Anda di halaman 1dari 7

Pengertian Syi’ah

Menurut bahasa, Syi’ah berasal dari bahasa Arab Sya’a yasyi’u syi’an syi’atan yang berarti
pendukung atau pembela. Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa Syi’ah seseorang merupakan
pengikut dan pendukungnya. Kelompok pendukung ini bisa terdiri dari dua orang atau lebih,
laki-laki maupun perempuan.Syi’ah Ali adalah pendukung dan pembela Ali, sementara Syi’ah
Mu’awiah adalah pendukung Mu’awiyah. Pada zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman kata
Syi’ah dalam arti nama kelompok orang Islam belum dikenal. Pada saat pemilihan khalifah
ketiga setelah terbunuhnya Abu Bakar, ada yang mendukung Ali, namun setelah umat Islam
memutuskan untuk memilih Utsman bin Affan, maka orang-orang yang tadinya mendukun Ali,
akhirnya berbaiat kepada Utsman termasuk Ali. Dengan begitu, belum terbentuk secara faktual
kelompok umat Islam bernama Syi’ah. Ketika timbul pertikaian dan peperangan antara Ali dan
Mu’awiyah, barulah kata Syi’ah muncul sebagai nama kelompok ummat Islam. Tetapi bukan
hanya pendukun Ali yang disebut Syi’ah, namun pendukung Mu’awiyah pun disebut dengan
Syi’ah, terdapat Syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyah. Nama ini didapatkan dalam naskah perjanjian
Tahkim, di situ diterangkan bahwa apabila orang yang ditentukan dalam pelaksanaan tahkim itu
berhalangan, maka diisi dengan orang yang Syi’ah masing-masing dua kelompok. Namun pada
waktu itu, baik Syi’ah Ali maupun Muawiyah semuanya beralihan Ahlussunnah, karena Syi’ah
pada waktu hanya berarti pendukung dan pembela. Sementara aqidah dan fahamnya, kedua belah
pihak sama karena bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Sehingga Ali pun memberikan
penjelasan bahwa peperangan antara pengikutnya dan pengikut Muawiyah adalah semata-mata
berdasarkan ijtihad dan klaim kebenaran antara kedua kelompok yang bertikai tersebut.1

Syiah dalam arti kata lain dapat disandingkan juga dengan kata Tasyayu’ yang berarti
patuh/mentaati secara agama dan mengangkat kepada orang yang ditaati dengan penuh
keikhlasan tanpa keraguan.

Penggunaan kata Syiah dari sisi bahasa ini telah banyak diungkap dalam al-qur’an dan literatur-
literatur lama. Dalam Al Quran penggunaan kata Syiah terdapat dalam surat Ash-Shaaffaat ayat
83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar sebagai pendukungnya (Nuh)”.

Kata “Syiah”dalam kebahasaan sudah dikenal sejak awal kepemimpinan Islam, sebagai
identifikasi terhadap kelompokkelompok yang mengidolakan seseorang yang dianggap sebagai
tokoh.

Adapun Syiah dalam arti terminologi terdapat banyak pengertian yang sangat sulit dapat
mewakili seluruh pengertian Syiah. Dalam Ensiklopedi Islam, Syiah yaitu kelompok aliran atau
paham yang mengidolakan bahwa Ali bin Abi Thalib ra. dan keturunannya adalah Imam-Imam
atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad SAW (Ensiklopedi Islam, 1997).

1
Moh. Dawam Anwar, Mengapa Kita Menolak Syi’ah (Jakarta: Lembaga Pengkajian dan Penelitan Islam, 1998),
hlm. 3
Muhammad Husain Attabi’i dalam bukunya “Syiah Islam” memberikan pengertian bahwa Syiah
adalah kaum muslimin yang menganggap penggantian Nabi Muhammad Saw adalah merupakan
hak istimewa yang dimiliki oleh keluarga nabi dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan
kebudayaan Islam mengikuti ahlul bait (Husayn Attabi’i, 1989: 32).

Sedangkan Qurais Shihab dengan mengutip pendapat Ali Muhammad al-Jurjani mendefinisikan
bahwa Syiah, yaitu mereka yang mengikuti Sayyidina Ali ra dan percaya bahwa beliau adalah
Imam sesudah Rasul saw. Dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan
keturunannya.

Pendapat Shihab ini lebih mencerminkan sebagian dari golongan dalam Syiah-untuk sementara
ini dapat diterima karena telah mencerminkan definisi untuk kelompok Syiah terbesar yaitu
Syiah Itsna Asyariyah. (Shihab 2007).

Syiah adalah kenyataan sejarah umat Islam yang terus bergulir.Lebih dari 1.000 tahun, Syiah
mengalami perjalanan sejarah, tidak serta merta hadir dipanggung perdebatan dan konflik sosial
seperti saat ini.2

Asal Usul Kemunculan Syi’ah


Menilik dari sejarahnya, ajaran Syi’ah berawal pada sebutan yang ditujukan kepada pengikut Ali,
yang merupakan pemimpin pertama ahl al-Bait pada masa hidup Nabi sendiri.

Kejadian-kejadian pada munculnya Islam dan pertumbuhan Islam selanjutnya, selama dua puluh
tiga tahun masa kenabian, telah menimbulkan berbagai keadaan yang meniscayakan munculnya
kelompok semacam kaum Syi’ah di antara para sahabat Nabi.3

Akar permasalah umat Islam, termasuk munculnya madzhab Syi’ah bermula dari perselisihan
mereka terkait siapa yang paling layak menjadi pemimpin setelah Rasulullah Saw., wafat. Sebab,
Rasulullah sebelum wafat tidak menentukan siapa yang akan menggantikannya sebagai
pemimpin umat dan negara. Sementara kaum muslimin sesudah wafatnya Rasul merasa perlu
mempunyai khalifah yang dapat mengikat umat Islam dalam satu ikatan kesatuan. Sebelum
dikebumikan kaum Anshar berkumpul di Bani Sa’idah. Mereka berpendapat bahwa kaum
Ansharlah yang paling layak menjadi pengganti Rasul, lalu menyodorkan Sa’ad bin Ubadah
sebagai pemimpin. Di waktu yang sama, Umar mengajak Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin
Jarrah. Ketiganya berangkat ke pertemuan kaum Anshar. Di hadapat kaum Anshar Abu Bakar
berpidato tentang keistimewaan kaum Anshar dan kaum Muhajirin, di antaranya bangsa Arab
tidak akan tunduk kecuali kepada kaum Muhajirin, bahkan Allah dalam al-Qur’an mendahulukan
kaum muhajirin daripada kaum Anshar. Sesudah perdebatan persoalan pemimpin itu, kemudian
secara aklamasi kedua belah pihak memilih Abu Bakar menjadi pemimpin mereka.

2
https://www.inews.id/lifestyle/muslim/apa-itu-syiah (diakses pada tanggal 1 Oktober 2021)
3
M. Thabathaba’i, Islam Syi’ah: Asal Usul dan Perkembangannya (Jakarta: Temprint, 1989), hlm. 37.
Dengan demikian hilanglah perselisihan paham dan umat Islam kembali bersatu4. Permasalahan
kemudian muncul, ketika saat itu Ali tidak turut hadir dalam sidang tersebut. Setelah mendengar
pembaiatan Abu Bakar, nampak ketidak puasan Ali bin Abi Thalib. Belakangan orang-orang
yang menjadi pengikut Ali, Abu Bakar dan Umar menikung Ali sebagai khalifah. Timbullah
pendapat bahwa yang berhak memegang khalifah adalah keluarga Nabi, dan Ali lah yang paling
pantas. Karena ia adalah menanti Rasul, orang yang paling besar jihadnya, paling banyak
ilmunya, keluarganya adalah seutama-utama keluarga Arab. Namun demikian, akhirnya Ali turut
membaiat Abu Bakar sesudah beberapa waktu berlalu5. Setelah Abu Bakar Wafat, khalifah
dipegang oleh Umar bin Khatab, banyak daerah yang bisa dikuasai pada masa Umar.

Setelah Umar bin Khattab terbunuh, Utsman didapuk menjadi khalifah. Pada masa Utsman ini
bani Umayyah mengambil manfaat untuk diri mereka sendiri. Utsman merasakan bahwa Bani
Umayyah benar-benar ikhlas dan membantunya dengan penuh kejujuran. Lalu Utsman
mengangkat banyak pembantu dari Bani Umayyar. Masyarakat muslim melihat Utsman
menempuh jalan lain yang ditempuh dua khalifah sebelumnya. Munculah ketidak puasan atas
kepemimpinan Utsman sehingga Utsman akhirnya terbunuh.

Sayyidina Ali akhirnya dibaiat oleh sebagian besar kaum muslimin, termasuk mayoritas kaum
Muhajirin. Namun beberapa sahabat nabi yang enggan membaiat Ali, yaitu Zubair dan Thalhah,
dengan persetujuan Aisyah keduanya menentang Ali dan berkecamuklah perang Jamal antara
pasukan Ali dan Pasukan Aisyah, Zubair dan Thalhah gugur dalam pertempuran tersebut. Di sisi
lain, Muawiyah dari keluarga Bani Umayyah yang menjadi Gubernur Syam mempresur Ali
untuk mengusut secara tuntas dan menghukup orang yang membunuh Utsman. Atas ketidak
puasan bani Umayyah ini, Muawwiyah memberontak khalifah Ali. Terjadilah pertempuran di
lembah Shiffin. Setelah agak terdesak, dan hampir-hampir pasukan Ali memenangkan
pertempuran, Muawiyah menyuruh salah satu tentaranya untuk mengangkat mushaf di atas
lembing yang tinggi, sebagai tanda menyerah dan permintaan perdamaian. Beberapa orang dari
pasukan Ali merasa tidak puas atas keputusan damai (tahkim) tersebut, sebab mereka merasa
pasukan Ali hampir menumpaskan pasukan pemberontak.

Peristiwa tahkim ini tidak malah menyebabkan perdamaian antara dua belah pihak, namum
memunculkan faksi-faksi di tubuh umat Islam menjadi tiga (3) kelompok:

1. Kelompok Syi’ah, yaitu golongan yang memihak pada Ali dan kerabatnya dan berpendapat
bahwa Ali dan keturunannyalah yang berhak menjadi khalifah.

2. Kelompok Khawarij, yaitu golongan yang menentang Ali dan Muawiyah, mereka berpendapat
bahwa tahkim itu menyalahi prinsip agama.

4
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm.
104-105

5
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid….., hlm. 106
3. Kelompok Murjiah, yaitu golongan yang tidak menggabungkan diri kepada salah satu pihak
dan menyerahkan hukum pertengkaran itu kepada Allah S.W.T.

Perkembangan ketatanegaraa syiah


Prinsip-Prinsip Bernegara Menurut Munawir Sjadzali

1. Prinsip musyawarah atau konsultasi (Syura)

Adalah suatu forum tukar menukar pikiran , gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang
diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum pengambilan keputusan.
Dalam Al-Qur’an menggariskan bahwa prinsip musyawarah merupakan salah satu prinsip dasar
dan paling utama dalam nomokrasi Islam, adapun musyawarah dalam istilah politik adalah hak
partisipasi rakyat dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Jika hak
partisipasi rakyat ini tidak ada dalam dalam masalah-masalah hukum maka sistem hukum itu
adalah sistem hukum diktatoral atau totaliter. Jika dinisbatkan kepada sistem Islam, maka
kediktatoran itu diharamkan dalam agama Islam sebab bertentangan dengan akidah dan syari‟at.

Pendapat para ulama tentang hukum musyawarah adalah wajib, diwajibkan atas para penguasa
untuk meminta pendapat dari rakyatnyadalam segala perkara umum. Musyawarah adalah
kewajiban yang diwajibkan atas para penguasa juga rakyat. Penguasa harus bermusyawarah
dalam setiap perkara pemerintahan, daministrasi, politik, dan pembuatan perundang-undangan,
juga dalam setiap hal yang menyangkut kemaslahatan individual dan kemaslahatan umum.

Musyawarah merupakan suatu perintah Allah sebagaimana digariskan dalam ayat yang dengan
tegas menyebutkan perintah itu dalam Al-Qur’an, surah Ali Imran : 159.

2. Prinsip ketaatan kepada pemimpin

Yaitu hubungan antara pemerintah dan rakyat. Taat pada pemimpin diwajibkan atas para
penguasa dan atas rakyat, sebab wajib atas para penguasa untuk memutuskan seperti apa yang
telah mereka putuskan dalam hal kemaslahatan umum, dan rakyat wajib melaksanakan putusan
itu. Hazairin menafsirkan menaati Allah ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan Allah, menaati
Rasul ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW. Dan menaati
ulil amri ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan petugas kekuasaan masing-masing lingkungan
tugas kekuasaanya. Ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam firman Allah SWT. Al-Qur‟an
telah menetapkan prinsip dalam surah An Nissa ayat 59.

Para ulama berkata: Ayat ini turun kepada rakyat, baik para tantara atau lainnya untuk taat
kepada ulil amri yang melaksanakan apa yang ada dalam ayat terdahulu, taat sebagimana yang
sudah diketahui, tidak boleh pada hal-hal kemaksiatan, dan apa yang ditetapkan oleh ulil amri itu
harus berdasarkan musyawarah.

3. Prinsip keadilan (Al-Adl)


Prinsip keadilan merupakan suatu yang sangat penting perintah dalam menegakan keadilan dan
Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah untuk menegakan keadilan. Para ulama syariat Islam
tidak membolehkan sesorang memegang tongkat kekuasaan kecuali dia bersifat adil. Adil adalah
akhlak yang paling utama, jika seseorang tidak bersifat demikian maka tidak sah kekuasaannya
dan tidak boleh diterima kesaksiannya.

Ar-Ridha mendefinisikan sifat adil dalam Al-mabsuth-nya: Adil adalah istiqamah (teguh
pendirian), dan kesempurnaanya tiada akhir. Adil jugaberarti menyalahi apa yang diyakini haram
dalam agama, atau dengan kata lain: Bahwa seseorang itu selalu meninggalkan dosa-dosa besar
dan tidak melakukan dosa-dosa kecil.

4. Prinsip persamaan (Al-musawah)

Adil dalam bahasa artinya penyamarataan. Prinsip ini melukiskan bagaimana proses kejadian
manusia Allah telah menciptakan dari pasangan laki-laki dan wanita. Yaitu pasangan pertama
Adam dan Hawa dilanjut dengan pasangan yang lainnya bahwa manusia berasal dari proses yang
sama. Pembahasan tentang berlaku adil bahwa prsamaan hak adalah tujuan diutusnya para rasul
dan diturunkannya syriat juga hukum. Persamaan hak juga merupakan ikatan penghubung dari
prinsip-prinsip menyeluruh dan kaidah-kaidah umum agar menjadi satu dasar bagi sistem
kehidupan yang dapat memlihara aksistensi komunitas manusia.

Oleh karena itu, berlaku adil adalah sistem Allah SWT dan syariat-Nya, juga merupakan sistem
segala sesuatu. Prinsip musawarah merupakan salahsatu tuntunannya. Nash-nash Al-Qur‟an dan
hukum-hukumnya telah menuturkan dengan menetapkan persamaan hak sesempurna-
sempurnanya sebagaimana Allah memerintakan berlaku adil, Allah juga menetapkan persamaan
hak antara manusia seluruhnya. Dalam Al-Qur‟an dapat kita pahami dalam surah Al Hujuraat:
13.

5. Prinsip hubungan antar umat dari berbagai agama.

Dalam prinsip ini manusia ditakdirkan aalah sebagai mahluk sosial yang hubungan dan interaksi
sosial dengan sesama manusia saling bekerja sama dengan orang lain dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, dapat dipahami dalam Al-Qur‟an surah Al-Baqarah : 256 yaitu :Dalam
melakukan kajian ulang tentang Islam dan memulainya dengan melihat kembali kandungan Al-
Qur‟an sebagai sumber pokok dari ajaran Islam, disertai pengamatan terhadap Sunnah Rasul.
Kemudian telah kita telusuri lorong lorong sejarah ketatanegaraan dunia Islam dengan
memberikan perhatian khusus kepada pola hidup bernegara di dunia Islam semasa Al-khulafa
Al-Rasyidin, yang dianggap suatu yg ideal dan yang harus di teladani oleh umat Islam. Zaman
klasik, zaman pertengahan dan zaman baru tentang pola politik yang terdapat di sejumlah negara
Islam yang ada sekarang ini.

Munawir melihat bahwa Islam menggariskan seperangkat prinsip etis yang relevan dalam proses
penyelenggaraan negara. Antara lain : nilai-nilai musyawarah (syura), keadilan, („adl), dan
persamaan (musawa). Inilah yang harus ditegakkan oleh komunitas politik Islam bukan hal-hal
yang bersifat ideologi formal, baik Islam sebagai ideologi maupun agama negara.

Sebagai dari hasil telaah ulang menurut Munawir Sjadzali dapat dikatakan bahwa dalam kitab
suci umat Islam itu terdapat seperangkat prinsip-prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Selebihnya baik dalam Al-Qur‟an maupun As-sunnah Rasul tidak
mengajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus di anut, Tetapi yang paling pokok dan
utama yang harus dimiliki dalam bernegara ialah musyawarah atau syuro.6

Pendapat aliran syiah


1. Syiah Ghulat

Seorang ulama Ahlussunnah, Muhammad Abu Zahrah, mengatakan kelompok Syiah ektremis ini
hampir dapat dikatakan telah punah.

Di dalam Syiah Ghulat terdapat beberapa golongan, yakni As-Sabaiyah, Al-Khaththabiyah, Al-
Ghurabiyah, Al-Qaramithah, Al-Manshuriyah, An-Nushaiziyah, Al-Kayyaliyah, Al-Kaisaniyah,
dan lainnya.

Menurut Asy-Syahrastany, As-Sabaiyah adalah pengikut Abdullah bin Saba' yang konon pernah
berkata kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta,” yang berarti "Engkau adalah Tuhan". Ia juga
menyatakan sahabat Nabi ini memiliki tetesan ketuhanan.

Sementara Al-Khaththabiyah adalah penganut aliran Abu Al-Khaththab Al-Asady yang


menyatakan Imam Ja'far Ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Sementara Imam Ja'far
mengingkari dan mengutuk kelompok ini. Lantaran sikap tersebut, pemimpin kelompok ini, Abu
Al-Khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam.

Golongan Al-Ghurabiyah percaya malaikat Jibril diutus Allah untuk Ali bin Ali Thalib ra.
Namun, mereka menilai malaikat Jibril keliru dan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu
kepada Nabi Muhammad.

Sementara Syiah Qaramithah dikenal sangat ekstrem karena menyatakan Syyidina Ali bin Abi
Thalib adalah Tuhan. Kelompok ini pernah berkuasa di Bahrain dan Yaman, serta menguasai
Mekah pada 930 Masehi.

2. Syiah Ismailiyah

Kelompok ini tersebar di banyak negara, seperti Afganistan, India, Pakistan, Suriah, Yaman,
serta beberapa negara barat, yakni Inggris dan Amerika Utara.

6
Bahtiar Effendy, Repolitisasi Islam, (Bandung: Mizan, 2000), h. 77
Kelompok ini meyakini Ismail, putra Imam Ja'far Ash-Shadiq, adalah imam yang menggantikan
ayahnya, yang merupakan imam keenam dari aliran Syiah secara umum. Ismail dikabarkan wafat
lima tahun sebelum ayahnya (Imam Ja'far) meninggal dunia.

Namun menurut kelompok ini, Ismail belum wafat. Syiah Ismailiyah meyakini kelak Ismail akan
tampil kembali di bumi sebagai Imam Mahdi.

3. Syiah Az-Zaidiyah

Ini adalah kelompok Syiah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin
Ali bin Abi Thalib r.a. Zaid lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. Zaid dikenal sebagai
tokoh yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan semena-mena yang diterapkan Yazid,
putra Muawiyah pada zaman Bani Umayyah.

Kendati golongan ini yakin kedudukan Ali bin Abi Thalib ra lebih mulia ketimbang Abu Bakar,
Umar, dan Utsman, mereka tetap mengakui ketiganya sebagai khalifah yang sah. Lantaran masih
menganggap tiga sahabat nabi yang lain, Syiah Az-Zaidiyah dinamakan Ar-Rafidhah, yakni
penolak untuk menyalahkan dan mencaci.

Dalam menetapkan hukum, kelompok ini menggunakan Al-Quran, sunah, dan nalar. Mereka
tidak membatasi penerimaan hadis dari keluarga Nabi semata, tetapi mengandalkan juga riwayat
dari sahabat-sahabat Nabi lainnya.

4. Syiah Istna Asyariah

Kelompok ini dikenal juga dengan nama Imamiyah atau Ja'fariyah yang percaya 12 imam dari
keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW.

Syiah Istna Asyariah merupakan mayoritas penduduk Iran, Irak, dan ditemukan juga di beberapa
daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, Saudi Arabia, dan beberapa daerah bekas Uni Sovyet.
Ini adalah kelompok Syiah mayoritas.7

7
https://nasional.tempo.co/amp/426800/mengenal-4-kelompok-dalam-syiah (diakses pada tanggal 1 Oktober 2021)

Anda mungkin juga menyukai