Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan


farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan 
obat, bahan obat dan obat tradisional.Pemerintah mengatur pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan,
produksi, distribusi atau penyaluran dan pelayanan sediaan farmasi.
Pekerjaan kefarmasian tersebut di atas harus dilakukan oleh tenaga Kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah
apoteker yang telah memiliki STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker) dan tenaga teknis kefarmasian
yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi dan tenaga menengah
farmasi/asisten apoteker yang telah memiliki STRTTK (Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis
Kefarmasian).
TINJAUAN PUSTAKA

IMPLEMENTASI PP 51/2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN 


  DAN KAITANNYA DENGAN PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN 
DI BIDANG KESEHATAN
Ada dua pendekatan yang harus dilakukan untuk memahami PP 51 tahun 2009 
tentang Pekerjaan Kefarmasian sebagai sebuah peraturan perundang-undangan dan implementasinya
di bidang kesehatan dan farmasi. Pertama, memahami dan mengerti fungsi, posisi dan materi muatan
yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, memahami definisi dan pengertian
berbagai masalah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dimaksud.

Pertama. Pemahaman yang komprehensif tentang maksud dan tujuan lahirnya suatu peraturan
perundang-undangan adalah dengan mengetahui latar belakang dan urgensi lahirnya peraturan
perundang-undangan tersebut.[3] Dari sini dapat ditentukan berbagai peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang dimaksud dan lembaga mana yang mempunyai kewenangan untuk melahirkan
berbagai peraturan pelaksanaanya. Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menetapkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan
adalah sebagai berikut: 

1. UUD 1945, 
2. UU/ PERPU, 
3. Peraturan Pemerintah, 
4. Peraturan Presiden, 
5. Peraturan daerah.[4] 

Selanjutnya dinyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana


dimaksud di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[5] Peraturan perundang-
undangan selain ‘sebagaimana dimaksud di atas’ adalah peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya
seperti peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lainnya, yang jika dibuat harus dengan tegas
berdasar dan bersumber dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[6]

Fungsi Peraturan Pemerintah adalah: 

a. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas


menyebutnya, 
b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-
Undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya. Sedangkan
menurut pasal 10 UU No. 10 tahun 2004, materi muatan Peraturan Pemerintah berisi
materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Maksud
dari sebagaimana mestinya’ adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang
bersangkutan.

Sesuai dengan pasal 17 UUD 1945, maka fungsi dari Peraturan Menteri adalah sebagai
berikut: 

1. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan


kekuasaan pemerintahan di bidangnya, 
2. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Presiden, 
3. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang
tegas-tegas menyebutnya, 
4. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
yang tegas-tegas menyebutnya.

Dalam Pedoman no. 173 Lampiran UU No. 10 tahun 2004 dinyatakan bahwa Pendelegasian
kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada Menteri atau pejabat setingkat menteri dibatasi
untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.

 Kedua. Peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem komunikasi.[7] Artinya dalam


sistem undang-undang terdapat apa yang kita kenal dengan permainan bahasa. Apa yang ada dalam
undang-undang selalu mengandung pertanyaan: siapa yang berkomunikasi, untuk siapa dan
bagaimana metode komunikasinya dan apa isi dari yang disampaikan tersebut, apa yang menjadi
pengganggu dan 
penghalang dalam melakukan komunikasi atau bagaimana sistem komunikasi dapat dikembangkan.

Dengan memahami bahwa peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem komunikasi,


maka merupakan keniscayaan bagi setiap pengguna peraturan perundang-undangan untuk memahami
definisi (definitie) dan pengertian-pengertian (begrip) yang diatur dan dinyatakan dalam
peraturan perundang-undangan dimaksud.

Pada bidang hukum, pembentukan pengertian tidak hanya penting dalam dogmatika hukum,
melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena sebuah undang-undang dimaksudkan untuk
mengatur prilaku warga masyarakat, maka harus dibuat jelas prilaku apa yang diharapkan (dituntut)
dari mereka.

Maksud dari penetapan definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah pengertian


secermat mungkin, sehingga jelas bagi setiap orang dalam setiap keadaan melaksanakan apa yang
diatur sebuah peraturan perundang-undangan.[8] Hal itu mengakibatkan bahwa banyak undang-
undang, sebelum pengaturan yang sesungguhnya, memberi batasan pengertian (definisi yuridis)
terlebih dahulu tentang pengertian-pengertian yang digunakan dalam undang-undang itu.

Dalam konteks PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pengertian yang akan


dibahas lebih lanjut adalah:

 Pekerjaan Kefarmasian, Praktik Kefarmasian, Pelayanan Kefarmasian


(Pharmaceutical Care).
 Penempatan istilah tersebut dalam peraturan perundang-undangan di bidang
kesehatan.
 Implikasi definisi yuridis dari istilah-istilah di atas terhadap peraturan pelaksanaan
dari peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.

   PEKERJAAN KEFARMASIAN DAN PRAKTEK KEFARMASIAN

Awal penggunaan istilah yuridis Pekerjaan Kefarmasian dan atau Praktik Kefarmasian adalah
istilah ’Praktek Peracikan Obat’, seperti dimaksud Ordonansi Obat Keras, yang mendefinisikan istilah
’Apoteker’, yaitu: Mereka yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku mempunyai
wewenang untuk menjalankan Praktek Peracikan Obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker sambil
memimpin sebuah apotek. [9]

Selanjutnya istilah ini berkembang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi
yang mendefinisikan “Pekerjaan Kefarmasian“, adalah pembuatan, pengolahan, peracikan,
pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. [10]
Kemudian istilah ini dikembangkan dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang
menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan
obat tradisional.[11]

Selanjutnya UU ini menyatakan  bahwa Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi,


distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu, [12] dan mengamanatkan bahwa Ketentuan mengenai
pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[13]

Amanat pada Pasal 63 ayat (2) inilah yang menjadi dasar hukum pembentukan PP 51 tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang proses penantian hingga lahirnya membutuhkan waktu 17
tahun. Ironisnya, pada saat ketika PP 51 diundangkan 1 September 2009, UU No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan juga sedang dalam proses pengesahan menjadi Undang-Undang.
Dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan, istilah Pekerjaan Kefarmasian tidak
didefinisikan. Istilah yang digunakan adalah “Praktik Kefarmasian“ yang definisinya tidak dijumpai
dalam Ketentuan Umum. Istilah ini digunakan dalam Pasal 108 ayat (1) yang menyatakan bahwa
“Praktik Kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan 
peraturan perundang-undangan“.

Selanjutnya diamanatkan bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik


kefarmasian ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[14] Dengan mengacu pada Pasal 203 UU
Kesehatan tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan,[15] pertanyaan mendasar yang perlu
dijawab berkenaan dengan PP 51 adalah apakah PP ini mengatur tentang Pekerjaan Kefarmasian atau
Praktik Kefarmasian?, atau apa implikasi yuridis penggunaan istilah “Praktik Kefarmasian“ pada UU
Kesehatan 2009 terhadap Peraturan Pelaksanan dalam bentuk Peraturan Pemerintah seperti
diamanatkan Pasal 108 ayat (2) UU Kesehatan tahun 2009?.

PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga menggunakan secara bergantian istilah


Pekerjaan Kefarmasian dan Praktik Kefarmasian dengan maksud menunjuk pengaturan atas subjek
dan objek hukum yang sama. Bedanya istilah Pekerjaan Kefarmasian didefinisikan dengan jelas pada
Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1), sedangkan istilah Praktik Kefarmasian tidak didefinisikan.

Kerancuan ini juga terbaca pada Penjelasan PP 51 tahun 2009 yang menyatakan bahwa
“perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan belum
memadai….“ dan selanjutnya dinyatakan, dalam Peraturan Pemerintah ini diatur Asas dan Tujuan
Pekerjaan Kefarmasian.

PELAYANAN KEFARMASIAN

Dalam PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dikenalkan istilah “Pelayanan


Kefarmasian”, yang didefinisikan sebagai “suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien”[16].

Dalam PP ini tidak dijelaskan apa yang dilakukan Apoteker dan atau Tenaga Kefarmasian
dalam melaksanakan Pelayanan Kefarmasian. Sedikit penjelasan dapat dilihat dari pengertian Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian, yaitu “sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama”.[17]Pertanyaan akan timbul: apakah Pelayanan Kefarmasian merupakan bagian dari
Pekerjaan Kefarmasian, atau Pelayanan Kefarmasian merupakan suatu bentuk aktifitas apoteker dan
atau Tenaga Kefarmasian yang berdiri sendiri?.

Hal ini akan semakin rancu jika merujuk pada pengertian Apotek dalam PP 51 tahun 2009,
yang menyatakan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan Praktek
Kefarmasian oleh Apoteker”[18], yang pengertiannya lain dari “mainstream” pengertian Apotek yang
selama ini dipahami profesi apoteker, yaitu “suatu tempat tertentu, tempat dilakukan Pekerjaan
Kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat”, dan yang berhak melakukan
Pekerjaan Kefarmasian adalah Apoteker. Pertanyaan besarnya adalah: Apa yang
sebenarnya dilakukan apoteker di apotek?, Pekerjaan Kefarmasian, Praktek Kefarmasian atau
Pelayanan Kefarmasian?.

PP 51 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DAN APOTEK RAKYAT.

Pertimbangan untuk melahirkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Apotek Rakyat adalah


untuk meningkatkan dan memperluas akses masyarakat dalam memperoleh obat dan atau
meningkatkan pelayanan kefarmasian.[19] Permenkes ini menjadikan UU 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan sebagai dasar “Mengingat” dan menyatakan bahwa “Apotek Rakyat” adalah sarana
kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan kefarmasian dimana dilakukan penyerahan obat dan
perbekalan kesehatan, dan tidak melakukan peracikan”.[20]

Pada saat keluarnya Permenkes ini, berbagai ketentuan tentang apotek dan toko obat menjadi
rancu dan saling bertabrakan. Tidak ada satupun aturan dan ukuran yang menjadikan dasar yang
membedakan apa itu “Apotek Rakyat” dan “Apotek”, apakah Ketenagaan, Omset, Ketersediaan Obat,
Lokasi atau lainnya. Yang ada hanyalah perbedaan pelayanan kefarmasian (pekerjaan kefarmasian)
yang bisa dilakukan seluruhnya oleh apoteker dan atau tenaga kefarmasian di Apotek, sedangkan di
Apotek Rakyat tidak diperkenankan “melakukan peracikan”.

Jika dilakukan penelusuran terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan yang


secara vertikal berada di atas Permenkes tentang Apotek Rakyat, maka tidak ada satu pasalpun yang
mengamanatkan pembentukan Apotek Rakyat.

Jika dikaitkan dengan definisi Apotek Rakyat yang berarti “Sarana Kesehatan…dst”, maka
merujuk pada Pasal 1 huruf (4), juncto Pasal 56 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan,
maka yang disebut dengan “Sarana Kesehatan” adalah: Balai Pengobatan, Pusat Kesehatan
Masyarakat, Rumah sakit Umum, Rumah Sakit Khusus, Praktik Dokter, Praktik Dokter Gigi, Praktik
Dokter Spesialis, Praktik Dokter Gigi Spesialis, Praktik Bidan, Toko Obat, Apotek, PBF, Pabrik
Obat dan Bahan Obat, Laboratorium, Sekolah dan Akademi Kesehatan, Balai Pelatihan Kesehatan
dan Sarana Kesehatan lainnya.
Jika mengacu pada Pasal 19 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang
menyatakan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa: 

1. Apotek, 
2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
3. Puskesmas
4. Toko Obat; atau 
5. Praktek Bersama, 

maka pada dasarnya keberadaan Apotek Rakyat tidak diakomodir oleh PP 51 tentang Pekerjaan


Kefarmasian.

APOTEKER PENANGGUNGJAWAB DAN APOTEKER PENDAMPING.

Dalam Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, diatur tentang Apoteker Penanggung jawab dan


Apoteker Pendamping.[21] Dalam Pasal 54 dinyatakan bahwa setiap Apoteker hanya dapat
melaksanakan praktik (sebagai Penanggung Jawab) di 1 (satu) apotek, atau Puskesmas atau instalasi
farmasi rumah sakit. Sedangkan Apoteker Pendamping hanya dapat melaksanakan praktik
paling banyak di 3 (tiga) apotek, atau Puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. Pertanyaannya
adalah, apa yang menjadi tanggung jawab Apoteker Pendamping saat melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di apotek yang Apoteker Penanggung jawabnya tidak berada di tempat?, dan bagaimana
aturan hukumnya jika pada saat yang sama seorang Apoteker Penanggung Jawab juga melakukan
pekerjaannya sebagai Apoteker Pendamping di 3 (tiga) Apotek lain?.

IZIN MELAKUKAN PEKERJAAN KEFARMASIAN

Berkenaan izin melakukan Pekerjaan Kefarmasian, maka PP 51 tahun 2009 mengatur


mekanisme sebagai berikut. Pada awalnya, setiap Apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi
Apoteker (STRA). Kemudian jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek atau
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, maka Apoteker tersebut wajib memiliki Surat Izin Praktik Apoteker
(SIPA). Jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas produksi dan fasilitas
distribusi atau penyaluran, maka Apoteker wajib memiliki Surat Izin Kerja (SIK).

  SERTIFIKAT KOMPETENSI PROFESI.

PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian mewajibkan dimilikinya Sertifikat


Kompetensi Profesi.[22] Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, dapat memperoleh secara
langsung Sertifikat Kompetensi Profesi setelah melakukan registrasi. Sertifikat Kompetensi Profesi
ini berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang melalui uji kompetensi profesi.
Dalam konteks lembaga yang berhak mengeluarkan Sertifikasi Kompetensi Profesi, PP 51
tahun 2009 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara memperoleh Sertifikat
Kompetensi dan tata cara registrasi profesi akan diatur dengan Peraturan Menteri.

DOKTER DISPENSING DAN SUBSTITUSI OBAT.

PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian memberikan kebolehan kepada Tenaga


Kesehatan diluar Tenaga Kefarmasian[23]. Hal ini tercantum dalam Pasal 22 yang menyatakan:
Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat
Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan menyerahlan obat kepada pasien yang
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Di pihak lain, pada Pasal 24 huruf (b) Apoteker juga diberikan kewenangan melakukan
penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek
dagang lain atas persetujuan dokter dan/ atau pasien. Penggantian obat merek dagang dengan obat
generik yang sama komponen aktifnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pasien
yang kurang mampu secara finansial untuk tetap dapat membeli obat dengan mutu yang baik.

PP 51 TAHUN 2009 DAN ORGANISASI PROFESI

Organisasi profesi apoteker yang dikenal luas di Indonesia adalah Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia (ISFI). Di dalamnya berhimpun organisasi profesi seminat, yaitu HISFARMA untuk
kelompok profesi farmasi komunitas (apotek), HISFARSI, untuk kelompok profesi farmasi rumah
sakit, dan HISFARIN, untuk kelompok profesi farmasi industri.

Namun, berbeda dengan organisasi profesi dokter (Ikatan Dokter Indonesia), keberadaan


organisasi profesi di dalam PP 51 tahun 2009 tidak didefenisikan dalam ketentuan umum, apakah ISFI
atau organisasi profesi apoteker yang lain. Pada Ketentuan Umum,  Pasal 1 angka (19) hanya
dinyatakan, Organisasi Profesi adalah organisasi tempat berhimpun para apoteker di Indonesia.

Di dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, keberadaan organisasi profesi


dokter didefinisikan dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf (12), yang menyatakan: “Organisasi
profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk
dokter gigi. Dengan dijelaskannya maksud “Organisasi Profesi” pada Ketentuan Umum UU No. 29
tahun 2009 menyebabkan pembaca dan pengguna undang-undang menjadi mengerti bahwa Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi yang menetapkan standar pendidikan dan pelatihan
kedokteran berkelanjutan.[24]  IDI juga mempunyai kewenangan memberikan rekomendasi bagi
dokter yang mau mendapatkan Surat Izin Praktik, [25] dan melakukan pembinaan dan
pengawasan bagi dokter yang menjalankan praktik kedokteran.[26]

PP 51 TAHUN 2009 DAN KEWENANGAN ORGANISASI PROFESI


PP 51 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran memberikan kewenangan kepada organisasi
profesi untuk memberikan rekomendasi kepada apoteker untuk mendapatkan Surat Izin Praktik
Apoteker (SIPA) bagi yang ingin bekerja di apotek atau di instalasi farmasi rumah sakit dan Surat Izin
Kerja (SIK) bagi yang ingin bekerja pada fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran.
[27]

Organisasi profesi juga diberikan kewenangan untuk melakukan “audit kefarmasian”, yaitu


evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada
masyarakat. [28] Dalam Pasal 58 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dinyatakan bahwa
Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota serta Organisasi profesi
apoteker mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan bagi pelaksanaan
Pekerjaan Kefarmasian.

PENUTUP

Profesi dokter dan dokter gigi merupakan profesi yang paling beruntung diantara tenaga
kesehatan yang ada di Indonesia. Dokter dan dokter gigi memiliki UU No. 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. Undang-Undang ini mengatur berbagai hal tentang asas dan tujuan praktik
kedokteran, pembentukan Konsil Kedokteran, penyelenggaraan praktik kedokteran, pembentukan
MKDKI dan pengaturan ketentuan pidana. Dalam materi muatannya diatur tentang hak dan kewajiban
dokter dan dokter gigi, hak dan kewajiban pasien dan perlindungan hukum bagi dokter dan dokter gigi
yang menyelenggarakan praktik kedokteran.

Apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya merupakan profesi yang kurang beruntung


dikaitkan dengan payung hukum yang mengatur dan melindungi mereka dalam menjalankan
profesinya. PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian sama sekali tidak mengatur hak dan
kewajiban apoteker/ tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian.

Demikian juga PP ini tidak mengatur hak dan kewajiban pasien. Jika terjadi masalah dalam
hal penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dan atau sengketa antara apoteker/ tenaga kefarmasian
dengan pasien/ masyarakat, maka apoteker dan tenaga kefarmasian tidak mempunyai ketentuan 
perundangan-undangan yang sifatnya spesialis yang melindungi diri profesi dan usaha mereka.

 
KETERANGAN CATATAN KAKAI BERDASARKAN PENDAPAT PARA PAKAR/AHLI

[1] Materi disampaikan pada: “Seminar Peningkatan Kompetensi Farmasis”, ISFI Cabang Kota


Palembang, 05 Desember 2009. Pilihan judul sesuai dengan proposal panitia.

[2] Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, adalah Ketua Bidang Usaha BPP ISFI, Ketua
Komite Advokasi dan Bantuan Hukum Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia, dan Dosen Universitas
Muhammadiyah UHAMKA. Dalam seminar ini penulis bertindak dan berpendapat atas nama pribadi.

[3] Pasal 1 angka (2) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:


Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

[4] Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

[5] Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

[6] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan. Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,  Penerbit


Kanisius, Jakarta, Cet. 5, hal. 73, 74

[7] Anthony Allots, The Limits of Law, Buteerworths, London, 1989, page 5

[8] J.J.H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, cetakan 2, hal. 49
[9] Pasal 1 ayat (1) huruf  (b) Ordonansi Obat Keras, St. 1937 No. 41.

[10] Pasal 2 huruf (e) Undang-Undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi.

[11] Pasal 1 huruf (13) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

[12] Pasal 63 ayat (1) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

[13] Pasal 63 ayat (2) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

[14] Lihat Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan 2009

[15]  Pasal 203 UU Kesehatan tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan: “Pada saat Undang-Undang
ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”

[16] Pasal 1 huruf (4) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

[17] Pasal 1 huruf (11) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

[18] Pasal 1 huruf (13) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

[19] Permenkes No. 284/MENKES/PER/III/2007

[20] Pasal 1 huruf (1) Permenkes No. 284/MENKES/PER/III/2007

[21] Pasal 14 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

[22] Pasal 37 dan Pasal 39 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

[23] Pasal 33 PP 51 tahun 2009, Tenaga Kefarmasian adalah a. Apoteker, b. Tenaga Teknis


Kefarmasian, seperti Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, AnalIs Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/ Asisten Apoteker.

[24] Pasal 28 ayat (2) UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran

[25] Pasal 38 ayat (1) huruf (c) UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
[26] Pasal 71 UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran

[27] Pasal 55 ayat (1) huruf (c) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

[28] Penjelasan Pasal 31 ayat (2) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

Anda mungkin juga menyukai

  • Tugas Proposal Jugffg
    Tugas Proposal Jugffg
    Dokumen10 halaman
    Tugas Proposal Jugffg
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Konyt
    Konyt
    Dokumen1 halaman
    Konyt
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Doc
    Doc
    Dokumen1 halaman
    Doc
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Brufet
    Brufet
    Dokumen10 halaman
    Brufet
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Hunker
    Hunker
    Dokumen3 halaman
    Hunker
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Seminar: Pengantar
    Seminar: Pengantar
    Dokumen13 halaman
    Seminar: Pengantar
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Strokr
    Strokr
    Dokumen6 halaman
    Strokr
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Karya Tulis Ilmiah
    Karya Tulis Ilmiah
    Dokumen30 halaman
    Karya Tulis Ilmiah
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Concord
    Concord
    Dokumen20 halaman
    Concord
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Yybbjjbbhjj
    Yybbjjbbhjj
    Dokumen11 halaman
    Yybbjjbbhjj
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Tugas PKN 2
    Tugas PKN 2
    Dokumen11 halaman
    Tugas PKN 2
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Rendy Punya Excel K.C
    Rendy Punya Excel K.C
    Dokumen17 halaman
    Rendy Punya Excel K.C
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Tugas Mid Komputer Akuntansi
    Tugas Mid Komputer Akuntansi
    Dokumen15 halaman
    Tugas Mid Komputer Akuntansi
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat
  • Soal Dan Jawaban Uts Bahasa Indonesia
    Soal Dan Jawaban Uts Bahasa Indonesia
    Dokumen2 halaman
    Soal Dan Jawaban Uts Bahasa Indonesia
    Mauritius Bryan
    Belum ada peringkat