Progam Akuntansi
Nama Mohamad Djasuli
NIM 177020300111009
No Urut Presensi 9
E-mail mdjasuli@gmail.com
Mobile 081249344836
Berdasarkan pernyataan tersebut, merupakan sebuah hal yang salah dan tidak
patut dibenarkan apabila pemeluk Islam justru bertahan dalam status quo
kemapanan yang menindas manusia lainnya. Pada masa Rasulullah Muhammad,
akuntan (dan akuntansi) memiliki peranan yang penting sebagai penegak nilai-nilai
Islam. Pertanggungjawaban yang dilakukan tidak terbatas pada tataran teknis dan
finansial, namun menyeluruh hingga masuk ke dalam dimensi kesejahteraan sosial.
Aktivitas yang dilakukan oleh sebuah pemerintahan harus memenuhi asas keadilan
bagi masyarakatnya (Kamla et al 2006). Oleh karena itu, akuntabilitas menjadi
penting bagi sebuah pemerintahan yang menjalankan aktivitasnya berdasarkan nilai-
nilai Islam.
Sayangnya, beberapa praktik pengelolaan keuangan daerah yang peneliti
lihat dan tahu justru tidak dijalankan dengan mengedepankan nilai keadilan bagi
warganya. Saat ini, sistem pengelolaan keuangan daerah yang diterapkan adalah
pengelolaan keuangan yang terdesentralisasi. Artinya, sistem tersebut
memungkinkan pemerintah daerah untuk mengelola sendiri keuangan yang dimiliki
sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Akan tetapi, sistem
tersebut belum memberikan best practices. Sistem tersebut justru menyebarkan bibit
korupsi hingga ke wilayah pinggiran pedesaan (Rahman 2011). Hal ini didukung
pula dengan dorongan kepentingan pribadi (egoisme) yang sudah terinternalisasi ke
dalam diri pemerintah daerah. Akibatnya, dana yang seharusnya dapat digunakan
untuk kepentingan bersama justru tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat. Beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah telah
berhasil diungkap dan dilaporkan kepada pihak yang berwenang, bahkan ada yang
langsung kena Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Hal ini menunjukkan bahwa sistem pertanggungjawaban yang dilakukan
oleh pemerintah daerah belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Artinya, perlu
ditelaah kembali apakah konsep akuntabilitas yang digunakan sebagai alat
pertanggungjawaban sudah tepat ataukah tidak. Korupsi di tingkat daerah tentunya
bertentangan dengan amanah utama manusia sebagai seorang khalifah di muka
bumi. Seharusnya, pemerintah daerah mampu memahami tugas utama mereka
sebagai seorang khalifah yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat, bukan
menghambakan dirinya pada nafsu dan kepentingan pribadi semata.
Keringnya pemahaman manusia atas amanah sebagai khalifah mengajak
manusia untuk kembali kepada Allah sebagai sumber segala ilmu. Salah satu cara
untuk kembali pada Allah adalah dengan mempelajari wahyu yang telah diberikan
kepada Allah kepada manusia karena sejatinya ilmu Allah tidak berhenti pada
Rasulullah Muhammad saja. Ilmu Allah dapat diterima oleh seluruh manusia yang
bersedia untuk menerima dan mempelajarinya. Di tengah kehidupan yang serba
modern ini, seringkali manusia menjadi “sombong” karena merasa mampu
mengetahui segala hal hingga dapat memprediksi dengan pasti apa yang akan terjadi
di kemudian hari. Manusia menjadi lupa bahwa segala ilmu yang ada di dunia ini
adalah milik Allah semata (Nadjib 2017:26-29). Akibatnya, manusia-manusia yang
cenderung “sombong” ini akan mereproduksi ilmu-ilmu yang dianggap sebagai
miliknya dan mengedepankan egonya sebagai alat utama dalam memecahkan
permasalahan.
Fokus Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah yang diangkat
Penelitian/ dalam penelitian ini adalah bagaimana konstruksi konsep akuntabilitas pengelolaan
Rumusan keuangan daerah berdasar pada nilai-nilai surat Al Fatihah?
Masalah
Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian terdahulu yang menurut peneliti masih terkait dan
bisa dibuat sandaran di dalam melakukan penelitian ini. Patty dan Irianto (2013)
dalam penelitiannya “Akuntabilitas Perpuluhan Gereja” menemukan bahwa nilai-
nilai religius dan spiritual melekat dalam akuntabilitas yang dilaksanakan. Salle
(2015) yang meneliti “Akuntabilitas Manuntungi: Memaknai Nilai Kalambusang
pada Lembaga Amil Zakat Kawasan Adat Ammatoa” menunjukkan bahwa nilai
religius muncul dalam praktik akuntabilitas dari lembaga zakat suatu komunitas
adat. Oleh karena itu, nilai-nilai agama, budaya, dan sosial yang ada dalam sebuah
kelompok tertentu akan memengaruhi bagaimana sebuah praktik akuntabilitas
dilaksanakan.
Penelitian Sitompul, et. al (2016) dalam ” Implimentasi Surat al-Baqarah
Ayat 282 Dalam Pertanggungjawaban Mesjid Di Sumatera Timur” bertujuan ingin
mengungkapkan hubungan variabel sumber hukum Islam sebagai landasan utama
dalam menjalankan pertanggungjawaban keuangan dan akuntansi sebagai alat
pertanggungjawaban dan penyajian informasi yang akurat. Sebagai landasan atas
pertanggungjawaban keuangan menggunakan surah Al Baqarah 282 yang isinya
mengenai perintah untuk melakukan proses akuntansi atas setiap transaksi. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa sumber hukum Islam dan akuntansi berperan
dalam mewujudkan pertanggungjawaban pelaporan keuangan yang akuntabel dan
transparan. Secara statistik, sumber hukum Islam dan akuntansi dapat menjelaskan
tentang pertanggungjawaban/pelaporan keuangan sebesar 86,9%.
Begitupun juga penelitian dari Prasetio (2017) dalam “Tazkiyatun Nafs:
Kajian Teoritis Konsep Akuntabilitas” menemukan hasil Konsep akuntabilitas telah
sarat dimasuki nilai-nilai rasionalitas sehingga perlu dilakukan tazkiyatun nafs
(pensucian jiwa) berdasarkan Islam. Akuntansi adalah pusat Islam, karena
pertanggungjawaban kepada Allah dan masyarakat untuk semua kegiatan sangat
penting untuk iman seorang Muslim. Berdasarkan syariah hukum Islam, etika yang
komprehensif dapat menentukan bagaimana bisnis harus dilakukan, bagaimana
Rancangan Pendahuluan
Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan
Penelitian studi kasus. Pendekatan studi kasus digunakan untuk memahami dinamika yang
terjadi dalam sebuah keadaan tertentu (Kamayanti 2016a). Studi kasus dapat
digunakan dalam berbagai macam penelitian dengan beragam paradigma.
Pendekatan ini dapat dipahami sebagai sebuah pendekatan yang memiliki beragam
cara untuk memeroleh pemahaman. Pada penelitian ini, peneliti akan terlibat
langsung dengan proses, sistem, dan pelaku di lapangan. Data yang diperoleh
peneliti akan diambil dengan menggunakan beragam teknik sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan dari peneliti, baik menggunakan wawancara, observasi,
maupun dokumentasi. Hal ini dikarenakan studi kasus tidak membatasi teknik
maupun maupun metode yang harus dilakukan oleh peneliti (Jonsson dan Lukka
2007; Cooper dan Morgan 2008).
Akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah menjadi perhatian utama dalam
penelitian ini. Pengelolaan keuangan daerah menjadi sebuah situs yang menarik
untuk diteliti karena posisi daerah yang berubah menjadi tempat yang memiliki
kekuasaan yang lebih besar dibandingkan sebelumnya (pasca otonomi daerah). Saat
ini, daerah memiliki kewenangan untuk mengelola keuangannya sendiri sesuai
dengan kebutuhan masing-masing. Hal inilah yang menjadi sebuah poin untuk
dicermati, apakah pengelolaan keuangan daerah tersebut sudah memiliki
akuntabilitas yang baik? Oleh karena itu, pendekatan studi kasus digunakan untuk
mengetahui kondisi dari daerah serta permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan
keuangan daerah, baik yang dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah daerah
sebagai pengelola keuangan daerah. Permasalahan yang menjadi temuan nantinya
akan dijadikan data untuk melakukan konstruksi akuntabilitas pengelolaan keuangan
daerah. Selain nantinya melakukan pengamatan langsung di daerah, peneliti pun
melakukan telaah tafsir Al-Fatihah sebagai dasar nilai kebenaran untuk melakukan
konstruksi akuntabilitas atas pengelolaan keuangan daerah. Temuan yang
didapatkan dari daerah akan dikonfirmasikan dengan surat Al Fatihah agar sesuai
dengan kebenaran Tuhan.
Penelitian dengan metode ini dilakukan karena peneliti melihat bahwa
selama ini belum ada penelitian lain yang melakukan konstruksi akuntabilitas
pengelolaan keuangan daerah menggunakan ayat Al-Quran. Hal ini dilakukan
semata-mata karena kesadaran peneliti sebagai manusia yang memegang perintah
Allah sebagai sebuah kebenaran meskipun peneliti masih memiliki berbagai
kekurangan sebagai seorang hamba Allah. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi
sebuah bukti upaya keberpihakan peneliti pada kebenaran. Hal ini serupa dengan
pernyataan Kamayanti (2016b) yang menjelaskan bahwa,
“Saat dihadapkan dengan temuan empiris, peneliti religius tidak akan
men‘dewa’kan temuan sebagai kebenaran. Di sisi lain, peneliti religius akan
selalu meng-afirmasi apakah temuan sesuai dengan kebenaran versi Tuhan
(dalam Islam, peneliti akan merujuk pada Al Quran dan Al Hadis). Jika
temuan empiris tidak sesuai dengan kebenaran versi Ilahiyah, maka mereka
akan melakukan usaha penyadaran dan rekonstruksi, agar ilmu yang mereka
sebarkan tidak akan menjadi ilmu yang menjerumuskan kepada kebenaran