Pertama. Pemahaman yang komprehensif tentang maksud dan tujuan lahirnya suatu peraturan
perundang-undangan adalah dengan mengetahui latar belakang dan urgensi lahirnya peraturan
perundang-undangan tersebut.[3] Dari sini dapat ditentukan berbagai peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang dimaksud dan lembaga mana yang mempunyai kewenangan untuk melahirkan
berbagai peraturan pelaksanaanya. Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menetapkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan
adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945,
2. UU/ PERPU,
3. Peraturan Pemerintah,
4. Peraturan Presiden,
5. Peraturan daerah.[4]
Sesuai dengan pasal 17 UUD 1945, maka fungsi dari Peraturan Menteri adalah sebagai
berikut:
Dalam Pedoman no. 173 Lampiran UU No. 10 tahun 2004 dinyatakan bahwa Pendelegasian
kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada Menteri atau pejabat setingkat menteri dibatasi
untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
Pada bidang hukum, pembentukan pengertian tidak hanya penting dalam dogmatika hukum,
melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena sebuah undang-undang dimaksudkan untuk
mengatur prilaku warga masyarakat, maka harus dibuat jelas prilaku apa yang diharapkan (dituntut)
dari mereka.
Awal penggunaan istilah yuridis Pekerjaan Kefarmasian dan atau Praktik Kefarmasian adalah
istilah ’Praktek Peracikan Obat’, seperti dimaksud Ordonansi Obat Keras, yang mendefinisikan istilah
’Apoteker’, yaitu: Mereka yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku mempunyai
wewenang untuk menjalankan Praktek Peracikan Obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker sambil
memimpin sebuah apotek. [9]
Selanjutnya istilah ini berkembang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi
yang mendefinisikan “Pekerjaan Kefarmasian“, adalah pembuatan, pengolahan, peracikan,
pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. [10]
Kemudian istilah ini dikembangkan dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang
menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan
obat tradisional.[11]
Amanat pada Pasal 63 ayat (2) inilah yang menjadi dasar hukum pembentukan PP 51 tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang proses penantian hingga lahirnya membutuhkan waktu 17
tahun. Ironisnya, pada saat ketika PP 51 diundangkan 1 September 2009, UU No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan juga sedang dalam proses pengesahan menjadi Undang-Undang.
Dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan, istilah Pekerjaan Kefarmasian tidak
didefinisikan. Istilah yang digunakan adalah “Praktik Kefarmasian“ yang definisinya tidak dijumpai
dalam Ketentuan Umum. Istilah ini digunakan dalam Pasal 108 ayat (1) yang menyatakan bahwa
“Praktik Kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan“.
Kerancuan ini juga terbaca pada Penjelasan PP 51 tahun 2009 yang menyatakan bahwa
“perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan belum
memadai….“ dan selanjutnya dinyatakan, dalam Peraturan Pemerintah ini diatur Asas dan Tujuan
Pekerjaan Kefarmasian.
PELAYANAN KEFARMASIAN
Dalam PP ini tidak dijelaskan apa yang dilakukan Apoteker dan atau Tenaga Kefarmasian
dalam melaksanakan Pelayanan Kefarmasian. Sedikit penjelasan dapat dilihat dari pengertian Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian, yaitu “sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama”.[17]Pertanyaan akan timbul: apakah Pelayanan Kefarmasian merupakan bagian dari
Pekerjaan Kefarmasian, atau Pelayanan Kefarmasian merupakan suatu bentuk aktifitas apoteker dan
atau Tenaga Kefarmasian yang berdiri sendiri?.
Hal ini akan semakin rancu jika merujuk pada pengertian Apotek dalam PP 51 tahun 2009,
yang menyatakan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan Praktek
Kefarmasian oleh Apoteker”[18], yang pengertiannya lain dari “mainstream” pengertian Apotek yang
selama ini dipahami profesi apoteker, yaitu “suatu tempat tertentu, tempat dilakukan Pekerjaan
Kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat”, dan yang berhak melakukan
Pekerjaan Kefarmasian adalah Apoteker. Pertanyaan besarnya adalah: Apa yang
sebenarnya dilakukan apoteker di apotek?, Pekerjaan Kefarmasian, Praktek Kefarmasian atau
Pelayanan Kefarmasian?.
Pada saat keluarnya Permenkes ini, berbagai ketentuan tentang apotek dan toko obat menjadi
rancu dan saling bertabrakan. Tidak ada satupun aturan dan ukuran yang menjadikan dasar yang
membedakan apa itu “Apotek Rakyat” dan “Apotek”, apakah Ketenagaan, Omset, Ketersediaan Obat,
Lokasi atau lainnya. Yang ada hanyalah perbedaan pelayanan kefarmasian (pekerjaan kefarmasian)
yang bisa dilakukan seluruhnya oleh apoteker dan atau tenaga kefarmasian di Apotek, sedangkan di
Apotek Rakyat tidak diperkenankan “melakukan peracikan”.
Jika dikaitkan dengan definisi Apotek Rakyat yang berarti “Sarana Kesehatan…dst”, maka
merujuk pada Pasal 1 huruf (4), juncto Pasal 56 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan,
maka yang disebut dengan “Sarana Kesehatan” adalah: Balai Pengobatan, Pusat Kesehatan
Masyarakat, Rumah sakit Umum, Rumah Sakit Khusus, Praktik Dokter, Praktik Dokter Gigi, Praktik
Dokter Spesialis, Praktik Dokter Gigi Spesialis, Praktik Bidan, Toko Obat, Apotek, PBF, Pabrik
Obat dan Bahan Obat, Laboratorium, Sekolah dan Akademi Kesehatan, Balai Pelatihan Kesehatan
dan Sarana Kesehatan lainnya.
Jika mengacu pada Pasal 19 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang
menyatakan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa:
1. Apotek,
2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
3. Puskesmas
4. Toko Obat; atau
5. Praktek Bersama,
Di pihak lain, pada Pasal 24 huruf (b) Apoteker juga diberikan kewenangan melakukan
penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek
dagang lain atas persetujuan dokter dan/ atau pasien. Penggantian obat merek dagang dengan obat
generik yang sama komponen aktifnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pasien
yang kurang mampu secara finansial untuk tetap dapat membeli obat dengan mutu yang baik.
Organisasi profesi apoteker yang dikenal luas di Indonesia adalah Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia (ISFI). Di dalamnya berhimpun organisasi profesi seminat, yaitu HISFARMA untuk
kelompok profesi farmasi komunitas (apotek), HISFARSI, untuk kelompok profesi farmasi rumah
sakit, dan HISFARIN, untuk kelompok profesi farmasi industri.
PENUTUP
Profesi dokter dan dokter gigi merupakan profesi yang paling beruntung diantara tenaga
kesehatan yang ada di Indonesia. Dokter dan dokter gigi memiliki UU No. 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. Undang-Undang ini mengatur berbagai hal tentang asas dan tujuan praktik
kedokteran, pembentukan Konsil Kedokteran, penyelenggaraan praktik kedokteran, pembentukan
MKDKI dan pengaturan ketentuan pidana. Dalam materi muatannya diatur tentang hak dan kewajiban
dokter dan dokter gigi, hak dan kewajiban pasien dan perlindungan hukum bagi dokter dan dokter gigi
yang menyelenggarakan praktik kedokteran.
Demikian juga PP ini tidak mengatur hak dan kewajiban pasien. Jika terjadi masalah dalam
hal penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dan atau sengketa antara apoteker/ tenaga kefarmasian
dengan pasien/ masyarakat, maka apoteker dan tenaga kefarmasian tidak mempunyai ketentuan
perundangan-undangan yang sifatnya spesialis yang melindungi diri profesi dan usaha mereka.
KETERANGAN CATATAN KAKAI BERDASARKAN PENDAPAT PARA PAKAR/AHLI
[2] Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, adalah Ketua Bidang Usaha BPP ISFI, Ketua
Komite Advokasi dan Bantuan Hukum Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia, dan Dosen Universitas
Muhammadiyah UHAMKA. Dalam seminar ini penulis bertindak dan berpendapat atas nama pribadi.
[8] J.J.H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, cetakan 2, hal. 49
[9] Pasal 1 ayat (1) huruf (b) Ordonansi Obat Keras, St. 1937 No. 41.
[14] Lihat Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan 2009
[15] Pasal 203 UU Kesehatan tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan: “Pada saat Undang-Undang
ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”
[25] Pasal 38 ayat (1) huruf (c) UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
[26] Pasal 71 UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
[27] Pasal 55 ayat (1) huruf (c) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian