Anda di halaman 1dari 122

SANKSI TERHADAP TINDAK PIDANA DEFACING

DALAM UNDANG - UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016


TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK DENGAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI
Di Susun Dalam Rangka Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
M. ADE CHAIRUDDIN NAJIB
NIM:14150050

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
2018
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Man Jadda Wa Jadda (Siapa yamg bersungguh-sungguh pasti akan

berhasil)

Never Give UP, Keep Fight.

sikripsi ini kupersembahkan untuk :

 Ayahanda dan ibunda (alm. M. Husni Yusuf Dan Hairani) yang

senantiasa mendoakanku, mendidikku, mencintaiku, yang selalu

mendoakan ku untuk mencapai kesuksesan.

 Jujuk dan pamanku (Dra. Hj. Umi Kalsum , M.Si Dan Drs. H.

Bondan Sasongko , M.Si) yang telah membiayai sekolah dan

kuliahku, serta membiayai kehidupan saya dan ibu saya selama

kuliah.

 Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang telah membiayai uang

ukt saya selama kuliah.

 Tunanganku (R.A Ajeng Harnum Qodaria) yang selalu menemaniku

dan memberi semangat selama kuliah.

 Sahabat-sahabatku (Akhir Amsyah, M. Agung Pratama,

Hardiansyah, Fadhlun Anzhori, dll) yang saling mengingatkan dan

memberikan motivasi dan masukkan kepada penulis.

i
 Teman-teman seperjuangan Perbandingan Mazhab (PM) dan KKN

angkatan 2014.

 Almamaterku.

ii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi yang digunakan adalah Sistem


Transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB Menteri Agama
dan Menteri P&K RI No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987
tertanggal 22 Januari 1988.
A. Konsonan
Huruf Nama Penulisan
Alif „
Ba b
Ta T
Tsa S
Jim J
Ha H
Kha Kh
Dal D
Zal Z
Ra R
Zai Z
Sin S
Syin Sy
Sad Sh
Dlod Dl
Tho Th
Zho Zh
„ Ain ʼ
Gain Gh
Fa F
Qaf Q
Kaf K
Lam L
Mim M
Nun N
Waw W
Ha H
Hamzah „
Ya Y

iii
Ta t
(Matbutoh)

B. Vokal
Vokal Bahasa Arab seperti halnya bahasa Indonesia terdiri
atas vokal tunggal dan vokal rangkap (diftong).
1. Vokal Tunggal
..................... Fathah
..................... Kasroh
..................... Dlommah
Contoh :
Kataba
Zukira (Pola I) atau zukira (Pola II) dan
seterusnya
2. Vokal Rangkap
Lambang yang digunakan untuk vokal rangkap adalah
gabungan antara harakat dan huruf, dengan transliterasi
berupa gabungan huruf.
Tanda Huruf Tanda Huruf
Baca
Fathah dan Ai a dan
ya i
Fathah dan Au a dan
waw u

Contoh :
kaifa
: „alā
: haula
: amana
: ai atau ay

C. Mad
Mad atau panjang dilambangkan dengan harakat atau huruf,
dengan transliterasi berupa huruf atau benda.
Contoh :
Harakat dan Tanda Keterangan
Huruf Baca

iv
Fathah Ā a dan garis
dan alif di atas
atau ya
Kasroh Ī i dan garis
dan ya di atas
Dlommah Ū u dan garis
dan waw di atas
Contoh :
: qāla subhānaka
: shāma ramadlāna
: ramā
: fiha manāfi‟u
: yaktubūna mā yamkurūna
: iz qāla yūsufu liabīhi

D. Ta’ Marbutah
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua macam :
1. Ta Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah,
kasroh dan dlammah, maka transliterasinya adalah /t/.
2. Ta Marbutah yang mati atau mendapat harakat sukun, maka
transliterasinya adalah /h/.
3. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta marbutah diikuti
dengan kata yang memakai al serta bacaan keduanya
terpisah, maka ta marbutah itu di transliterasikan dengan /h/.
4. Pola penulisan tetap dua macam.
Contoh :

Raudlatul athfāl

Al-Madīnah al-
munawwarah

E. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda, yaitu tanda syaddah
atau tasydid. Dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut
dilambangkan dengan huruf yang diberi tanda syaddah
tersebut.

v
= Robbanā = Nazzala

F. Kata Sandang
Diikuti oleh Huruf Syamsiah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah
ditransliterasikan bunyinya dengan huruf /l/ diganti dengan
huruf yang langsung mengikutinya. Pola yang dipakai ada
dua seperti berikut.
Contoh :

Pola Penulisan
Al-tawwābu At-
tawwābu
Al-syamsu Asy-
syamsu

Diikuti huruf Qomariah


Kata sandang yang diikuti huruf qomariah ditransliterasikan
sesuai dengan aturan-aturan di atas dan dengan bunyinya.
Contoh :

Pola Penulisan
Al-badī‟u Al-
badī‟u
Al-qomaru Al-
qomaru

Catatan : Baik diikuti huruf syamsiah maupun qomariah,


kata sandang ditulis secara terpisah dari kata yang
mengikutinya dan diberi tanda hubung (-).

G. Hamzah
Hamzah ditransliterasikan dengan opostrof. Namun hal ini
hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir
kata. Apabila terletak di awal kata, hamzah tidak
dilambangkan karena dalam tulisannya ia berupa alif.
Contoh :

vi
= Ta‟khuzūna = umirtu
= Asy-syuhadā‟ū = Fa‟tī bihā

H. Penulisan Huruf
Pada dasarnya setiap kata, baik fi‟il, isim maupun huruf
ditulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya
dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata-
kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan.
Maka penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata
lain yang mengikutinya.
Penulisan dapat menggunakan salah satu dari dua pola
sebagai berikut :

Contoh Pola Penulisan


Wa innalahā lahuwa
khair al-rāziqīn
Fa aufū al-kaila wa al-
mīzāna

vii
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Puji Syukur Penulis Panjatkan Kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan Rahmad dan karunia-nya sehingga penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini dengan penelitian berjudul

”Sanksi Terhadap Tindak Pidana Defacing Dalam Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik dengan Perspektif Hukum Islam”.

Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

menyelesaikan pendidikan di fakultas Syariah dan Hukum UIN

Raden Fatah Palembang untuk memperoleh gelar Strata I (S-I)

Perbandingan Mazhab. Penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta (ALM)

M. Husni Yusuf dan Hairani, Bibi dan Pamanku Tercinta Dra. Hj.

Umi Kalsum, M.Si dan Drs. H. Bondan Sasongko M.Si,

BAZNAS Prov. SUMSEL. Terima kasih atas segenap ketulusan

viii
cinta dan kasih sayangnya selama ini. Do‟a, pendidikan,

perjuangan dan pengorbanan untuk ananda.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. BapakProf. H. Sirozi, MA. Ph.D. Selaku Rektor UIN Raden

Fatah Palembang.

2. Bapak Prof. Dr. H. Romli S.A, M.Ag Selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum.

3. Bapak Muhammad Torik, LC., MA. Selaku ketua Prodi dan

Bapak Syahril Jamil, M.Ag selaku Sekretaris Perbandingan

Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Raden Fatah Palembang.

4. Ibu Dra. Hj. Nurmala HAK, M.H.I Selaku Pembimbing

Akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan

arahan kepada penulis selama masa perkuliahan.

5. Dr. Paisol Burlian M.Hum Selaku Dosen Pembimbing 1 dan

Bapak Drs. H.M. Legawan Isa, M.H.I. Selaku Dosen

Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk

membimbing serta arahan dalam penyusunan skripsi ini.

ix
6. Segenap Dosen Prodi Perbandingan Mazhab Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Raden Fatah Palembang, yang

telah banyak berperan aktif dalam menyumbangkan Ilmu,

Wawasan dan Pengetahuannya Kepada Penulis.

7. Keluarga saya tercinta: Ayah, Ibu. Terima kasih atas

dukungan dan do‟a sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini.

8. Perbandingan Mazhab (PM) 2 2014 khususnya (M. Agung

Pratama, Hardiansyah, Fadlun Anshori.) serta seluruh anak

Perbandingan Mazhab UIN Raden Fatah lainnya. Terima

kasih dukungannya selama ini.

9. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu

yang dengan ikhlas mendukung dan membantu penulis baik

dengan moral maupun materil. Teriring do‟a semoga amal

yang telah kita lakukan dijadikan amal yang tiada putus

pahalanya, dan bermanfaat untuk kita semua baik di dunia

maupun diakhirat.

Penulis meyadari bahwa skripsi ini masih banyak

kekurangan, maka dari itu saran dan kritik dari semua pihak

x
sangat penulis harapkan untuk membuat skripsi ini menjadi lebih

baik lagi.

Wassalamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Palembang, 07 September 2018

Penulis,

M. Ade Chairuddin Najib

Nim. 14150050

xi
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Sanksi Sanksi Terhadap Tindak
Pidana Defacing Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dengan
Perspektif Hukum Islam.Cybercrime atau kejahatan dunia maya
tercipta akibat penyalahgunaan teknologi. Perkembangan
teknologi yang semakin berkembang tentu bertujuan memberikan
kemudahan dalam membantu manusia dalam aktifitas sehari-hari.
Meskipun demikian, sebagian orang memanfaatkan untuk tujuan
yang negatif. Banyak sekali macam cybercrime, dan salah
satunya adalah defacing. Defacing merupakan kejahatan
mayantara yaitu mengubah tampilan website orang lain tanpa izin
baik sebagian ataupun menyeluruh dengan menerobos sistem
orang lain terlebih dahulu.Maraknya kejahatan jenis ini
merupakan sebuah fenomena baru yang menarik untuk dikaji. Hal
tersebut memberikan kesempatan penyusun untuk mengetahui
bagaimana pandangan hukum pidana Indonesia dan Fiqih Jinayah
terhadap defacing, dan perbandingan antara kedua jenis hukum
tersebuut.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Data
diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan. Setelah data
terkumpul, kemudian dianalisis secara deskriptik analitik
komparatif. Selain itu pendekatan yang digunakan dalam skripsi
ini adalah pendekatan yuridis dan normatif yaitu dengan
mendekati maslah defacing dari segi hukum yang terdapat dalam
Undang-undang dan hukum Islam.
Berdasarkan Metode yang digunakan, maka diketahui
menurut Undang-undang No.19 Tahun 2016 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) defacing merupakan
perbuatan dilarang yaitu pada Pasal 30 dalam aktifitas menerobos
sistem orang lain tanpa izin dan Pasal 32 ayat (1) pada aktifitas
memodifikasi website tanpa hak. Sedangkan dalam hukum Islam
defacing juga merupakan perbuatan dilarang karena merugikan
seseorang atau memberi madarat bagi orang lain. Tidak ada dalil
secara langsung tentang defacing, karena defacing merupakan
kejahatan modern seperti sekarang ini, maka dalam hukum Islam

xii
defacing masuk kategori jarimah ta‟zir. Sanksi tindak pidana
defacing menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat dalam Pasal 46 dan
Pasal 48 ayat (1). Dalam hukum Islam defacing masuk kategori
jarimah ta‟zir maka jenis hukumannya adalah ta‟zir yaitu, jenis
dan besar kecilnya hukuman diserahkan kepada ulil amri atau
hakim, jadi belum ditetapkan seberapa besar hukuman itu, yang
jelas sesuai dengan kemaslahatan.

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............... i
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................ ii
KATA PENGANTAR ......................................................... viii
ABSTRAK ........................................................................... xii
DAFTAR ISI ........................................................................ xiv
DAFTAR TABEL ............................................................... xvi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................ 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 12
D. Tinjauan Pustaka .............................................................. 14
E. Metode Penelitian ............................................................. 17
F. Sistematika Pembahasan ................................................... 20

BAB II: TINJAUAN TEORITIS


A. Tindak Pidana dalam Hukum Pidana di Indonesia
1. Pengertian Tindak Pidana ................................................. 23
2. Unsur-unsur Tindak Pidana .............................................. 28
3. Bentuk-bentuk Sanksi Pidana dalam
Hukum Pidana Indonesia ...................................................... 32
4. Tindak Pidana Cyber Crime .............................................. 37
B. Tindak Pidana dalam Hukum Islam (Jinyah)
1.Pengertian Tindak Pidana Islam (Jināyah / Jarīmah) ........ 51
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam (Jarīmah) ................... 54
3. Bentuk-bentuk Sanksi Pidana dalam Hukum Islam .......... 55

xiv
BAB III: DEFACING MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 19 TAHUN 2016 DAN HUKUM ISLAM
A.Tinjauan Umum tentang Defacing
1. Pengertian Defacing .......................................................... 62
2. Jenis-jenis Defacing .......................................................... 64
3. Faktor-faktor terjadinya Defacing ..................................... 65
4. Tindak Pidana Defacing Menurut KUHP ......................... 69
B. Tindak Pidana Defacing Menurut Undang-undang Nomor 19
Tahun 2016
1. Defacing menurut Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2016 .......................................................... 75
2. Sanksi Tindak Pidana Defacing Menurut
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 ............................... 78
C. Tindak Pidana Defacing Menurut Hukum Islam
1. Tujuan dan Syariat Hukum Islam ..................................... 80
2. Sanksi Bagi Pelaku Defacing Menurut Hukum Islam ...... 83
D. Persamaan dan Perbedaan Tindak Pidana Defacing Menurut
Undang undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Hukum Islam .. 89

BAB: IV PENUTUP
1. Kesimpulan ....................................................................... 91
2. Saran .................................................................................. 92

DAFTAR PUSTAKA

xv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Perbedaan dan Persamaan Tinjauan Pustaka, hlm. 10

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan teknologi merupakan sesuatu yang tidak bisa

kita hindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi

akan berjalan sesuai dengan kemajuan peradaban, teknologi dan

ilmu pengetahuan.1Teknologi membantu manusia mampu

berinteraksi dengan manusia lain tanpa adanya batasan ruang dan

waktu. Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat

positif bagi kehidupan manusia. Memberikan banyak kemudahan,

serta sebagai cara baru dalam melakukan aktifitas manusia.

Khusus dalam bidang teknologi masyarakat sudah menikmati

banyak manfaat yang dibawa oleh inovasi-inovasi yang telah di

hasilkan dalam dekade terakhir ini, Berbagai teknologi seperti

radio, majalah, koran, televisi merupakan teknologi yang

diciptakan manusia untuk dapat mengirimkan informasi dari

suatu tempat ke tempat lain, namun kurangnya dari teknologi

1
Budi Agus Riswandi, Hukum Internet di Indonesia, (Yogyakarta:
UII Press, 2003), hlm. 1.

1
2

tersebut konsep komunikasinya masih bersifat satu arah, tidak

adanya kemampuan untuk memberikan dan mendapatkan

feedback antara source dan receiver messages.2

Struktur masyarakat dirubah oleh kemajuan teknologi dari

yang bersifat lokal menuju ke arah masyarakat yang bersifat

global. Perubahan ini disebabkan oleh kehadiran teknologi

informasi yang terus berkembang. Perkembangan teknologi

informasi itu berpadu dengan media dan komputer, yang

kemudian melahirkan piranti baru yang di sebut internet dalam

mengirimkan informasi. Sehingga, internet sangat membantu

manusia dalam menyelesaikan masalahnya.3

Website sebagai salah satu aplikasi dari internet

merupakan media yang sangat membatu dalam perkembangan

teknologi komunikasi dalam masa kini. Website juga merupakan

media untuk mendapatkan informasi dan promosi di dunia

internet seperti personal, profil sekolah, profil perusahaan, berita

pendidikan, bisnis, berita terkini dan semua hal yang dibutuhkan

2
Rulli Nasrullah, Teori dan Riset Media Siber, (Jakarta: Kencana,
2014), hlm. 2.
3
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara
(Cybercrime), (Jakarta: Refika Aditama, 2005), hlm. 103.
3

manusia dapat diakses melalui internet. Dengan website kita

mudah menyebarkan dan mendapatkan informasi yang kita

butuhkan. Website berfungsi sebagai media promosi, media

pemasaran, media informasi, media pendidikan, dan media

komunikasi.4 Meskipun demikian, dengan melihat banyak sekali

manfaat seperti manfaat website tersebut, kehadiran internet telah

memunculkan paradigma baru dalam kehidupan manusia.

Kehidupan berubah dari yang hanya bersifat nyata (real) ke

realitas baru yang bersifat maya (virtual). Realitas yang kedua ini

biasa dikaitkan dengan internet dan ruang di dunia maya

(cyberspace).5 Internet dengan kelebihan-kelebihannya

mempunyai sisi kelemahan dan memiliki dampak buruk jika

dipergunakan orang yang tidak bertanggungjawab. Adanya

cyberspace memberi peluang terjadinya kejahatan atau lebih

dikenal dengan cybercrime (kejahatan dunia maya), banyak sekali

jenis cybercrime salah satunya adalah defacing.6

4
Deni Darmawan dan Deden Hendra Permana, Desain dan
Pemrograman Website, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 5.
5
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara
(Cybercrime), hlm. 103.
6
Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyberlaw Aspek
Hukum Teknologi Informasi, cet. II (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 4.
4

Defacing yang merupakan salah satu kejahatan dunia

maya yaitu kegiatan merubah tampilan suatu website orang lain

tanpa izin baik halaman utama atau index filenya ataupun

halaman lain yang masih terkait dalam satu URL7 dengan website
8
tersebut (bisa di folder atau di file). Defacing terdiri dari dua

tahap, yaitu mula-mula menerobos system orang lain atau

kedalam web server dan tahap kedua adalah mengganti halaman

website (web page).9 Antara hacking dan defacing tidak dapat

terpisahkan satu sama lain, karena defacing merupakan salah satu

kegiatan hacking yaitu, kegiatan menerobos program komputer

milik orang atau pihak lain tanpa izin. Pada awalnya hacking

tidak selalu berkonotasi negatif, karena sebenarnya tujuan

hacking adalah untuk mengetahui system keamanan milik orang

tertentu dan memberi tahu celahnya. Tetapi dalam

7
URL singkatan dari Uniform Resource Locator, yaitu serangkaian
karakter (angka, huruf dan symbol) secara default yang telah ditentukan, yang
manfaatnya itu untuk menunjukkan suatu alamat atau sumber yang terdapat di
internet seperti file, dokumen dan juga gambar. http://www.cuthawe.com/2016
/02/apa-itu-url.html diakses tanggal 27 Oktober 2017 pukul 18.54 WIB.
8
Website merupakan kumpulan dari halaman-halaman situs, yang
biasanya terangkum dalam sebuah domain atau subdomain, yang tempatnya
berada di dalam world wide web (WWW) di internet, Lihat Ujang Rusdianto,
Web CS, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 74.
9
Sutan Remi Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hlm. 124.
5

perkembangannya di masyarakat hacking di nilai dan di anggap

kata yang mewakili sebuah kejahatan dunia maya, dan pada

kenyataanya memang hacking dilakukan tanpa izin.

Telah banyak kasus defacing yang telah terjadi di luar

negeri dan dalam negeri, contoh kasus di luar negeri dapat di lihat

defacing yang dilancarkan oleh KidsZonk yang berasal dari

Indonesia. Puluhan situs Malaysia diretas oleh hacker Indonesia

tersebut. Hal ini merupakan buntut dari insiden bendera Indonesia

yang terbalik dalam buku panduan SEA Games 2017, sebagian

besar dari situs milik Negara tuan rumah SEA Games 2017 itu

menampilkan latar berwarna hitam putih dengan gambar bendera

Indonesia terbalik seperti yang ada pada buku panduan SEA

Games 2017. Selain itu gambar lainnya adalah sebuah koran

harian yang juga menunjukkan bendera Indonesia yang terbalik.

Di bawah gambar, ada tulisan: “Bendera Negaraku Bukanlah

Mainan!” dengan embel-embel telah diretas oleh “KidsZonk”.


6

Tak Cuma itu, Hacker juga memasang alunan Indonesia Pusaka

sebagai lagu latarnya.10

Indonesia juga tak luput dari kegiatan defacing, seperti

yang dilakukan oleh Dani Hermansyah pada tanggal 17 April

2004, pada waktu itu UU ITE belum di buat dan disahkan. Nama-

nama partai diubah dengan nama-nama buah dalam website

www.kpu.go.id yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan

masyarakat terhadap pemilu yang sedang berlangsung pada saat

itu.11

Contoh lain yang cukup menghebohkan, seperti pada

tanggal 26 maret 2008 situs Depkominfo telah dibobol,

Pembobolan tersebut di duga berkaitan dengan pengesahan RUU

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai

Undang-undang oleh DPR. Sehari sebelumnya yaitu 25 Maret

2008. Defacer meninggalkan pesan yang berbunyi sebagai

berikut:

10
Http://m.liputan6.com/amp/3065275/ini-daftar-puluhan-situs-web-
malaysia-yang-kena-serang-hacker diakses tanggal 19 November 2017 pukul
10.40 WIB.
11
Budi Surhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi
(Cybercrime), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 89.
7

Selamat yee pemerintah “suit..suit”. kami mengucapkan selamat


atas disahkannya UU ITE dan rencana pemblokiran situs porno se
Indonesia. Buktikan ini bukan untuk menutupi kebodohan
pemerintah cihuyyyyyyyyy.12

Selain terdapat pula defacing situs resmi mantan presiden

SBY,13defacing pada website TV One,14defacing situs resmi

kepolisian yang beralamat http://www/polri.go.id15 dan lain

sebagainya.

Sebagaimana gambaran dan contoh kasus defacing di atas

maka agar hal tersebut tidak terjadi lagi, diperlukan perangkat

hukum yang mengatur hal itu. Oleh karena itu, dengan

dibentuknya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-

undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik oleh pemerintah yang disahkan pada tanggal 28 April

2008 dan perubahannya pada tanggal 25 November 2016,

diharapkan agar semua kejahatan mayantara dapat terakomodir

12
Sutan Remi Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009),hlm. 128.
13
http://inet.detik.com/read/2013/01/31/135610/2157633/398/menyoal
-kasus-hacking-situs-presiden-sby, diakses tanggal 19 November 2017 pukul
11.20 WIB.
14
http://www.jagatreview.com/2011/03/website -tv-one-di-deface/,
diakses tanggal 19 November 2017 pukul 11.45 WIB.
15
Kronologi web deface di Indonesia, www.justinfo.wordpress.com,
diakses tanggal 19 November 2017 pukul 11.58 WIB.
8

oleh Undang-undang tersebut, termasuk defacing yang telah

diatur di dalamnya. Dalam Undang-undang tersebut defacing

telah diatur pada Pasal 30:

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses computer dan/atau Sistem Elektronik
milik orang lain dengan cara apapun.

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses computer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh
informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengkases computer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol system pengaman.

Pasal di atas dari ayat (1) sampai ayat (3) menerangkan

tentang illegal acces karena langkah awal deface yaitu memasuki

sistem orang lain atau melakukan hacking, dan berikutnya

defacing diatur pada Pasal 32 ayat (1) yang berbunyi:

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun mengubah, menambahkan,
mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik
publik.

Adapun pasal tersebut di atas menerangkan larangan

melakukan modifikasi terhadap suatu website atau masuk dalam


9

kategori data interference pada bab tentang perbuatan dilarang,

seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa defacing dilakukan

dengan dua tahap, pertama melakukan hacking dan selanjutnya

memodifikasi website.

Terlihat dengan jelas bahwa defacing merupakan suatu

tindak pidana yang tentunya ada sanksi hukumnya. Salah satunya

yang merugikan masyarakat adalah kejahatan mayantara dalam

hal ini defacing tentu menjadi salah satu perbuatan yang

dilakukan sehingga terwujudnya sebuah keadilan.

Islam sebagai sebuah agama hukum tentunya memiliki

andil untuk mengapresiasi fenomena yang sedang terjadi di

masyarakat. Perubahan dan situasi masyarakat, termasuk akibat

buruk yang ditimbulkan dari perkembangan informasi,

mengharuskan hukum Islam menjawab dari sekian pokok

permasalahan dari perkembangan teknologi informasi, mengigat

hukum Islam terus berkembang seiring tempat dan waktu. Islam

juga menghormati hak pribadi atau privacy seseorang seperti

dalam ayat Al-Qur‟an berikut ini:


10

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki


rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi
salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu,
agar kamu (selalu) ingat” (Q.S An-Nur : 27)
“Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka
janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika
dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu
kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan” (Q.S An-Nur : 28)

Ayat di atas menjelaskan larangan memasuki rumah tanpa

izin, dari hal ini dapat dilihat bahwa pelanggaran terhadap privasi

adalah dilarang. Apabila seseorang melanggar perbuatan tersebut

maka termasuk perbuatan Jarīmah. Jarīmah diartikan yaitu

larangan-larangan syara‟ yang di ancam oleh Allah dengan


11

hukuman had (hukuman yang sudah ada nasnya) atau ta‟zīr

(hukuman yang tidak ada nasnya).16

Berdasarkan latar belakang dan masalah di atas, menarik

minat penyusun untuk mengetahui mengenai kejahatan

cybercrime yang marak terjadi sekarang yang akibatnya dan

merugikan banyak pihak. Khususnya mengenai defacing yang

telah diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahum 2016

tentang ITE dan dalam Hukum Pidana Islam, kemudian penyusun

mencoba menganalisis dalam bentuk karya ilmiah yang di susun

dalam skripsi yang berjudul: Sanksi Terhadap Tindak Pidana

Defacing Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016

Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dengan Perspektif

Hukum Islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan

di atas, maka penyusun perlu untuk membahasnya melalui

beberapa hal yang menjadi objek kajian permasalahaan dalam

16
Ahmad Hanafi, Asaz-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2002), hlm. 121.
12

penelitian ini, dan mengangkat rumusan permasalahan sebagai

berikut :

1. Bagaimana sanksi terhadap tindak pidana defacing dalam

Undang-undang No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (ITE)?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang sanksi terhadap

tindak pidana defacing?

3. Apa persamaan dan perbedaan tentang tindak pidana defacing

menurut UU ITE dan hukum Islam?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, maka tulisan ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui tinjauan Undang-undang Nomor 19 Tahun

2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

mengenai defacing.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam mengenai defacing.

3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan tinjauan

Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan


13

Transaksi Elektronik (ITE) dan hukum Islam mengenai

defacing.

Sedangkan Manfaatnya adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis :

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

dibidang hukum positif dan juga hukum Islam dalam kasus

cyber crime.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan, sumber

referensi bagi para pihak yang berkepentingan terhadap

penelitian ini.

2. Manfaat Praktis :

a. Diharapkan tulisan ini dapat menambah pengetahuan,

terutama menyangkut hubungan teknologi dan hukum Islam.

b. Untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran baik

masyarakat maupun aparat penegak hukum mengenai kasus

defacing dan juga sanksi yang terdapat dalam hukum Islam

dan hukum positif.

c. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola

pemikiran yang dinamis sekaligus untuk mengetahui


14

kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh

selama mengikuti studi di Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.

D. Tinjauan Pustaka

Tabel 1.1

PERBED
NO NAMA JUDUL PERSAMAAN
AAN

1. Yolanda Perundanga Skripsi ini sama Skripsi ini


Oktavia n Dunia sama hanya
ni Maya menggunakan UU fokus
(Cyber ITE dan Hukum untuk
Bulying) Islam dalam mendalam
Menurut meninjau pokok i masalah
Undang- masalah dari cyber
undang RI penelitiannya. bullying
No.19 dalam
Tahun 2016 perspeksti
Tentang f hukum
Informasi positif dan
dan hukum
Transaksi Islam.
Elektronik Sedangka
dan Hukum n skripsi
Islam saya
membahas
mengenai
defacing
dalam
perspektif
15

hukum
positif dan
hukum
Islam.
2 Bu Tindak Buku ini dan Buku
di Pidana skripsi saya ini
. Sur Teknol sama sama hanya
hari ogi membahas mem
ant Informa kejahatan bahas
o si dunia maya cyber
(Cyberc (Cybercrime) crime
rime) . dari
aspek
huku
m
positi
f saja.
Sedan
gkan
dalam
skrips
i Saya
mem
bahas
masal
ah
defaci
ng
yang
masu
k
dalam
ranah
cyber
crime
dalam
persp
ektif
16

huku
m
positi
f dan
huku
m
Islam.
3 Wi Hukum Buku ini dan Buku
dod Pidana skripsi saya ini
. o di sama sama hanya
Bidang membahas meng
Teknol kasus analis
ogi defacing. is
Informa kasus
si defaci
ng
meng
gunak
an
UU
Telek
omun
ikasi.
Sedan
gkan
skrips
i saya
meng
gunak
an
UU
ITE
dan
huku
m
Islam.
17

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi

ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Library

Research digunakan untuk mendapatkan dokumen-dokumen atau

karya tulis yang relevan dengan pokok pembahasan atau objek

penelitian.17

2. Jenis Data dan Sumber Data

a. Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif, yaitu data

yang tidak berbentuk angka, melainkan suatu uraian atau

penjelasan yang mengambarkan tentang keadaan, proses atau

peristiwa tertentu. Data yang dianalisis adalah Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 dan Perspektif hukum Islam terhadap

pelaku tindak pidana defacing.

b. Sumber Data

Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

berasal dari data yang meliputi sebagai berikut:

17
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode
dan Teknik, (Bandung: Tarsito, 1990), hlm. 191.
18

1) Data primer, yaitu data yang sifatnya mengikat dan

merupakan data pokok yaitu Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 dan Hukum Islam.

2) Data sekunder, yaitu data yang memberikan penjelasan

mengenai data primer seperti hasil-hasil karya dari kalangan

pakar hukum baik hukum positif maupun hukum Islam yang

membuat jelas data primer.

3) Data tersier, yaitu data yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap data primer dan sekunder, seperti kamus

hukum, terminology dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mencari kebenaran dari sebuah laporan ilmiah,

maka studi yang akan dilakukan penulis dalam pengumpulan

data adalah dengan metode dokumenter yakni mencari data

mengenai hal-hal berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,

majalah, notulen, agenda dan sebagainya. Sehingga sering

disamakan dengan studi literatur atau studi kepustakaan (library

research).18 Contoh buku Cyberspace, Cybercrime, Cyberlaw

18
Ibid., hlm. 170.
19

Tinjauan Aspek Hukum Pidana karangan Josua Sitompul, buku

Tindak Pidana Teknologi Informasi Urgensi Pengaturan dan

Celah Hukumnya karangan Budi Suharianto, Buku Kejahatan

dan Tindak Pidana Komputer karangan Sutan Reiny Syahdeini,

Buku Hukum Pidana Islam di Indonesia karangan Makhrus

Munajat dan lain-lain.

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, akan

dilakukan penulusuran kepustakaan baik dari sumber primer

maupun sumber sekunder. Adapun sumber primer yakni sumber

asli yang memuat informasi atau data tersebut. Sedangkan

sumber sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber bukan

asli yang memuat informasi atau data tersebut.19 Penelusuran

terhadap data primer akan dilakukan terhadap literatur yang

berkaitan dengan aktifitas defacing dan hukum yang

mengakomodirnya. Sumber primer diantaranya, Undang-undang

No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

buku-buku yang berkaitan dengan cybercrime dan Fiqih Jinayah.

Sedangkan sumber sekunder adalah literatur yang menunjang

19
Ibid., hlm. 133.
20

hukum primer tersebut yang diperoleh dari buku, majalah,

internet dan lain sebagainya.

4. Teknik Analisis Data

Data yang dikumpulkan dari penelitian ini akan dianalisis

secara komparatif yaitu mendekati masalah ini dengan

membandingkan perspektif hukum positif Indonesia dan hukum

Islam menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan menganalisis

data tanpa menggunakan angka-angka melainkan dengan sumber

informasi yang relevan untuk memperlengkap data. Penyusun

menganalisis data tersebut dengan induktif, yaitu berangkat dari

fakta-fakta khusus yaitu yang pernah terjadi kemudian hal

tersebut ditarik generalisasinya yaitu ditarik ke ranah hukum yang

sifatnya umum dan diperbandingkan.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman dalam

penyusunan skripsi ini, maka disusun dalam sistematika yang

terdiri dari lima bab, yaitu :


21

Bab pertama, memuat pendahuluan berisi tentang latar

belakang masalah dari bahasan skripsi, dari latar belakang

masalah tersebut dapat di tarik rumusan masalah. Dijelaskan juga

tujuan dan manfaatyang mencakup tentang kepastian manfaat

dari hasil penelitian ini. Kemudian tinjauan pustaka yakni

meninjau karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian

ini, dan metodologi penelitian ini masuk jenis penelitian

kepustakaan (library research).

Bab kedua, menguraikan mengenai tinjauan teoritis

mengenai tindak pidana dalam hukum pidana di Indonesia dan

juga meninjau tindak pidana dalam hukum Islam lalu akan

dijelaskan juga apa itu cyber crime, karateristik dan bentuk

bentuk cyber crime, lalu aturan hukum cyber crime.

Bab ketiga,menguraikan tinjauan umum tentang defacing,

meliputi pengertian defacing yang merupakan salah satu

kejahatan mayantara (cybercrime). Dan menguraikan tindak

pidana defacing dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016

tentang informasi dan transaksi elektronik yaitu menyangkut

pasal-pasal yang berkaitan larangan defacing. Dan di dalam Fiqih


22

Jinayah dipaparkan kategori defacing, lalu merangkumnya

kedalam persamaan dan perbedaan tindak pidana defacing

menurut UU ITE dan Hukum Islam.

Bab keempat, sebagai bab terakhir dalam skripsi ini

merupakan penutup. Berisi kesimpulan secara singkat tentang

pembahasan skripsi ini, sekaligus menjawab rumusan masalah

dan saran-saran yang berkaitan dengan pembahasan ini.

Kemudian disertakan daftar pustaka dari penelitian ini.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Tindak Pidana dalam Hukum Pidana di Indonesia

1. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan

perkataan “strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal

sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai

apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar

feit” tersebut. Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa

Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een

gedeelte van de werkelijheid” sedang “strafbaar” berarti “dapat

dihukum” sehingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu

dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang

dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena

kelak akan kita ketahui bahwa yang sudah barang tentu tidak

tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat

23
24

dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan

bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.

Menurut Pompe, perkataan “strafbaar feit” itu secara

teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma

(gangguan terhadap tata tertib) yang dengan sengaja ataupun

tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah

perlu, demi terperliharanya tertib hukum dan terjaminnya

kepentingan umum”20

Simons telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai

suatu “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan

sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-

undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum21”.

Alasan dari Simons apa sebabnya “strafbaar feit” itu

harus dirumuskan seperti di atas adalah karena :

20
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014) hlm. 181-182
21
Ismu Gunadi dan Joenaidi Efendi, Cepat & Mudah memahami
Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 37.
25

a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu diisyaratkan bahwa

disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun

yang diwajibkan oleh undang-undang, di mana pelanggaran

terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah

dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan

tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang

dirumuskan di dalam undang-undang dan

c. Setiap strafbaar fei, sebagai pelanggaran terhadap larangan

atau kewajiban menurut undang-undang itu pada hakikatnya

merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan

suatu “onrechtmatige handelin”.

Maka dari itu dapat dikatakan bahwa tindak pidana

(strafbaar feit) adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenakan hukuman pidana. Pelaku dapat dikatakan merupakan

“subjek” tindak pidana22.

22
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,
(Bandung:Refika Aditama, 2003), hlm. 59.
26

Kapankah suatu perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan

yang bersifat melawan hukum? Sifat melawan hukum suatu

perbuatan terbagi menjadi dua pendapat, yaitu23 :

a. Sifat melawan hukum formal (formele wederrechtelijk)

Menurut pendapat ini, yang di maksud dengan

perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang

memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan

pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan dalam

undang-undang sebab hukum adalah undang-undang.

b. Sifat melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk)

Menurut pendapat ini, belum tentu perbuatan yang

memenuhi rumusan undang-undang itu bersifat melawan

hukum. Bagi pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan

hanya undang-undang (hukum yang tertulis), tetapi juga

meliputi hukum yang tidak tertulis, yaitu kaidah – kaidah atau

kenyataan yang berlaku di masyarakat.

Seseorang yang melakukan perbuatan yang bersifat

melawan hukum, atau perbuatan yang masuk dalam rumusan

23
Sofian Sastrawidjadja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai
Dengan Alasan Peniadaan Pidana), (Bandung :Armico, 1995), hlm. 150.
27

undang-undang hukum pidana sebagai perbuatan pidana,

belumlah berarti dia langsung dipidana, tergantung pada apakah

perbuatannya mengandung unsur kesalahan. Sebab terdapat asas

pertanggungjawaban dalam hukum pidana “tidak ada pidana jika

tidak ada kesalahan” (geen straf zonder schuld; auctus non facit

reum nisi mens sist rea).

Kesalahan dalam hukum pidana diartikan secara luas,

meliputi : sengaja, kelalaian, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali jika ada

alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain,

criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak

mampu defence ketika melakukan suatu tindakan pidana. Dalam

lingkup acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang

bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika

tidak dapat dibuktikan dirinya mempunyai “defence” ketika

melakukan tindak pidana tersebut.24

24
Chairul Huda, Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju
Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”,
(Jakarta:Kencana, 2006), hlm. 64.
28

Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli

sebagaimana yang telah diuraikan diatas, dapat ditarik suatu

persamaan pengertian dari strafbaar feit atau tindak pidana atau

perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia yang bersifat

melawan hukum (wederechtelijk) yang mengandung ancaman

pidana dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab

dengan kesalahannya (schuld). Sifat melawan hukum

(wederechtelijk) dan kesalahan (schuld) merupakan anasir

peristiwa pidana yang memiliki hubungan erat. Apabila suatu

perbuatan tidak melawan hukum, maka menurut hukum positif,

perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada

pembuat. Tidak juga dimungkinkan adanya kesalahan tanpa sifat

melawan hukum.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka harus

terlebih dahulu dirumuskan dalam perundang-undangan pidana

tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan

sanksi. Rumusan-rumusan tersebut menentukan unsur atau syarat


29

yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga

dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak

dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatan saja,

yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.

Secara sederhana Simons menuliskan adanya unsur yaitu

Unsur Objektif dan Unsur Subjektif dari tindak pidana (Strafbaar

Feit).

a. Unsur Objektif : Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari

perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai

perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat openbaar

atau “dimuka umum”

b. Unsur Subjektif : Orang yang mampu bertanggung jawab,

adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus

dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan

dengan akibat dari perbuatan.25

Didalam KUHP itu pada umumnya terdapat dua macam

unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.

Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-

25
Ismu Gunaidi dan Joenaidi Efendi,Cepat & Mudah memahami
Hukum Pidana,Op, Cit, hlm. 39-40.
30

unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan

dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnnya yaitu segala

sesuatu yang terkadang di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif

dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dollus dan culpa);

b. Maksud atau veernemen pada suatu percobaan atau poging

seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam-macam maksud atau ookmerk seperti yang terdapat

misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,

pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voordebachte raad seperti

yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan

menurut pasal 338 KUHP;

e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di

dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif

itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-

keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-


31

tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif

dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

a. Sifat melanggar hukum dan wederrechtelijheid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “ Keadaan sebagai seorang

pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal

415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris

dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut

Pasal 398 KUHP;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat26.

Penjelasan suatu perbuatan pidana dari para pakar

sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa sifat-sifat yang

ada dalam setiap tindak pidana adalah sifat melawan hukum

(wederrechtelijheid). Tiada suatu tindak pidana tanpa adannya

sifat melawan hukum.

26
Lamintang, Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op, Cit, hlm.
193-194
32

3. Bentuk-Bentuk Sanksi Pidana dalam Hukum Pidana

Indonesia

Berdasarkan Pasal 10 KUHP membagi hukuman menjadi

dua bentuk, yakni; hukuman pokok dan hukuman tembahan. Ada

pun hukuman pokok itu terbagi lagi dalam beberapa jenis, yakni

pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan pidana denda,

pidana tutupan. Adapun pidana tambahan itu yakni pencabutan

hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan

pengumuman putusan Hakim.27

a. Pidana Pokok, terdiri dari 5 jenis pidana:28

1) Pidana mati adalah pidana salah satu jenis pidana berartian

sebuah hukuman pidana atas tindak pidana yang berat yang

mengharuskan seorang terpidana mengalami hukuman mati

yang berbentuk hukuman gantung, tembak, dan lain

sebagainya, yang dalam tatanan KUHP Indonesia kiranya

telah tertulis dan telah di undangkan sebagai salah satu

hukuman pidana.

27
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
28
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), hlm. 195.
33

2) Pidana penjara adalah jenis pidana yang dikenal juga dengan

istilah pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana

kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dalam KUHP

bervariasi dari pidana penjara sementara minimal 1 hari

sampai penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup

hanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati (pidana

mati atau seumur hidup atau pidana dua puluh tahun).

3) Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan.

Pertama, sebagai custodia hunesta untuk delik yang tidak

menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delik-delik culpa dan

beberapa delik dolus, seperti Pasal 182 KUHP tentang

perkelahian satu lawan satu dan Pasal 396 KUHP tentang

pailit sederhana. Kedua Pasal tersebut diancam dengan

penjara. Kedua, sebagai custodia simplex, yaitu suatu

perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran. Pidana

kurungan tidak dijatuhkan terhadap delik dolus, kecuali dalam

Pasal 483 dan Pasal 484 KUHP tentang unsut sengaja dan

culpa. Sebaliknya terdapat pidana penjara pada delik culpa,

alternative dari pidana kurungan yang dalam satu pasal juga


34

terdapat unsur sengaja dan culpa, seperti dalam Pasal 293

KUHP.

Terdapat dua perbedaan antara pidana kurungan dengan

pidana penjara:

(1) Dalam hal pelaksanaan pidana. Terpidana yang dijatuhi


pidana kurungan tidak dapat dipindahkan ke tempat lain
diluar tempat ia berdiam pada waktu menjalankan pidana,
kecuali kalau Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas
permintaan terpidana membolehkan menjalani pidananya di
daerah lain. Dalam pidana penjara terpidana dapat
dipindahkan ke tempat (LP) lain di luar tempat tinggal atau
kediamannya.

(2) Pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana yang dijatuhi


pidana kurungan lebih ringan daripada pidana yang dijatuhi
pidana penjara.

4) Pidana denda adalah jenis pidana yang dikenal secara luas di

dunia, dan bahkan di Indonesia, Pasal 31 KUHP

menyatakan:29

(1) Terpidana dapat segera menjalani pidana kurungan pengganti


tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda.

(2) Ia setiap waktu berhak membebaskan dirinya dari pidana


kurungan pengganti dengan membayar dendanya.

(3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, sebelum atau


sesudah mulai menjalani pidana kurungan pengganti,

29
Pasal 31 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
35

membebaskan terpidana dari sebagian pidana kurungan yang


seimbang dengan bagian yang dibayarkan.

5) Pidana tutupan. Pidana tutupan merupakan jenis pidana yang

tercantum dalam KUHP sebagai pidana pokok berdasarkan

UU No. 20 Tahun 1946, Dalam Pasal 2, UU No. 20 Tahun

1946 menyatakan:30

(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang


diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh
maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan
hukuman tutupan.

(2) Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang


merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau
akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga hakim
berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya.

b. Pidana tambahan, terdiri dari tiga jenis:

1) Pencabutan hak-hak tertentu. Pidana tambahan berupa

pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana

dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan

hak-hak kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak

ketatanegaraan. Pencabutan hak-hak tertentu itu adalah suatu

pidana di bidang kehormatan dengan melalui dua cara, yaitu:

a) Tidak bersifat otomatis, tetapi harus dengan putusan hakim

30
Pasal 2 UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukum Tutupan
36

b) Tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka waktu

menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.

2) Perampasan barang-barang tertentu. Pidana ini merupakan

pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda.

Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu barang-

barang yang di dapat karena kejahatan, dan barang-barang

yang dengan sengaja di gunakan dalam melakukan kejahatan.

Dalam hal ini berlaku ketentuan umum, yaitu haruslah

kepunyaan terpidana, kecuali terhadap kejahatan mata uang

dimana pidana perampasan menjadi imperatif.

3) Pengumuman Putusan Hakim. Di dalam Pasal 43 KUHP

ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya

diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan

umum yang lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara

melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Menurut Andi

Hamzah, kalau diperhatikan delik-delik yang dapat dijatuhi

tambahan berupa pengumuman putusan hakim, maka dapat

disimpulkan bahwa tujuan pidana tambahan ini adalah agar


37

masyarakat waspada terhadap kejahatan-kejahatan seperti

penggelapan, perbuatan curang dan lainnya.

4. Tindak Pidana Cyber Crime

a. Pengertian Cyber Crime

Membahas masalah cyber crime tidak lepas dari

permasalahan keamanan jaringan komputer atau keamanan

informasi berbasis internet dalam era global ini, apabila jika

dikaitkan dengan persoalan informasi sebagai komoditi.

Informasi sebagai komoditi memerlukan kehandalan pelayanan

agar apa yang disajikan tidak mengecewakan pelanggannya.

Untuk mencapai tingkat kehandalan tentunya informasi tersebut

harus selalu dimutaakhirkan sehingga informasi yang disajikan

tidak ketinggalan zaman. Kejahatan dunia maya (cyber crime) ini

muncul seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang

begitu cepat. Untuk lebih mendalam ada beberapa pendapat

tentang apa yang dimaksud dengan cyber crime?

Menurut Indra Safitri mengemukakan, kejahatan dunia

maya adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan


38

sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki

karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang

mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan

kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses

oleh pelanggan internet.31

Penulis berpendapat bahwa cyber crime merupakan

fenomena sosial yang merupakan sisi gelap dari kemajuan

teknologi informasi yang menimbulkan kejahatan yang dilakukan

hanya dengan duduk manis di depan komputer.

Menurut Kepolisian Inggris, cyber crime adalah segala

macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal

dan/atau kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan

kemudahan teknologi digital.32

Perkembangan teknologi informasi telah menggeser

pradigma para ahli hukum dalam memberikan definisi dari

kejahatan komputer, diawalnya para ahli hanya terfokus pada alat

dan perangkat keras, yaitu komputer. Namun berkembangnya

31
Indra Safitri, 1999, Tindak Pidana Di Dunia Cyber” dalam Insider,
Legal Journal From Indonesian Capital & Investmen Market.
32
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara
(Cyber Crime), (Jakarta: Refika Aditama, 2007) hlm. 40.
39

teknologi seperti internet, maka fokus dari definisi cyber crime

adalah aktivitas yang dapat dilakukan di dunia siber melalui

sistem informasi yang digunakan, sebagaimana yang diutarakan

oleh Barda Nawawi Arief dengan kejahatan mayantara.Pada

perkembangannya internet ternyata membawa sisi negatif,

dengan membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti

sosial yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi atau tidak

terpikirkan akan terjadi. Sebuah teori menyatakan, crimeis

product of society its self, yang secara sederhana dapat diartikan

bahwa masyarakat itu sendirilah yang menghasilkan kejahatan.

Pada dasarnya cyber crime merupakan kegiatan yang

memanfaatkan komputer sebagai sarana atau media yang

didukung oleh sistem telekomunikasi, baik menggunakan telepon

atau wireles system yang menggunakan antena khusus yang

nirkabel. Hal inilah yang disebut “telematika” yaitu konvergensi

antar teknologi telekomunikasi, media dan informatika yang

semula masing-masing berkembang secara terpisah.

Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari

perkembangan aplikasi internet ini sering disebut dengan cyber


40

crime. Dari pengertian ini tampak bahwa cyber crime mencakup

semua jenis kejahatan beserta modus operandinya yang dilakukan

sebagai dampak negatif aplikasi internet.

Widodo menjelaskan cyber crime dapat dibedakan

menjadi 2 (dua) kategori, yaitu cyber crime dalam arti sempit dan

cyber crime dalam arti luas. Cyber crime dalam arti sempit adalah

kejahatan terhadap sistem komputer, sedangkan dalam arti luas

mencakup kejahatan terhadap sistem atau jaringan komputer dan

kejahatan yang menggunakan komputer.33

Secara umum, dapat kita simpulkan bahwa cyber crime

merupakan keseluruhan bentuk kejahatan yang ditujukan

terhadap komputer, jaringan komputer, dan para penggunanya

serta bentuk-bentuk kejahatan tradisional berupa tindak pidana

dengan bantuan komputer.

b. Karakteristik dan Bentuk-Bentuk Cyber Crime

Menurut Abdul Wahid dan M. Labib, cyber crime

memiliki beberapa karakteristik, yaitu :34

33
Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime,(Yogyakarta:
Laksbang Meditama, 2009), hlm. 24.
34
Abdul Wahid dan M. Labib, Kejahatan Mayantara (Cybercrime),
op.cit. hlm. 76.
41

1) Perbuatan yang dilakukan secara illegal, tanpa hak atau

tindakan etis terjadi diruang/wilayah siber, sehingga tidak

dapat dipastikan yuridiksi negara mana yang berlaku

terhadapnya;

2) Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan

apapun yang berhubungan dengan internet;

3) Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materiil maupun

immateriil yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan

kejahatan konvensional;

4) Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan

internet dan aplikasinya;

5) Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional.

Cyber crime muncul akibat kemajuan teknologi informasi

dan digital, yang memudahkan orang-orang untuk melakukan

komunikasi, mendapatkan informasi serta memudahkan bisnis.

Disisi lain, kemudahan yang diberikan oleh teknologi,

menjadikan teknologi sebagai target untuk memperoleh dan

menyebarkan gangguan. Dengan demikian, karakteristik dari

cyber crime adalah penggunaan atau pemanfaatan teknologi


42

informasi yang berbasis komputer untuk melakukan kejahatan

yang didukung oleh teknologi informasi dan digital.

Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan

teknologi yang berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi

dalam beberapa literatur dan praktiknya dikelompokkan dalam

bentuk, antara lain35 :

a. Unauthorized access to computer system and service, yaitu

kejahatan yang dilakukan dalam suatu sistem jaringan

komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa pengetahuan

dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya.

Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan

maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan

rahasia. Namun, ada juga yang melakukannya hanya karena

merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus

suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan

ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi internet.

b. Illegal contents, yaitu kejahatan dengan memasukkan data

atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak

35
Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar, (Jakarta:
Kharisma Putra Utama, 2013), hlm. 51-54.
43

benar, tidak etis, dan dianggap melanggar hukum atau

menganggu ketertiban umum.

c. Data forgery, yaitu kejahatan dengan memalsukan data pada

dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scrptless

document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan

pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat

seolah-olah terjadi “salah ketik” yang pada akhirnya akan

menguntungkan pelaku.

d. Cyber espionage, yaitu kejahatan yang memanfaatkan

jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata

terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan

komputer (computer network system)pihak sasaran. Kejahatan

ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen

atau data-data pentingnya tersimpan dalam suatu sistem

komputerisasi.

e. Cyber sabotage and extortion, yaitu kejahatan yang dilakukan

dengan membuat gangguan, perusakan, atau pengahancuran

terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan

komputer yang tersambung dengan internet.


44

f. Offence against intellectual property, yaitu kekayaan yang

ditujukan terhadap hak kekayaan intelektual yang dimiliki

seseorang di internet. Contohnya peniruan tampilan web page

suatu situs milik orang lain secara ilegal.

g. Infringements of privacy, yaitu kejahatan yang ditujukan

terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang

sangat pribadi dan rahasia.

Adapun jenis-jenis cyber crime berdasarkan motifnya, yaitu :

a. Cyber crime sebagai tindak kejahatan murni

Dimana orang yang melakukan kejahatan yang dilakukan

secara di sengaja. Contohnya pencurian, tindakan anarkis

terhadap suatu sistem informasi atau sistem komputer.

b. Cyber crime sebagai tindakan kejahatan abu-abu

Dimana kejadian ini tidak jelas antara kejahatan kriminal atau

bukan, karena pelaku melakukan pembobolan tetapi tidak

merusak, mencuri, atau melakukan perbuatan anarkis

terhadap sistem informasi atau sistem komputer.

c. Cyber crime yang menyerang individu


45

Kejahatan yang dilakukan terhadap orang lain dengan motif

dendam atau iseng yang bertujuan untuk merusak nama baik,

contohnya pornografi, cyber stalking, dan lain-lain.

a. Cyber crime yang hak cipta (hak milik)

Kejahatan yang dilakukan terhadap hasil karya seseorang

dengan motif menggandakan, memasarkan, mengubah yang

bertujuan untuk kepentingan pribadi/umum ataupun demi

materi/nonmateri.

b. Cyber crime yang menyerang pemerintah

Kejahatan yang dilakukan dengan pemerintah sebagai objek

dengan motif melakukan teror, membajak ataupun merusak

keamanan.

c. Aturan Hukum Cyber Crime

Muhammad Kusnardi dan Bintan Saragih berpendapat

bahwa negara hukum menentukan alat-alat perlengkapan yang

bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang


46

ditentukan terlebih dahulu olehalat-alat perlengkapan yang

dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan tersebut.36

Alat negara itu yang bertanggung jawab untuk

menggunakan hukum sebagai senjata guna melawan berbagai

bentuk kejahatan yang akan, sedang atau telah mengancam

bangsa. Alat negara (penegak hukum) dituntut bekerja keras

seiring dengan perkembangan dunia kejahatan, khususnya

perkembangan cyber crime yang semakin mengkhawatirkan. Alat

negara ini menjadi subjek utama yang berperang melawan cyber

crime.

Misalnya Resolusi PBB Nomor 55 Tahun 1963 tentang

upaya untuk memerangi kejahatan penyalahgunaan TI (Teknologi

Informasi) pada tanggal 4 Desember 2001, memberikan indikasi

bahwa ada masalah internasional yang sangat serius, gawat dan

harus segera ditangani.

Penyalahgunaan TI telah menjadi salah satu agenda dari

kejahatan di tingkat global. Kejahatan di tingkat global ini

36
Muhammad Kusnardi dan Bintan Saragih dalam kutipan Abdulla
Wahid, dkk, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Bandung: Refika
Aditama,2005), hlm. 136.
47

menjadi ujian berat bagi masing-masing negara untuk

memeranginya. Alat yang digunakan oleh negara untuk

memerangi cyber crime ini adalah hukum. Hukum difungsikan

salah satunya mencegah terjadinya dan menyebarnya cyber

crime, serta menindak jika cyber crime terbukti telah menyerang

atau merugikan masyarakat dan negara.

a. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-

undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik oleh pemerintah yang disahkan pada tanggal 28 April

2008 dan perubahannya pada tanggal 25 November 2016 boleh

dibilang sebagai jawaban pemerintah Indonesia untuk

menghalangi cyber crime. Namun bukan Undang-Undang yang

pertama kali di Indonesia yang dapat menjangkau cyber crime,

karena jauh sebelum Undang-Undang ini disahkan, penegak

hukum menggunakan KUHP untuk menjerat pelaku-pelaku cyber

crime yang tidak bertanggung jawab dan menjadi sebuah payung


48

hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna

mencapai sebuah kepastian hukum.

a) Pasal 27 Undang-Undang ITE Tahun 2016 :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan


dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ancaman
pidana Pasal 45 ayat (1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Diatur pula dalam KUHP Pasal 282 mengenai kejahatan

terhadap kesusilaan.

b) Pasal 28 Undang-Undang ITE Tahun 2016 :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan


berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam transaksi Elektronik”.

c) Pasal 29 Undang-Undang ITE Tahun 2016 :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan


informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi
ancaman, kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi (Cyber Stalking). Ancaman pidana Pasal 45
ayat (3), setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.

d) Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang ITE Tahun 2016 :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan


hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik
49

dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos,


melampaui, atau menjebol sistem pengamanan (cracking,
hacking, illegal access). Ancaman pidana Pasal 46 ayat (3),
setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”.

e) Pasal 33 Undang-Undang ITE Tahun 2016 :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan atau


melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat
terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan
sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana
mestinya”.

f) Pasal 34 Undang-Undang ITE Tahun 2016 :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan


hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk
digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau
memiliki”.

g) Pasal 35 Undang-Undang ITE Tahun 2016 :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan


hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,
penghilangan, pengerusakan informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik tersebut seolah-olah data yang
otentik (phising, penipuan situs)”.
Aturan hukum mengenai cyber crime juga diatur

didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu :

a) Pasal 362 KUHP, yang dikenakan untuk kasus carding.

b) Pasal 378 KUHP, dapat dikenakan untuk penipuan.


50

c) Pasal 335 KUHP, dapat dikenakan untuk kasus pengancaman

dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang

dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan

sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya.

d) Pasal 311 KUHP, dapat dikenakan untuk kasus pencemaran

nama baik dengan menggunakan media internet.

e) Pasal 303 KUHP, dapat dikenakan untuk menjerat permainan

judi yang dilakukan secara online di internet dengan

penyelenggaraan dari Indonesia.

f) Pasal 282 KUHP, dapat dikenakan untuk penyebaran

pornografi.

g) Pasal 282 dan 311 KUHP, dapat dikenakan untuk kasus

penyebaran foto atau film pribadi seseorang.

h) Pasal 406 KUHP, dapat dikenakan pada kasus deface atau

hacking yang membuat sistem milik orang lain.


51

B. Tindak Pidana dalam Hukum Islam (Jināyah)

1. Pengertian Tindak Pidana Islam (Jināyah / Jarīmah)

Jināyah berasal dari kata “janā-yajnī- jināyah”, yang

berarti memetik, dosa, atau kesalahan. Dalam hukum Islam,

istilah hukum fiqh jināyah disebut dengan hukum pidana Islam.

Jināyah berarti “perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik

perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta maupun lainnya”.

Pengertian yang lain yang lebih operasional adalah “segala

ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan criminal

yang dilakukan mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban),

sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang

terperinci dari Al-Qur‟an dan Hadits Muhammad SAW”.37

Selain ada istilah deliction dan strafbaar feit dalam

hukum konvesional Indonesia, di dalam hukum Islam juga

dikenal dengan istilah jināyah dan jarīmah. Meskipun kedua

istilah tersebut sama, tetapi dalam banyak kesempatan, fuqāha

sering kali menggunakan kata jināyah dengan maksud jarīmah.

Kata jināyah adalah bentuk masdhar (infinitif) dari kata jana

37
Asep Saepudin Jahar, dkk., Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), hlm. 111
52

yang dan ini adalah arti secara umum. Akan tetapi, biasanya

secara khusus dibatasi untuk perbuatan yang dilarang saja.

Adapun kata jināyah dalam istilah fiqih didefinisikan sebagai

suatu perbuatan yang dilarang syara‟ baik perbuatan itu mengenai

jiwa, harta, maupun lainnya. Akan tetapi mayoritas fuqāha

menggunakan kata jināyah hanya untuk perbuatan mengenai jiwa

atau anggota badan seseorang, seperti pembunuhan,

penganiayaan, pemukulan, dan pengguguran kandungan. Ada

pula sebagian fuqāha membatasi pemakaian kata jināyah kepada

tindak pidana (jarīmah) hudūd dan qishāsh.38

Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakaian kata-

kata jināyah dikalangan fuqāha, dapat dikatakan bahwa kata

jināyah dalam istilah fiqih adalah murādif (sinonim) dari kata

jarīmah.

Konsep jināyah berkaitan dengan larangan karena setiap

perbuatan yang terangkum dalam konsep jināyah merupakan

perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarā. Sesuai dengan

ketentuan fiqih, larangan untuk melakukan sesuatu tidak hanya

38
Abdul Qadir Audah, Ensikopedia Hukum Pidana Islam 1 (Edisi
Indonesia), (Bandung: Kharisma Ilmu, 2007), hlm. 88.
53

cukup dengan “niat baik”, tetapi harus disertai dengan sanksi

(hukuman). Hukuman tersebut diancam kepada seseorang pelaku

kejahatan dan pada gilirannya pelaksanaan hukuman tadi dapat

dijadikan contoh oleh masyarakat untuk tidak melakukan

kejahatan:

Hukuman merupakan sesuatu yang dapat dihindarkan. Hal

ini didasarkan pada pertimbangan bahwa secara instrinsik

hukuman itu sendiri tidak merupakan suatu kebaikan, sekurang-

kurangnya bagi pelaku kejahatan itu sendiri. Sebagaimana

peristiwa sosial lainnya, jināyah mempunyai dua sisi

menguntungkan dan merugikan. Dasar larangan dari perbuatan

yang dikategorikan sebagi jināyah adalah karena perbuatan-

perbuatan itu merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penetapan

perbuatan-perbuatan jināyah dan hukuman-hukumannya

dimaksudkan untuk mempertahankan dan memelihara

keberadaan serta kelangsungan hidup bermasyarakat.39

39
Imaning Yusuf,Fiqih Jināyah jilid 1, (Palembang: Raffah Press,
2009), hlm. 3
54

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam (Jarīmah)

Ditinjau dari Unsur-unsur jarīmah atau tindak pidana,

objek kajian fiqih jināyah dapat dibedakan menjadi tiga unsur,

yaitu :

a. Al Rukn al-syāri, atau unsur Formil, ialah unsur yang

menyatakan bahwa seorang dapat dinyatakan sebagai pelaku

jarīmah jika ada undang-undang yang secara tegas melarang

dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.

b. Al Rukn al-mādi, atau unsur Materil, ialah unsur yang

menyatakan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia

benar-benar terbukti melakukan sebuah Jarīmah, baik yang

bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu) maupun

yang bersifat negative (pasif dalam melakukan sesuatu).

c. Al-Rukn al-adābi, atau unsur Moril, ialah unsur yang

menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia

bukan orang gila, anak dibawah umur, atau sedang dibawah

ancaman40

40
Nurul Irfan dan Masyrofah, FIqh Jinayah, (Amzah, Jakarta: 2014),
hlm. 2-3
55

Dari penjelasan diatas, itulah ketiga unsur tindak pidana

dalam hukum Islam (Jarīmah) pelaku jarīmah dapat di katakan

bersalah apabila memenuhi tiga unsur tersebut.

3. Bentuk-Bentuk Sanksi Pidana dalam Hukum Islam

Ditinjau dari berat ringannya hukuman yang dikenakan

terhadap pelaku jināyah, jināyah dapat terbagi tiga yaitu: hudūd,

qishāsh-diat, dan ta‟zīr. Yang biasa disebut dengan istilah

jarīmah hudūd, jarīmah qishāsh-diat, dan jarīmah ta‟zīr.41

a. Jarīmah Hudūd

Secara etimologi, hudūd yang merupakan bentuk jamak

dari kata had yang berati larangan, pencegahan. Adapun secara

terminologi, Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa hudūd secara

bahasa berarti pencegahan. Sanksi-sanksi kemaksiatan disebut

dengan hudūd, karena pada umumnya dapat mencegah pelaku

dari tindakan mengulang pelanggaran. Adapun arti kata had

mengacu kepada pelanggaran sebagaimana firman Allah Q.S Al

Baqarah 2: 187

41
Imaning Yusuf, Fiqih Jināyah jilid 1, Op. Cit., hlm. 4
56

…. ….

Artinya:

“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu

mendekatinya”

Lebih lanjut Al-Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hudūd

secara terminology ialah sanksi yang telah ditetapkan untuk

melaksanakan hak Allah.42 Dengan demikian, ta‟zīr tidak

termasuk ke dalam cakupan definisi ini karena penetuannya

diserahkan menurut penfapat hakim setempat. Demikian halnya

qishāsh tidak termasuk dalam cakupan hudūd karena merupakan

sesame manusia untuk menuntut balas dan keadilan.43

Tindak pidana hudūd ini ada 7 (tujuh) macam:44

1) Zina
2) Qazaf (menuduh orang berbuat zina)
3) Meminum-minuman keras
4) Mencuri
42
Maksudnya, hudūd telah ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat
dan melindungi kepentingan umum karena memang inilah tujuan mendasar
tujuan agama. Oleh karena itu, jika hudūd termasuk hak Allah maka tidak
dapat dibatalkan, baik oleh individu maupun masyarakat.
43
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 2, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang,
2013), hlm. 302
44
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam (Edisi
Indonesia), Op.Cit., hlm. 100
57

5) Hirabah (Merampok/Menggangu Keamanan)


6) Murtad
7) Memberontak

b. Jarīmah Qishāsh-diat

Secara etimologis dari kata Qashoshon- Yaqushu-

Qoshan yang berarti (mengikuti), menelusuri jejak atau

langkah ( ) seperti berarti: “aku mengikuti

jejaknya”. Hal ini sebagaimana firman Allah:45

Arinya:
“Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (Q.S. Al- Kahfi 18: 64)

Adapun arti qishāsh adalah tindak pidana yang berkaitan

dengan pelanggaran jiwa atau anggota tubuh seseorang, yaitu

membunuh atau melukai seseorang. Hukuman terhadap tindak

pidana ini adalah qishāsh dan diat (qishāsh adalah perlakuan

yang sama kepada terpidana sesuai dengan tindak pidana yang

dilakukannya, diat adalah ganti rugi dengan harta). Jarīmah

qishāsh diat pun hukumannya bersifat terbatas, tidak memiliki

45
Nurul Irfan dan Masrofah, Fiqih Jināyah, (Jakarta: Amzah, 2013),
hlm.4
58

batas terendah dan tertinggi, sebagaimana yang berlaku dalam

jarīmah hudūd. Disamping itu, Jarīmah qishāsh-diat merupakan

hak pribadi, artinya pihak korban bisa mengugurkan hukuman

qishāsh tersebut, baik melalui pemaafan tanpa ganti rugi. Karena

hak qishāsh atau diat merupakan hak pribadi korban, maka hak

ini dapat diwarisi oleh ahli warisnya.46

Menurut Abdul Qadir Audah (1373 H/1945 M), bentuk-

bentuk jarīmah qishāsh-diāt juga terbatas, yaitu:47

1) Pembunuhan sengaja;
2) Pembunuhan semi sengaja;
3) Pembunuhan tersalah;
4) Pelanggaran terhadap anggota tubuh secara sengaja;
5) Pelanggaran terhadap anggota tubuh dalam keadaan tersalah.

Yang dimaksud dengan pelanggaran terhadap anggota

tubuh adalah pelanggaran terhadap anggota tubuh yang tidak

sampai mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Seperti perlukaan,

pemotongan salah satu anggota tubuh dan pemukulan terhadap

anggota tubuh.

c. Jarīmah Ta’zīr

46
Imaning Yusuf, Fiqih Jināyah jilid 1, Op. Cit., hlm. 29
47
Imaning Yusuf, Fiqih Jināyah jilid 1, Op. Cit., hlm. 30
59

Menurut bahasa, lafaz ta‟zīr berasal dari kata “azzara”

yang berarti menolak dan mencegah, juga berarti mendidik,

mengagungkan dan menghormati, membantunya, menguatkan,

dan menolong.48 Dari pengertian tersebut yang paling relevan

adalah pengertian pertamayaitumencegah dan menolak, dan

pengertian keduayaitumendidik.

Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi

lagi perbuatannya. Ta‟zīr diartikan mendidik, karena ta‟zīr

dimaksudkan untuk mendidikdan memperbaiki pelaku agar ia

menyadari perbuatan Jarīmahnya kemudian meninggalkan dan

menghentikannya. Pengertian ini sesuai dengan apa yang di

kemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili.

Secara istilah ta‟zīr ialah sanksi yang diberlakukan

kepada pelaku jarīmah yang melakukan pelanggaran baik

berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia dan tidak

termasuk ke dalam kategori hukuman hudūd atau kafarat. Karena

ta‟zīr tidak ditentukan secara langsung oleh Al-Qur‟an dan

Hadits, maka ini menjadi kompetensi penguasa setempat. Dalam

48
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2005), hlm. 255
60

memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta‟zīr, harus tetap

memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut

kemaslahatan umum.49

Ketentuan Hukum tentang ta‟zīr, ada beberapa ketentuan

hukum tentang ta‟zīr itu adalah sebagai berikut:50

1) Jika ta‟zīr berupa pukulan, maka ia tidak boleh melebihi

sepuluh kali sabetan dengan cambuk.

2) Penguasa (pemerintah) harus bersungguh-sungguh di dalam

menjatuhkan hukuman ta‟zīr dalam setiap keadaan yang

sesuai. Jika cacian saja sudah cukup untuk menghentikan

tindakan pelaku kemaksiatan, maka ia cukup dihukum dengan

cacian ini. Jika penahanan sehari semalam sudah cukup

memadai untuk menghentikan tindakan palanggaran, maka

sudah cukup ini saja hukuman yang dijatuhkan dan tidak

perlu penahanan yang lebih lama lagi. Jika denda dengan

sedikit uang atau harta saja sudah bisa menghentikan

tindakannya, maka tidak perlu denda yang lebih banyak lagi.

49
Nurul Irfan dan Masyofah,fiqih Jināyah,Op. Cit., hal. 136-140
50
Abu Bakar Jabir Al- Jazairi, Minhajul Muslim, Edisi Terjemahan
cet.II (Solo: Pustaka Arafah, 2015), hal. 807.
61

Demikianlah seterusnya. Sebab, maksud dari ta‟zīr ini adalah

memberi pelajaran dan didikan, bukannya siksaan atau balas

dendam.

Ta‟zīr tidak diperbolehkan untuk dilakukan dengan cara

memangkas janggut seseorang, memporak- porakan rumah,

mencabuti (tanaman) kebun, (tanaman) ladang, (memetik) buah-

buahan, dan (mencabut) perpohonan. Ta‟zīr juga tidak

diperbolehkan untuk dilakukan dengan cara menebas hidung,

memotong telinga, atau ujung jemari karena hal seperti itu tidak

pernah dilakukan oleh para sahabat r.a.51

51
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 2, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang,
2013), hlm. 393
BAB III

ISI DAN PEMBAHASAN

A.TINJAUAN UMUM TENTANG DEFACING

1. Pengertian Defacing

Membahas masalah cyber crime tidak lepas dari permasalahan

keamanan jaringan computer atau keamanan informasi berbasis

internet dalam era global ini, apabila jika dikaitkan dengan persoalan

informasi sebagai komoditi. Informasi sebagai komoditi memerlukan

kehandalan pelayanan agar apa yang di sajikan tidak mengecewakan

pelanggannya. Untuk mencapai tingkat kehandalan tentunya

informasi tersebut selalu dimutaakhirkan sehingga informasi yang di

sajikan tidak ketinggalan zaman. Kejahatan dunia maya (cyber crime)

ini muncul seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang

begitu cepat, salah satunya adalah kejahatan defacing.52 Apa itu

defacing?

Menurut bahasa, defacing berasal dari kata deface yang

berdasarkan kamus UMUM53 berarti merusakkan; mencemarkan;

52
Abdul Wahid dan Mohammad Labib,Kejahatan Mayantara
(Cybercrime),Op, Cit,. hlm. 2
53
Kamus UMUM merupakan kamus yang memuat kata-kata yang di
gunakan dalam berbagai ragam bahasa dengan keterangan makna dan
penggunaannya, dengan menghindarkan istilah teknis atau kata yang digunakan
dalam lingkungan terbatas. https://id.m.wiktionary.org/wiki/kamus_umum?

62
menggoresi; menghapuskan tetapi arti kata deface disini yang sangat

lekat adalah sebagai salah satu kegiatan merubah tampilan suatu

website baik halaman utama atau index filenya ataupun halaman lain

yang masih terkait dalam satu url dengan website tersebut (bisa di

folder atau di file).

Sedangkan menurut istilah, defacing adalah teknik mengganti

atau menyisipkan file pada server.54 Teknik ini dapat dilakukan

karena terdapat lubang pada sistem security yang ada didalam sebuah

aplikasi atau website. Hal ini bertujuan untuk melakukan perubahan

tampilan pada website korban dengan tampilan yang dimiliki oleh si

defacer. Defacing terdiri dari dua tahap, yaitu mula-mula menerobos

system orang lain atau kedalam web server dan tahap kedua adalah

mengganti halaman website (web page).55

Serangan dengan tujuan utama merubah tampilah sebuah

website, baik halaman utama maupun halaman lain terkait

dengannya, diistilahkan sebagai “Web Defacement”. Hal ini biasa

dilakukan oleh para “attacker” atau penyerang karena merasa tidak

puas atau tidak suka kepada individu, kelompok, atau entitas tertentu

sehingga website yang terkait dengannya menjadi sasaran utama.

54
Ibid,. hlm. 4
55
Sutan Remi Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hlm. 124.
2. Jenis-Jenis Defacing

Defacing dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan dampak

pada halaman situs yang terkena serangan terkait:56

1. Full of page

Artinya mendeface satu halaman penuh tampilan depan alias file

index atau file lainnya yang akan diubah secara utuh, artinya

untuk melakukan ini biasanya seorang 'defacer' umumnya harus

berhubungan secara 'langsung' dengan box (mesin) atau usaha

mendapatkan priveleged terhadap mesin, baik itu root account

atau sebagainya yang memungkinkan defacer dapat secara

Interaktif mengendalikan file indek dan lainnya secara utuh.

Umumnya dengan memanfaatkan kelemahan kelemahan pada

services-services yang berjalan di mesin, sehingga dapat

melakukan pengaksesan ke mesin.

2. Sebagian atau hanya menambahi

Artinya, defacer mendeface suatu situs tidak secara penuh, bisa

hanya dengan menampilkan beberapa kata, gambar atau

penambahan script-script yang mengganggu, hal ini umumnya

hanya akan memperlihatkan tampilan file yang di deface menjadi

kacau dan umumnya cukup mengganggu, defacer biasanya

56
Aryad Sanusi. Cyber Crime, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013),
hlm. 98.
mencari celah baik dari kelemahan scripting yang digunakan

dengan XSS injection, bisa dengan SQL atau database injection

dan juga beberapa vulnerabilities yang seringkali ditemukan pada

situs-situs yang dibangun dengan menggunakan CMS (Content

Manajemen System).

3. Faktor-Faktor terjadinya Defacing

Beberapa faktor terjadinya defacing, sebagai berikut:57

1. Faktor Internal

a. Kesalahan konfigurasi

Apabila tidak di konfigurasikan dengan baik malah akan menjadi

“bumerang” bagi sistem itu sendiri. Bisa jadi sesuai dengan

istilah “pagar makan tanaman”. Perlu adanya ketelitian dan

pengecekan ulang.

b. Kelalaian admin

Apabila Konfigurasi telah sesuai, maka faktor “man behind the

gun” yang akan berbicara banyak; sehingga faktor internal kedua

adalah manusia yang menggelola server tersebut:

Adapun jenis kelalaian yang dapat terjadi adalah

1) Install file dan folder

57
www.timsatu.wordpress.com. Diakses tanggal 03 juli 2018 pukul 13.11
WIB.
Webmaster atau admin biasanya lalai dalam menghapus file

yang digunakan untuk mengintallasi web model CMS. Contoh :

folder / install dan file install.php pada phpnuke, postnuke,

phpbb.

2)File konfigurasi dan permission

Webmaster atau admin lupa mengatur permisi pada file-file

konfigurasi yang penting, yang menyangkut administrasi dan

konfigurasi file, khususnya file-file yang mencatat password,

baik password database dsb.Contoh : file config.txt, config.php,

config.inc.

3)Run of date

Terlalu lama peng-update-an suatu web atau tidak secara terus-

terusan mengupdate webnya khususnya portal yang dibundel

dalam CMS, serta juga packet-packet yang terinstalasi di mesin

baik itu web server sendiri , database server dan sebagainya

yang bisa menjadi pintu masuk bagi 'defacer'.

4)Run of service

Kesalahan konfigurasi terhadap services / layanan yang

diberikan khususnya terlalu banyak menjalankan layanan yang

tidak diperlukan pada setiap server.


2. Faktor Eksternal58

a. Sofware vulnerabilities

Software vulnerabilities disini adalah kelemahan, atau kesalahan

yang dimiliki oleh software / program yang dipakai baik secara

sengaja atau tidak sengaja. Khususnya software-software Open

source / atau yang berlicensi GPL (General Public License) ,

maka tidaklah aneh apabila dalam hitungan hari, atau malah jam

dapat diketahui kelemahan suatu software. Banyak situs yang

membahas dan melaporkan vulnerabilities suatu software baik

itu situs resmi software tersebut atau situs situs keamaanan, info

ini bisa menjadi senjata ampuh bagi para “defacer” atau bahkan

bisa menjadi perisai ampuh bagi webmaster atau admin.

b.Sistem vulnerabilities

Sistem operasi dari server khususnya “kernel” yang

dikembangkan oleh pengembang khusus kernel

(http://kernel.org) sehingga bukannya tidak mungkin kebocoran

ini di perbaiki ahli. Kasus seperti ini cukup jarang, umumnya

cara yang ditempuh bisa dilakukan secara lokal / local exsploit

kecuali exploitasi pada 'DCOM RPC' yang berakibat kesalahan

58
www.timsatu.wordpress.com. Diakses tanggal 03 juli 2018 pukul 13.11
WIB.
itu bisa di eksploitasi secara remote dan berbahaya sekali bagi

mesin dikarenakan akan memberikan akses administrator.

c. Run of control

Suatu kesulitan untuk melakukan Kontrol terhadap beberapa

metode serangan tertentu oleh administrator, hal ini bisa

dikarenakan penggunaan beberapa fasilitas atau metode serangan

yang cukup relatif sulit untuk dihindari.

Serangan-serangan ini sangat umum diketahui, diantaranya :

1)Brute forcing

Brute force attack adalah jenis serangan yang dilakukan dengan

melakukan berbagai bentuk kombinasi karakter yang akan di

cobakan sebagai password detil soal BFA (brute force attack).

Metode ini mungkin yang paling kekal, alias sudah lama tetapi

tetap dipakai dikarenakan kelebihannya yaitu tidak perlu

mengetahui sistem enkripsi, atau metoda pengamanan khususnya

untuk login. tetapi memiliki berbagai keterbatasan tersendiri,

baik dalam hal kecepatan khususnya. Contoh : penggunaan

brutus sebagai program yang cukup ampuh untuk membrute

password baik, ftp, http, smtp dsb.


2)Dictionarry attack

Metode ini menggunakan kamus kata yang sering di gunakan,

walau tetap memiliki prinsip yang sama dengan Brute forcing.

Target serangan ini adalah password, atau bisa dikatakan attack

terhadap authentication.

3)DOS attack

Denial of Service adalah aktifitas menghambat kerja sebuah

layanan (servis) atau mematikan-nya, sehingga user yang

berkepentingan tidak dapat menggunakan layanan tersebut.

4)Sniffing

Sniffing adalah adalah kegiatan menyadap atau menginfeksi

paket data menggunakan sniffer software atau hardware di

internet. Biasanya di gunakan ettercap, ethereal, dsb.

4. Tindak Pidana Defacing Menurut KUHP

Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat

mampu mengubah pola kehidupan masyarakat dalam hal pemenuhan

informasi. Segala bentuk informasi dapat menyebar secara cepat

bahkan sulit untuk dikontrol. Tidak dapat dipungkiri saat ini manusia

“dimanjakan” berbagai kecanggihan teknologi, mulai dari munculnya

alat komunikasi handphone sampai smartphone yang dilengkapi


dengan berbagai fitur dan teknologi internet. Internet dapat

memudahkan penggunannya untuk bertukar informasi tanpa harus

bertatap muka satu sama lain.

Struktur masyarakat dirubah oleh kemajuan teknologi dari

yang bersifat lokal menuju ke arah masyarakat yang bersifat global.

Perubahan ini disebabkan oleh kehadiran teknologi informasi yang

terus berkembang. Perkembangan teknologi informasi itu berpadu

dengan media dan komputer, yang kemudian melahirkan piranti baru

yang di sebut internet dalam mengirimkan informasi. Sehingga,

internet sangat membantu manusia dalam menyelesaikan

masalahnya.59

Website sebagai salah satu aplikasi dari internet merupakan

media yang sangat membatu dalam perkembangan teknologi

komunikasi dalam masa kini. Website juga merupakan media untuk

mendapatkan informasi dan promosi di dunia internet seperti

personal, profil sekolah, profil perusahaan, berita pendidikan, bisnis,

berita terkini dan semua hal yang dibutuhkan manusia dapat diakses

melalui internet. Dengan website kita mudah menyebarkan dan

mendapatkan informasi yang kita butuhkan. Website berfungsi

sebagai media promosi, media pemasaran, media informasi, media

59
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara
(Cybercrime), (Jakarta: Refika Aditama, 2005), hlm. 103.
pendidikan, dan media komunikasi.60 Meskipun demikian, dengan

melihat banyak sekali manfaat seperti manfaat website tersebut,

kehadiran internet telah memunculkan paradigma baru dalam

kehidupan manusia. Kehidupan berubah dari yang hanya bersifat

nyata (real) ke realitas baru yang bersifat maya (virtual). Realitas

yang kedua ini biasa dikaitkan dengan internet dan ruang di dunia

maya (cyberspace).61 Internet dengan kelebihan-kelebihannya

mempunyai sisi kelemahan dan memiliki dampak buruk jika

dipergunakan orang yang tidak bertanggungjawab. Adanya

cyberspace memberi peluang terjadinya kejahatan atau lebih dikenal

dengan cybercrime (kejahatan dunia maya), banyak sekali jenis

cybercrime salah satunya adalah defacing.62

Defacing yang merupakan salah satu kejahatan dunia maya

yaitu kegiatan merubah tampilan suatu website orang lain tanpa izin

baik halaman utama atau index filenya ataupun halaman lain yang

masih terkait dalam satu URL63 dengan website 64


tersebut (bisa di

60
Deni Darmawan dan Deden Hendra Permana, Desain dan Pemrograman
Website,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 5.

62
Dikdik M.Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyberlaw Aspek Hukum
Teknologi Informasi, cet. II (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 4.
63
URL singkatan dari Uniform Resource Locator, yaitu serangkaian
karakter (angka, huruf dan symbol) secara default yang telah ditentukan, yang
manfaatnya itu untuk menunjukkan suatu alamat atau sumber yang terdapat di
internet seperti file, dokumen dan juga gambar.
folder atau di file). Defacing terdiri dari dua tahap, yaitu mula-mula

menerobos system orang lain atau kedalam web server dan tahap

kedua adalah mengganti halaman website (web page).65 Antara

hacking dan defacing tidak dapat terpisahkan satu sama lain, karena

defacing merupakan salah satu kegiatan hacking yaitu, kegiatan

menerobos program komputer milik orang atau pihak lain tanpa izin.

Pada awalnya hacking tidak selalu berkonotasi negatif, karena

sebenarnya tujuan hacking adalah untuk mengetahui system

keamanan milik orang tertentu dan memberi tahu celahnya. Tetapi

dalam perkembangannya di masyarakat hacking di nilai dan di

anggap kata yang mewakili sebuah kejahatan dunia maya, dan pada

kenyataanya memang hacking dilakukan tanpa izin.

Menanggapi masalah kejahatan Indonesia telah memiliki

peraturan perundang-undangan yang cukup untuk menindak tindak

kejahatan Perundangan dunia maya (Defacing) ini. Secara umum,

Perundangan dunia maya (Defacing) dapat saja di interpretasikan

terhadap berbagai delik yang diatur dalam hukum pidana umum di

http://www.cuthawe.com/2016/02/apa-itu-url.html diakses tanggal 27 Oktober


2017 pukul 18.54 WIB.
64
Website merupakan kumpulan dari halaman-halaman situs, yang
biasanya terangkum dalam sebuah domain atau subdomain, yang tempatnya berada
di dalam world wide web (WWW) di internet, Lihat Ujang Rusdianto, Web CS,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 74.
65
Sutan Remi Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009),hlm. 124.
Indonesia, yaitu yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP). Pasal-pasal KUHP yang relevan dalam mengatur

delik Perundangan dunia maya (Defacing) ini adalah yang tercantum

dalam Bab XXVII tentang pengahancuran atau perusakan barang66,

khususnya pasal 406 ayat (1) dan (2).

Pasal 406 ayat (1) menyatakan bahwa :

“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,


merusak, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,
diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan)
bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Sedangkan Pasal 310 ayat (2) menyatakan bahwa :

“Ditinjaukan pidana yang sama terhadap orang, yang dengan sengaja


dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat
digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain.”

Pengertian-pengertian dalam pasal 406 KUHP dapat

dijelaskan sebagai berikut :67

a. Pengertian “menghancurkan” (vermielen)

Menghancurkan atau membinasakan dimaksudkan sebagai merusak


sama sekali sehingga suatu barang tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.

b. Pengertian “merusakkan”

66
KUHAP dan KUHP, (Sinar Grafika, Jakarta: 2002), hlm. 107.
67
Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, (Yogyakarta:
Aswaja pressindo,2013), hlm. 144
Merusakkan dimaksudkan sebagai memperlakukan suatu barang
sedemikian rupa namun kurang dan membinasakan
(beschacdingen). Contoh perbuatan merusak data atau program
komputer yang terdapat di internet dengan cara menghapus data
atau program, membuat cacat data atau program, menambahkan
data baru ke dalam suatu situs (web) atau sejenisnya secara acak.
Dengan kata lain, perbuatan tersebut mengacaukan isi media
penyimpanannya.

c. Pengertian “membikin / membuat tidak dapat dipakai lagi”

Tindakan itu harus sedemikian rupa, sehingga barang itu tidak


dapat diperbaiki lagi. Kaitannya dengan kejahatan maya (cyber
crime) adalah perbuatan yang dilakukan tersebut menyebebkan data
atau program yang tersimpan dalam media penyimpan (data base)
atau sejenisnya menjadi tidak dapat dimanfaatkan (tidak berguna
lagi). Hal ini disebabkan oleh data atau program telah dirubah
sebagian atau seluruhnya, atau dirusak pada suatu bagian atau
seluruhnya, atau dihapus pada sebagian atau pada keseluruhannva.

d. Pengertian menghilangkan

Pengertian menghilangkan adalah membuat sehingga barang itu


tidak ada lagi. Kaitannya dengan cyber crime ialah perbuatan
menghilangkan atau menghapus data yang tersimpan pada data
base (bisa juga tersimpan dalam suatu web) atau sejenisnya
sehingga mengakibatkan semua atau sebagian dari data atau
program menjadi terhapus sama sekali.
Berdasarkan pengertian-pengertian mengenai perbuatan

“menghancurkan” , merusak, “membuat tidak dapat dipakai lagi” dan

“menghilangkan” dapatlah disimpulkan bahwa makna dan perbuatan-

perbuatan tersebut terdapat kesesuaian yang pada intinya perbuatan

tersebut menyebabkan fungsi dari data atau program dalam suatu

jaringan menjadi berubah / berkurang. Perbuatan penghancuran atau

perusakkan barang yag dilakukan defacer dengan kemampuan


hackingnya bukanlah perbuatan yang bisa dilakukan oleh semua

orang awam. Kemampuan tersebut dimiliki secara khusus oleh orang

yang mempunyai keahlian dan kreatifitas dalam memanfaatkan

sistem, program, maupun jaringan. Motif untuk kejahatan ini sangat

beragam yakni misalnya motif ekonomi, politik, pribadi atau motif

kesenangan semata.

Pada dasarnya, KUHP memang dibentuk jauh sebelum

perkembangan teknologi dunia maya dicetuskan. Maka, dalam

rangka mengakomodasi pengaturan mengenai dunia maya dan segala

hal yang berkaitan dengannya, dibentuklah Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kini

telah di revisi menjadi Undang-Undang No.19 Tahun 2016. Dalam

undang-undang ini, terdapat pasal-pasal yang dikira lebih sesuai

untuk menjerat para pelaku Perundangan dunia maya (defacing).

B. Tindak Pidana Defacing Menurut Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016

1. Defacing Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016

Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan

berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan

dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Elektronik ditujukan


untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan

bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum

bagi pengguna dan penyelenggara sistem elektronik.68

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,

hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi

Informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan

yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata

untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan

ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.

Karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan konten

illegal seperti informasi dan /atau Dokumen Elektronik yang

memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan,

atau pencemaran nama baik, pemerasan dan /atau pengancaman,

penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan

kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Serta perbuatan

menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama,

ras dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-

nakuti yang ditunjukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan,

68
Djunaedi Karnasudirdja, Yurisprudensi Kejahatan Komputer. (Bandung:
Refika Aditama, 2009) hlm. 2.
ditransmisikan, disalin, disimpan, diseminasi kembali dari mana saja

dan kapan saja.

Berdasarkan pertimbangan tersebut pemerintah mengambil

tindakan hukum di Indonesia dengan membuat Undang-Undang

Informasi transaksi (UU ITE) dengan maksud agar membuat para

pelaku tindak kejahatan di dunia maya (Cyber Crime), dengan

membuat rasa nyaman dan aman untuk para pengguna internet.

Adapun dalam UU No.19 Tahun 2016 berkaitan dengan

tindak pidana Defacing merupakan perbuatan dilarang yang telah

diatur pada Pasal 30 dalam hal illegal acces dan pada Pasal 32 ayat

(1) dalam hal data interference mengingat langkah awal dalam

defacing adalah melakukan hacking kemudian memodifikasi dari

website tersebut. Mengenai Perundangan dunia maya (defacing) yang

masuk ranah tindak kejahatan dunia maya (cyber crime) diatur dalam

BAB VII mengenai PERBUATAN YANG DILARANG dalam UU

No.11 Tahun 2008 jo UU No.19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik yaitu69:

Maka para pelaku akan di jerat dalam pasal sebagai berikut :

69
Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE), (Sinar
Grafika, Jakarta: 2017), hlm.42-43
Pasal 30 yang berbunyi:

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses computer dan/atau Sistem Elektronik milik orang lain
dengan cara apapun.

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses computer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa
pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik.

(3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengkases computer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa
pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol
system pengaman.

Pasal 32 ayat (1) yang berbunyi:

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
dengan cara apa pun mengubah, menambahkan, mengurangi,
melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

2. Sanksi Tindak Pidana Defacing Menurut Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016

Adapun ketentuan pidana dari pasal-pasal tersebut diatas

mengenai tindak kejahatan Perundangan dunia maya (Defacing)

diatur dalam BAB XI KETENTUAN PIDANA dalam UU N0.11

Tahun 2008 jo UU No.19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik yaitu:


Pasal 46 yang berbunyi:

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud


dalam pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp.700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud


dalam pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 48 yang berbunyi:

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud


dalam pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Defacing menurut UU ITE merupakan perbuatan dilarang

yang telah diatur pada Pasal 30 dalam hal illegal acces dan pada

Pasal 32 ayat (1) dalam hal data interfence mengingat langkah awal

dalam defacing adalah melakukan hacking kemudian memodifikasi

dari website tersebut. Sanksi hukum defacing di Indonesia sudah jelas

diatur pada Pasal 46 dan Pasal 48 ayat (1) UU ITE.


C. Tindak Pidana Defacing Menurut Hukum Islam

1. Tujuan dan Syariat Hukum Islam

Membicarakan tujuan hukum Islam tidak dapat dilepaskan

dari membicarakan tujuan syariat Islam secara umum, karena hukum

Islam merupakan bagian dari syariat Islam. Tujuan syariat Islam

diturunkan oleh Allah adalah untuk kemaslahatan atau kepentingan

dan kebijakan umat manusia, sehingga terwujudnya misi ajaran Islam

yang dikenal dengan “rahmatan lil „alamin”, serta menghindarkan

mereka dari kerusakan dan bahaya didunia dan di akhirat. Tujuan

yang mencakup kehidupan dunia dan akhirat ini membedakan syariat

Islam dengan hukum atau Undang-undang yang di buat oleh manusia.

Hal ini karena peraturan buatan manusia itu hanya mengatur

kehidupan di dunia saja70.

Tujuan hukum Islam yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan

hidup manusia secara individual dan sosial. Menurut Abu Zahrah :

penetapan aturan hukum Islam itu mempunyai arah dan tujuan

tertentu. Ada tiga hal yang menjadi arah dan tujuan penetapan hukum

Islam, yaitu:71

a. Mendidik individu agar mampu menjadi sumber kebajikan bagi


masyarakatnya dan tidak menjadi malapetaka bagi orang lain.
70
Hasan, Mustofa dan Saebani, Beni Ahmad, Hukum Pidana Islam Fiqh
Jinayah, (Bandung : Pustaka Setia), hlm. 13
71
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003),
hlm. 364
b. Menegakkan keadilan didalam masyarakat secara internal
diantara sesame umat Islam maupun umat Islam dengan
masyarakat luar.

c. Mewujudkan kemaslahatan hakiki bagi semua masyarakat,


kemaslahatan yang hakiki dan universal.

Menurutnya, kemaslahatan yang hakiki itu adalah :

a. Agama
Memelihara agama adalah memelihara kemerdekaan manusia
didalam menjalankan agamanya.

b. Jiwa
Memelihara jiwa adalah memelihara hak hidup secara terhormat,
memelihara jiwa dari segala macam ancaman, pembunuhan,
penganiayaan dan sebagainya.

c. Akal
Memelihara akal adalah memelihara agar manusia tidak menjadi
beban sosial, tidak menjadi sumber kejahatan dan penyakit
dalam masyarakat.

d. Keturunan
Memelihara keturunan adalah memelihara jenis anak keturunan
melalui ikatan perkawinan yang sah yang diikat dengan suatu
hukum agama.

e. Harta
Memelihara harta adalah mengatur tata cara mendapatkan dan
mengembang biakan harta benda secara benar dan halal.

Menurut Muhammad Abu Zahrah, maslahat itu ada (3)

tingkatan, yaitu:

a. Bersifat dāruri, sesuatu yang tidak boleh tidak ada untuk


terwujudnya suatu masalah seperti kewajiban melaksanakan
hukum had zina atas pelaku perbuatan zina karena tanpa
melaksanakan hukuman had, zina tersebut tidak akan bisa
dipelihara anak keturunan manusia.
b. Bersifat hājj, sesuatu yang dibutuhkan untuk menolak timbulnya
kemudharatan dan kesusaan didalam hidup manusia seperti
diharamkan melihat aurat wanita untuk melakukan perbuatan
zina.

c. Bersifat tahsīm, sesuatu yang diperlukan untuk mewujudkan


kesempurnaan hidup manusia, seperti keharaman seorang wanita
yang keluar rumah dengan menunjukkan perhiasan dan
kecantikannya.72

Hukum Islam diterapkan oleh Allah atas dasar tidak

memberatkan, dalam ruang lingkup menyedikitkan beban dan secara

berangsur-angsur. Dalam hukum Islam juga menetapkan beberapa

asas dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan keadilan bagi

semua manusia.

Asas-asas tersebut meliputi :

a. Asas Mendahulukan kepentingan umum

Kepentingan individu dikalahkan dan kepentingan umum


didahulukan. Islam tidak membenarkan kebebasan individu yang
bertentangan dengan kepentingan umum.

b. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban

Islam menghendaki manusia mendahulukan kewajiban dari hak


untuk menghindarkan terjadinya suatu dan kondisi setelah
mendapatkan haknya orang mangkir dari kewajibannya, tapi
dimana ada hak disitu pasti ada kewajiban.

c. Asas keseimbangan antara kebebasan dan keterbatasan

berperilaku bagi individu.

72
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003),
hlm. 365
Karena kebebasan seseorang dibatasi dengan kepentingan umum
atau dibatasi dengan kebebasan orang lain, jadi kebebasan dan
keterbatasan bagi seseorang maupun secara umum73

Melakukan tindak kejahatan di dunia maya merupakan salah

satu perbuatan yang melanggar kemaslahatan umat manusia, karena

dampak yang di timbulkan tidak hanya mental dan psikis bahkan

sampai nyawa pun dapat melayang karena tindak kejahatan Defacing

ini, maka dari itu perilaku Defacing telah melanggar aturan moral dan

menimbulkan masalah sosial. Sepanjang tidak menggangu aturan

moral dan tidak menggangu hak orang lain dan hak Allah, setiap

umat manusia diberi kebebasan berbuat hal yang positif lagi

bermanfaat.

2. Sanksi Bagi Pelaku Defacing Menurut Hukum Islam

Islam sebagai sebuah agama hukum tentunya memiliki andil

untuk mengapresiasi fenomena yang sedang terjadi di masyarakat.

Perubahan dan situasi masyarakat, termasuk akibat buruk yang

ditimbulkan dari perkembangan informasi, mengharuskan hukum

Islam menjawab dari sekian pokok permasalahan dari perkembangan

teknologi informasi, mengigat hukum Islam terus berkembang seiring

73
Ibid, hlm. 377.
tempat dan waktu. Islam juga menghormati hak pribadi atau privacy

seseorang seperti dalam ayat Al-Qur‟an berikut ini:

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah


yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam
kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar
kamu (selalu) ingat” (Q.S An-Nur : 27)

“Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah


kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan
kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu
bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (Q.S An-Nur : 28)

Ayat di atas menjelaskan larangan memasuki rumah tanpa

izin, dari hal ini dapat dilihat bahwa pelanggaran terhadap privasi

adalah dilarang, sehingga kita tidak boleh melakukan defacing,karena

langkah awal defacing adalah melakukan hacking untuk membobol

website milik orang lain dan tahap kedua adalah mengganti halaman
website (web page). Islam selalu mengajarkan etika dan adab yang

baik terhadap orang lain. Sudah pasti Perundangan dunia maya

(Defacing) adalah yang diharamkan, mengingat dampak yang

ditimbulkan bisa menyebabkan kerugian bagi orang lain, apalagi jika

yang di deface adalah website milik pemerintah yang dapat

menyebabkan kerugian yang begi besar dan merupakan suatu

perbuatan yang sangat dzalim.

Islam sangat melarang keras sesama muslim saling

mendzalimi, banyak ayat-ayat yang menegaskan orang yang dzalim

akan di timpahkan dosa yang sangat besar dan sangat keras siksaanya

diakhirat kelak. Salah satu surah yang menunjukan balasan atas

orang-orang yang dzalim dalam (Surah Yunus (10) :52) Allah SWT,

berfirman:

Artinya:

“Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim (musyrik) itu:


"Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal; kamu tidak diberi balasan
melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan."
Dengan demikian maka jelaslah bagi kita betapa pentingnya

peranan Islam dalam mendidik kaum muslimin agar berakhlak yang

luhur, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercelah

tadi. Islam menghendaki agar kaum muslimin agar berakhlak yang

luhur, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela

tadi. Islam menghendaki agar kaum muslimin berada dalam naungan

persaudaraan yang dipenuhi dengan rasa kasih sayang dan saling

mempercayai antara sesama mereka.

Tindak pidana defacing merupakan bagian dari ranah tindak

pidana Cyber Crime karena objeknya sama-sama menggunakan

internet. Untuk bisa memahami Defacing menurut tindak pidana

Islam (Jarīmah), terlebih dahulu harus dikemukan bahwa klasifikasi

tindak pidana di dalam Islam. Untuk dianggap atau dikategorikan

sebagai suatu Jarīmah, suatu perbuatan harus memiliki unsur-unsur

berikut ini:

a. Al Rukn al-syāri, atau unsur Formil, ialah unsur yang


menyatakan bahwa seorang dapat dinyatakan sebagai pelaku
jarīmah jika ada undang-undang yang secara tegas melarang dan
menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.

b. Al Rukn al-mādi, atau unsur Materil, ialah unsur yang


menyatakan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia
benar-benar terbukti melakukan sebuah Jarīmah, baik yang
bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu) maupun yang
bersifat negatif (pasif dalam melakukan sesuatu).
c. Al-Rukn al-adābi, atau unsur Moril, ialah unsur yang
menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan
orang gila, anak dibawah umur, atau sedang dibawah ancaman74

Dari ketiga unsur diatas, Pelaku Defacing dapat dikategorikan

sebagai tindak pidana karena memenuhi unsur Al Rukn al-mādi dan

unsur Al-Rukn al-adābi. Jika dilihat dari segi berat ringannya

hukuman ada tiga jenis, yakni :

a. Jarīmah Hudūd, adalah perbuatan melanggar hukum yang mana


jenis dan ancamannya ditentukan oleh nash, yaitu hukuman had
(hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai
batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh
perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang
mewakili75.

b. Jarīmahqishas diyat, adalah perbuatan yang diancam dengan


hukuman qishash76 dan diyat77. Baik hukuman qishas maupun
diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya,
tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak
perseorangan (si korban dan walinya). Hukuman qishash diyat
penerapannya ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman
qishash bisa berubah menjadi hukum diyat, hukuman diyat
menjadi dimaafkan dan apabila dimaafkan maka hukuman
menjadi terhapus.

c. Jarīmah Ta‟zīr, secara etimologi berarti menolak atau


mencegah. Sementara pengertian terminologis, ta‟zīr adalah
bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar

74
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta:Amzah, 2014) hlm.
2-3
75
Makhrus Munajat, Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam,
(Yogyakarta:Cakrawala, 2006), hlm. 12.
76
Qishash ialah hukuman yang berupa pembalasan setimpal (surah Al-
baqarah (2), ayat 178).
77
Diyat ialah hukuman ganti rugi, yaitu pemberian sejumlah harta dari
pelaku kepada si korban ataupun walinya, Melalui putusan hakim.
hukumannya oleh syara‟ dan menjadi kekuasaan penguasa atau
hakim.78

Dengan demikian syar‟i mendelegasikan kepada hakim untuk

menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarīmah.

Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan

kepentiangan umum maka perbuatan tersebut dapat dinggap jarīmah

dan pelaku dikenakan hukuman. Adapun dasar hukum di

syariatkannya sanksi bagi pelaku jarīmah ta‟zīr adalah “at-ta‟zīr

yadurru ma‟amaslāhah” yang atrinya hukuman ta‟zīr didasarkan

pada pertimbangan kemaslahatan dengan tetap mengacu pada prinsip

keadilan dalam masyarakat.79

Abdul Qadir Audah menyatakan, sebagaimana dikutip oleh

makhrus Munajat, bahwa jarīmah ta‟zīr menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Jarīmah hudūd dan qishash diyat yang mengandung unsur


syubhāt atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah
dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti wat‟i syubhat,
pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap ayahnya,
pencurian yang bukan harta benda.

b. Jarīmah ta‟zīr yang jenis Jarīmahnya ditentukan oleh nash,


tetapi sanksinya oleh syar‟I diserahkan kepada penguasa, seperti
sumpah palsu, saksi palsu, mengutangi timbangan, menipu,
mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.

c. Jarīmah ta‟zīr yang jenis jarīmahnya secara penuh menjadi


wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat.
78
Rahman Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2000), hlm.140.
79
Makhrus Munajat, Reaktualisasi Hukum Pidana Islam Di Indonesia,
(Yogyakarta: Cakrawala, 2006), hlm.14
Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling
utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan
hidup, lalulintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwasanya tindak

kejahatan Defacing merupakan ranah Cyber Crime, masuk dalam

jarīmahta‟zīr bukan termasuk jarīmah qishash dan hudūd. Oleh

karena itu dalam hukum Islam sanksi defacing belum ditentukan

kadarnya, artinya diserahkan sepenuhnya kepada ulil amri atau

hakim. Hakim diberi keleluasaan untuk menetapkan atau

memutuskan seberapa lama sanksi pidana penjara itu diberikan

kepada si pelaku, akan tetapi berpedoman pada kemashlahatan umat.

D. Persamaan dan Perbedaan Tindak Pidana Defacing Menurut

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Hukum Islam

Persamaan Defacing antara UU ITE dan Hukum Islam yaitu,

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-undang 19 Tahun

2016 dan Hukum Islam masing-masing mengenal pemidanaan

kawalan/kurungan sebagai sanksi dari tindak pidana yang dilakukan,

yang secara garis besar memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai

upaya preventif, reprensif, reformatif dan memberikan efek jera

terhadap pelaku tindak pidana, serta memberikan rasa aman nyaman

dan tentram di dalam masyarakat. Sedangkan perbedaannya adalah


pada dasar hukumnya, dalam hukum pidana Indonesia untuk defacing

sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 jo

Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik Pada Pasal 30 dan Pasal 32 ayat (1), dan sanksi

hukum defacing di Indonesia sudah jelas diatur pada Pasal 46 dan

Pasal 48 ayat (1) UU ITE, sedangkan dalam hukum Islam sanksi

defacing belum ditentukan kadarnya, artinya diserahkan sepenuhnya

kepada ulil amri atau hakim, hakim diberi keleluasaan untuk

menetapkan atau memutuskan seberapa lama sanksi pidana penjara

itu diberikan kepada si pelaku, akan tetapi berpedoman pada

kemashlahatan umat. Sedangkan dalam pidana Indonesia seorang

hakim memberi sanksi pidana penjara harus sesuai dengan ketentuan

Undang-undang yang berlaku.


BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam bab penutup ini akan ditarik sebuah kesimpulan yang

merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang menjadi fokus

studi penelitian dalam rangka skripsi ini. Kesimpulan disesuaikan

dengan urutan rumusan masalah yang diajukan pada pendahuluan

yaitu tentang tinjauan UU ITE dan hukum Islam.

1. Defacing menurut UU ITE merupakan perbuatan dilarang yang

telah diatur pada Pasal 30 dalam hal illegal acces dan pada Pasal

32 ayat (1) dalam hal data interfence mengingat langkah awal

dalam defacing adalah melakukan hacking kemudian

memodifikasi dari website tersebut. Sanksi hukum defacing di

Indonesia sudah jelas diatur pada Pasal 46 dan Pasal 48 ayat (1)

UU ITE.

2. Defacing yang merupakan salah satu bentuk cybercrime di dalam

hukum Islam masuk ranah jarīmah ta‟zīr, bukan termasuk

jarīmah qishash dan hudūd. Hakim diberi keleluasaan untuk

menetapkan atau memutuskan seberapa lama sanksi pidana

penjara itu diberikan kepada si pelaku, akan tetapi berpedoman

pada kemashlahatan umat. Oleh karena itu dalam hukum Islam

91
92

sanksi defacing belum ditentukan kadarnya, artinya diserahkan

sepenuhnya kepada ulil amri atau hakim.

B. SARAN

Berdasarkan penelitian di atas, secara umum Undang-undang

nomor 11 tahun 2008 jo Undang-undang 19 tahun 2016 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik sudah cukup mengakomodir

ketentuan yang belum ada pada Undang-undang sebelumnya seperti

KUHP, KUHAP, Undang-undang tentang telekomunikasi dan

sebagainya. Namun, ada beberapa hal sebagai bahan evaluasi dan

saran, antara lain:

1. Bagi Pengguna Internet

Hendaknya pengguna internet mematuhi norma dan etika di

dunia maya dan tidak melanggar Undang-undang yang berlaku

karena jika melanggar Undang-undang maka dapat dikategorikan

sebagai tindak kejahatan yang terdapat sanksi hukum bagi yang

melanggar.

2. Bagi Pemerintah

a. Hendaknya pemerintah lebih menyempurnakan lagi UU ITE,

karena UU ITE teranyar justru memberikan kelonggaran terhadap


93

masyarakat yang tersandung kasus pencemaran nama baik melalui

dunia maya untuk tidak dilakukan penahanan di tingkat penyidikan.

b. Hendaknya pemerintah meningkatkan sistem pengamanan

jaringan komputer nasional dan meningkatkan pemahaman serta

keahlian aparatur Negara mengenai upaya pencegahan, investigasi

dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan kejahatan

mayantara.

c. Hendaknya pemerintah meningkatkan kesadaran warga

Negara mengenai kejahatan dunia maya serta pentingnya mencegah

kejahatan tersebut dan meningkatkan kerjasama antar negara dalam

upaya penanganan kejahatan mayantara.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Al-Qur’an

Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar


Grafika,2012

Gunadi, Ismu dan Joenaidi Efendi, Cepat & Mudah Memahami


Hukum Pidana, Jakarta: Kencana, 2014

Hakim, Rahman, Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia,


2000

Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka


Setia, 2002

Huda, Chairul, Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju


Kepada “Tiada Jakarta: Kencana, 2006

Irfan, Nurul dan Masyrofah, FIqh Jinayah, Jakarta: Amzah, 2014

Jahar, Asep Saepudin, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis.


Bandung: Kencana Prenadamedia, 2009

Karnasudirdja, Djunaiedi, Yurisprudensi Kejahatan Komputer,


Bandung: Refika Aditama, 2009

KUHAP DAN KUHP, Jakarta: Sinar Grafika, 2002

Kusnardi, Muhammad dan Bintan Saragih, Kejahatan Mayantara


(Cyber Crime), Bandung: Refika Aditama, 2005

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar


Grafika, 2014

Mansur, Dikdik M, Elesatris, Cyberlaw Aspek Hukum Teknologi


Informasi Bandung: Refika Aditama, 2009

Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar, Jakarta:


Kharisma Putra Utama, 2013
Moleong, Lexi J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja
Rosda Karya, 2000

Munajat, Makhrus, Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam,


Yogyakarta: Cakrawala, 2006

Nasrullah, Rulli, Teori dan Riset Media Siber, Jakarta: Kencana,


2014

Projodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,


Bandung: Refika Aditama, 2003

Riwandi, Budi Agus, Hukum Internet di Indonesia, Yogyakarta: UII


Press, 2003

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah 2, Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013

Safiri, Indra, Tindak Pidana Di Dunia Cyber” dalam Insider, Legal


Journal From Indonesian Capital & Investmen Market, 1999

Sanusi, Arsyad, Cyber Crime, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013

Sastrawidjadja, Sofian, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai


Dengan Alasan Peniadaan Pidana), Bandung: Armico, 1995

Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode


dan Teknik Bandung: Tarsito, 1990

Surhariyanto, Budi, Tindak Pidana Teknologi Informasi Urgensi


Pengaturan dan Celah Hukumnya, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013

Syahdeini, Sutan Remi, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer,


Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009

Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE), Jakarta:


Sinar Grafika, 2017

Wahid, Abdul dan Labib, Kejahatan Mayantara (Cybercrime),


Jakarta: Refika Aditama, 2005
Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Yogyakarta:
Laskbang Meditama, 2013.

Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime, Yogyakarta:


Laksbang Meditama, 2009

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003

B. Referensi Online

http://www.cuthawe.com/2016/02/apa-itu-url.html

Http://m.liputan6.com/amp/3065275/ini-daftar-puluhan-situs-web-
malaysia-yang-kena-serang-hacker

http://inet.detik.com/read/2013/01/31/135610/2157633/398/menyoal-
kasus-hacking-situs-presiden-sby

http://www.jagatreview.com/2011/03/website -tv-one-di-deface/

www.justinfo.wordpress.com

https://id.m.wiktionary.org/wiki/kamus_umum?

www.timsatu.wordpress.com.

Anda mungkin juga menyukai