabilitas atas pengelolaan keuangan daerah. Tahap ketiga
adalah melakukan konfirmasi temuan. Permasalahan yang ditemukan akan
dibandingkan dengan nilai-nilai yang telah ditemukan dan dijadikan sebagai
landasan dalam melakukan konstruksi akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah.
Kemudian, konstruksi akan dilakukan sebagai upaya untuk melakukan perbaikan
atas konsep akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah yang ada saat ini.

Penelusuran Telaah ayat 282


Empiris 1 Surah Al-Baqarah 2

Studi Kasus di Studi kitab


Kabupaten tafsir serta doa & munajat
(olah rasa & olah batin)

Permasalahan- Nilai-nilai ayat


permasalahan 282 Surah Al-
Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 11 of 17
Baqarah
Konfirmasi
Temuan
3

Konstruksi Akuntabilitas Pengelolaan


Keuangan daerah berdasarkan Nilai-Nilai
ayat 282 Surat Al-Baqarah

Gambar Tahapan Konstruksi Akuntabilitas Keuangan Daerah


(Sumber: Olahan Peneliti)
Penelusuran Empiris
Seperti yang telah digambarkan pada gambar sebelumnya mengenai tahapan
dalam melakukan konstruksi akuntabilitas atas pengelolaan keuangan daerah,
tahapan pertama yang dilakukan adalah melakukan penelusuran empiris yang
dilakukan dengan cara berbaur dengan masyarakat di situs penelitian, Pemda
Kabupaten Bangkalan. Pada tahapan ini akan merumuskan mengenai nilai-nilai
yang terkandung dalam akuntabilitas yang saat ini diterapkan. Peneliti pun akan
mencari tahu pula mengenai permasalahan yang ada terkait pelaksanaan
akuntabilitas yang ada saat ini, karena permasalahan yang ada dalam akuntabilitas
turut mencerminkan nilai yang saat ini ada di dalam akuntabilitas atas pengelolaan
keuangan daerah. Nilai-nilai yang ditemukan dalam akuntabilitas atas pengelolaan
keuangan daerah saat ini nantinya akan diperbaiki dengan nilai-nilai yang ada di
dalam ayat 282 surat Al-Baqarah sebagai dasar konstruksi akuntabilitas atas
pengelolaan keuangan daerah yang baru.

Perjalanan Penelusuran Empiris


Penelusuruan empiris dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi aktual
Pemda Kabupaten Bangkalan saat ini, terutama mengenai praktik pengelolaan
keuangan yang sedang dijalankan. Hal ini perlu untuk diketahui karena peneliti
ingin mengetahui akuntabilitas dari pengelolaan keuangan daerahnya. Akuntabilitas
dalam pandangan peneliti tidak hanya mengenai pertanggungjawaban secara materi
(dalam hal ini berkaitan dengan keuangan saja), namun akuntabilitas memiliki
konsep pertanggungjawaban yang jauh lebih luas.
Akuntabilitas dalam pandangan peneliti tidak hanya tentang bagaimana
penyerapan dana yang telah dilakukan oleh sebuah pemerintah daerah, akuntabilitas
juga memberikan kepuasan bagi masyarakat. Hal ini diungkapkan pula oleh Randa
(2013) bahwa akuntabilitas yang dipahami oleh masyarakat sangatlah sederhana,
apabila masyarakat telah merasakan manfaat dari program yang ada, masyarakat
merasa bahwa akuntabilitas pemerintah daerah telah dilaksanakan dengan baik.
Keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan dapat dianggap sebagai salah
satu indikator akuntabilitas. Oleh karena itu, bukti empiris yang akan peneliti gali
tidak hanya terfokus pada bagaimana akuntabilitas dipandang oleh pemerintah
daerah, akan tetapi tercermin pula dari pendapat masyarakat mengenai keadaan

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 12 of 17


pemerintah daerah serta program-program dan kegiatan-kegiatan yang telah
dijalankan.
Ketika menggali data di Pemda Kabupaten Bangkalan, peneliti
menggunakan pendekatan Participatory Rural Approach (PRA). Berdasarkan
pendekatan tersebut, masyarakat dan stakeholder lainnya yang menjadi salah satu
target penelitian, diajak untuk terlibat aktif dalam penelitian. Peneliti menganggap
bahwa masyarakat dan stakeholder memiliki pengetahuan yang lebih banyak
mengenai daerahnya. Peneliti melakukan observasi di Pemda Bangkalan secara
bertahap.
Pada mulanya, dilakukan permohonan ijin kepada Bakesbangpol untuk
melakukan penelitian di Pemda Kabupaten Bangkalan. Kemudian, peneliti
mengikuti Forum Group Discussion (FGD) dan Musrenbang dengan warga desa,
kecamatan dan kabupaten untuk mengetahui gambaran umum mengenai kondisi
daerah Kabupaten Bangkalan serta problematika atau masalah-masalah yang
dihadapinya. Setelah itu, peneliti melakukan koleksi data secara langsung dengan
melakukan wawancara dengan masyarakat dan stakeholder.
Ketika data telah dikoleksi, peneliti melakukan reduksi data serta melakukan
FGD untuk melakukan triangulasi data. Kemudian, tahapan yang Peneliti lakukan
adalah mencari data melalui perangkat daerah Bangkalan (Bappeda, BPKAD,
Bapenda dan Inspektorat) mengenai pengelolaan keuangan daerah dengan cara
mengikuti FGD atau rapat-rapat bersama perangkat daerah. Tahapan terakhir adalah
observasi yang dilakukan secara menyeluruh dengan cara ikut berbaur dengan
masyarakat Bangkalan selama waktu yang dibutuhkan untuk mengamati keseharian
masyarakat Bangkalan.

Metode Koleksi Data dan Sumber Data


Pengoleksian data direncanakan akan menggunakan beberapa metode, yakni
wawancara, observasi, diskusi dengan beberapa pihak terkait, serta dokumentasi.
Wawancara dilakukan dengan cara semi terstruktur. Peneliti akan menyiapkan
beberapa poin-poin yang akan ditanyakan kepada informan dan selanjutnya
wawancara akan dilakukan secara mengalir mengikuti jawaban dari informan.
Peneliti akan menggunakan teknik snowball sampling, yakni pada awalnya
dipilih satu orang informan sebagai pembuka informasi (merupakan pihak yang
menjadi tokoh di lingkup masyarakat, namun tidak termasuk dalam perangkat
daerah). Kemudian, saat riset berjalan, diharapkan adanya tambahan jumlah
informan sesuai dengan perjalanan yang akan peneliti lakukan. Observasi yang
peneliti lakukan dilalui dengan cara berjalan berkeliling beberapa daerah di
Bangkalan untuk mengamati kondisi yang ada. Peneliti pun melakukan dokumentasi
hasil wawancara dan observasi menggunakan alat bantu kamera dan perekam suara
yang nantinya akan menghasilkan data lapangan untuk dianalisis lebih lanjut.
Sumber data yang akan peneliti ambil dalam penelitian ini adalah beberapa warga
Desa di beberapa kecamatan di Kabupaten Bangkalan yang peneliti temui untuk
diwawancarai. Selain itu Peneliti juga akan melakukan diskusi dengan beberapa
pihak yang peneliti anggap memiliki data yang mampu melengkapi data yang
peneliti miliki.
Data-data pelengkap lainnya peneliti akan mencari dari peraturan-peraturan
yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah serta artikel-artikel yang berada
di surat kabar maupun media online yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 13 of 17


daerah. Peraturan-peraturan yang ada peneliti gunakan untuk memahami alur dari
pengelolaan keuangan daerah yang baru beserta tata cara melakukan
pertanggungjawabannya. Sementara data yang didapat dari surat kabar maupun
media online peneliti gunakan untuk memperluas pandangan peneliti mengenai
topik yang peneliti angkat dalam penelitian ini.

Teknik Analisis Data


Nantinya data yang telah dikumpulkan oleh peneliti selanjutnya akan
dianalisis sesuai dengan tahapan penelitian yang telah dijelaskan pada bahasan
sebelumnya. Data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan cara
sebagai berikut:
1. Melakukan pengamatan atas data yang telah dimiliki, baik berupa transkrip
wawancara, hasil diskusi, hasil observasi secara langsung ketika peneliti berada
di daerah Bangkalan, peraturan-peraturan terkait dengan pengelolaan keuangan
daerah, serta data dari surat kabar dan media online. Kemudian, data tersebut
dikelompokkan ke dalam poin-poin permasalahan yang berkaitan dengan
akuntabilitas keuangan daerah. Hal ini perlu dilakukan karena peneliti punya
keyakinan bahwa data yang terkumpul akan memiliki beragam permasalahan
yang tidak hanya menyangkut pada persoalan akuntabilitas keuangan daerah.
Permasalahan tersebut akan dikategorikan dalam sebuah tabel kertas kerja
seperti berikut:
Tabel Kertas Kerja Analisis Data
No Isu Gambaran Permasalahan

2. Merangkum hasil diskusi bersama pihak-pihak terkait sebagai proses


triangulasi. Triangulasi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah tahapan untuk
membuktikan bahwa sebuah temuan adalah benar dengan cara melakukan
beberapa teknik, metode, maupun mencari dari sumber yang berbeda
(Kamayanti 2016a). Oleh karena itu, diskusi bersama pihak lain bertujuan
untuk melakukan validasi atas kebenaran empiris yang telah ditemukan peneliti.
Selain itu, diskusi ini bertujuan untuk saling bertukar informasi dengan pihak-
pihak lainnya mengenai permasalahan yang terjadi.
3. Memberikan gambaran mengenai proses pengelolaan keuangan daerah
sekaligus membandingkan antara peraturan yang ada dengan kondisi daerah di
Bangkalan.
4. Membandingkan temuan dengan nilai-nilai di ayat 282 surat Al-Baqarah. Hal
ini dilakukan untuk melakukan konstruksi atas akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah.
5. Melakukan konstruksi akuntabilitas keuangan daerah menggunakan nilai-nilai
dari ayat 282 surat Al-Baqarah (keimanan, pencatatan dengan benar, persaksian
(Allah dan manusia), keadilan dan kebenaran, ketidakberpihakan, kepedulian,
kejujuran (tidak mengurangi atau menambah), pertanggungjawaban, dan
transparan serta takut kepada Allah (Sang Pengawas, Sang Penilai serta Sang
Maha Tahu).

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 14 of 17


Referensi Al-Quran-Al-Karim
Abdullah, A. 2004. Budaya Aceh dan Konsep Boinah. Dalam Tim PUSPAR UGM
(Ed.). Wawasan Budaya untuk Pembangunan: Menoleh Kearifan Lokal (hal.
367-385), Yogyakarta: Pilar Politika
Abrahamsen, R. 2004. Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa dalam Wacana
Pembangunan (Heru Prasetia, Penerjemah). Yogyakarta: Lafadl Pustaka
Ali, A., Elham, F., dan Alauddin, A. 2014. Does Accountability Discharged through
Performance Measurement System? Procedia Social and Behavioral
Sciences. Vol. 164. hlm. 421-428
Cooper, D. J. dan Morgan, W. 2008. Case Study Research in Accounting.
Accounting Horizons, 22(2), 159-178.
Gisselquist, R. M. 2012. Good Governance as A Concept, and Why This Matters for
Development Policy. Working Paper 2012/30. United Nations University
World Institute for Development Economics Research (UNU-WIDER),
Helsinki, Finlandia.
Jonsson, S dan Lukka, K. 2007. There and Back Again: Doing Interventionist
Research in Management Accounting. Dalam C.S. Chapman, A.G. Hopwood
dan M.D. Shields (Ed.). Handbook of Management Accounting Research
Vol.1 (hal. 373-397), Oxford: Elsevier
Kamayanti, A. 2016. Akuntan(si) Pitung: Mendobrak Mitos Abnormalitas dan
Rasialisme Keadilan. Paper dipresentasikan dalam Pertemuan Masyarakat
Akuntansi Multiparadima Indonesia Nasional (TEMAN) ke-4 di Universitas
Mercu Buana Jakarta, tanggal 15 April 2016
Kamayanti, A. 2016a. Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi. Jakarta: Yayasan
Rumah Peneleh
Kamayanti, A. 2016b. Metodologi Konstruktif Riset Akuntansi Membumikan
Religiositas. Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh
Kamla, R. et. al. 2006. Islam, Nature, and Accounting: Islamic Principles and The
Notion of Accounting for The Environment. Accounting Forum, 30, 245-265
Kholmi, M. et al. 2015. Phenomenology Study: Accountability of a Political Party
in the Context of Local Election. Procedia – Social and Behavioral
Sciences, 211, 731-737
Kusdewanti, A. I. dan Hatimah, H. 2016. Membangun Akuntabilitas Profetik.
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 7(2), 223-239
Mulawarman, A.D. 2014. On Holistic Wisdom Core Datum Accounting: Shifting
from Accounting Income to Value Added Accounting. The International
Journal of Accounting and Business Society, 22(1), 69-91
Mulawarman, A.D. 2014. Akuntansi “Tjokro-an” Kritis Ala HOS Tjokroaminoto.
Paper dipresentasikan dalam Accounting Research Training Series 5 PDIA
FEB UB di Universitas Brawijaya, tanggal 22-23 Januari 2014
Nadjib, E. A. 2016. Tuhan pun Berpuasa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Nadjib, E. A. 2017. Tidak. Jibril Tidak Pensiun! Yogyakarta: Bentang Pustaka
Patty, A. C. dan Irianto, G. 2013. Akuntabilitas Perpuluhan Gereja. Jurnal
Akuntansi Multiparadigma, 4(2), 177-187
Prasetio, Januar., Eko. 2017. Tazkiyatun Nafs: Kajian Teoritis Konsep Akuntabilitas,
Jurnal Analisa Akuntansi dan Perpajakan, Volome 1, Nomor 1, Maret, Hlm.
19-33
Pujaastawa, I.B.G. 2004. Tri Hita Karana: Kearifan Lokal dengan Nilai-Nilai

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 15 of 17


Universal. Dalam Tim PUSPAR UGM (Ed.). Wawasan Budaya untuk
Pembangunan: Menoleh Kearifan Lokal (hal. 403-422), Yogyakarta: Pilar
Politika
Rahman, F. 2011. Korupsi di Tingkat Desa. Governance, 2(1), 13-24
Randa, F. 2013. Memahami Dimensi Akuntabilitas pada Organisasi Pemerintah
Daerah (Studi Etnografi pada Pemerintah Daerah Tingkat II Tana Toraja).
Simposium Nasional Akuntansi XVI Manado 2013, hal. 3878-3891
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan daerah.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang
Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah
Salle, I.Z. 2015. Akuntabilitas Manuntungi: Memaknai Nilai Kalambusang pada
Lembaga Amil Zakat Kawasan Adat Ammatoa. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma, 6(1), 28-37
Setiawan et. al. 2013. System-Driven (Un) Fraud: Tafsir Aparatur terhadap “Sisi
Gelap” Pengelolaan Keuangan Daerah. Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
4(1), 85-100
Sinclair, A. 1995. The Chameleon of Accountability: Forms and Discourses.
Accounting, Organizations and Society, Vol. 20 (2/3), hlm. 219-237
Sitompul, Syahman. Mhd., Nurlaila & Hendra Harmain, 2016. Implimentasi Surat
al-Baqarah Ayat 282 Dalam Pertanggungjawaban Mesjid Di Sumatera
Timur. Jurnal Human Falah: Volume 3. No. 2 Juli – Desember
Sharma, S. D. 2007. Democracy, Good Governance, and Economic Development.
Taiwan Journal of Democracy, 3(1), 29-62
Shihab, M. Q. 2005. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran.
Volume 1. Tangerang: Penerbit Lentera Hati
Shivji, I. 2003. The Struggle for Democracy.
www.marxists.org/subject/africa/shivji/struggle-democracy.htm (diakses
tanggal 9 Juni 2017)
Soetarno. 2004. Relevansi Nilai Budaya Jawa dengan Kehidupan Berbangsa.
Dalam Tim PUSPAR UGM (Ed.). Wawasan Budaya untuk
Pembangunan:Menoleh Kearifan Lokal (hal. 331-350), Yogyakarta: Pilar
Politika
Triyuwono, I. 2010. Mata Ketiga: Sé Laén, Sang Pembebas Sistem Pendidikan
Tinggi Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 1(1), 1-18.
Triyuwono, I. 2012. Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan Teori. Jakarta:
Rajagrafindo Persada
Triyuwono, I. 2013. So,What is Syariah Accounting? Imanensi, 1(1), 42-50

Some thoughts on the preparation of dissertation in relation to the sociology of


accounting
1. Reseacrh theme

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 16 of 17


2. Research title
3. Research backgraound (2-3 paragraph)
4. Research problem and questions
5. Research objectives
6. Research contribution to theory and practices
7. Research methodology (2-3 paragraphs
8. Research method (2-3 paragrahps)
9. Research finding

Tuesday, 14 December 2021, 11:43:36 AM, p. 17 of 17

Anda mungkin juga menyukai